TINJAUAN TEORI
2.1.2. Etiologi
Abdominal pain dapat disebabkan oleh beberapa penyebab namun yang paling sering
adalah appendisitis, kolik bilier, kolesistitis, divertikulitis, obstruksi usus, perforasi
viskus, pankreatitis, peritonitis, salpingitis, adenitis mesenterika, dan kolik renal
(Abdullah & Firmansyah, 2012). Sedangkan menurut Patterson, dkk. (2021) penyebab
paling umum atau sering dari abdominal pain yaitu appendisitis, kolesistitis, pankreatitis,
dan divertikulitis. Berdasarkan 2 pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab
dari abominal pain itu ada banyak sedangkan untuk penyebab paling sering adalah
appendisitis, kolesistitis, pankreatitis, dan divertikulitis.
Abdullah dan Firmansyah (2012) juga menyebutkan bahwa penyebab dari abdominal
pain dapat diprediksi berdasarkan lokasi, tipe nyeri dan keluhan tambahan lainnya seperti
mual, muntah, kurang nafsu makan, kembung, diare dan konstipasi. Sebagian besar
abdominal pain disebabkan oleh persyarafan ganda dibagian perut yaitu saraf viseral dan
saraf somatik. Saraf viseral seringkali muncul digaris tengah, tidak terlokalisir dengan
baik, dalam dan tumpul. Sedangkan saraf somatik memiliki rasa nyeri yang lebih tajam
dan terlokalisir (Patterson et al., 2021). Sehingga berdasarkan lokasi dan intensitas nyeri
kita mampu menentukan apa penyebab dari abdominal pain dan saraf mana yang
mengalami gangguan.
2.1.3. Patofisiologi
Abdominal Pain terjadi akibat stimulasi reseptor nosiseptif dan reseptor regangan
simpatis aferen (Miranda, 2018). Nyeri itu sendiri dibagi menjadi 2, yaitu visceral dan
parietal.
a. Visceral
Reseptor nyeri viseral terletak di permukaan serosa, di mesenterium, di dalam
otot usus, dan mukosa organ berongga. Serabut aferen yang terlibat dalam
pemrosesan nyeri viseral adalah serabut C tak bermielin yang memasuki sumsum
tulang belakang secara bilateral, menyebabkan nyeri tumpul dan tidak terlokalisir
dengan baik.
Nyeri dimulai ketika reseptor dirangsang oleh kontraksi berlebihan,
peregangan, ketegangan atau iskemia pada dinding rongga visera, kapsul organ
padat (hati, limpa, ginjal), atau mesenterium. Peningkatan kontraksi otot polos
visera berongga dapat disebabkan oleh infeksi, racun (bakteri atau agen kimiawi),
ulserasi, inflamasi, atau iskemia.
b. Parietal
Nyeri parietal ditularkan melalui serabut A-delta ke ganglia akar dorsal
spesifik. Nyeri parietal timbul dari stimulasi langsung (biasanya inflamasi) pada
peritoneum parietal yang berdekatan (misalnya, kuadran kanan bawah pada titik
McBurney, apendisitis) atau diafragma (ruptur limpa, abses subdiafragma).
Nyeri parietal biasanya tajam, dan lebih intens. Biasanya dapat diperburuk
oleh gerakan atau batuk, disertai dengan nyeri tekan di area iritasi, dan lateralisasi
ke salah satu dari empat kuadran.
2.1.6. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan pasien dengan abdominal pain mencakup penentuan
apakah kasus tersebut merupakan kasus bedah yang memerlukan penanganan bedah
ataukah cukup hanya penanganan farmakologis saja. Hipotensi dan takikardia
menunjukkan kehilangan darah, hipovolemia, atau sepsis dan memerlukan resusitasi
cairan agresif yang cepat dengan akses IV yang memadai. Antibiotik spektrum luas yang
mencakup organisme enterik gram negatif harus diberikan tepat waktu jika terdapat
infeksi, kotoran peritoneum, atau sepsis. Pasien yang mengeluh nyeri harus dipantau
tanda vital dan diberikan pereda nyeri yang memadai yang biasanya adalah opioid. Jika
keadaan darurat bedah dicurigai atau ditemukan saat dilakukan pemeriksaan maka dokter
bedah harus dihubungi segera sebelum pengujian yang berpotensi memakan waktu
dilakukan. Singkatnya, abdominal pain terjadi karena beberapa kasus yang memerlukan
intervensi cepat, baik dalam diagnosis maupun pengobatan dengan tujuan utama dari
manajemen nyeri adalah untuk memberikan pengobatan yang mengurangi rasa sakit
pasien dengan efek samping yang minimal sekaligus memungkinkan mereka untuk
mempertahankan fungsinya dengan penanganan awal dari abdominal pain adalah
pemberian medikasi analgetik dan antibiotik (Abdullah & Firmansyah, 2012; Hachimi-
Idrissi, 2020; Patterson et al., 2021).
Berikut adalah algoritma tindakan pada pasien dengan abdominal pain menurut
Patterson, dkk (2021) :
Gambar 2.1 Algoritma Pasien Abdominal Pain (Abdullah & Firmansyah, 2012)
2.2 Nyeri
2.2.1. Definisi
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau
dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut (Price & Wilson, 2006). Nyeri didefinisikan
sebagai suatu kondisi perasaan yang tidak menyenagkan, bersifat sangat subyektif karena
perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya (Potter &
Perry, 2009). Berdasarkan beberapa teori diatas maka nyeri dapat didefinisikan sebagai
pengalaman sensorik dan emosional seseorang yang tidak menyenangkan dan bersifat
subyektif yang terjadi karena adanya kerusakan jaringan.
2.2.3. Patofisiologi
Nyeri adalah hasil aktivasi ujung saraf bebas oleh kerusakan jaringan atau penyakit.
Mediator mekanis, termal, atau kimiawi seperti bradikinin, zat P, histamin, dan
prostaglandin dilepaskan dari lokasi cedera, menghasilkan potensi aksi yang berjalan di
sepanjang saraf aferen ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Di sana mereka
menghasilkan pelepasan neurotransmiter dan neuropeptida yang memungkinkan potensi
aksi untuk menyeberang ke saluran spinothalamic dan kemudian naik ke talamus dan
otak tengah. Sinyal nosiseptif dari talamus ditransmisikan ke area lain di otak termasuk
korteks, sistem limbik, dan lobus frontal dan parietal, dan di sinilah potensi aksi
dianggap sebagai nyeri (Hachimi-Idrissi, 2020; Smeltzer et al., 2010).
Adapun pengkajian terhadap karakteristik dari nyeri perlu menilai intensitas, waktu,
lokasi, kualitas, persepsi pasien, faktor yang memperberat ataupun mengurangi nyeri,
dan perilaku pasien ketika mengalami nyeri (Smeltzer et al., 2010).
a. Intensitas
Intensitas nyeri dimulai dari tidak ada, mengganggu hingga menyiksa. Intensitas
yang dilaporkan dipengaruhi oleh ambang nyeri dan toleransi nyeri dari orang
tersebut. Ambang batas nyeri adalah stimulus terkecil yang dilaporkan oleh
seseorang tentang rasa sakit, dan toleransi adalah jumlah maksimum rasa sakit yang
dapat ditoleransi oleh seseorang (Smeltzer et al., 2010)
b. Waktu
Terkadang etiologi nyeri dapat ditentukan saat aspek waktu diketahui. Oleh karena
itu, perawat perlu menanyakan tentang onset, durasi, hubungan antara waktu dan
intensitas, dan apakah terdapat perubahan pola ritmik (Smeltzer et al., 2010).
Kemungkinan penyebab terjadinya nyeri atau penyakit yang menyebabkan nyeri
dapat diketahui bila petugas melakukan pengkajian terhadap waktu terjadinya nyeri.
c. Lokasi
Pengkajian lokasi nyeri dapat membantu penilaian kefektifan dari pengobatan
ataupun perubahan nyeri dari waktu ke waktu (Smeltzer et al., 2010). Lokasi nyeri
paling baik ditentukan dengan meminta pasien menunjuk ke area tubuh yang terkena.
Beberapa formulir asesmen umum memiliki gambar figur manusia, dan pasien
diminta untuk membuat bayangan di area yang terlibat.
d. Kualitas
Kualitas nyeri didapatkan dari ungkapan atau penyampaian pasien tentang nyeri
yang dirasakan (Smeltzer et al., 2010). Penting untuk mendokumentasikan kata-kata
persis yang digunakan untuk mendeskripsikan nyeri. Perawat meminta pasien untuk
mendeskripsikan rasa sakit dengan kata-katanya sendiri tanpa memberikan petunjuk.
Jika pasien tidak dapat menggambarkan kualitas rasa sakit, kata-kata seperti terbakar,
sakit, berdenyut, atau ditusuk dapat ditawarkan.
e. Persepsi pasien
Setiap pasien mengalami nyeri secara berbeda, dan pengalaman nyeri dapat
mempengaruhi rasa nyeri tersebut (Smeltzer et al., 2010). Penting untuk menanyakan
bagaimana rasa sakit itu memengaruhi kehidupan sehari-hari orang tersebut.
Beberapa orang dapat terus bekerja atau belajar, sementara yang lain mungkin
menjadi tidak mampu melakukan apapun.
f. Faktor yang memperberat dan mengurangi
Pengetahuan tentang faktor-faktor yang meringankan nyeri membantu perawat dalam
mengembangkan rencana perawatan (Smeltzer et al., 2010). Perawat bertanya kepada
pasien apakah ada yang membuat rasa sakit menjadi lebih buruk dan apa yang
membuatnya lebih baik dan bertanya secara khusus tentang hubungan antara aktivitas
dan rasa sakit. Ini membantu mendeteksi faktor yang terkait dengan nyeri
g. Perilaku pasien ketika mengalami nyeri
Saat mengalami rasa sakit, orang mengekspresikan rasa sakit dengan berbagai
tingkah laku namun ekspresi nyeri nonverbal dan perilaku ini bukan merupakan
indikator kualitas atau intensitas nyeri yang konsisten atau dapat diandalkan, dan
tidak boleh digunakan untuk menentukan keberadaan atau derajat nyeri yang dialami.
Begitupula tidak adanya perilaku ini tidak menunjukkan tidak adanya nyeri.(Smeltzer
et al., 2010).
Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, skala nyeri pada skala 1-3 seperti
gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih, mules. Skala nyeri 4-6
digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit bergerak, terbakar, ditusuk-
tusuk.Skala 7-9 merupakan skala sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien,
sedangkan skala 10 merupakan skala nyeri yang sangat berat dan tidak dapat
dikontrol.
b. Numeric Rating Scales
Numeric Rating Scales (NRS) adalah skala numerik 11 poin tunggal yang divalidasi
secara luas di berbagai jenis pasien. Data yang diperoleh melalui NRS mudah
didokumentasikan, dapat diinterpretasikan secara intuitif, dan memenuhi persyaratan
peraturan untuk penilaian dan dokumentasi nyeri (Karcioglu, Topacoglu, Dikme, &
Dikme, 2018). NRS hanya mengevaluasi 1 komponen dari pengalaman nyeri,
intensitas nyeri, dan oleh karena itu tidak menangkap kompleksitas dan sifat
idiosinkratik dari pengalaman nyeri atau perbaikan karena fluktuasi gejala (Hawker,
Mian, Kendzerska, & French, 2011).
NRS adalah alat yang umum digunakan yang mengharuskan pasien menilai rasa
sakitnya dalam skala 0 sampai 10, dengan 0 menunjukkan tidak ada rasa sakit dan 10
menunjukkan kemungkinan rasa sakit yang paling buruk (Karcioglu et al., 2018).
Skor nyeri diartikan sebagai:
• 0 = tidak nyeri
• 1-3 = nyeri ringan
• 4-6 = nyeri sedang
• 7-10 = nyeri hebat
2.2.6. Relaksasi
Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan mandiri dari seorang perawat yang
termasuk kedalam manajemen nyeri non – farmalogikal. Teknik relaksasi dapat
digunakan saat individu dalam kondisi sehat maupun sakit dan merupakan upaya
pencegahan untuk membantu tubuh kembali segar dengan meminimalkan nyeri secara
efektif (Potter & Perry, 2009). Penggunaan pelatihan relaksasi dapat membantu pasien
untuk mengurangi stres dan ketegangan melalui teknik-teknik seperti memfokuskan pada
pola pernapasan, berkonsentrasi dengan membayangkan keadaan yang membuat rileks
dan secara bertahap melepaskan ketegangan otot ke seluruh tubuh (Hachimi-Idrissi,
2020). Menurut Smeltzer, et al (2010) terdapat beberapa jenis teknik relaksasi yang dapat
digunakan, antara lain : relaksasi nafas dalam, guided imaginary, latihan relaksasi
progresif, dan yoga.
Salah satu tindakan yang paling sering digunakan oleh perawat dalam mengurangi
nyeri adalah relaksasi nafas dalam. Keuntungan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah
dapat dilakukan setiap saat dimana saja dan kapan saja, caranya sangat mudah dan dapat
dilakukan secara mandiri oleh pasien, tanpa suatu media, dan dapat merilekskan otot –
otot yang tegang. Namun kerugian teknik ini adalah teknik ini tidak efektif dilakukan
pada penderita penyakit pernafasan (Smeltzer et al., 2010).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, dalam hal
ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas
lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam
juga dapat meningkatkan ventilasi paru, meningkatkan oksigenasi darah dan mengurangi
stress fisik maupun emosional sehingga tubuh dapat mencapai keadaan relaksasi
menyeluruh. Secara fisiologis, keadaan relaksasi ditandai dengan penurunan kadar
epinefrin dan non epinefrin dalam darah, penurunan frekuensi denyut jantung, penurunan
tekanan darah, penurunan frekuensi nafas, penurunan ketegangan otot, metabolisme
menurun, vasodilatasi dan peningkatan temperatur pada ektremitas (Patasik, Tangka, &
Rottie, 2013).
Adapun langkah – langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut :
a. Ciptakan lingkungan yang tenang
b. Atur posisi klien senyaman mungkin
c. Instruksikan klien tutup mata secara perlahan - lahan
d. Instruksikan klien untuk menarik nafas secara perlahan : Menarik nafas melalui
hidung agar mengisi paru – paru hingga maksimal melalui hitungan 1, 2, 3, 4
e. Tahan nafas selama beberapa detik
f. Perlahan – lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstremitas
atas dan ekstremitas bawah rileks
g. Instruksikan klien untuk menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan
kembali melalui mulut
h. Lakukan berulang selama kurang lebih 10 menit
i. Selingi istirahat singkat setiap 5 siklus
Lakukan prosedur ini sampai 2 -3 kali agar mendapatkan hasil yang optimal