Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF

DISUSUN OLEH:
1. Bery Agana Purba (216210017)
2. David Michael Steven Siahaan (216210038)
3. Gracecilia Febyana Tarigan (216210042)
4. Debora Melani Sirait (216210047)

PEMBIMBING:

dr. Toety M Simanjuntak, M.Ked (Neu), Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT TENTARA PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................3
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Patofisiologi........................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................8
2.6 Gejala dan Tanda................................................................................................11
2.7 Diagnosis............................................................................................................15
2.8 Diagnosis Banding..............................................................................................18
2.9 Penatalaksanaan..................................................................................................20
2.10 Komplikasi........................................................................................................28
2.11 Pencegahan.......................................................................................................28
2.12 Prognosis..........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................30

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Data World Helath Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus epilepsi di
seluruh dunia. Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk
dengan angka insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien
epilepsi yang butuh pengobatan.
Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada negara
dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-66,7) dan paada
negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5).
Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per
tahun, dan di India 49,3/100.000 orang per tahun. Puncak insiden di negara Cina (Shanghai)
pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahun.
Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama
pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun. Angka insiden di negara maju
dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun, 160/100.000 orang/tahun pada
usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60- 80/100.000 orang/tahun
setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda.
Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status
epileptikus.
Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-
190/100.000 orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang.
Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa
muda, tanpa peningkatan pada usia tua.
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun.
Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan
meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular.
Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.

1
Epilepsi memberikan beban kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%. Di India,
beban biaya pengobatan diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per kasus epilepsi (atau
88% dari rerata pendapatan per kapita penduduk). Biaya total yang diperlukan untuk biaya
pengobatan 5 juta kasus epilepsi adalah sama dengan 0,5% anggaran belanja negara di India.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, biaya pengobatan epilepsi mencapai USD 12,5
triliun per tahun, 14% adalah biaya pengobatan langsung dan 86% biaya tidak langsung.
Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾ pasien epilepsi tidak mendapatkan
pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan
pengobatan (treatment gap). Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relatif mahal.
Ketersediaan OAE generik sekitar kurang dari 50%.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik penderita maupun keluarganya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh
Hughlings Jackson pada abad ke – 19 “ epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada
substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat’. Secara
klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi epilepsi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi
sebelumnya.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara
maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000
orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih
tinggi dibandingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-
37,7) diperkotaan.
Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun
terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7
/1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilepsi aktif
tertinggi dilaporkan di vietnam 10,7/1000 orang, dan terendah di taiwan 2,8/1000 orang.
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar
>0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat
1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan
usia harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin di negara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.
Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk dengan
angka insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien epilepsi
yang butuh pengobatan.
Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada
tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801
kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada
kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter
spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak
berobat.
Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,0 per 1000
orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45 per 1000 orang
pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana orang dengan epilepsi memiliki
resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasinormal.
Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai 1,21/1000 pasien, wanita lebih
tinggi dari laki-laki. Jenis bangkitan dengan risiko SUDEP tertinggi adalah tonik klonik.

2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di
sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya; cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol dan obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
2.4 Patofisiologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi
dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak. Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi,
adalah sebagai berikut :
1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal
yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang
berlebihan, sehingga terjadi kejang. Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter
dan neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling
banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter
pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua
struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi
GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.

2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi
yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang
berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan
bersifat berulang.

3. Mekanisme epilepsogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-
akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron
diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan
sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan
daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran
nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :


1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas
normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat
sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri
atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsy.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1 Dengan gejala motorik
1.1.2 Dengan gejala somatosensorik
1.1.3 Dengan gejala otonom
1.1.4 Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2 Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik – klonik
2.6 Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan.


Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal.
1.1.2 Epilepsi beninga dengan gelombang paroksismal daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi primer saat membaca.

1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak.
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan.
1.2.3 Epilepsi lobus temporal.
1.2.4 Epilepsi lobus frontal.
1.2.5 Epilepsi lobus parietal.
1.2.6 Epilepsi oksipital.

1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2 Kriptogenik atau simtomatis


2.2.1 Sindrom West
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
• Ensefalopati mioklonik dini
• Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
• Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

2.4 Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum ,Bangkitan
umum dan fokal
2.4.1 Bangkitan neonatal
2.4.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
2.4.3 Epilepsi degan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
2.4.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
2.4.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas

2.5 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

3. Sindrom khusus
3.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
3.1.1 Kejang demam
3.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
3.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
3.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017,
sebagai berikut:

2.6 Gejala dan Tanda


1. Serangan epilepsi parsial
Serangan parsial disebabkan oleh lesi atau kelainan lokal pada otak; dengan demikian
evaluasi diagnostik ditujukan untuk menemukan atau membuktikan adanya lesi lokal
tersebut. Serangan parsial dibagi menjadi dua yaitu serangan dengan kesadaran yang
tetap baik (parsial sederhana) dan serangan dengan gangguan kesadaran
(parsial kompleks). Akan tetapi terdapat pula jenis parsial yang berkembang menjadi
serangan parsial kontinu. Manifestasi klinis serangan parsial bervariasi sesuai dengan
fungsi korteks yang berbeda-beda. Namun demikian, secara individual serangan
parsial cenderung untuk bersifat stereopatik dan secara neuro-anatomik.
a. Serangan parsial sederhana
Parsial sederhana dengan manifestasi klinis Serangan parsial jenis ini biasanya
berhubungan dengan area otak tertentu yang terlibat; dengan demikian
manifestasi klinisnya sangat bervariasi, termasuk manifestasi motorik,
sensorik, otonomik, dan psikis. Adapun gejala-gejala yang sering dijumpai
adalah:
 Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
 Bersifat stereopatik (sama)
 Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
 Kejang klonik ( badan dan anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan)
 Berkeringat dingin
 Denyut jantung (nafas) cepat
 Terjadi pada usia 11-13 tahun
 Berlangsung Sekitar 31-60 detik

b. Serangan parsial kompleks


Parsial komplek sering juga disebut dengan lobus frontalis atau psikomotor.
Pada serangan parsial kompleks terjadi gangguan atau penurunan kesadaran.
Dalam hal ini penderita mengalami gangguan dalam berintekrasi dengan
lingkungannya. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian-bagian otak
yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, dan pada
umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem
limbik. Selama serangan parsial kompleks sering tampak adanya otomatisme
sederhana dan kompleks (aktifitas motorik yang berulang-ulang: tanpa tujuan,
tanpa arah, dan aneh). Sementara itu terdapat juga serangan parsial kompleks
yang tidak disertai otomatisme

2. Serangan epilepsi umum


Serangan ini menunjukkan terlibatnya kedua belah hemisferium secara sinkron sejak
awal. Mula serangan berupa hilangnya kesadaran, kemudian diikuti gejala lainnya
yang bervariasi. Jenis-jenis serangan epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidaknya
aktifitas motorik yang khas :
a. Grand mal
Serangan grandmal disebut juga serangan tonik-klonik atau bangkitan mayor
(serangan besar) atau generalized tonic-clonic seizures (GTCS). Bangkitan
grandmal merupakan jenis epilepsi yang paling sering dijumpai. Serangan
meliputi seluruh tubuh, dimulai dengan rigiditas otot-otot tubuh (tonik)
kemudian diikuti oleh kontraksi otot-otot secara ritmik (klonik), dan
kehilangan kesadaran

b. Petit mal
Serangan petit mal disebut juga dengan lena dan absence. Pada jenis ini
terdapat tiga jenis sindrom epilepsi yang berbeda yaitu childhood absence
epilepsi, juvenile absence epilepsi, dan absence with eye myoclonia. Serangan
petit mal dicirikan oleh 3 Hz spike and wave pada rekaman EEG

c. Serangan tonik – klonik


 Serangan tonik
Serangan tonik dicirikan oleh pengkakuan atau sentakan bilateral dan
sinkron secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai. Adapun gejala-
gejalanya adalah:
 Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
 Terjadi sentakan sinkron
 Terjadi sentakan bilateral
 Terjadi gangguan metabolik (defisit neurologis)
 Lidah tergigit
 Kulit sianotik (biru)
 Mulut keluar busa
 Leher tertekuk ke depan pasca serangan
 Terjadi pada waktu tidur
 Berlangsung Sekitar 0-30 detik
 Terjadi pada usia 6-12 bulan
 Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
 Serangan klonik
Klonus epileptik biasanya menyebabkan sentakan sinkron dan bilateral
pada leher, bahu, lengan atas, tubuh dan tungkai atas. Gejala-gejala yang
sering dijumpai sebagai berikut:
 Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran/kedutan (twitching)
fokal pada wajah
 Neuro anatomik (datang dan menghilang secara mendadak)
 Tekanan vesika urinaria (ngompol)
 Tubuh bergetar pasca serangan
 Terjadi sentakan sinkron
 Terjadi sentakan bilateral
 Terjadi gangguan metabolik (defisit neurologis)
 Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan)
 Terjadi pada waktu tidur
 Berlangsung Sekitar 7-8 menit
 Terjadi pada usia 4-6 tahun
2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Tentukan tipe bangkitan
2. Tentukan tipe epilepsi
3. Tentukan sindrom epilepsi

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai


berikut:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
 Sebelum bangkitan/gejala prodromal
 Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
 Selama bangkitan/ iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
 Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,
gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta
menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
 Waktu terjadi bangkitan : saat tidur, saat terjaga, bermain video game,
berkemih, dan lain- lain.
 Pasca bangkitan/ post- iktal: Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Faktor lain : usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang
demam.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


a. Pemeriksaan umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
 Trauma kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan kongenital
 Kecanduan alkohol atau napza
 Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan.

b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti : paresis Todd, gangguan
kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi ( EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk :
 Membantu menunjang diagnosis
 Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sintrom epilepsi.
 Membatu menentukan prognosis
 Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
 Membantu menentukan penghentian OAE
 Pemeriksaan pencitraan otak
 CT scan kepala pada kasus kejang pertama kali usia dewasa, lebih
ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan.
 MRI (minimal 1,5 Tesla)
 Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
 Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
 Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
 USG Doppler (pada neonatus)

b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium),
kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.

c. Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan
belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk
memonitor kepatuhan pasien.
2.8 Diagnosis Banding
1. Pada Anak
a. Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral global
transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal.
b. Breath holding spells
Kadang disebut menangis biru adalah reflek yang tidak disengaja yang dilakukan
anak-anak. Meskipun terlihat mengkhawatirkan, BHS tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan risiko kesehatan yang serius. BHS biasanya berlangsung kurang
dari satu menit sebelum anak mulai bernapas dengan normal lagi.
c. Migren
Sakit kepala dalam berbagai intensitas, sering disertai mual dan kepekaan
terhadap cahaya dan suara. Migrain terkadang didahului oleh gejala-gejala
peringatan. Pemicunya termasuk perubahan hormonal, makanan dan minuman
tertentu, stres, dan olahraga. Sakit kepala migrain dapat menyebabkan sakit yang
berdenyut di satu wilayah tertentu yang intensitasnya dapat bervariasi. Mual dan
kepekaan terhadap cahaya serta suara juga merupakan gejala umum.
d. Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala atau
sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular
ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi
akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada
visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam).

2. Pada Dewasa
a. Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral global
transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke
sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan
terapi listrik atau kimia untuk kembali normal.
b. Serangan iskemik sepintas
Gangguan neurolgis fokal atau saraf pusat yang timbul secara mendadak dan
menghilang beberapa menit sampai beberapa jam. Stroke ini bersifat sementara,
namun jika tidak ditanggulangi akan berakibat pada serangan yang lebih fatal.
c. Serangan psikogenik
Gejala yang dapat membedakannya dari epilepsi adalah durasi yang lama, tidak
pernah terjadi waktu tidur, perjalanan penyakit yang berfluktuasi, gerakan
asinkron, gerakan pelvis, gerakan kepala ke kiri dan kanan, menutup mata saat
serangan, menangis saat serangan, ingat dan mengetahui apa yang terjadi saat
serangan, dan tidak adanya gejala bingung pasca serangan. Serangan hampir
selalu terjadi bila ada orang lain di sekitarnya. Serangan non-epileptik psikogenik
sering disertai berbagai gangguan psikiatrik.
d. Serangan panik
Gangguan panik adalah kondisi yang tergolong ke dalam gangguan kecemasan
yang ditandai dengan terjadinya serangan panik secara tiba-tiba, kapan dan di
mana saja, serta dialami berulang-ulang.
e. Vertigo
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan kumpulan gejala atau
sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular
ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi
akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada
visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam).
f. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di bawah
normal. Umumnya, seseorang dianggap mengalami hipoglikemia saat kadar gula
darahnya kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut
pada pengidap diabetes dan umumnya berkaitan dengan penggunaan obat dari
golongan sulfonilurea (glibenclamide, gliklazida, glimepiride, glipizide, dan
tolbutamide) atau insulin.
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin.
Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan
menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.

1. Tatalaksana saat kejang


Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dan mengakhiri kejang sesegera mungkin. Yang pertama dapat diberikan saat kejang
adalah diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan 10kg. Jika masih
kejang dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat dan sama.
Jika setelah pemberian 2 kali diazepam, namun masih tetap kejang sesegera mungkin
di bawa ke rumah sakit.
2. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan
yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan
mengurangi risiko intoleransi obat Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien
epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul
dibandingkan politerapi.

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua


Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate

Absans atipikal, Valproate Acetazolamide


Atonik, Tonik Clonazepam
Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Phenobarbitone
Piracetam

3. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan kualitas
hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila
kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE
yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa
menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi
dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa
mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya.

4. Status epileptikus
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya
dilakukan dua tahap tindakan:
a. Stabilitas penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang
adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi.
Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang
umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus
diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.

b. Menghentikan kejang
 Status epileptikus konvulsif
Stadium Penatalaksanaan

Stadium I ( 0 – 10 - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi


menit )
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu

Stadium II ( 10 – 60 - Pemeriksaan status neurologic


menit )
- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu

- Monitor status metabolic, AGD dan status


hematologi

- Pemeriksaan EKG

- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan


NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai
jalur infus

- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan


laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati,
kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap
hematologi, waktu pembekuan dan kadar OAE),
pemeriksaan lain sesuai klinis

- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg


dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat
diulang bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit

- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan


hipoglikemia

- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien


alkoholisme Menangani asidosis dengan bikarbonat

Stadium III ( 0 – 60 - Menentukan etiologi


/90 menit )
- Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian
lorazepam / diazepam, beri phenytoin iv 15 – 20
mg/kg dengan kecepatan < 50 mg/menit. (monitor
tekanan darah dan EKG pada saat pemberian) Atau
dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg dengan
kecepatan < 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat
pemberian)

- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila


diperlukan Mengoreksi komplikasi

Stadium IV( 30/90 Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit,
menit ) pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB
bolus iv, diulang bila perlu) atau Thiopenton (100-250
mg bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan
dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau
bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan
 Status epileptikus non konvulsif

Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain


SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV

SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam/ Fenintoin/


Fenobarbital IV

SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin, Lamotrigin,


Topiramat, Metilfenidat,
Steroid Oral
SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid
SE Non-konvulsif Fenitoin IV atau Anastesi dengan tiopenton,
pada pasien koma Fenobarbital Penobarbital,Propofol atau
Midazolam.

Kombinasi OAE Indikasi


Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks
Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Pada Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah
3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien.
Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat
umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah OAE
dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
 Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
 Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
 Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangkat waktu 3-6 bulan
 Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:
 Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
 Epilepsi simtomatis
 Gambaran EEG yang abnormal
 Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
 Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25%
pada epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatis, 85- 95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan
JME.
 Penggunaan lebih dari satu OAE.
 Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih
kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau
lebih dari lima tahun)
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.
Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila:
 Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
 Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
 Berencana untuk hamil
 Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.
Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua
OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik sebagai monoterapi atau
kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan. Sekitar 25-30% penyandang akan
berkembang menjadi epilepsi resisten OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup
hal-hal sebagai berikut:
 Kombinasi OAE
 Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)
 Terapi bedah
 Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.

2.10 Komplikasi
 Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya.
Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf
otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.
 Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung
(hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun
terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin,
namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan
berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila
tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat
terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar
darah-otak.

2.11 Pencegahan
Diperkirakan 25% kasus epilepsi dapat dicegah:
 Mencegah cedera kepala adalah cara paling efektif untuk mencegah epilepsi
pasca trauma.
 Perawatan perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus baru epilepsi yang
disebabkan oleh cedera lahir.
 Penggunaan obat-obatan dan cara lain untuk menurunkan suhu tubuh anak
yang demam dapat mengurangi kemungkinan kejang demam.
 Pencegahan epilepsi yang berhubungan dengan stroke difokuskan pada
pengurangan faktor risiko kardiovaskular, misalnya tindakan untuk mencegah
atau mengontrol tekanan darah tinggi, diabetes dan obesitas, dan menghindari
tembakau dan penggunaan alkohol yang berlebihan.
 Infeksi sistem saraf pusat adalah penyebab umum epilepsi di daerah tropis, di
mana banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah terkonsentrasi.
Penghapusan parasit di lingkungan ini dan pendidikan tentang cara
menghindari infeksi dapat menjadi cara efektif untuk mengurangi epilepsi di
seluruh dunia, misalnya kasus-kasus akibat neurocysticercosis.

2.12 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai dan keteraturan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsi cukup baik. 50 – 70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-
obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu dapat dapat berhenti minum obat. Serangan
epilepsi primer, baik yang bersifat lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis
baik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
Pada epilepsi dengan tipe bangkitan mioklonik, prognosisnya sangat buruk jika disebabkan
oleh anoksia.
Prognosis epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak
mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%
penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi
pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih
sering terjadi.
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun juga merupakan faktor
yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada
faktor yang sama dengan remisi kejang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Commission on Classification and Therminology of the International League Against


Epilepsy.1981. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia.22(4):489-501
2. Commission on Classification and Therminology of the International League Against
Epilepsy.1989. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia.30(4):389-399
3. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J, Pedley
TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Voln one. Lippincott Williams &
Wilkins. USA; 2008; 767-772.
4. Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International
Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
5. Gunn R, Stapley HB. Epilepsy 2017. A Practical Guide to Epilepsy: ILAE. 2017.
6. Harsono.2007. Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
7. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology of
epilepsi in urban areas of people‘s republic of China. Epilepsia 1985; 26(5): 391-4.
8. Mac TL, Tran DC, Quet F, Odermatt P, Peux PM, Tan CT. Epidemiolog, aetology,
and clinical management of epilepsi in Asia: A systematic review. Lancet Neurology
2007; 6: 533-43.
9. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. 2016.Epilepsi pada anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 1:5-6
10. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management. Blandom
Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.
11. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 5th ed. Kusumastuti K, Gunadharma
S, Kustiowati E, editors. Airlangga University Press. 2014. 1-96 p.
12. PERDOSSI. 2019. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdosi;13-19
13. Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia. 2014. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi.
Airlangga University Press. Ed. 5.
14. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2013 .Penegakan Diagnosis Pada
Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI
15. Rafia. MH, Bee. EG. 2010. Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy.
Consultant Neurologist & Head. Division of Neurology. Hospital Kuala Lumpur
16. Rohkamm R. dan Guther S.M., 2004. Epilepsy: Pathogenesis and Treatment. Color
Atlas of Neurology. Germany: Georg Thieme Verlag & New York: Thieme New
York. pp: 198-199
17. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at: http://
www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/.
18. World Health Organization (WHO). 2019. Epilepsy Fact Sheet. Tersedia dari:
https://www.who.int/news-room /fact-sheets/detail/epilepsy

Anda mungkin juga menyukai