Anda di halaman 1dari 102

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Statistik

a. Tabel Hasil Normalitas Data


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Te st

Kontrol Formula_I Formula_II Formula_III


N 18 18 18 18
Normal Parametersa,b Mean 12,33 15,83 16,94 18,83
Std. Deviation 1,085 1,150 ,998 1,043
Most Extreme Absolute ,176 ,210 ,244 ,202
Differences Positive ,176 ,210 ,217 ,177
Negative -,175 -,178 -,244 -,202
Kolmogorov-Smirnov Z ,748 ,891 1,034 ,855
As ymp. Sig. (2-tailed) ,631 ,405 ,235 ,457
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

b. Tabel Hasil Homogenitas Data

Test of Homogeneity of Variances


Perlakuan
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
,068 3 14 ,976

c. Tabel Hasil One Way Anova

ANOV A
Perlak uan
Sum of
Squares df Mean S quare F Sig.
Between Groups 18,233 3 6,078 19,943 ,000
W ithin Groups 4,267 14 ,305
Total 22,500 17

76
d. Tabel Hasil BNT (Beda Nyata Terkecil)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Jumlah Nyamuk Tidak Hinggap Selama 60 Menit

Mean 95% Confidence


Difference Interval
(I-J) Std. Lower Upper
(I) Perlakuan (II) Perlakuan Error Sig. Bound Bound
Konsentrasi Konsentrasi
(0%) (5%) -,800* ,349 ,038 -1,55 -,05
Konsentrasi
(7,5%) -2,000* ,350 ,000 -2,75 -1,25
Konsentrasi
(10%) -2,733* ,403 ,000 -3,60 -1,87
Konsentrasi Konsentrasi
(5%) (0%) ,800* ,349 ,038 ,05 1,55
Konsentrasi
(7,5%) -1,200* ,350 ,004 -1,95 -,45
Konsentrasi
(10%) -1,933* ,403 ,000 -2,80 -1,07
Konsentrasi Konsentrasi
(7,5%) (0%) 2,000* ,349 ,000 1,25 2,75
Konsentrasi
(5%) 1,200* ,350 ,004 ,45 1,95
Konsentrasi
(10%) -,733 ,403 ,090 -1,60 ,13
Konsentrasi Konsentrasi
(10%) (0%) 2,733* ,403 ,000 1,87 3,60
Konsentrasi
(5%) 1,933* ,403 ,000 1,07 2,80
Konsentrasi
(7,5%) ,733 ,403 ,090 -,13 1,60
*. The mean diffrence is significant at .05 level

77
Lampiran 2. Hasil Uji Metabolit Sekunder

78
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

A. Perajangan Daun Kecombrang

79
B. Pembuatan Ekstrak Daun Kecombrang

80
C. Pembudidayaan Nyamuk Aedes Aegypti

81
D. Pembuatan Sabun Ektrak Daun Kecombrang

82
83
E. Percobaan

84
DAFTAR PUSTAKA

Adityo, R. H. P. P., Kurniawan, B., dan Mustofa, S. 2013. Uji Efek Fraksi
Metanol Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai
Larvasida Terhadap Larva Instar IIIAedes aegypti. Universitas
Lampung. Lampung.
Akinyemi K. O., Mendie V. E., Smith S. T., Oyefolu A.O. Coker A.O. 2005.
Screening of Some Medicinal Plants Used in Southwest Nigerian
Traditional Medicine for Anti-Salmonella typhi activity. J. Herbal
Pharmacother. 5 (1): 45-60.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Bahaya DEET
Pada Insect Repellent? http://ik.pom.go.id/wp-
content/uploads/2011/11/BahayaDEETpadaInsect.pdf. Diakses 28
Agustus 2016.
Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I. (2001). Handbook of Cosmetic Science
and Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Halaman 485-486.
Chan E.W.C.; Lim Y.Y; Ling S.K., Tan S.P.; Lim K.K. Khoo, M.G.H. 2009.
Caffeoylquinic acids from leaves of Etlingera species
(Zingiberaceae) dalam Jurnal LWT - Food Science and Technology 42
(2009) 1026–1030
Choi, J., Hwang, E., So, H.Y., Kim, B. 2002. International Vocabulary of Basic
And General Terms in Metrology.
Darwis, 2010. Efektifitas Ekstrak Daun Rosemary (Rosmarinus officianalis)
Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.
Darwis SN, Majdo Indo dan Siti Hasiyah, 1991. Tumbuhan Obat Famili
Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Depkes Prov Sumut. 2013. Narasi Profil Kesehatan 2013. Diunduh : 28 Agustus
2016dari URL.
Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Dirjen PP& PL. Jakarta
Depkes RI, Ditjen PP & PL. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela
Epidemiologi. Volume 2, Agustus 2010. Jakarta.
Depkes RI, 2007. Inside ( inspirasi dan ide) litbangkes p2b2 Volume II :
Aedes aegypti vampir mini yang mematikan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Depkes. RI. 2013. Buku Saku Dokter. Demam Berdarah Dengue. Diunduh : 28
Agustus 2016. Dari URL
____________., 2013. Indonesia Prakarsai Pengendalian DBD di ASEAN. .
Diunduh : 28 Agustus 2016dari URL.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.


Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 1, 5, 10-11.
Dinata, A. 2003. Mengatasi DBD Dengan Kulit Jengkol. Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret.

72
Djakaria S, 2004. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran edisi ke-
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 343.
Djatmiko, M., Anas, Y., dan Handayani, Sri M. 2011. Uji Aktivitas Repellent
Fraksi N-Heksan Ekstrak Etanolik Daun Mimba (Azadirachta
Indica.A. Juss) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Universitas Wahis
Hasyim. Semarang.
Djojosumarto, P. 2004. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Djunaedi, Djoni. 2006. Demam Berdarah: Epidemiologi, Imnopatologi,
Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaanya. Penerbit Universitas
Muhammadiyah. Malang

EPA, 2007. The Insect Repellent DEET.


http://www.epa.gov/pesticides/factsheets/chemicals/deet.htm.
Diakses 28 Agustus 2016.
____. 2010. Product Performance Test Guiedelines. OPPTS 810. 3700: Insect
Repellents to be Applied to Human Skin.
http://www.regulations.gov/contentStreamer?objectId=0900006480b1f
1d0&disposition=atta hment&contentType=pdf. Diakses 28 Agustus
2016
Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S. (1986). Organic Chemistry. Third Edition.
Penerjemah: Pudjaatmaka, A.H. (1982). Kimia Organik. Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga. Halaman: 407, 409-411.
Flint M.R. dan Bosch, 1990. Pengandilian Hama Terpadu. Kanisius,
Yogyakarta.
Gandahusada, S, Ilahude H.D, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran: Edisi
Ketiga. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Harborne, J.B.1987. Metode Fitokimia “Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan”. Terbitan Kedua. Penerbit ITB Press. Bandung
Hartini, S., dan Puspitaningtyar D.M, 2005. Flora Sumatera Utara Eksotik dan
Berpotensi. Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor-LIPI.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Yayasan Sarana
Wana Jaya. Jakarta. Hal. 586-587.
Hoedojo R dan Zulhasril, 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Jaafar, F.M., Osman, C.P., Ismail, N.H., and Awang, K. (2007).Analysis of
Essential Oils of Leaves, Stems, Flowers and Rhizomes of
Etlingeraelatior (Jack) R.M. Smith.The Malaysian Journal of
Analytical Sciences, Vol 11, No 1 (2007): 269-273
Kardinan. 2007. Potensi Selasih Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Aedes
aegypti. Jurnal Littri. Jakarta.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan Kosasih
Padmawinata. Penerbit ITB Press . Bandung

73
Naufalin, R. 2005. Kajian sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang
(Nicolaia speciosa Horan) terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan
Perusak Pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Naria, Evi. 2005. Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga. Info Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara Volume IX, Nomor 1, Juni 2005. Medan.

Nurhayati, Siti. 2005. Prospek Pemanfaatan Radiasi Dalam Pengendalian


Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue. Buletin Alara, Volume 7
Nomor 1. Hal 17-23.
Nweze E. I., Okafor J. I. and Njoku O. 2004. Antimicrobial Activities of
Methanolic Extracts of Trema guineensus (Schunm and Thorn)
Morinda lucida (Benth) used in Nigeria, Bio-res. 2(1): 39-46.
POM. 2010. Bahaya Deet pada Insect. http://ik.pom.go.id/wp
content/uploads/2011/11/BahayaDEETpadaInsect.pdf. Diakses 28
Agustus 2016.
Pelezar, M.J., dan Chan, E.C.S. (1976). Elements of Microbiology. Penerjemah:
Hadioetomo, R.S., Imas, T., Tjitrosomo, S.S., dan Angka, S.L. (1988).
Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman
496.
Resta Renaninggalih., Kiki Mulkiya Y. M.Si., Apt., dan Esti R. Sadiyah, M.Si. 2014.
KARAKTERISASI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS PENOLAK NYAMUK
MINYAK ATSIRI DAUN KECOMBRANG (ETLINGERA ELATIOR (JACK) R.
M. SMITH), Program Studi Farmasi FMIPA UNISBA. Bandung
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Keempat.
Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB Press. Bandung
Rosnani Nasution dan Mustanir. 2008. Antiobesitas dari family Moraceae,
Prosiding. Universitas Syiahkuala. Banda Aceh.
Sembel, D.T. 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Siregar, F.A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sianipar, M.A. 2010. Kemampuan Ekstrak Daun Zodia (Evodia suoveolens)
Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Aedes aegypti berdasarkan
Lama Penggunaan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Slamet, J.S. 2009. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sudarmaja IM dan Mardihusodo SJ, 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk
Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Vol.
10 ( 4): 205-207.

74
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Airlangga
University Press. Surabaya.
Soedarto. 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Soedarmo, Sumarmo. 1988. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. UI Press.
Jakarta.

Suharmiati dan Lestari. 2007. Tanaman Obat dan Ramuan Tradisional Untuk
Mengatasi Demem Berdarah Dengue. PT AgroMedia Pustaka.
Jakarta.
Syamsuhidayat, Sri S., dan Hutapea, J. R., 1990. Inventaris Tanaman Obat
Indonesia (1). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Jakarta.
Wahyuni, Sri. 2005. Daya Bunuh Ekstrak Serai (Andropogen nardus) terhadap
Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi, Universitas Negeri Semarang Jurusan
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan. Semarang.
WHO. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah
Dengue: Panduan Lengkap. EGC. Jakarta.

75
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen murni yaitu untuk mengetahui

konsentrasi yang tepat dari ekstrak minyak atsiri daun kecombrang yang efektif

sebagai bahan penolak nyamuk Aedes aegypti dengan cara penyabunan.

Penelitian ini disebut eksperimen murni karena pada penelitian ini

memungkinkan peneliti untuk menyelidiki kemungkinan sebab akibat pada satu

atau lebih kelompok pengamatan terhadap perlakuan dan membandingkan

hasilnya terhadap kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan

(Sumadi,2012). Efek perlakuan diketahui dengan membandingkan perbedaan

perubahan yang terjadi antara kelompok yang diberi perlakuan (kelompok

eksperimental) dengan kelompok lain yang tidak diberi perlakuan (kelompok

kontrol) (Pratiknya, 2003).

3.1.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan percobaan dilakukan dengan 4 macam

konsentrasi yaitu 0% (sebagai kontrol), 5%,7,5 %, 10% dan dilakukan sebanyak 3

kali pengulangan.

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

44
1. Uji ekstrak daun kecombrang : Lab. Kimia Organik Bahan

Alam FMIPA USU

45
46

2. Pengembangbiakan nyamuk Aedes aegepty : Lab. Kesehatan

Lingkungan FKM USU

3. Pembuatan dan pengujian sabun : Lab. Kesehatan

Lingkungan FKM USU

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – November tahun 2016.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang diambil dari

gelas pemeliharaan dan kemudian dimasukkan ke dalam kotak perlakuan masing

– masing 20 ekor nyamuk. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali pada subjek

penelitian yaitu dengan menggunakan kelinci sebanyak 12 ekor yang telah

dicukur bulunya. Jumlah nyamuk yang menjadi objek penelitian ini sebanyak 240

ekor nyamuk dewasa.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil percobaan yang dilakukan.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal serta

literatur-literatur yang mendukung sebagai bahan kepustakaan.

3.5 Alat dan Bahan Penelitian

3.5.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah


47

1. Alat maserasi

2. Kotak perlakuan

3. Pisau

4. Wadah

5. Erlenmeyer

6. Beaker Glass

7. Neraca analitik

8. Gelas ukur

9. Termometer

10. Penciduk Jentik

11. Tempat pemeliharaan jentik

12. Kertas sarung

13. Jam untuk mengukur waktu

14. Cetakan sabun

15. Masker

16. Sarung tangan

17. Gunting

18. Pencukur

3.5.2 Bahan Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Daun Kecombrang

2. Jentik nyamuk Aedes aegypti


48

3. Nyamuk Aedes aegypti dewasa

4. Air madu

5. N-Heksan

6. Minyak zaitun

7. NaOH

8. Akuades

9. Kelinci

3.6 Prosedur Kerja Penelitian

3.6.1 Prosedur Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes aegypti

Untuk mendapatkan nyamuk Aedes aegypti dewasa dilakukan dengan

memelihara larva nyamuk yang diperoleh dari tempat perindukan nyamuk Aedes

aegypti di tempat penampungan yang berisi air dan tidak berhubungan langsung

dengan tanah. Pemeliharaannya diperoleh dengan cara berikut:

1. Masukkan larva ke dalam gelas plastik masing – masing 20 larva dan

tutup atasnya dengan kain kasa dan diikat dengan karet gelang.

2. Atur suhu dan kelembaban yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk

selama pemeliharaan

3. Amati tiap-tiap gelas. Bila larva telah berubah menjadi nyamuk dewasa,

nyamuk segera dipindahkan ke dalam kotak perlakuan dan kemudian

diberikan air madu untuk makanannya.

3.6.2 Pembuatan Ekstrak Daun Kecombrang

3.6.2.1 Penyediaan Bahan Tumbuhan


49

Penyediaan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan dan

pengolahan tumbuhan.

1. Pengambilan Bahan Tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun kecombrang yang diambil

dari Pajak Sore.

2. Pengolahan Tumbuhan

Daun kecombrang dikumpulkan, dicuci bersih, kemudian ditiriskan,

kemudian setelah itu ditimbang berat seluruhnya sebagai berat basah.

Bahan ini kemudian dirajang.

3.6.2.2 Pembuatan Ekstrak

1. Daun kecombrang yang sudah dibersihkan (simplisia) kemudian di rajang

menjadi bentuk serbuk.

2. 2000 gr serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana dan

direndam dengan 4 liter pelarut N-Heksan.

3. Serbuk simplisia dimaserasikan selama 5 hari.

4. Setelah terjadi perubahan warna dengan menggunakan larutan N-

Heksan, maka larutan tersebut disaring agar terpisah antara cairan dan

padatan dengan menggunakan kertas saring.

5. Untuk mendapatkan ektrak pekat, maka larutan didestilasi.

3.6.3 Cara Pembuatan Sabun


50

3.6.3.1 Rancangan Formulasi Sabun

Dibuat 3 rancangan formulasi sabun dengan menggunakan konsentrasi

ektrak daun kecombrang yang berbeda yaitu: 5%, 7,5%, dan 10%

Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Sabun Padat

No Bahan Satuan K (-) F I F II F III

1 Minyak Zaitun ml 37,5 33,75 31,875 30

2 Larutan NaOH ml 37,5 37,5 37,5 37,5

3 Ekstrak ml 0 3,75 5,625 7,5

Kecombrang

Total 75 75 75 75

Keterangan :

FI : Formula I sediaan sabun padat ektrak daun kecombrang 5%

F II : Formula II sediaan sabun padat ektrak daun kecombrang 7,5%

F III : Formula III sediaan sabun padat ektrak daun kecombrang 10%

K (-) : Kontrol negatif sediaan sabun padat tanpa ektrak daun kecombrang

3.6.3.2 Cara Pembuatan Sabun

1. Membuat larutan NaOH dengan normalitas 0,1.

Untuk mendapat normalitas 0,1, maka NaOH dan akuades yang dibutuhkan

dapat dihitung dengan cara :

N : Gram Volume
×
51

Massa Relatif 1000

0,1 : Gram × 500


40 1000
Gram : 8 gram
Maka, dibutuhkan sebanyak 8 gram NaOH dalam 500 ml akuades

1. Minyak zaitun dipanaskan sampai suhu 60 – 70 °C

2. Larutan NaOH dimasukkan ke dalam minyak zaitun, diaduk hingga larutan

menjadi homogen

3. Kemudian adonan dinginkan sampai pada suhu 40-45°C

4. Ekstrak daun kecombrang dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk

perlahan-lahan hingga tercampur homogen

5. Lakukan pengadukan sampai adonan mengental membentuk biang sabun

6. Kemudian adonan dituang kedalam cetakan pada suhu kamar selama 24 jam

agar sabun menjadi padat dengan baik.

3.6.4 Cara Pembuatan Kotak Pengamatan

Kotak pengamatan dengan ukuran 36 cm x 24 cm x 20 cm (p x l x t). Tiap

sisi kotak ditutup dengan kain kasa (kasa nyamuk).

3.7 Prosedur Percobaan

Sebelum melakukan percobaan, terlebih dahulu dipersiapkan seluruh

peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan. Air madu dimasukkan ke dalam

kotak pengamatan untuk bahan makanan nyamuk. Pada sebelum dan saat
52

melakukan percobaan dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban, kemudian

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Nyamuk dewasa diambil sebanyak 240 ekor dan dimasukkan ke dalam kotak

pengamatan masing-masing sebanyak 20 ekor dan diberi tanda yaitu pada

ulangan pertama A1, B1, C1, D1. Ulangan kedua dengan tanda A2, B2, C,2

D2. Ulangan ketiga dengan tanda A3, B3, C3, D3.

2. Lakukan pencukuran pada punggung semua subjek penelitian yaitu kelinci.

3. Mandikan semua subjek penelitian dengan menggunakan air sebanyak 150

ml dan sabuni subjek penelitian dengan sabun ektrak kecombrang sesuai

dengan konsentrasi yang telah ditentukan.

4. Masukkan 4 ekor subjek penelitian pertama pada kotak pengamatan

pertama.

5. Masukkan 4 ekor subjek penelitian kedua pada kotak pengamatan kedua.

6. Masukkan 4 ekor subjek penelitian ketiga pada kotak pengamatan ketiga.

7. Lakukan pengamatan selama 10 menit sebanyak 6 kali. Jadi pengamatan

dilakukan selama 60 menit.

8. Pada saat melakukan percobaan, dilakukan pengukuran suhu dan

kelembaban udara.

9. Tabulasi data yang didapat kemudian dianalisa sesuai dengan metode

statistik yang digunakan.


53

3.8 Defenisi Operasional

No Istilah Pengertian
1 Ekstrak Daun Kecombrang Sediaan cair daun kecombrang yang

dibuat dengan menyari daun

kecombrang dengan metode maserasi.

Ekstrak daun kecombrang kemudian

digunakan sebagai bahan untuk

membuat sabun penolak nyamuk Aedes

aegypti.

2 Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Jumlah nyamuk Aedes aegypti yang tidak

yang tidak hinggap hinggap akibat perlakuan penyabunan

pada subjek penelitian hasil ekstrak

daun kecombrang pada beberapa

konsentrasi selama penelitian.

3 Sabun ekstrak daun kecombrang Sabun yang mengandung ektrak daun


54

kecombrang yang digunakan sebagai

repellent nyamuk Aedes aegypti

Tabel 3.2 Defenisi Operasional

3.9 Analisa Data

Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan

program statistik komputer dengan menggunakan uji statistik, jika data

terdistribusi normal yaitu Anova Satu Arah (One Way Anova), dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata hinggapnya nyamuk Aedes

aegypti pada berbagai konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang pada tingkat

kepercayaan 95%. Apabila hasil uji tidak terdistribusi normal, maka dilanjutkan

dengan uji non parametrik (uji kruskal-wallis).


55

3.10 Kerangka Kerja

Pembuatan Sabun Kecombrang

Penimbangan bahan Sortasi,


pencucian,perajangan,
dan penimbangan
Pencampuran bahan

Diekstraksi dengan
Dimixer metode dingin

Filtrasi

Diuapkan

Mencapai trace daun kecombrang

Pendiaman selama 24 jam

Sabun ektrak daun Penyiapan hewan


kecombrang uji
56
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Pengaruh Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)


sebagai Repellent Nyamuk Aedes aegepty

Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya pengaruh sabun sebagai

repellent nyamuk Aedes aegepty yang terbuat dari ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior). Konsentrasi yang diberikan sebagai perlakuan pada penelitian

adalah 0% (sebagai kontrol), 5%, 7,5% dan 10% dengan 3 kali pengulangan.

Ekstrak diujikan kepada nyamuk dewasa yang telah dimasukkan ke dalam kotak

Ulangan sebanyak 20 ekor dengan cara memandikan kelinci dengan sabun ektrak

daun kecombrang dalam konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10% serta memandikan

kelinci dengan menggunkan konsentrasi 0%. Jumlah nyamuk yang tidak hinggap

dihitung setiap 10 menit selama 60 menit.

Hasil pengamatan pada konsentrasi 0%, 5%, 7,5% dan 10% dapat dilihat

pada tabel di bwah ini:

Tabel 4.1 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Konsentrasi 0%


Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Nyamuk Waktu (menit) Rata- Persentase


Ulangan
(ekor) rata (%)
10 20 30 40 50 60
I 20 13 13 12 11 11 11 11,8 59%
II 20 14 14 13 12 11 11 12,5 63%
III 20 14 13 13 12 12 12 12,7 63%
∑ Total Rata-rara 12,3

57
58

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata nyamuk yang tidak hinggap pada

konsentrasi 0% dalam setiap pengulangan selama 60 menit sebanyak 12 ekor

nyamuk.

Tabel 4.2 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Konsentrasi 5%


Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Nyamuk Waktu (menit) Rata- Persentas


Ulangan
(ekor) rata e (%)
10 20 30 40 50 60
I 20 17 17 16 15 15 14 15,7 78%
II 20 18 17 16 16 15 14 16,0 80%
III 20 17 17 16 15 15 15 15,8 79%
∑ Total Rata-rara 15,8
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata nyamuk yang tidak hinggap pada

konsentrasi 5% dalam setiap pengulangan selama 60 menit sebanyak 15-16 ekor

nyamuk.

Tabel 4.3 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Konsentrasi 7,5%
Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Nyamuk Waktu (menit) Rata- Persent


Ulangan
(ekor) rata ase (%)
10 20 30 40 50 60
I 20 18 18 18 17 16 16 17,2 86%
II 20 18 18 17 16 16 15 16,7 83%
III 20 18 18 17 17 16 16 17,0 85%
∑ Total Rata-rara 16,9
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata nyamuk yang tidak hinggap pada

konsentrasi 7,5% dalam setiap pengulangan selama 60 menit sebanyak 16-17

ekor nyamuk.

58
59

Tabel 4.4 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Konsentrasi 10%
Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)
Pers
Nyamuk Waktu (menit) Rata- entas
Ulangan
(ekor) rata e
10 20 30 40 50 60 (%)
I 20 20 20 19 18 18 18 18,8 94%
II 20 20 20 19 19 18 17 18,8 94%
III 20 20 20 19 19 18 17 18,8 94%
∑ Total Rata-rara 18,8
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rata-rata nyamuk yang tidak hinggap pada

konsentrasi 10% dalam setiap pengulangan selama 60 menit sebanyak 18-19 ekor

nyamuk.

4.2 Daya Proteksi Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Daya proteksi sabun sebagai repellen dapat dihitung dengan menggunakan

rumus

∑ Nyamuk yang HinggapPada Kontrol - ∑ Nyamuk yang

Hinggap pada Ulangan


* 100%
∑ Nyamuk yang HinggapPada Kontrol

Hasil perhitungan daya proteksi pada konsentrasi 5%, 7,5% dan 10% dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Daya Proteksi (%) Daun Kecombrang


(Etlingera elatior) terhadap nyamuk Aedes Aegepty
Hasil Rata-rata Nyamuk
Konsentrasi Daya Proteksi (%)
Yang Hinggap
5% 4,2 45
7,5% 3,1 60
10% 1,2 84
Berdasarkan tabel 4.5 hasil perhitungan rata-rata daya proteksi sabun

ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) terhadap nyamuk Aedes aegepty

59
60

untuk konsentrasi 5% sebesar 45%; konsentrasi 7,5% sebesar 60%, konsentrasi

10% sebesar 84%.

Daya proteksi terbesar dari semua konsentrasi terdapat pada kosentrasi

10%, karena mampu menolak keberadaan nyamuk dari kelinci selama 60 menit

Ulangan sebesar 84%.

Daya Proteksi (%)


90
84
80
70
60 60
50
45
40 Daya Proteksi (%)
30
20
10
0 0
5% 7,5% 10%

Gambar 4.1 Grafik Persentase Daya Proteksi Sabun Terhadap Nyamuk


Aedes Aegepty Selama 60 Menit

4.3 Analisis Statistik

Hasil penelitian kemudian dianalisis menggunakan uji Anova One Way.

Data yang ada terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitas variannya, dan

didapatkan p-value untuk hasil uji normalitas data > 0,05 yang artinya data

berdistribusi normal, sedangkan untuk uji homogenitas juga didapatkan p-value >

0,05 yang artinya varians bersifat homogen. Data penelitian yang diperoleh

60
61

berdistribusi normal dan memliki varians yang homogen, maka dari itu sudah

memenuhi syarat untuk dilanjutkan dianalisis menggunakan uji Anova One Way.

4.3.1 Hasil Uji Anova One Way

Uji Anova Satu Arah (One Way Anova) dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya perbedaan rata-rata tidak hinggap Nyamuk Aedes aegypti pada berbagai

konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).

Tabel 4.6 Hasil Uji Anova Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti Tidak
Hinggap dengan Berbagai Konsentrasi Sabun Ekstrak Daun
Kecombrang (Etlingera elatior)

Kuadrat
Jumlah
Jumlah Derajat Tengah
Nyamuk P
Kuadrat Bebas (df) (Mean
Tidak
Square)
Hinggap
Perlakuan 18,233 3 6,078 0,001
Selama 60
Galat 4,267 14 0,305
Menit
Total 22,500 17
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai p (0,001) < 0,05 pada perlakuan

artinya H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan rata-rata yang

bermakna antara tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti dengan berbagai

konsentrasi penyabunan dari ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).

4.3.2 Hasil Uji BNT (Beda Nyata Terkecil)

Uji BNT atau LSD (Least Significant Difference) merupakan salah satu

teknik uji beda rerata yang digunakan untuk melihat perbandingan rata-rata

pasangan konsentrasi yang berbeda secara signifikan. Uji BNT sangat baik

digunakan jika besar nilai KK (Koefisien Keragaman) yang diperoleh sedang

yaitu berkisar antara 5-10% pada percobaan yang dilakukan pada kondisi

homogen (Hanafiah, 2008). Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

61
62

Tabel 4.7 Hasil Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) Rata-rata Nyamuk Aedes
aegypti Tidak Hinggap dengan Berbagai Konsentrasi Sabun
Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Konsentrasi Sabun
Beda Rerata (I-J) P
Konsentrasi (I) Konsentrasi (J)
Konsentrasi (0%) Konsentrasi (5%) -800 0,038*
Konsentrasi (7,5%) -2,000 0,000*
Konsentrasi (10%) -2,733 0,000*
Konsentrasi (5%) Konsentrasi (7,5%) -1,200 0,004*
Konsentrasi (10%) -1,933 0,000*
Konsentrasi (7,5%) Konsentrasi (10%) -0,733 0,090
Keterangan : Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)

Tabel 4.7 menunjukkan beberapa pasangan konsentrasi memiliki p-value < 0,05,

maka H0 ditolak yang berarti ada perbedaan nyata tidak hinggapnya nyamuk

terhadap masing-masing konsentrasi sabun ekstrak kecombrang (Etlingera

elatior), sedangkan pada pasangan konsentrasi sabun 7,5% dan 10 % memiliki

nilai p-value > 0,05, maka H0 diterima yang berarti tidak ada perbedaan nyata

tidak hinggapnya nyamuk terhadap pasangan konsentrasi sabun 7,5% dan 10 %

ekstrak kecombrang (Etlingera elatior) terhadap nyamuk aedes aegypti.

4.4 Hasil Uji Metabolit Sekunder Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera


elatior)

Hasil uji metaabolit sekunder tumbuhan dari ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

62
63

Tabel 4.8 Hasil Uji Metabolit Sekunder Ekstrak Daun Kecombrang


(Etlingera elatior)

Metabolit Sekunder Pereaksi Hasil


Flavonoid FeCl3
++++
Tanin FeCl3
Terpenoid / Steroida Cariksulfat TLC ++
Bouchardat -
Wagner -
Alkaloid
Meyer -
Dragendrof -
Saponin H20 +++
Berdasarkan hasil uji metabolit sekunder dari ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) dihasilkan kandungan Flavonoid dan Tanin pekat yaitu dengan

kandungan positif 4. Sedangkan kandungan Saponin yang dihasilkan sebanyak

positif 3, serta kandungan Terpenoid atau Steroida sebanyak positf 2.

4.5 Pengukuran Suhu Ruangan Ulangan

Selama penelitian, dilakukan pengukuran suhu udara di ruangan penelitian

dengan menggunakan thermometer celcius, dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.9 Hasil Pengukuran Suhu Udara di Ruangan Laboratorium

Hasil Pengukuran Suhu (˚C)


Konsentrasi Ulangan Rata-rata
I II III
5% 28 28 28 28
7,5% 28 28 28 28
10% 28 28 28 28
Hasil pengukuran suhu udara ruangan yang diukur menggunakan

thermometer pada seluruh perlakuan dan pada setiap pengulangan selama

penelitian berlangsung adalah 28˚C.

63
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)


Sebagai Repellent Nabati Terhadap Jumlah Nyamuk Aedes
aegeptyYang Tidak Hinggap

Hasil penelitian yang dilakukan mengenai kemampuan dari sabun ekstrak

daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai repellent nabati terhadap nyamuk

Aedes aegepty berdasarkan lama penggunaannya dengan menggunakan

konsentrasi 0% (kontrol) dan konsentrasi 5%, 7,5% dan 10% dengan 3 kali

pengulangan, maka diperoleh jumlah nyamuk Aedes aegeptyyang hinggap pada

tiap konsentrasi dan pengulangan berbeda-beda.

Dalam percobaan, pertama-tama subjek penelitian yaitu kelinci dilakukan

pencukuran bulu pada bagian punggung kelinci tersebut. Kemudian, subjek

penelitian tersebut dimandikan dengan menggunakan sabun ekstrak daun

kecombrang (Etlingera elatior).

Percobaan dilakukan selama 60 menit dan setiap 10 menit untuk

memperhatikan berapa jumlah nyamuk yang tidak hinggap pada punggung subjek

percobaan yang telah dimandikan dengan berbagai kongsentrasi sabun. Subjek

penelitian yang digunakan sebanyak 12 ekor kelinci. Hal itu dikarenakan

pengulangan percobaan sebanyak 3 kali dan menghindari peningkatan

kongsentrasi repellent sabun jika menggunakan kelinci yang sama selama

percobaan.

64
Pada saat percobaan, ada beberapa nyamuk yang menggigit hingga

kenyang dan ada beberapa nyamuk yang hanya hinggap sebentar kemudian

terbang karena gerakan dari subjek penelitian yang disebabkan dalam keadaan

terikan dan terganggu oleh gigitan nyamuk. Kebiasaan menggigit nyamuk Aedes

aegepty saat mencari makan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu didorong rasa

lapar, bau yang dipancarkan oleh inang, temperatur, kelembaban, kadar

karbondioksida, dan warna. Khan, dkk (1996) melaporkan bahwa untuk jarak

yang lebih jauh, faktor bau memegang peranan penting bila dibandingkan dengan

faktor lain (Soegijanto, 2006). Aedes aegypti biasanya menggigit pada siang hari

saja (Waryono, 2004). Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat

beragam bergantung lokasi dan musim (WHO, 2005). Nyamuk ini mempunyai

kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang

secara bergantian dalam waktu singkat (Soedarmo, 1988).

Pada percobaan dengan sabun konsentrasi 0%, hasil rata-rata nyamuk yang

tidak hinggap lebih dari 50%. Hal ini dapat disebabkan karena, saat sebelum

dilakukan percobaan semua subjek penelitian dimandikan terlebih dahulu,

sehingga bau dari subjek penelitian yang menarik nyamuk sudah berkurang akibat

dari proses penyabunan dan selama percobaan subjek penelitian beberapa kali

melakukan gerakan kecil akibat dari gigitan nyamuk serta ikatan pada kaki subjek

penelitian.

Pada percobaan dengan sabun konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10% persentase

nyamuk tidak hinggap mengalami peningkatan persentase dari 78% sampai

dengan 94%. Hal itu disebabkan karena adanya beberapa golongan senyawa
yang memberikan efek repellent yaitu kandungan flavonoid, saponin, tanin,

steroid dan terpenoid (Resta Renaninggalih, et.al, 2014). Hasil analisa metabolit

sekunder yang dilakukan, menunjukkan hasil flavonoid dan tanin pekat dengan

konsentrasi positif 4 diikuti dengan saponin dengan kongsentrasi positif 3 serta

terpenoid dan steroid dengan kongsentrasi positif 2.

Beradasarkan hasil skrining metabolit sekunder, daun kecombrang

meniliki senyawa flavonoid pekat yang bekerja sebagai racun inhalasi dengan

masuk ke dalam mulut serangga melalui saluran pencernaan berupa spirakel yang

terdapat di permukaan tubuh yang kemudian akan menimbulkan gangguan pada

saraf dan kerusakan pada spirakel, akibatnya serangga tidak bisa bernafas dan

mati (Ariani dalam Pane,2009). Komponen lain seperti tanin, saponin, terpenoid

dan steroid dapat menjadi bahan toksik dan repellent nabati dari ekstrak

tumbuhan tersebut (Nweze, et. al, 2004, Akinyemi, et. Al,, 2005)

Selama percobaan terjadi penurunan daya tolak terhadap nyamuk, hal itu

dapat dilihat terjadi peningkatan angka nyamuk yang hinggap pada subjek

penelitian selama 60 menit. Hal itu diakibatkan dari sifat repellent nabati yang

mudah terurai di alam (biodegradable) karena kandungan dari zat aktif yang

berasal dari metabolit sekunder tanaman mudah menguap (Tony,2002).

Hasil statistik Anova One Way yang disajikan pada tabel 4.6 diperoleh p-

value α < 0,05. Hal ini menunjukkan perbedaan yang bermakna antara jumlah

nyamuk yang tidak hinggap pada masing-masing konsentrasi, sehingga hipotesa

yang diajukan diterima atau Ha diterima yang berarti ada pengaruh sabun ekstrak
daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai repellent nabati terhadap nyamuk

Aedes aegepty.

Hasil uji lanjutan BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan beberapa

pasangan konsentrasi memiliki p-value < 0,05 yang berarti H0 ditolak. Hal ini

menunjukkan ada perbedaan nyata daya tolak dari masing-masing konsentrasi

daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai sebagai repellent nabati nyamuk

Aedes aegepty. Namun, terdapat satu pasangan yaitu konsentrasi 7,5% dan 10%

memiliki nilai p-value > 0,05, yang berarti H0 diterima. Hal ini menunjukkan

tidak ada perbedaan nyata daya tolak nyamuk dari masing-masing konsentrasi

daun kecombrang (Etlingera elatior). Dari hasil analisis uji lanjutan, maka sabun

ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) dengan konsentrasi 7,5% adalah

konsentrasi yang efektif sebagai repellent nyamuk aedes aegyti, karena

konsentrasi 7,5% dengan konsentrasi 10% tidak memiliki perbedaan nyata dalam

menolak nyamuk. Tetapi apabila mengikuti standar yang ditetapkan oleh WHO

(2009), sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) adalah yang efektif

sebagai repellent nyamuk karena daya tolak >90%.

5.2 Penggunaan Sabun Ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)


sebagai repellent nabati terhadap nyamuk Aedes aegepty.

Pemanfaatan daun kecombrang sebagai repellent nabati merupakan cara

pengendalian yang ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan bahan-bahan

dari alam. Namun, sabun dengan ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)

kurang aplikatif. Hal itu dibuktikan dengan percobaan selama 60 menit dengan

kongsentrasi 10% terdapat 2-3 gigitan nyamuk Aedes aegepty dalam 20 menit

terakhir. Di Indonesia, repellent yang mengandung DEET 10-15% dan diklaim


para produsennya (pada kemasan) dapat bertahan selama 6-8 jam. Peraturan

Pemerintah melalui Komisi Pestisida Departemen Pertanian mensyaratkan bahwa

suatu anti nyamuk dapat dikatakan efektif apabila daya proteksinya paling sedikit

90% dan mampu bertahan selama 6 jam (Kardinan, 2007).

5.3 Suhu Udara

Pada saat penelitian, dilakukan pengukuran suhu udara dalam ruangan

percobaan dengan menggunakan termometer. Suhu udara dalam ruangan selama

penelitian memiliki rata-rata sebesar 28°C. Menurut WHO dalam Wahyuni

(2005), rata rata suhu optimum yang baik bagi spesies nyamuk agar hidup normal

adalah 25° - 28°C. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah (10°C), tetapi

proses metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhu sampai di bawah

suhu kritis (4,5°C). Pada suhu yang lebih tinggi dari 35°C nyamuk akan

mengalami keterbatasan proses fisiologis. Pada umumnya nyamuk tidak dapat

bertahan hidup atau mati apabila terjadi kenaikan suhu sekitar 5° - 6°C di atas

suhu maksimum.

Selama penelitian ini, suhu ruangan cukup ideal bagi kehidupan nyamuk

Aedes aegepty sehingga faktor suhu tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk dalam

penelitian ini.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan nyamuk yang tidak hinggap pada subjek penelitian

dengan menggunakan sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior)

dengan konsentrasi 5%, 7,5% dan 10% dan cenderung mengalami

penurunan nyamuk tidak hinggap setiap kenaikan 10 menit waktu

percobaan.

2. Rata-rata jumlah nyamuk yang tidak hinggap pada konsentrasi 0% sebanyak

12 ekor nyamuk, pada konsentrasi 5% sebanyak 15-16 ekor nyamuk, pada

konsentrasi 7,5% sebanyak 16-17 ekor nyamuk, dan pada konsentrasi 10%

sebanyak 18-19 ekor nyamuk.

3. Daya proteksi terhadap nyamuk aedes aegypti dari konsentrasi 5% sebesar

45%, konsentrasi 7,5% sebesar 60% dan konsentrasi 10% sebesar 84%

4. Hasil statistik One Way Anova menunjukkan ada perbedaan yang bermakna

antara tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti dengan berbagai

konsentrasi penyabunan yaitu dengan nilai p-value 0,001. Hasil ststistik

lanjutan yaitu dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil)

menunjukkan beberapa pasangan konsentrasi memiliki p-value < 0,05 yang

69
berarti ada perbedaan nyata tidak hinggapnya nyamuk terhadap konsentrasi

sabun. sedangkan pada pasangan konsentrasi sabun 7,5% dan 10 %

70
71

memiliki nilai p-value > 0,05 berarti tidak ada perbedaan nyata tidak

hinggapnya nyamuk terhadap pasangan konsentrasi sabun.

5. Dalam 60 menit percobaan konsentrasi paling efektif sabun ekstrak daun

kecombrang (Etlingera elatior) sebagai repellent nabati terhadap nyamuk

aedes aegypti adalah konsentrasi 10% karena mampu menolak nyamuk uji

lebih dari 90% dan menghasilkan daya proteksi sebesar 84%. Bedasarkan

Peraturan Pemerintah melalui Komisi Pestisida Departemen Pertanian

mensyaratkan bahwa suatu penolak nyamuk dapat dikatakan efektif

apabila daya proteksinya paling sedikit 90% dan mampu bertahan selama 6

jam.

6.2 Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alernatif pengendalian

vektor khususnya pada nyamuk Aedes Aegypti sebagai repellent nabati

yang aman bagi lingkungan dan manusia.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan konsentrasi sabun

ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) >10% untuk melihat

keefektifannya dalam bentuk sabun anti nyamuk selama 6 jam, 8 jam, dan

12 jam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes spp. merupakan vektor utama dari demam berdarah dengue

(DBD) yang terdiri dari Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan

ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut

suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan

berkembangbiak (Siregar, 2004).

Tempat perindukan Aedes spp adalah di dalam rumah dan diluar rumah,

nyamuk Aedes aegypti biasa aktif di dalam rumah biasanya hinggap dibaju – baju

yang bergantungan dan berada di tempat yang gelap seperti di bawah tempat tidur,

dan mempunyai ciri pada tubuhnya tampak bercak hitam putih bila di lihat dengan

kaca pembesar di sisi kanan kiri punggungnya tampak dua garis berwarna putih,

suka bertelur di air yang bersih seperti di tempayan, bak mandi, vas bunga segar

yang berisi air dan lain nya dan menetas di dinding bejana air, telur ( jentik )

nyamuk Aedes aegypti bisa bertahan 2-3 bulan. Sedangkan nyamuk Aedes

albopiktus biasanya aktif di luar rumah dan banyak terdapat di kebun (

pekarangan rumah) misalnya pada kaleng-kaleng bekas,botol plastik, ban mobil

bekas, tempurung dan pelepah kelapa, bambu pagar dan lain nya yang

menampung air hujan di halaman rumah. Cirinya hampir sama dengan nyamuk

Aedes aegypti bila di lihat dengan kaca pembesar ( mikroskop ) tampak di

7
8

medium punggung nya ada garis putih, waktu menggigit nya juga sama pada pagi

dan sore hari (Kesuma hadi, 2009).

Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk

betina yang mengisap darah. Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia

pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah.

Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu

yaitu setelah matahari terbit (08.00 - 10.00) dan sebelum matahari terbenam

(15.00 – 17.00). Nyamuk betina mengisap darah dengan tujuan untuk

mendapatkan protein untuk memproduksi telur sedangkan nyamuk jantan tidak

membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan

(Djunaedi, 2006).

2.1.1 Taksonomi Aedes aegypti

Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Uniramia

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Subordo : Nematosera

Familia : Culicidae

Sub family : Culicinae

Tribus : Culicini

Genus : Aedes
9

Spesies : Aedes aegypti

(Djakaria S, 2004)

2.1.2 Morfologi Aedes aegypti

Secara umum nyamuk Aedes aegypti sebagaimana serangga lainnya

mempunyai tanda pengenal sebagai berikut (Sudarto,1972):

a. Terdiri dari tiga bagian, yaitu : kepala, dada, dan perut

b. Pada kepala terdapat sepasang antena yang berbulu dan moncong yang

panjang (proboscis) untuk menusuk kulit hewan/manusia dan menghisap

darahnya.

c. Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap depan dan

sayap belakang yang mengecil yang berfungsi sebagai penyeimbang

(halter).

Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Pada

bagian dada, perut, dan kaki terdapat bercak – bercak putih yang dapat dilihat

dengan mata telanjang. Pada bagian kepala terdapat pula probocis yang pada

nyamuk betina berfungsi untuk menghisap darah, sementara pada nyamuk jantan

berfungsi unutk menghisap bunga. Terdapat pula palpus maksilaris yang terdiri

dari 4 ruas yang berujung hitam dengan sisik berwarna putih keperakan. Pada

palpus maksilaris Aedes aegypti tidak tampak tanda – tanda pembesaran, ukuran

palpus maksilaris ini lebih pendek dibandingkan dengan proboscis. Sepanjang

antena terdapat diantara sepasang dua bola mata, yang pada nyamuk jantan

berbulu lebat (Plumose) dan pada nyamuk betina berbulu jarang (pilose)

(Sudarto,1972).
10

Dada nyamuk Aedes aegypti agak membongkok dan terdapat scutelum

yang berbentuk tiga lobus. Bagian dada ini kaku, ditutupi oleh scutum pada

punggung (dorsal), berwarna gelap keabu - abuan yang ditandai dengan bentukan

menyerupai huruf Y yang ditengahnya terdapat sepasang garis membujur

berwarna putih keperakan. Pada bagian dada ini terdapat dua macam sayap,

sepasang sayap kuat pada bagian mesotorak dan sepasang sayap pengimbang

(halter) pada metatorak. Pada sayap terdapat saliran trachea longitudinal yang

terdiri dari chitin yang disebut venasi. Venasi pada Aedes aegypti terdiri dari vena

costa, vena subcosta, dan vena longitudinal (Sudarto,1972).

Terdapa tiga pasang kaki yang masing – masing terdiri dari coxae,

trochanter, femur, tibia dan lima tarsus yang berakhir sebagai cakar. Pada

pembatas antara prothorax dan mesothorax, dan atara mesothorax dengan

metathorax terdapat stigma yang merupakan alat pernafasan (Sudarto,1972).

Bagian perut nyamuk Aedes aegypti berbentuk panjang ramping, tetapi

pada nyamuk gravid (kenyang) perut mengembang. Perut terdiri dari sepuluh ruas

dengan ruas terakhir menjadi alat kelamin. Pada nyamuk betina alat kelamin

disebut cerci sedang pada nyamuk jantan alat kelamin disebut hypopigidium.

Bagian dorsal perut Aedes aegypti berwarna hitam bergaris – garis putih, sedang

pada bagian ventral serta lateral berwarna hitam dengan bintik – bintik putih

keperakan (Sudarto,1972).
11

2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami

perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah menjadi

stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi stadium dewasa.

Gambar 2.1 Daur Hidup Aedes aegypti

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan

ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang

hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada bagian kakinya

(Depkes RI, 2007).

1. Stadium telur Aedes aegypti

Seekor nyamuk betina rata – rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap

kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan

telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit

tampak garis – garis yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat

0,0010 - 0,015 mg. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama
12

pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies

selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).

Pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakan telurnya pada suhu

sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah 1 sampai 3

hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur nyamuk Aedes

aegypti sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja JM dan Mardihusodo,

2009).

Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam air akan

menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Berdasarkan

jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk

betina, serta lebih cepat menjadi dewasa. Faktor – faktor yang mempengaruhi

daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban

disamping fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).

Gambar 2.2 Telur Aedes aegypti


13

2. Stadium Larva Aedes aegypti

Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4 kali

pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon

masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II

memiliki panjang 2,5-3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva

instar III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon

sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar

IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,

tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata – rata pertumbuhan larva hingga

pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah membentuk sudut 450

terhadap bidang permukaan air (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.3 Larva Aedes aegypti


14

3. Stadium Pupa Aedes aegypti

Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang

lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh membengkok. Pupa tidak memerlukan

makan dan akan berubah menjadi dewasa dalam 2 hari. Dalam pertumbuhannya

terjadi proses pembentukan sayap, kaki dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.4 Pupa Aedes aegypti

4. Nyamuk dewasa Aedes aegypti

Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput), dada

(thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki

bercak dan garis – garis putih dan tampak sangat jelas pada bagian kaki dari

nyamuk Aedes aegypti. Tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm. Pada

bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan sepasang

palpi, antena berfungsi sebagai organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina,

antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose), sedangkan pada nyamuk jantan,

antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu

prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki
15

dan pada ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8

ruas dengan bercak putih keperakan pada masing – masing ruas. Pada ujung atau

ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan

hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI, 2007).

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan

keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk betina, dan nyamuk

jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar

dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung

mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya

sekali kawin. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya mempunyai probosis panjang

untuk menembus kulit dan penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan,

probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau tumbuhan yang

mengandung gula. Nyamuk Aedes aegypti betina umumnya lebih suka menghisap

darah manusia karena memerlukan protein yang terkandung dalam darah untuk

pembentukan telur agar dapat menetas jika dibuahi oleh nyamuk jantan. Setelah

dibuahi nyamuk betina akan mencari tempat hinggap di tempat tempat yang agak

gelap dan lembab sambil menunggu pembentukan telurnya, setelah menetas

telurnya diletakkan pada tempat yang lembab dan basah seperti di dinding bak

mandi, kelambu, dan kaleng - kaleng bekas yang digenangi air (Hoedojo R dan

Zulhasril, 2008).
16

Gambar 2.5 Aedes aegypti dewasa

2.1.4.1.1 Tempat Perkembangbiakan

1. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna

keperluan sehari – hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan

ember.

2. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat – tempat yang

biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari

– hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas,

botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap semut.

3. Tempat penampungan air alami (TPA alami) seperti lubang pohon, lubang

batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang

dan potongan bambu.


17

2.1.5 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

1. Perilaku makan

Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari

hewan panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua

periode aktivitas menggigit, pertama dipagi hari selama beberapa jam setelah

matahari terbit dan sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas

menggigit dapat beragam, bergantung lokasi dan musim. Jika masa makannya

terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini dapat

memperbesar penyebaran epidemi. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit pada

malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO,2001).

2. Perilaku istirahat

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan

tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar

mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar

rumah, di tumbuhan, atau di tempat berlindung lainnya. Di dalam ruangan,

permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang

tergantung seperti baju dan gordyn, serta dinding (WHO,2001).

3. Jarak terbang

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh

beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi

tampaknya terbatas sampai pada jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Akan

tetapi, penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan nyamuk ini dapat menyebar

lebih dari 400 meter terutama untuk mencapai lokasi bertelur (WHO,2001).
18

4. Lama Hidup

Aedes aegypti dewasa memiliki rata – rata lama hidup hanya delapan hari.

Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, resiko penyebaran

virus semakin besar (WHO,2001).

2.1.6 Demam Berdarah Dengue

Nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di

daerah pedesaan) merupakan vektor utama penyakit DBD. Penyakit DBD

disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B yaitu Arthropod borne

virus atau virus yang disebarkan oleh arthropoda. Virus ini termasuk genus

flavivirus dari famili flaviviridae. Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk,

virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak

diri).

Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan

terbentuk antigen – antibodi. Kompleks antigen – antibodi tersebut akan

melepaskan zatzat yang merusak sel – sel pembuluh darah, yang disebut dengan

proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat

yang salah satunya ditujukan dengan melebarnya pori – pori pembuluh darah

kapiler. Hal itu mengakibatkan bocornya sel – sel darah, antara lain trombosit dan

eritrosit.

Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai

perdarahan hebat pada kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan organ vital

yang sering menyebabkan kematian. Pasien penyakit DBD umumnya disertai

dengan gejala demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas, manifestasi
19

perdarahan pada tes rumple leed, mulai dari petekie sampai perdarahan spontan

seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah hitam; hasil pemeriksaan

trombosit menurun (normal : 150.000-300.000 μL dan hematokrit meningkat

(normal pria <45 dan wanita <40); akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue

shock syndrom) (Widoyono, 2008).

Siklus penyebaran virus dengue dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu

perkembangbiakan virus dalam tubuh nyamuk kemudian ditularkan ke manusia.

Tahap pertama nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia yang terinfeksi virus

dengue, kemudian virus akan berkembang di perut dan kelenjar ludah nyamuk

Aedes aegypti. Tahap kedua nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue

menggigit manusia yang sehat, kemudian virus berkembang pada jaringan dekat

titik inokulasi atau lymph node, virus keluar dari jaringan inokulasi dan menyebar

melalui darah untuk menginfeksi sel – sel darah putih, lalu virus keluar dari sel

darah putih dan bersirkulasi ke darah, sistem kekebalan tubuh merusak sel – sel

yang terinfeksi. Jika sel yang terinfeksi sedikit, demam akan berlangsung 6-7 hari.

Tetapi jika sel yang terinfeksi banyak demam akan lebih parah dan pendarahan

akan lebih banyak (Kristina dkk, 2010).

Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD di Indonesia yang dilaporkan

sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang. Terjadi peningkatan

kasus pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 90.245

kasus (Depkes RI, 2013).

Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera

Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi.
20

Daerah endemis DBD di Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Medan, Deli

Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Kabupaten

Karo. Sejak tahun 2005 rata-rata insiden rate DBD per 100,000 penduduk di

Provinsi Sumatera Utara relatif tinggi. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD

tercatat 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami

kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah kasus 4,367 kasus

dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk. Insidens rate DBD dengan insidens

rate yang sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir umumnya dilaporkan oleh daerah

perkotaan yakni Kota Medan, Deli Serdang, Pematang Siantar, Langkat dan

Simalungun (Depkes Prov Sumut, 2013).

2.1.7 Pengendalian Vektor

Menurut Peraturan Pemerintah No. 374 tahun 2010 vektor merupakan

arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber

penularan penyakit pada manusia. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat terpecahkan

karena morbiditasnya (angka kesakitan) tinggi dan penyebaran yang semakin

luas. Pengobatan spesifik terhadap penyakit DBD sampai saat ini belum ada,

sehingga dengan memberantasnya dilakukan dengan memberantas vektor

nyamuk (Nurhayati, 2005).

Pengendalian vektor bertujuan untuk mengurangi atau menekan populasi

vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular

penyakit, serta untuk menghindarkan kontak antara vektor dan manusia


21

(Gandahusada, 2000). Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi

beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Slamet, 2009):

1. Penyakit tadi belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua

penyakit yang disebabkan oleh virus.

2. Bila ada obat atau vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum

efektif, terutama pada penyakit parasite.

3. Berbagai penyakit di dapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga

sulit dikendalikan.

4. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis, malaria.

5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti

insekta yang merayap.

2.1.7.1 Pengendalian Secara Biologis

Dengan memperbanyak pemangsa dan parasit sebagai musuh alami bagi

serangga, dapat dilakukan pengendalian serangga yang menjadi vector atau

hospes perantara. Beberapa parasit dari golongan nematode, bakteri, protozoa,

jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Artropoda juga

dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau pemangsa yang

baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan, larva

nyamuk yang berukuran lebih besar, juga larva capung dan Crustaceae. Contoh

beberapa jenis ikan sebagai pemangsa yang cocok untuk pengendalian larva

ialah: Panchax panchax (ikan kepala timah), Lebistus reticularis (Guppy = water

ceto), Gambusia affinis (ikan gabus), dll (Gandahusada, 2000).


22

Cara lain untuk pengendalian serangga yaitu dengan menggunakan

mikroflora atau cendawan. Penelitian telah dilakukan Aminah (1999:17) yaitu

melakukan uji coba penggunaan 3 mg/1 air Giotrium candidum, Mucor haemalis

dan Beauveria bassiana untuk insektisida dan larvasida. Hasil penelitian

menunjukan bahwa cendawan air Giotrium candidum, Mucor haemalis dapat

membunuh 100% nyamuk Aedes aegypti pada hari ketiga, sedangkan Beauveria

bassiana hari keempat baru mematikan 100%.

2.1.7.2 Pengendalian Secara Mekanis

Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung

dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, mengeluarkan

serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat

kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara

manusia dan vector (Gandahusada dkk, 2000).

Program yang di canangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui

Departemen Kesehatan RI yaitu 3M (Sembel, 2009):

1. Menguras, berarti membersihkan tetmpat – tempat penampungan air

(bak mandi) untuk mengeluarkan jentik – jentik nyamuk

2. Menimbun, berarti mengumpulkan kontainer – kontainer yang dapat

menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk

3. Mengubur yaitu mengumpulkan kontainer – kontainer dan

menguburkannya dalam tanah.


23

2.1.7.3 Pengendalian Secara Kimia

2.1.7.3.1 Kimia Organik

Peggunaan senyawa kimia nabati disebabkan karena senyawa kimia nabati

mudah terurai oleh sinar matahari sehingga tidak berbahaya, tidak merusak

lingkungan dan tidak berpengaruh pada hewan target. Penggunaan insektisida

nabati seperti bungan krisan (Chrysanthemum cinerariaefolium) untuk

pengendalian sejak beberapa tahun sebelum masehi. Penelitian Campbell dan

Sulivan, menyatakan bahwa tanaman yang mengandung senyawa rutaecarpine,

nikotin, anabasin, dan lupinin dapat membunuh larva Cx. Quinquefasciatus dan

tanaman yang tergolong dalam famili: Pnaceae, Cucurbitaceae, Uml elferae,

Leguminoceae, Labiatae, Lilyace, Compositae, dan Euphorbiaceae beracun

terhadap nyamuk Cx. Quinquefasciatus.

Amongkar Reeves, menemukan ekstrak bawang putih ( Alium satavum)

dapat membunuh larva Culex peus, Culex tarsalis, dan Aedes aegyti. Aminah telah

melakukan beberapa studi pendahuluan diantaranya penggunaan sari bawang

merah (Alium cepa), konsentrasi 1% dapat memacu pertanaman pradewasa Aedes

aegypti dan konsentrasi 5%, 10% menghambat pertanaman sedangkan konsentrasi

25% mematikan. Penggunaan ekstrak bawang merah yang paling efektif adalah

ekstrak daunnya kemudian diikuti ekstrak akar dan umbinya.

2.1.7.3.2 Kimia Anorganik

Senyawa kimia non nabati berupa derivat – derivat minyak bumi seperti

minyak tanah dan minyak pelumas yang mempunyai daya insektisida. Insektisida
24

adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk

membunuh serangga. Insektisida yang baik (ideal) mempunyai sifat sebagai

berikut:

1. Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi

binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak.

2. Murah harganya dan mudah didapatdalam jumlah yang besar.

3. Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar.

4. Mudah dipergunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam pelarut.

5. Tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan.

Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah:

1. Ovisida : insektisida untuk membunuh stadium telur.

2. Larvasida : insektisida untuk membunuh untuk membunuh stadium

larva/nimfa.

3. Adultisida : insektisida untuk membunuh stadium dewasa.

4. Akarisida (mitisida) : insektisia untuk membunuh tungau.

5. Pedikulisida (lousisida) : insektisida untuk membunuh tuma

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada

bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam makan kimia, konsentrsai

dan jumlah (dosis) insektisida (Gandahusada, 2000).

Untuk mencegah penyakit demam berdarah, penyemprotan dengan ULV

malathion masih merupakan cara yang umum dipakai untuk membunuh nyamuk

- nyamuk dewasa, tetapi cara ini tidak dapat membunuh larva yang hidup dalam
25

air. Pengendalian yang umum dipergunakan unutuk larva – larva nyamuk adalah

dengan menggunakan larvasida seperti abate (Sembel, 2009).

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran

dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut (Djojosumarto,

2004):

1. Racun Lambung (Stomach Poison)

Racun lambung adalah insektisida – insektisida yang membunuh serangga

sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan

diserap oleh dinding saluran pencernaan.

2. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga

lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila

bersinggungan langsung atau kontak dengan insektisida tersebut. Kebanyakan

racun kontak juga berperan sebagai racun perut.

3. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran

pernapasan. Serangga akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang

cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau

cair, yang segera berubah atau mengahsilkan gas.

2.1.7.4 Pengendalian Secara Genetik

Pengendalian secara genetik dilakukan dengan cara mensterilkan

nyamuknyamuk jantan kemudian dilepas ke alam. Dengan cara ini diharapkan


26

nyamuk jantan steril mengawini nyamuk betina yang ada di alam. Karena nyamuk

betina hanya kawin sekali maka nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk

jantan steril tidak akan menghasilkan keturunan.

2.1.7.5 Repellent

Repellent adalah bahan – bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk

menjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan serangga atau

gangguan oleh serangga terhadap manusia (Wudianto, 2004). Repellent lebih

dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang digunakan untuk

melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk. Sekarang lebih dikenal dalam

bentuk lotion, tetapi ada juga yang berbentuk spray (semprot), jadi

penggunaannya dioles atau disemprotkan pada kulit (POM, 2011). Oleh karena

itu, penolak nyamuk harus memenuhi beberapa syarat, yaitu antara lain : tidak

mengganggu pemakainya, tidak lengket, tidak menimbulkan iritasi, tidak beracun,

tidak merusak pakaian, dapat bertahan lama, efektif terhadap berbagai macam

bentuk gangguan hama arthropoda, stabil bila terkena matahari.

Biasanya repellent hanya bekerja dengan baik untuk sementara saja,

sehingga dapat terhindar dari berbagai jenis arthropoda yang menggigit seperti

nyamuk. Pada tahun 1957, telah dikembangkan sebuah repellent yang termasuk

”multipurpose repellent”, yaitu diethyl toluamide (DEET). DEET ini dirancang

untuk aplikasi langsung ke kulit manusia untuk mengusir serangga, bukan

membunuh mereka. Bila digunakan dengan baik, akan melindungi kita dari

gangguan serangga sekitar 2 jam, tergantung dari orangnya, jenis species dan

populasi arthropodanya. DEET merupakan salah satu contoh repellent yang tidak
27

berbau, tetapi dapat menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka, atau

jaringan membranous (EPA, 2007).

Keuntungan penggunaan repellent, antara lain pemakaiannya mudah, jika

baru dioleskan baunya dapat menolak nyamuk dengan jarak kurang lebih 4 cm

dari kulit, dan tidak merusak lingkungan. Sedangkan kekurangannya adalah tidak

bisa mematikan nyamuk, dan tidak bisa melindungi manusia dari sengatan

serangga seperti lebah.

2.1.7.5.1 Komposisi Bahan Repellent

Komposisis bahan yang digunakan sebagai repellent mengandung

senyawa senyawa sedikit berbau bahkan ada yang tidak berbau, Bahan - bahan

sintesis yang sering digunakan sebagai repellent misalnya : benzyl benzoat, butyl

ethyl propanidol, DEET (N, H - dietyl 1 - 3 tolu senide), dibutyl phthalate,

dimethyl benzamide, dimethyl flafat, dimethyl karbonat indolon, sedangkan

senyawa alami yang biasa digunakan sebagai repellent sebagai margosin, eugol,

indool, dan geraniol, secara umum repellent yang menpunyai zat aktif tunggal

atau lebih umumnya berada dalam bentuk larutan, emulasi, krim atau bentuk stik

yang semi solid akan mengurangi serangan nyamuk gigitan serangga dan akan

bertahan selama 30 menit – 2 jam / lebih.

2.1.7.5.2 Petunjuk Pemakaian Repellent oleh EPA (Environmental Protection


Agency )

1. Penggunaan repellent hanya di kulit yang terbuka dan/atau di pakaian

(seperti petunjuk di label). Jangan digunakan di kulit yang terlindungi

pakaian.
28

2. Jangan menggunakan repellent pada kulit yang terluka atau kulit yang

iritasi.

3. Jangan digunakan di mata atau mulut dan gunakan sesedikit mungkin di

sekitar telinga. Ketika menggunakan spray, jangan disemprotkan langsung

ke wajah, tapi semprotkan terlebih dahulu ke tangan lalu sapukan ke

wajah.

4. Jangan biarkan anak – anak memegang produk repellent. Ketika

menggunakan pada anak - anak, letakkan terlebih dahulu pada tangan

kita lalu gunakan pada anak.

5. Gunakan repellent secukupnya untuk kulit yang terbuka dan/ atau

pakaian. Jika penggunaan repellent tadi tidak berpengaruh, maka

tambahkan sedikit lagi.

6. Setelah memasuki ruangan, cuci kulit yang memakai repellent dengan

sabun dan air atau segera mandi. Ini sangat penting ketika repellent

digunakan secara berulang pada satu hari atau pada hari yang berurutan.

Selain itu, pakaian yang sudah terkena repellent juga harus dicuci

sebelum dipakai kembali.

7. Jika kulit mengalami ruam/ kemerahan atau reaksi buruk lainnya akibat

penggunaan repellent, berhentikan penggunaan repellent, bersihkan kulit

dengan sabun dan air. Jika pergi ke dokter, bawa repellent yang

digunakan untuk ditunjukkan pada dokter (CDC, 2008).


29

2.2 Kecombrang (Etlingera elatior )

2.2.1 Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior )

Kecombrang merupakan tanaman asli pulau Sumatera dan Jawa.

Tanaman ini tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera terutama di daerah

pegunungan tumbuhnya di hutan (Heyne, 1987).

Tanaman ini juga dinamakan Nicolaia elatior, Phaemaria speciosa,

Phaemaria imperalis, Phaemaria magnifica. Tumbuhan liar di hutan – hutan

hampir diseluruh Indonesia (Darwis dkk, 1991).

Kecombrang sering ditambahkan pada masakan khas suku Batak, yaitu

arsik ikan mas, masakan pucuk ubi tumbuk, dan juga digunakan sebagai peredam

bau amis pada ikan (Heyne,1987).


30

Gambar 2.6 Tanaman Kecombrang

2.2.2 Taksonomi Kecombrang

Klasifikasi ilmiah tanaman kecombrang adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Etlingera

Species : Etlingera elatior

2.2.3 Morfologi Tanaman Kecombrang

1. Akar

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai akar berbentuk

serabut dan bewarna kuning gelap.

2. Batang

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai batang berbentuk

semu gilig membesar di pangkalnya tumbuh tegak dan banyak. Batang saling

berdekat - dekatan membentuk rumpun jarang keluar dari rimpang yang


31

menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal bewarna krem kemerah jambuan

ketika masih muda.

3. Daun

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior )mempunyai daun 15-30 helai

tersusun dalam dua baris berseling, di batang semu helaian daun berbentuk

jorong lonjong dengan ukuran 20-90 cm x 10-20 cm dengan pangkal membulat

atau bentuk jantung, tepinya bergelombang dan ujung meruncing pendek gundul

namun dengan bintik – bintik halus dan rapat bewarna hijau mengkilap sering

dengan sisi bawah yang keunguan ketika masih muda.

4. Bunga

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai bunga dalam

karangan berbentuk gasing bertangkai panjang dengan ukuran 0,5-2,5 cm x 1,5-

2,5 cm, dengan daun pelindung bentuk jorong 7-18 cm x 1-7 cm bewarna merah

jambu hingga merah terang berdaging, ketika bunga mekar maka bunga tersebut

akan melengkung dan membalik. Kelopak berbentuk tabung dengan panjang 3-

3,5 cm bertaju 3 dan terbelah. Mahkota berbentuk tabung bewarna merah

jambu berukuran 4 cm. Labellum serupa sudip dengan panjang sekitar 4 cm

bewarna merah terang dengan tepian putih atau kuning.

5. Buah

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai buah berjejalan

dalam bongkol hampir bulat berdiameter 10-20 cm, masing – masing butir
32

besarnya 2-2,5 cm, berambut halus dan pendek di bagian luar, bewarna hijau

dan ketika masak warnanya menjadi merah.

6. Biji

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai biji banyak bewarna

coklat kehitaman dan diselubungi salut biji (arilus) bewarna putih bening atau

kemerahan yang berasa masam.

2.2.4 Manfaat Tanaman Kecombrang

Kecombrang banyak digunakan sebagai bahan campuran atau bumbu

penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Kuntum bunga ini sering

dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal di Jawa Barat.

Kecombrang yang dikukus juga kerap dijadikan bagian dari pecel di daerah

Banyumas. Di Pekalongan, kecombrang yang diiris halus dijadikan campuran

pembuatan megana, sejenis urap berbahan dasar nangka muda. Di Malaysia dan

Singapura, kecombrang menjadi unsur penting dalam masakan laksa.

Di Tanah Karo, buah kecombrang muda disebut asam cekala. Kuncup

bunga serta "polong"nya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo; juga

menjadi peredam bau amis sewaktu memasak ikan. Masakan batak populer,

arsik ikan mas, juga menggunakan asam cekala ini. Di pelabuhan ratu, buah dan

bagian dalam pucuk kecombrang sering digunakan sebagai campuran sambal

untuk menikmati ikan laut bakar.


33

Kecombrang juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara:

menggosokkan langsung batang semu kecombrang ke tubuh dan wajah atau

dengan mememarkan pelepah daun kecombrang hingga keluar busa yang harum

yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat

digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit,

termasuk campak. Dari rimpangnya, orang – orang sunda memperoleh bahan

pewarna kuning. Pelepah daun yang menyatu menjadi batang semu, pada masa

lalu juga dimanfaatkan sebagai bahan anyam – anyaman; yaitu setelah diolah

melalui pengeringan dan perendaman beberapa kali selama beberapa hari.

Batang semu juga merupakan bahan dasar kertas yang cukup baik (Darwis, dkk

1991)

Bunganya berkhasiat sebagai obat penghilang bau badan, memperbanyak

air susu ibu dan pembersih darah, untuk obat penghilang bau badan dipakai

±100 gr bunga segar, dicuci dan dikukus sampai matang dan dimakan sebagai

sayuran (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1990).

2.2.5 Kandungan Kimia Kecombrang

Kandungan kimia dari daun, batang, bunga dan rimpang kecombrang

mengandung saponin dan flavonoida, disamping itu rimpangnya juga

mengandung polifenol dan minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1990).

• Minyak atsiri

Pada minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid. Zat inilah penyebab

wangi, harum, atau bau yang khas pada minyak tumbuhan. Secara ekonomi
34

senyawa tersebut penting sebagai dasar wewangian alam dan juga untuk

rempahrempah serta sebagai senyawa cita-rasa di dalam industri makanan

(Harbone,1897).

• Flavonoida

Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar luas

pada tumbuhan hijau dan mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang

tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang

dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk

cincin ketiga (Markham, 1988).

Flavonoida terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai

angiospermae yang mencakup banyak jenis pigmen yang umum dan mempunyai

peranan penting dalam tumbuhan, misalnya pada bunga sebagai pigmen yang

berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk. Selain itu ada beberapa

senyawa flavonoida yang menyerap sinar ultraviolet yang juga berperan dalam

mengarahkan serangga (Robinson, 1995).

• Tanin

Tanin adalah senyawa fenol yang tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh,

biasanya terdapat pada daun, buah, kulit kayu atau batang. Tanin tumbuhan dibagi

menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kadar

tanin yang tinggi mempunyai arti penting bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi

tumbuhan dan membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Tanin

terkondensasi terdapat pada paku-pakuan, gimnospermae, dan angiospermae,

sedangkan tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping


35

dua. Beberapa tanin terbukti mempunyai antioksidan dan menghambat

pertumbuhan tumor (Harborne, 1987).

• Steroida dan Triterpenoida

Steroida merupakan suatu senyawa golongan triterpenoida yang mengandung

inti siklopentanoperhidrofenantren yaitu terdiri dari tiga cincin sikloheksana dan

sebuah cincin siklopentana (Harborne, 1987).

Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik

yaitu skualena. Triterpenoida kebanyakan berupa alkohol, aldehid, asam

karboksilat dan umumnya berupa senyawa tanwarna, berbentuk kristal,

mempunyai titik leleh tinggi, dan bersifat optik aktif. Triterpenoida dapat dibagi

menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu triterpenoida

sebenarnya, steroida, saponin, dan glikosida jantung. Uji yang banyak digunakan

untuk mendeteksi senyawa ini adalah reaksi Lieberman-Burchard

(Harborne,1987).

Senyawa triterpenoida mempunyai berbagai macam aktifitas fisiologi yaitu

untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati dan

malaria (Robinson, 1995).

Chan, dkk (2007) melaporkan bahwa daun dari kecombrang mengandung

kadar fenolik yang tinggi dan asam askorbat, juga dapat digunakan sebagai

antioksidan dan menghambat aktivitas tirosin. Wong dkk (1993) meneliti minyak

atsiri dengan metode destilasi uap terisolasi dari tunas bunga muda kecombrang.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komponen utama minyak atsiri terdiri dari
36

senyawa aldehid alifatik dan alkohol dengan dodecanol dan dodecanal sebagai

dua komponen yang paling banyak. Jaafar, dkk (2007) juga telah meneliti minyak

atsiri yang terkandung pada daun kecombrang yaitu ß pinene (19,7%), kariopilen

(15,36%) dan sebagai senyawa utama ß - farnesen (27.90%) sedangkan minyak

atsiri pada batang sebagian besar didominasi oleh 1,1 - dodecanediol diasetat

(34,26%) dan dodecan (26,99%). Minyak atsiri dari bunga dan rimpang

mengandung senyawa utama 1,1 - diasetat dodecanediol masing – masing

24,38% dan 40,37dan siklododecan masing – masing 47,28% dan 34,45%.

Gambar 2.7 Senyawa utama penyusun minyak atsiri pada tanaman kecombrang :

(a) Siklododecan, (b) ß - Pinen, (c) Kariopilen, (d) (E) - ß - Farnesen, (e)

1,1 - dodecandiol diasetat and (f) (E) - 5 – Dodecan

2.2.5.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan

pelarut cair. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia
37

akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat(Ditjen

POM, 2000).

Ekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai didasarkan pada kelarutan

komponen terhadap komponen lain dalam campuran dimana pelarut polar akan

melarutkan solute yang polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan solute yang

non polar (Ketaren, 1986).Ada beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan

pelarut yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infundasi, dan

dekoktasi (Ditjen POM, 2000).

2.2.5.1.1 Pembagian Metode Ekstraksi Menurut DiJen POM (2000) :

A. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya

perbedaan kosentrasi larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan

terpekat didesak keluar.

Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,

etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi berarti dilakukan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan


38

seterusnya. Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana yang mudah diusahakan.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

sampai penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) yang terus menerus

sampai ekstrak yang diinginkan habis tersari. Tahap pengembangan bahan dan

maserasi antara dilakukan dengan maserasi serbuk menggunakan cairan penyaring

sekurang – kurangnya 3 jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan

bahan yang mudah mengembang.

B. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3. Digesti
39

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang

lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperature 40-50oC.

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (+30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air.

2.3 Sabun

2.3.1 Defenisi Sabun

Sabun adalah garam alkali dari asam – asam lemak dan telah dikenal

secara umum oleh masyarakat karena merupakan kerpeluan penting di dalam

rumah tangga sebagai alat pembersih dan pencuci(Lubis, 1999).

Sabun ditemukan oleh orang Mesir Kuno beberapa ribu tahun yang lalu.

Bangsa Romawi membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu. Sekarang

sabun dibuat dengan memanaskan lelehan lemak dengan lindi (lye=larutan alkali)

sebagai ganti abu kayu (Fessenden dan Fessenden 1986).

Proses pembuatan sabun tidak pernah berubah selama 200 tahun. Prosedur

pembuatan sabun melibatkan hidrolisis (saponifikasi) dari lemak. Secara kimia,

lemak biasanya disebut sebagai trigliserida yang mengandung gugus ester.

Saponifikasi melibatkan pemanasan lemak dengan larutan alkali. Larutan basa


40

menghidrolisis lemak menghasilkan garam dari asam karboksilat rantai penjang

(sabun) dan alkohol (gliserol). Garam asam karboksilat dari sabun biasanya

mengandung atom karbon 12-18 dengan rantai lurus (Pavia, et al., 1988).

Lemak dan minyak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah

gliserida dengan tiga gugus asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol

(trihidroksi alkohol). Perbedaan antara lemak dan minyak dapat dilihat dari

keadaan fisiknya: lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Lemak dan

minyak biasanya terdiri dari molekul asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh

yang mengandung atom karbon antara 7 dan 21 yang berikatan dengan gliserol.

Secara umum, reaksi antara alkali dengan trigliserida menghasilkan sabun dan

gliserol yang dikenal dengan reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi adalah

proses pembuatan sabun yang paling banyak dugunakan. Proses pembuatan sabun

yang lain adalah netralisasi asam lemak dengan alkali. Lemak dan minyak

dihidrolisis dengan uap bertekanan tinggi untuk menghasilkan asam lemak bebas

dan gliserol. Asam lemak ini kemudian dimurnikan dengan destilasi dan

dinetralkan dengan alkali untuk menghasilkan sabun dan air (Barel, et al., 2001)

2.3.2 Kegunaan Sabun

Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga

dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat

sabun:

1. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut

dalam zat nonpolar, seperti tetesan minyak.


41

2. Ujung anion molekul sabun yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion

molekul – molekul sabun yang menyeembul dari tetesan minyak lain.

karena tolak menolak antara tetes sabun – minyak, maka minyak tersebut

tidak dapat saling bergabung melainkan tersuspensi (Fessenden,1992).

2.3.3 Jenis - jenis Sabun

Berdasarkan jenisnya, sabun dibedakan menjadi empat macam, yaitu

sabun opaque, sabun transparan, sabun translusen, dan sabun herbal (Hernani et

al., 2010). Jenis sabun tersebut dapat dibedakan dengan mudah dari

penampakannya. Sabun opaque adalah jenis sabun yang biasa digunakan sehari –

hari yang berbentuk kompak dan tidak tembus cahaya, sabun transparan

merupakan sabun yang paling banyak meneruskan cahaya jika pada batang sabun

dilewatkan cahaya, sedangkan sabun translusen merupakan sabun yang sifatnya

berada di antara sabun transparan dan sabun opaque. Sabun transparan

mempunyai harga yang relatif lebih mahal dan umumnya digunakan oleh

kalangan menengah atas. Sabun transparan juga dapat digolongkan kedalam sabun

aromaterapi, sedangkan sabun herbal merupakan sabun yang mengandung sari

tanaman, berfungsi membersihkan kulit, mengobati penyakit kulit bahkan dapat

digunakan sebagai penolak nyamuk (Malik, 2011). Sabun kecombrang termasuk

dalam jenis sabun herbal.

2.3.4 Mekanisme Kerja Sabun

Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang dan

ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam

zat – zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air.
42

Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun tidak sepenuhnya larut

dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel,

yakni segerombol molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok

dengan ujung - ujung ionnya menghadap ke air (Fessenden dan Fessenden,

1986).

Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsikan kotoran

berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini

disebabkan oleh dua sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul

sabun larut dalam zat nopolar, seperti tetesan – tetesan minyak. Kedua, ujung

anion molekul sabun, yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul –

molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak –

menolak antara tetes – tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling

bergabung, tetapi tetap tersuspensi (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Nilai sabun yang sesungguhnya terletak pada kemampuannya

menghilangkan mikroorganisme secara mekanis. Seperti deterjen lain, sabun

dapat mengurangi tegangan permukaan sehingga meningkatkan sifat pembasahan

air yang di dalamnya terlarut sabun. Air sabun dapat mengemulsikan dan

menghilangkan minyak dan kotoran. Mikroorganisme menjadi terperangkap di

dalam busa sabun dan hilang setelah dibilas dengan air. Berbagai macam zat

kimia dicampurkan dalam sabun untuk meningkatkan aktivitas germisidalnya

(Pelezar dan Chan, 1976).

2.4 Kerangka Konsep

Sabun ektrak minyak atsiri


daun kecombrang dalam Jumlah nyamuk Aedes aegpty
konsentrasi :
yang tidak hinggap pada subjek
1. 5%
penelitian yaitu kelinci
2. 7,5%
43
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit

menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Sampai saat ini yang paling berperan

adalah nyamuk Aedes aegypti, karena hidupnya didalam dan sekitar rumah,

sedangkan nyamuk Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga jarang

kontak dengan manusia (Siregar, 2004).

Tahun 1968, empat belas tahun sesudah kejadian luar biasa pertama di

Manila, demam berdarah dengue dilaporkan untuk pertama kalinya di Indonesia

yaitu berupa kejadian luar biasa demam berdarah dengue di Surabaya sebanyak 58

kasus dengan 24 kematian. Setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus di berbagai

wilayah Indonesia. Kejadian luar biasa demam berdarah dengue terjadi di

sebagian besar di perkotaan dan sebagian kecil pada pedesaan (Soegeng,2006).

Di Indonesia sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2013, jumlah penderita

DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871

orang. Terjadi peningkatan kasus pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun

2012 yang sebesar 90.245 kasus (Depkes RI, 2013).

Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera

Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi.

Daerah endemis DBD di Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Medan, Deli

1
2

Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Kabupaten

Karo. Sejak tahun 2005 rata-rata insiden rate DBD per 100,000 penduduk di

Provinsi Sumatera Utara relatif tinggi. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD

tercatat 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami

kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah kasus 4,367 kasus

dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk. Bila dibandingkan dengan angka

indikator keberhasilan program dalam menekan laju penyebaran DBD, yaitu

Insidens Rate DBD adalah sebesar 5 per 100,000 penduduk, angka Sumatera

Utara sangat jauh diatas indikator tersebut. Insidens rate DBD dengan insidens

rate yang sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir umumnya dilaporkan oleh daerah

perkotaan yakni Kota Medan, Deli Serdang, Pematang Siantar, Langkat dan

Simalungun (Depkes Prov Sumut, 2013).

Demam berdarah di Indonesia sudah menjadi kejadian luar biasa setiap

musim penghujan tiba. Bahkan beberapa daerah di Indonesia telah menjadi

daerah endemik langganan demam berdarah (Suharmiati dan Lestari, 2007). DBD

ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang

jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri uluh hati, disertai dengan tanda-tanda

pendarahan di kulit berupa bintik pendarahan (petechiae), lebam (ecchymosis)

atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, feses berdarah, muntah darah,

kesadaran menurun atau renjatan/syok (Depkes RI, 2005). Vaksin untuk

mencegah demam berdarah dengue atau DBD sampai saat ini belum ditemukan,

oleh karena itu pencegahan terhadap virus dengue lebih diutamakan dengan
3

membasmi vektor pembawa virus, yaitu nyamuk Aedes aegypti L. (Suharmiati

dan Lestari, 2007). Pengendalian nyamuk yang sering dilakukan yaitu dengan

melakukan penyemprotan (fogging) dengan menggunakan bahan kimiawi yang

menimbulkan efek negatif baik bagi lingkungan maupun manusia serta hewan

lain yang bukan termasuk target yang akan dibasmi.

Selama ini yang dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari gigitan

dari nyamuk adalah menggunakan lotion penolak nyamuk (repellent) yang

beredar dipasaran, yang diketahui mengandung N,N-dietil-metoluamida (DEET)

yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan oleh penggunanya. DEET

mengandung hidrokarbon terhalogenasi yang mempunyai waktu paruh terurai

relatif panjang dan dikhawatirkan dapat bersifat racun (Flint and Robert Van den

Bosch, 1995 dalam Mustanir dan Rosnani, 2008. 175). Penggunaan DEET pada

kulit sering menimbulkan adalah iritasi kulit, termasuk eritema (kemerahan pada

kulit) dan pruritis (gatal), sedangkan penggunaan DEET dengan konsentrasi yang

tinggi dan setiap hari dapat menyebabkan efek yang lebih parah seperti insomnia,

kram otot, gangguan pada suasana hati (mood disturbances) dan terbentuk ruam

(BPOM, 2009:6). Cara kerja dari penolak nyamuk ini sendiri berawal dari bahan-

bahan yang terkandung dalam penolak nyamuk mengeluarkan bau yang tidak

disukai oleh nyamuk, sehingga nyamuk tersebut tidak mendekat dan menggigit.

Tanaman kecombrang (Etlingera elatior) merupakan bahan alam yang

diduga memiliki aktivitas repellent. Berdasarkan hasil penelitian Naufalin (2005),

kandungan fitokimia bunga, batang, rimpang dan daun kecombrang antara lain

senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan


4

glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan, antilarvasida maupun penolak

nyamuk. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang memiliki

sifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009). Hasil

penelitian Adityo dkk. (2013:163) menjelaskan bahwa batang kecombrang

memiliki aktivitas larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

Penelitian sebelumnya menggunakan tumbuhan sebagai repellent telah

dilakukan oleh Darwis (2009). Dari hasil diketahui bahwa ekstrak daun rosemary

(Rosmarinus officianalis) efektif digunakan sebagai repellent terhadap nyamuk

Aedes aegypti sebesar 5%. Penelitian lain tentang repellent juga dilakukan oleh

Sianipar (2010), dari hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak daun zodia (Evodia

suaveolens) dengan konsentrasi 3% mampu bertahan selama 1 jam pertama.

Hasil penelitian yang dilakukan Jaffar et al. (2007:1) menunjukkan adanya

kandungan minyak atsiri dalam beberapa bagian tanaman kecombrang dengan

kadar berbeda, yaitu pada daun sebesar 0,0735%, bunga sebesar 0,0334%, batang

sebesar 0,0029% dan rimpang sebesar 0,0021%. Minyak atsiri diketahui memiliki

aktivitas repellent. Sebagai perbandingan, seperti pada penelitian Choi dkk dalam

Djatmiko dkk. (2011) minyak atsiri Thymus vulgaris (thyme) terbukti memiliki

aktivitas repellent.

Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik mencari alternatif pengendalian

vektor penyakit demam berdarah dengue yang aman terhadap pemakai dan

lingkungan sekitar. Salah satu alternatif pengendalian vektor penyakit demam

berdarah dengue adalah dengan membuat sabun mandi yang telah dikombinasikan

dengan ekstrak daun kecombrang yang diduga dapat menolak nyamuk (repellent).
5

Alternatif ini dapat dijadikan pilihan karena belum ada produk sabun yang dijual

di pasaran yang digunakan sebagai sabun mandi penolak nyamuk Aedes aegypty.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagian besar repellent untuk nyamuk Aedes aegypty yang beredar di

Indonesia merupakan bahan kimia sintetis beracun yang dikemas dalam bentuk

lotion yang dapat menimbulkan kemerahan pada kulit dan iritasi. Oleh sebab itu

perlu dilakukan penelitian repellent yang berasal dari bahan alami dan dikemas

dalam bentuk sabun yang tidak menimbulkan efek samping terhadap kesehatan.

Daun kecombrang diduga dapat dijadikan salah satu alternatif repellent nabati

karena mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid,

triterpenoid, dan steroid.

1.3 Hipotesis Penelitian

Ha: Adanya perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang tidak hinggap

pada subjek penelitian disetiap peningkatan konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10%

sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).

Ho: Tidak adanya perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang tidak

hinggap pada subjek penelitian disetiap peningkatan konsentrasi 5%, 7,5%, dan

10% sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh sabun yang berisi ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) sebagai penolak nyamuk (repellent) Aedes aegpty.

2. Untuk mengetahui perbedaan setiap konsentrasi ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior) yaitu 5%, 7,5%, dan 10% terhadap jumlah rata-rata
6

nyamuk yang tidak hinggap pada subjek penelitian yaitu kelinci

(Oryctolagus cuniculus).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Memberikan informasi mengenai pengaruh sabun ekstrak minyak

atsiri dari daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai penolak

nyamuk (repellent) Aedes aegypty dan sebagai informasi kepada

peneliti lain mengenai ekstrakdaun kecombrang (Etlingera elatior).

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi mengenai pengendalian vektor nyamuk Aedes

aegypty dapat menggunakan sabun ekrak minyak atsiri dari daun

kecombrang (Etlingera elatior).

3. Bagi Peneliti

Menambah hasanah ilmu pengetahuan mengenai pengendalian vektor

demam berdarah dengue (DBD) penyebab masalah kesehatan

masyarakat.
ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di


Indonesia. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti. Untuk menghindari gigitan dari nyamuk biasanya
masyarakat menggunakan repellent yang mengandung N,N-dietil-metoluamida
(DEET) yang dapat menimbulkan efek racun jika digunakan dalam jangka waktu
yang lama. Oleh sebab itu perlu ditemukan bahan alami untuk mengendalikan
nyamuk, salah satu bahan alami yang dapat digunakan adalah dari daun
kecombrang (Etlingera elatior)dalam bentuk sabnun sebagai repellent.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas berbagai
konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) terhadap tidak
hinggapnya nyamuk Aedes aegypti pada subjek penelitian yaitu kelinci.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen murni dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap. Sampel penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti
dewasa dan pada tiap perlakuan digunakan 20 ekor nyamuk. Konsentrasi yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu: 0% (kontrol), 5%, 7,5%, dan 10% dengan 3
kali pengulangan selama 60 menit waktu pengamatan. Ekstrak daun kecombrang
(Etlingera elatior) diperoleh melalui destilasi dengan pelarut n-heksan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata daya tolak terhadap
nyamuk Aedes aegypti yang tidak hinggap selama 60 menit percobaan yaitu pada
konsentrasi 5% sebesar 45%, pada konsentrasi 7,5% sebesar 60%, dan pada
konsentrasi 10% sebsesar 84%. Hasil uji Anova Satu Arah menunjukkan adanya
perbedaan bermakna pada berbagai konsentrasi sabun ekstrak daun
kecombrang (Etlingera elatior) terhadap tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti
(p=0,001). Uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan ada perbedaan
bermakna pada beberapa konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera
elatior) terhadap tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti (p<0,05) dan pada
pasangan konsentrasi 7,5% dan 10% tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p>0,05).
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sabun
ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) agar dapat dikatakan efektif menjadi
penolak nyamuk.

Kata kunci : repellent, aedes aegypti, dan daun kecombrang (Etlingera elatior).

iii
ABSTRACT

Dengue Fever is a endemic disease in Indonesia. DHF is caused by


dengue virus and is transmitted by the mosquito Aedes aegypti. To avoid bites
from mosquitoes usually people use repellent containing N, N-diethyl-
metoluamida (DEET) that can cause toxic effects if used for long periods of time.
Therefore necessary to find natural substances to control mosquitoes, one of the
natural ingredients that can used from the leaves kecombrang (Etlingera elatior)
in the form of soaps as a repellent.
This study aims to determine the effectiveness of various concentrations of
kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes aegypti
mosquito perching on the subject is a rabbit.
This research is a pure experiment using completely randomized design.
Samples are Aedes aegypti adults and on each treatment used 20 mosquitoes. The
concentrations used in this study, namely: 0% (control), 5%, 7.5%, and 10% with
3 repetitions during the 60-minute observation time. Kecombrang leaf extract
(Etlingera elatior) obtained by distillation with n-hexane solvent.
The results showed that the average thrust against Aedes aegypti
mosquitoes are not settled for 60 minutes the experiment is at a concentration of
5% is 45%, at a concentration of 7.5% is 60%, and at a concentration of 10% is
84%. One Way Anova test results showed significant differences in various
concentrations kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes
aegypti mosquito is not perching (p = 0.001). Further tests Significant Difference
(LSD) test results showed significant differences in various concentrations
kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes aegypti
mosquito is not perching (p <0.05) and in pair concentration of 7.5% and 10%
showed no difference significance (p> 0.05).
Further studies should be done with soap kecombrang leaf extract
(Etlingera elatior) in order to be considered effective mosquito repellent.

Keywords:repellent, Aedes aegypti, and kecombrang leaves (Etlingera


elatior).

iv
EFEKTIVITAS PEMBUATAN SABUN EKSTRAK DAUN

KECOMBRANG (Etlingera elatior) SEBAGAI

REPELLENT NYAMUK Aedes aegepty

TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH

RIO SAMUEL OCTAVIANUS

NIM : 121000402

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
EFEKTIVITAS PEMBUATAN SABUN EKSTRAK DAUN

KECOMBRANG (Etlingera elatior) SEBAGAI

REPELLENT NYAMUK Aedes aegepty

TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai


Salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

RIO SAMUEL OCTAVIANUS

NIM : 121000402

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS

PEMBUATAN SABUN EKSTRAK DAUN KECOMBRANG (Etlingera

elatior) SEBAGAI REPELLENT NYAMUK Aedes aegepty TAHUN 2015” ini

beserta seluruh isinya adalah benar hasil saya sendiri, dan saya tidak melakukan

penjiplakan atau mengutip dengan cara – cara yang tidak sesuai dengan etika

keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap

menanggung resiko atau sanksi yang diajukan kepada saya apabila ditemukan

adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya, atau klaim dari

pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2017

Yang membuat pernyataan

Rio Samuel Octavianus

i
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul
EFEKTIVITAS PEMBUATAN SABUN EKSTRAK DAUN
KECOMBRANG (Etlingera elatior) SEBAGAI
REPELLENT NYAMUK Aedes aegepty
TAHUN 2015

Yang disiapkan dan dipertahankan oleh


RIO SAMUEL OCTAVIANUS

NIM : 121000402

Disahkan Oleh :
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Evi Naria, Mkes Dra. Nurmaini, MKM,Ph.D


NIP.19680320 199303 2 001 NIP. 19650501 199203 2 001

Medan, tanggal 05 Januari 2017


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Dekan,

Prof. Dr. Dra. Ida Yusnita, MSi


NIP. 19680320 199308 2 001

ii
ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di


Indonesia. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti. Untuk menghindari gigitan dari nyamuk biasanya
masyarakat menggunakan repellent yang mengandung N,N-dietil-metoluamida
(DEET) yang dapat menimbulkan efek racun jika digunakan dalam jangka waktu
yang lama. Oleh sebab itu perlu ditemukan bahan alami untuk mengendalikan
nyamuk, salah satu bahan alami yang dapat digunakan adalah dari daun
kecombrang (Etlingera elatior)dalam bentuk sabnun sebagai repellent.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas berbagai
konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) terhadap tidak
hinggapnya nyamuk Aedes aegypti pada subjek penelitian yaitu kelinci.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen murni dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap. Sampel penelitian adalah nyamuk Aedes aegypti
dewasa dan pada tiap perlakuan digunakan 20 ekor nyamuk. Konsentrasi yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu: 0% (kontrol), 5%, 7,5%, dan 10% dengan 3
kali pengulangan selama 60 menit waktu pengamatan. Ekstrak daun kecombrang
(Etlingera elatior) diperoleh melalui destilasi dengan pelarut n-heksan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata daya tolak terhadap
nyamuk Aedes aegypti yang tidak hinggap selama 60 menit percobaan yaitu pada
konsentrasi 5% sebesar 45%, pada konsentrasi 7,5% sebesar 60%, dan pada
konsentrasi 10% sebsesar 84%. Hasil uji Anova Satu Arah menunjukkan adanya
perbedaan bermakna pada berbagai konsentrasi sabun ekstrak daun
kecombrang (Etlingera elatior) terhadap tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti
(p=0,001). Uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan ada perbedaan
bermakna pada beberapa konsentrasi sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera
elatior) terhadap tidak hinggapnya nyamuk Aedes aegypti (p<0,05) dan pada
pasangan konsentrasi 7,5% dan 10% tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p>0,05).
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sabun
ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) agar dapat dikatakan efektif menjadi
penolak nyamuk.

Kata kunci : repellent, aedes aegypti, dan daun kecombrang (Etlingera elatior).

iii
ABSTRACT

Dengue Fever is a endemic disease in Indonesia. DHF is caused by


dengue virus and is transmitted by the mosquito Aedes aegypti. To avoid bites
from mosquitoes usually people use repellent containing N, N-diethyl-
metoluamida (DEET) that can cause toxic effects if used for long periods of time.
Therefore necessary to find natural substances to control mosquitoes, one of the
natural ingredients that can used from the leaves kecombrang (Etlingera elatior)
in the form of soaps as a repellent.
This study aims to determine the effectiveness of various concentrations of
kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes aegypti
mosquito perching on the subject is a rabbit.
This research is a pure experiment using completely randomized design.
Samples are Aedes aegypti adults and on each treatment used 20 mosquitoes. The
concentrations used in this study, namely: 0% (control), 5%, 7.5%, and 10% with
3 repetitions during the 60-minute observation time. Kecombrang leaf extract
(Etlingera elatior) obtained by distillation with n-hexane solvent.
The results showed that the average thrust against Aedes aegypti
mosquitoes are not settled for 60 minutes the experiment is at a concentration of
5% is 45%, at a concentration of 7.5% is 60%, and at a concentration of 10% is
84%. One Way Anova test results showed significant differences in various
concentrations kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes
aegypti mosquito is not perching (p = 0.001). Further tests Significant Difference
(LSD) test results showed significant differences in various concentrations
kecombrang leaf extract (Etlingera elatior) soap against the Aedes aegypti
mosquito is not perching (p <0.05) and in pair concentration of 7.5% and 10%
showed no difference significance (p> 0.05).
Further studies should be done with soap kecombrang leaf extract
(Etlingera elatior) in order to be considered effective mosquito repellent.

Keywords:repellent, Aedes aegypti, and kecombrang leaves (Etlingera


elatior).

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Efektivitas Pembuatan Sabun Ektrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior)

Sebagai Repellent Nyamuk Aedes aegepty Tahun 2015”, guna memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dengan segenap kerendahan hati penulis ingin mempersembahkan skripsi

ini khususnya kepada ayahanda dan ibunda tercinta M. Rumahorbo dan L.Sinaga

yang akan selalu menjadi sumber semangat dan motivasi penulis.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan,

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh

karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Dra. Ida Yusnita, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

v
3. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penulis dalam penulisan dan perbaikan skripsi ini.

4. Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penulis dalam penulisan dan perbaikan skripsi ini.

5. Ahadi kurniawan, Ssi, DAPE, MScPH selaku kepala Instalasi Laboratorium

Entomologi BTKL yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan

kepada penulis dalam melakukan penelitian

6. Dr. Lamek Marpaaung, M.Phil selaku kepala Instalasi Laboratorium Kimia

Organik Bahan Alam FMIPA USU yang telah meluangkan waktu memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

7. Terkasih kepada orangtua penulis yang selalu memberikan dukungan secara

moril dan materil kepada penulis.

vi
8. Melsa Yohanna N Damanik yang selalu menemani, mendengar keluh kesah

penulis dan memberikan dukungan secara moril sepanjang waktu kepada

penulis.

9. Teman – teman penulis Gg. Ganefo 3/5 ( Bg. Udin, Fengky, Andri, Rio, Surya,

Luis, Leo, Dedy, Indra, Rindo, Clinton, Kak Henny, Kak Etty, Mulya, Ayu, Jhon,

Sandri, Ghani,dan si Tulang Ganefo) yang telah membantu dan memberikan

masukan kepada penulis.

10. Sahabat-sahabat penulis (Roy dan Firda) yang telah menenmani dan

memberi dukungan kepada penulis.

11. Keluarga PBL Desa Salit dan Tim LKP Pirngadi yang telah memberi dukungan

kepada penulis.

12. Teman-teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang

memberikan doa dan semangat kepada penulis.

Medan, 05 Januari 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................... . i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... .ii
ABSTRAK ........................................................................................................ .iii
ABSTRACT ...................................................................................................... .iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... .v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... .viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ .xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ .xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... .xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ .xiv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... .1


1.1 Latar Belakang................................................................................. .1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... .5
1.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... .5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................. .5
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... .6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ .7
2.1 Nyamuk Aedes aegepty................................................................... 7
2.1.1 Taksonomi Aedes aegepty ..................................................... 8
2.1.2 Morfologi Aedes aegepty …………………………… ......... 9
2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegepty ................................... 11
2.1.4 Tempat Perkembangbiakan................................................ ... 16
2.1.5 Bionomik Nyamuk Aedes aegepty ..................................... .. 17
2.1.6 Demam Berdarah Dengue............................... ...................... 18
2.1.7 Pengendalian Vektor.............................................................. 20
2.1.7.1 Pengendalian Secara Biologis.................................21
2.1.7.2 Pengendalian Secara Mekanis................................. 22
2.1.7.3 Pengendalian Secara Kimia................................. ... 23
2.1.7.3.1 Kimia Organik................................ ........ 23
2.1.7.3.2 Kimia Anorganik................................. ... 23
2.1.7.4 Pengendalian Secara Genetik................................. ........... 25
2.1.7.5 Repellent................................. ........................................... 26
2.1.7.5.1 Komposisi Bahan Repellent.............................. .. 27
2.1.7.5.2 Petunjuk Pemakaian Repellent oleh EPA.......... .. 27
2.2 Kecombrang (Etlingera elatior ).......................................................... 29
2.2.1 Tanaman Kecombrang ................................ ......................... 29
2.2.2 Taksonomi Kecombrang ....................................................... 30
2.2.3 Morfologi Tanaman Kecombrang ............... ....................... 30
2.2.4 Manfaat Tanaman Kecombrang .................. ........................ 32
2.2.5 Kandungan Kimia Kecombrang ................................ ......... 33
2.2.5.1 Ekstraksi .................................................................. 36

viii
2.2.5.1.1 Pembagian Metode Ekstraksi Menurut DiJen
POM ...................................................... 37
2.3 Sabun ........................................................................ ........................... 39
2.3.1 Defenisi Sabun....................................................................... 39
2.3.2 Kegunaan Sabun................................................................... . 40
2.3.3 Jenis-jenis Sabun................................................................... 40
2.3.4 Mekanisme Kerja Sabun........................................................ 41
2.4 Kerangka Konsep ........................................... ..................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 43
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………………….. .. 43
3.1.1 Jenis Penelitian………………………………………………….43
3.1.2 Rancangan Penelitian…………………………………………. . 43
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… ............ 43
3.2.1 Lokasi Penelitian………………………………………… ........ 42
3.2.2 Waktu Penelitian………………………………………………. 44
3.3 Objek Penelitian…………………………………………………...... . 44
3.4 Metode Pengumpulan Data………………………………………........ 44
3.4.1 Data Primer………………………………………………......... 44
3.4.2 Data Sekunder……………………………………………......... 44
3.5 Alat dan Bahan Penelitian…………………………………………... . 44
3.5.1 Alat Penelitian…………………………………………........... .. 44
3.5.2 Bahan Penelitian…………………………………………......... . 45
3.6 Prosedur Kerja Penelitian................................................................... 46
3.6.1 Prosedur Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes aegypti ............. 46
3.6.2 Pembuatan Sabun Ektrak Minyak Atsiri Daun Kecombrang .. 46
3.6.2.1 Penyediaan Bahan Tumbuhan.................................. ... 46
3.6.2.2 Pembuatan Ekstrak ..................................................... 47
3.6.3 Cara Pembuatan Sabun ............................................................. 47
3.6.3.1 Rancangan Formulasi Sabun ........................................ 47
3.6.3.2 Cara Pembuatan Sabun ................................................ 48
3.6.4 Cara Pembuatan Kotak Pengamatan ........................................... 49
3.7 Prosedur Percobaan ............................................................................. 49
3.8 Defenisi Operasional...........………………………………… ............. 51
3.9 Analisis Data…………………………………………………............ 52
3.10 Kerangka Kerja…………………………………………………........ 53
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................... 54
4.1 Pengaruh Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai
Repellent Nyamuk Aedes aegepty ……………………………… ....... 54
4.2 Daya Proteksi Sabun…………………………………………... ......... 56
4.3 Analisis Statistik…………………………………………... ................ 57
4.3.1 Hasil Uji One Way ANOVA ……………………………… ...... 58
4.3.2 Hasil Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) ………………………58
4.4 Hasil Uji Metabolit Sekunder Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera
elatior)…………………………………………………............ .......... 59
4.5 Pengukuran Suhu Ruangan………………………………………........ 60

ix
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................. 61
5.1 Pengaruh Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai
Repellent Nabati Terhadap Jumlah Nyamuk Aedes aegeptyYang Tidak
Hinggap..................................................................................61
5.2 Penggunaan Sabun Ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai
repellent nabati terhadap nyamuk Aedes aegepty …………..... 64
5.3 Suhu Udara…………………………………………………........... . 65
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 66
6.1 Kesimpulan…………………………………………………............ ... 66
6.2 Saran…………………………………………………............ ............. 67
DAFTARPUSTAKA.................................................................................. .... 68
LAMPIRAN.................................................................................. .................. 72

x
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Rancangan Formulasi Sabun Padat …………………………..... 48


Tabel 3.2 Defenisi Operasional ………………………......................…..... 51
Tabel 4.1 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Kongsentrasi 0%.... .54
Tabel 4.2 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Kongsentrasi 5%.... .55
Tabel 4.3 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Kongsentrasi 7,5%. .55
Tabel 4.4 Jumlah Nyamuk yang Tidak Hinggap pada Kongsentrasi 10%.. .56
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Daya Proteksi (%) Daun Kecombrang (Etlingera
elatior) terhadap nyamuk Aedes Aegepty.................................56
Tabel 4.6 Hasil Uji Anova Rata-rata Nyamuk A. aegypti Tidak Hinggap dengan
Berbagai Konsentrasi Sabun Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera
elatior)............................................................................................... .58
Tabel 4.7 Hasil Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) Rata-rata Nyamuk Aedes aegypti
Tidak Hinggap dengan Berbagai Konsentrasi Sabun Ekstrak Daun
Kecombrang (Etlingera elatior).............................................. 59
Tabel 4.8 Hasil Uji Metabolit Sekunder Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera
elatior)............................................................................................... 60
Tabel 4.9 Hasil Pengukuran Suhu Udara di Ruangan Laboratorium......... ...60

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Daur Hidup Aedes aegypti ……………………….................. 11


Gambar 2.2 Telur Aedes aegypti …………………………………………… 12
Gambar 2.3 Larva Aedes aegypti …………………………….……............. 13
Gambar 2.4 Pupa Aedes aegypti ………………………………….……....14
Gambar 2.5 Aedes aegypti dewasa ……………………………….……....... 16
Gambar 2.6 Tanaman Kecombrang ……………………………….……....... 29
Gambar 2.7 Senyawa utama penyusun minyak atsiri pada tanaman kecombrang :
(a) Siklododecan, (b) ß-Pinen, (c) Kariopilen, (d) (E)-ß-Farnesen, (e)
1,1-dodecandiol diasetat and (f) (E)-5-Dodecan …………….. 36
Gambar 4.1 Grafik Persentase Daya Proteksi Sabun Terhadap Nyamuk Aedes
Aegepty Selama 60 Menit.............................................................. .57

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Statistik …………………………………………… 72


Lampiran 2. Hasil Uji Metabolit Sekunder ……………………………… 74
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian ……………………………………… 75

xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rio Samuel Octavianus

Tempat Lahir : Dumai

Tanggal Lahir : 2 Oktober 1994

Suku Bangsa : Batak Toba

Nama Ayah : Martua Rumahorbo

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Lasmawati Sinaga

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Pendidikan Formal

1. TK/Tamat Tahun : TK Barunawati/2000

2. SD/Tamat Tahun :SD Santo Tarcisius Dumai/ 2006

3. SLTP/Tamat Tahun : SLTP Santo Tarcisius Dumai /2009

4. SLTA/Tamat Tahun : SLTA Santo Tarcisius Dumai /2012

5. Lama Studi di FKM USU : 4 tahun bulan

xiv

Anda mungkin juga menyukai