Anda di halaman 1dari 23

PENGERTIAN,PERBUATAN,TUGAS DAN FUNGSI DARI

HUKUM TATA USAHA NEGARA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HTUN dan HATUN

DOSEN PENGAMPU:

Moh. Ali, S.HI, M.H

DISUSUN OLEH :

Batara Sitorus (C02217007)

Nugrah Eka Andini (C02218030)

Salma Nabila Dwi. A (C02218037)

Abyan Adhi Pramana. P (C72218046)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut Nama Allah SWT, puji syukur Alhamdulillah kami mengucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian,Perbuatan,Tugas
dan Fungsi dari Tata Usaha Negara”.
Penyusunan makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah HTUN dan
HATUN yang dibimbing oleh Bapak Moh. Ali, S.HI, M.H. Kami berharap dengan adanya
makalah ini kami bisa termotivasi untuk lebih dalam mempelajari tentang HTUN dan
HATUN.

Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kami sadar dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, kami mohon maaf dan meminta kepada
Bapak/ibu pengampu, kiranya sudi memberikan kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya.
Sekian dari kami semoga tugas ini sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat bermanfaat
bagi yang membacanya.

Surabaya, 5 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER. ....................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 1
C. TUJUAN..................................................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3
A. Pengertian TUN........................................................................................................... 3
B. Perbuatan – Perbuatan Hukum TUN ......................................................................... 4
C. Asas Hukum TUN. .................................................................................................... 6
D. Sumber Hukum TUN. ............................................................................................. 10
E. Tugas Dan Fungsi TUN. ......................................................................................... 16
BAB 3 PENUTUPAN ............................................................................................................... 18
A. KESIMPULAN ......................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi kedaulatan hukum,
sehingga jelas Indonesia disebut sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di
negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua aspek
kehidupan bermasyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara
dengan perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut kaidah-kaidah yang telah
ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.
Sebagai salah satu contoh secara materil, Peraturan perundang-undangan yang telah
diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang
Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus
ditaati dengan tidak memandang, baik oleh masyarakat, pemerintah sendiri maupun
badan-badan penyelenggaranya. Hal ini telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian seiring dengan terus berkembangnya zaman, Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang bermula termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 ini,
perlu diadakannya revisi kembali. Dari berbagai aspek permasalah perihal UU Nomor 5
Tahun 1986 sampai pada Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009, perlu kiranya kita
pahami sehingga dapat membuka wawasan kita mengenai HTUN (Hukum Tata Usaha
negara), baik menyangkut bagaimana sejarah adanya HTUN di Negara Indonesia,
maupun muatan-muatan yang terkandung didalam perundang-undangan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dari TUN?
2. Bagaimana Perbuatan – Perbuatan Hukum Dari TUN?
3. Bagaimana Asas Hukum TUN?
4. Bagaimana Sumber Hukum TUN?
5. Apa Saja Tugas Dan Fungsi TUN?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari TUN.
2. Untuk Mengetahui Perbuatan – Perbuatan Hukum Dari TUN
3. Untuk Mengetahui Asas Hukum Dari TUN.

1
4. Untuk Mengetahui Sumber Hukum Dari TUN.
5. Untuk Mengetahui Tugas Dan Fungsi Dari TUN.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum TUN


Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 menentukan, bahwa :
“Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah.”1

Istilah “Hukum Administrasi Negara” dikenal dalam berbagai literatur dengan


sebutan Hukum Tata Usaha Negara (HTUN). Istilah tersebut memberikan makna sebagai
seperangkat aturan hukum yang menyangkut hubungan hukum antara pemerintah dengan
rakyat (individu/badan hukum perdata) berkenaan dengan penyelenggara urusan
pemerintahan.

Pemerintahan dan pemerintah dalam hal ini adalah dua hal yang berbeda.
Pemerintahan dalam pengertian segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Sementara itu,
pemerintah dikatakan sebagai organ/badan/alat-alat yang mengurusi pemerintahan dari
suatu negara. Artinya adalah keseluruhan dari jabatan-jabatan di dalam suatu negara yang
mempunyai tugas dan wewenang politik dan pemerintah. Apa yang dijalankan oleh
pemerintahan adalah tugas negara serta merupakan tanggung jawab dari pada alat-alat
pemerintahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum administrasi negara
adalah hukum mengenai pemerintahan/eksekutif di dalam kedudukannya, tugas-tugasnya,
fungsi, dan wewenangnya sebagai administrator negara.2

Hukum Administrasi Negara atau yang disebut dengan Hukum Tata Uasaha
Negara memliki beberapa pengertian berdasarkan sudut pandang. Berikut akan dipaparkan
beberapa pengertian oleh para pakar, antara lain:

1
Nur Aisyah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Deepublish, 2015) Hal 1
2
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Medpress
Digital, 2013), 9

3
1. R. Abdoel Djamali, bahwa Hukum Administrasi Negara adalah peraturan hukum yang
mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahannya
yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi.
2. Kusumadi Poedjosewojo, Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan
hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha
untuk memenuhi tugasnya.
3. Djokosutono, Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur tentang
hubungan-hubungan hukum antara jabatan dalam negara dan warga masyarakat.
B. Perbuatan-Perbuatan Hukum TUN
Tindakan hukum tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 3 Penjelasan Umum UU
PTUN adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber
pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban pada orang lain.3

Bentuk perbuatan pemerintah atau bentuk tindakan administrasi negara yang


secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Perbuatan hukum atau tindakan hukum (rechtshandelingen)


2. Bukan perbuatan hukum atau tindakan biasa (feitelijkehandelingen)

Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah yang


tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen). Adapun tindakan pemerintah yang
tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen), yaitu :

1. Tindakan menurut hukum privat.4


Tindakan hukum pemerintah atau tata usaha negara berdasarkan hukum
perdata atau hukum privat. Administrasi negara sering juga mengadakan hubungan-
hubungan hukum dengan subjek hukum – subjek hukum lain berdasarkan hukum
privat, seperti sewa-menyewa, jual beli, dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, ada dua
pendapat yang timbul tentang diperbolehkannya administrasi negara mengadakan
hubungan hukum berdasarkan hukum privat, yaitu :
a. Pendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak
dapat menggunakan hukum privat. Hal tersebut dikarenakan sifat hukum privat

3
Farah Syah Reza, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Makassar: CV. Social Politic Genius(SIGn),
2018) Hal 32
4
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2011) Hal 308

4
adalah hubungan hukum yang mengatur hubungan kehendak dua belah pihak, serta
bersifat perseorangan. Berbeda dengan hukum administrasi negara yang
merupakan bagian dari hukum publik, serta merupakanb hukum untuk bolehnya
tindakan atas kehendak satu pihak.
b. Pendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugasnya dalam beberapa
hal dapat juga menggunakan hukum privat. Akan tetapi, untuk menyelesaikan
suatu soal yang khusus dalam lapangan administrasi negara telah tersedia
peraturan-peraturan hukum publik.5
2. Tindakan menurut hukum publik.
Tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan hukum publik, yaitu tindakan
hukum publik yang bersegi satu dan bersegi dua.
a. Hukum publik bersegi satu
Perbuatan hukum publik bersegi satu adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh aparat administrasi negara berdaqsarkan wewenang istimewa
dalam hal membuat suatu ketetapan yang mengatur hubungan antara sesama
administrasi negara maupun antara administrasi negara dan wargaa masyarakat.
Misalnya, ketetapan tentang pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri.
b. Hukum publik bersegi dua
Perbuatan menurut hukum publik bersegi dua, yaitu suatu perbuatan aparat
administrasi negara yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara sukarela
(perjanjian, overeenkomst). Artinya bahwa dalam tindakan ini ada persesuaian
kehendak antara dua pihak dan tindakan huku, itu diatur oleh suatu hukum
istimewa, yaitu oleh peraturan hukum publik dan tidak diatur oleh hukum biasa
yaitu hukum perdata. Misalnya mengadakan perjanjian pembuatan gedung,
6
jembatan dengan pihak swasta (pemborong).

Tindakan hukum pemerintahan merupakan tindakan yang dilakukan oleh badan


atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Adapun
tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur, sebagai berikut :

5
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Penerbit
Medpress Digital, 2013), Hal 71
6
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2011) Hal 309

5
1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum
pada bidang hukum administrasi.
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan
negara dan rakyat.7
C. Asas Hukum TUN
HTUN merupakan kaidah-kaidah atau norma yang menentukan bagaimana
seharusnya alat perlengkapan tata usaha negara bertingkah laku dalam melaksanakan
tugas-tugas. Norma atau kaidah-kaidah ini berkaitan sekali dengan asas. Dalam istilah
asing asas ini disebut beginsel, yang berasal dari perkataan begin yang berarti permulaan.
Jadi asas itu adalah mengawali atau menjadi permulaan sesuatu dan yang dimaksud
sesuatu di sini itu ialah kaidah. Asas-asas yang menjadi dasar suatu kaidah hukum disebut
Asas Hukum. Agar Anda dapat memahami berbagai asas-asas HTUN tersebut, alangkah
baiknya Anda pelajari dan pahami berbagai asas-asas berikut ini. Menurut Bachsan
Mustafa asas-asas HTUN tersebut terdiri dari8 :

1. Asas legalitas, bahwa setiap perbuatan administrasi berdasarkan hukum.


2. Asas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan atau dengan istilah lain, asas tidak
boleh melakukan detournement de pouvoir.
3. Asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi negara yang satu oleh
yang lainnya atau disebut asas exes de pouvoiur.
4. Asas kesamaan hak bagi setiap penduduk negara atau disebut asas non diskriminatif.
5. Asas upaya pemaksa atau bersanksi sebagai jaminan penaatan kepada hukum
administrasi negara.
Asas-asas hukum ini juga terdapat dalam peraturan perundangan. Untuk lebih
jelasnya, silakan Anda ikuti penjelasan berikut ini:
1. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan
Seperti telah dikemukakan bahwa di bagian awal pada modul ini HTUN
merupakan himpunan peraturan istimewa. Suatu peraturan biasanya dibuat didasarkan

7
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Penerbit
Medpress Digital, 2013), Hal 69
8
Bachsan Mustofa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,(Bandung: Alumni, 1982), hal 42-43.

6
kepada asas-asas tertentu. Secara umum asas-asas yang terdapat dalam peraturan ada
bermacam-macam. Berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil, dikenal
beberapa asas. Asas peraturan perundangan tersebut adalah sebagai berikut9 :
a. Undang-undang tidak berlaku surut, ini berarti bahwa undang-undang hanya
boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang
tersebut, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. Jadi menurut
asas ini undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak
mempunyai kekuatan berlaku surut. Selain itu dinyatakan bahwa tiada peristiwa
yang dapat dipidana kecuali dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan
pidana yang ada lebih dahulu.
b. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum jika pembuatnya sama (Lex Specialis Derogat Lex Generalis).
Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus
tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang
lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.
c. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (Lex Posteriore derogat Lex Periore). Yang dimaksud dengan
asas ini adalah bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlakunya), di
mana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru
(yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang
lama tersebut. Ini sama dengan pencabutan undang-undang secara diam-diam.
Terhadap asas ini, maka oleh Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang berbunyi: "Jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan,
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Pasal
1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimungkinkan pengecualiannya,
oleh karena berdasar pasal tersebut undang-undang lama yang makna atau
tujuannya bertentangan dengan undang-undang baru dapat diberlakukan, asalkan
memenuhi syarat-syaratnya10 .

9
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi,(Bandung:
Alumni,1979), hal 79-83.
10
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya,(Bogor:Politea,1980),hal 15.

7
d. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini dinyatakan dengan tegas
dalam UUDS Pasal 95 ayat 2. Akan tetapi dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal
pun yang memuat asas ini.
e. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui
pembaharuan atau pelestarian. Agar supaya pembuat undang-undang tidak
sewenang-wenang ataupun undang-undang itu sendiri tidak merupakan huruf mati
sejak diundangkan, maka perlu dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Syarat keterbukaan, yaitu bahwa sidang-sidang di DPR dan peri kelakuan
fungsi eksekutif dalam pembuatan undang-undang diumumkan, dengan
harapan akan adanya tanggapan dari warga masyarakat yang berminat.
2) Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul
tertulis kepada penguasa. Cara-caranya adalah antara lain:
 Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri
suatu.
 pembicaraan penting yang menyangkut suatu peraturan di bidang tertentu.
 Suatu departemen mengundang organisasi-organisasi tertentu untuk
memberikan.
 Usul-usul tentang rancangan undang-undang tersebut.
 Acara dengar pendapat di DPR.
 Pembentukan komisi-komisi penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh dan
ahli terkemuka.
Selain asas yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula asas yang disebut
dengan presumption of innosence yang berarti bahwa orang harus dianggap tidak bersalah
selama pengadilan tidak membuktikan dan menyatakan ia bersalah dalam satu putusan
yang menyebabkannya dihukum. Ada asas lainnya yang khusus terdapat dalam Hukum
Perdata yang berbunyi bahwa orang tidak dapat dipaksa harus mempertahankan haknya
kalau ia tidak mau. Demikianlah secara garis besar asas-asas peraturan perundang-
undangan. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986,yaitu sebagai berikut:
1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa).
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap
rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan

8
selalu dianggap rechtmatigheid sampai ada pembatalan (lihat Pasal 67 ayat 1 Undang-
undang No. 55 Tahun 1986).
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
negara yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai
kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim
tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan salah
satu pihak saja.
4. Asas Kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan,
maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Atas dasar satu
kesatuan hukum berdasarkan Wawasan Nusantara, maka dualisme hukum acara dalam
wilayah Indonesia menjadi tidak relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada
zaman Hindia Belanda, yang membagi wilayah Indonesia (Jawa-Madura dan luar
Jawa-Madura) dan memisahkan beracara di Landraad dan Raad Van Justitie.
5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala
macam campur tangan kekuasaan yang lain, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24
UUD 1945 jo Pasal 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1970).
6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 Undang-
undang No. 14 Tahun 1970). Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami
dan tidak berbelit-belit dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan
berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya berperkara juga
menjadi ringan.
7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
(Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1986) dan pemeriksaan persiapan untuk
mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk
melengkapinya (Pasal 63 Undang-undang No. 5 Tahun 1986). Dengan demikian asas
ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh
suatu kebenaran materiil, dan untuk itu Undang-undang PTUN mengarah pada
pembuktian bebas. Bahkan jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat
memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan

9
badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau
data yang diperlukan itu (Pasal 85 Undang-undang No. 5 Tahun 1986).
8. Asas sidang terbuka untuk umum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-undang No. 14
Tahun 1970 jo Pasal 70 Undang-undang No. 5 Tahun 1986).
9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya
asas ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi
oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada
MA.
10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini
menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara
sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontasi. Penyelesaian melalui upaya
administratif yang diatur dalam Pasal 48 UU PTUN lebih menunjukkan penyelesaian
ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian
melalui PTUN dilakukan.
11. Asas Objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera
wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan kekeluargaan sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah
seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di
atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan Pasal 79 Undang-undang No. 5 Tahun
1986).
D. Sumber Hukum TUN
1. Pengertian Sumber Hukum
Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan adannya aturan –
aturan yang memiliki sifat memaksa, yaitu suatu aturan yang jika kita melanggarnya

10
akan mendapatkan sebuah sanksi tegas dan nyata 11 . Selain itu Sumber Hukum juga
bisa diartikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya atau
lahirnya suatu hukum, atau bisa juga sebagai faktor yang merupakan sumber kekuatan
bagi berlakunya hukum secara formal12 .
Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum, pengertian Sumber Hukum dipergunakan
oleh para ahli dan penulis dalam beberapa pengertian,yaitu Pertama, Sumber Hukum
sebagai “Asalnya Hukum” adalah sebuah keputusan penguasa yang berwenang untuk
memberikan keputusan. Artinya dalam hal ini sebuah keputusan itu hanya boleh
diputuskan oleh penguasa yang berwenang untuk itu. Kedua, Sumber Hukum sebagai
“Tempat” adalah dimana ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Contohnya berupa Undang-Undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, atau doktrin,
dan terdapat pula di dalam UUD 1945, ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, dsb.
Ketiga, Sumber Hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogiannya
memengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya seperti
keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan, atau perasaan akan hukum13 .
Dalam Ilmu Pengetahuan juga Sumber Hukum dapat dibedakan menajadi 2
(dua) yaitu, Pertama, Sumber Pengenalan Hukum (Kenbron Van Hetrecht), dimana
didalamnya mengandung pengertian sumber hukum yang mengahruskan untuk
menyelidiki asa muasal dan tempat ditemukannya suatu hukum tersebut. Kedua,
Sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan lahirnya suatu aturan hukum (Welbron Van
Het Recht), yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal muasal
sumber nilai yang menyebabkan atau menjadikan sebagai dasar aturan hukum14 .
2. Sumber Hukum Menurut Sistem Civil Law dan Common Law
a. Sumber Hukum Menurut Civil Law
Bentuk – bentuk sumber hukum dalam artian formal yang terkandung dalam
sistem Civil Law antara lain sebagai berikut15 :
1) Peraturan Perundang – Undangan

11
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), hal 46.
12
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jogja: Medpress Digital,
2013), hal 18.
13
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 29-30.
14
Ibid, hal 30
15
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 30-31

11
Peraturan perundang-undangan memilik dua macam karakteristik yaitu,
berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat berlaku umum inilah yang yang
membedakan peraturan perundang-undangan dengan penetapan. Mengenai
pembahasan peraturan perundang-undangan yang terdapat hierarki dan asas
preferensi. Dalam hal ini hierarki merujuk kepada tata urutan peraturan
perundang-undangan yang berada di urutan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan isi peraturan yang lebih tinggi (Lex Superior Derogat Logis
Inferior).
Sedangkan asas preferensi merujuk kepada dua kriteria yaitu:
 Lex Posterior Derogat Legis Priori: Dimana dua peraturan yang berada
pada urutan yang sama tetapi berbeda tanggal perundang-undangannya.
Dalam hal ini berlaku bahwa undang – undang kemudian menyisihkan
undang – undang terdahulu. Maksudnya adalah jika terdapat dua undang-
undang mengatur hal yang sama dan pada undang-undang baru tidak
dituangkan secara jelas ketentuan mencabut undang-undang yang lama
tersebut, dan yang harus diberlakukan adalah undang-undang yang baru.
 Lex Specialist Derogat Legis Generalis: Dimana dua peraturan perundang-
undangan yang berada pada urutan yang sama, akan tetapi yang satu lebih
bersifat khusus dan yang lainnya bersifat umum. Dalam hal ini jika terdapa
sengketa ataupun masalah maka yang harus diterapkan adalah undang-
undang yang secara khusus mengatur perkara tersebut.
2) Kebiasaan – Kebiasaan
Dalam point ini perlu dibedakan antara kebiasaan dan hukum kebiasaan.
Kebiasaan tidak memiliki kekuatan yang mengikat, agar kebiasaan ini menjdi
hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu tindakan itu dilakukan secara
berulang-ulang (usus) dan adanya unsur psikologis yang mengenai pengakuan
bahwa apa yang dilakukan secara terus menerus adalah suatu perbuatan aturan
hukum. Unsur psikologis dalam bahasa latin adalah opinion necessitates,
maksudnya adalah pendapat mengenai keharusan bahwa orang yang bertindak
sesuai dengan norma yang berlaku adalah akibat adannya kewajiban hukum.
3) Yurisprudensi
Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formal, akan tetapi
dalam hal ini posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam system Civil
Law masih belum diterima, hal ini dikarenakan oleh pandangan bahwa aturan-
12
aturan tingkah laku terutama aturan perundang-undangan ditujukan untuk
mengatur situasi yang ada dan menghindari konflik. Maka dari itu aturan ini
dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang
dalam hal demikian merupakan suatu pedoman yang boleh dan tidak boleh
dilakukan.
b. Sumber Hukum Menurut Common Law
Sumber Hukum dalam Common Law sangat berbeda dengan dengan system
Civil Law. Dalam system Common Law hanya dikenal satu sumber hukum yaitu
yurisprudensi16 .
3. Sumber Hukum Materiil dan Formil Hukum Tata Usaha (Administras i) Negara
Secara umum Sumber Hukum Tata Usaha Negara dibagi menjadi dua jenis,
yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil.
a. Sumber Hukum Materiil
Sumber Hukum Materiil adalah segala sesuatu atau faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi isi hukum yang ternasuk didalam sumber hukum materiil yaitu, 17
faktor historis,faktor sosiologis atau antropologis,dan faktor filosofis.
1) Sumber Historis (Sejarah)
Dalam sjarah istilah sumber hukum memiliki dua makna yaitu, Pertama,
Sebagai sumber pengenal dari hukum yang berlaku pada suatu tertentu, Kedua,
Sebagai sumber tempat asal pembuatan undang-undang menggalinya dalam
penyusunan suatu aturan menurut undang-undang.
Sumber hukum dari sudut ini yang sangat relevan adalah undang-undang
dan sistem hukum tertulis di masa lampau. Hal ini dikarenakan undang-undang
dan sistem hukum tertulis ini lah yang benar-benar berlaku, sedangkan dokumen
dan surat-surat keterangan hanya bersifat mengenalkan hukum yang berlaku
pada masa lampau.
2) Sumber Sosiologis atau Antropologis
Berdasarkan faktor sosiologis atau antropologis ditegaskan bahwa
sumber hukum materiil adalah seluruh masyarakat. Hal ini menyoroti lembaga-
lembaga sosial, maka dalam hal ini dapat diketahui apa yang dirasakan sebagai
hukum oleh lembaga-lembaga tesebut. Dari pengetahuan-pengetahuan inilah

16
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 33.
17
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jogja: Medpress Digital,
2013), hal 19-20.

13
sehingga dapat dibuat materi hukum yang sesuai dengan kenyataan
sosiologisnya.
Dalam hal ini juga bias dikatakan bahwa dari sudut sosiologis atau
antropolgis ini yang dimaksud dengan sumber hukum adalah faktor-faktor dalam
masyarakat yang ikut menentukan hukum positif yang meliputi pandangan
ekonomi, agama, dan psikologis.
3) Sumber Filisofis
Dalam sudut filosofis ada dua masalah yang dapat menjadi sumber hukum
yaitu, Pertama, Ukuran untuk menentukan bahwa sesuatu tersebut bersifat adil,
yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk menciptakan suatu keadilan maka
hal-hal secara filosofis dianggap adil untuk dijadikan sebagai sumber hukum
materiil.
Kedua, Faktor-faktor yang mendorong seseorang agar tunduk pada aturan
hukum yang akhirnya dibuat, maksud dalam hal ini adalah agar hukum itu
diciptakan untuk ditaati bukan untuk dilanggar. Karena itu semua faktor yang
dapat mendorong yang dapat mendorong seseorang taat kepada hukum yang
harus diperhtikan dalam hal pembuatan aturan hukum positif.
b. Sumber Hukum Formil
Sumber Hukum Formil adalah suber hukum yang biasannya dikenal dalam
bentuknya. Karena bentuknya itulah yang menjadikan sumber hukum formil ini
diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Menurut Philipus M. Hadjon,
dalam sumber hukum dalam arti formil diperhitungkan terutama “bentuk tempat
hukum itu dibuat menjadi positif oleh instansi pemerintah yang berwenang”18 . Atau
dalam kata lain bentuk wadah sesuatu badan pemerintah tertentu dapat menciptakan
hukum.
Sumber-sumber hukum formil dapat dibagi 5 (lima), antara lain19 :
Perundang-undangan (aturan hukum), kebiasaan (convention), perjanjian antar
Negara (traktat/treaty), keputusan hukum (yuridprudensi), dan pendapat atau
pandangan ahli hukum (doktrin).
1) Perundang- udangan (Aturan Hukum)

18
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 36
19
Ibid,hal 36.

14
Undang- undang disini dalam arti luas atau dalam bahasa Belanda disebut
Wet yang dalam Hukum Tata Neagara Belanda dibedakan menjadi dua yaitu
undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil.
Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah yang
merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (terjadinya) seperti
penegertian undang-undang menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen
adalah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama.
Sedangkan undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan
pememrintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. Sumber-
sumber hukum formil ini adalah UUD 1945,dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan yang meliputi20 : UUD 1945, Ketetapan MPRS/MPR,
Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (PERPU), Keputusan Presiden (Keppres), dan Peraturan-
peraturan.
2) Kebiasaan (Convention)
Kebiasaan dalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang
dalam hal yang sama. Apabila kebiasaan tersebut diterima msyarakat dan
kebiasaan ini selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa sehingga terjadi
tindakan yang perlawanan dengannya dianggap sebagai pelanggaran perasaan
hukum, dengan begitu timbul suatu kebiasaan hukum yang selanjutnya dianggap
sebagai hukum.
3) Perjanjian Antar Negara (Traktat)
Traktat dasarnya adalah perjanjian anatar dua negara atau lebih. Traktat
sebagai bentuk perjanjian antarnegara merupakan smber hukum formil HTN
walaupun termasuk kedalam Hukum Internasional, mempunyai kekuatan
mengikat bagi Negara Negara yang mengadakan perjanjian tersebut. 21
4) Keputusan Hukum (Yurisprudensi)
Yurisprudensi merupakan suatu keputusan hakim atau keputusan badan
peradilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Yurisprudensi sebagai
sumber hukum ini berkitan dengan prinsip bahwa hakim tidak boleh menolah

20
A.Ridwan Halim, Hukum Tata Negara Dalam Tanya Jawab,(Jakarta: Ghalia Indonesia,1988),hal 76
21
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 51.

15
mengadili perkra yang diajukan kpadannya dengan alas an belum ada perturan
perundang-undangan yang mengatur perkara tersebut. 22
5) Pendapat Atau Pandangan Ahli Hukum (Doktrin)
Doktrin adalah pernyataan atau pendapat para ahli hukum yang dalam
kenyataanya pendapat para ahli banyak diikuti orang-orang dan mejdi dasar atau
bahkan pertimbangan dalam penetapan hukum, baik oleh para hakim ketika
memutuskan suatu perkara maupun oleh pembentuk Undang-undang contohnya
dengan mengutip pendapatnya sehingga putusan pengadilan terasa menjadi lebih
beribawa.23
E. Tugas dan Fungsi TUN
PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara
oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kewenangan ini berkembang sejalan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan
yang juga semakin luas dan timbulnya Lembaga negara yang mendukunng terlaksananya
pemerintahan.
Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan dengan berpedoman pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha dan terakhir kali diubah
dengan Undang-Undang Nomor dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang mengatur tentang perubahan atas Undang-Undang tentang peradilan
tata usaha negara, peraturan dan perundang-undangan yang terkait, serta petunjuk yang
diberikan oleh Mahkama Agung. Tugas dan wewenang yang kedua adalah melanjutkan
sengketa yang timbul pada bidang tata usaha negara ke pengadilan tata usaha negara dan
pengadilan tinggi tata usaha negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) memiliki fungsi untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan yang termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang mana
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Melalui Undang-Undang Peradilan Tata

22
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jogja: Medpress Digital,
2013), hal 25.
23
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 54.

16
Usaha Negara, Pengadilan TUN diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal
mengontrol tindakan pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan
sengketa tata usaha negara.24
Pengadilan Tata Usaha Negara juga melayani fungsi penting bagi pemerintah pusat.
Pertama, perkara pengadilan memberikan informasi berharga mengenai perbuatan
aparatur negara di tingkat lokal. Pemerintah pusat kemudian dapat menggunakan
informasi tersebut untuk mendisiplinkan bawahan dan menentukan kebijakan
kepegawaian yang efektif. Kedua, pengadilan tata usaha negara menyediakan jalur
hukum dan keadilan serta kesetaraan bagi setiap warga negara dalam menghadapi
perlakuan pejabat ditingkat lokal.
Fungsi ini tampaknya menjadi prioritas bagi pemerintah pusat sebagai sarana untuk
mencegah ketidakstabilan politik akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di
tingkat lokal. Pengadilan tata usaha negara telah meredakan tekanan politik dan
melakukan fungsi legitimasi tanpa tanpa merusak system politik. Akhirnya, mengurangi
korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi pasar ditingkat lokal sangat penting
untuk mengembangkan rasionalitas pasar dan kepemilikan properti. 25
Dengan adanya tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang
berkaitan dengan tindakan badan atau pejabatan pemerintahan dan atau badan hukum
lainnya yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap
fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai fungsi control yuridis terhadap
pemerintah. Lintong Oloan Siahaan mengatakan bahwa Pemerintah sebagai pelayanan
(public service) mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan tugas pelayanannya tadi,
yang apabila disalahgunakan akan menjadi fatal akibatnya dari segi hukum. Untuk itu
perlu adanya kontrol, yang dengan demikian kemungkinan akan adanya penyalahgunaan
kekuasaan, kesewenang-wenangan dan lain-lain dapat dihindari atau diperkecil
kemungkinan. Dalam literatur yang lain beliau menyebutkan bahwa kontrol yuridis
merupakan bagian dari control lain-lainnya terhadap pemerintahan seperti kontrol politis,
kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstren
organisasi/Lembaga baik yang structural maupun non struktural. 26

24
Victor Yaved Neno, Implikasi Pembatasan Wewenang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara.
Cet.1, (Bandung: PT Citra Widya Bakti, 2006), 1
25
Adi Sulistiyono, Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2018), 247
26
Lintong Oloan Siahaan, Wewenang PTUN Menund Berlakunya Keputusan Pemerintaha, (Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2006), 10.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah “Hukum Administrasi Negara” dikenal dalam berbagai literatur dengan sebutan
Hukum Tata Usaha Negara (HTUN). Istilah tersebut memberikan makna sebagai
seperangkat aturan hukum yang menyangkut hubungan hukum antara pemerintah dengan
rakyat (individu/badan hukum perdata) berkenaan dengan penyelenggara urusan
pemerintahan.
Tindakan hukum tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 3 Penjelasan Umum UU
PTUN adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber
pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban pada orang lain. Bentuk perbuatan pemerintah atau bentuk tindakan
administrasi negara yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu,
Perbuatan hukum atau tindakan hukum (rechtshandelingen) dan Bukan perbuatan hukum
atau tindakan biasa (feitelijkehandelingen).
Menurut Bachsan Mustafa asas-asas HTUN tersebut terdiri dari asas legalitas,
bahwa setiap perbuatan administrasi berdasarkan hukum, asas tidak boleh
menyalahgunakan kekuasaan atau dengan istilah lain, asas tidak boleh melakukan
detournement de pouvoir, asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi
negara yang satu oleh yang lainnya atau disebut asas exes de pouvoiur, asas kesamaan
hak bagi setiap penduduk negara atau disebut asas non diskriminatif, asas upaya pemaksa
atau bersanksi sebagai jaminan penaatan kepada hukum administrasi negara.
Sumber Hukum di dalam HTUN/HAN di bagi menjadi 2 ialah Sumber Hukum
Menurut Civil Law dan Sumber Hukum Menurut Common Law. Dengan Sumber Hukum
Materiil dan Formiil. Sumber Hukum Civil Law terdiri dari peraturan perundang-
undangan, kebiasaan-kebiasaan, yurisprudensi. Kemudian Sumber Hukum Common Law
hanya pada yurisprudensi saja. Lalu Sumber Hukum Materiil terdiri dari sumber historis,
sumber sosiologis, dan sumber filosofis. Dan Sumber-sumber hukum formil dapat dibagi
5 (lima), diantaranya Perundang-undangan (aturan hukum), kebiasaan (convention),
perjanjian antar Negara (traktat/treaty), keputusan hukum (yuridprudensi), dan pendapat
atau pandangan ahli hukum (doktrin).
Tugas PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara

18
oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kewenangan ini berkembang sejalan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan
yang juga semakin luas dan timbulnya Lembaga negara yang mendukunng terlaksananya
pemerintahan. Diatur dalam Undang-Undang Nomor dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009.
Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) memiliki fungsi untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan yang termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang mana
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Melalui Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan TUN diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal
mengontrol tindakan pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan
sengketa tata usaha negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. (2015), Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Deepublish.

Halim, R. (1998), Hukum Tata Negara Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mustofa, B. (1982), Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

Oloan Siahaan, L. (2006), Wewenang PTUN Menund Berlakunya Keputusan Pemerintaha.


Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.

Purbacaraka, P dan Soerjono Soekanto. (1979), Perundang-Undangan dan Yurisprudensi.


Bandung: Alumni.

Soesilo, R. (1980), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya.


Bogor:Politea.

Sulistiyono, A. (2018), Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. Jakarta:
Kencana.

Syahrizal, D. (2013), Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata Usaha Negara.
Yogyakarta: Medpress Digital.

Syah Reza, F. (2018), Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Makassar: CV. Social
Politic Genius.

S.T.Kansil, C. (1989), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Triwulan T, T. (2011), Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia. Jakarta: Kencana.

Yaved Neno, V. (2006), Implikasi Pembatasan Wewenang Kompetensi Absolut Peradilan


Tata Usaha Negara. Cet.1. Bandung: PT Citra Widya Bakti.

20

Anda mungkin juga menyukai