Anda di halaman 1dari 18

37

MODEL KAJIAN ABSURDITAS EKSISTENSIALISME MANUSIA


DALAM NOVEL SAMPAR ALBERT CAMUS

Didi Yulistio
FKIP Universitas Bengkulu

ABSTRAK
Menelaah atau studi terhadap karya sastra berarti menggali nilai-nilai dari karya
kreatif itu sebagai suatu ilmu pengetahuan. Salah satu karya sastra yang
mengandung banyak nilai kreatif itu adalah novel Sampar karya Albert Camus,
yang membahas mengenai absurditas eksistensialisme. Untuk itulah maka tulisan
ini dimaksudkan guna melihat kandungan nilai eksistensialisme manusia yang
“absurd” pada novel “Sampar” karya pengarang legendaris ini. Karya sastra
absurdsendiri adalah karya sastra yang tidak masuk akal, susah diduga dalam
memainkan tokoh-tokohnya karena pandangan, pemikiran atau gaya
pengarangnya. Pembahasan terfokus pada tiga tokoh utama yaitu Bernard Rieux,
Joseph Grand, dan Cottard dan bagaimana mereka menghadapi absurditas.
Berdasarkan kesimpulan diketahui bahwa dalam eksistensi tokoh “sampar” ini tidak
ada yang menjadi “pahlawan”. Seperti diungkapkan pada awal analisis bahwa hal
ini analog dengan suatu “pertandingan”, yakni ada tokoh yang kalah bertanding,
yakni Cottard dan ada tokoh yang menang dalam pertandingan, yakni Rieux dan
Grand. Dalam perjalanan eksistensialismenya ketiga tokoh telah menemukan
keabsurditasan dalam bentuk penderitaan, kegagalan, keterasingan dan kematian.

Kata kunci:sastra, novel, eksistensialisme.

A. Pendahuluan bahwa studi secara utuh dan mendalam


Usaha menelaah karya sastra terhadap karya sastra (novel, cerpen, dll)
berarti mendekati “dunia kreatif” dari ini dapat dilakukan melalui dua macam
sebuah karya seni. Luxemburg (1984) pendekatan, yakni instrinsik dan
mengatakan, sastra merupakan suatu ekstrinsik. Secara ekstrinsik berarti
cipta kreativitas pengarang yang bukan mendekati karya sastra dalam hal ini
semata-mata sebuah imitasi. Karya novel “Sampar” dengan mengaitkan
sastra merupakan objek yang rumit dan karya itu pada bidang lain, seperti
kompleks, di dalamnya memiliki identitas psikologi, sosiologi, idiologi, budaya,
isi dan bentuk (identity form and filosofi, historis, biografi dan sebagainya
content). Analog dengan kehidupan sebagai unsur dari luar. Secara instrinsik
manusia, karya sastra, seperti halnya berarti mendekati karya itu dengan
novel memiliki aspek batin dan aspek mengkhususkan diri pada unsur yang ada
lahir. dalam karya itu sendiri (unsur dari
Menelaah atau studi terhadap dalam), yang mencakup alur, penokohan,
karya sastra berarti menggali nilai-nilai latar, sudut pandang, gaya dan tema.
dari karya kreatif itu sebagai suatu ilmu Novel dalam bentuknya yang
pengetahuan. Wellek (1993) mengatakan paling sempurna merupakan epik

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


38

modern. Clara Reeve (dalam Wellek, absurd. Karya sastra absurd adalah karya
1993) menyebutkan bahwa novel sastra yang tidak masuk akal, susah
merupakan gambaran dari kehidupan diduga dalam memainkan tokoh-
dan perilaku nyata dari zamannya pada tokohnya karena pandangan, pemikiran
waktu novel itu ditulis. Novel cenderung atau gaya pengarangnya.
bersifat realistis, digali dari fakta-fakta Pandangan filosofis tentang
bernilai tinggi dan nilai ekstrinsik, seperti absurdisme merupakan bagian dari
psikologi dan filsafat yang mendalam. filsafat eksistensialisme. Absurditas
Wellek lebih lanjut menegaskan merupakan bentukan dari kata absurd
bahwa para kritikus dalam menganalisis yang artinya mustahil, tidak masuk akal.
novel secara instrinsik lebih menekankan Heinemenn (dalam Sastrapratedja, 1982)
pada tiga unsur pembentuk yang salah bahwa absurditas dapat dipahami
satunya adalah penokohan. Sukada sebagai persoalan hidup manusia yang
(1987) mempertegas bahwa dalam berada dibawah kesadaran atau muncul
menganalisis unsur instrinsik tidak dapat pada alam ketidaksadaran tentang ada.
dipisahkan dari unsur ekstrinsiknya. Oleh Sartre (dalam Hasan, 1987:103)
karena itu, sebenarnya unsur filosofis – memaknai eksistensi pada manusia,
sebagai unsur ekstrinsik – dalam karya bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri
novel “sampar” dapat dikaji melalui secara subjektivitas. Jadi, eksistensi
unsur tokok atau penokohan sebagai manusia merupakan sikap filosofis
unsur yang membangun secara instrinsik realitas diri (bagaimana manusia
dalam suatu rangkaian cerita. menjadikan dirinya) yang memandang
Novel “Sampar” terjemahan Nh. dirinya secara subjektivitas dan
Dini (1985), dengan judul aslinya “La idealisme. Idealisme maksudnya melihat
Peste” karya Albert Camus (1947) diri secara sadar, sebagai keseluruhan
merupakan novel yang menempati diri manusia.
kedudukan istimewa di antara novel- Berkaitan dengan eksistensi
novel lain pada masanya. Menurut absurditas tokoh dalam novel “Sampar”
Sindhunata dan Sudiardja (dalam tersebut, berarti banyak tokoh yang
Sastrapratedja, 1982:15) bahwa selain secara filosofis memiliki perilaku dalam
sebagai novel yang terlaris pada masa alam bawah sadar atau tidak masuk akal.
itu, novel “Sampar” (La Peste) Hal ini bertentangan dengan kehidupan
merupakan novel Camus yang paling nyata, bahwa pada dasarnya eksistensi
merumuskan pemikirannya yang manusia secara filosofis harus mengikuti
terakhir. Menurutnya, pandangan- tatanan nilai-nilai yang rasional dan
pandangan Camus menjiwai novel dapat dipahami tentang “dunianya”.
“Sampar” ini seperti halnya pada Filsafat eksistensi melihat manusia
novelnya yang pertama L’Etranger secara keseluruhan diri, pikiran dan
(Orang asing) yang mengungkapkan kesadarannya. Bahkan pemikiran filosofis
absurditas dunia, relativitas cinta, eksistensialis didasarkan pada unsur
keterasingan, penderitaan dan kematian subjektivitas dan kebebasan tentang cara
manusia. Artinya, pada karya inilah manusia berada di dunia. Hal ini sesuai
eksistensi Camus tersalurkan dan mulai dengan pandangan Drijarkara (1978)
dikenal sebagai seorang yang cenderung bahwa eksistensi ialah cara khusus untuk

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


39

manusia berada di dunia ini. adanya rintangan nasib, keharusan atau


Bereksistensi hanya dilakukan manusia keadaan yang ada di dalam tindakan
sebagai wujud keberadaannya. Sebab, atau setiap keputusan yang diambil
tiap barang yang ada itu berada tetapi seseorang. Tanpa kebebasan, tidak akan
tidak tiap barang bereksistensi. ada seni dan juga sisoalisme, yang ada
Keberadaan atau caranya manusia hanya seni yang mati dan sosialisme buta
berada itulah yang disebut eksistensi. antara hidup dan tiang gantungan.
Oleh karena itu, eksistensi absurd adalah Eksistensi berkaitan dengan
keadaan manusia yang tidak masuk akal “keberadaan atau jati diri” manusia yang
dilihat berdasarkan kacamata tidak terlepas dari pengetahuan.
keberadaan kesadaran dan pikirannya Pengetahuan merupakan pondasi yang
atas unsur subjektivitas dan kebebasan. tidak dapat ditawar-tawar sebagai bagian
Berdasarkan uraian di atas, maka keberadaannya atau cara beradanya
tulisan ini dimaksudkan untuk melihat manusia (Watloly, 2001:113). Secara
kandungan nilai eksistensialisme epistemologis pengetahuan sebagai
manusia yang “absurd” pada novel landasan keberadaan manusia
“sampar” karya Albert Camus. merupakan unsur kebudayaan atau
kultural. Dengan kata lain, manusia yang
B. Kajian Pustaka bereksistensi adalah manusia yang
1. Hakikat Eksistensialisme memiliki budaya. Artinya, manusia yang
Eksistensialisme merupakan dapat memanfaatkan pengetahuan
sebuah pemikiran tentang ada/berada untuk kepentingan kehidupannya.
yang bertolak dari manusia sebagai Bahasa merupakan salah satu unsur
eksistensialis. Aliran eksistensialisme budaya manusia. Salah satu wujud
menegaskan bahwa manusia secara kekhasan manusia jika dibandingkan
eksistensial membentu dirinya sendiri, dengan makhluk lainnya, bahwa manusia
dalam pola dan jalan hidup yang memiliki bahasa. Melalui bahasa
dipilihnya sendiri (Sudjiman,1984:24). manusia dapat mengembangkan
Keberadaan manusia secara utuh pengetahuannya dengan baik dalam
yang terdiri atas jasmani dan rokhani itu berpikir. Bahasa dapat berfungsi untuk
ditentukan dari cara berpikir mengkomunikasikan jalan pikiran,
subjektivitas yang ditandai dengan perasaan dan sikapnya. Selanjutnya,
pengungkapan kebebasan tentang dengan bahasa manusia dapat belajar
dirinya. Ponty (dalam Bertens, 1985:352- berbudaya, memikirkan penyelesaian
353) mendeskripsikan dua hal suatu masalah dan merealisasikan
subjektivitas dan kebebasan tersebut. eksistensinya.
Subjektivitas merupakan dimensi tak Drijarkara (1978:55) mengatakan,
sadar atau dimensi prareflektif yang bahwa eksistensi ialah cara manusia
sekan-akan mempunyai suatu lapisan berada di dunia ini. Cara ini hanya khusus
dasar yang anonim. Perbuatan sadar untuk manusia. Jadi, yang bereksistensi
bertumpu pada tubuh subjek, hanyalah manusia. Eksistensi tidak sama
memberikan makna pada taraf yang dengan berada, tiap barang yang ada itu
mendahului kesadaran. Kebebasan berada, tetapi tidak tiap-tiap barang itu
secara umum adalah kualitas tidak bereksistensi. Bagaimana caranya

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


40

manusia berada itulah yang disebut penganut eksistensialisme, antara lain:


eksistensi. Karl Jaspers(dalam (1) orang menyuguhkan dirinya (existere)
Hamersma, 1985:9) melihat bahwa dalam kesungguhan yang tertentu, (2)
eksistensi merupakan pemikiran yang orang yang harus berhubungan dengan
memanfaatkan pengetahuan objektif dunia, (3) orang sebagai kesatuan
tetapi juga mengatasi pengetahuan sebelum terjadinya perpisahan antara
objektif itu. Melalui pemikirannya jiwa dan badannya, (4) orang
manusia ingin menjadi dirinya sendiri. berhubungan dengan ada. Eksistensi
Bagi Kierkegaard, manusia berhak tidak dapat didefinisikan sebagai suatu
mengambil keputusan dalam sikap yang filosofis dari realitas manusia.
eksistensinya. Keputusan itu tidak Sedangkan Sartre (dalam Fuad Hasan,
pernah mantap dan sempurna. Karena 1987:103) memaknai eksistensi pada
manusia terus-menerus dihadapkan manusia tidak lain daripada bagaimana ia
pada pikiran-pikiran pilihan yang harus menjadikan dirinya sendiri. Untuk
diputuskan sejauh menyangkut apa yang memahami manusia perlu mendekatinya
mereka anggap baik dan buruk. sebagai sesuatu yang subjektivitas dan
Eksistensi manusia termuat sekaligus objektivitas.
dalam waktu sekaligus mengatasi waktu, Di sisi lain, secara epistemologis
karena keputusan-keputusan bebas bahwa manusia akan lebih bereksistensi,
eksistensi menentukan sesuatu untuk kalau mampu mengembangkan nilai-nilai
selama-lamanya. Jaspers (dalam yang menyuburkan dan memekarkan
Hamersma, 1985:53-58) menekankan kehidupannya serta menuntun
filsafatnya pada tiga unsur kata, yaitu: pengembangan pengetahuan yang
“Transendensi”, “Eksistensi”, dan dimiliki. Salah satu unsur nilai tersebut,
“Chiffer-Chiffer”. Transendensi yakni kemampuan manusia untuk
merupakan nama untuk keilahian yang bertanggung jawab, baik tanggung jawab
tersembunyi. Eksistensi adalah manusia secara individual sesuai profesinya
yang berhadapan dengan transendensi. maupun tanggung jawab kultural. Sebab,
Chiffer merupakan simbol yang dengan pertanggungjawabannya,
mengantarai naskah yang ditulis oleh manusia disebut bermartabat dan
Allah, dan yang dibaca oleh manusia. berbudaya. Suriasumantri (1986:8)
Pembacaan dari naskah ini disebut menegaskan bahwa melalui pendekatan
metafisika. Jadi, Chiffer-Chiffer itu dibaca keilmuan, manusia yang bertanggung
manusia sejauh manusia itu merupakan jawab berarti manusia yang mentaati
“eksistensialis”. Jaspers mempertegas asas-asas moral.
bahwa eksistensi dalam bahasa mitos
disebut “jiwa”, dan dalam bahasa filsafat 2. Pandangan Eksistensialisme Albert
disebut ”kebebasan yang diberi isi”. Camus.
Kebebasan hanya dimiliki manusia dan Munculnya eksistensialisme
manusia sendiri harus memberi arti dan merupakan reaksi terhadap
isi positif bagi kehidupannya. materialisme. Pandangan filosof
Lain halnya dengan materialisme, manusia pada dasarnya
Poedjawijatna (1980:137) yang justru hanya barang atau “materi”. Bagi kaum
melihat beberapa sifat umum dari eksistensialis manusia tidak hanya

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


41

berada di dunia tetapi juga “mengalami cenderung absurd membawa karya-


keberadaannya di dunia”. Manusia karyanya juga bersifat eksistensialisme
adalah subjek, maka ia sadar akan dirinya dan sekaligus absurd. Ciri
sendiri dan sadar pada objek-objek yang eksistensialisme absurd ini dituangkan
dihadapinya. Oleh karena itu, eksistensi juga dalam karya La Peste (Sampar).
muncul tidak hanya karena pengaruh Setting cerita karya “sampar” berawal
“idealisme”. Idealisme melihat manusia pada tahun 1947 di kota Oran sebuah
sebagai kesadaran pemikiran, pikiran dan kota di Aljazair, koloni Perancis, yang
sebagai keseluruhan manusia. terkena wabah penyakit sampar yang
Lain halnya dengan eksistensialis membuat penduduk kota Oran menjadi
Albert Camus (1913-1960) yang bersifat cemas karena timbul secara mendadak.
“pemberontak”. Dalam gayanya yang Tetapi yang lebih memprihatinkan,
cenderung senang disebut eksistensialis, penduduk tidak dapat berbuat banyak
ia terus menerus mengemukakan dan hanya menerima kenyataan itu.
gagasannya tentang “absurditas”. Dalam Disisi lain, Camus ingin menunjukkan
berfilsafat Camus telah menjalankannya berbagai potret manusia yang bereaksi
dengan bebas dari konvensi-konvensi terhadap keadaan malang tersebut.
tradisional ataupun untuk membentuk Dalam catatan Camus, sebagai
sistem global dari pemikirannya. Hal ekspresi eksistensialisme, ditulis bahwa
inilah sebagaimana yang dikatakan dengan sampar, dia memaksudkannya
Kaufmann bahwa “eksistensialis” adalah sebagai kepenatan yang mencekik dan
sekumpulan pemikir yang terang- keadaan di mana terjadi ancaman dan
terangan menentang filsafat tradisional. pembuangan secara nyata dan alamiah,
Dalam pengantar novel ini dan dia bermaksud memperluas
dikemukakan bahwa “Essai filsafat “Le pengertian itu dalam hakikat eksistensi
Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisiphus), salah pada umumnya. Namun demikian,
satu karya Camus, muncul mewakili secara tersirat bahwa La Peste ditulis
absurditas. Dikatan bahwa dewa-dewa Camus untuk mewakili kekuatan
menghukum Sisiphus karena imajinasinya dalam bereksistensi, yakni
keberaniannya. Hal ini juga ditegaskan (1) gambaran penderitaan, kematian,
oleh Sindhunata dan Sudiardja (dalam keterasingan, relativitas cinta dan
Sastrapratedja, 1982:18) bahwa ciri absurditas dunia, di tengah situasi
eksistensialis Camus (39 tahun) yang perang dunia kedua di Eropa, (2)
paling menyolok mulai nampak pada merupakan sindiran terhadap
karya tersebut, yakni Le Myte de Sisyphe pendudukan tentara (Nazi) Jerman di
(Mitos Sisiphus). Menurutnya bahwa Perancis, (3) sebagai saksi dan simbol
dalam karya itu ditonjolkan penghayatan dari penindasan yang diakibatkan oleh
Sisipus dalam tragedi Homerus Sisipus perang, dan (4) sebagai cara
adalah orang yang berani menentang menciptakan kesadaran moral yang baru
para dewa karena mempertahankan dengan ajakan “berontak”. Deskripsinya
pendiriannya sendiri, dan lebih dari itu ia bahwa jumlah epidemi sampar dan
berani menanggung akibat-akibatnya. perang yang pernah terjadi di dunia
Dengan kata lain, bahwa ciri sama banyaknya; keduanya selalu datang
eksisitensialis Camus dan karyanya yang

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


42

menyergap tanpa sepengetahuan bahwa perlawanannya yang “berontak”


manusia (1985:v). itu, tidak akan menghasilkan segala yang
Masih dalam pengantar novel ini diharapkan. Segalanya akan kandas
dikatakan bahwa pada tahun 1952 dunia secara tragis dalam pelabuhan maut, ini
sastra Perancis digoncang dengan dua sebagai bukti manusia memang serba
karya besar antara Camus dan Sartre. terbatas. Hal inilah yang dapat
Dikemukakan bahwa pandangan membatasi dan sekaligus merumuskan
eksistensialis Camus jika dibandingkan pandangan Camus tentang
dengan Sartre, bahwa Camus dalam eksistensialisme dalam La Peste (Sampar)
eksistensinya mengatakan “aku yang absurd dalam ceritanya dan
berontak, jadi aku ada”. Pemberontakan terutama eksistensi absurditas dari
yang bertolak dari kenyataan dunia yang tokohnya.
pahit, penuh dengan penderitaan dan
kemalangan. Sedangkan di sudut lain 3. Hakikat Absurditas dalam Sampar
Sartre (47 tahun) berpendapat “aku Sebagai bagian dari
berpikir, jadi aku ada”. Pertumbuhan dua eksistensialisme, absurditas merupakan
“manusia” dan “jiwanya”, yang ditempa bentuk dari kata “absurd” yang berarti
oleh latar lingkungan dan masa lalu yang mustahil, tidak masuk akal, menggelikan,
berbeda itu pada akhirnya dipisahkan dan menertawakan. Dalam Kamus
oleh idealisme dan keberadaannya Inggris-Indonesia karangan Echols and
masing-masing. Di pihak lain, Camus shadily (1990:4) bahwa absurditas atau
adalah seorang yang selalu menunjukkan “absurdity” berarti kemustahilan,
sikap terlibat pada suatu kejadian di keadaannya yang bukan-bukan.
dunia. Baginya bukan saja hanya Sudjiman (1984:1) mengemukakan istilah
“berpikir” tetapi “bagaimana hidup”. absurd sebagai hal yang tidak masuk
Misalnya dalam kesaksian Camus pada akal, karya sastra absurd ialah karya
penderitaan orang Arab, dalam tragedi sastra (dalam drama dan cerita rekaan)
pemberontakan melawan penindasan, yang berlandaskan anggapan bahwa
pembantaian dan pembunuhan, pada dasarnya kehidupan manusia itu
mengantarkan dirinya menentang semua absurd. Dengan kata lain, bahwa
ketidakadilan, perang dan hukuman absurditas dapat dipahami sebagai
mati. persoalan hidup manusia yang
Sebagai perwujudan suatu menjulang pada alam kesadaran tentang
eksistensi, La Peste (Sampar) yang ada atau keberadaan.
mewakili eksistensialis Camus sekaligus Menurut Camus (dalam Hazel,
merupakan karya yang bernilai 1959:157) manusia absurd merupakan
absurditas. Menurut Camus (dalam manusia yang ada dalam fakta bahwa ia
Hazel, 1959:173), manusia absurd tidak membuat tuntutan buat dirinya
mengintensikan pada suatu rangkaian dan dunianya, ia merasa tidak bermakna
yang sekarang. Kehidupan baginya tidak tanpa Tuhan, ia menuntut dengan tegas
akan bermakna apa-apa, seluruh mempermasalahkan projek sebagai
keberadaan kita adalah “absurd”. permasalahan yang terbatas.
Kejahatan dan kebaikan adalah nasib. Sastrapratedja (1982:23) melengkapinya
Tetapi yang paling menarik, Camus sadar bahwa absurditas digambarkan sebagai

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


43

kontradiksi-kontradiksi antara dunia Menghadapi absurditas, manusia


yang irrasional dengan keinginan harus menentukan sikapnya. Sikap
manusia akan kejelasan. Keadaan Camus terhadap absurditas ialah
tersebut sulit diterangkan, sehingga pemberontakan (La ravolte). Sebab,
manusia terus-menerus mencari pemberontakan merupakan eksistensi
keterangan tentang kemalangan, subjektivitas dan kebebasan. Absurditas
bencana dan tujuan hidup manusia. dalam “sampar” terkait erat dengan
Dalam novel Sampar, absurditas unsur-unsur, seperti penderitaan,
dilukiskan dengan berjangkitnya wabah kegagalan, keterasingan, dan kematian.
Sampar di kota Oran. Orang tidak dapat Karenanya, sampar merupakan
menerangkan mengapa Oran tiba-tiba pemaparan peristiwa kemanusiaan yang
terkena wabah, bahkan tokoh Peneloux lengkap.
(dalam khotbahnya sebagai pastor) yang Keterasingan dalam manusia
menjelaskan “wabah sampar” sebagai timbul karena kesepian yang disertai
hukuman Tuhan pun tak dapat dipahami. kejenuhan, takut, dan gelisah. Orang
Mereka tak dapat berbuat apa-apa kesepian (kosong jiwanya) menemukan
kecuali menerima pada kenyataan yang dirinya tak mampu berbuat sesuatu
terjadi. Wabah sampar itu merupakan (Jaspers dalam Hammersma, 1985).
sebab yang begitu absurd dan tak dapat Menghadapi kehidupan “absurd”,
diterima begitu saja. manusia tinggal sendiri dalam
Absurditas merupakan keadaan kecemasan dan kegagalannya.
yang tidak masuk akal (irrasional), Keterbatasannya dalam mengambil
keadaan yang bukan-bukan atau tindakan dan keputusan-keputusan yang
mustahil. Sedangkan konsep selalu menemui kegagalan itu
konsistensialisme absurditas merupakan melahirkan keterasingan. Lebih lanjut
problematika manusia yang Jaspers mengemukakan tentang
menampakkan eksistensinya pada saat Penderitaan merupakan suatu misteri
dihadapkan pada ketakjelasan dunia, besar pada manusia. Manusia harus
kondisi yang tak dapat dipahami dan menghindarkan dirinya dari penderitaan
tidak dapat dirasionalkan, posisi yang sehingga tidak menjadikan dirinya
absolut, kefaktaan atau fatisitas. Ciri tumbuh di dalam penderitaan. Manusia
eksistensialisme absurditas merupakan dapat merasakan penderitaan orang lain,
salah satu ciri eksistensi yang irrasional seperti layaknya dia “mewakili” sekaligus
dan sekaligus ireligius. Sebab, jika ciri dirasakan oleh eksistensimya, bahwa
eksistensialisme pada seorang penderitaan dunia adalah
eksistensialis masih dikaitkan dengan penderitaannya sendiri.
kepercayaan pada adanya Tuhan, maka Lain halnya dengan kegagalan,
selalu ada jalan keluar untuk persoalan maksudnya kegagalan dalam
dunia kendatipun mereka mengalami bereksistensi, kegagalan manusia dalam
sebagai hal yang kacau dan tidak menjadikan dirinya secara utuh. Jaspers
menyenangkan. Akibatnya, nilai (dalam Hamersma, 1985:15) berpikir
absurditas menjadi hilang dan bahwa kegagalan merupakan tempat
memperkuat nilai eksistensialisme pertemuan dan transendensi. Kegagalan
menjadi rasional dan bahkan religius. timbul karena manusia tidak mampu

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


44

menjadikan dirinya sebagai “pahlawan”. tokoh pada sampar juga cenderung


Sebaliknya, kematian; merupakan bersifat absurd.
puncak absurditas hidup manusia, dari Tokoh novel muncul dari kalimat-
ketiadaan dan mengakhiri kalimat yang dideskripsikannya dan
keberadaannya dan kembali pada dialog yang diciptakan pengarangnya.
ketiadaan mutlak. Kematian sesuatu Penokohan merupakan cara pengarang
yang harus terjadi dan tak dapat menggambarkan karakter (pribadi)
dihindarkan pada manusia. Hal ini tokoh-tokohnya. Oleh karena itu,
sebagai bukti adanya keterbatasan karakter tokoh merupakan pelaku yang
manusia dalam bereksistensi. mengemban peristiwa dalam cerita.
Sudjiman (1984:58-59) mendeskripsikan
4. Penokohan dalam “Sampar” penokohan sebagai penciptaan citra
Salah satu kesulitan dalam tokoh di dalam karya sastra.
memahami dan memberikan “nilai” Menurutnya, penokohan dapat
terhadap karya sastra “absurd”, digambarkan dalam pelbagai cara,
disebabkan oleh aspek tokoh atau seperti melalui pelukisan watak tokoh
penokohan. Tokoh merupakan posisi dalam situasi tertentu; tindakannya,
yang paling vital, sehingga latar hanya ujarannya, pikirannya, penampilannya
dianggap sebaga panorama yang tegar secara fisik, apa yang dikatakan atau
berdiri. Suatu kecenderungan dari watak dipikirkan tokoh tentang dirinya dalam
tokoh yang “absurd” terletak pada suatu karya sastra.
penamaan tokoh yang diberikan Penokohan sebagai unsur
pengarang. Tokoh absurd biasanya tidak pembangun novel akan terkait dengan
merujuk pada realita. Karya-karya Putu unsur yang lain, seperti alur, latar atau
Wijaya, Iwan Simatupang atau Danarto tema. Untuk menggambarkan karakter
dan lain-lainnya (pengarang Indonesia), tokoh dalam novel, dapat diklasifikasikan
sering menampilkan “tokoh” bebas dengan cara (1) analitik, yaitu
hidup dengan segala karakternya. Tanpa menggambarkan secara langsung tokoh-
ada resiko individualistis dan tokoh melalui penceritaan pengarang
kecemburuan atau ketersinggungan seperti menggambarkan sifat, kebiasaan,
sosial. latar belakang, pikiran dan perasaan
Di dunia barat khususnya di tokoh, dan (2) dramatik, yaitu
Eropa yang mengawali lahirnya karya menggambarkan secara tidak langsung
“absurd”, berkembang pada pasca tetapi melalui hal-hal; (a)
perang dunia kedua sekitar tahun 1950- menggambarkan tempat atau lingkungan
an. Setelah Albert Camus dengan karya sang tokoh, (b) percakapan (dialog) antar
besarnya La Peste (Sampar) yang dilatari tokoh, atau dialog tokoh lain tentang dia,
situasi seusai perang dunia kedua di (c) pikiran sang tokoh atau pendapat
Aljazair, mengguncang dunia kreatif tokoh lain tentang dia, dan (d) perbuatan
memenangkan nobel kesusastraan. tokoh, dan (3) cara analitik yang panjang
Camus dikenal sebagai sastrawan dan ditutup dengan dua atau tiga kalimat
filosof Perancis yang karya bersifat (Saat dalam Ali, 1967:123-124).
absurd akibat pengaruh filosofis Uraian di atas dapat memberikan
eksistensialisme (Eddy, 1991:9). Tokoh- penegasan bahwa penokohan

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


45

merupakan cara pengarang menceritakan seluruh peristiwa dalam


menggambarkan atau melukiskan “sampar”. Ia adalah seorang dokter yang
karakter tokoh dalam menghadapi “menekan” perasaannya dari tugas-tugas
peristiwa-peristiwa yang diembannya kedoterannya dalam melawan wabah
dalam rangkaian cerita (novel), termasuk sampar. Ia termasuk tokoh yang
dalam hal ini penggambaran tokoh memenangkan “pertandingan”, karena
“watak” pada novel Sampar yang dalam absurditasnya ia tetap hidup “jiwa
cenderung bereksistensi absurditas. dan raganya”, setelah musibah epidemi
Tokoh-tokoh pemeran utama dan sampar berakhir. Namun, ia sekaligus
pendamping dalam cerita yang mewakili gambaran jiwa seorang yang
bereksistensi absurd itu, seperti tokoh gagal dalam membawa kehidupannya,
pencerita (yang paling pertama disebut sebab ketika wabah sampar datang, dia
namanya dalam cerita), yakni Dokter harus berpisah dengan istri yang
Bernard Rieux, tokoh Mechel si penjaga dicintainya karena sakit yang dideritanya
gedung, tokoh istri dokter Rieux, tokoh dan akhirnya berpisah untuk selama-
ibu Rieux, tokoh wartawan Raymond lamanya.
Rambert, tokoh lawan bicara Rieux, yakni Eksistensi Rieux dalam
Jean Tarrou, tokoh pastur Paneloux, menghadapi epidemi sampar berawal
tokoh pegawai rendah kantor kota dari peristiwa pada tanggal 16 April.
Joseph Grand, tokoh pasien Cottard, Ketika dia mulai berpikir bahwa “tikus-
tokoh Mercier si direktur pemberantasan tikus” yang ditemukan mati tidak pada
tikus kota praja, tokoh Richard si dokter tempatnya. Sebab, kenyataannya di
penting kota praja, tokoh istri penjaga gedung tempat prakteknya itu memang
gedung, dan diakhir cerita ada tokoh tidak ada tikus. Namun, bayangan
polisi. “hantu” tikus nyata itu tetap hadir lagi,
ketika malamnya Rieux berdiri dekat
C. Analisis Eksistensialisme Absurd tempat tinggalnya, bahkan saat itu
Tokoh Sampar beberapa tikus menggelepar-gelepar
Kajian eksistensialisme dalam didekat tempat dia berdiri dan mati
penokohan sampar pada nilai absurditas secara nyata (Camus, 1985:5).
ini, hanya akan melihat keberadaan tiga Dalam menghadapi penderitaan
tokoh saja. Dalam hal ini akan yang merupakan bagian absurditas,
dideskripsikan secara singkat karakter Rieux juga menderita, dan menjadi
tokoh tersebut, yang menyangkut tokoh masalah bagi eksistensinya. Awalnya
kalah dan tokoh menang. Tokoh penderitaan ini tergambar pada diri
kalahakan digambarkan eksistensi Rieux dalam kata-kata berikut:
absurditas dari tokoh Cottard sedangkan Penderitaan merupakan masalah
tokoh menang akan digambarkan umum manusia dalam kehidupannya.
eksistensi absurditas dari tokoh Bernard Epidemi sampar yang menyerang kota
Rieux dan Joseph Grand. Oran itu telah menjadi masalah yang
melibatkan semua penduduk. Tidak
1. Eksistensi Tokoh Rieux terkecuali dokter Rieux pun harus
Tokoh Rieux atau Bernard Rieux menanggungnya. Rieux kini sudah mulai
adalah tokoh pencerita atau tokoh yang kalut dengan situasi termasuk

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


46

kerinduannya setelah perpisahannya Sikap Rieux dalam menghadapi


dengan istrinya. Penderitaan ini pada penderitaan tergambar, seperti berikut
mulanya tergambar pada diri Rieux ini, “Rieux mengambil keputusan. Dalam
sebagai berikut: kerja setiap hari itulah kepastiannya.
“Sepanjang hari dokter Rieux Yang lain-lain tergantung pada ulasan
menyadari bahwa rasa peningnya benang dan pada gerakan-gerakan yang
bertambah setiap kali dia sangat tidak berarti, sehingga tidak perlu
memikirkan sampar. Akhirnya ia diperhatikan. Yang penting ialah
mengakui bahwa dia takut,. Dua melakukan tugasnya dengan baik”
kali dia masuk ke kedai kopi yang (1985:35).
penuh. Seperti Cottard, dia juga Sikap Rieux ini sebagai bukti, dia
merasa butuh kehangatan menganggap penderitaan adalah
hubungan antara manusia. pengalaman bersama. Penderitaan yang
Menurut Rieux itu perasaan yang dialami lain orang merupakan
bodoh, …” (Camus, 1985:49). penderitaannya. Sebagai sorang dokter
Rieux melawan dan melenyapkan
Penderitaan itu terus menghantui sumber penderitaan itu memalui orang
perasaannya dan membuatnya sakit.
terkenang dengan istrinya dan seluruh Tindakan yang diambil Rieux
yang ada di sana, seperti tergambar untuk mengatasi penderitaan adalah
dalam kata-kata berikut: berusaha menyembuhkan korban dan
“… begitu pintu kota tertutup, membentu perkumpulan pelayan
mereka sadar bahwa semua, kesehatan yang terdiri atas para
termasuk penulis sendiri, bisa sukarelawan. Rieux memandangnya
dikatakan senasib sebagai sikap yang tepat dan nyata,
sepenanggungan, dan harus sebagaimana tergambar dalam halaman
menerima hidup dalam keadan 116, berikut:
yang baru. Begitulah misalnya, “Banyak moralitas baru
perasaan yang sangat pribadi, pergikemana-mana di kota kami
yaitu perpisahan dengan sambil berkata bahwa tak sesuatu
seseorang yang tercinta sejak pun yang bisa dikerjakan untuk
pekan pertama, sekonyong- menanggulangi bencana, dan
konyong menjadi perasaan kami harus pasrah bertekuk lutu.
seluruh penduduk” (Camus, Lalu Tarrow, Rieux dan kelompok
1985:56). mereka mungkin menjawab
begini atau begitu, namun
Ditengah-tengah wabah “sampar” kesimpulannya selalu yang
yang mengganas, Rieux harus segera mereka ketahui: harus berjuang
mengambil tindakan. Dia telah dengan cara begini atau begitu
menyaksikan bagaimana orang dan jangan bertekuk lutut! Pokok
disekitarnya bersedih, menangis dan persoalannya ialah mencegah
mengerang kesakitan sambil diiringi sebanyak mungkin orang
sentakan dari dalam yang memuntahkan meninggal…”.
cairan darah dari mulut setiap korban.

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


47

Dalam hal ini Rieux tidak bersikap piagam penghargaan! Padahal apa itu
menerima sampar sebagai nasib yang sebenarnya sampar? Itulah hidup!”
harus diterima begitu saja. Sampar (1985:267).
adalah bencana, harus dilawan dan Kesadaran Rieux dalam melawan
ditanggulangi agar tidak sampai meluas penderitaan adalah perlakuan bekerja
keseluruh penjuru kota. Sikap Rieux ini dengan sebaik-baiknya. Walaupun pada
sekaligus sebagai penolakan terhadap akhirnya sampar menghilang, dan semua
sikap Pastor Peneloux. Menurut Pastor orang telah merasakan kegembiraan,
Peneloux, karena dosa-dosa yang Rieux tetap berpikir bahwa penderitaan
dilakukan oleh manusia maka bencana “sampar” tetap dapat terjadi setiap saat.
diturunkan oleh Tuhan. Rieux justru Terhadap kegagalan, sikap Rieux
mengambil perbandingan perbuatan digambarkan dari tidak ditampilkannya ia
anak-anak. Mengapa anak-anak yang tak sebagai “pahlawan” yang telah berhasil
berdosa juga ikut menanggung menumpas sampar dikotanya. Dalam
penderitaan dan bahkan sampai pada setiap peristiwa yang dihadapi selalu
kematian. ditampilkan titik kelemahannya sebagai
Rieux semakin tidak dapat manusia biasa dalam kehidupan. Sebagai
memahami adanya penderitaan akibat manusia biasa yang bertugas sebagai
sampar itu. Tetapi kesaksiannya ia dokter Rieux juga bergelut dengan
melihat anak-anak kecil menemui kekesalan hati dan khayalannya. Ia juga
kematian akibat sampar. Rieux benar- merasakan adanya ketidakberdayaan
benar menolak takdir yang menyiksa semua orang dalam menghadapi sampar,
anak-anak. Ia melawan penderitan “…dalam kesempatan ini mereka sering
dengan mengerjakan tugasnya sebaik melihat jelas kelemahan-kelemahan
mungkin, yakni sebagai seorang dokter mereka sendiri. Kelemahan pertama
yang harus mengutamakan kesehatan yang mereka temukan adalah betapa
manusia. Hal ini dinyatakan dalam kata- sukarnya membayangkan tingka laku
kata sbb: “Keselamatan manusia adalah orang yang kini tidak ada disamping
kata-kata yang terlalu muluk buat saya. mereka” (1985:62).
Tugas saya tidak setinggi itu. Kesehatan Kegagalan yang dialami Rieux
manusialah yang menarik saya. juga terjadi karena keterbatasan yang
Terutama kesehatannya” (1985:187). berasal dari luar dirinya. Hal ini
Dari beberapa pengalaman tergambar pada saat ia mengalami
memperjuangan penderitaan orang- kekurangan tenaga dan kekurangan alat
orang disekitarnya dan sebagai yang digunakan untuk melayani korban
penderitaan dirinya, Rieux menyadari sampar, sbb:
bahwa sampar tidak lebih dari peristiwa “Kami kekurangan alat, katanya.
kehidupan manusia. Sebab, manusia “Di bidang ketentaraan di seluruh
dalam kehidupannya memang tidak akan dunia, kekurangan alat diganti
lepas dari penderitaan, dengan dengan tenaga manusia. Tetapi
ungkapannya sbb: “Ah, itu sampar! Kita kami juga kekurangan orang!”.
mengalami epidemi itu di sini! “Bukankah dari luar sudah
Mendengar mereka itu, seolah-olah berdatangan para dokter dan
mereka mengharapkan medali emas, petugas kesehatan?”. “Betul, kira-

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


48

kira seratus petugas dan sepuluh abstrak bagi Rambert adalah semua
dokter. Kedengarannya banyak. yang berlawanan dengan
Tapi dalam keadaan epidemi kebahagiaannya” (1985: 76).
seperti sekarang hampir tidak Dari ketidakjelasan itu pula,
memadai” (Camus, 1985:130- Rieux semakin merasakan dirinya
131). terasing satu sama lainya. Untuk
melawan ketakutan, kegelisahan dan
Puncak kegagalan Rieux keputusan yang mencekam kotanya ia
tergambar ketika ia melihat nasib anak semakin keras bekerja. Sikap itulah yang
kecil yang gagal dalam melawan sampar. telah menjadi kepastiannya, yaitu
Ketidakberdayaannya melihat anak yang melakukan sesuatu atas pekerjaannya
tak berdosa, tergambar lebih jelas ketika yang baik.
ia membantu menyembuhkan anak “Sambil masih memegang kertas
tersebut tetapi harus kembali itu ia menunggu sebentar, lalu
menemukan kegagalannya. Ia kesal duduk. Pada waktu itu Rieux
bahkan kelelahan menghadapi sampar. mendengar dengungan yang tidak
Dalam kelelahan itu, ia terus berusaha jelas di kota, seolah mendengar
melenyapkan epidemi sampar sebagai siutan sampar. Pada saat itu
halnya pemberontakkan. Gambaran ini pancaindranya menerima segala
sbb: “Ya benar, katanya, “maafkan saya! suatu dari kota yang tergelar
Tetapi kelelahan adalah kegilaan. Ada dikakinya dengan ketajaman luar
saat-saat dimana saya hanya biasa, dari dunia tertutup yang
mempunyai satu perasaan yaitu dibentuk kota, serta teriakan
pemberontakan” (1985:186). mengerikan…” (1985:88-89).
Sebagai manusia Rieux juga
memiliki rasa kesepian dalam Selama berlangsungnya epidemi
menghadapi dan memikirkan hal-hal sampar, Rieux telah dihadapkan dengan
yang tidak dapat dipahami sehingga kematian-kematian yang tak pernah bisa
melahirkan keterasingan perasaan. dihindarkan. Kematian juga harus
Ketakutan penduduk semakin dirasakan dilawan, bukan hanyan diterima begitu
juga. Suatu saat ketika sampar sudah saja. Tidak jarang ia harus menyaksikan
menyerang penduduk, terlihat jelas saat-saat terakhir seseorang menemui
orang-orang menutup jendela, ada kematiannya. Kematian karena penyakit
tangisan, ada ketakutan. Kesan itu yang menyerangnya. Sebagai dokter
menunjukkan adanya keterasingan yang maka dia pun mengingatkan orang lain
terwujud. untuk melawan kematian, yakni
Adanya ketidakjelasan kejadian mengobati sakitnya hingga sembuh atau
yang ada disekitarnya yang menimbulkan terbebas dari penyakitnya.
keresahan dan ketakutan perlu dihadapi “Bagaimanapun …” ulang dokter,
dan dilawan. Gambaran ini terlihat lalu dia masih ragu-ragu, sambil
seperti berikut: “…untuk melawan dunia memandang kepada Tarraou
abstrak, kita harus menyerupainya. penuh perhatian. “Orang seperti
Tetapi bagaimana membuat supaya anda bisa mengerti hal itu
Rambert peka terhadapnya? Dunia bukan?” Karena dunia diatur

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


49

melalui kematian, mungkin lebih lama tanpa perasaan menyesal. Hal ini
baik bagi Tuhan jika orang tidak tergambar dari kutipan berikut:
percaya kepad-Nya, supaya orang “…dikemudian hari akan
berjuang sekuat tenaga melawan menempati pos lain yang
kematian…” (1985: 111). memungkinkannya hidup
berkecukupan. Tentu saja itu
Gambaran yang nyata dari apa bukan ambisi Joseph Grand,
yang disaksikan Rieux, menyatakan katanya sambil tersenyum sedih.
bahwa kematian merupakan sesuatu Tetapi harapan kehidupan
yang sulit diketahui kapan datangnya. material yang sejahtera dengan
Walau sebagai seorang dokter yang telah cara jujur sambil masih
banyak memiliki pengalaman dalam mempunyai waktu mengerjakan
menghadapi pasiennya, Rieux tidak kegemarannya tanpa perasaan
selalu tepat dalam meramalkan keadaan. menyesal, sangat menyenangkan
Dengan semangat dan harapan yang hatinya. Kalaupun ia telah
begitu besar ternyata, ia pun harus menerima pekerjaan itu, adalah
menerima kematian Tarrow temannya karena alasan yang terhormat.
sebagai pengalaman pahitnya. Bisa dikatakan disebabkan oleh
kesetiaan pada cita-cita atau
2. Eksistensi Tokoh Grand ideal” (Camus, 1985:38).
Eksistensi tokoh Grand dalam
“sampar” digambarkan sebagai manusia Kenyataan di atas menegaskan
yang “menang” dalam suatu bahwa dalam menghadapi kehidupannya
pertandingan dan ia adalah tokoh yang yang memprihatinkan (penderitaan),
sederhana. Grand atau Joseph Grand, Grand berusaha membentuk
pegawai rendah dari kantor kotapraja, kepribadiannya agar dapat hidup dengan
adalah representasi dari orang yang baik. Ia merasa tidak bisa melawan
mempunyai perhatian terhadap dengan cara lain yang tidak sesuai
hubungan pribadi. Istri yang dicintainya dengan pola kehidupannya. Kenyataan
telah meninggalkannya dan selalu yang terdapat pada diri Grand
menghantuinya sebagai suatu menunjukkan bahwa ia memiliki status
“kesepian”. Dari pengalamannya itu ia “manusia terbuka” dan hidup dengan
menjadikan dirinya termasuk orang yang kemungkinan-kemungkinan pilihan yang
sabar dan selalu terpanggil untuk menunjukkan kesubjektivitasannya.
menolong sesamanya. Dalam perjuangannya melawan
Adanya penderitaan hidup sampar, Grand telah termasuk
dihadapinya dengan kebesaran hatinya. mengambil peran dengan tepat. Bahkan
Perjuangan melawan penderitaan Grand telah mengesampingkan
merupakan perjuangan melawan dirinya kegemarannya, dengan memusatkan
sendiri. Sebab, Grand merupakan orang tenaga dan pikirannya dalam menangani
yang tidak mengutamakan materi untuk sampar sebagai petugas kesehatan
hidup. Ia sudah merasa cukup hidup sukarela. Perilaku ini terlihat pada kata-
dengan pekerjaan yang ditekuninya sejak kata berikut:

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


50

“Di udara yang padat oleh lebih dari segala-galanya gema


desinfektan dan penyakit itu lembut sebuah lonceng tertentu
sendiri, Grand mengibas- di daerah … Tetapi meskipun
ngibaskan lembaran kertas-kertas begitu, untuk melukiskan
supaya tintanya kering. Pada perasaan yang demikian
waktu demikian ia berusaha sederhana, setiap kata sangat
dengan sungguh-sungguh tidak sukar keluarnya. Akhirnya
memikirkan si wanita kesukaran ini merupakan
penunggang kuda, dan selalu kesusahan hati yang utama bagi
mengerjakan apa yang Grand” (Camus, 1985:40).
seharusnya dikerjakan” (Camus,
1985: 120). Karena kegagalan-kegagalannya
dalam hidup, pada diri Grand tumbuh
Grand telah berhasil menangani (lahir) pula suatu keterasingan. Ia tidak
sampar dengan baik, di luar pekerjaan mampu menuntut hak-haknya agar ia
yang harus diselesaikannya. dapat hidup lebih baik. Keterasingan
Dalam sampar ini Grand sebagai akibat dari perasaan sepi yang
mengalami kegagalan dalam bentuk ada pada diri manusia bersumber pada
penggambarannya sebagai seorang yang kekosongan jiwa. Kesepian dialami
mengalami kesulitan menyampaikan manusia dalam berbagai bentuk rasa
keinginannya. Kegagalan memang yang mengikutinya, seperti rasa jenuh,
merupakan bagian dari kehidupan gelisah dan ketakutan.
manusia, karena manusia selalau Menghadapi keterasingan yang
berhadapan dengan keterbatasannya. “sepi”, Grand melawannya dengan
Sedang, kegagalan bereksistensi mengalihkan perhatiannya pada
merupakan kegagalan manusia untuk kegemaran barunya bekerja sebagai
meng- ada, menjadi dirinya sendiri sukarelawan kesehatan yang
secara utuh. memberantas epidemi sampar. Namun,
Grand gagal dalam mencapai kegemaran barunya inipun mengalami
kehidupan yang berkeseimbangan untuk banyak kesulitan. Ketidakberdayaan yang
diri sendiri dan untuk orang lain, dan ia menimbulkan keterasingan dirinya ini dia
juga telah gagal dalam melukiskan sampaikan pada Rieux dalam kata-kata
sesuatu dalam bentuk tulisan-tulisannya. yang tidak menentu, seperti berikut:
Karena ia selalu mengalami kesulitan “Grand berhenti berjalan, dan
dalam melukiskan apa yang ingin tiba-tiba mencengkram pinggiran
dikemukakan dengan kata-katanya dan baju tempat kancing, dan
hal ini juga merupakan bagian dari menarik Rieux ke arahnya.…”Saya
kesedihannya. Hal ini digambarkan harap anda mengerti, dokter!”
dalam situasi sbb: Jika perlu, memilih antara ‘terapi’
“Dia mengakui bahwa kenangan dan ‘dan’ tidak terlalu sukar. “Ya,
terhadap orang tuanya yang saya mengerti”, kata Rieux. Lalu
meninggal ketika ia masih muda, dia mulai berjalan kembali. Grand
memberinya rasa sedih. Dia tidak kelihatan bingung, …mengejarnya
mengelak bahwa ia menyukai hingga disampingnya.

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


51

“Maafkan saya!” katanya sampar, Cottard lari pada pasaran gelap


tergagap, “saya tidak mengerti dan mengambil keuntungan dari suasana
mengapa saya begini malam ini” itu. Tetapi ketika paa akhirnya wabah
(Camus, 1985:87-88). sampar surut, kota Oran hendak dibuka
kembali, Cottard menjadi binggung dan
Karena pola hidupnya yang akhirnya “gila”. Cottard adalah tokoh
seperti “pertapa”, dalam menghadapi yang mewakili watak egois dan
kematian Grand merasa terbebas. Ia pemanfaat atau orang yang selalu
bebas dari kekhawatiran mati dan mengambil kesempatan dibalik kesulitan
kematian. Namun begitu, ia adalah orang orang lain.
yang tetap manusiawi yang penuh rasa Dalam menghadapi penderitaan
kasih terhadap sesamanya kendati yang diakibatkan sampar, Cottard tidak
nampaknya bodoh dan naif. Dalam termasuk orang yang mengadakan
kelemahannya yang dia sadari itu, Grand “perlawanan”. Sebaliknya, ia tergolong
tetap berusaha bertahan dalam orang yang melepaskan diri dari
menghadapi dunia kehidupan ini. “kungkungan” masalah. Penderitaan
Penegasan ini tergambar sebagai berikut: dihadapinya dengan berusaha bunuh
“…belum pernah diketahui orang mati diri, dia merasa segala penderitaannya
karena kelaparan. Karena cara hidupnya akan berakhir. Kenyataan ini tergambar
yang seperti pertapa, Joseph Grand pada kutipan berikut:
bebas dari kekhawatiran mati karena “Untuk Cottard dibacakan
kelaparan itu… Dan dia masih tetap kesaksian Grand, lalu polisi
sukar menemukan kata-kata untuk bertanya apakah dia bisa
berbicara” (Camus, 1985:39). menjelaskan alasan
perbuatannya. Dia hanya
3. Eksistensi tokoh Cottard menjawab tanpa memandang
Eksistensi yang tergambar dari kepala polisi bahwa “kesedihan
tokoh Cottard, sebagai seorang pasien batin” itu istilah yang paling tepat.
yang pada akhir cerita menjadi “gila”, Polisi mendesak agar Cottard
yang mencari keuntungan tertentu menjawab pertanyaannya:
dibalik epidemi sampar, bahwa dia “apakah ia ingin mengulang
merupakan tokoh yang kalah dalam perbuatannya lagi”. Dengan
pertandingan itu. Sebab, sesuai epidemi penuh semangat Cottard
sampar yang telah menyerang kota Oran, menyahut “tidak” dan ia hanya
Cottard menjadi gila dan ditangkap ingin tidak diganggu-ganggu lagi”
polisi. Walaupun dia telah hidup, dia (Camus, 1985:39).
tetap tidak dapat menikmati hidup dan
kehidupan di dunia ini. Rupanya ia tidak Karena persoalan pribadinya,
siap dengan perubahan itu. Ia merasa Cottard tidak merasa bertanggung jwab
sudah mapan dengan keadaan untuk ikut mengurangi penderitaan
munculnya wabah sampar, bahkan sampar. Sebaliknya ia merasa beruntung
membuatnya sedikit lega. Sebab, orang dengan penderitaan yang dialami
mengalihkan perhatiannya dari dirinya. penduduk yang ada disekitarnya.
Ketika orang dibingungkan oleh penyakit Pernyataan tidak ikut bersama dalam

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


52

sependeritaan ini tergambar seperti berat dibanding dengan yang telah


berikut: dialaminya. Hal ini tergambar jelas pada
“Mengapa anda tidak bergabung catatan kata-kata Tarrau berikut:
dengan kami, tuan Cottard?” “Selama keadaan masih
Nampak tersinggung Cottard memungkinkan, Cottard tidak
bangkit, mengambil topinya yang merasa ngeri. Tetapi karena dia
bulat, katanya: “Itu bukan telah lebih dahulu mengalami
pekerjaan saya!” Lalu dengan semua perasaan dan reaksi itu
suara menantang meneruskan: dari pada penduduk Oran, saya
“Lagi pula, dengan adanya sampar kira dia tidak dapat merasakan
hidup saya senang. Mengapa saya bersama mereka betapa
turut-turut menghentikannya!” kejamnya ketidakpastian”
(Camus, 1985: 137-138). (Camus, 1985:168).
Sikap Cottard dalam penderitaan
sampar yang tidak turut prihatin dengan Dalam kesalahan-kesalahan yang
yang dialami orang lain, terjadi karena terjadi sebagai suatu kegagalan yang
dia telah merasa begitu menderita disadarinya, Cottard masih bersikap tidak
dengan persoalan pribadinya sebelum bisa menerima kenyataan itu. Mungkin
musibah sampar terjadi. Dia ini terjadi karena secara tiba-tiba di luar
memandang, bahwa setiap orang harus tindakannya. Pernyataan ini terlihat dari
menerima dan menghadapi penderitaan sikap Cottard yang lesu:
masing-masing. Hal ini seperti kata- “Cottard kelihatan sangat lesu:
katanya pada Tarrau: penjara, seandainya saya
“Melihat kecemasan itu Cottard beruntung … Tetapi sesaat
kembali percaya akan nasib kemudian, dia menambahkan
baiknya. Tetapi seperti waktu- dengan penuh semangat: Itu satu
waktu yang lalu pula, dia berubah kesalahan. Semua orang berbuat
menjadi putus asa. Katanya kesalahan. Dan saya tidak dapat
kepada Tarrau: “Ya, pintu-pintu menerima bahwa saya ditahan
kota akhirnya akan dibuka. Anda karena kesalahan tersebut:
lihat kelak! Mereka akan tidak dipisahkan dari rumah saya, dari
peduli bagaimana nasib saya!” kebiasan-kebiasaan saya dari
(Camus, 1985:239-240). semua yang saya kenal” (Camus,
1985:138-139).
Menghadapi keterasingan,
Cottard harus bergelut dengan Kegagalan pada diri Cottard
perasaannya sendiri. Dia merasa takut terlihat jelas ketika dia tak mampu
berpisah dengan orang lain daripada menanggung keterbatasan untuk dapat
tawanan seorang diri. Namun seperti bersembunyi dibalik musibah sampar.
halnya orang lain diapun merasa sedih Kenyataan ketika epidemi berakhir
jika terpaksa harus ditawan polisi karena Cottard harus menanggung segala
kesalahannya. Menurut Cottard, tindakannya, dan menjadi gila.
ketakutan dan penderitaan yang dialami Kematian pada diri Cottard
orang disekitarnya dirasakan kurang merupakan gambaran kegagalan dan

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


53

putus asa. Peristiwa bunuh diri yang Dalam eksistensi tokoh “sampar”
pernah dilakukan merupakan kesadaran ini tidak ada yang menjadi “pahlawan”.
akan adanya kepastian akhir suatu Dan seperti diungkapkan pada awal
kehidupan. Namun, dengan bunuh diri analisis bahwa hal ini analog dengan
berarti kehidupan diakhiri secara nista suatu “pertandingan”, yakni ada tokoh
dan tidak abadi. Hanya karena menjadi yang kalah bertanding, yakni Cottard dan
buronan Polisi, dia menjadi cemas dan ada tokoh yang menang dalam
memilih kematian. pertandingan, yakni Rieux dan Grand.
Kegagalan dalam hidup yang Dalam perjalanan eksistensialismenya
diakhiri dengan “membunuh diri” ketiga tokoh telah menemukan
pertanda dia (Cottard) tidak mampu keabsurditasan dalam bentuk
menerima hikmah perbuatannya. penderitaan, kegagalan, keterasingan
Namun, sejak percobaan yang “tak dan kematian. Namun, adanya
berhasil” itu dia mulai eksis kembali pada keabsurditasan dalam “Sampar” telah
diri dan lingkungannya. Perubahan sikap dihadapi dengan kekuatan
ini tergambar pada ucapan Grand eksistensialisme tokoh-tokohnya.
berikut: Sehingga hal yang tidak masuk akal
“Sejak percobaan bunuh diri itu (irrasional) dapat dilawan dengan nilai-
Cottard tidak lagi menerima satu nilai moralitas manusia yang
kunjungan pun. Di jalan-jalan, di bereksistensi, yakni yang memandang
tempat langganan, dia mencari sesuatu dengan pikiran rasional dan
simpatik sebanyak-banyaknya. menempatkan diri sebagai
Belum pernah orang berbicara “keberadaan”.
kepada pemilik-pemilik toko
makanan sehalus Cottard, atau DAFTAR PUSTAKA
mendengarkan obrolan penjual
rokok dengan penuh perhatian” Bernes, Hazel E. 1959. Humanistic
(Camus, 1985:47). existensialisme The Literature of
Posibbility. USA: Univ. of
D. Kesimpulan Nebraska Press Lincoln.
Berdasarkan analisis
eksitensialisme ketiga tokoh yang Bertens, K. 1987. Filsuf-Filsuf Besar
“absurd” dalam perjuangannya Tentang Manusia. Jakarta:
menghadapi “keabsurditasan”, maka Gramedia.
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
“eksistensialisme” tampak pada masing- Bertens, K. 1987. Fenomenology
masing tokoh (Rieux, Grand, dan Eksistensial. Jakarta: Gramedia.
Cottard) dalam menghadapi absurditas.
Ketiga tokoh tetap hidup hingga akhir Camus, Albert. 1985. Sampar.
cerita, tetapi khusus pada Cottard, ia (Terjemahan, Nh. Dini). Jakarta:
menemukan kesulitan dalam kehidupan Yayasan Obor Indonesia.
selanjutnya, yakni digambarkan menjadi
gila sedangkan Rieux dan Grand dapat Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat.
mencari kehidupan yang lebih baik. Jakarta: Pembangunan.

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015


54

Sudjiman, Panuti (Ed). 1984. Kamus


------------. 1990. Filsafat Manusia. Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Jakarta: Kanisisus.
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam
Eddy, Nyoman Tusthi. 1991. Kamus Perspektif Moral, Sosial, dan
Isitlah Sastra Indonesia. Ende: Politik. Jakarta: Gramedia.
Nusa Indah.
Welek, Rene & Austin Waren. 1993. Teori
Hammallian, Leo & Karl Fredrick R. 1967. Kesusastraan. Jakarta Gramedia.
The shape of Fiction. New York:
Hill Book Company. Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab
Pengetahuan:
Hamersma, Harry. 1985. Filsafat Mempertimbangkan
Eksistensi Karl Jaspers. Jakarta: Epistemologi secara kultural.
Gramedia. Yogyakarta: Kanisius.

Hasan, Fuad. 1985. Berkemah dengan


Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka
Jaya.

Koesworo, E. 1987. Psikologi


Eksistensialisme: Suatu
Pengantar. Bandung: Eresco.

Mintargo, Bambang S. 2000. Tinjauan


Manusia dan Nilai Budaya.
Jakarta: Penerbit Universitas
Trisankti.

Poedjawiatna, I.R. 1983. Manusia


Dengan Alamnya (Filsafat
Manusia). Jakarat: Bina Aksara.

Saad, M. Saleh. 1967. “Catatan Kecil


Sekitar Penelitian Kesusastraan”
dalam Lukman Ali (ed). Bahasa
dan Kesusastraan Indonesia
Sebagai Cermin Manusia
Indonesia Baru. Jakarta: Gunung
Agung.

Sastrapratedja, M. 1982. Manusia Multi


Dimensional. Jakarta: Gramedia.

Prosiding Seminar NasionalBulan Bahasa UNIB 2015

Anda mungkin juga menyukai