Artikel Absurditas
Artikel Absurditas
Didi Yulistio
FKIP Universitas Bengkulu
ABSTRAK
Menelaah atau studi terhadap karya sastra berarti menggali nilai-nilai dari karya
kreatif itu sebagai suatu ilmu pengetahuan. Salah satu karya sastra yang
mengandung banyak nilai kreatif itu adalah novel Sampar karya Albert Camus,
yang membahas mengenai absurditas eksistensialisme. Untuk itulah maka tulisan
ini dimaksudkan guna melihat kandungan nilai eksistensialisme manusia yang
“absurd” pada novel “Sampar” karya pengarang legendaris ini. Karya sastra
absurdsendiri adalah karya sastra yang tidak masuk akal, susah diduga dalam
memainkan tokoh-tokohnya karena pandangan, pemikiran atau gaya
pengarangnya. Pembahasan terfokus pada tiga tokoh utama yaitu Bernard Rieux,
Joseph Grand, dan Cottard dan bagaimana mereka menghadapi absurditas.
Berdasarkan kesimpulan diketahui bahwa dalam eksistensi tokoh “sampar” ini tidak
ada yang menjadi “pahlawan”. Seperti diungkapkan pada awal analisis bahwa hal
ini analog dengan suatu “pertandingan”, yakni ada tokoh yang kalah bertanding,
yakni Cottard dan ada tokoh yang menang dalam pertandingan, yakni Rieux dan
Grand. Dalam perjalanan eksistensialismenya ketiga tokoh telah menemukan
keabsurditasan dalam bentuk penderitaan, kegagalan, keterasingan dan kematian.
modern. Clara Reeve (dalam Wellek, absurd. Karya sastra absurd adalah karya
1993) menyebutkan bahwa novel sastra yang tidak masuk akal, susah
merupakan gambaran dari kehidupan diduga dalam memainkan tokoh-
dan perilaku nyata dari zamannya pada tokohnya karena pandangan, pemikiran
waktu novel itu ditulis. Novel cenderung atau gaya pengarangnya.
bersifat realistis, digali dari fakta-fakta Pandangan filosofis tentang
bernilai tinggi dan nilai ekstrinsik, seperti absurdisme merupakan bagian dari
psikologi dan filsafat yang mendalam. filsafat eksistensialisme. Absurditas
Wellek lebih lanjut menegaskan merupakan bentukan dari kata absurd
bahwa para kritikus dalam menganalisis yang artinya mustahil, tidak masuk akal.
novel secara instrinsik lebih menekankan Heinemenn (dalam Sastrapratedja, 1982)
pada tiga unsur pembentuk yang salah bahwa absurditas dapat dipahami
satunya adalah penokohan. Sukada sebagai persoalan hidup manusia yang
(1987) mempertegas bahwa dalam berada dibawah kesadaran atau muncul
menganalisis unsur instrinsik tidak dapat pada alam ketidaksadaran tentang ada.
dipisahkan dari unsur ekstrinsiknya. Oleh Sartre (dalam Hasan, 1987:103)
karena itu, sebenarnya unsur filosofis – memaknai eksistensi pada manusia,
sebagai unsur ekstrinsik – dalam karya bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri
novel “sampar” dapat dikaji melalui secara subjektivitas. Jadi, eksistensi
unsur tokok atau penokohan sebagai manusia merupakan sikap filosofis
unsur yang membangun secara instrinsik realitas diri (bagaimana manusia
dalam suatu rangkaian cerita. menjadikan dirinya) yang memandang
Novel “Sampar” terjemahan Nh. dirinya secara subjektivitas dan
Dini (1985), dengan judul aslinya “La idealisme. Idealisme maksudnya melihat
Peste” karya Albert Camus (1947) diri secara sadar, sebagai keseluruhan
merupakan novel yang menempati diri manusia.
kedudukan istimewa di antara novel- Berkaitan dengan eksistensi
novel lain pada masanya. Menurut absurditas tokoh dalam novel “Sampar”
Sindhunata dan Sudiardja (dalam tersebut, berarti banyak tokoh yang
Sastrapratedja, 1982:15) bahwa selain secara filosofis memiliki perilaku dalam
sebagai novel yang terlaris pada masa alam bawah sadar atau tidak masuk akal.
itu, novel “Sampar” (La Peste) Hal ini bertentangan dengan kehidupan
merupakan novel Camus yang paling nyata, bahwa pada dasarnya eksistensi
merumuskan pemikirannya yang manusia secara filosofis harus mengikuti
terakhir. Menurutnya, pandangan- tatanan nilai-nilai yang rasional dan
pandangan Camus menjiwai novel dapat dipahami tentang “dunianya”.
“Sampar” ini seperti halnya pada Filsafat eksistensi melihat manusia
novelnya yang pertama L’Etranger secara keseluruhan diri, pikiran dan
(Orang asing) yang mengungkapkan kesadarannya. Bahkan pemikiran filosofis
absurditas dunia, relativitas cinta, eksistensialis didasarkan pada unsur
keterasingan, penderitaan dan kematian subjektivitas dan kebebasan tentang cara
manusia. Artinya, pada karya inilah manusia berada di dunia. Hal ini sesuai
eksistensi Camus tersalurkan dan mulai dengan pandangan Drijarkara (1978)
dikenal sebagai seorang yang cenderung bahwa eksistensi ialah cara khusus untuk
Dalam hal ini Rieux tidak bersikap piagam penghargaan! Padahal apa itu
menerima sampar sebagai nasib yang sebenarnya sampar? Itulah hidup!”
harus diterima begitu saja. Sampar (1985:267).
adalah bencana, harus dilawan dan Kesadaran Rieux dalam melawan
ditanggulangi agar tidak sampai meluas penderitaan adalah perlakuan bekerja
keseluruh penjuru kota. Sikap Rieux ini dengan sebaik-baiknya. Walaupun pada
sekaligus sebagai penolakan terhadap akhirnya sampar menghilang, dan semua
sikap Pastor Peneloux. Menurut Pastor orang telah merasakan kegembiraan,
Peneloux, karena dosa-dosa yang Rieux tetap berpikir bahwa penderitaan
dilakukan oleh manusia maka bencana “sampar” tetap dapat terjadi setiap saat.
diturunkan oleh Tuhan. Rieux justru Terhadap kegagalan, sikap Rieux
mengambil perbandingan perbuatan digambarkan dari tidak ditampilkannya ia
anak-anak. Mengapa anak-anak yang tak sebagai “pahlawan” yang telah berhasil
berdosa juga ikut menanggung menumpas sampar dikotanya. Dalam
penderitaan dan bahkan sampai pada setiap peristiwa yang dihadapi selalu
kematian. ditampilkan titik kelemahannya sebagai
Rieux semakin tidak dapat manusia biasa dalam kehidupan. Sebagai
memahami adanya penderitaan akibat manusia biasa yang bertugas sebagai
sampar itu. Tetapi kesaksiannya ia dokter Rieux juga bergelut dengan
melihat anak-anak kecil menemui kekesalan hati dan khayalannya. Ia juga
kematian akibat sampar. Rieux benar- merasakan adanya ketidakberdayaan
benar menolak takdir yang menyiksa semua orang dalam menghadapi sampar,
anak-anak. Ia melawan penderitan “…dalam kesempatan ini mereka sering
dengan mengerjakan tugasnya sebaik melihat jelas kelemahan-kelemahan
mungkin, yakni sebagai seorang dokter mereka sendiri. Kelemahan pertama
yang harus mengutamakan kesehatan yang mereka temukan adalah betapa
manusia. Hal ini dinyatakan dalam kata- sukarnya membayangkan tingka laku
kata sbb: “Keselamatan manusia adalah orang yang kini tidak ada disamping
kata-kata yang terlalu muluk buat saya. mereka” (1985:62).
Tugas saya tidak setinggi itu. Kesehatan Kegagalan yang dialami Rieux
manusialah yang menarik saya. juga terjadi karena keterbatasan yang
Terutama kesehatannya” (1985:187). berasal dari luar dirinya. Hal ini
Dari beberapa pengalaman tergambar pada saat ia mengalami
memperjuangan penderitaan orang- kekurangan tenaga dan kekurangan alat
orang disekitarnya dan sebagai yang digunakan untuk melayani korban
penderitaan dirinya, Rieux menyadari sampar, sbb:
bahwa sampar tidak lebih dari peristiwa “Kami kekurangan alat, katanya.
kehidupan manusia. Sebab, manusia “Di bidang ketentaraan di seluruh
dalam kehidupannya memang tidak akan dunia, kekurangan alat diganti
lepas dari penderitaan, dengan dengan tenaga manusia. Tetapi
ungkapannya sbb: “Ah, itu sampar! Kita kami juga kekurangan orang!”.
mengalami epidemi itu di sini! “Bukankah dari luar sudah
Mendengar mereka itu, seolah-olah berdatangan para dokter dan
mereka mengharapkan medali emas, petugas kesehatan?”. “Betul, kira-
kira seratus petugas dan sepuluh abstrak bagi Rambert adalah semua
dokter. Kedengarannya banyak. yang berlawanan dengan
Tapi dalam keadaan epidemi kebahagiaannya” (1985: 76).
seperti sekarang hampir tidak Dari ketidakjelasan itu pula,
memadai” (Camus, 1985:130- Rieux semakin merasakan dirinya
131). terasing satu sama lainya. Untuk
melawan ketakutan, kegelisahan dan
Puncak kegagalan Rieux keputusan yang mencekam kotanya ia
tergambar ketika ia melihat nasib anak semakin keras bekerja. Sikap itulah yang
kecil yang gagal dalam melawan sampar. telah menjadi kepastiannya, yaitu
Ketidakberdayaannya melihat anak yang melakukan sesuatu atas pekerjaannya
tak berdosa, tergambar lebih jelas ketika yang baik.
ia membantu menyembuhkan anak “Sambil masih memegang kertas
tersebut tetapi harus kembali itu ia menunggu sebentar, lalu
menemukan kegagalannya. Ia kesal duduk. Pada waktu itu Rieux
bahkan kelelahan menghadapi sampar. mendengar dengungan yang tidak
Dalam kelelahan itu, ia terus berusaha jelas di kota, seolah mendengar
melenyapkan epidemi sampar sebagai siutan sampar. Pada saat itu
halnya pemberontakkan. Gambaran ini pancaindranya menerima segala
sbb: “Ya benar, katanya, “maafkan saya! suatu dari kota yang tergelar
Tetapi kelelahan adalah kegilaan. Ada dikakinya dengan ketajaman luar
saat-saat dimana saya hanya biasa, dari dunia tertutup yang
mempunyai satu perasaan yaitu dibentuk kota, serta teriakan
pemberontakan” (1985:186). mengerikan…” (1985:88-89).
Sebagai manusia Rieux juga
memiliki rasa kesepian dalam Selama berlangsungnya epidemi
menghadapi dan memikirkan hal-hal sampar, Rieux telah dihadapkan dengan
yang tidak dapat dipahami sehingga kematian-kematian yang tak pernah bisa
melahirkan keterasingan perasaan. dihindarkan. Kematian juga harus
Ketakutan penduduk semakin dirasakan dilawan, bukan hanyan diterima begitu
juga. Suatu saat ketika sampar sudah saja. Tidak jarang ia harus menyaksikan
menyerang penduduk, terlihat jelas saat-saat terakhir seseorang menemui
orang-orang menutup jendela, ada kematiannya. Kematian karena penyakit
tangisan, ada ketakutan. Kesan itu yang menyerangnya. Sebagai dokter
menunjukkan adanya keterasingan yang maka dia pun mengingatkan orang lain
terwujud. untuk melawan kematian, yakni
Adanya ketidakjelasan kejadian mengobati sakitnya hingga sembuh atau
yang ada disekitarnya yang menimbulkan terbebas dari penyakitnya.
keresahan dan ketakutan perlu dihadapi “Bagaimanapun …” ulang dokter,
dan dilawan. Gambaran ini terlihat lalu dia masih ragu-ragu, sambil
seperti berikut: “…untuk melawan dunia memandang kepada Tarraou
abstrak, kita harus menyerupainya. penuh perhatian. “Orang seperti
Tetapi bagaimana membuat supaya anda bisa mengerti hal itu
Rambert peka terhadapnya? Dunia bukan?” Karena dunia diatur
melalui kematian, mungkin lebih lama tanpa perasaan menyesal. Hal ini
baik bagi Tuhan jika orang tidak tergambar dari kutipan berikut:
percaya kepad-Nya, supaya orang “…dikemudian hari akan
berjuang sekuat tenaga melawan menempati pos lain yang
kematian…” (1985: 111). memungkinkannya hidup
berkecukupan. Tentu saja itu
Gambaran yang nyata dari apa bukan ambisi Joseph Grand,
yang disaksikan Rieux, menyatakan katanya sambil tersenyum sedih.
bahwa kematian merupakan sesuatu Tetapi harapan kehidupan
yang sulit diketahui kapan datangnya. material yang sejahtera dengan
Walau sebagai seorang dokter yang telah cara jujur sambil masih
banyak memiliki pengalaman dalam mempunyai waktu mengerjakan
menghadapi pasiennya, Rieux tidak kegemarannya tanpa perasaan
selalu tepat dalam meramalkan keadaan. menyesal, sangat menyenangkan
Dengan semangat dan harapan yang hatinya. Kalaupun ia telah
begitu besar ternyata, ia pun harus menerima pekerjaan itu, adalah
menerima kematian Tarrow temannya karena alasan yang terhormat.
sebagai pengalaman pahitnya. Bisa dikatakan disebabkan oleh
kesetiaan pada cita-cita atau
2. Eksistensi Tokoh Grand ideal” (Camus, 1985:38).
Eksistensi tokoh Grand dalam
“sampar” digambarkan sebagai manusia Kenyataan di atas menegaskan
yang “menang” dalam suatu bahwa dalam menghadapi kehidupannya
pertandingan dan ia adalah tokoh yang yang memprihatinkan (penderitaan),
sederhana. Grand atau Joseph Grand, Grand berusaha membentuk
pegawai rendah dari kantor kotapraja, kepribadiannya agar dapat hidup dengan
adalah representasi dari orang yang baik. Ia merasa tidak bisa melawan
mempunyai perhatian terhadap dengan cara lain yang tidak sesuai
hubungan pribadi. Istri yang dicintainya dengan pola kehidupannya. Kenyataan
telah meninggalkannya dan selalu yang terdapat pada diri Grand
menghantuinya sebagai suatu menunjukkan bahwa ia memiliki status
“kesepian”. Dari pengalamannya itu ia “manusia terbuka” dan hidup dengan
menjadikan dirinya termasuk orang yang kemungkinan-kemungkinan pilihan yang
sabar dan selalu terpanggil untuk menunjukkan kesubjektivitasannya.
menolong sesamanya. Dalam perjuangannya melawan
Adanya penderitaan hidup sampar, Grand telah termasuk
dihadapinya dengan kebesaran hatinya. mengambil peran dengan tepat. Bahkan
Perjuangan melawan penderitaan Grand telah mengesampingkan
merupakan perjuangan melawan dirinya kegemarannya, dengan memusatkan
sendiri. Sebab, Grand merupakan orang tenaga dan pikirannya dalam menangani
yang tidak mengutamakan materi untuk sampar sebagai petugas kesehatan
hidup. Ia sudah merasa cukup hidup sukarela. Perilaku ini terlihat pada kata-
dengan pekerjaan yang ditekuninya sejak kata berikut:
putus asa. Peristiwa bunuh diri yang Dalam eksistensi tokoh “sampar”
pernah dilakukan merupakan kesadaran ini tidak ada yang menjadi “pahlawan”.
akan adanya kepastian akhir suatu Dan seperti diungkapkan pada awal
kehidupan. Namun, dengan bunuh diri analisis bahwa hal ini analog dengan
berarti kehidupan diakhiri secara nista suatu “pertandingan”, yakni ada tokoh
dan tidak abadi. Hanya karena menjadi yang kalah bertanding, yakni Cottard dan
buronan Polisi, dia menjadi cemas dan ada tokoh yang menang dalam
memilih kematian. pertandingan, yakni Rieux dan Grand.
Kegagalan dalam hidup yang Dalam perjalanan eksistensialismenya
diakhiri dengan “membunuh diri” ketiga tokoh telah menemukan
pertanda dia (Cottard) tidak mampu keabsurditasan dalam bentuk
menerima hikmah perbuatannya. penderitaan, kegagalan, keterasingan
Namun, sejak percobaan yang “tak dan kematian. Namun, adanya
berhasil” itu dia mulai eksis kembali pada keabsurditasan dalam “Sampar” telah
diri dan lingkungannya. Perubahan sikap dihadapi dengan kekuatan
ini tergambar pada ucapan Grand eksistensialisme tokoh-tokohnya.
berikut: Sehingga hal yang tidak masuk akal
“Sejak percobaan bunuh diri itu (irrasional) dapat dilawan dengan nilai-
Cottard tidak lagi menerima satu nilai moralitas manusia yang
kunjungan pun. Di jalan-jalan, di bereksistensi, yakni yang memandang
tempat langganan, dia mencari sesuatu dengan pikiran rasional dan
simpatik sebanyak-banyaknya. menempatkan diri sebagai
Belum pernah orang berbicara “keberadaan”.
kepada pemilik-pemilik toko
makanan sehalus Cottard, atau DAFTAR PUSTAKA
mendengarkan obrolan penjual
rokok dengan penuh perhatian” Bernes, Hazel E. 1959. Humanistic
(Camus, 1985:47). existensialisme The Literature of
Posibbility. USA: Univ. of
D. Kesimpulan Nebraska Press Lincoln.
Berdasarkan analisis
eksitensialisme ketiga tokoh yang Bertens, K. 1987. Filsuf-Filsuf Besar
“absurd” dalam perjuangannya Tentang Manusia. Jakarta:
menghadapi “keabsurditasan”, maka Gramedia.
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
“eksistensialisme” tampak pada masing- Bertens, K. 1987. Fenomenology
masing tokoh (Rieux, Grand, dan Eksistensial. Jakarta: Gramedia.
Cottard) dalam menghadapi absurditas.
Ketiga tokoh tetap hidup hingga akhir Camus, Albert. 1985. Sampar.
cerita, tetapi khusus pada Cottard, ia (Terjemahan, Nh. Dini). Jakarta:
menemukan kesulitan dalam kehidupan Yayasan Obor Indonesia.
selanjutnya, yakni digambarkan menjadi
gila sedangkan Rieux dan Grand dapat Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat.
mencari kehidupan yang lebih baik. Jakarta: Pembangunan.