Jurnal Penelitian Rere

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

DI PERGURUAN TINGGI DAN TANTANGAN GLOBAL

oleh
M Revan Rizkyna (41818259)
ILMU KOMUNIKASI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan rahmat-Nya, kami dapat menyusun karya tulis ilmiah yang
berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi dan
Tantangan Global” dengan lancar. 

Adapun maksud penyusunan karya tulis ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah kewarganegaraan. Rasa terima kasih kami tidak terkirakan kepada
yang terhormat Ibu Dr. Dewi Kuriasih M,Si selaku dosen pengajar mata
kuliah kewarganegaraan, serta semua pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan karya tulis ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. 

Harapan kami bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang pentingnya upaya
pencegahan dampak global warming. 

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna dengan
keterbatasan yang kami miliki. Tegur sapa dari pembaca akan kami terima
dengan tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan karya tulis ini.
ABSTRAK

Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan diperguruan


tinggi cukup kuat, dan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh
mahasiswa. Hal itu tampak jelas dalam pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan tuntutan dan
perubahan masyarakat di era reformasi, mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukan perubahan paradigma
menuju kepada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa
mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Indikasi ke arah itu tampak dari substansi kajian, strategi, dan
evaluasi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang ditawarkan kepada
mahasiswa. Sementara itu, dalam mengantisipasi tuntutan global,
pembelajaran diorientasikan agar para mahasiswa mempunyai kemampuan,
kesadaran dan sikap kritis untuk menangkal dampak negatif globalisasi.
Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi kebebasan politik Pancasila
sehingga mahasiswa sadar dan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya
secara benar, rasional dan bertanggung jawab. Upaya ke arah itu dapat
dilakukan dengan mengisi dan memantapkan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) di perguruan tinggi dengan memberi kemampuan kritis kepada
mahasiswa, sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur melakukan kritik dan
evaluasi tentang manfaat globalisasi.

Kata kunci : pendidikan kewarganegaraan, tantangan global.

ABSTRACT

In formal, civics education at tertiary educational institution is strong


enough as one of the subject which must be studied by all students. This is
stated clearly in section 37, law No. 20, year 2003 about national education
system. In accordance with the society need and change in reformation era,
civics education at high education has been modified into humanistic
paradigma based on the assumption that the students are human beings who
have different potential and characteristics. The indicator of it is seen from the
material, strategy, and evaluation of civics education.
Besides, it anticipates the global need and the teaching is expected that
the students will have ability, awareness, and critical attitude to prevent the
negative effect. In global era should be given Pancasila politic freedom so that
students are aware and able to use their critical right well, rationality and
responsibility. It is suggested to improve the competency based curriculum at
tertiary educatinal institution by giving the students critical ability so that they
are aware and honest to do critics and evaluation in this global era.

Key words : civics education, global challenge.


PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini
berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang
sangat strategis dalam pembentukan nation and character building.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias
politik praktis penguasa, sehingga cenderung lebih merupakan instrumen
penguasa daripada sebagai wahana pembentukan watak bangsa. Hal yang
hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang seperti
dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan
It (citizenship education) has also opten reflected the interests of those in
power in a particular society and thus has been a matter of indoctrination
and the establishment of ideological hegemony rather than of education.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era
otoritarian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan telah
menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan
semangat reformasi dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan
ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain sebagai berikut. (1) karena
pola pembelajaran yang indoktrinatif dan monolitik. (2) muatan materi
ajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru). (3)
mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotor. Dengan demikian Pendidikan
Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi.
Menyadari realitas tersebut, diperlukan upaya rekonstruksi dan reorientasi
Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi
mata kuliah pendidikan Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) tidak bisa lepas dari konteks ikhtiar kalangan perguruan
tinggi untuk menemukan format baru pendidikan demokrasi di Indonesia
sekaligus mengantisipasi tuntutan global.
Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-lembaga
kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur
perpolitikan, perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan
global. Isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan
hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi membuat
dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa
mengenal batas negara. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola
sikap, dan tindakan masyarakat Indonesia.
Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada
masa reformasi ini haruslah benar-benar dimaknai sebagai jalan yang
diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan
demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang
relevan dengan tuntutan global. Tentunya ekspektasi ini harus disertai
dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan Perguruan Tinggi,
untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan
Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat penting artinya bagi
penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan seperti
tersebut di atas, sangat dibutuhkan model dan strategi pembelajaran yang
humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah
manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda.
Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara dosen diposisikan
sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan
kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis
sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan
dan perubahan masyarakat lokal, nasional, dan global.

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Pendidikan Kewarganegaraan


Dalam tinjauan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan akan
dijelaskan beberapa pengertian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan,
sejarah Pendidikan Kewarganegaraan, tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan,
ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan dan PKn sebagai Pendidikan
Karakter. Untuk itu penjelasan mengenai pengertian Pendidikan
Kewarganegaraan diuraikan sebagai berikut.

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan


Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian menurut pendapatnya Nu’man Somantri (Cholisin
2000:1.8), memberikan pengertian PKn adalah Program pendidikan yang
berisi demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber
pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat,
orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar
berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan
hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dari
definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa PKn memiliki ciri-ciri (1)
merupakan program studi; (2) materi pokoknya adalah demokrasi politik
yang diperluas dengan pengaruh positif dari pendidikan sekolah,
keluarga, masyarakat, (3) bersifat interdisipliner; (4) tujuannya melatih
berpikir kritis dan analitis (intelectual skill), bersikap dan bertindak
demokratis sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian menurut Aziz Wahab (Cholisin, 2000:18) menyatakan
bahwa PKn ialah media pengajaran yang akan meng-Indonesiakan para
siswa sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Karena itu, program PKn
memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik dan hukum negara,
serta teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut. Berbeda
dengan pendapat diatas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai
penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang
memiliki pengetahuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk
berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut peneliti lebih cenderung
dengan apa yang dikemukakan oleh Nu’man Somantri yang intinya
adalah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran
yang berisi demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber
pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat,
orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar
berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan
hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian dengan mencari beberapa sumber referensi
pustaka. Penelitian ini juga menggunakan studi literatur, studi literatur
adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber
yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian.
Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, jurnal, buku dokumentasi,
internet dan pustaka. Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari jurnal,
buku dokumentasi, referensi buku dan internet.

HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Esensi dan Eksistensi Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan
Kewargaan pada satu sisi identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan.
Namun disisi lain, istilah Pendidikan Kewargaan secara substantif tidak
saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar
akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan
Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara
menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi
Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada
Pendidikan Kewarganegaraan.
Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003) berpendapat
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang
bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan
bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada
generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang
paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu
learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain.
Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan
nilai-nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu
proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang
mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang
bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political
efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan
politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan
bangsa. Menurut Soedijarto (dalam ICCE, 2003) mengartikan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk
membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik
dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis.
Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan keberadaanya secara
yuridis cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan
Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah
dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam
pembentukan nation and character building. Sebelum lahirnya Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan
No. 45/U/2002 tentang kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi
(KBK), yang dipertegas lagi dengan Keputusan Dirjen Dikti
No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah
pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi. Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil didik sebagai seseorang
yang kompeten dalam hal, yakni (1) menguasai pengetahuan dan
keterampilan tertentu, (2) menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan
keterampilan dalam bentuk kekaryaan, (3) menguasai sikap berkarya, dan
(4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat
dengan pilihan kekaryaan.
Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan
tinggi bertujuan membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai
dasar agama dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara
dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya
dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Dalam konteks mata kuliah
pengembangan kepribadian kompetensi yang dimaksud merupakan
kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah mahasiswa mengikuti
proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan
akademik, sikap dan keterampilan. Dalam pembelajarannya minimal
mencapai kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal
terdiri atas tiga jenis, yaitu pertama, kecakapan dan kemampuan
penguasaan pengetahuan yang terkait dengan materi inti. Kedua,
kecakapan dan kemampuan sikap. Ketiga, kecakapan dan kemampuan
mengartikulasikan keterampilan seperti kemampuan berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol
terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan.
Ketiga kompetensi tersebut diartikulasi oleh mahasiswa untuk
mengadakan pembelajaran (transfer of learning), pengalihan nilai (transfer
of value) dan pengalihan prinsip-prinsip (transfer of principles) pendidikan
agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan.
Kemampuan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan
membangun kearifan diri (self wisdom) dalam menggunakan kepercayaan
yang diberikan masyarakat merupakan tuntutan dasar kelompok mata
kuliah pengembangan kepribadian.

2.2 Ruang Lingkup Materi dan Paradigma Pendidikan


Kewarganegaraan
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.
38/DIKTI/Kep/2002 pada pasal 4 dinyatakan bahwa subsatansi kajian
Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut.
a. Pengantar
- Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok MPK
- Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
b. Hak asasi manusia
- Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia
hidup didunia.
- Penghargaan dan penghormatan atas hak-hak manusia dengan
perlindungan hukum.
c. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia
- Proses berbangsa dan bernegara
- Hak
- Kewajiban
d. Belanegara
- Makna bela negara
- Implementasi bela negara
- Demokrasi
- Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Wawasan Nusantara
- Latar belakang filosofis wawasan nusantara
- Implementasi wawasan nusantara dalam mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
f. Ketahanan Nasional
- Konsep ketahanan nasional yang dikembangkan untuk menjamin
kelngsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara.
- Fungsi ketahanan nasional sebagai kondisi doktrin dan metode
dalam kehidupan dan perdagangan bebas.
g. Politik Strategi Nasional
- Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan strategi
nasional untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi
kehidupan dan perdagangan bebas
- Politik nasional sebagai hakikat material politik negara
-Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu politik
pembangunan nasional.
Bila dicermati dari substansi kajian Pendidakan Kewarganegaraan
di atas, telah mengarah pada paradigma demokrasi, sekaligus untuk
memperkecil anggapan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengandung
kelemahan. Kelemahan yang dimaksud sebagaimana yang dikemukakan
oleh Winataputra (1999) bahwa materi pendidikan kewarganegaraan
menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan
paradigma, sehingga telah mengakibatkan ketidak jelasan, baik dalam
tataran konseptual maupun tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut,
yaitu (1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan;
(2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral
behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung
indoktrinatif (value inculcation); (3) ketidakkonsistenan penjabaran
berbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum
pendidikan kewarganegaraan; dan (4) keterisolasian proses pembelajaran
dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya. Sejalan
dengan pendapat di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa
kelemahan pendidikan kewarganegaraan di masa yang lalu sebagai berikut:
(1) terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan
siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral
tertentu; (2) kurang diarahakan pada pemahaman struktur, proses, dan
institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya; (3) pada umumnya
bersifat dogmatis dan relatif ; (4) berorientasi kepada kepentingan rezim
yang berkuasa. Lebih lanjut untuk menyikapi kelemahan-kelemahan
pendidikan kewarganegaraan yang ada sebelumnya, maka paradigma baru
pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi telah dilihat secara
holistik dan kontekstual dalam tataran ideal, instrumental dan praksis dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.3 Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan


Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi
dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen,
materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, paling
tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu
paradigma feodalistik dan paradigma humanistik.
Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga
pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan
mempersiapkan peserta didik untuk masa datang. Oleh karena itu, peserta
didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam
pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu
kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi
pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas
mahasiswa dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk
manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik.
Dalam penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif
dan otoriter.
Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi
bahwa pesrta didik adalah manusia yang mempunyai potensi karakteristik
yang berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini mahasiswa
ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi
pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar mahasiswa,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut
bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan
sosial. Bjuga manajemen pendidikan dan pembelajarannya menekankan
pada dimensi desntralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan
penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis.
Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambu
pelaksanaan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
ditetapkan oleh Ditjen Dikti di atas, telah mengindikasikan
mempergunakan paradigma humanistik.

2.2 Tantangan Global


Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai
dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung
banyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia
diperkirakan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan
dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel
sehingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan
dukungan berbagai keunggulan (sumber daya manusia dan teknologi)
barangkali harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi
kebanyakan negara berkembang dengan berbagai kondisi keterbelakangan
merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik
modal (negara maju).
Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005)
menyatakan bahwa universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin
tidak memiliki kemampuan untuk mencegah hadirnya paling sedikit tiga
ragam perubahan sangat problematik. Pertama, universitas harus
menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin
dikendalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar
pada gilirannya telah menghasilkan terjadinya komodifikasi dan
komersialisasi informasi dan dengan demikian hanya akan menjamin
ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan keuntungan. Kedua,
globalisasi teknologi informasi juga telah dan akan mengakibatkan
masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate
capitalism” yang akan semakin didominasi oleh institusi-institusi korporatis
di dalam bentuk organisasi oligopolis atau bahkan monopolis. Ketiga,
sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akan kita saksikan semakin
transparan adalah meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang
akan semakin menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan ekonomi
kita pada masa mendatang.
Tantangan sangat besar yang harus dijawab oleh setiap universitas
di masa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dan
didefinisikan kembali dalam bentuknya yang lebih kontekstual untuk
menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang semakin keras saat
ini dan di masa depan. Misi universitas harus dikontekstualisasikan dan
direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridharma universitas benar-
benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-
perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun
(2005) adalah sebagai berikut. Pertama, pengembangan kurikulum yang
dibangun di atas akomodasi perspektif multidisipliner atau transdisipliner,
dimana komposisi mata kuliah memiliki kemampuan yang kuat untuk
mengembangkan dialog antara disiplin ilmu pengetahuan tanpa harus
kehilangan fokus perhatiannya pada pengembangan ilmu sendiri. Kedua,
dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan humaniora,
kebijakan yang dimaksud harus secara jelas didesain untuk membongkar
dan mengikis monisme epistemologis, teoretis, metodologis. Ketiga,
struktur organisasi lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan harus
dikembangkan.
Menyadari akan tantangan perubahan, baik lokal, nasional, maupun
global semakin berat, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu
menumbuhkan sikap mental cerdas, penuh tanggung jawab dari mahasiswa
untuk mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional,
konsisten, berkelanjutan serta menjadi warga negara yang tahu hak dan
kewajibannya menguasai iptek serta dapat menemukan jati dirinya, dan
dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan, dan
berkemanusiaan.
Untuk mewujudkan harapan-harapan di atas, langkah konkrit yang
harus dilakukan adalah mengemas dan mengisi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kemampuan-kemampuan berpikir kritis kritis mahasiswa. Kedua,
kemampuan mengenali dan mendekati maslah sebagai masyarakat global.
Ketiga, kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati
perbedaan budaya. Keempat, kemampuan menyelesaikan konflik secara
damai. Kelima, kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan
pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan. Keenam,
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal, nasional, dan
internasional.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai


berikut. Ditinjau dari sudut yuridis, posisi dan keberadaan Pendidikan
Kewarganegaraan cukup kuat, sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh
seluruh mahasiswa. Untuk memperkokoh kedudukan Pendidikan
Keawarganegaraan dipandang perlu adanya pencitraan, seperti misalnya
“mahasiswa tanpa mengambil mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
tidak akan mungkin menjadi sarjana”. Sesuai dengan tuntutan
perubahan yang ada saat ini mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
telah mengarah pada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi
bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan
karakteristik yang berbeda-beda. Hal-hal yang mengindikasikan ke arah
paradigma tersebut, tampak dari silabus atau substansi kajian, evaluasi, dan
strategi pembelajaran mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Sementara itu, untuk mengantisipasi tuntutan perubahan global
diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengemas dan mengisi
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) perguruan tinggi dengan kesadaran
dan sikap kritis dari mahasiswa untuk menangkal dampak negatif
globalisasi. Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi dengan
liberalisasi politik Pancasila sehingga mahasiswa mampu dan berkehendak
secara sadar untuk memperjuangkan hak-hak dan menolak segala sesuatu
yang merugikan mereka. Akhirnya, mahasiswa perlu secara sadar dan jujur
untuk melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA.

Hirst, Paul dan Grahame Thomson. 2001. Globalisasi adalah Mitos.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Khor, Martin. 2000. Globalization and the South: Some Critical Issues.
Penang Malaysia: Third Word Network.

ICCE. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM


dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sumarsono, dkk. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Sukaya, dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:


Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai