Anda di halaman 1dari 28

SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kulaih Geografi Regional Indonesia yang dibimbing
oleh Bapak Drs. Marhadi Slamet Kristiyanto M.Si dan Hamrin Marikha S.pd

Disusun oleh:
Kelompok 1

Aula Zahrotun N 180721639032 Khoirunnisa H 180721639154


Edisty Anindira P 180721639011 Mafatihah Lailiyah 180721639130
Elvara Hana A 180721639109 Melsinta Dewi F 180721639166
Gusnia Anggun S 180721639139 Moch Jalaludin A 180721639075
Gustiano M 170721636608 M. Qur’ano 170721636560

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
NOVEMBER 2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................4
2.1 Klasifikasi Penduduk......................................................................................4
2.1.1 Melanesia..............................................................................................4
2.1.2 Austronesia...........................................................................................5
2.1.3 Polinesia................................................................................................6
2.1.4 Mikronesia............................................................................................8
2.2 Bahasa dan Dialek..........................................................................................9
2.2.1 Bahasa...................................................................................................9
2.2.2 Dialek....................................................................................................13
2.3 Ras, Budaya, dan Etnis....................................................................................16
2.3.1 Ras.........................................................................................................16
2.3.2 Budaya..................................................................................................17
2.3.3 Etnis......................................................................................................21
BAB III PENUTUP...............................................................................................23
3.1 Kesimpulan......................................................................................................23
3.2 Saran................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki keberagaman budaya
seperti suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama. Oleh sebab itu Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu juga dan dijadikan semboyan oleh
bangsa ini untuk mewadahi perbedaan suku, budaya, adat istiadat, bagsa dan
agama dan perbedaan-perbedaan lainnya yang terdapat dalam masyarakat bangsa
ini. Kebhinekaan atau multikulturalisme merupakan istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang mengenai ragam kehidupan, dan berbagai
macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat meliputi sistem, budaya,
nilai-nilai, dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Keanekaragaman budaya atau yang biasa disebut dengan multikultural,
dewasa ini kian menjadi perhatian dari berbagai negara yang ada di dunia. Banyak
pandangan yang bermunculan mengenai keanekaragaman ini, sebagian
memandang bahwa keanekaragaman budaya ini merupakan hal positif yang
mampu memperkaya suatu negara, namun tidak sedikit pula yang menganggap
bahwa keanekaragaman adalah suatu hal yang negatif, karena keanekaragaman ini
berpotensi menjadi akar dari munculnya sebuah konflik di dalam suatu negara.
Keberagaman suku, ras, etnis dan agama di Indonesia menjadikan masyarakat
memiliki keanekaragaman budaya, cara pandang, cara berpikir, interaksi antara
masyarakat serta dalam menaruh keyakinan terhadap agama yang dianggap yang
paling cocok. sehingga dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat dapat
menjalaninya dengan toleransi yang baik.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Jumlah
penduduk lebih dari 200 juta orang di mana mereka tinggal tersebar di pulau-
pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami wilayah dengan kondisi geografis
yang bervariasi, mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah,

1
pedesaan, hingga perkotaan. Mengenai hal ini juga berkaitan dengan tingkat
peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang
berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses
asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga menambah ragamnya jenis
kebudayaan yang ada di Indonesia. Berkembang dan meluasnya agama-agama
besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia,
sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya atau
tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok
suku bangsa, tetapi juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban,
tradisional hingga ke modern dan kewilayahan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1.2.1 Apa pengertian dari klasifikasi penduduk?
1.2.2 Apa saja macam-macam klasifikasi penduduk
1.2.3 Apa pengertian dari bahasa?
1.2.4 Bagaimana tahap perkembangan bahasa?
1.2.5 Apa pengertian dari dialek?
1.2.6 Apa pengertian dari Ras?
1.2.7 Bagaimana Keberagaman Ras yang ada di Indonesia?
1.2.8 Apa pengertian dari Budaya?
1.2.9 Apa pengertian dari Etnis?
1.2.10 Bagaimana perkembangan SDM di Indonesia yang beragam etnis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penyusunan makalah adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui tentang pengertian klasifikasi penduduk
1.3.2 Untuk mengetahui tentang macam-macam klasifikasi penduduk

2
1.3.3 Untuk mengetahui tentang pengertian dari bahasa
1.3.4 Untuk mengetahui tentang tahap perkembangan bahasa
1.3.5 Untuk mengetahui tentang pengertian dari dialek
1.3.6 Untuk mengetahui tentang pengertian ras
1.3.7 Untuk mengetahui tentang keberagaman ras yang ada di Indonesia
1.3.8 Untuk mengetahui tentang pengertian dari budaya
1.3.9 Untuk mengetahui tentang pengertian dari etnis
1.3.10 Untuk mengetahui tentang perkembangan SDM di Indonesia yang
beragam
etnis

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi Penduduk


2.1.1 Melanesia
Pada mulanya, konsep Melanesia berasal dari para penjelajah Eropa ketika
melakukan ekspedisi menjelajahi Pasifik. Pada tahun 1756, Charles de Brosses
mengemukakan teorinya bahwa pada wilayah Pasifik terdapat penghuni orang-
orang ras kulit hitam. Pada tahun 1825, Jean Baptiste Bory de Saintvincent dan
Jules Dumont d’Urville mengidentifikasi mereka sebagai Melanesia yang merujuk
kepada sekumpulan ras yang berbeda dari ras penghuni wilayah sekitarnya seperti
ras Australian dan Neptunian. Seiring berjalannya waktu, orang Eropa menilai
Melanesia sebagai kelompok masyarakat yang memiliki budaya berbeda,
khususnya berbeda ras dan daerah. Pada abad ke 19, Robert Codrington, seorang
misionaris Inggris menghasilkan serangkaian monograf pada orang Melanesia
berdasarkan lama waktu mereka tinggal di wilayah-wilayah pasifik. Dalam karya-
karya hasil penulisan Robert Codrington, seperti The Melanesian Languages
(1825), dan The Melanesians Studies in Their Anthropology and Folk-Lore
(1891), Codrington mendefenisikan bahwa Melanesia termasuk wilayah Vanuatu,
Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, dan Fiji. Pada studi berikutnya, para
peneliti Antropologi memasukkan wilayah Nugini dalam Melanesia.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) Kelompok


Melanesia memiliki gaya hidup yang berbeda dengan gaya hidup Homo erectus
yang pada zaman dahulu mengembara di alam terbuka, kelompok Melanesia
mulai menghuni gua-gua dan ceruk alam walaupun masih mengandalkan keahlian
berburu dan meramu. Bahkan tidak sebatas hunian, gua atau ceruk juga
dimanfaatkan untuk lokasi penguburan, dan kadang kala untuk membuat
perkakas. Perburuan hewan dan pencarian umbi-umbian serta biji-bijian dilakukan
oleh kelompok di lingkungan sekitar gua. Dari sisa-sisa fauna yang ditemukan
pada gua-gua hunian di wilayah Gunung Sewu diketahui bahwa jenis sapi atau
kerbau (bovidae), rusa (cervidae), babi (suidae), famili Cercopithecidae, seperti

4
monyet dan lutung menjadi hewan-hewan buruan bagi kelompok tersebut. Para
ahli menyatakan bahwa kemungkinan gajah (elephantidae) dan badak
(Rhinoceritidae) juga termasuk dalam perburuan, seperti tampak pada tulang-
tulangnya yang ditemukan di wilayah tersebut bersama sisa hewan lainnya. Di
Gua Niah, Kalimantan Utara Malaysia hewan buruan yang ditemukan memiliki
perbedaan, babi hutan (Sus barbatus) dan binatang pengerat merupakan hewan
buruan yang menonjol pada hunian awal, pada hunian selanjutnya beralih ke
perburuan kera. Bagi penghuni pesisir tetap memiliki kecenderungan bergantung
dan berburu biota laut. Salah satu buktinya yaitu yang terdapat di Gua Golo, Pulau
Gebe (Maluku Utara), yang ditemukan berbagai kerang-kerangan di sepanjang
lapisan hunian. Hal yang menarik serupa juga dijumpai di Leang Sarru
(Kepulauan Talaud) yang pada penelitian tidak menemukan sisa hewan darat
ataupun ikan, selain kerang-kerangan.

2.1.2 Austronesia
Pada 1500 hingga 1000 SM di Pasifik Barat, terdapat kedatangan
gelombang penduduk baru. Pendatang baru tersebut merupakan migran yang
berbahasa Austronesia. Para kolonis Austronesia meninggalkan jejak-jejak yang
amat jelas akan awal mula kehadiran mereka yang melintasi lautan dan pulau-
pulau pada situs-situs arkeologi yang ditemukan, mulai dari Kepulauan Admiralty
di utara Nugini sampai ke timur sejauh Samoa, di Polinesia barat. Bukti paling
kuat adanya migrasi Austronesia di Pasifik adalah peninggalan bahasa. Perkiraan
ini didukung oleh bukti linguistik meskipun secara arkeologis belum ditemukan
(Suroto, 2009).

Kelompok Austronesia ini meninggalkan Taiwan 5000 tahun yang lalu


dan menyebar ke arah selatan. Kelompok Austronesia mengadakan perjalanan laut
menggunakan perahu sampan maupun menggunakan perahu layar, pada mulanya
kelompok Austronesia menginjakkan kaki di Filipina bagian utara. Mereka
kemudian mengadakan perjalanan ke arah selatan. Dari selatan Filipina mereka
memisahkan diri dalam 2 kelompok, kelompok pertama berlayar ke arah barat
daya, sedangkan kelompok kedua berlayar ke arah tenggara. Kelompok pertama
menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan, Malaysia, Sumatera dan Jawa, bisa

5
dikatakan kelompok pertama inilah yang menjadi nenek moyang penduduk
Malaysia serta penduduk Indonesia bagian barat. Kelompok kedua yang berlayar
ke arah tenggara, pada akhirnya mencapai Halmahera dan Kepulauan Bismarck.
Dari Bismarck, mereka melanjutkan perjalanannya ke Pulau Solomon, Vanuatu,
New Kaledonia, Fiji, dan terus ke arah timur sampai akhirnya mereka menetap di
wilayah Polinesia.

Kebudayaan dan teknologi kelompok Austronesia ini tergolong sangat


maju. Kelompok Austronesia telah menjinakkan berbagai jenis hewan (ayam,
anjing dan babi). Perkakas yang mereka pergunakan sudah lebih baik daripada
kelompok yang ada zaman sebelumnya. Organisasi kemasyarakatannya telah
terstruktur dengan sistem hirarki. Dengan keahlian yang dimiliki, kelompok
Austronesia juga mampu menghasilkan karya berupa ornamen-ornamen dan
perkakas dengan bahan kulit kerang. Ornamen atau alat-alat berbahan kerang yang
mereka buat termasuk beliung, manik-manik, mata kail, gelang tangan, dan
terompet.

Imigran Austronesia yang datang ke Pasifik lebih banyak bermukim di


sepanjang tepi pantai. Penghunian wilayah pesisir diminati daripada penghunian
wilayah pedalaman dimana di wilayah pedalaman lebih membutuhkan tenaga,
selain itu pada beberapa tempat di pedalaman, telah dihuni oleh penduduk lainnya
yang mungkin tidak bisa menerima kehadiran kelompok lain.

2.1.3 Polinesia
Polinesia berasal dari bahasa Yunani yaitu poly yang artinya banyak dan
nesoi yang artinya pulau. Ras Polinesia merupakan bagian dari orang Austronesia
yang merupakan orang aslin Kepulauan Polinesia, serta merupakan sebuah cabang
dari sub ras Oseanik dari rumpun bahasa Austronesia. Budaya Polinesia,
merupakan keyakinan dan praktik masyarakat adat dari kelompok etnografi di
Kepulauan Pasifik yang dikenal sebagai Polinesia. Polinesia berasal dari Ras
Mongoloi yang berkulit lebih terang dan tubuh yang lebih tinggi daripada
penduduk di Melanesia dan Mikronesia. Rambut mereka hitam dan lurus atau
bergelombang. Salah satu ciri budaya tradisonal Polinesia adalah adaptasi yang

6
efektif dan penguasaan lingkungan laut. Penduduk polinesia mengembangkan
bermacam teknik menangkap ikan. Mereka juga sangat lihai dalam seni kerajinan
tangan, dan memahat patung besar. Seni suara dan tarian, mereka juga termansyur
di seantero Pasifik. Penduduk Polinesia bahkan pecaya bahwa mereka adalah
keturunan lansung dari dewa-dewa mereka.

Di Indonesia berdasarkan kajian lingustik, kosa kata kandoRa (kus-kus)


dan mansar (bandikoot) ditemukan pada kelompok bahasa Proto Melayu-
Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang dituturkan di Kepulauan Indonesia
bagian timur. Namun bentuk kosa kata tersebut tidak ditemukan pada kelompok
bahasa Proto Melayu-Polinesia (PMP) yang dituturkan di Philipina dari masa
sebelumnya (Tryon 1995: 3).

Sugono (1994:1) menerangkan bahwa yang termasuk Melayu Polinesia


Barat antara lain Melayu Polinesia, Filiphina dan Polinesia Barat termasuk
Chamorro dan kepulauan Mikronesia Barat, bahasa-bahasa Chamic di daratan
Asia Tenggara dan Malagasi. Adapun yang teramsuk Polinesia Barat adalah
Indonesia Barat, Bali, Lombok, bagian barat Sumbawa, dan Sulawesi. Yang
termasuk Melayu Polonesia Tengah Timur adalah bahasa-bahasa kelompok
Melayu Polinesia Tengah dan Melayu Polinesia Timur, Termasuk dalam Polinesia
Timur adalah bahasa-bahasa di Halmahera Selatan, Papua Nugini, dan Kelompok
Oseanik.

Catatan sejarah menyoroti bahwa orang-orang Polinesia adalah migran


laut yang menavigasi jalan mereka dengan bantuan bintang. Orang-orang di
wilayah ini memiliki fisik yang cukup besar dan fitur yang bagus. Struktur sosial
dan sistem politik kepulauan Polynesia sangat berkembang dengan baik..Budaya
Polinesia menujukkan eksploitasi lingkungan yang sangat praktis. Bahasa mereka
mencerminkan suatu pengamatan yang sistematis terhadap alam, disertai dengan
timonologi untuk binatang, arus, angin dan bentang alam serta arah. Orang
Polinesia menujukkan adanya ketertarikan yang besar terhadap supranatural,
mereka memandang hal tersebut sebagai bagian dari kontimum realitas, bukan
sebagai kategori pengalaman yang terpisah. Akibatnya budaya Polinesia

7
menempatkan seseorang kedalam hubungan yang jelas dengan masyarakat dan
alam semesta.

Stratifikasi sosial merupakan ciri yang sangat melekat pada masyarakat


Polinesia dan budaya yang umumnya memiliki kelas sosial yang didefinisikan
dengan jelas dalam hal tugas, hak, perilaku dan gaya hidup. Kepala suku pada
masyarakat Polinesia adalah orang-orang yang memiliki status tertinggi, namun
oleh rakyatnya sering dianggap sebagai orang pertama diantara yang sederajat

Produksi makanan sebagian besar berasal dari laut yang menyediakan


sebagian besar protein makanan tradisional Polinesia. Penangkapan ikan
dilakukan secara perorangan, dengan tombak, pancing, atau jaring, maupun secara
kelompok. Orang Polinesia tidak membatasi penangkapan ikan mereka di perairan
pesisir, karena mereka sama-sama betah di laut lepas dan menjelajah bermil-mil
ke segala arah. Meskipun orang Polinesia adalah pelaut, mereka juga memiliki
kebun dengan tanaman pa hortikultura dan arborikultura, memproduksi makanan
pokok Polinesia dan sebagian besar bumbu mereka di kebun.  Tanaman asli utama
adalah ubi jalar ,talas , sukun , pisang , tebu ,kelapa ,dan chestnut Tahiti.
Tanaman ini mencapai tingkat kepentingan yang berbeda di berbagai masyarakat
Polinesia, tergantung pada faktor budaya dan kondisi lingkungan.

Sistem kepercayaan Polinesia adalah animisme , suatu perspektif di mana


segala sesuatu, hidup dan mati, diyakini dianugerahi kekuatan supernatural suci
dalam tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Kekuatan itu, yang dikenal di
kalangan orang Polinesia sebagai mana (kekuatan) bisa dibatalkan oleh berbagai
tindakan manusia, dan banyak tapu di kawasan itu ("larangan" atau "tabu ”)
dimaksudkan untuk mencegah perilaku buruk. Namun, seperti kebanyakan
kepulauan pasifik lainnya, penduduk polinesia sekarang menganut ajaran Kristen.
Perekonomian Polinesia tak ubahnya dengan yang terbatas membuat mereka
cukup bergantung pada bantuan luar.

2.1.4 Mikronesia
Mikronesia dalam bahasa Yunani menunjukkan pulau-pulau kecil. Di
antara orang-orang Mikronesia, keragaman besar terlihat. Pengembangan budaya

8
Mikronesia dianggap sebagai salah satu yang terakhir dari seluruh wilayah. Ini
dapat dianggap sebagai campuran budaya dari daerah lain di Polinesia dan
Melanesia juga. Dampak kolonisasi juga dapat dengan jelas diperhatikan dalam
budaya Mikronesia. Ada banyak bahasa yang digunakan di wilayah ini.
Mikronesia termasuk dalam rumoun bahsan Oseanik, bagian dari kelompok
bahasa Austroneisa, Beberapa dari bahasa ini adalah bahasa Trukic Ponapeic,
Nauruan, Marshallese, Kosraean dan Gilbertese.
Penduduk di Mikronesia memiliki karakteristik yaitu berkulit kebih coklat
dan berambut hitam lurus atau bergelombang serta bertubuh gemuk yang
merupakan turunan dari bangsa Polinesia. Secara umum, penduduk mikronesia
hidup dipinggir pantai karena senantiasa bepergian atau pulau. Selain di Kiribati,
kebudayaan di Mikronesia menganut sistem matrilineal. Di sana, kekeluargaan
juga masih sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu, nasionalisme di wilayah ini
tidak sekuat di Malanesia.Seperti kebudayaan negara-negara lain di dunia
Mikronesia juga memiliki tarian tradisional yang khas. Namun kaum pria dan
wanita memiliki tarian masing-masing. Tidak seperti kebanyak daerah lain yang
kaum pria dan wanita bebas menari bersama-sama. Hanya ada satu tarian yang
memperbolehkan pria dan wanita untuk menari bersama, tetapi harus ada izin dari
kepala uku setempat jika akan melakukan tarian.
Budaya Mikronesia merupakan salah satu budaya asli daerah terakhir yang
berkembang. Ini dikembangkan dari campuran Malenesia dan Filiphina. Karena
campuran keturunan ini, banyak etnis Mikronesia yang dekat dengan beberapa
kelompok di etnis Melanesia. Musik Mikronesia berpengaruh pada mereka yang
tinggal di kepulauan Mikronesia. Beberapa musik didasarkan pada mitologi dan
ritual Mikronesia Kuno. Ini mencakup berbagai gaya dari lagu tradisional,
diturunkan dari generasi ke generasi, hingga musik kontemporer. Keyakinan
tradisional menunjukkan bahwa musik dapat disajikan kepada orang-orang
dalam mimpi dan kesurupan , daripada ditulis sendiri oleh komposernya . Musik
rakyat Mikronesia, seperti musik Polinesia , pada dasarnya berbasis vokal.

2.2 Bahasa dan Dialek


2.2.1. Bahasa

9
Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial.
Tanpa Bahasa, komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial
pun tidak akan pernah terjadi. Karena tanpa Bahasa, siapa pun tidak akan dapat
mengekspresikan diri untuk menyampaikan diri untuk menyampaikan kepada
orang lain. Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan oleh Crow (1987) bahwa
Bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Melalui bahasa manusia dapat
mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang
digunakan oleh seseorang dalam pergaulannya atau hubungannya dengan orang
lain. Bahasa merupakan alat bergaul. Oleh karena itu, pengunaan bahasa menjadi
efektif sejak seorang individu memerlukan berkomunikasi dengan orang lain.
Sejak seorang bayi mulai berkomunikasi dengan orang lain, sejak itu pula bahasa
diperlukan. Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial, maka perkembangan
hubungan sosial, maka perkembangan bahasa seorang bayi dan anak dimulai
dengan meraba suara atau bunyi dengan bahasa satu suku kata dan dua suku kata,
menyususun kalimat sederhana, dan seterusnya melakukan sosialisasi dengan
menggunakan bahasa yang kompleks sesuai dengan tingkat perilaku sosial.
Sebagai alat yang sangat penting, Bahasa memiliki fungsi yang signifikan
bagi manusia. Paling tidak, ada dua fungsi Bahasa, yaitu: (1) Bahasa sebagai
sarana pembangkit dan pembangunan perhubungan yang memperluas pikiran
seseorang sehingga kehidupan mentap seseorang individu menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan mental kelompok; (2) Bahasa sebagai sarana
yang mempengaruhi kepribadian. Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan
alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulannya atau
hubungannya dengan orang lain. Bahasa merupakan alat bergaul. Oleh karena itu,
pengunaan bahasa menjadi efektif sejak seorang individu memerlukan
berkomunikasi dengan orang lain. Sejak seorang bayi mulai berkomunikasi
dengan orang lain, sejak itu pula bahasa diperlukan. Sejalan dengan
perkembangan hubungan sosial, maka perkembangan hubungan sosial, maka
perkembangan bahasa seorang bayi dan anak dimulai dengan meraba suara atau
bunyi dengan bahasa satu suku kata dan dua suku kata, menyususun kalimat

10
sederhana, dan seterusnya melakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa
yang kompleks sesuai dengan tingkat perilaku sosial. Dengan menggunakan
bahasa dapat mengubah cara berpikir seseorang.
Setiap anak memiliki potensi untuk berbahasa. Potensi kebahasaan itu
akan tumbuh dan berkembang jika fungsi linkungan diperankan dengan baik. Jika
tidak, maka potensi itu akan bersifat “laten” (terpendam) selamanya. Oleh karena
itu, peranan lingkungan, terutama lingkungan keluarga memiliki peran strategis
dalam hal ini. Perolehan Bahasa pertama kali akan terjadi., manakala seorang
anak mengenal Bahasa di lngkungan keluarga. Bahasa yang dikenal dan dikuasai
oleh anak yang berasal dari keluarga inilah yang menjadi titik awal dalam
perkembangan Bahasa anak.
Tingkat perkembangan bahasa anak ini berbeda-beda sesuai dengan apa
yang didengar dan dikenalnya. Akan tetapi, kebanyakan pada tingkat awal anak-
anak mengenal istilah kata benda dan kata kerja yang sederhana seperti mama,
ayah, rumah, tidur, menangis, makan, minum, dan sebagainya. Penguasaan
Bahasa ini akan berkembang sejalan dengan perkembangan usia anak.
Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti
factor intelektual/ kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan
kemampuan bahasa. Bayi tingkat intelektualnya belum berkembnagan dan masih
sangat sederhana. Semakin bayi itu tumbuh dan berkembangan serta mulai
mampu memahami lingkungan. Maka bahasa mulai berkembang dari tingkat yang
sederhana menuju yang kompleks. Perkembangan bahasa di pengaruhi oleh
perkembngan lingkungan, karena pada dasarnya perkembnagan bahasa
merupakan dasarnya dari belajar di ligkungan. Bayi belajar menambah kata-kata
dengan meniru bunyi-bunyi yang didengarkannnya. Manusia dewasa terutama ibu
disekelilingnya belajar memebetulkan dan memperjelas. Belajara bahasa
sebenernya baru dilakukan oleh anak yang berusia 6-7tahun disaat anak mulai
bersekolah, jadi, perkembangan bahasa adalah meningkatnya kemampuan
penguasaan alat komunikasi, baik alat komukasi lisan maupun menggunakan
tanda-tanda dan isyarat. Mampu dan menguasai alat komunikasi disini diartikan
sebagai upaya seseorang untuk dapat memamhami dan dipahami oleh orang lain.

11
1. Tahapan Perkembangan Bahasa
Ada aspek linguistic dasar yang bersifat universal dalam otak manusia
yang memungkinkan menguasai Bahasa tertentu (Tarigan, 1986), Sedangkan
menurut kaum empiris yang dipelopori para penganut aliran behavioristic
memandang bahwa kemampuan berbahasa merupakan hasil belajar individu
dalam interaksinya dalam lingkungan. penguasaan Bahasa merupakan hasil dari
penyatupaduan peristiwa-peristiwa linguistic yang diamati dan dialami selama
masa perkembangannya (Taigan, 1986: 260).
Menurut para penganut aliran behavioristic, pengunaan Bahasa merupakan
asosiasi yang terbentuk melalui proses pengondisian klasik (classical
conditioning), pengodisian operan (operant conditioning), dan belajar sosial
(social learning). Secara umum, perkembangan keterampilan berbahasa pada
individu menurut Berk (1989) dapat dibagi ke dalam empat komponen, yaitu:
1. Fonologi (phonology)
Fonologi berkenaan dengan bagaimana individu memahami dan
mengahasilkan bunyi Bahasa. Jika kita pernah mengunjungi daerah lain atau
negara lain yang bahasanya tidak kita mengerti boleh jadi kita akan kagum, heran,
atau bingungkarena Bahasa orang asli di sana terdengar begitu cepat dan
sepertinya tidak putus-putus antara satu kata dengan kata lain. Sebaliknya, orang
orang asing yang sedang belajar Bahasa kita juga sangat mungkin mengalami
hambatan karena tidak familiar dengan bunyi kata-kata dan pola intonasinya.
Bagaimana seseorang memperoleh fasilitas kemampuan memahami bunyi kata
dan intonasi merupakan sejarah perkembangan fonologi.
2. Semantik (semantics)
Semantik merujuk kepada makna kata atau cara yang mendasari konsep-
konsep yang diekspresikan dalam kata-kata atau kombinasi kata. Setelah selesai
masa prasekolah, anak-anak memperoleh sejumlah kata-kata baru dalam jumlah
yang banyak. Penelitian intensif tentang perkembangan kosakata pada anak-anak
diibaratkan oleh Berk (1989) sebagai Sejauh mana kekuatan anak untuk
memahami ribuan pemetaan kata-kata ke dalam konsep-konsep yang dimiliki
sebelumnya meskipun belum terlabelkan dalam dirinya dan kemudian
menghubungkannya dengan kesepakatan dalam bahasa masyarakatnya.

12
3. Tata Bahasa (grammar)
Grammar merujuk kepada penguasaan kosakata dan memodifikasikan
cara-cara yang bermakna. Pengetahuan tentang grammar meliputi dua aspek
utama.
a. Sintak (syntax), yaitu aturan-aturan yang mengatur bagaimana kata-kata
disusun ke dalam kamlimat yang dapat dipahami.
b. Morfologi (morphology), yaitu aplikasi gramatikal yang meliputi jumlah,
tenses, kasus, pribadi, gender, kalimat aktif, kalimat pasif, dan berbagai
makna lain dalam bahasa.
4. Pragmatik (pragmatics).
Pragmatik merujuk kepada sisi komunikatif dari bahasa. Ini berkenaan
dengan bagaimana menggunakan bahasa dengan baik ketika berkomunikasi
dengan orang lain. Di dalamnya meliputi bagaimana mengambil keputusan yang
tepat, mencari dan menetapkan topik yang relevan, mengusahakan agar benar-
benar komunikatif, bagaimana menggunakan bahasa tubuh (geture), intonasi
suara, dan menjaga konteks agar pesan pesan verbal yang disampaikan dapat
dimaknai secara tepat tepat oleh penerimanya.
Pragmatik juga mencakup di dalam pengetahuan sosiolinguistik, yang
bagaimana suatu bahasa harus diucapkan dalam suatu kelompok masyarakat
tertentu. Agar dapat berkomunikasi dengan berhasil, seseorang harus memahami
dan menerapkan cara-cara interaksi dan komunikasi yang dapat diterima oleh
masyarakat tertentu, seperti ucapan selamat datang dan selamat tinggal serta cara
mengucapkannya. Selain itu,Seseorang juga harus memperhatikan tata krama
berkomunikasi berdasarkan hierarki umur atau status sosial yang masih dijunjung
tinggi dalam suatu masyarakat tertentu.

2.2.2. Dialek
Dialek sebagai sistem atau variasi bahasa tercermin dalam pandangan-
pandangan berikut. Weijnen dkk. (Ayatrohaedi, 1983: 1, 2002: 1–2) berpendapat
bahwa dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat
untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang

13
mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya. Dalek
sebagai variasi bahasa yang digunakan di sebagian negeri (dialek regional), atau
oleh penduduk yang memiliki kelas sosial tertentu (dialek sosial atau sosiolek),
yang berbeda dalam beberapa kata, tatabahasa, dan/atau pelafalan dari bentuk lain
pada bahasa yang sama.
Dialek sebagai cabang atau bentuk tertentu dari bahasa yang digunakan di
wilayah geografis tertentu. Poedjosoedarmo (tanpa tahun) membatasi dialek
sebagai varian yang walaupun berbeda masih dapat dipahami oleh penutur dari
varian lain. Kridalaksana (1993: 42) membatasi dialek sebagai variasi yang
berbeda-beda menurut pemakai, apakah di tempat tertentu (dialek regional), oleh
golongan tertentu (dialek sosial), ataukah pada waktu tertentu (dialek temporal).
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan
sistem atau variasi bahasa. Variasi ini bisa berwujud variasi regional atau
geografis jika digunakan di tempat tertentu, bisa berwujud variasi sosial (sosiolek)
jika digunakan oleh kelompok sosial tertentu, dan bisa berwujud variasi temporal
jika digunakan pada waktu tertentu. Dengan demikian, dialektologi merupakan
kajian variasi bahasa.
Dialek merupakan bentuk variasi bahasa, baik dalam lingkungan sosial
maupun lingkungan geografis tertentu. Dalam hal ini, pendapat Chambers dan
Trudgill bahwa penggunaan istilah variasi untuk dialek lebih netral atau aman
untuk keperluan teknis tertentu. Tidak ada seorang pun penutur sebuah bahasa
yang lepas sama sekali dari dialek atau variasi bahasanya Ketika orang itu
berbicara, saat itu pula yang bersangkutan berbicara dalam dialeknya atau variasi
bahasanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pilch (1976: 123). Bahasa tanpa
kecuali dinyatakan melalui dialek, berbicara dalam sebuah bahasa berbicara dalam
beberapa dialek bahasa itu. Meskipun terdapat variasi dalam bahasa, tidak berarti
variasi tersebut terpisah sendiri-sendiri dalam pemakaiannya (Kridalaksana, 1985:
13 –14).
Beberapa dialek yang semula berasal dari satu bahasa bisa berstatus
bahasa karena faktor politik, misalnya, bahasa Melayu di Indonesia disebut bahasa
Indonesia, sedangkan bahasa yang sama di Malaysia disebut bahasa Malaysia.
Kedua bahasa ini dalam penggunaannya pada situasi resmi tidak jauh berbeda,

14
antara orang Indonesia dan orang Malaysia cenderung masih dapat berkomunikasi
karena adanya faktor saling memahami. Akan tetapi, dalam penggunaannya pada
situasi tidak resmi sangat berbeda, orang Indonesia cenderung sulit berkomunikasi
dengan orang Malaysia, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, apa yang
dikatakan Chambers dan Trudgill (1980: 10 – 11) dengan adanya konsep otonomi
dan heteronomi yang dicoba diterapkan dalam bahasa dan dialek dapat
memperjelas masalah status bahasa dan dialek ini walaupun pandangannya tidak
mengacu pada linguistik.
Dalam situasi tertentu, dialek atau bahasa bersifat otonom, sistem yang
tidak bergantung pada yang lain (otonomi). Akan tetapi, dalam situasi lain, bahasa
atau dialek memiliki ketergantungan pada yang lain sehingga sistem ini tidak
otonom lagi (heteronomi). Fenomena dialek kontinum biasanya menunjukkan hal
ini karena batas dialek atau bahasa tidak ada lagi atau kabur. Biasanya faktor
nonlinguistik lah (misalnya politik) yang kemudian memberikan status bahasa
atau dialek

1. Pembeda Dialek
Dialek yang satu berbeda dengan dialek yang lain karena masing-masing
memiliki kekhasan yang bersifat lingual. Kekhasan inilah yang menjadi pembeda
bagi dialek-dialek tersebut. Ayatrohaedi (1983: 3 – 5) mengacu pada pandangan
Guiraud (1970), berpendapat bahwa pembeda dialek pada garis besarnya ada lima
macam, yakni sebagai berikut:
(1) perbedaan fonetis, yaitu perbedaan pada bidang fonologi, misalnya,
careme dan cereme '‘buah (pohon) cermai, gudang dan kudang ‘gudang’,
dan jendela, gandela, dan jendela ‘jendela’ dalam bahasa Sunda;
(2) perbedaan semantis, yang mencakup (a) sinonimi, yaitu nama yang
berbeda untuk linambang yang sama pada beberapa tempat yang berbeda,
misalnya, turi dan turuy ‘turi’ dalam bahasa Sunda, kemudian (b)
homonimi, yaitu nama yang sama untuk hal yang berbeda pada beberapa
tempat yang berbeda, misalnya, meri ‘itik’ dan ‘anak itik’ dalam bahasa
Sunda;

15
(3) perbedaan onomasiologis, yaitu nama yang berbeda berdasarkan satu
konsep yang diberikan pada beberapa tempat yang berbeda, misalnya,
ondangan, kondangan, kaondangan dan nyambungan ‘menghadiri kenduri’
dalam bahasa Sunda;
(4) perbedaan semasiologis, yaitu nama yang sama untuk beberapa konsep
yang berbeda, misalnya, Aceh ‘nama suku bangsa’, ‘nama daerah’, ‘nama
kebudayaan’, ‘nama bahasa’, dan ‘nama’ sejenis rambutan’;
(5) perbedaan morfologis, yaitu perbedaan dalam bentukan kata, misalnya,
lemper dan lelemper ‘lemper’; ogo dan ogoan’manja dalam bahasa Sunda.
Perbedaan-perbedaan di atas dianggap sebagai varian. Perbedaan fonetis,
leksikal, dan morfologis berkaitan dengan varian bentuk, sedangkan perbedaan
semantis berkaitan dengan varian makna. Dari varian-varian tersebut ada yang
merupakan bentuk atau makna asal, ada pula bentuk atau makna baru
(pembaruan). Bentuk dan makna baru (hasil pembaruan) dalam tradisi
dialektologi disebut bentuk inovatif dan makna inovatif.

2.3 Ras, Budaya, dan Etnis


2.3.1 Ras
Ras merupakan suatu penggolongan orang berdasarkan ciri-ciri fisik
seperti warna kulit, bentuk badan, bentuk muka, dan bentuk hidung. Secara
bahasa, kata “ras” berasal dari bahasa latin “radix” yang dapat diartikan sebagai
asal atau akar. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa kata “ras” berasal dari
bahasa Italia “razza” yang berarti perbedaan variasi penduduk atau perbedaan
penduduk berdasarkan tampilan fisik seperti rambut, mata, warna kulit, atau
bentuk tubuh. Sementara itu, KBBI mengartikan ras sebagai golongan bangsa
berdasarkan ciri-ciri fisik atau rumpun bangsa.

Menurut Vogel dan Motulsky (1986), ras merupakan sebuah populasi


besar terdiri dari individu yang sebagian kecil memiliki kesamaan gen yang
signifikan dan dapat dibedakan dari ras lain melalui kumpulan gen umum mereka.
Sementara itu, Hulse (1962) mendefinisikan ras sebagai populasi yang dapat
dengan mudah dibedakan satu sama lain berdasarkan genetika. Berdasarkan dari

16
kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ras merupakan populasi yang
dapat dibedakan satu sama lain.

1. Keberagaman Ras di Indonesia

Terdapat 3 (tiga) ras primer yang ada di dunia yaitu Mongoloid,


Kaukasian, dan Negroid. Selain dari tiga ras tersebut, terdapat beberapa ras yang
dapat dikelompokkan ke dalam ras khusus. Penggolongan ras tersebut didasarkan
pada ciri-ciri fisik yang dapat dilihat seperti bentuk badan, bentuk muka, bentuk
hidung, dan warna kulit.

Indonesia sendiri merupakan negara yang mana mayoritas penduduknya


memiliki kulit sawo matang, dan rambut dengan warna hitam. Adapun sebagian
lainnya memiliki kulit putih maupun hitam. Keberagaman ras yang ada di
Indonesia dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor seperti adaptasi dan migrasi
yang terjadi diantara berbagai penduduk di Indonesia.

Sebagai negara yang terdiri atas berbagai kelompok ras dan suku bangsa,
terdapat tiga ras utama yang ada di Indonesia yaitu antara lain:

1) Melanesoid (Negro Melanesia)

Merupakan ras yang memiliki ciri-ciri fisik seperti kulit yang berwarna
hitam dan rambut keriting. Kelompok ras ini terletak di wilayah
Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua.

2) Mongoloid (Mongoloid Melayu dan Mongoloid Asiatikk

Kelompok ras ini terletak di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Umumnya memiliki ciri-ciri seperti warna kulit “kuning”, coklat muda
hingga coklat tua atau sawo matang dan rambut berwarna hitam.

3) Kaukasoid (Indic dan Mediteranian)

Merupakan ras yang pada umumnya dicirikan dengan kulit yang


berwarna putih. Sebagian besar kelompok ras Kaukasoid yang ada di
Indonesia merupakan Kaukasoid Indic dan Mediteranian yang umumnya
berasal dari Arab, Pakistan, dan India.

17
2.3.2 Budaya
Budaya ditinjau dari asal katanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
“budhaya” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti budi atau
akal. Kpendjoroningrat (1990) mendefinisikan budaya sebagai daya dari budi
berupa cipta , karsa dan rasa. Sedangkan budi diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan akal manusia yang merupakan pancaran dari bumi dan daya
terhadap seluruh apa yang dipikir, dirasa, dan direnungkan yang kemudian
diamalkan dalam bentuk suatu kekuatan yang menghasikan kehidupan. Menurut
Ki Hajar Dewantara budaya merupakan hasil perjuangan masyarakat terhadap
alam dan zaman yang membuktikan kemakmuran dan kejayaan hidup masyarakat
dalam menyikapi atau menghadapi kesulitan dan rintangan untuk mencapai
kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan dihidupnya. Menurut KBBI budaya
merupakan sebuah pemikiran, adat istiadat, atau akal budi. Sedangkan menurut
Geert Hofstede budaya merupakan pemograman bersama atas pikiran yang
membedakan anggota-anggota satu kelompok orang dengan kelompok lainnya.
Menurut Linton budaya merupakan keseluruhan dari sikap dan pola perilaku serta
pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan dan dimiliki oleh
suatu anggota masyarakat tertentu.

Unsur-unsur dalam budaya meliputi: perilaku-perilaku tertentu, gaya


berpakaian, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan dan tradisi. Ciri-ciri
dari budaya adalah:

a. Budaya bisa disampaikan dari orang ke orang dari kelompok ke


kelompok atau dari generasi ke generasi.
b. Budaya harus dipelajari bukan menjadi bawaan
c. Budaya berdasarkan symbol
d. Budaya bersifat sleektif yaitu mempresentasikan pola-pola perilaku
pengalaman manusia yang berjumlah terbatas
e. Budaya bersifat dinamis yakni system bisa berubah sepanjang wakttu
f. Unsur budaya saling berkaitan
g. Etnosentrik atau menganggap budaya sendiri merupakan budaya yang
terbaik.

18
Menurut Taylor (1897) kebudayaan mengandung makna yang luas dan
mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi
pengetahuan, keprcayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan dan
pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Koendjoroningrat
membagi kebudayaan dalam tiga wujud yakni Ideas (system ide), activities
(system aktivitas), dan artifact (system artefak). Berikut merupakan penjelasan
dari wujud kebudayaan:

19
a. Wujud kebudayaan sebagai system ide
Wujud kebudayaan yang bersifat sangat abstrak tidak bisa diraba atau
difoto dan terdapat dalam alam pikiran individu penganut kebudayaan
tersebut.
b. Wujud kebudayaan sebagai system aktivitas
Wujud kebudayaan yang merupakan sebuah aktivitas atau kegiatan
social yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat. System ini
terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan
berhubungan secara kontinu dengan sesamanya.
c. Wujud kebudayaan sebagai system artefak
Wujud kebudayaan yang paling konkret, bisa dilihat, dan diraba
secara langsung oleh pancaindra. Wujudnya berupa kebudaan fisik
yang merupakan hasil-hasil kebudayaan manusia berupa tataran
system ide atau pemikiran ataupun aktivitas.

Eksistensi kebudayaan secara structural memiliki unsur-unsur.


Kebudayaan dalam pengertian ini mengandung makna totalitas, unsur-unsur
universal dalam kebudayaan menurut Surajiyo terbagi menjadi tujuh unsur yakni:
pertama system reiligi dan keagamaan, manusia sebagai makhluk religious
memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan
dirinya terdapat kekuatan lain yang Maha Besar yang dapat menghitan putihkan
kehidupan manusiaa. Kedua system organisasi kemasyarakatan, sebagai makhluk
hidup manusia sadar bawah tubuhnya lemah, maka dari itu perlu adanya
organisasi untuk membangun kerjasama yang slaing menguatkan dalam
meningkatkan kedamaian dan kesejahteraan hidup. Ketiga system penegtahuan,
sebagai makhluk atau homosapiens manusia berkemampuan untuk mengingat apa
yang telah diketahuinya kemudian menyampaikannya dengan orang lain mellaui
bahasa, sehingga pengertahuan menjadi menyebar luas. Keempat system ekonomi,
makhluk ekonomicus maka haruslah terjadi peningkatan-peningkatan untuk
kemajuan, manusia harus memiliki mata pencaharian. Kelima system teknologi,
sebagai homofaber manusia memiliki kecerdasan sehingga mampu menciptakan

20
juga sekaligus mampu mempergunakan hasil ciptaannya. Keenam bahasa, sebagai
homolonguens manusia memiliki bahasan untuk berkomunikasi dan
mengkomunikasikan segala yang dibutuhkan dan sekaligus manudia bisa
memahami symbol-simbol termasuk symbol bahasa. Ketujuh kesenian, sebagai
homoesteticus manusia mempunyai kebutuhan fisik dan psikis.

Adapun factor-faktor geografis yang mempengaruhi suatu budaya atau


menentukan keberagaman budaya di Indonesia sebagai berikut:

1) Letak Geografis

Letak atau lokasi suatu tempat sangat berpengaruh terhadap


kebiasaan hidup suatu masyarakat. Seperti masyarakat yang bertempat
tinggal di pegunungan maka mereka akan cenderung bermata pencaharian
sebagai petani. Sedangkan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah
pesisir atau wilayah pantai maka mereka akan cenderung bermata
pencaharian sebagai nelayan. Apabila dari ciri khas suatu tempat dapat
dilihat dari bangunan tempat tinggal tersebut. Masyarakat yang bertempat
tinggal di gunung maka ciri dari rumahnya yakni akan dibuat atap yang
tidak terlalu tinggi dengan tujuan rumah akan terasa hangat. Sedangkan
masyarakat yang bertempat tinggal di pesisir atau pantai sebaliknya.
Mereka akan membuat atap yang tinggi dengan tujuan supaya rumah tidak
terasa panas saat siang hari.

2) Posisi Strategis

Posisi Indonesia yang dilalui oleh Selat Malaka dan menjadi jalur
perdagangan internasional sejak zaman dahulu mempengaruhi kebudayaan
masyarakat Indonesia. Datangnya bangsa asing yang membawa budaya
mereka akan terjadi kemungkinan penggabungan atau akulturasi budaya.

3) Kondisi Ekologis

Kondisi ini mentikberatkan pada ekologi hubungannya dengan


manusia yakni kaitannya dengan keberagamn suku bangsa dan budaya di
Indonesia. Factor ekologis mempengaruhi budaya yakni salah satu

21
contohnya suku Baduy yang membangun rumah secara berhadapan.
Rumah yang dibangun hanya menghadap ke arah Utara dan Selatan
dengan tujuan sinar matahari dapat masuk ruangan melalui jendela
samping rumah.

2.3.3 Etnis
Kata etnis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ethnos atau ethnik os yang
memiliki arti orang atau sekelompok orang (komunitas/rakyat) tradisional (folk).
Penggunaan kata etnis dalam perkembangannya banyak juga digunakan untuk
sekelompok orang-orang tertentu yang terjadi karena perbedaan area tinggal,
perbedaan kebudayaan, perbedaan bahasa, perbedaan kepercayaan, bahkan
perbedaan tampilan fisik dalam suatu ras manusia yang sama.
Ada banyak etnis atau suku tertentu bahkan dari suku tersebut masih
memilah lagi menjadi subsuku di Negara Indonesia ini. Sehingga dalam Negara
Indonesia ini banyak sekali suku yang bermacam-macam, adat istiadat yang
beragam, agama dan kepercayaan yang berbeda. Indonesia saat ini memiliki
banyak ras, banyak suku, budaya, dan multikultur, sehingga tidak hanya suku asli
di Nusantara saja yang tinggal di Negara Indonesia ini tetapi juga banyak ras lain,
seperti Ras Kaukasian dan ras lainnya.
Mengenai SDM yang memiliki “keragaman” etnis di Indonesia (yang
terdiri dari 300 etnis), yang selama ini sering “diseragamkan”. Keberagaman ini
sering menimbulkan konflik sebelum dan setelah krisis ekonomi yang pada
umumnya dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi. Ke dua, tentang konsep
pengembangan SDM masyarakat kelas bawah, yang sebagian terpuruk karena
krisis ekonomi dan sebagian lagi justru tetap bertahan jika dibandingkan
kelompok ekonomi formal kelas menengah (industri besar), yang sudah banyak
mendapatkan intervensi dari psikologi dan ekonomi. Ke tiga, pengembangan
Sumber Daya Manusia Indonesia. Selama ini tidak ada konsep operasional
psikologis yang jelas tentang pengembangan SDM Indonesia, kecuali tercantum
secara normatif dalam GBHN.

1. Pengembangan SDM Indonesia Yang Beragam Etnis

22
Sejak tahun 1997 (atau bahkan sebelumnya) hingga saat ini amuk masa
dan konflik agaknya tidak kenal istilah berhenti. Belakangan ini, konflik antar
kelompok etnis dan agama telah menimbulkan banyak persoalan di luar krisis
ekonomi yang belum selesai. Ditinjau dari faktor penyebab dan bagaimana
mengatasi akibat konflik tersebut, psikologi ternyata belum banyak memiliki
peran yang nyata.
Dari sisi faktor penyebab, dapat ditinjau dari masalah industrialisasi dan
urbanisasi /transmigrasi. Selama ini psikologi hanya memikirkan SDM bagi
industri besar tetapi bukan kepada masyarakat “asli” di mana industri tersebut
beroperasi. Dalam transmigrasi, masyarakat pendatang lah yang selama ini lebih
banyak mendapat perhatian, sedangkan masyarakat yang didatangi tidak pernah
terpikirkan. Dalam hal urbanisasi, psikologi hanya berkutat pada SDM yang akan
memasuki sektor formal yang memiliki skill dan pendidikan yang memadai,
sementara sebagian besar lagi dari masyarakat sektor informal yang berasal dari
etnis-etnis tertentu dan masyarakat lokal dengan etnis tertentu pula tidak banyak
dipikirkan.
Kesalahan seperti itu berakibat amuk massa dan konflik seperti yang dapat
di lihat di Indonesia. Konflik bisa saja terjadi di lingkungan makro, meso, dan
mikro. Di lingkungan makro, kita kenal konflik etnis di Kalimantan Barat yang
melibatkan etnis Madura, Dayak, dan Melayu (transmigrasi). Atau konflik antar
etnis di kota-kota, seperti Solo dan Kebumen. Di tingkat meso, kita kenal amuk
massa yang dilakukan masyarakat terhadap industri yang tidak pernah
memikirkan nasib masyarakat setempat, seperti konflik di wilayah industri dengan
penanaman modal asing (misalnya Newmont di Nusa Tenggara) dan BUMN
(Semen Cibinong di Jawa Barat). Di tingkat mikro, konflik etnis dapat terjadi
kampung-kampung di Jakarta yang bersetting pasar tradisional.

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya.
Kebudayaan-kebudayaan tersebut menjadi identitas bangsa, dan perbedaan
perbedaan yang ada dilihat sebagai keunggulan dibanding kelemahan. Kekayaan
warisan seni dan budaya saat ini harus dijaga bersama, baik oleh generasi
pendahulu maupun generasi baru yang nantinya akan menjadi pemimpin
pemimpin bangsa ini; tidak menjadi hilang terlupakan karena masuknya budaya
asing yang lebih populer di negara kita.
Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial.
Tanpa Bahasa, komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial
pun tidak akan pernah terjadi. Karena tanpa Bahasa, siapapun tidak akan dapat
mengekspresikan diri untuk menyampaikan diri untuk menyampaikan kepada
orang lain. Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan oleh Crow (1987) bahwa
Bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Melalui bahasa manusia dapat
mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
Dialek merupakan sistem atau variasi bahasa. Variasi ini bisa berwujud
variasi regional atau geografis jika digunakan di tempat tertentu, bisa berwujud
variasi sosial (sosiolek) jika digunakan oleh kelompok sosial tertentu, dan bisa
berwujud variasi temporal jika digunakan pada waktu tertentu. Dengan demikian,
dialektologi merupakan kajian variasi bahasa. Dialek merupakan bentuk variasi
bahasa, baik dalam lingkungan sosial maupun lingkungan geografis tertentu.
Ras merupakan suatu penggolongan orang berdasarkan ciri-ciri fisik
seperti warna kulit, bentuk badan, bentuk muka, dan bentuk hidung. ras
merupakan populasi yang dapat dibedakan satu sama lain.
Budaya ditinjau dari asal katanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
“budhaya” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti budi atau
akal. Koentjaraningrat (1990) mendefinisikan budaya sebagai daya dari budi
berupa cipta, karsa dan rasa.

24
Kata etnis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ethnos atau ethnik os yang
memiliki arti orang atau sekelompok orang (komunitas/rakyat) tradisional (folk).
Penggunaan kata etnis dalam perkembangannya banyak juga digunakan untuk
sekelompok orang-orang tertentu yang terjadi karena perbedaan area tinggal,
perbedaan kebudayaan, perbedaan bahasa, perbedaan kepercayaan, bahkan
perbedaan tampilan fisik dalam suatu ras manusia yang sama.

3.2 Saran
Keanekaragaman budaya jangan dijadikan sebagai perbedaan, tetapi
hendaknya dijadikan sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Kita selaku generasi
muda bagsa Indonesia mempunyai kewajiban untuk selalu melestarikan
kebudayaan yang beraneka ragam tersebut. di samping itu, dengan mendalami
kebudayaan yang beraneka ragam tersebut, wawasan kita kan bertambah sehingga
kita tidak akan menjadi bangsa yang kerdil. Kita dapat menjadi bangsa yang mau
dan mampu menghargai kekayaan yang kita miliki, yang berupa keragaman
kebudayaan tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai