EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF
DISUSUN OLEH:
1. Bery Agana Purba (216210017)
2. David Michael Steven Siahaan (216210038)
3. Gracecilia Febyana Tarigan (216210042)
4. Debora Melani Sirait (216210047)
PEMBIMBING:
DAFTAR ISI........................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................3
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Patofisiologi........................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................8
2.6 Gejala dan Tanda................................................................................................11
2.7 Diagnosis............................................................................................................15
2.8 Diagnosis Banding..............................................................................................18
2.9 Penatalaksanaan..................................................................................................20
2.10 Komplikasi........................................................................................................28
2.11 Pencegahan.......................................................................................................28
2.12 Prognosis..........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................30
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
Epilepsi memberikan beban kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%. Di India,
beban biaya pengobatan diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per kasus epilepsi (atau
88% dari rerata pendapatan per kapita penduduk). Biaya total yang diperlukan untuk biaya
pengobatan 5 juta kasus epilepsi adalah sama dengan 0,5% anggaran belanja negara di India.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, biaya pengobatan epilepsi mencapai USD 12,5
triliun per tahun, 14% adalah biaya pengobatan langsung dan 86% biaya tidak langsung.
Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾ pasien epilepsi tidak mendapatkan
pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan
pengobatan (treatment gap). Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relatif mahal.
Ketersediaan OAE generik sekitar kurang dari 50%.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik penderita maupun keluarganya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh
Hughlings Jackson pada abad ke – 19 “ epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada
substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat’. Secara
klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi epilepsi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi
sebelumnya.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara
maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000
orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih
tinggi dibandingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-
37,7) diperkotaan.
Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun
terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7
/1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilepsi aktif
tertinggi dilaporkan di vietnam 10,7/1000 orang, dan terendah di taiwan 2,8/1000 orang.
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar
>0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat
1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan
usia harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin di negara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.
Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk dengan
angka insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien epilepsi
yang butuh pengobatan.
Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada
tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801
kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada
kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter
spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak
berobat.
Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,0 per 1000
orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45 per 1000 orang
pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana orang dengan epilepsi memiliki
resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasinormal.
Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai 1,21/1000 pasien, wanita lebih
tinggi dari laki-laki. Jenis bangkitan dengan risiko SUDEP tertinggi adalah tonik klonik.
2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di
sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya; cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol dan obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
2.4 Patofisiologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi
dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak. Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi,
adalah sebagai berikut :
1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal
yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang
berlebihan, sehingga terjadi kejang. Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter
dan neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling
banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter
pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua
struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi
GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi
yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang
berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan
bersifat berulang.
3. Mekanisme epilepsogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-
akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron
diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan
sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan
daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran
nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas
normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat
sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri
atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsy.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1 Dengan gejala motorik
1.1.2 Dengan gejala somatosensorik
1.1.3 Dengan gejala otonom
1.1.4 Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2 Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik – klonik
2.6 Atonik/astatik
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak.
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan.
1.2.3 Epilepsi lobus temporal.
1.2.4 Epilepsi lobus frontal.
1.2.5 Epilepsi lobus parietal.
1.2.6 Epilepsi oksipital.
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.4 Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum ,Bangkitan
umum dan fokal
2.4.1 Bangkitan neonatal
2.4.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
2.4.3 Epilepsi degan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
2.4.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
2.4.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3. Sindrom khusus
3.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
3.1.1 Kejang demam
3.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
3.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
3.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017,
sebagai berikut:
b. Petit mal
Serangan petit mal disebut juga dengan lena dan absence. Pada jenis ini
terdapat tiga jenis sindrom epilepsi yang berbeda yaitu childhood absence
epilepsi, juvenile absence epilepsi, dan absence with eye myoclonia. Serangan
petit mal dicirikan oleh 3 Hz spike and wave pada rekaman EEG
b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti : paresis Todd, gangguan
kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi ( EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk :
Membantu menunjang diagnosis
Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sintrom epilepsi.
Membatu menentukan prognosis
Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
Membantu menentukan penghentian OAE
Pemeriksaan pencitraan otak
CT scan kepala pada kasus kejang pertama kali usia dewasa, lebih
ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan.
MRI (minimal 1,5 Tesla)
Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
USG Doppler (pada neonatus)
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium),
kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
2. Pada Dewasa
a. Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral global
transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal.
b. Serangan iskemik sepintas
Gangguan neurolgis fokal atau saraf pusat yang timbul secara mendadak dan
menghilang beberapa menit sampai beberapa jam. Stroke ini bersifat sementara,
namun jika tidak ditanggulangi akan berakibat pada serangan yang lebih fatal.
c. Serangan psikogenik
Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang lama, tidak
pernah terjadi waktu tidur, perjalanan penyakit yang berfluktuasi, gerakan
asinkron, gerakan pelvis, gerakan kepala ke kiri dan kanan, menutup mata saat
serangan, menangis saat serangan, ingat dan mengetahui apa yang terjadi saat
serangan, dan tidak adanya gejala bingung pasca serangan. Serangan hampir
selalu terjadi bila ada orang lain di sekitarnya. Serangan non-epileptik psikogenik
sering disertai berbagai gangguan psikiatrik.
d. Serangan panik
Gangguan panik adalah kondisi yang tergolong ke dalam gangguan kecemasan
yang ditandai dengan terjadinya serangan panik secara tiba-tiba, kapan dan di
mana saja, serta dialami berulang-ulang.
e. Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala atau
sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular
ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi
akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada
visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam).
f. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di bawah
normal. Umumnya, seseorang dianggap mengalami hipoglikemia saat kadar gula
darahnya kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut
pada pengidap diabetes dan umumnya berkaitan dengan penggunaan obat dari
golongan sulfonilurea (glibenclamide, gliklazida, glimepiride, glipizide, dan
tolbutamide) atau insulin.
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin.
Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan
menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
4. Status epileptikus
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya
dilakukan dua tahap tindakan:
a. Stabilitas penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang
adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi.
Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang
umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus
diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.
b. Menghentikan kejang
Status epileptikus konvulsif
Stadium Penatalaksanaan
- Pemeriksaan EKG
Stadium IV( 30/90 Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit,
menit ) pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB
bolus iv, diulang bila perlu) atau Thiopenton (100-250
mg bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan
dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau
bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan
Status epileptikus non konvulsif
2.10 Komplikasi
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya.
Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf
otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung
(hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun
terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin,
namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan
berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila
tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat
terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar
darah-otak.
2.11 Pencegahan
Diperkirakan 25% kasus epilepsi dapat dicegah:
Mencegah cedera kepala adalah cara paling efektif untuk mencegah epilepsi
pasca trauma.
Perawatan perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus baru epilepsi yang
disebabkan oleh cedera lahir.
Penggunaan obat-obatan dan cara lain untuk menurunkan suhu tubuh anak
yang demam dapat mengurangi kemungkinan kejang demam.
Pencegahan epilepsi yang berhubungan dengan stroke difokuskan pada
pengurangan faktor risiko kardiovaskular, misalnya tindakan untuk mencegah
atau mengontrol tekanan darah tinggi, diabetes dan obesitas, dan menghindari
tembakau dan penggunaan alkohol yang berlebihan.
Infeksi sistem saraf pusat adalah penyebab umum epilepsi di daerah tropis, di
mana banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah terkonsentrasi.
Penghapusan parasit di lingkungan ini dan pendidikan tentang cara
menghindari infeksi dapat menjadi cara efektif untuk mengurangi epilepsi di
seluruh dunia, misalnya kasus-kasus akibat neurocysticercosis.
2.12 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai dan keteraturan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsi cukup baik. 50 – 70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-
obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu dapat dapat berhenti minum obat. Serangan
epilepsi primer, baik yang bersifat lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis
baik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
Pada epilepsi dengan tipe bangkitan mioklonik, prognosisnya sangat buruk jika disebabkan
oleh anoksia.
Prognosis epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak
mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%
penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi
pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih
sering terjadi.
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun juga merupakan faktor
yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada
faktor yang sama dengan remisi kejang.
DAFTAR PUSTAKA