Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI HIRSPRUNG DISEASE

Pembimbing:
dr. Gupita Nareswari, Sp.Rad

Disusun Oleh: 
Gusta Nieskala L. 31.191.004
Refia Putri Restiana 31.191.067
Mardyansyah 031.19.001
Jufia Syahailatua 030.14.105
Abryanna Eka Putri 030.14.001

KEPANITRAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI


PERIODE 7 SEPTEMBER – 18 SEPTEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul:
GAMBARAN RADIOLOGI HIRSPRUNG DISEASE

Disusun oleh : 

Gusta Nieskala L. 31.191.004


Refia Putri Restiana 31.191.067
Mardyansyah 031.19.001
Jufia Syahailatua 030.14.105
Abryanna Eka Putri 030.14.001

Pada Hari Rabu, Tanggal 16  September 2020

Pembimbing,

dr. Gupita Nareswari, Sp.Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat serta
bimbingannya dalam penulisan tugas referat ini sehingga tugas referat yang berjudul
“Gambaran Radiologi Hirsprung Disease " ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Gupita Nareswari, Sp.Rad selaku pembimbing penulis di kepaniteraan klinik
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti periode 7 September- 18 September
2020.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang
disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas pada
umumnya di masa yang akan datang.

Jakarta, September 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
1. Anatomi...............................................................................................5
2. Fisiologi...............................................................................................5
3. Definisi................................................................................................6
4. Epidemiologi.......................................................................................6
5. Etiologi................................................................................................6
6. Patofisiologi........................................................................................7
7. Manifestasi Klinis.............................................................................10
8. Penegakkan Diagnosis.......................................................................12
9. Tatalaksana........................................................................................21
10. Komplikasi........................................................................................25
11. Prognosis...........................................................................................26
BAB III KESIMPULAN........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Anatomi colon.................................................................................. 3
Gambar 2 Anatomi colon bagian dalam........................................................... 4
Gambar 3 Histologi sel ganglion...................................................................... 5
Gambar 4 Patofisiologi Hirsprung Disease..................................................... 7
Gambar 5 Neonatus dengan Hirsprung Disease.............................................. 10
Gambar 6 Zona transisi pada pemeriksaan barium enema............................... 14
Gambar 7 Gambaran radiologi barium enema pada pasien Hirsprung disease 14
Gambar 8 Gambaran zona transisi.................................................................... 15
Gambar 9 Gambaran rektum pada barium enema............................................ 15
Gambar 10 Gambaran spasme pada segmen aganglionik................................. 16
Gambar 11 Gambaran penyempitan bagian rektum dan sigmoid sisi lateral . . 16
Gambar 12 Gambaran pemeriksaan barium enema pada neonatus.................. 17
Gambar 13 Gambaran megakolon pada barium enema.................................... 17
Gambar 14 Gambaran hirsprung disease tipe segmen pendek ........................ 18
Gambar 15 Gambaran hirsprung disease.......................................................... 18
Gambar 16 Gambaran Hirsprung disease pada neonatus usia 6 bulan............. 19
Gambar 17 Gambaran manometri anorectal..................................................... 20
Gambar 18 Prosedur bedah definitif........................................................... 23
Gambar 19 Perbedaan prosedur bedah definitif............................................... 24

v
BAB I

PENDAHULUAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak


dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh
persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon
bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak adanya ganglion sel ini
mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional
dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan
pada kolon yang lebih proksimal(1)

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick


Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. Namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi
ganglion. (2)
Insiden penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup sehingga di
Indonesia diperkirakan akan lahir 1200 bayi dengan penyakit Hirschsprung setiap
tahunnya dan rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 4:1(3). Diagnosis penyakit
Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin karena berbagai komplikasi yang
dapat terjadi akan sangat membahayakan pasien seperti terjadinya konstipasi,
enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan kematian (4).
Enterokolitis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada
(5)
penderita penyakit Hirschsprung Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
terjadinya enterokolitis pascabedah sebesar 53% dan penelitian lain melaporkan
terjadinya enterokolitis pascabedah sebesar 61,9% dari kasus-kasus penyakit megakolon
yang telah dioperasi.Penelitian di Skotlandia menyimpulkan bahwa penyebab tejadinya
enterokolitis pascabedah adalah multifaktor yaitu adanya bakteri, dilatasi kolon yang
mengakibatkan iskemia, kelainan mukosubstan kolon, , dan kelainan imunologis .(6)

1
Beberapa faktor resiko terjadinya HD pada neonatus adalah faktor bayi 0-28 hari,
riwayat sindrom down, faktor ibu yang melahirkan usia >35 tahun, ras yang beresiko
terkena pada keluarga perkawinan kerabat dekat atau incest. Terdapat trias gambaran
klinis yang sering didapatkan dalam menegakkan diagnose tersebut. Pertama tidak
dijumpai keluarnya mekonium atau terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Distensi abdomen merupakan manifestasi dari obstruksi dari usus dan bias juga
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah berwarna hijau juga dapat
ditemui pada kelainan lain seperti gangguan pasase usus, enterokolitis nekrotikans atau
peritonitis intrauterine. Hirschprung Disease dapat menyerang pasien pada usia berapa
saja, namun seringnya ditemukan pada usia 2-4 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam .(7)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Colon

Usus besar terdiri dari cecum, apendiks, ascending colon, transverse colon,
descending colon, sigmoid colon, rektum, dan anal canal. (8) Mukosa usus besar terdiri dari
epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada
lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan
sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan- lipatan
yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula
lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra
coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler.(8)

Gambar 1. Anatomi Usus Besar


Gambar 2. Anatomi colon bagian dalam
HISTOLOGI SEL GANGLION

Ganglion merupakan kumpulan badan sel saraf diluar atau di dalam system saraf pusat.(9)

Gambar 3. Histologi Sel Ganglion(9)

2.2 Fisiologi Colon

Usus besar memiliki 3 fungsi primer yaitu: mengabsorpsi air dan elektrolit,

memproduksi dan mengabsorpsi vitamin, dan membentuk dan menggerakkan feses

menuju rektum yang kemudian akan dieliminasi. Pada saat bahan yang tidak dapat

dicerna mencapai usus besar, sebagian besar nutrisi dan hingga 90% air telah diabsorpsi

oleh usus kecil. Kemudian peran dari ascending colon adalah untuk mengabsorpsi sisa air

dan nutrisi penting lainnya dari bahan yang tidak dapat dicerna sebelumnya,

memadatkannya menjadi bentuk suatu feses. Kemudian melalui transverse colon dan

descending colon sampai pada sigmoid colon. Sigmoid colon akan berkontraksi untuk
meningkatkan tekanan dalam colon, menyebabkan feses berpindah ke rektum. Kemudian

rektum akan menahan feses, menunggu untuk dieliminasi melalui defekasi.(10)

2.3 Definisi

Hirschsprung disease, atau congenital aganglionic megacolon, merupakan


gangguan perkembangan (neurochristopathy) dari sistem saraf, yang ditandai dengan
hilangnya sel ganglion di submucosa dan pleksus mienterikus. (11)

2.4 Epidemiologi

Hirschprung disease merupakan penyebab tersering obstruksi intestinal pada

neonatus dan bayi. Prevalensi pada hirschprung disease dilaporkan sekitar 1 dari 5000

kelahiran atau 1:5000 dan insidensinya lebih sering terjadi pada laki-laki daripada

perempuan dengan perbandingan 4:1.(3)

2.5 Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf


parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal(12)

1. Tidak adanya plexus myentric (aurbach)dan plexus sumukosa (meissner)


2. Terdapat 2 teori penyebab dari hirschsprung’s Disease :
a. Kegagalan bermigrasi
❖Mutasi gen RET sebagai penyandi reseptor tirosin kinase
pada membran sel, Glial Cell- Derived Neurotropic Growth
Factor (GDNF) yakni sebagai pengganti ogand yang di
produksi oleh sel mesenkim ❖Reseptor + ligand → migrasi
sel

b. Gagal bertahan dan berproliferasi

❖Otot polos dan ekstraseluler matrix di lokasi aganglion


memberikan kondisi yang tidak mendukung pertumbuhan dari sel neuron
2.6 Patofisiologi dan manifestasi klinis(13)
Gambar 4.Patofisiologi dan manifestasi klinis Hirsprung Disease

2.7 Manifestasi Klinis


1. Periode Perinatal
P
ada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru
lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis.(14)

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium
yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang
signifikans. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita HD ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.(7)

Gambar 5.penderita Hirsprung Disease berusia 3hari


2. Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (


failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala
lain seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam,dan peritonitis.
Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
(15)
defekasi.

Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi


intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien
dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada
(7)
minggu atau bulan pertama kehidupan.

Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola


makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan
padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan
sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya
kosong
2.8 Penegakkan diagnosis

Diagnosa pasien penyakit Hirschsprung harus sedini mungkin karena dapat


menyebabkan kompikasi enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis yang dapat
menyebabkan hingga kematian pada bayi atau anak(16) Bayi dan anak yang gagal
mengeluarkan mekonium pada 24-48 jam saat kelahiran, konstipasi, memiliki perut
membesar dan muntah hijau kemungkinan besar menderita penyakit Hirschsprung.
(17)
Diagnosa bisa di konfirmasi apabila kita sudah melakukan tes radiologi. Akan
tetapi pemeriksaan gold standard yang bisa kita lakukan adalah rectal biopsi. (18)
Untuk menegakkan diagnosa dari penyakit ini kita harus melakukan komunikasi
dokter-pasien dengan baik dan benar, pemeriksaan fisik yang teliti, dan
pemeriksaan penunjang.
a Anamnesis
 Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama,
biasanya keluar >24 jam.
 Adanya muntah berwarna hijau.
 Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang
lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan
pertumbuhan terhambat.
 Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita
keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal
sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.
b Pemeriksaan fisik

Pada dasarnya pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosa dari penyakit Hirschsprung. Kita dapat melihat dengan
jelas tanda dan gejala yang muncul saat melakukan pemeriksaan fisik. Berikut
ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain (18)
 Pada anak penderita Hirschsprung akan sangat terlihat
pembesaran dari perutnya
 Pemeriksaan colok dubur, dimana sering sekali pada
pemeriksaan ini menunjukkan rektum yang kosong di sekitar jari
pemeriksa, memberikan kesan bahwa sfingter yang memanjang.
Pada saat jari ditarik keluar dari anus, seringkali feses yang
tertahan menyemprot keluar.
c Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos abdomen (BNO)
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada
usus kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu,
harus dilakukan pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa
penyakit ini. Pemeriksaan dengan barium enema adalah pemeriksaan
yang terbaik untuk melihat obstruksi yang disebabkan oleh penyakit
Hirschsprung ini.(19)
 Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.(20)
Gambar 6 Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. (21)

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit Hirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid serta pelebaran di
bagian atas dari zona transisi. (21)
Gambar 8. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi massa
feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. (22)

Gambar 9. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid dan kolon
descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. (22)
Gambar 10. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. (22)

Gambar 11. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium
enema sisi lateral(22)

Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal.(19)
Gambar 12. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.(22)

Gambar 13. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya memperlihatkan


gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian aganglionik yang tidak
melebar.(22)
Gambar 14. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan penyakit
Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis yang
berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan residu
feses. (22)

Gambar 15. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak pengurangan


kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan mukosa yang ireguler
(diskinesia).(23)
Gambar 16. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan dengan
riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan
dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens.(23)

 Anorektal manometri
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh
Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan
kedalaman yang berbeda- beda dalam rektum dan kolon. Alat ini
melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada
penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini
memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti
poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang
spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah (16)
1 Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2 Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi
pada segmen usus aganglionik; Motilitas usus normal
digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan
intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
3 Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal
tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak
dijumpai relaksasi spontan.

Gambar 17.Gambaran manimetri anorectal, yang memakai balon berisi


udara sebagai tranceducernya.(16)

 Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk
mendeteksi penyakit Hirschsprung. Dokter mengambil bagian sangat
kecil dari rektum untuk dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan
penyakit Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel
yang diambil. Pada biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan
menggunakan alat penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan
jaringan kolon maka tidak diperlukan anestesi.
Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit
Hirschsprung tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada
jaringan contoh, biopsi full-thickness biopsi diperlukan untuk
mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada biopsi full-thickness lebih
banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah
untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel
ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.(24)

2.9 Tatalaksana
Pada pasien neonatus dan anak-anak dengan Hirschsprung Disease, harus
dirujuk ke dokter spesialis bedah anak yang tersedia untuk mendapatkan tatalaksana
definitif perawatan yang pasti.(25) Konsultasi genetik dapat diindikasikan apabila
dicurigai adanya kelainan pada kromosom.(26)
Tujuan umum perawatan medis Hirschsprung Disease, yaitu untuk mengobati
manifestasi dan komplikasi Hirschsprung Disease, yang tidak diobati. Kemudian
untuk melakukan tindakan sementara sampai operasi rekonstruksi definitif dan
untuk mengelola fungsi usus pasca operasi.(26)

2.9.1 Tatalaksana Awal


Tatalaksana awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen,
biasanya didapatkan pada kasus aganglionik total. Tatalaksana awal adalah
sebagai berikut :
1. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastrik (NGT).
Cairan dihisap setiap 15-20 menit. Hal ini dikarenakan cairan jejunum akan
mulai mengisi lambung dalam rentang waktu ini. Dekompresi juga dapat
dilakukan dengan menggunakan rectal tube.
2. Resusitasi dan pemeliharaan cairan intravena
Pemberian cairan dengan kecepatan tinggi harus dihindari untuk mencegah
terjadinya edema paru pada pasien.
3. Pemasangan kateter urine
Pemasangan kateter urine dilakukan untuk memantau urine output. Normalnya
adalah 1,5 cc/KgBB/jam.
4. Pemberian antibiotik apabila terjadi enterocolitis.

2.9.2 Tindakan Bedah Definitif

Sejumlah prosedur bedah definitif telah menunjukkan hasil yang sangat baik bila
dilakukan oleh ahli bedah yang telah berpengalaman. Terdapat tiga buah tindakan
bedah definitif yang paling sering dilakukan, yakni adalah prosedur Swenson,
Duhamel, dan Soave. Diketahui bahwa prosedur Duhamel dan soave memberikan hasil
yang lebih baik dan dapat digunakan pada kasus aganglionik total.(27)
a. Prosedur Swenson

Prosedur Swenson adalah prosedur pull-through asli yang digunakan


untuk mengobati Hirschsprung Disease. Prosedur ini dilakukan dengan
melakukan reseksi segmen aganglionik sampai ke kolon sigmoid dan rektum,
dan dilakukan anastomosis oblik antara kolon normal dan rektum bawah.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen. Kemudian


dilakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar
pelvik.
2. Prosedur dilakukan dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding
rektum. Kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal
keluar, sehingga saluran anal menjadi terbalik.
3. Selanjutnya kolon  proksimal yang  bagian kolon aglioniknya
telah direseksi ditarik keluar melalui saluran anal.
4. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk
bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior.
5. Lakukan anastomosis end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik.
Anastomosis dilakukan dengan 2 lapis jahitan, yaitu mukosa dan
seromuskuler.
6. Apabila anastomosis telah selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik atau
abdomen.
7. Lakukan reperitonealisasi dan kavum abdomen ditutup.

b. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi dari prosedur Swenson. Pendekatan retrorektal digunakan, dan
segmen rektum aganglionik yang signifikan dipertahankan. Prosedur dilakukan
dengan melakukan reseksi usus aganglionik hingga ke rektum, dan rektum
berada di luar. Usus proksimal kemudian dibawa melalui ruang retrorektal
(antara rektum dan sakrum), dan anastomosis ujung ke sisi dilakukan dengan
rektum yang tersisa.

c. Prosedur Soave

Prosedur Soave diperkenalkan pada sekitar tahun 1960. Pada prosedur


ini mukosa dan submukosa rektum direseksi, dan usus ganglionik ditarik
melalui aganglionik muscular cuff dari rectum. Maka, tujuan prosedur soave ini
adalah untuk membuang mukosa rektum yang aganglionik dan menarik kolon
proksimal ganglionik masuk kedalam lumen rektum tersebut.

Gambar 18. Prosedur bedah definitif yang sering dilakukan

Duhamel. (d) Prosedur Soave

Gambar 19. Prosedur bedah definitif. (28)


Keterangan : (a) Anatomi preoperatif. (b) Prosedur Swenson. (c)
Prosedur

2.9.3 Post Operatif


Pemantauan apabila telah dilakukan prosedur pull-through definitif harus
dilakukan. Pasien dengan hirschsprung disease harus mencapai pertumbuhan dan
perkembangan normal sesuai dengan usianya. Selain itu, kebiasaan buang air besar
pasien juga harus dipantau. Pasien yang tidak mempunyai gangguan lain yang
mendasari dan tidak adanya komplikasi pasca operasi sering mengalami peningkatan
fungsi usus. Namun perlu diketahui bahwa untuk mencapai kebiasaan buang air besar
yang normal mungkin membutuhkan waktu beberapa tahun.(29)
Pasien mungkin akan mengalami motilitas gastrointestinal abnormal yang
menetap setelah dilakukannya prosedur bedah definitif. Hipomotilitas pasca operasi
relatif umum, dan biasanya beberapa pasien memerlukan pengobatan pencahar yang
berkepanjangan.
Apabila fungsi usus telah kembali normal, pemberian makanan melalui selang
atau susu formula / ASI dapat dilanjutkan. Pemberian makanan biasanya dimulai 24-48
jam setelah operasi. Diet yang diberikan terdiri dari buah-buahan segar, sayuran, dan
berserat tinggi dapat meningkatkan fungsi usus pasca operasi.
2.10 Komplikasi

Komplikasi awal setelah dilakukannya prosedur definitif termasuk


enterokolitis, kebocoran atau penyempitan anastomosis, ekskoriasi perianal, dan
obstruksi adhesional.3 Komplikasi tersering pasca prosedur Swenson adalah
enterokolitis, sedangkan pasca prosedur Duhamel adalah konstipasi dan pasca prosedur
soave adalah diare dan inkontinensia.30

1. Enterokolitis
Enterokolitis menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
pada pasien dengan Hirschsprung disease dan dapat berkembang menjadi toxic
megacolon. [30] Enterokolitis ditandai dengan peradangan pada usus besar atau
mukosa usus halus. Seiring dengan perkembangan penyakit, lumen usus terisi
dengan eksudat fibrinosa, dan meningkatnya risiko perforasi. Proses ini dapat
terjadi di segmen aganglionik atau ganglionik usus. Pasien biasanya datang
dengan diare, perut kembung, demam, muntah, dan kelesuan.
Diketahui sekitar 10%-30% pasien dengan Hirschsprung disease
mengalami enterokolitis. Maka dari itu, identifikasi awal gejala sangat penting.
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu terdiri dari resusitasi cairan, pemberian
antibiotik spektrum luas secara intravena dan dekompresi usus.

2. Konstipasi
Konstipasi dapat disebabkan oleh megakolon fungsional atau obstruksi
mekanis setelah prosedur Duhamel ataupun Soave. Pemeriksaan rektal dan
kontras enema sangat membantu untuk membantu mengidentifikasi penyebab
mekanis. Penyebab lainnya yaitu termasuk aganglionosis berulang atau residual
dan achalasia sfingter ani internal.

3. Soiling
Soiling dapat disebabkan oleh sensasi rektal yang abnormal, fungsi sfingter
abnormal, atau pseudoincontinenc'. Hal ini juga dapat terjadi jika sfingter ani
interna rusak selama prosedur pull-through.
2.11 Prognosis(30)

Secara umum, lebih dari 90% pasien dengan Hirschsprung disease


dilaporkan mempunyai hasil yang memuaskan. Namun, banyak pasien yang
mengalami gangguan fungsi usus selama beberapa tahun sebelum kontinuitas normal
terbentuk. Sekitar 1% pasien dengan penyakit Hirschsprung mengalami inkontinensia
yang membutuhkan kolostomi permanen.
Aganglionosis kolon total dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
Diketahui sekitar 33% pasien mengalami inkontinensia persisten dan 14% memerlukan
ileostomi permanen. Pasien dengan kelainan kromosom diketahui juga memiliki hasil
klinis yang lebih buruk.
Angka kematian pada tindakan operatif sebagai salah satu prosedur intervensi
rendah. Bahkan dalam kasus penyakit Hirschsprung yang diobati, angka kematian
mungkin mendekati 30% sebagai akibat dari komplikasi enterokolitis berat. Pada kasus
megakolon aganglionik yang tidak diobati pada bayi dapat menyebabkan angka
kematian setinggi 80%.

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Hirschprung merupakan suatu gangguan perkembangan dari


sistem saraf enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak
adanya pleksus meintrik) pada bagian distal kolon. Gejala kardinalnya yaitu
karena gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan,
distensi abdomen dan muntah. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ketika dicurigai menderita hirsprung disease diantaranya
Barium enema, Anorectal manometry dan Biopsy rectal sebagai gold
standard.Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara
dan bedah definitive (Prosedur Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein)
Prognosis pada penyakit ini umumnya baik.Umumnya, dalam 10 tahun
follow up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
th
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17 edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114
2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease
rd
in: Ashcraft Pediatric Surgery 3 edition W.B. Saunders Company.
Philadelphia. page 453-468.
3. Rochadi.Hipoalbuminemia prabedah sebagai factor prognostic enterokolitis
pasca bedah penderita megakolon kongenital (Hirsprung’s disease).Jurnal Gizi
Klinik Indonesia.Januari 2013;9(3):111-16
4. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery
th
in: Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8 edition. McGraw-Hill. New
York. Page 1496-1498.
5. Estevao-Costa J, Fragoso AC, Campos M, Soares- Oliveira M, Carvalho JL. An
approach to minimize postoperative enterocolitis in Hirschprung’s disease. J
Pediatr Surg 2006;41(10):1704-07.

