Anda di halaman 1dari 4

Kurangnya Kesadaran Pendidikan Agama dalam Era globalisasi

Globalisasi adalah proses dimana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling
berinteraksi, bergantung, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Globalisasi juga dapat dikatakan sebagai pertukaran informasi bagi setiap individu melalui
media elektronik maupun cetak salah satunya adalah masuknya budaya asing yang
mendapatkan pro maupun kontra oleh masyarakat.

Era global sangat mendatangkan berbagai pengaruh dalam dunia pendidikan, salah satunya
adalah pola hidup modern di era global yang cenderung bersifat mendunia dan individual. Ini
merupakan pandangan perilaku masyarakat yang mengikuti perkembangan era global yang
tidak sesuai demgan ajaran agama. Sementara, dunia pendidikan islam berusaha
membahagiakan kehidupan di dunia dan akhirat kelak dengan mengutamakan kebersamaan,
kerukunan dan kepedulian.

Dalam sejarah hidup manusia, kata pendidikan tidak familiar lagi tetapi sudah
mendunia, karena pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dijalani dan ditempuh
untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Pendidikan tidak pernah berhenti dalam
membentuk kualitas pribadi seseorang. Upaya peningkatan kualitas pribadi tersebut
meruoakan dasar atau prinsip yang harus dikembangkan dalam menghadapi era global.

Melalui pendidikan, baik bersifat umum dan agama, diharapkan dapat bisa tertata dengan
baik dengan melibatkan nilai yang terkandung dalam negara maupun agama dan pemikiran
yang cerdas untuk mengatasi kecenderungan masyarakat serta moralitas bangsa agar mampu
menghasilkan generasi yang tangguh keimanan, kokoh dalam kepribadian, kaya dalam
intelektual dan tangguh dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Persoalan yang muncul dalam era global ini adalah lembaga-lembaga lebih mengutamakan
ilmu pengetahuan dan teknologi ( Iptek ) daripada mengutamakan ilmu iman dan taqwa
(Imtak ). Akibatnya telah terjadi perbedaan dalam dua aspek yakni peserta didik lebih
cenderung menguasai dan memahami ilmu pengetahuan umum, akan tetapi lemah dalam segi
ilmu agama.
Kondisi seperti itu mengkhawatirkan akan berakibat terbentuknya pribadi dan moral baik
dalam menghadapi era global ini. Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa pejabat
indonesia yang melakukan tindakan korupsi, bukankah mereka mempunyai pendidikan
umum yang sangat tinggi? Tetapi kenapa mereka masih melakukan korupsi?. Hal ini
disebabkan kurangnya pengetahuan dalam memahami pentingnya pendidikan agama pada
masa ini.

Pendidikan umum sebenarnya dilatar belakangi oleh akal dan rasio yang banyak dipengaruhi
oleh budaya barat yang telah mengubah nilai kehidupan bangsa. Pendidikan umum
sebenarnya bertujuan untuk menciptakan manusia yang bermutu dan berkualitas dalam upaya
mensejahterakan kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Begitu juga tentang
pendidikan agama (islam) yang dilatarbelakangi oleh akal,wahyu dan rasio juga dapat
memberikan pengaruh besar dalam pembentukan watak dan karakter seseorang menjadi lebih
baik lagi.
Tetapi jika lembaga-lembaga pendidikan lebih mengutamakan pendidikan umum saja dan
menomor duakan pendidikan agama, hal ini akan berakibat kurangnya iman dan takwa
seseorang, maka akan terjadi masalah moralitas bagi masyarakat indonesia baik itu usia
remaja hingga dewasa. Contohnya seperti sekarang ini banyak remaja hingga orang dewasa
tempat hiburan malam, bahkan mengkonsumsi obat-obatan terlarang yang merupakan
larangan dalam ajaran agama.
Menurut saya, bila seseorang hanya mementingkan pendidikan umum dan mengesampingkan
pendidikan agama maka seseorang akan terjerumus dalam hal kemaksiatan. Pendidikan
agama sangatlah penting dalam menghadapi era globalosasi pada masa ini. Karena agama
merupakan sebuah pedoman hidup yang berisi aturan-aturan yang harus diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dan di dalam pendidikan agama dapat membentuk dan mengubah sikap
seseorang menjadi lebih baik lagi.
[ CITATION Sha18 \l 1057 ]
Kesiapan Muslimah Hadapi Globalisasi

Kehadiran globalisasi tidak bisa dibendung lagi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kehadiran globalisasi tidak bisa dibendung


lagi. Perlu persiapan matang untuk menghadapinya agar tidak terbawa arus. Pada
era sekarang, segala informasi bisa mudah masuk, sehingga perlu ada penyaringan
dalam diri untuk membedakan mana informasi yang perlu diserap dan mana yang
perlu dibuang.

Ustaza Sutaresmi soekanto mengatakan, globalisasi dapat menjadi tantangan, tapi


bisa pula menjadi peluang. Bergantung ba gaimana cara memperlakukannya. "Kita
tidak bisa bersikap defensif. Defensif itu berat karena ki ta sudah keburu ketakutan,
le bih banyak deg-degan dan ketar-ketirnya," ujarnya dalam Kajian Muslimah di
Masjid al-Lathiif, Mal Pesona Square Depok, Jawa Barat, belum lama ini.

Menurut dia, globalisasi harus dihadapi dengan sikap ofensif. Dalam sebuah hadis,
Rasulullah SAW pun bersabda: "Didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka
hidup di zaman mereka bukan di zamanmu."

Dengan berpikir ofensif, kata dia, orang tua akan mencari cara agar anak-anaknya
bisa menyortir informasi yang diterima. "Jadi, bagaimana menghadapi tantangan
karena anak kita dikepung banjir informasi, namanya banjir berarti ada sampah,
bangkai, dan lainnya. Di situlah kita coba buat supaya anak-anak punya filter,
dalam Alquran filter ini disebut furqan, yakni kemampuan membedakan mana
yang hak dana mana yang batil," tutur Ustazah Sita.

Ia menyatakan, masifnya pertumbuhan serta perkembangan dunia dalam segala


aspek akan menjadi tantangan bila kita tidak mau belajar. Seorang ahli futuristik
bernama Alvin Toffler menyebutkan, tantangan menjadi hal berat bagi orang buta
huruf di abad 21.

Buta huruf di abad ke-21, me nurut Toffler, bukan mereka yang tidak bisa
membaca atau menulis melainkan orang yang tidak mau belajar dalam pengertian
hakiki dan tidak mau mempelajarinya ulang. "Misalnya begini, ada ibu-ibu yang
mengeluh ke saya tentang sulitnya ikut tahsin di masjid karena pengucapan
makhraj hu rufnya harus benar. Ibu ini berarti tidak mau membongkar hasil
belajarnya dan mempelajari ulang," ujar Ustazah Sita.

Begitu pula mendidik anak pada era sekarang. Karena itu, dia mengimbau jangan
mendidik anak dengan cara ekstrem. Us ta zah Sita menuturkan, ada dua cara
ekstrem. Pertama, mengatakan serba tidak boleh ke anak, itu bisa membuat anak
kehilangan daya inovasi. Kedua, dengan menga ta kan serbaboleh, yang akan
menjadikan anak permisi.
"Nah, cara ekstrem ini harus berhati-hati. Kita boleh bilang tidak ke anak untuk hal
yang jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti menyekutukan Allah, kita
harus tegas dalam soal akidah. Hanya saja untuk hal ber sifat inovasi misalnya
melukis gunung atau hal mubah lainnya, anak harus diberi kebebasan ber
ekspresi," ujarnya.

Ustazah Sita melanjutkan, globalisasi seharusnya menjadi peluang. Toffler juga


mengatakan, pesatnya perkembangan teknologi menuntut kecerdasan, ketang
kasan, serta fleksibilitas yang be sar dalam proses belajar. Dia men contohkan,
adanya Youtube, dak wah Islam menjadi makin luas tersebar. Pasalnya, banyak
orang bahkan non-Muslim me nonton ceramah para dai seperti Ustaz Abdul Somad
dan Ustaz Adi Hi dayat melalui platform tersebut.

Ini sesuai firman Allah dalam surah ash-Shaff ayat 8: "Mereka ingin memadamkan
cahaya (aga ma) Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tapi Allah (justru)
menyempurnakan cahaya-Nya walau orang-orang kafir membencinya."

"Jadi, walau Islamfobia me rebak di mana-mana, terutama di Amerika Serikat dan


Eropa, na mun pertumbuhan Islam justru sangat masif. Setiap harinya, ada puluhan
ribu orang masuk Islam. Di Jerman misalnya, setiap tahun ada 15 ribuan Muslim
bertambah, 80persen di antaranya adalah pe rempuan," kata Ustazah Sita.

Hal itu, kata dia, salah satu nya berkat dakwah yang dilaku kan kaum Muslim di
berbagai negara. Di Inggris misalnya, me re ka memperkenalkan Islam de ngan
cara ramah sekaligus me nunjukkan bahwa dalam Islam ada keberagaman. Dia pun
ber harap Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia
dapat merepresentasikan nilai-nilai Islam.

Syekh Muhammad Abduh, kata Ustazah Sita, menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam
yang ti dak ada bandingannya sering kali tertutupi oleh performa kaum Muslimin,
padahal seharusnya per forma agama dapat ditam pil kan lewat performa
penganutnya. "Kita ingin generasi menda tang memang generasi yang layak untuk
representasikan Indonesia sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim
terbesar di dunia. Dengan begitu orangorang akan menjadikan Indonesia sebagai
rujukan," kata Ustazah Sita

[ CITATION Rep19 \l 1057 ]

Anda mungkin juga menyukai