Anda di halaman 1dari 8

FENOMENA CULTURE SHOCK ( GEGER BUDAYA) PADA MAHASISWA

TINGKAT I DARI PAPUA DI YOGYAKARTA

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Dosen Pengampu : Wiwid Adiyanto, S.I.Kom., M.I.Kom

disusun oleh :

Ikbal Santosa 18.96.0963

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS EKONOMI DAN SOSIAL

UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya adalah suatu identitas yang dimiliki setiap individu. Dari budaya, setiap individu
dapat belajar banyak hal seperti bagaimana harus berbicara, menggunakan Bahasa, membangun
relasi, dan menjalin pertemanan. Dengan banyaknya keberagaman budaya di Indonesia tidak
menutup kemungkinan terjadinya proses adaptasi budaya. Adaptasi budaya merupakan sebuah
proses individu dalam memadukan kebiasaan pribadinya dan adat istiadat agar sesuai dengan
budaya tertentu. Proses adaptasi ini seringkali menimbulkan culture shock. Culture shock adalah
gejala social yang dialami oleh seorang perantau ketika pindah ke daerah dan budaya yang baru.

Yogyakarta merupakan salah satu kota pelajar dengan banyak para perantau untuk
mengenyam bangku Pendidikan ke berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Munculnya nuansa
multicultural di Yogyakarta terbentuk karena banyaknya para pelajar dari berbagai penjuru
Indonesia. Selain dijuluki sebagai kota pelajar Yogyakarta juga dikenal sebagai kota yang
menjunjung tinggi budaya dan adat istiadatnya. Dalam aktivitas sehari-hari mereka menerapkan
nilai adat dan budaya seperti tata krama, unggah ungguh, dan Sebagian besar masyarakat
Yogyakarta menggunakan bahasa jawa sebagai Bahasa sehari-hari. Sedangkan masyarakat papua
yang berkuliah di Yogyakarta memiliki karakteristik social dan budaya yang berbeda dengan
kondisi social di Yogyakarta.

Mahasiswa tingkat 1 adalah mahasiswa baru yang memulai untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru. Mahasiswa baru bisanya akan rentang terkena culture shock karena seorang
mahasiswa baru harus bersosialisasi untuk mengenal budaya yang baru. Pada tahap awal
kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami problem ketidaknyamanan terhadap
lingkungan barunya yang kemudian akan berpengaruh baik secara fisik maupun emosional
sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan lingkungan baru terutama yang memiliki
kondisi budaya berbeda.

Kondisi perbedaan budaya yang ada diantara mahasiswa perantauan maupun dengan
penduduk pribumi sebagai tuan rumah tentunya dapat menimbulkan reaksi psikis berupa
kekagetan budaya yang biasanya diikuti dengan munculnya hal-hal tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh perbedaan-perbedaan sosial budaya diantara mereka yang dipertemukan dalam
satu tempat yang sama yaitu Yogyakarta. Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang
berbeda mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya
dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu yang berpindah ke negeri lain untuk
periode waktu lama (Dayakisni, 2012: 266).

1.2 Rumusan Masalah

1. Penyebab Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Tingkat I Dari Papua Di Yogyakarta ?.

2. Bagaimana Proses Adaptasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan
tingkat I Dari Papua Di Yogyakarta ?.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penyebab Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa Tingkat I Dari Papua Di
Yogyakarta

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut gegar budaya, adalah istilah untuk
menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial
budaya yang berbeda. Pada dasarnya, gegar budaya (culture shock) merupakan benturan persepsi
yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) dan
telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda
dan belum dipahami. Individu biasanya menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa
sejak lahir, yang dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Menurut (Mulyana Deddy, 2007: 247- 249). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
gegar budaya yaitu: (1) Faktor Interpersonal, diantaranya keterampilan komunikasi, pengalaman
dalam setting lintas budaya, personal (mandiri atau torelansi), dan akses ke sumber daya -
Mahasiswa tingkat 1 dari papua yang merantau ke Yogyakarta pada umunya belum pernah
melakukan pengalaman lintas budaya dan kurang informasi tentang lingkungan baru yang di
tinggali akan mengakibatkan lebih mudah mengalami geger budaya. Ketika mahasisawa dari
Papua memasuki lingungan yang baru mereka merasakan perbedaan yang membuat mereka tidak
nyaman, mereka akan berada dalam situasi yang membuatnya bertanya-tanya tentang nilai-nilai
yang dianut dan dibawa sejak lahir.

Perbedaan keyakinan yang terjadi di lingkungan barunya menimbulkan konfik dalam diri
individu mahasiswa dari Papua, sehingga menyebabkan mereka merasa tertekan dan dan stress.
Karakteristik fisik seperti penampilan luar dan kemampuan bersosialisasi juga mempengaruhi
penyebab terjadinya culture shock. Pada umumnya karakter fisik Mahasiswa Papua berbeda
dengan kebanyakan masyarakat di Yogyakarta hal ini menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi
mahasiswa Papua, hal ini dapat menimbulkan menurunnya interaksi dengan masyarakat pribumi
dan menimbulkan culture shock bagi mahasiswa tingkat 1 dari Papua. (2) Adanya variasi budaya
antara satu budaya dengan budaya lain membuat lebih cepat terjadinya geger budaya, perbedaan
ini meliputi social, perlaku, adat istiadaat, agama, Bahasa, dan norma dalam lingkungan
masyarakat. (3) Manifestasi social dapat menimbulkan culture shock, perlakuan dan sikap dari
masyarakat pribumi dapat menimbulkan prasangka, stereotype dan intimidasi.

2.2 Dampak Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta

Culture shock yang dialami mahasiswa perantauan di Yogyakarta terdiri dari mahasiswa
baru semester awal dan mahasiswa tengah semester lanjut. Mahasiswa baru memiliki peluang
lebih besar mengalami geger budaya karena mahasiswa semester awal belum beradaptasi dengan
budaya dan lingkungan yang baru. Menurut Samovar ada empat fase individu mengalami culture
shock yakni fase optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase recovery (fase
ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Dalam kehidupan di Yogyakarta mahasiswa dari
Papua Ketika pertama kali menginjakan kaki di Yogyakarta mereka merasa terisolasi dari budaya
aslinya. Mereka menyadari adanya banyak perbedaan antara budaya aslinya dengan budaya di
Yogyakarta, hal ini diikuti dengan penolakan terhadap budaya baru inilah masa geger budaya
fase ke dua mengenai masalah perbedaan kebudayaan.

Pada fase ini individu menjadi rentan akan dampak negative dari culture shock seperti
membentuk stereotype terhadap kebudayaan baru, hingga munculnya pemikiran memandang
rendah budaya masyarakat Yogyakarta. Perilaku dari individu ini dapat menimbulkan perasaan
agresif dan mudah tersinggung pada keadaan budaya barunya yang dianggap asing. Mereka akan
mencoba untuk mengantsipasinya dengan cara mengurangi interaksi dengan masyarakat pribumi
dan memilih untuk berteman dengan orang dari daerah dan budaya asal yang sama, hal ini
dilakukan karena mereka dianggap dapat memberikan kenyamanan Ketika berinteraksi dengan
pola pikir dan Bahasa yang sama. Kebiasaan masyarakat Yogyakarta yang menggunakan Bahasa
daerah sebagai Bahasa sehari-hari dianggap menyulitkan mahasiswa baru dari Papua untuk
menjalin komunikasi, mereka merasa tidak percaya diri Ketika harus berkomunikasi dengan
Bahasa daerah pribumi.

Namun pada ahirnya dengan meningkatnya sikap toleransi serta kodrat manusia yang
notabenya saling membutuhkan satu sama lain membuat mahasiswa Papua perlahan tertarik
untuk mempelajari Bahasa setempat dan perbedaan yang tadinya dianggap sebagai masalah
perlahan mulai dinikmati dan dapat diterima oleh individu, disinilah fase recovery atau fase
Ketika dalam culture shock. Jika konflik dalam diri sudah mulai teratasi maka perlahan individu
akan memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara budayanya dengan budaya
budaya baru saat ini, hingga pada ahirnya ia mulai bisa menentukan perilakunya dan bisa
memandang segala peristiwa di lingkungan barunya dengan rasa hormat dan menerima sebagai
sebuah perbedaan yang indah. Yang dimana mahasiswa Papua bisa menemukan kecocokan dan
kepuasan dari berbagai aspek yang ada di lingkungan barunya, inilah fase terahir atau fase
penyesuaian culture shock, pada titik ini individu menyadari bahwa budaya barunya tidak lebih
baik ataupun lebih buruk antara budaya satu dengan yang lainnya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Faktor yang mempengaruhi gegar budaya yaitu Faktor Interpersonal, diantaranya


keterampilan komunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, personal (mandiri atau
torelansi), dan akses ke sumber daya. Adanya variasi budaya antara satu budaya dengan budaya
lain membuat lebih cepat terjadinya geger budaya, perbedaan ini meliputi social, perlaku, adat
istiadaat, agama, Bahasa, dan norma dalam lingkungan masyarakat. Manifestasi social dapat
menimbulkan culture shock, perlakuan dan sikap dari masyarakat pribumi dapat menimbulkan
prasangka, stereotype dan intimidasi.

Mahasiswa baru memiliki peluang mengalami tahap culture shock yaitu tahap optimistik
hingga tahap crisis culture dan mahasiswa semester lanjut yang sudah lebih lama tinggal di
Yogyakarta telah melalui tahap yang lebih jauh baik tahap recovery hingga tahap penyesuaian
integration. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jalan keluar dari culture shock yang baiknya
dilakukan oleh mahasiswa perantau yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya
di Yogyakarta. Dengan beradaptasi dan meyesuaikan diri dengan budaya di Yogyakarta
mahasiswa pendatang atau perantau dapat menciptakan perasaan lebih nyaman tinggal di
Yogyakarta dan permasalahan ketegangan akibat perbedaan budaya yang terjadi terselesaikan
DAFTAR PUSTAKA

Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi lintas budaya. Malang : UMM Press.

Mulyana, Deddy. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remadja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai