Anda di halaman 1dari 11

Tugas kelompok

“Definisi, Sejarah, dan Kedudukan Hadist”

Kelompok 1

1. Triska s. puluhulawa
2. Sehat rahman
3. Sukmawati

Tadris Bahasa Inggris


Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo
TA : 2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allas Swt. yang telah memberikan
ramat dan karunianya kepada kita semua. Serta shalawat terhantur kepada nabi besar
Muhammad Saw, semoga kelak kita mendapat safaatnya, aminn.
Rasa terimakasih juga penulis hanturkan kepada dosen yang telah mempercayakan
pembuatan makalah ini kepada saya yang berjudul “Konsep, sejarah pembukuan, dan
kedudukan hadist ”. Seperti kata pepatah tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan
pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga membutuhkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak sehingga makalah ini lebih baik nantinya.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ketika Muhammad mendekati batas akhir hayatnya, mayarakat arab telah
menjelma menjadi umat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma Islam.
Dalam keadaan demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi
kerasulannya yang sudah diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam
mejalankan misinya itu, seluruh perilaku dan kondisi yang hadir pada diri Muhammad
dipersepsikan sebagai sistem etika universal yang menjadi sumber hukum yang kedua
setelah alQur’an. Sebab sistem etika tersebut tidak lepas dari kerangka etika al-Qur’an.
Pernyataan ini didukung oleh salah satu riwayat yang disampaikan oleh ‘Aisyah bahwa
prilaku (akhlak) muhammad adalah al-Qur’an. Riwayat di atas menunjukkan bahwa
keberadaan hadis (sunnah)1 Nabi sangat penting dan mendasar karena kedudukannya
sebagi sumber hukum sama dengan al-qur’an. Namun jika diurut secara hirarkis maka
sumber hukum yang pertama adalah al-Qur’an, sedangkan hadis menempati posisi yang
kedua. Keduanya menjadi satu-kesatuan yang intregral.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hadist ?
2. Bagaimana sejarah pembukuan hadist ?
3. Kedudukan hadist dalam islam

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi hadist
2. Mengetahui sejarah pembukuan hadist
3. Mengetahui kedudukan hadist dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Hadits menurut bahasa sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara 'adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW,
baik itu ucapan, perbuatan, atau penerimaan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
tentang ucapan, tindakan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan ) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (percakapan).
Hadits Fi'liyah adalah melakukan-tindakan Nabi Muhammad SAW, seperti
melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu penelitian dan
sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah adalah tindakan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik tindakan itu berbentuk ucapan atau tindakan,
sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau gunakan
anggapan baik untuk tindakan itu, dengan demikian dengan ikrar dan coba itu.
Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk:
- Pertama, Nabi mengetahui bahwa itu perbuatan yang pernah dibenci dan ditolak
oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui siapa yang berketerusan
melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan dikeluarkan itu. Diamnya Nabi dalam
bentuk ini membuktikan bahwa perbuatan itu boleh dilakukan. Dalam bentuk lain,
Nabi tidak tahu berketerusannya melakukan perbuatan yang menentang dan
membantah. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan
sebelumnya.
- Kedua, Nabi belum pernah melakukan itu sebelumnya dan tidak dikenal pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini membuktikan hukumnya adalah
meniadakan klaim untuk diperbuat. Karena tindakan seandainya yang dilarang,
tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, yang berarti
Nabi melakukan kesaahan; Sementara Nabi terhindar dari kesalahan.
B. Sejarah Pembukuan
Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa
rasyidin dan sebagian besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah,
hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka
belum terdorong untuk membukukannya. Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar
ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti
umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang sebagai khalifa rasyidin yang
kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi
yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang
meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya,
memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta
kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad binAmr bin Hazm untuk
membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad
bin AbU Bakar Ash Shiddieq.
‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
‘’Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu
tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan
anda terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan
ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”
Upaya mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk dilakukan dan
pembukuan adalah:
- Tidak ada larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur'an telah dihafal oleh ribuan
orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin
Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur'an dengan
hadits.
- Kekalahan akan dikembalikan karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang
Arab semakin banyak, sedangkan para ulama telah menyebarkan beberapa penjuru
negeri Islam setelah terjadi peningkatan kekuatan dalam negeri Islam.
- Munculnya pemalsuan memiliki akibat politik dan madzhab setelah fitnah, dan
terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu'awiyah, serta
Khawarij yang keluar dari hasil. Masing-masing golongan mendukung madzhab-
nya dengan cara menerjemahkan Al-Qur'an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pembaruan ini belum selesai dan sempurna karena Umar bin
Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits
dikirim. Para ahli hadits memandang sebagai upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan
langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, "Pembukuan hadits ini
terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas
permintaannya."
Pembukaan yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang
menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari pada kesukaan
pada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan
eksplorasi.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan
pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak
dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda.
Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan
metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
- Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
- Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
- As-Sunan karya Said bin Mansur
- Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah

Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian
ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
Dalam kedudukan sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperbarui hukum
dalam Al-Qur'an atau menyetujui sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam Al-Quran.Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua
pihak, karena memang untuk dikerjakan Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam
kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah
Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di
sebabkan oleh Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau Islam yang telah
sempurna. Oleh karena itu tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama menentukan bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau
dalil kedua setelah Al-Quran dan memiliki kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di
mengundang:
Banyak ayat Al-Qur'an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan untuk
rasull sering dirangkaikan dengan sulitnya mentaati Allah; seperti yang tersebut dalam
surat An-Nisa: 59:
artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah,
sebagaimana dimaksud dalam surat An-Nisa: 80:
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasulullah, Sesungguhnya ia mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.Yang diajukan dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat
ini adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasulullah tercakup
dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. BIla wahyu
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan
hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua
segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan
penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits
mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya
dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah
qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun
jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil
sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di
dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara
mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama
sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun
mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara
tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk
sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat
tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya
diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-
ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits
yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan
penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan
agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh,
maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
- Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi
apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-
Baqarah :110 yang artinya :
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi
yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.
- Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
1. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
2. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
3. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
4. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang
masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa
dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan,
yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram
dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah
shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam
Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang
tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits
itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT
mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut
lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena
memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan
terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah
berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam
Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT
menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam
pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah
diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang
ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian
besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara
amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian
keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka
dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :
Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an
atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi
apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar,
umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan
dalam surat An-Nisa : 103
Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.
Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk
umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-
Nisa :11: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan. Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan
penyebab kematian ayahnya.
Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya
firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang
bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya : “ dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau”. (Q.S An-Nisa :23)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:
- Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat
atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
- Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik
itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat
untuk semua umat Islam.
- Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an Bila kita lihat dari
fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada
dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam
segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum
dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak
tujuan yang digariskan.

Anda mungkin juga menyukai