Anda di halaman 1dari 29

PENGARUH POLA MAKAN TERHADAP KEJADIAN AKNE

VULGARIS

Oleh :
DESRITA AYU TANGDI ALLA
20160811014018

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran


Pada Universitas Cenderawasih

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akne vulgaris adalah salah satu gangguan yang paling umum dan paling
sering dijumpai. Secara global, prevalensi akne vulgaris menempati urutan
ke-8 dengan tingkat tertinggi terjadi di Eropa Barat. Akne vulgaris adalah
peradangan kronis yang terjadi pada folikel polisebasea yang disertai
manifestasi klinis berupa komedo, papul, pustul, nodus serta kista. Akne
vulgaris dapat disebabkan oleh empat faktor patogenesis yaitu peningkatan
produksi sebum, hiperkeratinisasi infundibulum folikel, respon inflamasi, dan
kolonisasi aktivitas bakteri Propionibacterium acnes (Sitohang &
Wasitaatmadja, 2017).
Insiden akne vulgaris umumnya terjadi pada masa pubertas/pra pubertas
dengan berbagai variasi gambaran klinis (KSDKI, 2018). Di Indonesia,
sekitar 85-100% seseorang selama hidupnya pernah terkena akne vulgaris.
Menurut catatan studi dermatologi kosmetika Indonesia, penderita akne
vulgaris di Indonesia pada tahun 2006, 2007, dan tahun 2009 secara berturut-
turut adalah 60%, 80%, dan 90%. Prevalensi tertinggi terjadi pada wanita usia
14-17 tahun, berkisar 83-85%, dan pada pria usia 16-19 dengan berkisar 95-
100% tahun (Afriyanti, 2015). Akne vulgaris yang terjadi pada usia pubertas
dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko yaitu meningkatnya kadar hormon
androgen, penggunaan kosmetik, stress, hidup yang tidak sehat, pola makan
dan genetik (Sitohang & Wasitaatmadja, 2017). Salah satu faktor yang paling
berpengaruh adalah pola makan. Pola makan adalah suatu cara atau usaha
dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan informasi gambaran
dengan meliputi mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau
membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2014).
Pengaruh pola makan dan kejadian akne vulgaris masih menjadi
kontroversi. Suatu penelitian pada tahun 1960-1970 tercatat sebagai titik balik
sejarah hubungan diet dan akne. Fulton dan Anderson melakukan penelitian

1
2

dan menemukan bukti yang menolak hipotesis hubungan diet dan akne
melalui penelitian terhadap dairy product dan akne. Namun penelitian
tersebut memiliki kekurangan metodologis. Beberapa penelitian tersebut
memiliki jumlah sampel yang kecil, follow-up yang singkat, tidak
menggunakan kontrol dan sebagainya (KSDKI, 2018).
Salah satu unsur dietik yang dicurigai dapat menyebabkan akne vulgaris
adalah karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik yang tinggi. Makanan
yang memiliki kandungan IG yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi
insulin plasma dan dapat menyebabkan hiperinsulinemia jangka panjang serta
terjadinya resistensi insulin. Hiperinsulinemia dianggap sebagai faktor yang
tidak disadari dalam perkembangan akne vulgaris (Jusuf, 2018).
Dairy product contohnya susu juga dapat menyebabkan risiko peningkatan
kejadian akne vulgaris. Susu mengandung berbagai hormon yang diduga
berperan pada komedogenesis (Sihaloho & Indramaya, 2016). Selain hormon,
kandungan karbohidrat dari susu yang akan meningkatkan respon glikemik
dan insulinemik dan menimbulkan efek seperti diet indeks glikemik tinggi
pada perkembangan akne (Jusuf, 2018).
Secara statistik berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suppiah et al
(2018), sebanyak 62,3% pasien akne vulgaris memiliki kebiasaan
mengkonsumsi makanan beresiko terutama susu. Resiko kejadian akne
vulgaris dapat meningkat 2 kali lipat jika pasien mengosumsi susu lebih dari
2 gelas sehari. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wulan, Hidayati &
Sukanto (2016), menemukan 84,2% subyek melaporkan mengkonsumsi
makanan terutama gula yang mengandung IGF-1 dapat memicu timbulnya
akne vulgaris. Demikian juga Assaf et all (2016) juga menemukan adanya
keterkaitan yang signifikan antara akne vulgaris dan indeks glikemik. Hal ini
tentunya berbeda dengan penelitian pada tahun 1960-1970an.
Akne vulgaris sendiri merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri
(self-limiting disease) (Sitohang & Wasitaatmadja, 2017). Akan tetapi akne
vulgaris dapat menyebabkan gangguan psikologis. Pada tahap ini faktor
percaya diri serta aktivitas pergaulan sosial menjadi amat penting karena akne
3

vulgaris dapat menimbulkan kesan fisikal dan emosi yang seringkali


berkaitan dengan masalah harga diri, keyakinan terhadap diri sendiri dan
pergaulan sosial (Winardi, 2017). Namun hal ini dapat dicegah dengan
mengetahui faktor pencetus akne vulgaris, seperti mengetahui jenis makanan
apa saja yang dapat menyebabkan akne vulgaris. Oleh karena itu, penulis
tertarik melakukan studi literatur tentang “Pengaruh Pola Makan Terhadap
Kejadian Akne Vulgaris”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan
masalah sebagai berikut: Bagaimana pengaruh pola makan terhadap kejadian
akne vulgaris ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pola makan terhadap kejadian akne vulgaris.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh makanan yang mengandung indeks
glikemik terhadap kejadian akne vulgaris.
2. Mengetahui pengaruh susu dan olahannya terhadap kejadian akne
vulgaris.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan kontribusi untuk ilmu kesehatan mengenai pengaruh pola
makan terhadap kejadian akne vulgaris.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai pengaruh pola
makan terhadap kejadian akne vulgaris.
BAB II

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN METODE


PENELITIAN

2.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antara variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti).
Kerangka konsep adalah formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau
teori-teori yang mendukung penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2014).
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pola Makan Akne Vulgaris

Indeks Glikemik
Susu dan olahannya

Gambar 2.1 Kerangka Konsep


Keterangan
: Variabel bebas (independent)
: Variabel terikat (dependent)
: Variabel kendali
: Hubungan variabel bebas dan terikat
: Hubungan variabel kendali

2.1.1 Pola Makan


Pola makan menurut Sulistyoningsih (2011) merupakan suatu
gambaran yang memberikan informasi mengenai macam jumlah
makanan yang dimakan setiap hari pada setiap orang atau sekelompok
masyarakat. Untuk mempertahankan pola makan, yang baik sangat

4
5

dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat untuk mencapai hidup sehat.


Pengetahuan tersebut dikendalikan oleh beberapa faktor antara lain,
ekonomi, sosial, budaya, kondisi kesehatan dan lain sebagainya Secara
umum pola makan memiliki 3 komponen yaitu jenis, frekuensi, dan
jumlah makanan (Depkes RI, 2014).
a. Jenis makanan adalah berbagai macam makanan yang dimakan
setiap hari, yang terdiri dari makanan pokok, lauk baik hewani
maupun nabati, sayur serta buah yang dikonsumsi setiap hari.
b. Frekuensi makan, yaitu beberapa kali seseorang mengkonsumsi
makanan dalam sehari, meliputi makan pagi, makan siang, makan
malam dan makan selingan.
c. Jumlah makan, yaitu banyaknya porsi makanan yang dikonsumsi
oleh setiap orang atau setiap individu dalam kelompok.
Untuk mendapatkan informasi mengenai pola makan dan jumlah
makanan yang dikonsumsi seseorang, dapat dilakukan pengukuran
melalui beberapa metode yaitu metode ingatan 24 jam (24 hours food
recall), metode estimated food records, metode penimbangan makanan
(food weighing), metode frekuensi makanan (food frequency
questionnaire) dan dietary history (Sirajuddin, Surmita, Astuti, 2018).

2.1.2 Akne Vulgaris


Akne vulgaris adalah penyakit radang yang menahun dari aparatus
polisebasea. Kelenjar yang meradang dapat berupa papul kecil yang
kadangkala mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian
tengahnya, atau membentuk pustul dan kista (Dorland, 2011). Pada
umumnya mulai muncul pada usia 12-15 tahun dengan puncak
keparahan terjadi pada usia 17-21 tahun (KSDKI, 2018).
Penyebab akne vulgaris masih belum diketahui. Namun, ada
beberapa faktor yang diduga sebagai pencetus dari timbulnya akne
vulgaris yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa
genetik dan hormonal sedangkan faktor ekstrinsik berupa stres,
6

iklim/suhu/kelembaban, kosmetik, makanan dan obat-obatan (Sitohang


& Wasitaatmadja, 2017).
Akne vulgaris mempunyai tempat predileksi yakni di wajah dan
leher (99%), punggung (60%), dada (15%) serta bahu dan lengan atas.
Sebagian pasien mengeluh gatal dan nyeri dan merasa terganggu secara
estetis. Kulit penderita akne vulgaris cenderung lebih berminyak atau
sebore, tetapi tidak semua orang dengan sebore disertai akne vulgaris.
Lesi akne vulgaris dapat berupa non-inflamasi maupun inflamasi. Lesi
non-inflamasi berupa komedo terbuka (blackhead) atau komedo
tertutup (whitehead). Sedangkan lesi inflamasi bervariasi berupa papul,
pustula, nodus, atau kista (Sitohang & Wasitaatmadja, 2017).
Menurut Sitohang & Wasitaatmadja (2017), ada empat patogenesis
yang paling berpengaruh terhadap timbulnya akne vulgaris yaitu :
1. Produksi sebum yang meningkat
Pada penderita akne vulgaris, peningkatan produksi sebum
dikaitkan dengan respon yang berbeda dari unit folikel sebasea dari
organ target atau adanya peningkatan sirkulasi androgen, maupun
keduanya. Misalnya, didapatkan produksi sebum yang berlebihan
pada wajah, dada, dan punggung tetapi kadar sirkulasi androgen
tetap. Kesimpulannya, androgen merupakan faktor penyebab akne
vulgaris, meskipun umumnya penderita akne vulgaris tidak
mengalami gangguan fungsi endokrin yang bermakna. Pada
penderita akne vulgaris baik laki-laki maupun perempuan akan
memproduksi sebum lebih banyak dibandingkan individu normal,
namun komposisi sebum tidak berbeda dengan orang normal kecuali
jumlah asam linoleat yang bermakna. Jumlah sebum yang diproduksi
sangat berhubungan dengan tingkat keparahan akne vulgaris.
2. Hiperproliferasi folikel polisebasea
Lesi akne vulgaris dimulai dengan mikrokomedo. Mikrokomedo
adalah lesi mikroskopis yang tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang, komedo pertama kali terbentuk karena kesalahan
7

deskuamisasi panjang folikel, dimana epitel tidak dilepaskan satu


persatu ke dalam lumen seperti biasanya. Penelitian
imunohistokimiawi menunjukkan adanya peningkatan profoliferasi
keratinosit basal dan diferensiasi abnormal dari sel-sel keratinosit
folikuler. Hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya kadar asam
linoleat sebasea. Lapisan granulosum menjadi menebal, tonofilamen
dan butir-butir keratohialin meningkat, kandungan lipid bertambah
sehingga lama-kelamaan menebal dan membentuk sumbatan pada
orifisium folikel. Proses ini pertama kali ditemukan pada pertemuan
antara duktus sebasea dengan epitel folikel. Bahan-bahan keratin
mengisi folikel sehingga menyebabkan folikel melebar. Pada
akhirnya secara klinis terdapat lesi non-inflamasi (open/closed
comedo) atau lesi inflamasi bila Propionibacterium acnes (PA)
berproliferasi dan menghasilkan mediator inflamasi.
3. Kolonisasi Propionibacterium acnes (PA)
Propionibacterium acnes (PA) merupakan mikroorganisme
utama yang ditemukan di daerah infra infundibulum dan
Propionibacterium acnes (PA) dapat mencapai permukaan kulit
dengan mengikuti aliran sebum. Propionibacterium acnes (PA) akan
meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya jumlah
trigliserida dalam sebum yang merupakan nutrisi bagi
Propionibacterium acnes (PA).
4. Proses inflamasi
Propionibacterium acnes (PA) diduga berperan dalam
menimbulkan inflamasi pada akne vulgaris dengan menghasilkan
faktor kemotaktik dan enzim lipase yang akan mengubah trigliserida
menjadi asam lemak bebas, serta dapat menstimulasi aktivasi jalur
klasik dan alternatif komplemen.
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Namun, pada kasus tertentu membutuhkan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan ekskohleasi komedo dan
8

histopatologis. Saat ini klasifikasi yang digunakan di Indonesia untuk


menentukan derajat akne vulgaris yaitu ringan, sedang, dan berat.
Penilaian gradasi ini disepakati oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin Indonesia, yaitu:
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Keparahan Akne Vulgaris
(Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia, 2016)

Klasifikasi Komedo Pustul Kista Total Lesi


Ringan <20 <15 =0 <30
Sedang 20-100 15-20 <5 30-125
Berat >100 >50 >5 >125

2.1.3 Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Akne Vulgaris


Pola makan yang dicurigai dapat menyebabkan kejadian akne
vulgaris adalah karbohidrat indeks glikemik yang tinggi serta susu dan
olahannya. Indeks glikemik (IG) adalah suatu indikator untuk menilai
respon glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan
respon glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. Indeks glikemik
merupakan angka yang menyatakan urutan makanan berdasarkan
kecepatannya menaikkan kadar gula darah (Jusuf, 2018).
Makanan yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi baik
pada remaja maupun dewasa yang sehat dapat meningkatkan
konsentrasi insulin plasma dan dapat menyebabkan hiperinsulinemia
jangka panjang serta terjadinya resistensi insulin. Hiperinsulinemia
dianggap sebagai faktor yang tidak disadari dalam perkembangan akne
vulgaris melalui pengaruhnya pada pertumbuhan epitelial folikular,
keratinisasi dan sekresi sebum yang diperantarai androgen.
Hiperinsulinemia akan meningkatkan respons endokrin dan
mempercepat pertumbuhan jaringan yang tidak teratur dan
meningkatkan sintesis androgen yang mengakibatkan terjadinya akne
vulgaris melalui sejumlah mediator antara lain androgen, insulin like
growth factor-1 (IGF-1), insulin like growth factor binding protein-3
9

(IGFBP-3) dan jalur sinyal retinoid. IGF-1 dan IGFBP-3 secara


langsung mengatur proliferasi dan apoptosis keratinosit.
Hiperinsulinemia baik akut maupun kronik secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar IGF-1 tetapi menurunkan kadar IGFBP-3. IGF-1
dapat merangsang proliferasi keratinosit sedangkan IGFBP-3
menghambat proliferasi keratinosit dengan mencegah IGF-1 berikatan
dengan reseptornya, akibatnya terjadi hiperkeratinisasi folikel sebasea.
Selain itu, insulin dan kadar IGF-1 yang tinggi dapat menstimulasi
sintesis androgen dimana androgen dapat meningkatkan produksi
sebum yang memicu perkembangan akne vulgaris. Selain itu, IGF-1
juga dapat merangsang lipogenesis kelenjar sebasea (Jusuf, 2018).
Susu mengandung berbagai hormon seperti progesteron, estrogen,
prekursor androgen yaitu androstenedione, dihidroandrosterone sulfat,
steroid 5α-reduktase seperti 5α-androstenedione, 5α-pregnonadione,
dan dihydrotestosterone. Semua hormon ini diduga berperan pada
komedogenesis. Selain itu, susu diperkaya dengan molekul bioaktif
yang bekerja pada kelenjar polisebaseus seperti glukokortikoid,
transforming growth factors-β (TGF-β), hormon peptida mirip
thyrotropin, dan zat yang mirip opiat. Susu yang diduga dapat memicu
perkembangan akne vulgaris adalah susu bebas lemak (skim milk)
maupun yougurt bebas lemak dimana proses pembuatannya diduga
mengubah bioavailabilitas molekul bioaktif dan interaksinya dengan
protein pengikat sehingga keseimbangan hormonal dalam susu berubah
lalu menyebabkan komedogenesis (Sihaloho & Indramaya, 2016). Susu
mungkin berkontribusi pada perkembangan akne juga karena
disebabkan kandungan hormonal seperti prekursor dari
dihidrotestosteron dan IGF-1. Selain itu juga mungkin disebabkan oleh
kandungan karbohidrat dari susu yang akan meningkatkan respon
glikemik dan insulinemik dan menimbulkan efek seperti diet IG dan
BG tinggi pada perkembangan akne. Protein dari susu juga mungkin
terlihat dalam meningkatkan efek susu terhadap akne. Protein whey
10

menstimulasi sekresi insulin sel beta sehingga menimbulkan


hiperinsulinemia sedangkan casein meningkatkan konsentrasi IGF-1
(Jusuf, 2018).

2.2 Pertanyaan Utama Penelitian


1. Apakah mengkonsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi
mempengaruhi kejadian akne vulgaris?
2. Apakah mengkonsumsi susu dan olahannya dapat mempengaruhi
kejadian akne vulgaris?

2.3 Hipotesis Penelitian


Menurut Sugiyono (2016), hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum
didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H0 : Mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik tinggi serta
susu dan olahannya tidak mempengaruhi kejadian akne vulgaris.
H1 : Mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik tinggi serta
susu dan olahannya dapat mempengaruhi kejadian akne vulgaris.

2.4 Metode Pencarian Literatur


2.4.1 Kata Kunci Pencarian Literatur
Kata kunci : Akne vulgaris, Pola makan, Indeks glikemik, Susu dan
olahannya.
Key word : Acne Vulgaris, Diet, Glycemic index, Milk and dairy
products.
2.4.2 Penetapan Basis Data
11

Sumber literatur yang digunakan adalah textbook kedokteran yang


berhubungan dengan penelitian serta jurnal terakreditasi 2015-2020
(Google Scholar/Google Cendekia, PubMed, Elsevier).
2.5 Skrining Literatur dan Sintesis Kualitatif
Identifikasi

Literatur yang diidentifikasi melalui pencarian di Google Scholar,


PubMed, dan Elsevier
(n = 424)

Literatur yang dikeluarkan :


Screening

Literatur yang screening melalui (n = 211)


judul dan tahun 2015-2020 1. Judul
(n = 424) 2. Bukan dari tahun 2015-
2020

Literatur yang dikeluarkan


(n = 203)
1. Tidak dapat diakses dengan
tanpa berbayar
Kelayakan

2. Hanya abstrak saja


Artikel full text dan dikaji
3. Literatur review
kelayakannya
4. Tidak sesuai dengan tema
(n = 213)
penelitian

Kriteria Inklusi :
1. Full text
2. Berisi informasi tentang
Inklusi

pengaruh pola makan (indeks


Literatur yang memenuhi kriteria glikemik serta susu dan
inklusi olahannya) terhadap kejadian
(n = 10 ) akne vulgaris
BAB III

HASIL & PEMBAHASAN

3.1 Hasil

No. Author/ Judul Desain Jumlah Hasil Resume


Jurnal Penelitian Sampel
1. (Nareyah & Karakteristik profil Cross Jumlah total Berdasarkan hasil penelitian yang Akne vulgaris dipicu oleh
Suryawati, akne vulgaris Sectional responden didapatkan 44, 2% responden dengan beberapa faktor seperti genetik,
2017) berdasarkan indeks adalah 210 akne vulgaris yang mengonsumsi merokok, stres dan makanan.
glikemik makanan mahasiswa, makanan dengan kadar IG tinggi, Pada penelitian ini dimana lebih
pada mahasiswa 126 (60%) 41,6% responden mengonsumsi memfokuskan pada faktor pola
semester III perempuan makanan dengan kadar IG medium, konsumsi makanan dan
fakultas kedokteran dan 84 (40%) dan 14,3% responden mengonsumsi makanan yang mengandung
Universitas laki-laki. makanan dengan kadar IG rendah. indeks glikemik tinggi sebagai
Udayana tahun pemicu akne vulgaris. Makanan
2014 yang memiliki indeks glikemik
yang tinggi paling sering
dikonsumsi ialah karbohidrat
seperti nasi dan roti.
2. (Indira, 2017) Profil Asupan Cross Jumlah total Berdasarkan hasil penelitian Kaitan antara makanan yang
Makanan pada Sectional 78 subjek didapatkan distribusi asupan memiliki indeks glikemik tinggi
Dewasa Muda yang terdiri makanan dengan IG tinggi adalah 45 dengan akne vulgaris telah
dengan atas 38 pria orang (57,7%) tidak pernah menjadi topik hangat dalam
Akne Vulgaris Di dan 40 mengonsumsi sereal dalam satu bidang dermatologi. Namun,
Fakultas wanita turut minggu, 33 orang (42,3%) hasil distribusi pada penelitian
Kedokteran berpartisipasi mengonsumsi kue/donut <1 ini yaitu asupan roti dan

12
13

Universitas dalam hari/minggu, 35 orang (44,9%) gorengan menunjukkan


Udayana penelitian mengonsumsi roti 1-3 hari/minggu, frekuensi asupan yang tinggi
ini. dan 26 orang (33,3%) mengonsumsi sehingga mendukung asumsi
gorengan >3 hari/minggu. bahwa makanan dengan IG
tinggi berhubungan dengan akne
vulgaris.
3. (Burris, Differences in Cross 32 responden Berdasarkan hasil penelitian yang Pola makan tinggi IG
Rietkerk, Dietary Glycemic Sectional dengan akne dilakukan pada 64 responden (karbohidrat) dapat
Shikany, Load and vulgaris, 32 didapatkan kaitan yang signifikan menstimulasi hiperinsulinemia
Woolf, 2017) Hormones in New kontrol antara makanan yang dikonsumsi akut dan kronis, secara
York City Adults subjek pasien yaitu karbohidrat total dengan bersamaan
with kejadian akne vulgaris (P=0.003) meningkatkan IGF-1 dan
No and Moderate/ menghambat konsentrasi
Severe Acne IGFBP-3 dan SHBG.
4. (Cerman, Dietary Glycemic Cohort Study 50 responden Berdasarkan hasil penelitian yang Tiga utama senyawa western
Aktas, Factors, Insulin dengan akne dilakukan pada 50 responden diet telah diidentifikasi dalam
Altunay, Resistance, and vulgaris, 36 penderita akne vulgaris & 36 kontrol patogenesis akne vulgaris yaitu
Arici, Tulunay Aiponectin Levels kontrol subjek tanpa akne didapatkan pola karbohidrat hiperglikemik, susu
& Ozturk, in Acne Vulgaris subjek makan dengan indeks glikemik dan dan olahannya, dan lemak
2016) beban glikemik (P=0.022 dan jenuh. Makanan dengan IG
P=0.001) secara signifikan lebih tinggi menginduksi
tinggi pada pasien dengan akne hiperinsulinemia yang menjadi
vulgaris dibandingkan dengan subjek asal mula munculnya akne
kontrol. vulgaris.
5. (Burris, Relationships of Cross Jumlah total Berdasarkan hasil penelitian Makanan dengan IG tinggi dapat
Rietkerk, Self-Reported Sectional 248 subjek didapatkan hasil responden dengan menstimulasi hiperinsulinemia
Woolf, 2014) Dietary Factors yang terdiri tingkat keparahan akne vulgaris akut dan kronis, secara
and Perceived atas 115 pria sedang sampai berat memiliki IG bersamaan meningkatkan IGF-1
Acne Severity in a dan 133 makanan secara signifikan lebih dan menghambat konsentrasi
Cohort of New wanita turut tinggi dibandingkan dengan IGFBP-3 dan SHBG.
York Young Adults berpartisipasi responden tanpa akne vulgaris atau Konsentrasi serum IGF-1
14

dalam akne vulgaris ringan (P < 0.001). meningkat lebih banyak setelah
penelitian Responden dengan tingkat keparahan konsumsi susu dan produk susu
ini. akne vulgaris sedang sampai berat dibandingkan dengan sumber
melaporkan konsumsi yang lebih protein lain, termasuk daging.
besar susu per hari dibandingkan
dengan peserta tanpa akne vulgaris
dan peserta dengan akne vulgaris
ringan (P < 0.001).
6. (Juhl, Lactase Cross Jumlah total Berdasarkan hasil penelitian yang Milk intake dapat meningkatkan
Bergholdt, Persistence, Milk Sectional sampel dilakukan pada responden didapatkan level insinsin-like growth
Miller, Jemec, Intake, and Adult 20.417 yang kaitan yang signifikan antara factor-1 (IGF1) yang dapat
Kanters, Acne: A Mendelian terdiri atas makanan milk intake dengan kejadian mengakibatkan kejadian akne
Ellervi, 2018) Randomization dengan 303 akne vulgaris (P=0.0001) vulgaris.
Study of 20,416 responden
Danish Adults dengan akne
vulgaris,
20.113
kontrol
subjek
7. (Suppiah, Acne Vulgaris and Case Control 57 responden Berdasarkan hasil penelitian pada Pasien yang mengonsumsi susu
Sundram, Sing Its Association dengan akne responden didapatkan hasil konsumsi 2 gelas atau lebih setiap hari
Tan, Lee, With Dietary vulgaris, 57 susu secara signifikan lebih tinggi ditemukan memiliki 2 kali lipat
Bustami, Keat Intake: A kontrol pada pasien dengan AV (63,2%, n = peningkatan insiden akne
Tan, 2018) Malaysian subjek 36) dibandingkan kontrol (43,9%, n vulgaris.
Perspective = 25), (OR = 2,19, p <0,05).

8. (Kartikasari, Hubungan Cross 64 responden Berdasarkan penelitian didapatkan Perbedaan hasil yang didapatkan
Supardjo, Konsumsi Produk Sectional dengan akne tidak terdapat hubungan antara peneliti dengan penelitian
2017) Olahan Susu vulgaris, 17 konsumsi produk olahan susu (keju, sebelumnya juga mungkin
dengan Kejadian kontrol yogurt, es krim, susu kental manis, disebabkan adanya variable-
Akne Vulgaris subjek susu bubuk full cream, susu UHT, variabel perancu .
15

Pada Siswa SMA dan mentega) dengan kejadian akne


X vulgaris (P> 0.05)
9. (Kusumaningr Hubungan Cross Jumlah total Dari hasil uji korelasi Hasil yang tidak signifikan pada
um, Riyanto, Konsumsi Susu Sectional 46 sampel Spearman didapatkan tidak ada penelitian ini kemungkinan
Widodo, 2019) Dengan Derajat hubungan signifikan antara dikarenakan kurangnya
Keparahan konsumsi susu dengan derajat frekuensi konsumsi susu pada
Akne Vulgaris keparahan akne vulgaris (P=0,256). respoden perminggunya, seperti
Pada Mahasiswi pada penelitian lain yang
Program Studi menyebutkan, bahwa seseorang
Kedokteran yang mengkonsumsi susu cair 3
Universitas kali atau lebih dalam seminggu
Diponegoro dapat memicu terjadinya akne
Angkatan 2015- vulgaris, dibandingkan
2017 seseorang yang hanya
mengkonsumsi 1 kali dalam
seminggu. Namun berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan,
subjek yang mengkonsumsi susu
3 kali atau lebih selama
seminggu hanya menderita AV
derajat ringan hingga sedang.
10. (LaRosa, Consumption of Case Control Jumlah total Jumlah susu low fat/skim milk yang Terdapat perbedaan antara susu
Quach, Koons, dairy in teenagers sampel 225 dikonsumsi oleh peserta dengan akne lemak jenuh dan skim milk yaitu
Kunselman, with and without yang terdiri vulgaris secara signifikan lebih tinggi pada komposisi whey protein,
Zhu, acne atas dengan (P = 0,01) dibandingkan mereka yang asam lemak, dan molekul
Thiboutot, 120 tidak berakne vulgaris. Sedangkan kolesterol.
Zaenglein, responden untuk susu dengan lemak jenuh atau
2016). dengan akne lemak trans tidak terdapat perbedaan
vulgaris, 105 signifikan.
kontrol
subjek
3.2 Pembahasan
Akne vulgaris adalah kondisi kulit yang terjadi ketika folikel rambut
tersumbat oleh sel minyak dan kulit mati (Nareyah & Suryawati, 2017). Akne
vulgaris adalah salah satu dari kondisi kulit yang paling umum dan
menyerang lebih dari 85% remaja. Penyebab utama akne vulgaris hingga saat
ini masih belum diketahui. Akan tetapi, akne vulgaris dapat disebabkan oleh
berbagai multifaktoral (Kartikasari & Supardjo, 2017). Beberapa faktor yang
diyakini berperan dalam terjadinya akne vulgaris antara lain faktor yang tidak
dapat dimodifikasi yaitu usia, genetik dan faktor yang dapat dimodifikasi
yaitu kondisi stres, merokok, asupan makanan, kosmetik wajah (Nareyah &
Surayawati, 2017).
3.2.1 Pengaruh Indeks Glikemik Terhadap Kejadian Akne Vulgaris
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nareyah & Suryawati
(2017) dari segi faktor indeks glikemik makanan, 34 responden
(44,2%) yang menderita akne vulgaris memiliki indeks glikemik
makanan yang tinggi diikuti oleh 32 responden (41,6%) dikategorikan
memiliki indeks glikemik makanan yang medium dan 11 responden
(14,3%) memiliki indeks glikemik makanan yang rendah. Dari hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks makanan
glikemik tinggi dianggap sebagai salah satu faktor pemicu untuk
menyebabkan akne vulgaris antara remaja. Desain penelitian yang
dilakukan oleh Nareyah & Suryawati adalah cross sectional dengan
teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Salah satu
kelemahan pada penelitian ini adalah penegakkan diagnosis akne
vulgaris hanya dilakukan secara wawancara dan tanpa disertai oleh
ahli dermatologis. Selain itu, kuisioner yang digunakan untuk
menentukan makanan yang dikonsumsi responden, tidak dicantumkan
sudah tervalidasi atau belum.
Menurut penelitian yang dilakukan Indira (2017) terdapat beberapa
hasil dalam penelitian yang tidak mendukung adanya hubungan

16
17

signifikan antara indeks glikemik dan akne vulgaris. Pada penelitian


ini 45 sampel (57,7%) tidak pernah mengonsumsi sereal dalam
seminggu sehingga kebanyakan subjek memiliki frekuensi asupan
sereal yang rendah. Hal yang sama tampak pada distribusi asupan
donut/cakes dimana terbanyak 33 sampel (42,3%) mengonsumsi item
tersebut kurang dari 1 hari/minggu. Hal ini tentunya berbeda dengan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di negara-negara Barat.
Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan adanya perbedaan
pola makan orang Barat dengan orang Indonesia. Budaya Barat
diketahui memiliki pola makan 3 tahap yaitu appetizer, main course,
dan dessert, hal ini yang sangat mungkin apabila orang Barat lebih
sering mengonsumsi donut/cakes sebagai dessert yang merupakan
salah satu tahapan dari pola makan tersebut. Selain itu, orang
Indonesia memang memiliki makanan pokok nasi sebagai sarapan,
makan siang, ataupun makan malam. Berbeda dengan orang Barat
yang lebih sering mengkonsumsi sereal untuk sarapan.
Sementara itu, hasil distribusi asupan roti dan gorengan
menunjukkan frekuensi asupan yang tinggi sehingga mendukung
asumsi bahwa makanan dengan IG tinggi berhubungan dengan akne
vulgaris. Hasil penelitian tersebut adalah 35 orang (44,9%)
mengonsumsi roti 1-3 hari/minggu, dan 26 orang (33,3%)
mengonsumsi gorengan >3 hari/minggu. Desain penelitian ini adalah
cross sectional dengan teknik sampling yang digunakan adalah
random sampling. Keterbatasan pada penelitian ini adalah penilaian
konsumsi IG didasarkan pada Food Frequency Quisioner dilakukan
dengan sistem recall dimana responden diminta untuk mengingat
kembali asupan makanan yang dikonsumsi dalam waktu seminggu
yang lalu. Selain itu, tidak ada kontrol subjek pada penelitian ini dan
respoden akne vulgaris tidak dibedakan berdasarkan tingkat keparahan
akne vulgaris.
18

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Burris, Rietkerk, Shikany,


Woolf (2017) dengan jumlah sampel 32 responden akne vulgaris
derajat sedang sampai berat dan 32 kontrol subjek menemukan adanya
kaitan yang signifikan antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian
akne vulgaris (P=0.003). Pola makan tinggi IG (karbohidrat) dapat
menstimulasi hiperinsulinemia akut dan kronis, secara bersamaan
meningkatkan IGF-1 dan menghambat konsentrasi IGFBP-3 dan
SHBG. Hiperinsulinemia dan peningkatan konsentrasi IGF-1 dapat
mendorong sintesis androgen dan peka reseptor androgen.
Peningkatan hormon androgen dapat meningkatan produksi sebum
sehingga muncul akne vulgaris. Kelebihan penelitian ini adalah
responden melibatkan dua studi kunjungan (awal dan akhir), dimana
pada awal pertemuan responden diberikan kuisioner tabel makanan
lalu kemudian diisi sesuai dengan makanan yang konsumsi selama 5
hari. Kemudian pada pertemuan akhir responden diminta untuk
mengembalikan kuisioner tersebut. Lalu kuisioner tersebut akan
dinilai oleh para ahli gizi. Kekurangan penelitian ini adalah jumlah
sampel yang kecil dan juga desain penelitian yang digunakan adalah
cross sectional. Demikian pula penilitian yang dilakukan Burris,
Rietkerk, Woolf, (2014) dengan desain penelitian cross sectional dan
jumlah sampel 248 subjek yang terdiri atas 115 pria dan 133 wanita
didapatkan hasil responden dengan tingkat keparahan akne vulgaris
sedang sampai berat memiliki IG makanan secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan responden tanpa akne vulgaris atau akne
vulgaris ringan (P < 0.001). Kelebihan penilitian ini adalah Food
Frequency Quisioner untuk menilai asupan makanan dan kuisioner
untuk akne vulgaris sudah tervalidasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Cerman, Aktas, Altunay, Arici,
Tulunay & Ozturk, (2016) didapatkan hasil pola makan dengan indeks
glikemik dan beban glikemik (P=0.022 dan P=0.001) secara signifikan
lebih tinggi pada pasien dengan akne vulgaris dibandingkan dengan
19

subjek kontrol. Makanan dengan IG tinggi menginduksi


hiperinsulinemia, yang selanjutnya memunculkan respons endokrin
dan meningkatkan sintesis androgen, pada akhirnya mempengaruhi
perkembangan akne vulgaris melalui mediator seperti androgen, IGF
-1, dan menghambat IGFBP -3. IGF-1 diketahui merangsang kunci
faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris, termasuk
proliferasi keratinosit, proliferasi sebosit, dan produksi sebum.
Kelebihan penelitian ini adalah menggunakan desain penelitian cohort
study serta menggunakan NDSR yaitu perkiraan akurat untuk diet IG
dan BG dengan menggunakan glukosa sebagai standar. Akan tetapi
penelitian ini juga memiliki kekurangan seperti jumlah sampel yang
kecil yaitu 50 responden dengan akne vulgaris, 36 kontrol subjek.
Berdasarkan kelima jurnal diatas maka disimpulkan bahwa
didapatkan hasil yang signifikan antara indeks glikemik terhadap
kejadian akne vulgaris. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Cerman, Aktas, Altunay, Arici, Tulunay & Ozturk, (2016) dengan
jenis penelitian cohort study yang lebih menjelaskan mengenai
pengaruh indeks glikemik terhadap kejadian akne vulgaris. Sedangkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Indira (2017) terdapat beberapa
hasil dalam penelitian yang tidak mendukung adanya hubungan
signifikan antara indeks glikemik dan akne vulgaris karena adanya
factor perancu.

3.2.2 Pengaruh Susu Terhadap Kejadian Akne Vulgaris


Penilitian yang dilakukan Burris, Rietkerk, Woolf, (2014)
dilakukan dengan desain penelitian cross sectional dan jumlah total
sampel adalah 248 subjek yang terdiri atas 92 respoden tanpa akne
vulgaris, 89 responden menderita akne vulgaris derajat ringan dan 47
responden menderita akne vulgaris derajat sedang sampai berat. Pada
penelitian ini didapatkan hasil responden dengan tingkat keparahan
akne vulgaris sedang sampai berat melaporkan konsumsi yang lebih
20

besar susu per hari dibandingkan dengan peserta tanpa akne vulgaris
dan peserta dengan akne vulgaris ringan (P < 0.001). Konsentrasi
serum IGF-1 meningkat lebih banyak setelah konsumsi susu dan
produk susu dibandingkan dengan sumber protein lain, termasuk
daging. Dengan demikian, konsumsi susu dapat meningkatkan
perkembangan akne vulgaris dengan meningkatkan konsentrasi
postprandial insulin dan IGF-1. Kelebihan penilitian ini adalah Food
Frequency Quisioner untuk menilai asupan makanan sudah
tervalidasi. Selain itu, penegakkan diagnosis akne vulgaris didasarkan
pada kuisioner yang diisi oleh responden yang kemudian ditinjau
kembali oleh dokter spesialis kulit.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juhl,
Bergholdt, Miller, Jemec, Kanters, Ellervi (2018) dengan desain
penelitian yang sama yaitu cross sectional. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada responden sejumlah 20.417 yang
terdiri atas dengan 303 responden dengan akne vulgaris, 20.113
kontrol subjek didapatkan kaitan yang signifikan antara makanan milk
intake dengan kejadian akne vulgaris (P=0.0001). Milk intake dapat
meningkatkan level insinsin-like growth factor-1 (IGF1), yang
dihipotesiskan sebagai hubungan sentral antara asupan susu dan
stimulasi kelenjar sebaceous. Dengan demikian orang yang sering
mengkonsumsi susu rentan terhadap kejadian akne vulgaris. Asupan
milk intake didapatkan dari analisis kuisioner yang sudah diuji
validitasnya. Selain itu, penegakkan diagnosis dilakukan oleh petugas
kesehatan yang professional dan juga jumlah sampel pada penelitian
ini berasal dari berbagai kalangan, suku dan etnis.
Hubungan yang signifikan antara susu dan akne vulgaris juga
didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suppiah,
Sundram, Sing Tan, Lee, Bustami, Keat Tan (2018). Desain penelitian
yang digunakan adalah case control. Hasil konsumsi susu secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan AV (63,2%, n = 36)
21

dibandingkan kontrol (43,9%, n = 25), (OR = 2,19, p <0,05).


Responden yang mengonsumsi susu 2 gelas atau lebih setiap hari
ditemukan memiliki 2 kali lipat peningkatan insiden akne vulgaris.
Hormon seperti testosteron dan androstenedion secara alami ada
dalam susu sapi dan telah dikaitkan dengan peningkatan kadar IGF-I
yang menyebabkan produksi sebum yang lebih tinggi dan
mempromosikan keratinisasi folikel. Selain itu, kandungan
karbohidrat dari susu menghasilkan respons glikemik dan insulinemik
yang menyebabkan perkembangan akne vulgaris, sama seperti efek
dari diet glikemik indeks tinggi. Kelebihan penelitian ini adalah
penegakkan diagnosis jerawat didasarkan pada Comprehensive Acne
Severity Scale (CASS) dan analisis data menggunakan SPSS 20. Akan
tetapi ada kekurangan pada penelitian ini yaitu jumlah sampel yang
kecil yaitu 57 responden dengan akne vulgaris, 57 kontrol subjek serta
jenis susu yang dikonsumsi kurang terperinci.
Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Kartikasari &
Supardjo (2017) dengan desain penelitian cross sectional didapatkan
tidak adanya hubungan antara konsumsi produk olahan susu (keju,
yogurt, es krim, susu kental manis, susu bubuk full cream, susu UHT,
dan mentega) dengan kejadian akne vulgaris (P> 0.05). Perbedaan
hasil yang didapatkan peneliti dengan penelitian sebelumnya juga
mungkin karena adanya variable-variabel perancu yang dapat
menyebabkan akne vulgaris seperti iklim tropis yang berbeda dengan
iklim pada lokasi sebelumnya, serta tidak penelitian dilakukannya
penilaian apakah jenis kulit responden termasuk jenis kulit berminyak
atau tidak, selain itu jenis susu yang diteliti juga berbeda. Serta karena
adanya keterbatasan waktu penelitian, kurang banyaknya jumlah
sampel, penelitian ini bersifat lokal, yakni pada populasi tertentu yang
digunakan sebagai subjek maka dari itu populasi yang didapatkan
kurang bervariasi, perbedaan metode pengambilan data dan alat ukur
penelitian. Hasil penelitian ini sama seperti penelitian yang dilakukan
22

oleh Kusumaningrum, Riyanto, Widodo (2019) dengan desain


penelitian yang sama dan jumlah total sampe 46 subjek. Hasil yang
tidak signifikan pada penelitian ini kemungkinan dikarenakan
kurangnya frekuensi konsumsi susu pada respoden perminggunya,
seperti pada penelitian lain yang menyebutkan, bahwa seseorang yang
mengkonsumsi susu cair 3 kali atau lebih dalam seminggu dapat
memicu terjadinya akne vulgaris, dibandingkan seseorang yang hanya
mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu. Namun berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, subjek yang mengkonsumsi susu 3 kali atau
lebih selama seminggu hanya menderita AV derajat ringan hingga
sedang. Susu mengandung IGF-1 yang dapat meningkatkan level
androgen disirkulasi sehingga mempengaruhi komedogenitas dan
mempengaruhi perkembangan akne.
Penelitian yang dilakukan oleh LaRosa, Quach, Koons, Kunselman,
Zhu, Thiboutot, Zaenglein (2016) didapatkan hasil jumlah susu low
fat/skim milk yang dikonsumsi oleh peserta dengan akne vulgaris
secara signifikan lebih tinggi (P = 0,01) dibandingkan mereka yang
tidak berakne vulgaris. Sedangkan untuk susu dengan lemak jenuh
atau lemak trans tidak terdapat perbedaan signifikan. Hal ini
diakibatkan karena skim milk mengandung hormon konstituen atau
faktor-faktor yang mempengaruhi dapat hormon endogen dalam
pertumbuhan akne vulgaris. Terdapat perbedaan antara susu lemak
jenuh dan skim milk yaitu pada komposisi whey protein, asam lemak,
dan molekul kolesterol. Susu dengan lemak jenuh, juga mengandung
banyak asam lemak rantai sedang yang bermanfaat dalam
meningkatkan metabolisme yang sehat dan mengurangi resistensi
insulin. Kelebihan pada penelitian ini dibandingkan penelitian yang
lain adalah desain penelitian yang digunakan adalah case control serta
penilaian asupan susu didasarkan pada kuisioner 24 hours-recall yang
dilakukan pada 2 hari kerja dan 1 hari weekend. Penilitian ini juga
menggunakan Nutrition Data System for Research (NDSR) yaitu
23

perkiraan asupan gizi secara akurat serta penegakan diagnosis jerawat


didasarkan pada Global Acne Assessment Scale dan dinilai langsung
oleh ahli dermatologis.
Berdasarkan keenam jurnal diatas maka disimpulkan bahwa
didapatkan hasil yang signifikan antara susu terhadap kejadian akne
vulgaris contohnya skim milk. Seperti pada penelitian yang dilakukan
oleh LaRosa, Quach, Koons, Kunselman, Zhu, Thiboutot, Zaenglein
(2016) dengan jenis penelitian case control yang lebih menjelaskan
mengenai pengaruh susu terhadap kejadian akne vulgaris. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sihaloho & Indramaya (2016), dimana susu
bebas lemak proses pembuatannya diduga mengubah bioavailabilitas
molekul bioaktif dan interaksinya dengan protein pengikat sehingga
keseimbangan hormonal dalam susu berubah lalu menyebabkan
komedogenesis. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Kartikasari & Supardjo (2017) terdapat hasil dalam penelitian yang
tidak mendukung adanya hubungan signifikan antara susu dan akne
vulgaris karena adanya variable perancu dan penelitian ini bersifat
lokal.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Akne vulgaris adalah peradangan pada kulit yang terjadi ketika folikel
polisebasea tersumbat oleh sel minyak dan kulit mati. Akne kebanyakan
menyerang usia remaja yaitu sekitar 85%. Salah satu faktor yang diduga
menjadi penyebab akne vulgaris adalah pola makan, contohnya makanan
yang mengandung indeks glikemik yang tinggi dan susu. Pola makan tinggi
IG dapat menyebabkan hiperinsulinemia yang kemudian meningkatkan
sintesis androgen dan respon endokrin yang secara bersamaan meningkatkan
IGF-1 dan menghambat IGFBP-3. IGF-1 dapat merangsang proliferasi
keratinosit sedangkan IGFBP-3 menghambat proliferasi keratinosit dengan
mencegah IGF-1 berikatan dengan reseptornya, akibatnya terjadi
hiperkeratinisasi folikel sebasea. Peningkatan IGF-1 juga merangsang
produksi sebum yang sangat berhubungan dengan tingkat keparahan akne
vulgaris.
Selain itu, susu juga dapat mengakibatkan akne vulgaris. Susu yang dapat
memicu perkembangan akne vulgaris adalah susu bebas lemak (skim milk).
Skim milk mengandung hormon konstituen atau faktor-faktor yang
mempengaruhi dapat hormon endogen dalam pertumbuhan akne vulgaris.
Skim milk pada proses pembuatannya mengubah bioavailabilitas molekul
bioaktif dan interaksinya dengan protein pengikat sehingga keseimbangan
hormonal dalam susu berubah lalu menyebabkan komedogenesis.
Komedogenesis merupakan awal mula terjadinya akne vulgaris. Selain itu,
milk intake dapat meningkatkan level insinsin-like growth factor-1 (IGF-1),
yang merupakan hubungan sentral antara asupan susu dan stimulasi kelenjar
sebaceous.

24
25

4.2 Saran
1. Bagi institusi
Diharapkan dapat meningkatkan proses pembelajaran tentang pengaruh
pola makan terhadap kejadian akne vulgaris
2. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat menambah informasi tentang pengaruh pola makan
terhadap kejadian akne vulgaris.
3. Bagi peneliti selanjutnya
1) Hendaknya penelitian selanjutnya menggunakan metode penelitian
case control ataupun cohort study, sehingga perkembangan tentang
pengaruh pola makan dengan kejadian akne vulgaris dapat dibuktikan
secara lebih bermakna.
2) Untuk penelitian selanjutnya perlu dikembangkan dengan jumlah
sampel dan populasi yang lebih besar serta populasi tidak bersifat
lokal sehingga pengaruh pola makan dengan kejadian akne vulgaris
dapat dibuktikan secara lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

Alfriyanti, R.N. (2015). Akne Vulgaris pada Remaja. J Majority. 4(6): 102- 109.

Assaf, H.A., Abdel-Maqed, W.M., Elsadek, B.E.M., Hassan, M.H., Adly, M.A.,
Ali, S.A. (2016). Survivin as a Novel Biomarker in the Pathogenesis of
Acne Vulgaris and Its Correlation to Insulin-Like Growth Factor-I. Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5075610/pdf/DM2016-
7040312.pdf. pada tanggal 16 Juni 2020.

Burris, J., Rietkerk, W., Woolf, K. (2014). Relationships of Self-Reported Dietary


Factors and Perceived Acne Severity in a Cohort of New York Young
Adults. Journal Of The Academy Of Nutrition And Dietetics. 114(3): 384-
92. DOI : http://dx.doi.org/10.1016/j.jand.2013.11.010.

Burris, J., Rietkerk, W., Shikany, J. M., & Woolf, K. (2017). Differences in


Dietary Glycemic Load and Hormones in New York City Adults with No
and Moderate/ Severe Acne. Journal Of The Academy Of Nutrition And
Dietetics. 117(9): 1375-81. DOI :
http://dx.doi.org/10.1016/j.jand.2017.03.024

Cerman, Aktas, Altunay, Arici, Tulunay & Ozturk. (2016). Dietary Glycemic
Factors, Insulin Resistance, and Aiponectin Levels in Acne Vulgaris. J Am
Acad Dermatol. 75(1): 155-62. DOI :
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2016.02.1220

Departemen Kesehatan RI. (2014). Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan


untuk Petugas). Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat
Gizi Masyarakat.

Dorland WA, Newman. (2011). Kamus Kedokteran Dorland ed. 32. Jakarta:
Penertbit Buku Kedokteran EGC.

Indira, I.G.A.A.E. (2017). Profil Asupan Makanan pada Dewasa Muda dengan
Akne Vulgaris Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Simdos
Unud. Program Studi Dermatologi Dan Venereologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.

Juhl, C., Bergholdt, H., Miller, I., Jemec, G., Kanters, J., & Ellervik, C. (2018).
Lactase Persistence, Milk Intake, and Adult Acne: A Mendelian
Randomization Study of 20,416 Danish Adults. MPDI Journal. 10(1041): 1-
11. DOI : 10.3390/nu10081041

Jusuf, N.K. (2018). Akne dan Diet ed pertama. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

26
27

Kartikasari, A & Supardjo, T. (2017). Hubungan Konsumsi Produk Olahan Susu


dengan Kejadian Akne Vulgaris Pada Siswa SMA X. PhD Thesis. Trisakti
University.

Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia. (2018). Akne ed. 1. Jakarta:


Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kusumaningrum, D.A., Riyanto, P., Widodo, A. (2019). Hubungan Konsumsi


Susu Dengan Derajat Keparahan Akne Vulgaris Pada Mahasiswi Program
Studi Kedokteran Universitas Diponegoro Angkatan 2015-2017. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. 8(2): 674-680.

LaRosa, C. L., Quach, K. A., Koons, K., Kunselman, A. R., Zhu, J., Thiboutot, D.
M., & Zaenglein, A. L. (2016). Consumption of dairy in teenagers with and
without acne. J Am Acad Dermatol. 75(2): 318–322. DOI :
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2016.04.030

Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nareyah, M & Suryawati, N. (2017). Karakteristik profil akne vulgaris


berdasarkan indeks glikemik makanan pada mahasiswa semester III fakultas
kedokteran Universitas Udayana tahun 2014. Intisari Sains Medis. 8(2):
139-143.

Sirajuddin, Surmita & Astuti, T. (2018). Survei Konsumsi Pangan. Jakarta: Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Sihaloho, Kristina & Indramaya D.M. (2016). Hubungan antara Diet dan Akne. e-
Journal Unair Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of
Dermatology and Venereology, 28 (2).

Sitohang, I.B.S & Wasitatmadja, S.M. (2017). Ilmu Penyakit Kulit Kelamin ed. 7.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sugiyono, (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


PT Alfabe.

Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Suppiah, T.S.S., Sundram, T.K.M., Tan, E.S.S., Lee, C.K., Bustami, N.A., Tan,
C.K. (2018). Acne Vulgaris and Its Association With Dietary Intake: A
Malaysian Perspective. Asia Pac J Clin Nutr. 27 (5): 1141-1145.
DOI: 10.6133/apjcn.072018.01
28

Winardi, R. (2017). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Timbulnya Acne


Vulgaris Pada Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin
Angkatan 2014-2017. Skripsi. Universitas Hassanuddin.

Wulan, I.G.A.K., Hidayat, A.N., Sukanto, H. (2016). Profile Of Serum Insulin-


Like Growth Factor-1 Levels In Patients With Acne Vulgaris. e-Journal.

Anda mungkin juga menyukai