Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas rahmat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan
dalam bentuk makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul “Motivasi” ini disusun untuk memenuhi mata kuliah
Psikologi Pendidikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa begitu banyak pihak yang telah turut
membantu dalam penyelesaian tugas ini. Melalui kesempatan ini, dengan segala
kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa.
2. Ibu Dinni Asih F, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pengampu.
3. Dan kepada pihak-pihak lain yang telah begitu banyak membantu namun tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin terdapat kekurangan dan jauh dari
sempurna,untuk itu kami mohon kritik dan saran. Dengan pembuatan makalah ini semoga
banyak memberikan manfaat bagi semua orang khususnya mahasiswa.

Semarang, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................1

1.3 Tujuan..........................................................................................................................1

BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................2

2.1 Pengertian Motivasi.....................................................................................................2

2.2 Perbedaan Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik................................................2

2.3 Motivasi, Hubungan, & Konteks Sosial Budaya.........................................................2

2.4 Teori Atribusi...............................................................................................................2

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................................4

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................5

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat kita ketahui rumusan masalah sebagai
berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan motivasi?
2. Apa perbedaan antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik?
3. Bagaimana hubungan motivasi, hubungan, dan konteks sosial budaya?
4. Apa yang dimaksud dengan teori atribusi?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat kita ketahui tujuan penulisan makalah
sebagai berikut.
1. Mengetahui pengertian motivasi.
2. Mengetahui perbedaan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
3. Mengetahui hubungan motivasi, hubungan, dan konteks sosial budaya.
4. Mengetahui teori atribusi.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Motivasi

B. Perbedaan Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik

C. Motivasi, Hubungan, & Konteks Sosial Budaya


Motivasi mencakup komponen sosial. Motif dibagi menjadi dua, yaitu motif
untuk berprestasi dan motif sosial. Pembahasan tentang dimensi sosial dari motivasi
difokuskan pada motif sosial, hubungan sosial, dan konteks sosiokultural.
1. Motif sosial
Motif sosial adalah kebutuhan dan keinginan yang dipelajari melalui
pengalaman dengan dunia sosial. Kebutuhan sosial siswa tercermin dalam
keinginan mereka untuk menjadi populer di hadapan teman sebaya, memiliki teman
dekat, dan keinginan untuk menjadi menarik di mata orang yang mereka sukai.
Meskipun setiap siswa memiliki kebutuhan afiliasi atau keterkaitan, beberapa siswa
memiliki kubutuhan yang lebih kuat dari yang lain. Contohnya di SMP dan SMA,
beberapa siswa merasa ada yang hilang ketika mereka tidak memiliki pacar, namun
ada siswa yang tidak memiliki kebutuhan afiliasi sekuat itu.
Kepedulian siswa akan memengaruhi kehidupan mereka di sekolah. Siswa
akan membangun dan memelihara hubungan sosial di sekolah setiap harinya.
Peneliti menemukan bahwa siswa yang menunjukan perilaku sosial yang kompeten
lebih unggul secara akademis dari mereka yang tidak. Persetujuan guru dan teman
merupakan motif sosial penting bagi sebagian besar siswa. Pada siswa SD lebih
termotivasi menyenangkan orang tua daripada teman. Pada akhir masa SD,
persetujuan orang tua dan persetujuan teman berada pada posisi seimbang pada
sistem motif anak. Pada masa SMP, persetujuan teman lebih penting daripada
persetujuan orang tua. Dan pada masa SMA, persetujuan teman kurang penting
karena siswa sudah lebih mandiri dan mampu membuat keputusan sendiri.
Masa remaja dapat menjadi titik penting dalam motivasi prestasi dan
motivasi sosial. Tekanan akademik dan sosial memaksa remaja mengambil peran
baru yang melibatkan tanggungjawab yang besar. Ketika remaja mendapat tekanan
yang kuat untuk berprestasi, maka kepentingan sosial akan mereka abaikan. Atau

2
dengan kata lain, ambisi pada satu bidang dapat melemahkan ambisi untuk
mencapai tujuan dalam bidang lain, contohnya prestasi akademik akan
menyebabkan hilangnya motif sosial. Pada masa remaja, siswa akan menghadapi
pilihan antara mengejar tujuan akademik atau tujuan sosial.
2. Hubungan sosial
Hubungan siswa dengan orangtua, teman sebaya, guru, mentor, dan orang
lain dapat memengaruhi prestasi dan motivasi sosial mereka.
2.1 Orang tua
Penelitian yang dilakukan pada hubungan antar orang tua dan motivasi
belajar siswa membahas karakteristik demografi, praktik pengasuhan anak,
dan penyediaan pengalaman spesifik di rumah.
a. Karateristik demografis.
Orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mungkin
percaya bahwa keterlibatan mereka dalam pendidikan anak merupakan hal
yang penting. Ketika waktu dan energi orang tua dihabiskan untuk hal-hal
lain ketimbang untuk anaknya, motivasi anak mungkin akan menurun drastis.
Tinggal dalam keluarga single parent, memiliki orang tua yang sibuk dengan
pekerjaan mereka, dan tinggal dalam keluarga besar akan menurunkan
prestasi anak.
b. Praktik pengasuhan anak.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam memengaruhi motivasi anak
adalah praktik pengasuhan anak di rumah. Beberapa praktik pengasuhan
positif yang meningkatkan motivasi dan prestasi meliputi:
 Mengenal betul anak, memberi tantangan dan dukungan dalam
jumlah yang tepat.
 Memberikan suasana emosional yang positif, yang memotivasi anak
untuk menginternalisasi nilai dan tujuan orangtua.
 Menjadi model perilaku yang memberi motivasi: bekerja keras dan
gigih menghadapi tantangan.
c. Penyediaan pengalaman spesifik di rumah.
Selain praktik pengasuhan anak, orang tua juga perlu menyediakan
berbagai kegiatan atau pengalaman spesifik di rumah untuk menumbuhkan
minat dan motivasi siswa. Membacakan buku di rumah dapat memberi efek
positif pada prestasi dan motivasi membaca anak. Periset mencatat bahwa

3
kamampuan dan kebiasaan siswa saat memasuki masa TK adalah prediktor
terbaik dari motivasi akademik dan kinerja siswa di masa SD dan SMP.
2.2 Teman sebaya
Teman sebaya dapat memengaruhi motivasi anak melalui perbandingan
sosial, kompetensi dan motivasi sosial, belajar bersama, dan pengaruh
kelompok teman sebaya. Anak dapat membandingkan dirinya sendiri dengan
teman sebaya mereka secara akademik dan sosial. Dibandingankan anak
kecil, remaja lebih cenderung melakukan perbandingan sosial dengan teman
sebayanya. Perbandingan sosial yang positif biasanya menimbulkan
penghargaan diri yang lebih tinggi, sedangkan perbandingan yang negatif
biasanya menurunkan penghargaan diri. Siswa biasanya membandingkan diri
mereka dengan siswa lainnya yang setara dalam hal usia, kemampuan, dan
minat. Peran teman sebaya juga turut memengaruhi prestasi akademik siswa.
Jika kelompok teman sebaya memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, maka
kelompok itu akan memberi dukungan positif pada siswa. Namun jika
motivasi berprestasi kelompok teman sebaya rendah, maka prestasi akademik
siswa pun apat memburuk.
2.3 Guru
Para siswa dengan prestasi buruk di sekolah secara konsisten memiliki
interaksi negatif dengan guru mereka. Dalam banyak kasus, siswa yang
mengalami masalah memang pantas ditegur dan dihukum, akan tetapi
pengaruhnya akan membuat mereka merasa sangat tidak nyaman saat berada
di kelas. Nel Noddings (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa siswa
akan berkembang menjadi seseorang yang berkompeten apabila mereka
merasa diperhatikan. Maka dari itu, guru harus mengenal muridnya dengan
baik. Siswa yang merasa memiliki guru suportif dan perhatian akan lebih
termotivasi untuk belajar. Sekolah dengan standar akademik tinggi, serta
dengan dukungan emosional dan akademik yang memadai, sering kali akan
membuat murid termotivasi untuk berprestasi.
2.4 Guru dan orang tua
Guru dan orang tua seharusnya menjadi mitra dalam meningkatkan
prestasi anak. Ketika guru secara sistematis dan rutin memberi informasi
kepada orang tua tentang kemajuan anak mereka dan orangtua terlibat dalam
kemajuan anaknya, maka prestasi akademik anak akan meningkat.

4
3. Konteks sosiokultural
Konteks sosiokultural akan difokuskan pada bagaimana latar belakang status
sosioekonomi, etnis, dan gender memengaruhi motivasi dan prestasi. Fokus
utamanya adalah diversitas.
Diversitas dalam kelompok minoritas etnis memengaruhi prestasi. Contohnya,
banyak anak Asia punya orientasi prestasi akademik yang kuat, tetapi sebagian
tidak. Pada saat yang sama, banyak penelitian mengabaikan status sosioekonomi
murid minoritas etnis. Ketika status etnis dan sosioekonomi diteliti, status
sosioekonomi lebih memengaruhi prestasi ketimbang etnis. Siswa yang berasal dari
keluarga dengan latar belakang sosioekonomi menengah ke atas memiliki situasi
akademik yang lebih baik ketimbang siswa dari keluarga berpendapatan rendah.
Sandra Graham (dalam Santock, 2007) melakukan studi yang bukan hanya
mengungkapkan peran status ekonomi yang lebih kuat ketimbang etnisitas, tetapi
juga mengungkapkan arti penting dari motivasi murid etnis minoritas dalam
konteks teori motivasi umum. Temuan Graham menunjukan bahwa murid Afrika-
Amerika tidak cocok dengan stereotip yang selama ini dianut. Seperti siswa Kulit
Putih berpendapatan menengah, mereka memiliki ekspektasi prestasi yang cukup
tinggi dan memahami bahwa kegagalan biasanya disebabkan oleh kurangnya
upaya, bukan karena faktor keberuntungan atau kesialan.
Dalam studi dimana mayoritas partisipannya adalah siswa etnis minoritas dari
keluarga berpendapatan rendah menemukan bahwa kelas yang mampu memotivasi
murid menguasai materi dan memberi dukungan yang cukup ternyata memengaruhi
peningkatan motivasi murid untuk belajar dan memebantu menghindarkan adanya
tekanan emosional yang mengganggu proses belajar mereka. Tantangan utama bagi
siswa dari etnis minoritas dan sosioekonomi rendah adalah prasangka sosisal,
konflik antara nilai kelompok mereka dengan kelompok mayoritas, dan kurangnya
orang dewasa yang berprestasi tinggi dalam kelompok kultural mereka yang dapat
digunakan sebagai model peran positif.
Diskusi tentang gender dan motivasi difokuskan pada bagaimana laki-laki dan
perempuan berbeda dalam keyakinan dan nilai yang dianut. Keyakinan tentang
kompetensi yang dianut siswa laki-laki dan perempuan berbeda-beda menurut
konteks prestasi. Misalnya, siswa laki-laki lebih mempunyai keyakinan kompetensi
pada pelajaran matematika dan olahraga. Sedangkan siswa perempuan memiliki
keyakinan pada pelajaran bahasa inggris, membaca, dan aktivitas sosial.

5
D. Teori Atribusi
Teori atribusi (attribution theory) menyatakan bahwa individu termotivasi
untuk mengungkapkan penyebab yang mendasari kinerja dan perilaku mereka sendiri.
Sehingga teori atribusi yaitu teori yang menyatakan bahwa dalam usaha mereka untuk
memahami perilaku atau kinerja mereka sendiri, individu-individu termotivasai untuk
mengungkapkan penyebab yang mendasarinya[ CITATION Joh09 \l 1057 ]. Atribusi
menurut Ormrod (2009) adalah kepercayaan siswa tentang perilaku dan faktor-faktor
lain yang apa yang mempengaruhi berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka,
termasuk persepsi mereka tentan penyebab kesuksesan dan kegagalan mereka.
Bernard Weiner (1986, 1992) (dalam Santrock, 2009) mengidentifikasi tiga
dimensi dari penyebab atribusi, yaitu:
1. Lokus (apakah penyebab tersebut internal atau eksternal).
Persepsi seorang siswa atas keberhasilan atau kegagalan disebabkan oleh
faktor-faktor internal atau eksternal yang mempengaruhi harga diri siswa tersebut.
Siswa yang merasa keberhasilan mereka disebabkan oleh faktor internal, seperti
usaha, akan lebih mempunyai harga diri yang lebih tinggi setelah berhasil daripada
siswa yang percaya bahwa keberhasilan mereka disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti keberuntungan. Setelah kegagalan, atribusi internal dapat menyebabkan
menurunnya harga diri.
2. Stabilitas (tingkat di mana penyebab tersebut tetap sama atau berubah).
Persepsi seorang siswa atas stabilitas dari suatu penyebab mempengaruhi
pengharapan atas keberhasilan. Jika ia menganggap sebuah hasil positif berasal dari
penyebab yang stabil, seperti kecerdasan, maka ia akan mengharapkan keberhasilan
di masa yang akan datang. Namun jika ia menghubungkan hasil negatif dengan
penyebab yang stabil, ia akan mengharapkan kegagalan di masa yang akan datang.
Ketika siswa menghubungkan kegagalan dengan penyebab yang t idak stabil,
seperti nasib sial atau kurangnya usaha, ia akan dapat mengembangkan
pengharapan bahwa mereka akan mampu berhasil di masa yang akan datang karena
merasa bahwa penyebab kegagalan dapat diubah.
3. Kemampuan mengendalikan (tingkat di mana individu dapat mengendalikan
penyebab tersebut).
Persepsi seorang siswa atas kemampuan mengendalikan dari suatu
penyebab berhubungan dengan sejumlah emosional, seperti kemarahan, rasa

6
bersalah, rasa iba, dan malu (Graham & Weiner, 1996, dalam Santrock, 2009).
Ketika seorang siswa merasakan bahwa mereka terhalang dari keberhasilan karena
faktor-faktor eksternal yang mungkin dikendalikan oleh orang lain, seperti
kegaduhan atau bias, ia dapat menjadi marah. Ketika siswa merasakan bahwa
mereka tidak berhasil baik karena penyebab-penyebab internal yang dapat
dikendalikan, contohnya tidak cukup berusaha atau lalai, mereka sering kali merasa
bersalah. Ketika siswa merasakan bahwa orang lain tidak mencapai tujuan mereka
karena penyebab-penyebab yang tidak dapat dikendalikan, contohnya kurangnya
kemampuan atau cacat fisik, mereka merasa iba atau simpati. Dan ketika siswa
gagal karena faktor-faktor internal yang tidak dapat dikendalikan, contohnya
kemampuan yang rendah, mereka merasa malu, penghinaan, dan dipermalukan.

Strategi terbaik yang dapat digunakan guru dalam membantu siswa meningkatkan cara
mereka berurusan dengan atribusi yaitu seorang psikolog pendidikan sering
merekomendasikanuntuk memberi siswa serangkaian pengalaman prestasi yang
terencana di mana pemodelan, informasi mengenai strategi, praktik, dan umpan balik
digunakan untuk membantu (1) berkonsentrasi pada tugas yang ditangani daripada
mengkhawatirkan kegagalan; (2) mengatasi kegagalan dengan memperlajari hal-hal
terdahulu yang telah mereka lakukan untuk menemukan kesalahan merekaatau dengan
menganalisis masalahnya untuk menemukan pendekatan yang lain; dan (3)
menghubungkan kegagalan mereka terhadap kurangnya usaha daripada kurangnya
kemampuan (Boekaerts, 2006; Brophy, 2004; Dweck & Elliot, 19983 dalam Santrock,
2009).

7
3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

8
DAFTAR PUSTAKA

Ormrod, J. E. (2009). Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang


Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
BAB 1
Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai