Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan dan penjelasan atas
sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Penggunaan teori belajar
dengan langkah-langkah pengembangan yang benar dan pilihan materi pelajaran serta
penggunaan unsur desain pesan yang baik dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam
memahami sesuatu yang dipelajari. Selain itu, suasana belajar akan terasa lebih santai dan
menyenangkan. Proses belajar pada hakikatnya adalah kegiatan mental yang tidak tampak.
Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat
disaksikan dengan jelas, tetapi dapat dilihat dari gejala-gejala perubahan perilaku.
Teori belajar dan pembelajaran sangatlah penting dalam pelaksanaan pendidikan. Teori belajar
itu sendiri adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan
sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung agar terjadi suatu perubahan tingkah laku
yang relatif permanen dalam jangka waktu yang cukup lama sebagai hasil dari latihan atau
pengalaman.
Belajar merupakan hal yang paling tidak ditakuti oleh orang tua atau yang membutuhkan
ilmu, namun dianggap hal menakutkan dan neraka oleh anak-anak atau mereka yang tidak ingin
belajar, padahal sudah jelas dalam pernyataan bahwa kita harus belajar atau menuntut ilmu
hingga ke negeri china. pernyataan ini memperjelas bahwa kita harus mencari ilmu kemanapun
tempatnya atau sejauh apapun tujuannya.Selain itu, anak-anak mungkin lebih mencari hal yang
dianggap cocok untuk bisa menyampaikan materi atau ilmu dengan cara yang tidak
membosankan yakni dengan metode belajar yang berbeda. Selain penjelasan diatas, berikut ini 9
teori belajar yang dikutip menurut para ahli :
1. Menurut Winkel
Teori pertama datang dari Winkel, menurutnya belajar merupakan aktivitas mental
ataupun psikis yang berlangsung baik di lingkungan dengan interaksi yang aktif. Selain
itu belajar diharuskan atau menghasilkan perubahan yang secara langsung ataupun tidak
langsung dalam pribadi yang melakukannya. Dalambelajar akan ada hasil perubahan
dalam pengelolaan pemahaman dalam sisi apapun. Terutama untuk anak-anak yang baru
mengenal.
6. Pavlov
Menurut ahli selanjutnya, Pavlov menjelaskan belajar merupakan sebuah proses
perubahan yang terjadi disebabkan adanya syarat-syarat atau conditions, yang dapat
berbentuk latihan yang dilakukan secara kontinuitas atau terus menerus sehingga
menimbulkan reasksi (response). Kelemahannya adalah menganggap bahwa belajar
adalah hanyalah terjadi secara otomatis dan lebih menonjolkan peranan latihan-latihan,
dimana keaktifan dan pribadi seseorang tidak dihiraukan.
7. Jerome S. Bruner
Bruner mengungkapkan bahwa belajar merupakan bagaimana orang tersebut untuk
memilah, memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi dengan cara
yang lebih aktif. Menurut Bruner selama kegiatan belajar berlangsung akan lebih baik
jika siswa dibiarkan untuk menemukan sendiri apa penyebap dan makna dari berbagai hal
yang mereka pelajari, sehingga teori “menyuapi” ilmu tidak ia gunakan dalam belajar.
Pasalnya siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam memecahkan
masalah sehingga mereka terlatih untuk bisa menghadapi masalah. Dengan cara tersebut
diharapkan mereka mampu memahami konsep-konsep dalam bahasa mereka sendiri.
8. David Ausubel
David mengungkapkan bahwa dengan teori belajar bermakna, maka belajar bisa
diklasifikasikan menjadi dua dimensi, diantaranya adalah :
Dimensi yang berkaitan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada
siswa melalui penerimaan atau penemuan sehingga siswa lebih aktif, atau
Dimensi yang menyangkut tentang cara siswa untuk mengabaikan informasi pada
beberapa struktur yang ada, khususnya struktur kognitif diantaranya adalah fakta,
konsep, dan generalisasinya yang telah dipelajari dan diingat siswa.
9. Vigotsky
Menurut Vigotsky pembelajaran terjadi bila anak bekerja ataupun mencoba menangani
tugas yang belum pernah namun tugas itu telah berada dalam zone of proximal
development. ZPD merupakan istilah yang dibuat Vigotsky untuk berbagi tugas yang
memang terlalu sulit, namun mereka bisa melakukan hal tersebut karena adanya
koordinasi dan bimbingan yang lebih terampil atau bisa diandalkan. ZPD ini umumnya
cocok bag anak-anak yang lebih suka tantangan.
Kriteria teori yang ideal yaitu formal, akurat, konsisten secara internal, dan memiliki
cakupan yang luas mengenai pembelajaran dan motivasi. Teori ideal ini mengandung variabel-
variabel perantara yang dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh lebih kognitif
dibandingkan pada teori-teori terdahulu. Namun teori tersebut juga terkait dengan topik
perkembangan yang menjelaskan bagaimana manusia berfungsi seperti apa yang dilakukan.
Secara umum teori belajar dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu teori behavioristik,
teori kognitif, teori konstruktivisme, dan teori humanisme. Setiap teori
pembelajaranmempunyaikelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda.Masing-masing teori
menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Namun,
pada dasarnya setiap teori pembelajaran memiliki tujuan yang sama yaitu mewujudkan
pendidikan yang mampu mencetak peserta didik agar dapat bersaing dan terus mengikuti
perkembangan zaman.
1. Teori Behavoristik
Teori belajar yang menekankan terhadap perubahan perilaku siswa adalah teori
belajar behavioristik. Di lihat dari pengertiannya teori belajar behavioristik
merupakan suatu teori psikologi yang berfokus pada prilaku nyata dan tidak
terkait dengan hubungan kesadaran atau konstruksi mental. Ciri utama teori
belajar behavioristik adalah guru bersikap otoriter dan sebagai agen induktrinasi
dan propaganda dan sebagai pengendali masukan prilaku.Hal ini karena teori
belajar behavioristik menganggap manusia itu Nusantara ( Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial ) ISSN 2541-657X Volume 1 Desember 2016 65 bersifat
pasif dan segala sesuatunya tergantung pada stimulus yang didapatkan. Sasaran
yang dituju dari pembelajaran ini adalah agar terjadi perubahan perilaku siswa ke
arah yang lebih baik. Selain dalam pemberian point terhadap pelanggaran aturan
sekolah, teori belajar behavioristik juga diterapkan dalam pembelajaran.
Teori belajar behavioristik melihat belajar merupakan perubahan tingkah
laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input
yang berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respons. Teori
belajar behavioristik menekankan kajiannya pada pembentukan tingkah laku yang
berdasarkan hubungan antara stimulus dengan respon yang bias diamati dan tidak
menghubungkan dengan kesadaran maupun konstruksimental. Teori belajar
behavioristik berlawanan dengan teori kognitif yang mengemukakan bahwa
proses belajar merupakan proses mental yang tidak diamati secara kasat mata.
Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu adanya
perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.Hasil
belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap
lingkungan belajar, baik yang internal maupun eksternal. Belajar berarti
penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan untuk merubah
perilaku.Teori belajar behavioristik dalam pembelajaran merupakan upaya
membentuk tingkah laku yang diinginkan.
Pembelajaran behavioristik sering disebut juga dengan pembelajaran
stimulus respons. Tingkah laku siswa merupakan reaksi-reaksi terhadap
lingkungan dan segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Pembelajaran
behavioristik meningkatkan mutu pembelajaran jika dikenalkan kembali
penerapannya dalam pembelajaran. Berdasarkan komponennya, teori ini relevan
digunakan dalam pembelajaran sekarang ini. Penerapan teori belajar behavioristik
mudah sekali ditemukan di sekolah. Hal ini dikarenakan mudahnyapenerapan
teori ini untuk meningkatkan kualitas peserta didik.
a. Pengertian Teori Belajar Behavoristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku
manusia.Menurut Desmita (2009:44) teori belajar behavioristik merupakan
teori belajar memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan
objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada
diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata
lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui
pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan
mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan
pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons
(Slavin, 2000).Seseorang dianggap telah belajar apabila dapat menunjukkan
ISSN 2541-657X Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1
Desember 2016 66 perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respons. Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respons tidak penting untukdiperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh
karenaitu ,apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
siswa (respons) harus dapat diamati dan diukur (Putrayasa, 2013:42). Teori
behavioristik menekankan pada kajian ilmiah mengenai berbagai respon
perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya. Dengan kata lain,
perilaku memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang dapat dilihat
dan diukur. Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu
orang-orang mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik (King, 2010:15).
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada
tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon.Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik.Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
b. Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Teoribelajar behavioristic adalah sebuah teori tentang perubahantingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini berkembang menjadi
aliranpsikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan dan
praktik pendidikan serta pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responsnya mendudukkan siswa yang belajarsebagai individu yang
pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnyaperilakuakan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman (Rusli dan Kholik,
2013). Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia.
Timbulnya aliran ini disebabkan oleh adanya rasa tidak puas terhadap teori
psikologi daya dan teori mental state. Hal ini karena aliran-aliran terdahulu
hanya menekankan pada segi kesadaran saja. Pandangan dalam psikologi dan
naturalisme science, timbulah aliran baru ini. Jiwa atau sensasi atau image
tidak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri karena sesungguhnya jiwa itu
adalah respons-respons psikologis.
Aliran terdahulu memandang bahwa badan adalah skunder, padahal
sebenarnya justru menjadi titik tolak. Natural science melihat semua realita
sebagai gerakan-gerakan dan pandangan natural science mempengaruhi
timbulnya behaviorisme. Dalam behaviorisme, masalah metter (zat)
menempati kedudukan yang paling utama dengan tingkah laku tentang
sesuatu jiwa dapat diterangkan. Behaviorisme dapat menjelaskan kelakuan
manusia secara Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) ISSN 2541-
657X Volume 1 Desember 2016 67 seksama dan menyediakan program
pendidikan yang efektif (Hamalik, 2008:43) Teori belajar behavioristik
adalah sebuah aliran dalam teori belajar yang sangat menekankan pada
perlunya tingkah laku (behavior) yang dapat diamati. Menurut aliran
behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak
atau hubungan antara stimulus dan respons. Oleh karena ituteori ini juga
dinamakan teori stimulus-respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respon sebanyakbanyaknya.
Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih
kepada sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti
kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam kegiatan belajar.
Peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para
ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus (S) dengan respons (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang
penting adalah adanya input berupa stimulusdan output yang berupa respon
(Andriyani, 2015) Behaviorisme adalah suatu studi tentang tingkah laku
manusia. Behaviorisme dapat menjelaskan perilaku manusia dengan
menyediakan program pendidikan yang efektif. Fokus utama dalam konsep
behaviorisme adalah perilaku yang terlihat danpenyebab luar
menstimulasinya. Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar jika
dapat menunjukkan perubahan perilaku (Zulhammi, 2015) Menurut teori
behavioristik tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
penguatan dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksireaksi behavioristik dengan
stimulusnya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respons. Proses terjadi antara
stimulus dan respons tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
dan apa yang diterima harus dapat diamati dan diukur. Hal ini menurut
Sujanto (2009:118), teori belajar behaviorisme objekilmu jiwaharus terlihat,
dapat di indera, dan dapat diobservasi. Metode yang dipakai yaitu mengamati
serta menyimpulkan.
c. Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristic melihat semua tingkah laku manusia dapat
ditelusuri dari bentuk refleks.Dalam psikologi teori belajar behavioristik
disebut juga dengan teori pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku
yang diperoleh dari pengkondisian lingkungan.Pengkondisian terjadi melalui
interaksi dengan lingkungan. Hal ini dilihat secara sistematis dapat diamati
dengan tidak mempertimbangkan keseluruhan ISSN 2541-657X Nusantara
( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1 Desember 2016 68 keadaan
mental. Menurut Ahmadi (2003:46), teori belajar behavioristik mempunyai
ciri-ciri, yaitu. Pertama, aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari
kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang
berdasarkan kenyataan.
Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada
badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa
jiwa. Kedua, segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme
mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan
kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari
terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks
atau suatu mesin. Ketiga, behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu
dilahirkan semua orang adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan
adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang berkembang karena
kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan
hati.
2. Teori kognitif
a. Pengertian Teori Kognitif
Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya
berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala
sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan
pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya,
istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi,
baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam
psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi
setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah
pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir, keyakinan dan sebaganya.
Dalam istilah pendidikan, kognitif disefinisikan sebagai satu teori
di antara teori-teori belajar yang memahami bahwa belajar merupakan
pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman. Dalam teori kognitif, tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan
tujuan. Perubahan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh proses
belajar dan berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan
proses belajar daripada hasil belajar.
Teori kognitf pada awalnya dikemukakan oleh Dewwy, dilanjutkan
oleh Jean Piaget, Kohlberg, Damon, Mosher, Perry dan lain-lain, yang
membicarakan tentang perkembangan kognitif dalam kaitannya dengan
belajar. Kemudian dilanjutkan oleh Jerome Bruner, David Asubel, Chr.
Von Ehrenfels Koffka, Kohler, Wertheimer dan sebagainya. Bagi
penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antar
stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks. Belajar melibatkan prinsip-prinsip dasar
psikologi, yaitu belajar aktif, belajar lewat interaksi sosial dan lewat
pengalaman sendiri. Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh
ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan
para ahli sebelumnya mengenai belajar, sebagaimana dikemukakan oleh
teori Behavior, yang menekankan pada hubungan stimulus-
responsreinforcement.
Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik
terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak
masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis. Menurut
paham kognitif, tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward
(ganjaran) dan reinforcement (penguatan). Tingkahlaku seseorang
senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan untuk mengenal atau
memikirkan situasi di mana tingkahlaku itu terjadi. Dalam situasi belajar,
seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh pemahaman
atau insight untuk pemecahan masalah.
Paham kognitifis berpandangan bahwa, tingkahlaku seseorang
sangat tergantung pada pemahaman atau insight terhadap hubungan-
hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Menurut teori kognitif, ilmu
pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak
berjalan secara terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung-sambung dan menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan
alat musik, orang tidak akan bisa alat memainkan musik tanpa memahami
terlebih not-not balok yang terpampang pada portitur sebagai informasi
yang saling lepas dan berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang
secara utuh masuk pikiran dan perasaannya. Dalam praktik, teori ini
terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan“ yang diusulkan oleh Jean
Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausubel, dan “belajar penemuan”
(Discovery Learning) oleh Jerome Bruner, belajar pemahaman (insight)
dan sebagainya. Kesemuanya itu akan dibahas dalam makalah ini dengan
menggunakan pendekatan library research dengan teknik study
dokumentasi. Maksudnya adalah data berkaitan dengan teori kognitif
dikumpulkan dari buku-buku, jurnal dan karya iilmiah dan sebagainya.
Kemudian dianalisis dengan pendekatan reflektif thinking, yaitu
kombinasi antara pendekatan induksi dan deduksi.
b. Teori Kognitif dalam Pembelajaran
1) Belajar dalam Presfektif Teori Kognitif
Terdapat banyak pandangan tentang belajar, sehingga muncul
berbagai teori belajar. Antara teori yang satu dengan teori lainnya
berbeda-beda dalam mendefinisikan belajar. Teori belajar hadir
dan muncul pada dasarnya disebabkan oleh para ahli Psikologi
belum puas dengan penjelasan teori-teori yang terdahulu tentang
belajar. Di antara teori belajar yang sangat terkenal adalah teori
behavior dan teori kognitif. Menurut teori behavior, segala
kejadian di lingkungan sangat mempengaruhi prilaku seseorang
dan akan memberikan pengalaman tertentu dalam dirinya. Oleh
karena itu, belajar menurut teori behavior adalah perubahan
tingkahlaku sebagai akibat dari interaksi individu dengan
lingkungannya, interaksi tersebut merupakan hasil dari
conditioning melalui S-R (stimulus-respons).
Seseorang dikatakan telah belajar, apabila menunjukkan
perubahan tingkah laku dari stimulus yang diterimanya. Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono mengemukakan, perubahan
tingkah laku tersebut dapat diamati dengan indera manusia dan
langsung tertuang dalam tingkah lakuknya. Individu belum
dikatakan belajar, apabila belum terjadi perubahan tingkah laku
individu. Berbeda denga teori kognitif, belajar bukan hanya
sekedar melibatkan hubungan stimulus dan respon, tetapi belajar
pada hakekatnya melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah usaha mengaitkan pengetahuan baru ke dalam
struktur berfikir yang sudah dimiliki individu, sehingga
membentuk struktur kognitif baru yang lebih mantap sebagai hasil
belajar.
Teori kognitif juga beranggapan bahwa, tingkah laku
seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan
atau tingkahlaku individu ditentukan oleh persepsi atau
pemahamannya tentang diri dan situasi yang berhubungan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Dalam teori kognitif, belajar pada
prinsipnya adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat dilihat sebagai perubahan tingkah laku yang kongkrit.
Di sisi lain, teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa, belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
Seperti diungkapkan oleh Winkel bahwa “belajar adalah suatu
aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap, perubahan
itu bersifat relatif dan berbekas”. Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat diketahui bahwa belajar menurut teori kognitif adalah
suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang
terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif
dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam
bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan, nilai
dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang
mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan
tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan
pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan
pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat
menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam
perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu
dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah
terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap
pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan dan pemahaman
tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi
perubahan sikap, dan seterusnya.
c. Beberapa Teori Kognitif: Tokoh dan Pemikirannya
1.) Gambaran umum tentang Teori Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss dan pada awal mulanya ia
ahli biologi, dan dalam usia 21 tahun sudah meraih gelar doktor. Ia
telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang
bertemakan perkembangan anak dan kognitif. Pengaruh pemikiran
Jean Piagert baru mempengaruhi masyarakat, seperti di Amirika
Serikat, Kanada, dan Australia baru sekitar tahun 1950-an. Menurut
Bruno (dalam Muhibin Syah), hal ini disebabkan karena terlalu
kuatnya cengkeraman aliran Behaviorisme gagasan Watson (1878-
1958).
2). Belajar menurut Teori Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget mengemukakan bahwa proses belajar akan terjadi
apabila ada aktivitas individu berinteraksi dengan lingkungan sosial
dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan dan perkembangan individu
merupakan suatu proses sosial. Individu tidak berinteraksi dengan
lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai
bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya
berada di antara individu dengan lingkungan fisiknya. Interaksi
Individu dengan orang lain memainkan peranan penting dalam
mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran
ide-ide dengan orang lain, individu yang tadinya memiliki
pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan
berubah pandangannya menjadi obyektif. Piaget mengemukakan
bahwa, perkembangan kognitif memiliki peran yang sangat penting
dalam proses belajar. Perkembangan kognitif pada dasarnya
merupakan proses mental. Proses mental tersebut pada hakekatnya
merupakan perkembangan kemampuan penalaran logis
(development of ability to respon logically). Bagi Piaget, berfikir
dalam proses mental tersebut jauh lebih penting dari sekedar
mengerti. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin
kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuan kognitifnya. Proses perkembangan mental bersifat
universal dalam tahapan yang umumnya sama, namun dengan
berbagai cara ditemukan adanya perbedaan penampilan kognitif
pada tiap kelompok manusia. Sistem persekolahan dan keadaan
sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan
penampilan dan perkembangan kognitif pada individu, demikian
pula dengan budaya, sisitem nilai dan harapan masyarakat masing-
masing.
Seperti cendawan di musim hujan, kini terminologi “konstruktivisme” telah muncul dan merebak
dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah “konstruktivisme‘ itu sejalan dengan kebingungan
kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis pembelajaran. Menurut Brooks & Brooks
(1993) semula konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi,
pendekatan, maupun model pembelajaran. “Constructivism is not an instructional strategy to be
deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or
way of seeing the world”. Bahkan menurut Von Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme sebagai
"teori pengetahuan dengan akar dalam ―filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme apapun namanya secara aktif dan kreatif akan selalu membentuk
konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima
apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi dan interaksinya. Hal itu secara aktif dan
kreatif terutama dengan membangun pengetahuan itu. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan
sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, dan bukan untuk menemukan suatu tujuan
kenyataan (von Glasersfeld, 1995). Dengan demikian‘konstruktivisme‘ merupakan istilah luas
yang digunakan oleh para filsuf, ahli kurikulum, psikologi, maupun pendidik, yang menurut
Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam
―filosofi, psikologi, dan cybernetics" menekankan; (1) pembelajar aktif dalam
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri; (2) interaksi sosial itu penting bagi
pengkonstruksian pengetahuan. Perspektif konstruktivis berpijak pada, antara lain; penelitian
John Dewey (1859-1952), Bartlett (1886-1969), Piaget (1896-1980), Vygotsky (1896-1934),
Ausubel (1918–2008), Jerome Bruner (1915-1980). Tidak ada teori konstruktivisme tunggal,
tetapi sebagian besar konstruktivisme memiliki dua ide utama yang sama, yakni; ―pembelajar
aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan bahwa interaksi sosial penting bagi
pengkonstruksian pengetahuan (Bruning, Schraw, Norby & Ronning, 2004: 195). Dalam
konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang
Volume 4 No. 1 Tahun 2016 | H. Dadang Supardan 2 disampaikan oleh guru maupun
teks.Alihalih, pembelajaran adalah konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal (de
Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004).Jadi banyak teori di bidang ilmu kognitif yang memasukkan
jenis konstruktivisme tertentu karena teori-teori tersebut berasumsi bahwa individu-individu
mengkonstruksikan struktur kognitifnya sendiri pada saat mereka menginterpretasikan
pengalamannya dalam situasi tertentu (Palinscar, 1998).Ada beberapa pendekatan konstruktivis
di bidang pendidikan sains dan matematika, di bidang psikologi dan antropologi, dan di bidang
pendidikan berbasis computer. Meskipun banyak psikolog dan pendidik menggunakan instilah
konstruktivisme, seringkali mereka dimaksudkannya untuk hal-hal yang sangat berbeda
(Driscoll, 2000; McCaslin & Hickey, 2001; Philips, 1997). Salah satu cara untuk
mengorganisasikan pandangan-pandangan konstruktivis adalah berbicara tentang tiga bentuk
konstruktivisme, konstruktivisme psikologis/individual/personal, social, dan dialektikal
(Palincsar, 1998; Philips, 1997). Kita bisa saja sedikit terlalu menyederhanakan dengan
mengatakan bahwa konstruktivis psikologis memfokuskan pada bagaimana individuindividu
menggunakan informasi, sumber daya, dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan
meningkatkan model mental dan strategi problem solving-nya. Sebaliknya, konstruktivisme
sosial melihat belajar sebagai peningkatan kemampuan untuk berpartisipasi bersama orang lain
dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya dan masyarakat (Windschitl, 2002). Atau
juga dialektikal yang merupakan perpaduan antara psikologia/individual dengan sosial.
PRINSIP-PRINSIP
PENERAPAN PEMBELAJARAN
Suatu hal yang perlu diingat, tidak mungkin untuk menciptakan sebuah pembelajaran
konstruktivis yang bersifat "generik", berlaku untuk semua situasi. Menurut sifatnya,
konstruktivisme seharusnya mendorong siswa untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka dan
mendiskusikan tentang subjek yang dikajinya. Berdasarkan jenis dan bentuknya penyajian model
pembelajaran konstruktivisme, terdapat tiga model kecenderungan, yakni; Model
Konstruktivisme "Siklus Belajar", yang tahapan-tahapannya; (a) diskaveri, di mana para siswa
didorong untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun hipotesis-hipotesis; (b)
Pengenalan Konsep; dalam hal ini guru mempertanyakan konsep-konsep yang berhubungan
dengan topik itu; (c) Aplikasi Konsep; dengan menerapkan konsepkonsep yang dikemukakan
tahap 1 & 2 serta boleh mengulangi tahapannya lagi; Model Konstruktivisme Gagnon & Collay;
yang terdiri atas enam tahapan, yakni; (a) Situasi: gambarkan situasi tertentu yang berhubungan
dengan tema/topik pembhs; (b) Pengelompokan: buat kelompok bisa berdasarkan no urut
maupun campuran tingkat kecerdasannya; (c) Jembatan; memberikan suatu masalah
sederhana/permainan/ teka-teki untuk dipecahkan; (d) Pertanyaan; buat pertanyan pembuka
maupun kegiatan inti agar siswa tetap termotivasi untuk belajar lebih jauh; (e)
Mendemonstrasikan: memajangkan/ memamerkan/menyajikan hasil kerja siswa di kelas; (f)
Refleksi: merenungkan, menindak-lanjuti laporan kelompok yang dipresentasikan. Model
Konstruktivisme McClintock dan Black; yang terdiri atas tujuh tahapan, yakni; (a) Observasi:
siswa melakukan observasi terutama atas sumber-sumber, materi-materi, foto, gambar, rekaman
video, & permainan ttg kebudayaan daerah; (b) Konstruksi Interpretasi: siswa
menginterpretasikan pengmt dan memberikan penjelasan; (c) Kontekstualisasi/siswa
membangun konteks untuk penjelasan mereka; (d) Belajar keahlian kognitif. guru membantu
pengamatan, penguasaan siswa, interpretasi, dan kontekstualisasi; (e) Kolaborasi:Para siswa
bekerja sama dalam Volume 4 No. 1 Tahun 2016 | H. Dadang Supardan 8 observasi,
menafsirkan, dan kontekstualisasi; (f) Interpretasi jamak: Para siswa memperoleh fleksibilitas
kognitif dengan memiliki kemampuan mengunjukkan berbagai penafsiran dari berbagai
perspektif; (g) Manifestasi jamak.siswa memperoleh transferabilitas dengan melihat berbagai
penjelmaan penafsiran yang beragam (Supardan, 2015: 175-177; 2004:5). Dalam contoh
penerapan pembelajaran di bawah ini, penulis mengambil bentuk Model Pembelajaran
Konstruktivisme "Siklus Belajar". Pertama, fase discovery (diskaveri); pada tahap ini di mana
para siswa didorong untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun hipotesis-hipotesis.
Sebut saja tentang kajian Pergerakan Nasional sebagai perlawanan terhadap Imperialisme &
Kolonialisme Barat, maka pada kegiatan awal tersebut guru harus mampu mendorong siswa
untuk belajar tentang Pergerakan Nasional tersebut.Misalkan, mengapa periode 1908-1942
sering disebut sebagai Pergerakan Nasional? Apa yang menjadi ciri yng khas dalam periode
Pergerakan Nasional itu? Bagaimana menurut Anda pentingnya Pergerakan/perjuangan dalam
kehidupan kita sekarang ini? Kedua, fase Pengenalan Konsep; dalam hal ini siswa sibuk
membahas beberapa konsep baru tentang Pergerakan Nasional melalui bimbingan guru dengan
mendiskusikan dan mempertanyakan konsep-konsep yang berhubungan dengan topik tersebut.
Misalkan konsep; Kebangkian Nasional; Organisasi Budi Utomo, Muhammadiyah, Sarekat
Islam, Indische Partij, PNI, Partindo, Parindra, GAPI, Volksraad, Petisi Sutardjo, dan
sebagainya. Atau para siswa dapat mencari konsep-konsep bagiannya yang menyertai
pembahasan tersebut, seperti: Pendiri, Pejuang Perintis, Penjara Sukamiskin, diekstradisi
/diasingkan ke Digul, Negeri Belanda, Golongan Konservatif, kooperatif, nonkooperatif, dan
sebagainya Ketiga, fase aplikasi konsep; dengan menerapkan konsep-konsep yang dikemukakan
tahap 1 & 2 serta boleh mengulangi tahapannya lagi jika hal itu dianggap perlu.Pada tahap ini
siswa mampu menghubungkan organisasiorganisasi Pergerakan Nasional tempo dulu dengan
organisasi-organisasi profesi sekarang, dan siswa mampu memberikan usulan-usulan baru dalam
memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, social, budaya dalam kehidupan sekarang ini.
Contoh; Siswa dapat menjelaskan hubungan organisasi-organisasi politik dahulu dengan partai-
partai politik yang berkembang sekarang ini; perbandingan bentuk-bentuk organisasi Pergerakan
Nasional dengan organisasi profesi yang sekarang berkembang, seperti IDI (Ikatan Dokter
Indonesia), PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dan sebagainya. Siswa juga mampu
menganalisis serta mendiskusikan apa yang teleh mereka kerjakan dalam diskusi kelompok kecil,
agar bangsa Indonesia tidak dijajah secara ekonomi, budaya, dan politik sekarang ini oleh
negara-negara Barat khususnya, dan negara-negara maju umumnya. Pentingnya beretos kerja
yang kreatif dan produktif merupakan modal dasar yang harus dimiliki sebagai bangsa yang
berupaya membebaskan belenggu dari kemiskinan, serta pengembangan jiwa wira-usaha yang
gigih merupakan keniscayayaan dalam meniti ekonomi mandiri. Dalam hal ini guru dapat
memberikan scaffolding yang bermanfaat siswa sangat—sebuah teknik mengubah level
dukungan, saat kemampuan siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan
(Santrock, 2009: 43).
Dalam menerapkan teori belajar, terkadang guru menggunakan lebih dari satu teori belajar dalam
proses pembelajaran. Walaupun memang pada dasarnya tidak ada teori belajar yang terbaik.
Tinggal bagaimana kita bisa menentukan teori mana yang cocok dan bisa melaksanakan
pembelajaran dengan baik sesuai dengan keadaan peserta didik.
Pendidikan, bukanlah melulu penerapan teori-teori belajar. Namun, ketepatan memilih metode
dan pendekatan sangat penting dalam pendidikan.Oleh karena itu, guru harus menggunakan
metode dan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya menarik, tetapi juga memberikan ruang
bagi peserta didik untuk berkreatifitas dan terlibat secara aktif sepanjang proses pembelajaran.
Sehingga aspek-aspek yang ada dalam diri peserta didik dapat dikembangkan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arbayah. (2013). Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu Vol 13. No. 2, Desember, 205.
Ariwibowo, M. S. (2012).
Pengaruh Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa PPKn Angkatan 2008/2009
Universitas Ahmad Dahlan Semester Ganjil Tahun Akademik 2010/2011.
Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 2, Januari, 114. Assegaf, R. (2011). Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma
Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baharuddin, M. M. (2009). Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori dan Aplikasi Praktis dalam Dunia
Pendidikan. Yogyakarta: AR-Ruzz Media. Baharun, H. (2016). PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA;
TELAAH EPISTEMOLOGIS. Pedagogik, 3(2), 96–107. Baharun, H. (2016). Pengembangan Media
Pembelajaran PAI Berbasis Lingkungan Melalui Model ASSURE. Cendekia: Journal of Education and
Society, 14(2), 231–246. Baharun, H. (2016). Penilaian Berbasis Kelas pada Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Madrasah. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 3(2), 205–2016. Baharun, H. (2017).
Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik (Konsep, Prinsip, Pendekatan dan Langkah-langkah
Pengembangan Kurikulum PAI. Yogyakarta: CV Cantrik Pustaka. Baharun, H. (2018). Penerapan
Pembelajaran Active Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di Madrasah. PEDAGOGIK, 1(1).
Bahtiar, A. R. (tt). Prinsip-prinsip dan Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurnal Tarbawi
Volume 1 No 2, 149. Dalyono, M. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dewey, J.
(1966). Democracy and Education. New York: The Free Press. Djamarah, S. B. (2002). Psikologi Belajar.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Freire, P. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,
terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & READ. Hanafy, M. S.
(2014). Konsep Belajar dan Pembelajaran. Lentera Pendidikan, Vol. 17 No. 1 Juni , 66. Jurnal Pedagogik,
Vol. 04 No. 02, Juli-Desember 2017 ISSN : 2354-7960, E-ISSN : 2528-5793 Teori Belajar Humanistik dalam
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa 201 Haryu. (2006). Aplikasi Psikologi Humanistik dalam Pendidikan
di Indonesia. Tadrîs Volume 1.Nomor 1. , 77. Mangunwijaya, Y. (2001). “Mencari Visi Dasar Pendidikan”,
Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius. Mastuhu. (2003).
Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insani Press-
Magiter Studi Islam UII. Muali, C. (2017). Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences sebagai
Upaya Pemecahan Masalah Belajar. Jurnal Pedagogik, 3(2), 1 - 12. Mulkhan, A. M. (2002). Nalar Spiritual
Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nidawati. (2013).
Belajar dalam Perspektif Psikologi dan Agama. Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember, 14.
Noddings, N. (1998). Philosophy of Education. Oxford: Westview. Nuryatno, (. A. (2008). Mazhab
Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Prisca Febrian Liauwrencia, D. P. (2014). Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar Siswa
Kelas XII IPA2 Tahun Ajaran 2013/2014 Di Sma Dharma Putra Tangerang. Jurnal NOETIC Psychology
Volume 4 Nomor 1, Januari-Juni, 66. Roberts, T. (1975). Four Psychologies Applied to Education. New
York: Jhon Niley and Sons. Roestiyah, N. (1989). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Scruton,
R. (1984). Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai Wittgenstein, terj. Zainal Arifin
Tandjung. Jakarta: Pantja Simpati. Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung:
Pustaka Setia. Soemanto, W. (2006). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudarwan Darnim, K. (2011). Psikologi Pendidikan; dalam Perspektif Baru.
Bandung: CV. Alfabeta. Sudjana, N. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Sumantri, B. (2010). Pengaruh Disiplin Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas XI SMK
PGRI 4 Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010. Media Prestasi Vol. VI No. 3 Edisi Desember, 118. Syah, M.
(2000). Psikologi Pendidikan dengan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Jurnal
Pedagogik, Vol. 04 No. 02, Juli-Desember 2017 ISSN : 2354-7960, E-ISSN : 2528-5793 202 Teori Belajar
Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Syarifuddin, A. (2011). Penerapan Model
Pembelajaran Cooperative Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. TA’DIB, Vol. XVI, No. 01,
Edisi Juni, 115. Thaib, E. N. (2013). Hubungan antara Prestasi Belajar dengan Kecerdasan Emosional.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XIII, No. 2, Februari, 387. Vandini, I. (2015). Peran Kepercayaan Diri terhadap
Prestasi Belajar Matematika Siswa. Jurnal Formatif 5 : 3, 214. Yaumi, M. (2013). Prinsip-prinsip Desain
Pembelajaran. Jakarta: Kencana prenada media group. Yuli Fajar Susetyo, A. K. (2012). Orientasi Tujuan,
Atribusi Penyebab, dan Belajar Berdasar Regulasi Diri. JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 39, NO. 1, JUNI, 96.
Zuhairini. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara