Anda di halaman 1dari 6

ISLAM dan JARINGAN PERDAGANGAN

ANTAR PULAU
pendahuluan
Kepulauan indonesia memiliki laut dan daratan yang luas . para nelayan pergi melaut dan pulang
dengan membawa hasil tangkapan nya. Begitu juga pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang
membongkar dan memuat barang . Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas
ciptaan tuhan. Coba kamu renungkan alam semesta, lautan dan daratan semua ciptaan nya untuk
kepentingan hidup kita . marilah kita syukuri semua itu dengan menjaga lingkungan laut dan
daratan sebaik-sebaik nya.
BAB I
PEMBUKAAN
Sejak lama laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di
kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Pelaut tradisonal indonesia telah memiliki
keterampilan berlayar yang di pelajari nenek moyang secaraturun temurun . bagi para pelaut
samudra bukan sekedar suatu bentangan air yang sangat luas . setiap perubahan warna, pola
gerak air, bentuk gelobang , jenis burung, dan ikan yang mengitari nya dapat membantu pelaut
dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk menentukan arah perjalanan. Sejak dulu
mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalan perayaan
dan perdagangan. Kapal pedagang yang berlayar ke selatan menggunakan musim utara dalam
januari dan febuari dan kembali lagi pulang jika angin bertiup dari selatan dalam juni,juli,
atau agustus. Angin musim barat daya di samudra hindia adalah antara april sampai
agustus,cara yang paling diandalkan untuk berlayar ketimur . mereka dapat kembali pada
musim yang sama setelah tinggal sembentar – tapi kebanyaan tinggal untuk berdagang- untuk
menghindari musim perubahan yang rawan badai dalam oktober dan kembali dengan musim
timur laut.
Bacaan berikut akan memaparkan tentang aktivitas perdagangan antar pulau pada masa awal
perkembangan islam di indonesia. Memahami aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau
yang membawa sertta pesan-pesan agama ini dapat menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur
terhadap tuhan yang maha esa.

BAB II
PEMBAHASAN

    Islam dan jaringan perdagangan antar pulau


 Islam dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau Jaringan perdagangan dan pelayaran
antarpulau di Nusantara terbentuk karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang
yang tidak ada di tempatnya. Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang
harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang angin, , pembuatan kapal, dan
kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah saudagar-saudagar
dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di
Nusantara.
 Pelaut-pelaut Nusantara juga telah mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar
pada siang hari, mereka mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung,
tanjung-tanjung, atau letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari mereka
memanfaatkan rasi bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para pelaut
mengetahui bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah selatan dan
rasi bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara. Hubungan
perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di beberapa wilayah,
antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit, Gowa-Tallo,
Ternate, dan Tidore.
 Wilayah Nusantara menyimpan berbagai kekayaan di darat dan di laut. Sumber daya
alam ini sejak dulu telah dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dan diperdagangkan
antarpulau atau antarnegara. Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam
perdagangan antarpulau, yaitu a.lada, emas, kapur barus, kemenyan, sutera, damar madu,
bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera); b.beras, gula, kayu jati (Jawa); c.emas,
intan, kayu-kayuan (Kalimantan); d.kayu cendana, kapur barus, beras, ternak, belerang
(Nusa Tenggara); e.emas, kelapa (Sulawesi); dan f. perak, sagu, pala, cengkih, burung
cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
 Rasi bintang biduk besar dan rasi bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan
melalui system barter (tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya
dilakukan oleh para pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan
komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang lancer.
 Beberapa macam mata uang yang telah beredar pada saat itu adalah 1.Drama (Dirham),
mata uang emas dari Pedir dan Samudera Pasai; 2.Tanga, mata uang perak dari Pedir;
3.Ceiti, mata uang timah dari Pedir; 4.Cash (Caxa), mata uang emas di Banten; 5.Picis,
mata uang kecil di Cirebon; 6.Dinara, mata uang emas dari Gowa-Tallo; 7.Kupa, mata
uang emas kecil dari Gowa-Tallo; 8.Benggolo, mata uang timah dari Gowa-Tallo;
Tumdaya, mata uang emas di Pulau Jawa; dan 10.Mass, mata uang emas di Aceh
Darussalam. Mata uang asing yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di
Nusantara antara lain Real (Arab); Yuan dan Cash (Cina).
 Para pedagang Nusantara, baik dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau-
pulau lain telah berjasil menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan
Johor di Semenanjung Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma);
Campa di Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu yang
dipakai dalam pelayaran di masa lalu.
 B. PERAN KEPULAUAN INDONESIA DALAM PERDAGANGAN DAN
PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18
 Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai
tempat berikut ini:
 1.Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain.
 2.Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
 3.Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain.
 4.Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh
Nusantara.
 Peranan Sriwijaya sebagai salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara
umumnya dan Nusantara khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera
Pasai sejak abad ke-13.

Perdagangan antarpulau di Indonesia pada masa kuno


Kawasan nusantara terdiri dari beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur.
Diantara pulau satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu,
diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam nusantara.
Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung pengetahuan tentang angin.
Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa,
sehingga Indonesia memiliki iklim muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang
berlangsung selama enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. Dengan memanfaatkan
pengetahuan tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-Oktober kapal-
kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya, pada sekitar
bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur.

Semula kegiatan perdagangan di nusantara bersifat insidental, namun lambat laun terjadi
perubahan menjadi kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin
menguntungkan. Dengan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki
kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat perdagangan
sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14,
melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16,
majapahit abad ke-13/14, gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai
abad ke-13, dan sebagainya.

Kegiatan perdagangan yang berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter
(tukar menukar barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar
menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang dari
daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar kurang begitu lancar.
berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah pesisir pantai telah menjalin hubungan yang
baik dengan pihak luar, sehingga sebagian besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam
kegiatan perdagangan.
Pola Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia.
Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di Indonesia
telah dimulai sejak abad pertama Masehi. Bahkan pada abad ke-2, Indonesia
telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu masuk dan berkembang.
Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang
dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang
dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat).
Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut, yang
dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka, Calicut:
sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke
Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.

Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-


rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur,
dan jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis dan
hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia
mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur dagang antara Asia Timur –
Asia Barat (Timur Tengah dan semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang menjadi pusat-
pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang
telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara,
yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan Majapahit (Jawa).
Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli j
aringan perdagangan di Selat Malaka. Perlu diketahui,
bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis, iklim/cuaca,
maupun secara politis dan ekonomi. Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting.
Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di
dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang berbeda.
Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan
pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan
Gresik (di pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting,
yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku).
Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa.
Perkembangan perdagangan dan pelayaran di
perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru seperti pelabuhan Banten,
Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia
Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka.
Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para
pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan
bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka,
dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan
sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang
berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan
letak strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di
dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang
kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang
akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan
Nusantara.Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia
telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan
pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku. Perdagangan dan pelayaran yang
berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia
itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan. Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan
juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang
bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore.
Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-
pulau sekitarnyaDi bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh,
Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-
pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di
pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus, kemenyan,
sutera, madu, dan damar.
      Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam
memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian,
mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga,
penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke
daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.
Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang
sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat. Pusat-
pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate
dan Tidore.

Kesimpulan
Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-pedagang Portugis menyingkir ke
Aceh, Banten, dan Makasar. Mereka tetap melakukan perdagangan dan
pelayaran dengan pedagang-pedagang luar.
Karena jalur melalui Selat Malaka sudah dikuasai Portugis,
maka mereka membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera.
Pedagang-pedagang Islam berangkat dari bandar Banten lalu masuk selat Sunda terus berlayar ke
luar melalui pantai barat Sumatera. Sebaliknya, Banten juga didatangi pedagang-
pedagang dari luar seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki, Myanmar Selatan, dan Keling.
Kapal-kapal yang berasal dari Banten ataupun ke Banten banyak juga yang singgah ke Aceh.
Sementara itu, pedagang-pedagang Islam dari Malaka juga banyak yang
mengalihkan kegiatannya ke Aceh sebagai akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam.
Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting,
yakni Ternate dan Tidore.

Anda mungkin juga menyukai