6. El-Sawaf MI, Drongowski RA, Chamberlain JN, Coran AG, Teitelbaum DH.
Are the long term results of the transanal pull-through equal to those of the
transabdominal pull-through? A comparison of the 2 approaches for
Hirschsprung disease. J Pediatr Surg 2007;42(1):41-7.

7. Novtarina R.Peran pemeriksaan radiologis;barium enema pada penyakit


hirschprung.Wellness and healthy magazine.February 2020;2(1):83-6
8. Kahai P, Mandiga P, Wehrle CJ, Lobo S. Anatomy, abdomen and pelvis, large
intestine. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
9. Nigam Y, Knight J, Williams N. Gastrointestinal tract 5: the anatomy and
functions of the large intestine. Nursing Times. 2019;115(10):50-3.
10. Taguchi T, Ieiri S, Miyoshi K, Kohashi K, Oda Y, Kubota A, dkk. The
incidence and outcome of allied disorders of Hirschsprung's disease in Japan:
Results from a nationwide survey. Asian Journal of Surgery. 2017;40(1):29-34
11. Azzouz LL, Sharma S. Physiologi, large intestine. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
12. Kliegman RM, Geme III JWS, Blum NJ, Shah SS, Tasker RC, Wilson KM,
dkk. Nelson textbook of pediatrics e-book. Edisi 21. 2019. Elsevier; 1629.
13. Corputty Elfianto D,Lampus Harsali F,Monoarfa A.Gambaran Pasie
Hirschprung Diseasedi RSUP Prof.Dr.R.D.andau Manado.Jurnal e-clinic
(ecl).Januari 2015;3(1):229-30
14. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2013. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
15. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s
Atlas of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
16. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. 2nd ed. Jakarta: Sugeng Seto; 2010.
17. Georgeson KE. Hirschsprung’s Disease. In: Ashcraft’s Pediatric Surgery. 5th
ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 456-67
18. Nivatvongs S, Gordon HP. Surgical Anatomy. In: Principles and Practice of
Surgery for the Colon, Rectum, Anus. 3 rd ed. Florida: Taylor & Francis
Group; 2007. p. 2-4
19. Bishop PW. Sistem Pencernaan. In : Buku Ilmu Kesehatan Anak Esensial
Nelson. 6th ed. Singapore: Elsevier Pte Ltd; 2014
20. Pediatric Surgical Problem, Chapter 18. Colon and Rectal Surgery.Marwin
L.Corman. Edisi ke 5. Lippincott Williams and Wilkins 2005. Halaman 559
dan 560.
21. Holly L Neville, MD; Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Penyakit
Hirschprung Pediatric, updated on Jul 13, 2010.. Diunduh www.emedicine.com
22. Pediatric Radiology , Chapter 52 ,Pediatric Abdomen and Pelvis Fundamentals
of Diagnostic Radiology dalam 3rd Edition ditulis oleh William E. Brant MD,
FACR dan Clyde A. Helms MD. Halaman 1293
23. Ciro Yoshida, Jr, MD ; Hirschprung Disease Imaging, dalam Medscape
Referrence, Drug. Disease and Procedure updated on May 25,2011. Diundah
dari www.emedicine. medscape.com
24. Warner BW. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in Townsend Sabiston
Textbook of Surgery. 17th edition. Elsevier-saunders. Philadelphia. 2113-4

25. Ralls MW, Coran AG, Teitelbaum DH. Redo pullthrough for Hirschsprung
disease. Pediatr Surg Int. 2017 Apr. 33(4):455-60.
26. Hirschsprung Disease Treatment & Management: Approach Considerations,
Medical Care, Surgical Care. Medscape. 2020. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/178493-treatment#showall [cited 26
September 2020]
27. Langer J C. Hirschsprung Disease. Dalam: Coran AG, Adzick NS, Krummel
TM, Laberge JM, Caldamone A, Shamberger R, editor. Pediatric Surgery. Edisi
7. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.h. 1265-78

28. Chhabra S, Kenny S. Hirschsprung's disease. Surgery (Oxford).


2016;34(12):628-632.
29. Hirschsprung Disease: Background, Pathophysiology, Epidemiology.
Medscape. 2020. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#a2 [cited 26
September 2020].
30. .Hackam DJ, Filler RM, Pearl RH. Enterocolitis after the surgical treatment of
Hirschsprung's disease: risk factors and financial impact. J Pediatr Surg. 1998
Jun;33(6):830-3.

Anda mungkin juga menyukai