Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Gawat Darurat
Profesi Studi Ners

Disusun Oleh:

AYU AGUSTIYANI 2017 0305 029

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2017/2018
Nama : Ayu Agustiyani

NIM : 20170305029

A. Judul
ASUHAN KEPERAWATAN PADA CKD ( CHRONIC KIDNEY
DISEASE)
B. Konsep Dasar
1. Pengertian
Gagal ginjal merupakan penyakit ginjal tahap akhir, progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menjadi
uremia.
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal.
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkat sampah
metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin
dan metabolic, cairan, elektrolit serta asam basa. Gagal ginjal merupakan
penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai
penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Ada 2 tipe gagal ginjal yaitu :
a) Gagal ginjal kronik : perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa
tahun dan tidak reversible)
b) Gagal ginjal akut : seringkali berkaitan dengan penyakit krisis,
berkembang cepat dalam hitungan beberapa hari hingga minggu
dan biasanya reversible bila pasien dapat bertahan dengan penyakit
krisisnya.

2. Anatomi Fisiologi

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di


rongga peritoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan
sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini, terdapat hilus ginjal,
yaitu tempat struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem
saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal
sangat bervariasi tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada
tidaknya ginjal pada sisi lain. Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm
(panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi sekitar
120-170 gram.

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang


disebut true capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat
jaringan lemak peri renal. Di sebelah kranial terdapat kelenjar anak
ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar
adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh
fasia gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat
meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi
urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula
berfungsi sebagai barier dalam menghambat metastasis tumor ginjal ke
organ sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal atau disebut jarinagn lemak pararenal.

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung


yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah
anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan
dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri
dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum, dan kolon. Ginjal
kanan tingginya sekitar 1 cm di atas ginjal kiri.

Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan
medula ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan
di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit
fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas glomeruli dan tubuli
ginjal. Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi
di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa
metabolisme tubuh disekresi bersama air dalam bentuk urin.
Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida
ke sistem pelvikalises ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem
pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor,
dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel
transisional dan dindingnya terdiri otot polos yang mampu berkontraksi
untuk mengalirkan urin sampai ureter.

Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200


liter tiap harinya dan juga membuang sisa-sisa metabolisme serta
kelebihan cairan tubuh melalui urin. Selain membuang sisa-sisa
metabolisme tubuh melalui urin, ginjal berfungsi juga dalam:

a) Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon


dan Anti Diuretik Hormon (ADH)
b) Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
c) Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan
dalam pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam
pengaturan tekanan darah, kalsitriol atau vitamin D3 yaitu bentuk
aktif dari vitam D yang berfungsi mengatur tekanan darah dengan
cara mengatur keseimbangan kadar kalsium, dan hormon
prostaglandin.
3. Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik
Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
a) Penurunan cadangan ginjal
 Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
 BUN dan kreatinin serum masih normal
 Pasien asimtomatik
b) Gagal ginjal
 75-80% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
 BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
 Anemia ringan dan azotemia ringan
 Nokturia dan poliuria
c) Gagal ginjal
 Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
 BUN dan kreatinin serum meningkat
 Anemia, azotemia, asidosis metabolik
 Berat jenis urin
 Poliuria dan nokturia
 Gejala gagal ginjal
d) End-stage renal disease (ESRD)
 Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
 Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
 BUN dan kreatinin tinggi
 Anemia, azotemia, dan asidosis metabolic
 Berat jenis urin tetap 1,010
 Oliguria
 Gejala gagal ginjal
4. Penyebab

Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes


mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-
stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA
nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan
hipertensi adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh,
pembuluh darah di ginjal juga mengalami dampak terjadi kerusakan
sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.

Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu


dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi
penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%,
kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis
sebanyak 10%. Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi
karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada
ginjal, hipertensi.
Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi
menjadi 8 kelas, antara lain :

Klasifikasi Penyakit Penyakit


Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks
nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik
herediter Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat
TBC
Nefropati timah

5. Manifestasi Klinis (tanda & gejala)


Manifestasi klinik antara lain :
a) Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi.
b) Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik, edema yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) dalam buku Clevo &


Margareth (2012) adalah sebagai berikut :

a) Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas


akibat pericarditis, efusi pericarditis dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b) Gangguan pulmoner : nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan
sputum kental dan riak, suara krekels
c) Gangguan gastrointestinal : anoreksia, nausea dan fomitus yang
berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan
pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas
bau ammonia.
d) Gangguan musculoskeletal : resiles leg sindrom (pegal pada
kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrome (rasa
kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).
e) Gangguan integument : kulit berwarna pucat akibat anemia dan
kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal
akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f) Gangguan endokrin : gangguan seksual, libido fertilitas dan ereksi
menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic
glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g) Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa :
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hyperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h) System hematologi : anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga ragsangan eritopoesis pada sum –
sum tulang berkurang, hemolysis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana ureia toksik, dapat juga terjadi gangguan
fungsi trombosis dan trombositopeni.

6. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron ( termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron – nefron yang utuh hipertofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron – nefron
rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang
bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotic disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguria
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala –
gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala – gejala khas
kegagalan ginjal bila kira – kira fungsi ginjal telah hilang 80 % - 90%.
Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15ml/menit atau lebih rendah.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak
gejala uremia membaik setelah dialysis.
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga
stadium yaitu :
a) Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal) ditandai dengan kreatinin
serum dan kadar blood ureum nitrogen (BUN) normal dan
penderita asimtomatik.
b) Stadium 2 (insufisiensi ginjal) lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak (glumerulo filtration rate besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini blood ureum nitrogen mulai meningkat
diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
c) Stadium 3 (gagal ginjal stadium akhir/uremia) timbul apabila 90%
massa nefron telah hancur, nilai glomerulus filtration rate 10% dari
normal, kreatinin klirens 5 – 10 ml permenit atau kurang. Pada
tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrogen
meningkat sangat mencolok dan timbul oliguria.
7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare
(2002) yaitu:
a) Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b) Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin-angiostensin-aldosteron
d) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin
dan kehilangan darah selama hemodialisis.
e) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D
abnormal dan peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009)
yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan
pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya
bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien
dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk
melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia
aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes,
hipertensi mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting.
Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan
hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya
tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun
mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu
biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan
pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan
air akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap
mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi
tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat
menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau
tersier serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda
jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat
dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik
merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya
pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia dapat
menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih
sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan
populasi normal. Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada
terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia
lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi
pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan
dengan bau napas yang menyerupai urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan
libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma.
Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya
ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang
abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi
pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang
dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,
kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda
iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi,
meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus
pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling
berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia
dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid
(parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium membran
yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang
abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa
diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang
merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik
seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan
risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi
sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun
dan dialysis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen,
dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada
pasien yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang
menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma
regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran
peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya
jika kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat
hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan
hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara
dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar
sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh
bagian tubuh yang tersisa.
8. Penatalaksanaan
a) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit
meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan
melalui berat badan, urine dan pencatatan keseimbangan cairan.
b) Diit tinggi kalori dan rendah protein. Diit rendah protein (20-
40g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan
nausea dari uremia, menyebabkan penurunan uremia dan perbaikan
gejala. Hindari masukan berlebih dari kalium dan garam.
c) Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit gagal
ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa
tergantung tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop, selain
obat antihipertensi.
d) Kontrol ketidakseimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan
adalah hyperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah
hyperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga
60 mmol/hari), diuretic hemat kalium, obat – obatan yang
berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya penghambat ACE
dan obat antiinflamasi nonstreroid), asidosis berat atau kekurangan
garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut
dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG.
e) Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal. Hiperfosfatemia
dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti almunium
hidroksida (300 – 1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3.000 mg)
pada setiap makan.
f) Deteksi dini dan terapi infeksi. Pasien uremia harus diterapi
sebagai pasien imunosupresif dan diterapi lebih ketat.
g) Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal. Banyak obat – obatan
yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan
dikeluarkan oleh ginjal.
h) Deteksi dini dan terapi komplikasi. Awasi degan ketat
kemungkinan ensefalopati uremia, pericarditis, neuropati perifer,
hyperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat,
kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa,
kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.
i) Perispkan dialysis dan program transplantasi. Segera dipersiapkan
setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis
biasanya adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas meski
telah dilakukan terapi konservatif, atau terjadi komplikasi.

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK
adalah:
a) Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria)
terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b) Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya
darah.
c) Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal
contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
d) pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular
ginjal dan rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e) Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan
kerusakan ginjal.
f) Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr
bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g) Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h) Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi
tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,


antara lain:

a) Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
 Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
 Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
 Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
b) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
 Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
 Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
c) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
 Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
 Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan
indikasi
 Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, klasifikasi.
 Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
d) Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
10. Pathway Keperawatan

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah kerusakan pada
Jumlah nefron
Darah menjadi dalam arteri nefron
yang sehat
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal

Kerusakan
Ginjal kehilangan
pembuluh darah di
kemampuan laju
ginjal
filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
Proteinuria/ menurun
meningkat terganggu dihydroxyvitamin D atau
albuminuria
kalsitriol
asimtomatik anemia Total CES ↑
Sekresi protein Sindroma uremia
terganggu
kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler

↑Volume interstitial
hipoalbuminuria Syndrome perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
oedema gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan basa Ca
Pruritus pruritus
pergelangan
kaki, tangan, ↑Preload
MK: ↑As. ↓absorbsi Ca
wajah, perut
MK: gangguan Hipertrofi gangguan Lambung
integritas kulit ventrikel kiri integritas hipokalsemia
MK: kelebihan kulit dan
volume cairan
Payah jantung kiri osteodistrofi

Nausea, Iritasi
↑Bendungan vomiting lambung MK:
atrium kiri Hambatan
Mobilitas
Tekanan vena MK: mual MK:
Fisik
pulmonalis Ketidaksei
mbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik
kurang
dari
Edema paru kebutuha

MK : gangguan
pertukaran gas
C. Konsep Keperawatan
1. Identitas
Terdiri dari Nama, No rekam medis, umur (lebih banyak terjadi pada
usia 30 – 60 tahun), agama, jenis kelamin (pria lebih beresiko daripada
wanita), pekerjaan, status perkawnan, alamat, tanggal masuk, yang
mengirim, cara masuk RS dan diagnose medis dan nama identitas
penanggung jawab meliputi : Nama, Umur, Hubungan dengan pasien,
Pekerjaan dan Alamat.
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama 
Keluhan utama merupakan hal yang dirasakan oleh klien sebelum
masuk ke rumah sakit. Pada klien dengan gagal ginjal kronik
biasanya didapatkan keluhan utama yang bervariasi, mulai dari
urine ke luar sedikit sampai tidak bisa BAK, gelisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas bau (ureum) dan
gatal pada kulit.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang 
Biasanya klien mengalami penurunan frekuensi urine, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya
perubahan kulit, adanya nafas berbau amoniak, rasa sakit kepala,
nyeri panggul, penglihatan kabur, perasaan tak berdaya dan
perubahan pemenuhan nutrisi.
c) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien berkemungkinan mempunyai riwayat penyakit
gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat – obatan nefrotoksik, penyakit batu saluran
kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes
melitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat - obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi
terhadap jenis obatkemudian dokumentasikan.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit yang sama dengan klien yang gagal ginjal
kronik, maupun penyakit diabetes melitus dan hipertensi yang bisa
menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit gagal ginjal kronik.
3. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum dan TTV
 Keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat
 Tingkat kesadaran klien menurun sesuai dengan tingkat uremia 
dimana dapat mempengaruhi sistem saraf pusat.
 TTV : RR meningkat, tekanan darah didapati adanya hipertensi
b) Kepala 
 Rambut :  Biasanya klien berambut tipis dan kasar, klien sering
sakit kepala, kuku rapuh dan tipis.
 Wajah  :   Biasanya klien berwajah pucat
 Mata :  Biasanya mata klien memerah, penglihatan kabur,
konjungtiva anemis, dan sclera tidak ikterik.
 Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakkan polip dan klien
bernafas pendek dan kusmaul
 Bibir : Biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi
gusi, perdarahan gusi, dan napas berbau
 Gigi :   Biasanya tidak terdapat karies pada gigi.
 Lidah  :   Biasanya tidak terjadi perdarahan
 Leher  :  Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tyroid atau
kelenjar getah bening
c) Dada / Thorak
 Inspeksi  : Biasanya klien dengan napas pendek, pernapasan
kussmaul (cepat/dalam)
 Palpasi    : Biasanya fremitus kiri dan kanan
 Perkusi   : Biasanya Sonor
 Auskultasi  : Biasanya vesicular
d) Jantung 
 Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi   : Biasanya ictus Cordis teraba di ruang inter costal 2
linea deksta sinistra
 Perkusi  : Biasanya ada nyeri 
 Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat
e) Perut / Abdomen
 Inspeksi :Biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau
penumpukan cairan, klien tampak mual dan muntah
 Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35 
kali/menit
 Palpasi  : Biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang,
dan adanya pembesaran hepar pada stadium akhir.
 Perkusi  : Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites.
f) Genitourinaria 
Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria,
distens abdomen, diare atau konstipasi, perubahan warna urine
menjadi kuning pekat, merah, coklat dan berawan.
g) Ekstremitas 
Biasanya didapatkan adanya nyeri panggul, odema pada
ekstremitas, kram otot, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, keterbatasan gerak sendi.

h) Sistem Integumen
Biasanya warna kulit abu – abu, kulit gatal, kering dan bersisik,
adanya area ekimosis pada kulit.
i) System Neurologi
Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori,
penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan
proses fikir disorientasi. Klien sering didapati kejang dan adanya
neuropati perifer.
4. Diagnosa keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan haluaran urine,
retensi cairan dan natrium
b) Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
disfungsi renal
c) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan anemia, keletihan dan
retensi produk sampah
5. Perencanaan keperawatan

Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Kelebihan volume Fluid balance NIC:
Tujuan : Fluid Management:
cairan
Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan intake dan output secara akurat
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam 2. Kolaborasi dalam pemberian diuretik
kelebihan volume cairan 3. Batasi intake cairan pada hiponatremi dilusi dengan serum
dengan haluaran
teratasi dengan kriteria: Na dengan jumlah kurang dari 130 mEq/L
urine, retensi 1. Tekanan darah (4) 4. Atur dalam pemberian produk darah (platelets dan fresh
2. Nilai nadi radial dan frozen plasma)
cairan dan natrium
perifer (4) 5. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, TD
3. MAP (4) ortostatik, dan keadekuatan dinding nadi)
4. CVP (4) 6. Monitor hasil laboratorium yang berhubungan dengan
5. Keseimbangan intake dan retensi cairan (peningkatan kegawatan spesifik,
output dalam 24 jam (4) peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan
6. Kestabilan berat badan (4) osmolalitas urin)
7. Serum elektrolit (4) 7. Monitor status hemodinamik (CVP, MAP, PAP, dan
8. Hematokrit (4) PCWP) jika tersedia
9. Asites (4) 8. Monitor tanda vital
10. Edema perifer (4)
Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi, kram otot dan aktivitas
kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume inflow/outflow dan keseimbangan
cairan
5. Kosongkan bladder sebelum insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres mekanik pada kateter dialisis
peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada kateter dan penghubung
peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan periksa kimia darah
(jumlah BUN, serum kreatinin, serum Na, K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow, dwell, dan outflow)
sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor tanda dan gejala yang
mebutuhkan penatalaksanaan medis (demam, perdarahan,
stres resipratori, nadi irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien untuk diterapkan dialisis
di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan respon klien selama
dialysis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimbanga Electrolyte Balance Electrolyte Management
n elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai resep, jika diperlukan
berhubungan Setelah dilakukan asuhan 2. Pertahankan keakuratan intake dan output
dengan disfungsi selama 3x24 jam
3. Berikan elektrolit tambahan sesuai resep jika diperlukan
renal ketidakseimbangan elektrolit 4. Konsultasikan dengan dokter tentang pemberian obat
teratasi dengan kriteria hasil: elektrolit-sparing (misalnya spiranolakton), yang sesuai
1. Peningkatan sodium (4) 5. Berikan diet yang tepat untuk ketidakseimbangan
2. Peningkatan potassium (4) elektrolit pasien
3. Peningkatan klorida (4) 6. Anjurkan pasien dan / atau keluarga pada modifikasi diet
tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium dari pasien yang memakai
digitalis dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari ketidakseimbangan
elektrolit
3. Intoleransi NOC: NIC:
Activity Tolerance Activity Therapy
aktifitas
Tujuan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
berhubungan Setelah dilakukan keperawatan merencanakan program terapi yang tepat.
selama 3x24 jam pasien 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dengan anemia,
bertoleransi terhadap aktivitas dilakukan
keletihan dan Kriteria hasil: 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
1. Saturasi Oksigen saat dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
retensi produk
aktivitas (4) 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
sampah 2. Nadi saat aktivitas (4) yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
3. RR saat aktivitas (4) 5. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti
4. Tekanan darah sistol dan kursi roda, krek.
diastol saat istirahat (4) 6. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
5. Mampu melakukan 7. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
aktivitas sehari-hari dalam beraktivitas
(ADLs) secara mandiri (4) 8. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
10. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular terhadap aktivitas
(takikardia, disritmia, sesak nafas, diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social dan spiritual.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary, dkk. (2005). Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan

Keperawatan. Jakarta: EGC

Black, Joyce & Hokanson, Jane. (2014). Keperawatan Medikal Bedah – edisi 8.
Salemba Medika.

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser.

(2000). Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Dwi C, Rizky, dkk. (2015). Small Grup Discussion Keperawatan Perkemihan


Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gagal Ginjal Kronik (Chronic
Kidney Disease). Universitas Airlangga – Surabaya. Diakses pada tanggal
5 Maret 2018 pukul 20.35
http://www.academia.edu/12971116/Asuhan_Keperawatan_pada_CKD
O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:

Erlangga.

Rendy, Clevo & Margareth. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Nuha Medika – Jogjakarta.

Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Wijayaningsih, Kartika Sari. Standar Asuhan Keperawatan. Trans Info Media –


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai