Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Umum

2.1.1 Simetidin

2.1.1.1 Sifat Fisikokimia


Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

Rumus struktur

H2 H H
H3C CH2 C N N
CH3
S C C
H2
H N N NCN

Rumus molekul : C10H16N6S.

Berat molekul : 252,34.

Nama Kimia : 2-Siano-1-metil-3-{2-{{(5-metilimidazol-4-il)

Metil}tio}etil)guanidin.

Kandungan : Tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari

102,0% C10H16N6S, dihitung terhadap zat yang

telah dikeringkan.

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis.

tidak Berbau atau bau merkaptan lemah.

Kelarutan : Larut dalam etanol, dalam polietilen glikol 400;

Mudah larut dalam metanol; agak sukar larut

dalam isopropanol; sukar larut dalam air dan

dalam kloroform; praktis tidak larut dalam eter.

Universitas Sumatera Utara


Titik lebur : Antara 139° dan 144°.

Baku pembanding : Simetidin BPFI; lakukan pengeringan pada suhu

110° C selama 2 jam sebelum digunakan.

2.1.1.2 Mekanisme Kerja


Simetidin merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari

sel parietal sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung.

Simetidin juga memblok sekresi asam lambung yang disebabkan oleh rangsangan

makanan, asetilkolin, kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan

tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom

Zolinger – Ellison (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.1.3 Farmakokinetik
Simetidin dapat dicerna secara cepat dalam saluran cerna, kadar plasma

tertinggi dicapai dalam 1 jam bila diberikan dalam keadaan lambung kosong dan 2

jam bila diberikan bersama – sama dengan makanan (Siswondono dan Soekardjo,

1995).

2.1.1.4 Efek Samping


Simetidin dapat menimbulkan efek samping seperti diare, pusing,

kelelahan dan rash (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.1.5 Kegunaan
Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak peptikum duodenum, tukak

lambung, esofagitis erosif dan hipersekresi (Katzung, 2001).

2.1.1.6 Dosis
Dosis Simetidin adalah 200 – 400 mg (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2 Ranitidin HCl

2.1.2.1. Sifat Fisikokimia


Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

Rumus struktur

H2 H2 H
N H
H3C N C C N
S C H3C
H2
CH3 O
Cl H

O2N

Rumus molekul : C13H22N4O3S.HCl.

Berat molekul : 350,87.

Nama Kimia :N-{2-{{{5-{(dimetilamino)metil}-2furanin}metil}-

2-furanin}metil}tio}etil}-N-metil-2-1,1-

Etenadiamina, hidroklorida.

Kandungan : Tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari

102,0% C13H22N4O3S.HCl, dihitung terhadap zat

yang telah dikeringkan.

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis

tidak

berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam

etanol dan sukar larut dalam kloroform.

Titik lebur : Melebur pada suhu lebih kurang 140°, disertai

peruraian.

Baku pembanding : Ranitidin Hidroklorida BPFI, lakukan pengeringan

dalam hampa udara pada suhu 60°C selama 3 jam

Universitas Sumatera Utara


sebelum digunakan.

2.1.2.2 Mekanisme Kerja


Ranitidin HCl merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada

reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung,

menekan kadar asam dan volume sekresi lambung (Siswondono dan Soekardjo,

1995).

2.1.2.3 Farmakokinetik
Ranitidin HCl diserap 39 – 87 % setelah pemberian oral dan mempunyai

masa kerja yang cukup panjang, pemberian dosis 150 mg efektif menekan sekresi

asam lambung selama 8–12 jam. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2–3 jam

setelah pemberian oral, dengan waktu paro eliminasi 2–3 jam (Siswondono dan

Soekardjo, 1995).

2.1.2.4 Efek Samping


Efek samping Ranitidin HCl antara lain hepatitis, trombositopenia dan

leukopenia yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing (Siswondono dan Soekardjo,

1995).

2.1.2.5 Kegunaan
Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan

keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger–Ellison

(Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.2.6 Dosis
Dosis Ranitidin HCl adalah 150–300 mg (Siswondono dan Soekardjo,

1995).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Famotidin

2.1.3.1 Sifat Fisikokimia


Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

Rumus Struktur

H2N

N S
O S
NH2
S
O
NH2 N
N
NH2

Rumus molekul : C8C15N7O2S3.

Berat molekul : 337,04.

Nama Kimia :3-{{{2-{(Aminoiminometil)amino}-4-tiazolil}

metil}tio}-N-(aminosulfonil) propanimidamid.

Kandungan :Tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari

101,0% C8C15N7O2S3, dihitung terhadap zat yang

telah di keringkan.

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam dimetil formamida dan

asam asetat glacial, kurang larut dalam metanol,

sangat kurang larut dalam air, praktis tidak larut

dalam aseton, alkohol, eter, kloroform dan etil

asetat

Titik lebur : Melebur pada suhu lebih kurang 140°C

Universitas Sumatera Utara


Baku pembanding : Famotidin USP, lakukan pengeringan pada suhu

80°selama 5 jam sebelum digunakan

2.1.3.2 Mekanisme kerja


Famotidin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada

reseptor H2, sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung,

menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Famotidin merupakan

antagonis H2 yang kuat dan sangat selektif dengan masa kerja panjang

(Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.3.3 Farmakokinetika
Penyerapan Famotidin dalam saluran cerna tidak sempurna 40–45 % dan

pengikatan protein plasma relatif rendah 15–22 %. Kadar plasma tertinggi dicapai

dalam 1–3 jam setelah pemberian oral, waktu paro eliminasi 2,5–4 jam, dengan

masa kerja obat 12 jam (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.2.4 Efek samping


Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, konstipasi, diare,

sakit kepala dan pusing (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.2.5 Kegunaan
Famotidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan

keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger–Ellison

(Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.1.2.6 Dosis
Dosis Famotidin adalah 20–40 mg (Siswondono dan Soekardjo, 1995).

2.2 Koefisien partisi


Sifat fisika molekul organik seperti koefisien partisi berhubungan erat

dalam bidang farmasi, meskipun demikian sifat-sifat fisika ini kurang begitu

penting diperhatikan oleh bidang kimia analisis. Sifat fisika molekul obat dan juga

Universitas Sumatera Utara


reaksi-reaksi degradasi suatu obat memegang peranan yang penting dalam

mendesain metode analisis. Bentuk molekul obat ada yang sederhana dan ada

yang sangat kompleks yang mengandung beberapa gugus fungsional. Gabungan

beberapa gugus fungsional dalam satu molekul obat akan menentukan

keseluruhan sifat-sifat molekul obat tersebut (Gandjar dan Rohman, 2007).

Bila suatu senyawa masuk ke dalam suatu sistem kromatogram, segera

terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak. Bila aliran fase gerak dihentikan

pada waktu tertentu, senyawa diasumsikan sebagai suatu distribusi kesetimbangan

diantara dua fase. Konsentrasi dalam tiap-tiap fase ditampilkan dengan koefisien

partisi termodinamik (De Lux Putra, 2007)

Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi

obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat harus menembus

sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien partisi juga menentukan

jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa. Senyawa yang sangat

mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak akan sanggup melewati membran lipid

untuk mencapai organ yang kaya akan lipid (misalnya otak). Sebaiknya senyawa

yang mudah larut dalam lemak akan mudah menembus membran biologis. Tetapi

jika terlalu lipofilik senyawa tersebut akan tertahan lama pada jaringan lemak dan

sulit meninggalkan tempat itu dengan cepat. Koefisien partisi hanyalah salah satu

diantara beberapa parameter fisiko kimia yang mempengaruhi distribusi obat

dalam tubuh, di samping faktor lain yaitu parameter elektronik dan parameter

sterik (Nogrady, 1992).

Menurut Martin (1978) koefisien partisi didefinisikan sebagai kadar

keseimbangan monomerik senyawa dalam fase non air dibagi dengan kadar dalam

Universitas Sumatera Utara


fase air. Menurut Nernst koefisien partisi dapat di sederhanakan sesuai dengan

persamaan berikut :

Co
P=
Cw

Log P = log Co – log Cw

Co adalah kadar dalam fase non air dan Cw kadar molal dalam air, setelah

mengalami keseimbangan partisi. Karena P adalah kuantitas tanpa dimensi, setiap

unit kadar dapat digunakan, tetapi idealnya untuk hitungan dilakukan dalam

keadaan yang sangat encer, pengenceran cukup sampai 10 - 1 molal atau

tergantung metode analisis yang digunakan untuk menetapkan kadar, kadang-

kadang sampai kadar 10 - 5 molal (Sardjoko, 1993).

Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada

koefisien partisi akan bermanfaat dalam hubungannya dengan ekstraksi dan

kromatografi obat. Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa dalam

pelarut organik. Nilai P suatu senyawa tergantung pada pelarut organik tertentu

yang digunakan untuk melakukan pengukuran.

Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan menggunakan

partisi air dan n-oktanol, karena oktanol dalam banyak hal menyerupai membran

biologis dan juga merupakan model yang baik pada kromatografi fase terbalik.

Nilai P sering kali dinyatakan dengan nilai log P. sebagai contoh nilai log P1

setara dengan nilai P10. nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu

yang mengalami partisi ke dalam pelarut organik tertentu. Partisi dilakukan

dengan air dan pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10

bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian berada dalam lapisan

air ( Gandjar dan Rohman, 2007 ).

Universitas Sumatera Utara


2.3 Waktu Retensi
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom

menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan

waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian

puncak yang maksimum dari senyawa itu. Senyawa-senyawa yang berbeda

memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk beberapa senyawa, waktu retensi

akan sangat bervariasi dan bergantung pada :

• Tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari

pelarut)

• Kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada

ukuran partikel)

• Komposisi yang tepat dari pelarut

• Temperatur pada kolom

Itu berarti bahwa kondisi harus dikontrol secara hati-hati, jika

menggunakan waktu retensi sebagai sarana untuk mengidentifikasi senyawa-

senyawa ( De Lux Putra, 2007 ).

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


Diperkenalkannya pompa bertekanan tinggi dan perkembangan detektor

yang sangat peka telah membangkitkan perhatian pada kromatografi kolom.

Bidang baru dalam kromatografi kolom adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT = HPLC = High Performance Liquid Chromatography), yang pada

dasarnya perbaikan dalam laju aliran, karena pada kromatografi kolom klasik laju

aliran sangat rendah (Sardjoko, 1993).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode

kimia dan fisikokimia KCKT termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu teknik

Universitas Sumatera Utara


kromatografi dengan fase gerak cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini

dibandingkan dengan metode lain.

Tiga bentuk kromatografi cair kinerja tinggi yang paling banyak

digunakan adalah penukar ion, partisi dan adsorpsi. Kromatografi penukar ion

terutama digunakan untuk pemisahan zat-zat larut dalam air yang ionik atau yang

dapat terionisasi dengan bobot molekul kurang dari 1500. Fase diam pada

kromatografi penukar ion umumnya resin organik sintetik dengan gugus aktif

yang berbeda-beda. Pada kromatografi partisi digunakan fase gerak dan fase diam

dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar dan fase diam non

polar, dikenal sebagai kromatografi fase balik, maka senyawa yang non polar

yang larut dalam hidrokarbon, dengan bobot molekul kurang dari 1000, seperti

vitamin larut lemak dan antrakinon, dapat dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya

terhadap fase diam (Ditjen POM, 199).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi sudah dikembangkan dengan berbagai

teknologi mutakhir sehingga peralatan dan perlengkapannya karena mempunyai

kinerja atau performance yang memenuhi selera perkembangan teknoogi.

Walaupun demikian kita juga harus mempelajari ilmu dasarnya, jangan sampai

dalam menggunakan alat canggih tidak mengetahui dasar ilmunya. Semua

senyawa akan dapat di analisis dengan alat KCKT baik yang tidak larut dalam air,

yamg larut dalam air, yang berbentuk ion maupun non ionik, bermolekul besar

maupun molekul biasa telah dapat di analisis dengan KCKT. Tetapi dengan syarat

bahwa segala perlengkapan baik kolom dan detektor harus tersedia.

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa

organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisa ketidakmurnian

Universitas Sumatera Utara


(impur ities), analisa senyawa - senyawa tidak mudah menguap (non-volatile),

penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan

pemurnian senyawa, pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama,

pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam

jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang

tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk kualitatif maupun kuantitatif

(Gandjar dan Rohman, 2007)

KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-

senyawa tertentu seperti asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein

dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk

hasil samping proses sintetik, atau produk-produk degradasi dalam sedian farmasi,

memonitor sample-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa

dalam suatu campuran, memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat

molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas, dan mengikuti jalannya

reaksi sintesis (Gandjar dan Rohman, 2007).

Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali

jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa. Keterbatasan lainnya adalah

jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh (Gandjar

dan Rohman, 2007).

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut

terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solu-solut ini melewati suatu

kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut dalam

fase gerak dan fase diam(Gandjar dan Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Komponen Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) pada dasarnya terdiri

atas lima komponen pokok yaitu :

1) Wadah fase gerak

2) Pompa

3) Injektor

4) Kolom

5) Detektor

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai