Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH :

“GHIBAH”
Dosen pengampu : Dr.Muh Daming K, M.ag

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

NAMA : 1. Nurul alif ainun lodji


2. Fiqri ridha zulilmi
3. Nurmi

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
PERBANKAN SYARIAH

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada masa kini, kita melihat betapa mudahnya seseorang membuka aib orang lain,

melempar tudingan, mencari-cari kesalahan orang lain, menyebarluaskannya dan bahkan

menjadikannya sebagai komoditas hiburan, tanpa menyadari akan bahaya dari ucapannya.

Mereka berbicara tidak lagi mengindahkan apa yang dilarang agama, berbicara tanpa bukti

dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja, mereka tidak menyadari bahwa semua perkataan yang

mereka ucapkan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Salah satu bahaya lisan yang sedang merebak/ heboh pada masa kini, khususnya lebih
digemari oleh sebahagian kalangan kaum hawa adalah tentang ghibah dan namimah (hasutan/adu
domba). baik ia di pasar, warung, halaman rumah, dapur, ruangan tamu, tempat kerja, dan
bahkan di tempat-tempat ibadah sekalipun, dan ironisnya, hal ini sudah dianggap biasa atau
hidangan. Juga tak kalah serunya dengan adanya acara-acara infotainmen tentang gosip alias
ghibah, dan namimah di berbagai media masa, yang sebahagian dari yang mayoritas berdampak
pada hal-hal negatif kalau itu menyebut-nyebut yang buruk pada saudaramu.
BAB 2

PEMBAHASAN
A.      Pengertian atau Definisi Ghibah
Secara etimologi, ghibah berasal dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya adalah
mengupat, menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan, atau gunjingan.
Dapat juga diartikan membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya atau tanpa
sepengetahuan yang dibicarakan. Disisi lain an-Nawawi mendefinisikan ghibah adalah
mengupat atau menyebut orang lain yang ia tidak suka atau memebencinya, terutama dalam
hal kehidupannya. Beliau mengatakan bahwa jarang sekali orang yang bisa lepas dari
menggunjing orang lain.
Adapun secara terminologi ghibah adalah memebicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia mendegar maka ia
tidak menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat dalam diri yang
dibicarakan itu berarti dusta atau mengada-ada dan itu merupaka dosa yang lebih besar dari
ghibah itu sendiri. Tidak berbeda dengan definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam
menjelaskan tentang ghibah yaitu menbicarakan kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya,
dan jika ia mnegetahui maka ia tidak suka walaupun yang dibicarakan adalah benar.
Dalam hadits Nabi saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah sebagai beriku;
‫ُول هَّللا ِ َما‬
َ ‫يَا َرس‬  ‫ال قِي َل‬ َ َ‫يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن ْال َعاَل ِء ْب ِن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ ق‬ ِ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫و ُل‬XXُ‫ا تَق‬XX‫ ِه َم‬X‫هُ َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي‬Xَ‫ك بِ َما يَ ْك َرهُ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن َكانَ فِي ِه َما أَقُو ُل قَا َل إِ ْن َكانَ فِي ِه َما تَقُو ُل فَقَ ْد ا ْغتَ ْبت‬ َ ‫ك أَخَا‬ َ ‫ْال ِغيبَةُ قَا َل ِذ ْك ُر‬
‫يح‬
ٌ ‫ص ِح‬ َ ٌ‫سن‬ َ ‫يث َح‬ ٌ ‫سى َه َذا َح ِد‬ َ ‫ قَا َل َوفِي ا ْلبَاب عَنْ أَبِي بَ ْر َزةَ َوا ْب ِن ُع َم َر َو َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل أَبُو ِعي‬ ُ‫بَ َهتَّه‬ ‫فَقَ ْد‬
“Seseorang bertanya pada Nabi saw, wahai Rosulullah, apakah yang dinamakan
ghibah itu?, ghibah ialah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci, si penanya
bertanya kembali: wahai Rosullullah bagaimana pendapatmu bila apa yang diceritakan itu
benar apa adanya?, Rosulullah menjawab, kalau memang ada padanya maka itu ghibah
namanya, dan jika tidak maka kamu telah berbuat buhtan (dusta)”.
Berikut disimpulkan beberapa poin penting mengenai definisi ghibah diatas:
1.      Membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, baik dengan
ucapan, sindiran ataupun dengan isyarat.
2.      Menbicarakan aib orang lain, walaupun yang dibicarakan adalah benar adanya pada diri
yang dibicarakan.
3.      Jika yang dibicarakan mengetahui maka ia akan tidak suka aibnya dibicarakan pada orang
lain.
4.      Hal yang dibicarakan meliputi, kehidupan pribadi, keluarga maupun spiritual sesorang.
5.      Karena membicarakan tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, ini artinya perbuatan licik
dan pasti perbuatan ini mengandung unsur keinginan untuk merusak harga diri, atau
kemulyaan seseorang.
B.       Sumber al-Qur’an dan Hadits
Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk
membicarakan orang lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan dalam Qs, al-
Hujurat: 12,
   
     
      
      
    
    
     
 “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan),
Karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)
Dari ayat tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa perbuatan mengunjing orang lain
merupakan perbuatan yang keji dan menjijikkan seperti yang digambarkan oleh Allah bahwa
seseorang yang mengunjing diibaratkan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya
yang sudah mati (bangkai saudarnya).
Adapun hadits yang berbicara mengenai Ghibah atau bahaya lisan sangat banyak
dijumpai dalam beberapakitab hadits berikut;
ِ ‫و ُل هَّللا‬X‫ال َر ُس‬Xَ َ‫ال ق‬X َ َ‫ َرةَ ق‬Xْ‫ح ع َْن أَبِي ه َُري‬ ٍ ِ‫ال‬X‫ص‬ َ ‫ي ٍن ع َْن أَبِي‬X‫ص‬ ِ ‫ص ع َْن أَبِي َح‬ ِ ‫ َو‬Xْ‫و اأْل َح‬Xُ‫ َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر َح َّدثَنَا أَب‬      Ø
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَ ْس ُك‬
‫ت‬ َ
“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau
diam”.(HR.Bukhari-Muslim)
  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا َم ْع َش َر َم ْن آ َمنَ بِلِ َسانِ ِه َولَ ْم يَ ْد ُخلْ اإْل ِ ي َمانُ قَ ْلبَهُ اَل تَ ْغتَابُوا‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي بَرْ َزةَ اأْل َ ْسلَ ِم ِّي قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ضحْ هُ فِي بَ ْيتِ ِه‬َ ‫ْال ُم ْسلِ ِمينَ َواَل تَتَّبِعُوا عَوْ َراتِ ِه ْم فَإِنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع عَوْ َراتِ ِه ْم يَتَّبِ ُع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ َو َم ْن يَتَّبِ ْع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ يَ ْف‬
“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya, janganlah
kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka
karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya
Dia akan membuka kejelekannya meskipun berada dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud,
Ahmad dan Ibn Hibban).
   ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل يَ ْستَقِي ُم إِي َمانُ َع ْب ٍد َحتَّى يَ ْستَقِي َم قَ ْلبُهُ َواَل يَ ْستَقِي ُم‬ َ ِ ‫ك قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ ِ ‫َح َّدثَنَا قَتَا َدةُ ع َْن أَن‬
ُ‫قَ ْلبُهُ َحتَّى يَ ْستَقِي َم لِ َسانُه‬
“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya tidak
istiqomah sebelum lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)
  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫از ٍم ع َْن َس ْه ِل ْب ِن َس ْع ٍد ع َْن َرس‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ أَبِي بَ ْك ٍر ْال ُمقَ َّد ِم ُّي َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْنُ َعلِ ٍّي َس ِم َع أَبَا َح‬
َ‫ال َم ْن يَضْ َم ْن لِي َما بَ ْينَ لَحْ يَ ْي ِه َو َما بَ ْينَ ِرجْ لَ ْي ِه أَضْ َم ْن لَهُ ْال َجنَّة‬ َ َ‫ق‬
“  Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa diantara
dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR. al-Bukhari, Tirmudzi,
dan Ahmad)
Ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh yang suka membicarakan orang lain, yaitu
pelanggaran terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang dimurkainya, dan tebusannya
adalah dengan taubat dan menyesali perbuatannya. Sedangkan yang kedua adalah pelanggaran
terhadap kehormatan sesama. Jika ghibah telah di dengar oleh orangnya maka dia harus
menemuinya dan meminta maaf atas perbuatannya dalam membicarakan aibnya. Dalam hal
ini sangatlah berat karena dosanya tidak hilang selama orang tersebut tidak memaafkan.
Dalam hal ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن‬ َ ‫ي ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِّ ‫ك ع َْن َس ِعي ٍد ْال َم ْقب ُِر‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل قَا َل َح َّدثَنِي َمال‬
ٌ ‫ْس ثَ َّم ِدينَا ٌر َواَل ِدرْ هَ ٌم ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن ي ُْؤخَ َذ أِل َ ِخي ِه ِم ْن َح َسنَاتِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َح َسن‬
‫َات‬ َ ‫ظلِ َمةٌ أِل َ ِخي ِه فَ ْليَتَ َحلَّ ْلهُ ِم ْنهَا فَإِنَّهُ لَي‬ْ ‫َت ِع ْن َدهُ َم‬
ْ ‫َكان‬
‫ت َعلَ ْي ِه‬ ْ ‫ت أَ ِخي ِه فَطُ ِر َح‬ ِ ‫أُ ِخ َذ ِم ْن َسيِّئَا‬
“Siapa yang melakukan suatu kedzoliman terhadap saudaranya, harta atau
kehormatannya, maka hendaklah ia menemuainya dan meminta maaf kepadanya dari dosa
ghibah itu, sebelum dia dihukum, sementara dia tidak memepunyai dirham atau pun
dinar. Jika dia memilki kebaikan, maka kebaikan-kebaikan itu akan diambil lalu diberikan
pada saudarnya itu. Dan jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu
diambil dan diberikan padanya”. (HR. Bukhari)

C.      Hal-hal yang mendorong Ghibah dan Cara mengantisipasinya


Adalah sebuah “keniscayaan” ghibah merupakan perbuatan yang sangat digandrungi
sebagian besar dari kalangan ibu-ibu. Sebelum membicarakan bagaimana cara agar terhindar
dari sifat ghibah, terlebih dahulu akan dijelaskan sebab umum terjadinya ghibah dalam
masyrakat, berikut sebab-sebabnya;
1.      Ingin mengangkat derajat diri sendiri dengan membicarakan keburukan orang lain.
Artinya untuk menguatkan posisinya atas orang lain serta agar orang lain menganggap ia
yang lebih dari orang lain.
2.      Karena penyakit hati, seperti iri dengan keberhasilan dan kemuliyaan teman atau
tetangganya, sombong akan kelebihan diri sehingga merendahkan orang lain dengan
ghibah, serta balas dendam terhadap kejahatan yang pernah orang lain lakukan terhadap
dirinya.
3.      Dalam rangka melampiaskan amarah yang memuncak, ketika ia sedang marah maka ia
melakukan ghibah untuk melampiaskan amarahnya tersebut.
4.      Terkadang terdapat dalam lelucon atau gurauan yang merendahkan orang lain.
5.      Terkadang karena iba terhadap teman yang ditimpa kesedihan karena perbuatan
seseorang. Maka ia dengan tidak sadar agar temannnya merasa lega yaitu dengan
menggunjing orang tersebut, dalam hal ini dikarenakan salah paham dalam memahami
maksud kesetiakawanan.
6.      Dalam realitas social, ghibah terjadi juga dikarenakan oleh nilai materi, misalnya dalam
tayangan infotaiment yang akan menjadi daya jual bagi produser-produser televise.
Setelah mengetahui  beberapa factor yang mendorong terjadinya ghibah,
maka hendaklah dihindari dengan beberapa tips sebagai berikut;
1.       Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing
saudaranya, sedangkan kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan jika pun
orang yang dibicarakan tidak memilki kebaikan maka keburukannya akan kembali pada
yang menggunjing.
2.      Jika terlintas dalam pikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi diri
dengan melihat aib diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya merasa
malu jika membicarakan aib orang lain sedangkan aib sendiri tidak terhitung jumlahnya.
3.      Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri nikmat yang
telah dilebihkan Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan melakukan ghibah.
4.      Menjaga diri dari sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki dengan keberhasilan orang lain,
sombong dengan kelebihan diri sendiri serta menjauhi sifat dendam.
5.      Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak ikut
serta dalam ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah terhadap siapa
yang mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.
6.      Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji. Serta
sebisa mungkin menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak bermanfaat.

D.      Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah


Ada beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain
adalah yang mempunyai tujuan yang benar menurut sayri’at yang tujuan ini menurutnya
tidak dapat dicapai kecuali hanya dengan cara itu, dalam hal ini dosa ghibah dianggap
tidak ada, diantarnya adalah:
1.      Karena adanya tindak kedzoliman. Orang yang didzolimi boleh menyebut keburukan
orang yang berbuat dzolim kepada seseorang yang mampu atau bisa mengembalikan
haknya (penguasa/pemerintah, hakim atau yang berwenang dalam memutuskan perkara
yang hak), dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 148 Allah berfirman:
َ ُ ‫سو ِء ِمنَ ا ْلقَ ْو ِل إِاَّل َمنْ ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا‬
 ‫س ِمي ًعا َعلِي ًما‬ ُّ ‫اَل يُ ِح ُّب هَّللا ُ ا ْل َج ْه َر بِال‬
“Allah tidak mencintai orang yang suka menceritakan keburukan orang lain kecuali bagi
orang yang teraniaya, dan Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui”
2.      Sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang dzalim atau
yang berbuat maksiat kepada jalan yang benar (memperingati dari kejahatan). Dalam hal
ini umat muslim saling tolong-menolong dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.
3.      Dibolehkan dalam menyebutkan ciri-ciri seperti pincang, si buta, si pendek agar orang
lain cepat faham (bukan membicarakan keburukan akan tetapi mengungkapkan bentuk
atau ciri kepada orang yang bertanya).
4.      Dalam hal ini ulama sepakat dalam menilai rawi (al-Jarh wa Ta’dil) boleh dan bahkan
harus diungkapkan pada kaum muslimin untuk kemaslahatan dalam beribadah (ini
kaitannya dalam penelitian hadits sohih atau do’if).
5.      Boleh menceritakan kepada khalayak ramai tentang orang yang melakukan perbuatan
yang terlarang, seperti mabuk-mabukan, menjarah, dan perbuatan bathil lainnya, seperti
dalam hadits Nabi berikut, (Ibn Qudaimah, h. 214).
6.      Dalam rangka meminta fatwa, artinya dalam rangka membela haknya, namun dalam
menyebutkan keburukan lebih baiknya dengan kat-kat yang halus.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah merupakan
perbuatan tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan mengakibatkan perselisihan
dikalangan masyarakat. Ghibah akan mendatangkan banyak mudharat, diantaranya
perselisishan, permusuhan, dendam, perceraian dan bahkan bisa saja terjadi pembunuhan.
Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi
yang melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan siksaan Allah.
            Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha
Mengetahui, ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan keberhasilah saudaranya serta
senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah. Adapun ghibah yang dibebaskan
atau ditolerir adalah ghibah dalam hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka menegakkan
kebenaran, dalam hal ini termasuk berita tentang kasus suap (korupsi).
            Melihat realita masyarakat dewasa ini ghibah seakan dianggap sepele karena
masyarakat slalu disuguhi dengan berita-berita selebriti dari pagi hingga siang, terkadang
sangat berlebihan dan tidak proporsional. Ini akan menimbulkan berbagai problem dalam
masyarakat. Namun tidak semuanya gossip tersebut mengandung unsure ghibah seperti
penjelasan hadits Nabi diatas.

Anda mungkin juga menyukai