Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM


Disusun untuk Memenuhi  Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum Islam

Disusun oleh: KELOMPOK 2
1.      RIZQIAH MARDIANAH KOBANDAHA
2.      FENTIYARA F ALAMRI
3.      DESY RAHMAWATI
4.      AAN SETIAWAN PUPUTO
5.      HAFIRUDDIN

HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum pada intinya merupakan suatu aturan yang mengikat pada tiap diri seseorang
sebagai kontrol, dan dengan kontrol itu diharapkan seseorang tidak akan melakukan perbuatan
yang melanggar batas dan nantinya akan merugikan orang lain. Dalam hal ini yang menjadi
persoalan dasar adalah hukum yang pernah diterapkan dalam sebuah masyarakat itu beragam.
Kita ambil contoh saja hukum Islam dan hukum positif yang mana keduanya sama-sama
mengikat. Dan tentu prinsip dari masing-masing hukum itu berbeda pula. Hukum positif tidak
diperbolehkan menembus pada aspek privat, yakni hal-hal yang tidak berimplikasi pada publik.
Sedangkan hukum Islam sebaliknya, yakni mengatur hal-hal yang demikian. Misalkan, setiap
orang Islam harus melaksanakan sholat fardhu. Tentu apabila ada orang yang tidak
melaksanakannya tidak akan dihukum melalui pengadilan sebagai lembaga eksekusi hukum
positif.
Menanggapi dari pendahuluan tadi, pemakalah akan mengulas bagaimana sebenarnya
karakteristik dari hukum Islam yang membedakan dengan hukum lainnya itu, mengapa hukum
Islam mengatur sampai pada aspek moral pada setiap insan. Padahal hukum positif tidak
mengikat sampai hal yang sekecil itu.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa sajakah karakteristik hukum Islam ?

C.    Tujuan
1. Untuk mengetahui apa sajakah karakteristik hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

Hukum islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua ummat yang beragama islam, artinya karakteristik dari hukum islam adalah mutlak
berdasarkan dari Wahyu Allah dan Rasul-Nya berbeda dengan karakteristik hukum yang lain
yang kadang berdasarkan pada hawa nafsu belaka.
Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam
memiliki beberapa karakteristik tertentu. Diantaranya:
1.      Rabbaniyah (Ketuhanan)
Syariat Islam adalah syariat yang Rabbani, artinya Allah-lah yang mengatur perjalanan hidup
dan kehidupan manusia, agar dapat membina hubungan antar individu maupun jamaah diatas
landasan yang kokoh, jauh dari kekerdilan, ekstrimitas, hawa nafsu dan pertentangan manusia.
Dan Syariat Islam ini adalah syariat tunggal yang memiliki keistimewaan dibanding dengan
syariat lain, yang berasaskan wahyu Allah dan kalimat-kalimat-Nya, yang terjaga dari kesalahan
dan kedzaliman. Oleh karena dalam Islam bahwa musyarri (yang meletakkan syariat) adalah
Allah SWT. Karena itu, maka Allah jualah yang berhak memerintah, melarang, menghalalkan,
mengharamkan dan memberikan kewajiban. Selain-Nya tidak diizinkan menyusun syariat,
asalkan tidak tertera dalam nash dan tidak bertentangan dengan nash. Yang diberi hak untuk
menyusun syariat yang demikian adalah seorang mujtahid atau mustanbith (pengambil hukum)
atau yang melakukan kompilasi hukum. jadi dia bukan pembuat dan peletak syariat. Bahkan
Rasul SAW sendiri bukan pembuat dan peletak syariat, beliau hanyalah penyampai syariat yang
harus ditaati karena apa yang diperintahkan Rasul juga merupakan Perintah Allah juga.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Nisa’ : 80

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah.”


Maka, hukum syar’i yang mencakup wajib, sunnah, haram, makruh, mubah adalah milik
Allah bukan milik seseorang selain-Nya. Oleh karena itulah maka Ulama Ushul Fiqh
menta’rifkan hukum syar’i sebagai berikut :
“Kalam Allah yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan mukallaf (yang melakukan
hukum) sebagai tuntutan (keharusan) atau pilihan. Tuntutan disitu berupa tuntutan keharusan
agar dikerjakan yang berupa wajib dan sunnah, atau tuntutan untuk ditinggalkan berupa haram
dan makruh. Sebagaimana yang dimaksudkan dengan pilihan (ikhtiyar) tadi, adalah mubah,
dimana sang mukallaf diberi pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan.”[1] Maka yang
memberikan taklif (amanat hukum) adalah Allah SWT.
2.      Sempurna
Sempurna artinya utuh, lengkap segalanya. Kesempurnaan hukum Islam (syariat) dapat
dilihat dengan diturunkannya syariat Islam dalam bentuk yang umum dan mengglobal
permasalahannya, kecuali hal-hal yang bersifat langgeng, nash memuat prinsip-prinsip hukum
terperinci, konkret dan teknis. Misalnya masalah peribadatan.[2]
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut hukum Islam dapat benar-benar
menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di semua tempat dan setiap saat. Setiap saat
umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan Al-Qur’an,
sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan Al-Qur’an tentang hukum dalam bentuk yang global dan simple itu dimaksudkan
untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi
dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat berlaku
sepanjang masa.[3]
3.      Elastis
Karakteristik hukum Islam yang kedua yakni elastis (mudah diubah bentuknya, dan mudah
kembali ke bentuk asal, lentur dan luwes). Keelastisannya mencakup di segala bidang kehidupan
manusia baik jasmani dan rohani, baik mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun
hubungan interaksi sesama manusia. Juga tuntunan mengenai kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat.
Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang mu’amalah, ibadah,
jinayah, siyasah dan di bidang-bidang lainnya. Namun,  segala aturan yang diatur oleh hukum
Islam itu tidak berarti pula menjadikannya memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa.[4] Ia
hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh umat manusia.
Dengan demikian, yang diharapkan dari umat Islam adalah tumbuh dan berkembangnya
proses ijtihad. Hak ijtihad ini diberikan kepada setiap muslim yang mampu berijtihad dan
berpedoman kepada dasar-dasar kaidah yang telah ditetapkan. Ijtihad bukan hanya hak imam-
imam mujtahid, seperti Al-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal. Ia juga
merupakan hak setiap Muslim yang dituntut untuk terus berusaha meningkatkan kualitas dirinya
untuk mencapai ke jenjang mujtahid.[5]Adanya proses ijtihad ini mengindikasikan bahwa hukum
Islam ini bersifat elastis.
4.      Universal (syumul)
Universal berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia), bersifat
(melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum Islam itu tidak dibatasi oleh lautan maupun
batasan suatu negara. Ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

  “Dan kami ( Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menadi rahmat untuk
sekalian alam.” (QS Al-Anbiya’ : 107)

  “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
Mengetahui.”
Kedua ayat Al-Qur’an di atas menyatakan bahwa syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW bukanlah dikhususkan untuk orang Arab saja, namun berlaku bagi seluruh umat manusia
yang ada di seluruh dunia.
Dapat kita lihatpada periode Makkah, dimana Nabi Muhammad SAW masih memfokuskan
dakwahnya mengenai tauhid pada khususnya dan akidah pada umumnya, ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan pada waktu itu semuanya memakai kata panggilan Ya Ayyuha al-Nas (wahai
manusia), kata ini untuk panggilan bagi semua manusia dan di mana saja manusia itu berada.
Sebagai contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 170 yang diturunkan di Makkah :
  “Wahai manusia, Sesungguhnya Telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, Itulah yang lebih baik bagimu.
dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) Karena
Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. dan adalah Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Namun, pada umumnya mengenai hukum-hukum terutama mengenai ibadah hanya
dikhususkan bagi kaum Muslimin saja, dapat dilihat dari seruannya dengan mempergunakan
panggilan ya ayyuhallazina amanu (wahai orang-orang yang beriman) sebagaimana banyak
terdapat di dalam Al-Qur’an.[6]
Kesyumulan syariat Islam mencakup :
1. Masalah individu (al-ahwal al-syahshiyyah), yakni masalah keluarga, pernikahan,
talaq,nafaqah,penyusuan,warisan,penguasaan terhadap diri dan harta dan lain-lain.
2. Masalah moneter dan perdagangan, yakni masalah tukar-menukar harta benda maupun
kepentingan lainnya dengan imbalan maupun tanpa imbalan, jual beli, persewaan, peminjaman,
hutang-hutang, gadai, wesel, jaminan, asuransi, dan lain-lain.
3. Masalah pidana dan perdata, yakni masalah kriminalitas dan kadar hukumannnya, seperti
hudud, qishash, dan orang yang lalai cukup dengan mengasingkannya.
4. Masalah yang kita kenal dengan undang-undang manajerial atau administrasi dan
ekonomi, yakni tentang kewajiban pemerintahan dan komunikasi keduanya seperti yang banyak
diungkap dalam literatur Politik Islam dan perpajakan dan hukum-hukum pemerintahan
(kekuasaan) dalam Fiqih Islam.
5. Masalah Undang-undang Kenegaraan, yakni tentang hubungan antar Negara, baik ketika
damai atau pada saat perang antara kaum muslimin dengan selain mereka. Dalam Fiqih Islam
banyak dibahas dalam kitab sarah dan jihad.[7]
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa hukum Islam berbeda dibandingkan hukum yang
diproduk oleh Agama lain, yahudi, Nasrani, Hindu atau Budha dan lain-lain. Dimana Agama
Islam adalah agama yang bersifat universal dengan wataknya sendiri, dengan khithab yang ada
dalam Al-Qur’an “Ya ayyuhannas” (wahai manusia) disebut 28 kali, annas  disebut 249 kali
dan insan disebut 61 kali.[8]
5.      Dinamis
Didalam kamus besar bahasa Indonesia di jelaskan makna dari kata dinamis adalah penuh
semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dalam keadaan.
Kedinamisan hukum islam terletak pada dasar-dasar yang menjadi dasar dan tiang pokok
bagi hukum, manusia tidak dapat diperintah jika perintah itu tidak menawan hatinya, atau
mempunyai daya dinamika. Syari’at islam dapat menarik manusia dengan amat cepat dan
manusia dapat menerimanya dengan ketetapan hati, karena islam menghadapkan
pembicaraannya kepada akar dan mendesak manusia bergerak, berusaha serta memenehi
kehendak yang fitrah yang sejahtera, sebagaimana hukum islam menuju kepada toleransi,
persamaan, kemerdekaan, menyuruh untuk berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Ada beberapa sendi-sendi dari kedinamisan hukum islam yaitu :
a. Meniadakan kepicikan
Pengaturan undang-undang Islam ditetapkan dengan memperhatikan kemudahan dan
menjauhkan kesukaran, segala hukum Islam berada dalam keadaan dapat dilaksanakan oleh
manusia. Maka dari itu bila suatu hukum itu dirasa berat dilaksanakan oleh manusia, maka dari
itu diadakanlah hukum rukhsoh  untuk menghindari kesukaran tersebut.
b. Mensyariatkan hukum dengan cara berangsur-angsur
c. Memperhatikan kemmaslahatan manusia
d. Mewujudkan keadilan yang sejahtera
Manusia di hadapan hukum Islam adalah sama, tidaklah menjadi kekurangan dan menjadi
kelebihan lantaran keturunannya, kekayaannya, kedudukan atau kebangsaannya.[9]
6.      Sistematis
Syariat Islam bersifat sistematis artinya ia mewujudkan sejumlah doktrinnya bertalian dan
berhubungan diantara satu dengan lainnya secara logis. Beberapa lembaganya saling
berhubungan satu dengan lainnya.
Perintah sholat di dalam Al-Qur’an selalu diiringi dengan perintah menunaikan zakat.
Perintah untuk makan dan minum, diiringi dengan kalimat : “Tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Demikian pula dengan lembaganya, pengadilan dalam Islam tidak akan memberikan hukum
potong tangan bagi pencuri bila keadaan masyarakat sedang kacau dan terjadi kelaparan, tidak
akan memberikan hukuman rajam bagi pezina dan kebiasaan berpakaian yang belum diterapkan
sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam itu sendiri.
Hukum Islam dengan lembaganya dengan demikian saling berhubungan satu sama lainnya.
Hukum Islam tidak akan bisa dilaksanakan apabila diterapkan sebagian dan ditinggalkan
sebagian lainnya.[10]
7.      Hukum Islam Bersifat Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Sebagaimana kita ketahui, syariah Islam mencakup bidang mu’amalah dan bidang ibadah.
Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi atau ghairu ma’qulat al-
ma’na (irrasional), artinya manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah
disyari’atkan.[11]
Contohnya, sewaktu Umar melaksanakan haji bersama Rasulullah, Rasulullah mencium batu
“hajar aswad”, melihat hal itu berucaplah Umar ra. “Kamu hanyalah sebuah batu, jika aku tidak
melihat  Rasulullah menciummu, niscaya tidak akan aku lakukan hal ini.”
Selanjutnya dalam bidang mua’malah terkandung nilai-nilai ta’aqquli. Ta’aqquli ini bersifat
duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qulah al-ma’na) atau rasional, maka
manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia.[12]
8.      Hukum Yang Ditetapkan Oleh Al-Qur’an Tidak Memberatkan
Di dalam al-Qur’an tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hamba Nya. Jika Tuhan
melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan ada hikmahnya.
Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-hal tertentu (darurat).
Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang, namun dalam keadaan terpaksa, yaitu
ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan terancam, maka tindakan seperti itu diperbolehkan
sebatas hanya memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum Islam bersifat elastis
dan dapat berubah sesuai dengan persoalan waktu dan tempat.
9.      Humanisme (insaniyah)
Agama Islam dititahkan untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat manusia baik individu
maupun kolektif. Manusia mendapat amanat sebagai hamba dan khalifah-Nya. Dimana manusia
dalam mengemban amanat itu haruslah memiliki pedoman, sehingga bisa selaras dengan
kehendak Allah. Dan kehendak Allah pasti tidak akan membebani batas kemampuan manusia,
bukankah Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah : 286

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....”


Termasuk di dalam pemuliaan Islam terhadap ummat manusia, pengakuannya terhadap
eksistensi (keberadaan) manusia, sebagaimana Allah menciptakan jasad, akal, ruh, hati,
keinginan, naluri dan lain-lainnya. Islam tidak mengesampingkan hak yang dimiliki oleh salah
satu aspek diantara aspek yang ada guna memperhitungkan yang lain.
Ciri kemanusiaan bagi Hukum Islam juga dimiliki oleh hukum yang lain, hanya saja Hukum
Islam lebih tinggi dalam meletakkan nilai kemanusiaan. Hukum Islam tidak meletakkan negara
sebagai segala-galanya dengan melarang kebebasan berbicara dan membatasi gerak-geriknya,
serta mengorbankan diri demi kejayaan negaranya. Juga tidak demi ekonomi kemudian manusia
harus tunduk pada hukum ekonomi demi kemajuan ekonomi dengan mengorbankan manusia
demi ekonomi.
Maka Hasbi mengatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang memberi perhatian penuh
kepada manusia dan kemanusiaan, memelihara yang bertautan dengan manusia, baik mengenai
diri, ruh, akal, aqidah, fitrah, usaha, kekayaan, laki-laki perempuan, budak atau merdeka, baik
untuk kepentingan perorangan maupun kolektif, dan berlaku sampai akhir zaman. Ringkasnya
bahwa hukum Islam adalah syumul dan ta’amuq untuk kepentingan manusia.[13]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua ummat yang beragama islam, artinya karakteristik dari hukum islam adalah mutlak
berdasarkan dari Wahyu Allah dan Rasul-Nya berbeda dengan karakteristik hukum yang lain
yang kadang berdasarkan pada hawa nafsu belaka.
Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam
memiliki beberapa karakteristik tertentu yaitu :
1.      Robbaniyah, Syariat Islam adalah syariat yang Rabbani, artinya Allah-lah yang mengatur
perjalanan hidup dan kehidupan manusia, agar dapat membina hubungan antar individu maupun
jamaah diatas landasan yang kokoh, jauh dari kekerdilan, ekstrimitas, hawa nafsu dan
pertentangan manusia.
2.      Sempurna, artinya utuh, lengkap segalanya. Kesempurnaan hukum Islam (syariat) dapat dilihat
dengan diturunkannya syariat Islam dalam bentuk yang umum dan mengglobal
permasalahannya, kecuali hal-hal yang bersifat langgeng, nash memuat prinsip-prinsip hukum
terperinci, konkret dan teknis. Misalnya masalah peribadatan.
3.      Elastis, Keelastisannya mencakup di segala bidang kehidupan manusia baik jasmani dan
rohani, baik mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan interaksi sesama
manusia. Juga tuntunan mengenai kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
4.      Universal, berarti umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia), bersifat
(melingkupi) seluruh dunia. Ini berarti hukum Islam itu tidak dibatasi oleh lautan maupun
batasan suatu negara.
5.      Dinamis, Syari’at islam dapat menarik manusia dengan amat cepat dan manusia dapat
menerimanya dengan ketetapan hati, karena islam menghadapkan pembicaraannya kepada akar
dan mendesak manusia bergerak, berusaha serta memenehi kehendak yang fitrah yang sejahtera,
sebagaimana hukum islam menuju kepada toleransi, persamaan, kemerdekaan, menyuruh untuk
berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
6.      Sistematis, Syariat Islam bersifat sistematis artinya ia mewujudkan sejumlah doktrinnya
bertalian dan berhubungan diantara satu dengan lainnya secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan lainnya
7.      Hukum Islam bersifat Ta’abbudi dan Ta’aqquli, Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai
ta’abbudi atau ghairu ma’qulat al-ma’na (irrasional), artinya manusia tidak boleh beribadah
kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan. sedangkan dalam bidang mua’malah terkandung
yaitu bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qulah al-ma’na) atau
rasional.
8.      Hukum Yang Ditetapkan Oleh Al-Qur’an Tidak Memberatkan, Di dalam al-Qur’an tidak
satupun perintah Allah yang memberatkan hamba Nya. Jika Tuhan melarang manusia
mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan ada hikmahnya. Walaupun demikian
manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-hal tertentu (darurat).
9.      Humanisme (insaniyah), Agama Islam dititahkan untuk kebaikan dan kemaslahatan
masyarakat manusia baik individu maupun kolektif. Manusia mendapat amanat sebagai hamba
dan khalifah-Nya. Dimana manusia dalam mengemban amanat itu haruslah memiliki pedoman,
sehingga bisa selaras dengan kehendak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad. 2000. Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Junaidi, Ahmad. 2014. Filsafat Hukum Islam. Jember : STAIN Jember Press.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Qardlawi, Yusuf. Al Khasha’is al ‘ammah li al Islam. 1983. Beirut : Al Muassasah al Risalah.
Tamrin, Dahlan. 2007. Filsafat Hukum Islam. Malang : UIN Malang Press.

[1] Yusuf Qardlawi, Al Khasha’is al ‘ammah li al Islam (Beirut : Al Muassasah al Risalah,


1983), iv.
[2] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2013), 39.
[3] Ahmad Junaidi, Filsafat Hukum Islam, (Jember : STAIN Jember Press, 2014 ), 128.
[4] Muhammad Syukri, Filsafat Hukum Islam, 40.
[5] Ahmad Junaidi, Filsafat Hukum Islam, 128.
[6] Muhammad Syukri, Filsafat Hukum Islam, 42.
[7] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam (Malang : UIN Malang Press, 2007), 29.
[8] Ibid, 30.
[9] Ibid,.43.
[10] Ibid,.45.
[11] Ahmad Junaidi, Filsafat Hukum Islam, 131.
[12] Muhammad Syukri, Filsafat Hukum Islam, 46.
[13] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 2000),
399.

Anda mungkin juga menyukai