Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan


oleh Salmonella typhi dengan ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe, usus, dan Peyer’s patch.1

Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini
sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.1

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000
kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan
sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga
insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus
per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun
pada 91% kasus.2

Universitas Tarumanagara 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih khususnya
meningkat pada sore hingga malam hari disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

2.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta
kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus.3

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi
Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin,
dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.1

2.3 Etiologi

Universitas Tarumanagara 2
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).1

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen
(H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis
luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel
antibiotik.1

Gambar 2.1 Mikroskopik Salmonella Thypi 1

2.4 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam


tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk

Universitas Tarumanagara 3
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 100.000 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor. 1, 4, 5

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika. 1, 4, 5

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakterimia kedua
dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. 1, 4, 5

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam
hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi
sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1, 4, 5

Universitas Tarumanagara 4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. 1, 4, 5

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. 1, 4, 5

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis. 1,4, 5

Universitas Tarumanagara 5
Gambar 2.2 Patofisiologi Demam Tifoid 4

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih


bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada
gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid

Universitas Tarumanagara 6
kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 –
20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan
bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan,
keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita. 1, 4, 6

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:

1. Demam lebih dari satu minggu dengan ciri: pada minggu pertama terjadi
demam remiten dan minggu berikutkan terjadi demam continuan.

2. Gangguan gastrointestinal berupa: diare, konstipasi, mual-muntah.

3. Gangguan penurunan kesadaran (biasanya apatis).

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.1, 4, 6

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,

o
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 C) serta dapat pula bersifat
ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.1, 4, 6

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-
tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang
tampak lebih pucat, tremor pada lidah dan, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.1, 4, 6

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,

Universitas Tarumanagara 7
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.1, 4, 6

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.1, 4, 6

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1, 4, 6

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85%
telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), konstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).
Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%),
sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%),
mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi,
bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran,
stupor dan kelainan neurologis fokal.7

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Universitas Tarumanagara 8
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang
diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinopenia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. 1, 4, 5, 7

2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis
ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 1, 4, 5, 7

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting


dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik
S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 1, 4, 5, 7

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :

Universitas Tarumanagara 9
a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran
yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu; 1, 4, 5, 7

 Aglutinin O (dari tubuh kuman)


 Aglutinin H (flagel kuman)
 Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama
sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih
lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi. 1, 4, 5, 7

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji


widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200
atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid

Universitas Tarumanagara 10
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu. 1, 4, 5, 7

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna
untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan
antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit. 7, 8

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.7,8

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan
IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan

®
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang

®
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG

Universitas Tarumanagara 11
total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap IgM spesifik. 7, 9

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. 6, 7

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah. 6, 7

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit. 6, 7

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. 6, 7

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40- 80%
atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada
akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang
telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan

Universitas Tarumanagara 12
rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode gold standard karena mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif
selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena
adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang.6, 7

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat. 6 ,7

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang


rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis
dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita. 6, 7

2.7 Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam demam, gangguan saluran pencernaan,
dan gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan
manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta

Universitas Tarumanagara 13
gangguan status mental. Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke 2 timbul diare. Diare hanya terjadi pada
setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam
waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat
badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental
dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi
pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6
mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80%
penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap
sampai 1-2 bulan. Hepatomegali dan splenomegali juga dapat ditemukan pada
pasien tifoid. 4, 6

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis. 4, 6

2.8 Tatalaksana

1. Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. 1, 4, 6

2. Antibiotik
 kloramphenikol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid

Universitas Tarumanagara 14
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup
50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam
turun dengan dosis maksimum 1500mg/24jam. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. 1, 4, 6, 10
 Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan kloramphenikol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
kloramphenikol.1, 4, 6, 10
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari
IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10
hari.1, 4, 6, 10

2.9 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :

1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan. 4,5

Universitas Tarumanagara 15
b) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak. 4,5

c) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri
tekan.4, 5

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru,
efusi, dan empiema. 4, 5

b) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier. 4, 5

c) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila

Universitas Tarumanagara 16
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena. 4, 5

d) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg. 4, 5

e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi. 4, 5

f) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.4, 5

2.10 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:


 Cuci tangan
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.1
 Hindari minum air yang tidak dimasak

Universitas Tarumanagara 17
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi. 1
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah
dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.1
 Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga
kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang
minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak
berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.1
2. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine).
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6- 12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek. 1
3. Vaksin polisakarida

Universitas Tarumanagara 18
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3
tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2
tahun. 1

2.11 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 1

Universitas Tarumanagara 19
BAB 3
KESIMPULAN

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan
masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dalam ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih
dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala
gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat
terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat


menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau
pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella, dan biakan
kuman.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah
baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.

Universitas Tarumanagara 20
REKAM MEDIS KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Fiorenza

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 19 september 2011

Umur : 15 tahun

Alamat : Sumur 14/3, Cluwak, Pati, Jawa tengah

ANAMNESIS

Tanggal 14 Desember 2016 pukul 11.00 WIB

Diambil dari : Alloanamnesis dengan ibu pasien dan Autoanamnesis dengan


pasien

KELUHAN UTAMA

Pasien demam 8 hari

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 8 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, demam dirasakan sepanjang hari namun lebih tinggi pada sore
sampai malam hari, demam diukur dapat mencapai suhuh 39C dan dirasakan di
seluruh tubuh, demam turun bila diberikan obat penurun panas namun meningkat
kembali. Pasien terlihat lemas dan mengantuk sepanjang hari. Demam membaik
pada pagi hari (-), menggigil (-), berkeringat (-), kejang (-), mimisan (-), Gusi
berdarah (-), batuk lama (-), tidak ada penurunan berat badan yang signifikan dan
tidak ada kontak dengan pasien positif TB, nyeri dada (-), nyeri pada persendian
(-), bercak kemerahan yang timbul pada kulit (-), batuk dan pilek (-).

Universitas Tarumanagara 21
Selain demam pasien juga mengalami diare sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit, BAB cair dengan frekuensi 5-6x sehari yang berisikan air + ampas, bewarna
kuning, tidak ada lendir, dan tidak ada darah. Nyeri perut (+), riwayat makan-
makanan yang tidak biasa dimakan (-). Frekuensi BAK 4-5x sehari bewarna
kuning dan nyeri saat berkemih disangkal.

Pasien juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit dengan frekuensi 4x/ hari, yang berisikan air dan makanan. Darah (-), busa
(-), nafsu makan menurun akibat mual, pasien dapat minum kurang lebih 1 botol
air mineral 1500mL per hari.

Pasien sudah berobat ke dokter terdekat dan diberikan obat penurun panas dan
antibiotik namun tidak membaik.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat keluhan serupa (-)


Riwayat asma (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat alergi makanan dan obat (-)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat keluhan serupa (-)


Riwayat asma (-)
Riwayat alergi makanan dan obat (-)

RIWAYAT PERINATAL

Pasien merupakan anak pertama, lahir spontan, cukup bulan

RIWAYAT IMUNISASI

Ibu pasien mengatakan imunisasi lengkap sampai umur 9 bulan.

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG

Pasien dapat mengikuti pelajaran di sekolah dan bersosialisasi dengan teman


sebaya.
BB: 55 kg
TB: 160 cm
Status Gizi baik

Universitas Tarumanagara 22
RIWAYAT ASUPAN NUTRISI

Menu makanan pasien mengikuti menu makanan keluarga berupa ( nasi + lauk
( telur, ikan, ayam, daging, dll) + sayuran + buah), makan 3x sehari.
Kualitas : baik, Kuantitas : baik
PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 14 Desember 2016 pukul 11.30 WIB

PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan umum : pasien sadar, tampak lemas.


Tanda vital : Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 89x/menit, reguler, isi cukup, kuat
angkat
Frekuensi napas : 20x/menit, reguler
Suhu tubuh : 37,7˚C
Data antropometri : Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
PEMERIKSAAN SISTEM

Kepala : Raut muka simetris


Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langusng +/+, Sklera ikterik
-/-, konjungtiva anemis -/-
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (+) tepi hiperemis, tonsil
T1-T1 dengan permukaan licin, kripta tonsil tidak melebar, tidak
ada dendritus, faring merah muda.
Telinga : Daun telinga bentuk sempurna, tidak ada nyeri tekan tragus dan
mastoid.
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Paru : Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), massa (-), eritem
(-)

Universitas Tarumanagara 23
Palpasi : stemfremitus kanan dan kiri sama kuat, pergerakan
dada tidak ada yang tertinggal, massa (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba selebar 3 ujung jari di sela iga 5
midclavicular line sinistra
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Bentuk abdomen datar
Auskultasi : Bising usus (+) 17x/menit
Perkusi : timpani di ke 4 kuadran
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (+) pada
epigrastrium
Genitalia : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral dingin (-), edema (-), capillary refill time < 2 detik
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit normal
KGB : pembesaran (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Reflek fisiologis : patella (+)
Reflek patologis : Babinski (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Normal Satuan

HEMATOLOGI
Leukosit 4,67 4,8-10,8 10^3/μL
Eritrosit 4,61 4,2 – 5,4 10^6/μL
Hemoglobin 13,7 12 – 16 g/dL
Hematokrit 37 37-47 %

Universitas Tarumanagara 24
Trombosit 221 150 – 450 10^3/μL
M.C.V 96,5 79 – 99 fL
M.C.H 29,3 27 – 31 Pg
M.C.H.C 33,2 33 – 37 g/dL
HITUNG JENIS
Neutrofil 1,76 1,8 – 8 10^3/μL
Limfosit 3,79 0,9 – 5,2 10^3/μL
Monosit 0,83 0,16 – 1 10^3/μL
Eosinofil 0,28 0,045 – 0,44 10^3/μL
Basofil 0,12 0 – 0,2 10^3/μL
Neutrofil 48 50 – 70 %
Limfosit 29 25 – 40 %
Monosit 3 2–8 %
Eosinofil 1 2–4 %
Basofil 0,44 0–1 %

UJI WIDAL
Salmonella Thypi O : 1/320
Salmonella Thypi H : 1/320
Salmonella Parathypi AH : 1/80
Salmonella Parathypi BH : 1/80

RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 8 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, demam dirasakan sepanjang hari namun lebih tinggi pada sore
sampai malam hari, demam diukur dapat mencapai suhuh 39C dan dirasakan di
seluruh tubuh, demam turun bila diberikan obat penurun panas namun meningkat
kembali. Pasien terlihat lemas dan mengantuk sepanjang hari.
Selain demam pasien juga mengalami diare sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit, BAB cair dengan frekuensi 5-6x sehari yang berisikan air + ampas, bewarna
kuning. Nyeri perut (+).
Pasien juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit dengan frekuensi 4x/ hari, yang berisikan air dan makanan.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya lidah tifoid.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukopenia, limfositosis relatif dan uji
widal positif

DIAGNOSIS KERJA
Demam tifoid

Universitas Tarumanagara 25
CLINICAL REASONING
Demam 8 hari
Mual muntah
Diare
Penuranan kesadaran
Lidah tifoid

DIAGNOSIS BANDING
Demam Tifoid
Malaria
Tuberculosis
Infeksi Saluran Kemih
Demam Rematik

RENCANA DIAGNOSTIK
Demam tifoid :
 Uji Widal
 Biakan kuman salmonella
 Tiphy Dot
 Lab darah rutin serial
Malaria :
 Hapusan darah tepi tebal
 Pengecekan darah malaria I, II, III
Tuberculosis :
 Mantuk tes
 Foto thoraks
Infeksi Saluran Kemih :
 Pemeriksaan urin rutin
 Kultur urin
 Sensitivitas kuman
Demam Rematik
 ASTO
 C3 dan C4

Universitas Tarumanagara 26
 Kultur Swap Tenggorok

RENCANA TERAPI FARMAKOLOGIS


Paracetamol 500mg (bila demam)
Kloramfenikol 250mg (3X1)
Infus RL 15 tpm

RENCANA TERAPI NON-FARMAKOLOGIS


Tirah baring
Makan-makanan yang lembut dan rendah serat
Banyak minum air

RENCANA EVALUASI
Monitor TTV
Lab darah rutin
Uji widal

EDUKASI
Cara penanganan demam yang benar
Menjaga kebersihan tangan sebelum makan dan setelah menggunakan toilet
Menjaga kebersihan makan seperti mencuci sayuran atau buah dengan air
mengalir
Makanan dimasak hingga matang
Mencuci peralatan makan dan membersihkan rumah secara rutin

Universitas Tarumanagara 27
ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Definisi
penyakit infeksi sistemik yang Pasien panas 8 hari dan didapat hasil
disebabkan oleh Salmonella typhi uji widal yang positif
dengan ditandai oleh panas yang
berkepanjangan
Etiologi
Infeksi bakteri salmonella typhi atau Salmonella Thypi O : 1/320
salmonella paratyphi
Salmonella Thypi H : 1/320
Salmonella Parathypi AH : 1/80
Salmonella Parathypi BH : 1/80

Pemeriksaan fisik
 Demam lebih dari 7 hari  Pasien demam 8 hari yang lebih
 Gangguan saluran pencernaan tinggi pada sore hingga malam hari
 Penurunan kesadaran  Pasien mengalami diare
 Lidah tifoid (+)  Mual muntah
 Tampak lemas dan mengantuk
sepanjang hari
 Lidah tifoid (+)
 Nyeri tekan abdomen pada bagian
epigastrium
Pemeriksaan penunjang
 Leukopenia  Leukosit: 4,67 x 103 Ul
 Limfositosis relative  Limfositosis relative (+)
 Uji widal (+) dengan peningkatan  Uji widal :
titer 4x dalam waktu 1-2 minggu Salmonella Thypi O : 1/320
 Tes TUBEX (+) Salmonella Thypi H : 1/320
 Typhi dot (+)
 Biakan kuman salmonella (+)
Salmonella Parathypi AH : 1/80

Universitas Tarumanagara 28
Salmonella Parathypi BH : 1/80
Tata Laksana
 Terapi suportif  Paracetamol 500mg
 Penggunaan antibiotik yang tepat  Metoklopramid 5mg
 Infus RL 15 tpm
 Kloramfenikol 250mg

Universitas Tarumanagara 29
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III.
2006. Jakarta : IPD FKUI
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
7. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya: FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
8. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology (2008), 57, 316–
323
9. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid Fever.
Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13
10. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical Sciences,
New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 749–62

Universitas Tarumanagara 30

Anda mungkin juga menyukai