Anda di halaman 1dari 36

Pendahuluan

Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan dan penjelasan atas
sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Penggunaan teori belajar
dengan langkah-langkah pengembangan yang benar dan pilihan materi pelajaran serta
penggunaan unsur desain pesan yang baik dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam
memahami sesuatu yang dipelajari. Selain itu, suasana belajar akan terasa lebih santai dan
menyenangkan. Proses belajar pada hakikatnya adalah kegiatan mental yang tidak tampak.
Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat
disaksikan dengan jelas, tetapi dapat dilihat dari gejala-gejala perubahan perilaku.

Teori belajar dan pembelajaran sangatlah penting dalam pelaksanaan pendidikan. Teori belajar
itu sendiri adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan
sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung agar terjadi suatu perubahan tingkah laku
yang relatif permanen dalam jangka waktu yang cukup lama sebagai hasil dari latihan atau
pengalaman.

Belajar merupakan hal yang paling tidak ditakuti oleh orang tua atau yang membutuhkan
ilmu, namun dianggap hal menakutkan dan neraka oleh anak-anak atau mereka yang tidak ingin
belajar, padahal sudah jelas dalam pernyataan bahwa kita harus belajar atau menuntut ilmu
hingga ke negeri china. pernyataan ini memperjelas bahwa kita harus mencari ilmu kemanapun
tempatnya atau sejauh apapun tujuannya.Selain itu, anak-anak mungkin lebih mencari hal yang
dianggap cocok untuk bisa menyampaikan materi atau ilmu dengan cara yang tidak
membosankan yakni dengan metode belajar yang berbeda. Selain penjelasan diatas, berikut ini 9
teori belajar yang dikutip menurut para ahli :

1. Menurut Winkel
Teori pertama datang dari Winkel, menurutnya belajar merupakan aktivitas mental
ataupun psikis yang berlangsung baik di lingkungan dengan interaksi yang aktif. Selain
itu belajar diharuskan atau menghasilkan perubahan yang secara langsung ataupun tidak
langsung dalam pribadi yang melakukannya. Dalambelajar akan ada hasil perubahan
dalam pengelolaan pemahaman dalam sisi apapun. Terutama untuk anak-anak yang baru
mengenal.

2. Menurut Djamarah (2002:13)


Belajar bisa diartikan sebagai suatu kegiatan dengan melibatkan dua unsur yaitu jiwa dan
raga ketika melakukannya, gerak tubuh harus terlihat sejalan dengan proses jiwa agar bisa
mendapatkan dan melihat adanya perubahan. Perubahan yang didapatkan tentu bukan
hanya perubahan dari fisik namun perubahan jiwa yang lebih penting, sebab dengan
adanya perubahan jiwa maka berpengaruh pada perubahan fisik atau perubahan jasmani.
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan yang berpengaruh terhadap
tingkah laku seseorang.

3. Menurut Ernest R. Hilgard


Menurut ahli Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252) Belajar memiliki
pengertian sebagai proses dari perbuatan yang telah dilakukan dengan sengaja atau
dilakukan dalam keadaan sadar. Kemudian menimbulkan adanya perubahan dan
menyebabkan keadaan yang berbeda dari sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini belajar
juga menimbulkan perubahan diri dan lebih baik jika atas kemauan dari masing-masing
pribadi dan bukan paksaan, karena dengan cara ini tak jarang mereka yang belajar berakhir
depresi hingga tekanan mental.

4. Menurut Bower (1987;150)


Bower berpendapat bahwa dengan Belajar kita dapat menunjukan adanya perubahan yang
relatif dalam perilaku yang terjadi karena adanya beberapa pengalaman yang telah dialami
dan juga latihan yang sudah dilakukan dalam waktu sebelumnya. Bower juga menjelaskan
bahwa “Learning is a cognitive process” yang artinya Belajar adalah suatu proses kognitif.
Disini Bower menjelaskan proses merupakan hal yang lebih penting dibandingkan hasil
dari belajar itu sendiri.

5. Menurut Moh. Surya (1981:32)


Menurut ahli Moh. Surya berpendapat dengan Belajar merupakan sebuah proses usaha
yang telah dilakukan oleh masing-masing individu untuk bisa memperoleh sebuah
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan. Selain itu belajar sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Bagi Moh. Surya,
belajar kembali pada masing-masing personalnya untuk mau belajar dan mengerti hasil
yang bisa didapat dari belajar itu sendiri.

6. Pavlov
Menurut ahli selanjutnya, Pavlov menjelaskan belajar merupakan sebuah proses
perubahan yang terjadi disebabkan adanya syarat-syarat atau conditions, yang dapat
berbentuk latihan yang dilakukan secara kontinuitas atau terus menerus sehingga
menimbulkan reasksi (response). Kelemahannya adalah menganggap bahwa belajar
adalah hanyalah terjadi secara otomatis dan lebih menonjolkan peranan latihan-latihan,
dimana keaktifan dan pribadi seseorang tidak dihiraukan.
7. Jerome S. Bruner
Bruner mengungkapkan bahwa belajar merupakan bagaimana orang tersebut untuk
memilah, memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi dengan cara
yang lebih aktif. Menurut Bruner selama kegiatan belajar berlangsung akan lebih baik
jika siswa dibiarkan untuk menemukan sendiri apa penyebap dan makna dari berbagai hal
yang mereka pelajari, sehingga teori “menyuapi” ilmu tidak ia gunakan dalam belajar.
Pasalnya siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam memecahkan
masalah sehingga mereka terlatih untuk bisa menghadapi masalah. Dengan cara tersebut
diharapkan mereka mampu memahami konsep-konsep dalam bahasa mereka sendiri.

8. David Ausubel
David mengungkapkan bahwa dengan teori belajar bermakna, maka belajar bisa
diklasifikasikan menjadi dua dimensi, diantaranya adalah :

 Dimensi yang berkaitan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada
siswa melalui penerimaan atau penemuan sehingga siswa lebih aktif, atau

 Dimensi yang menyangkut tentang cara siswa untuk mengabaikan informasi pada
beberapa struktur yang ada, khususnya struktur kognitif diantaranya adalah fakta,
konsep, dan generalisasinya yang telah dipelajari dan diingat siswa.

9. Vigotsky
Menurut Vigotsky pembelajaran terjadi bila anak bekerja ataupun mencoba menangani
tugas yang belum pernah namun tugas itu telah berada dalam zone of proximal
development. ZPD merupakan istilah yang dibuat Vigotsky untuk berbagi tugas yang
memang terlalu sulit, namun mereka bisa melakukan hal tersebut karena adanya
koordinasi dan bimbingan yang lebih terampil atau bisa diandalkan. ZPD ini umumnya
cocok bag anak-anak yang lebih suka tantangan.

Kriteria teori yang ideal yaitu formal, akurat, konsisten secara internal, dan memiliki
cakupan yang luas mengenai pembelajaran dan motivasi. Teori ideal ini mengandung variabel-
variabel perantara yang dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh lebih kognitif
dibandingkan pada teori-teori terdahulu. Namun teori tersebut juga terkait dengan topik
perkembangan yang menjelaskan bagaimana manusia berfungsi seperti apa yang dilakukan.

Secara umum teori belajar dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu teori behavioristik,
teori kognitif, teori konstruktivisme, dan teori humanisme. Setiap teori
pembelajaranmempunyaikelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda.Masing-masing teori
menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Namun,
pada dasarnya setiap teori pembelajaran memiliki tujuan yang sama yaitu mewujudkan
pendidikan yang mampu mencetak peserta didik agar dapat bersaing dan terus mengikuti
perkembangan zaman.

1. Teori Behavoristik
Teori belajar yang menekankan terhadap perubahan perilaku siswa adalah teori
belajar behavioristik. Di lihat dari pengertiannya teori belajar behavioristik
merupakan suatu teori psikologi yang berfokus pada prilaku nyata dan tidak
terkait dengan hubungan kesadaran atau konstruksi mental. Ciri utama teori
belajar behavioristik adalah guru bersikap otoriter dan sebagai agen induktrinasi
dan propaganda dan sebagai pengendali masukan prilaku.Hal ini karena teori
belajar behavioristik menganggap manusia itu Nusantara ( Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial ) ISSN 2541-657X Volume 1 Desember 2016 65 bersifat
pasif dan segala sesuatunya tergantung pada stimulus yang didapatkan. Sasaran
yang dituju dari pembelajaran ini adalah agar terjadi perubahan perilaku siswa ke
arah yang lebih baik. Selain dalam pemberian point terhadap pelanggaran aturan
sekolah, teori belajar behavioristik juga diterapkan dalam pembelajaran.
Teori belajar behavioristik melihat belajar merupakan perubahan tingkah
laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input
yang berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respons. Teori
belajar behavioristik menekankan kajiannya pada pembentukan tingkah laku yang
berdasarkan hubungan antara stimulus dengan respon yang bias diamati dan tidak
menghubungkan dengan kesadaran maupun konstruksimental. Teori belajar
behavioristik berlawanan dengan teori kognitif yang mengemukakan bahwa
proses belajar merupakan proses mental yang tidak diamati secara kasat mata.
Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu adanya
perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.Hasil
belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap
lingkungan belajar, baik yang internal maupun eksternal. Belajar berarti
penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan untuk merubah
perilaku.Teori belajar behavioristik dalam pembelajaran merupakan upaya
membentuk tingkah laku yang diinginkan.
Pembelajaran behavioristik sering disebut juga dengan pembelajaran
stimulus respons. Tingkah laku siswa merupakan reaksi-reaksi terhadap
lingkungan dan segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Pembelajaran
behavioristik meningkatkan mutu pembelajaran jika dikenalkan kembali
penerapannya dalam pembelajaran. Berdasarkan komponennya, teori ini relevan
digunakan dalam pembelajaran sekarang ini. Penerapan teori belajar behavioristik
mudah sekali ditemukan di sekolah. Hal ini dikarenakan mudahnyapenerapan
teori ini untuk meningkatkan kualitas peserta didik.
a. Pengertian Teori Belajar Behavoristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku
manusia.Menurut Desmita (2009:44) teori belajar behavioristik merupakan
teori belajar memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan
objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada
diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata
lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui
pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan
mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan
pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons
(Slavin, 2000).Seseorang dianggap telah belajar apabila dapat menunjukkan
ISSN 2541-657X Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1
Desember 2016 66 perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respons. Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan
respons tidak penting untukdiperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh
karenaitu ,apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
siswa (respons) harus dapat diamati dan diukur (Putrayasa, 2013:42). Teori
behavioristik menekankan pada kajian ilmiah mengenai berbagai respon
perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya. Dengan kata lain,
perilaku memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang dapat dilihat
dan diukur. Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu
orang-orang mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik (King, 2010:15).
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada
tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon.Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik.Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
b. Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Teoribelajar behavioristic adalah sebuah teori tentang perubahantingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini berkembang menjadi
aliranpsikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan dan
praktik pendidikan serta pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responsnya mendudukkan siswa yang belajarsebagai individu yang
pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnyaperilakuakan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman (Rusli dan Kholik,
2013). Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia.
Timbulnya aliran ini disebabkan oleh adanya rasa tidak puas terhadap teori
psikologi daya dan teori mental state. Hal ini karena aliran-aliran terdahulu
hanya menekankan pada segi kesadaran saja. Pandangan dalam psikologi dan
naturalisme science, timbulah aliran baru ini. Jiwa atau sensasi atau image
tidak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri karena sesungguhnya jiwa itu
adalah respons-respons psikologis.
Aliran terdahulu memandang bahwa badan adalah skunder, padahal
sebenarnya justru menjadi titik tolak. Natural science melihat semua realita
sebagai gerakan-gerakan dan pandangan natural science mempengaruhi
timbulnya behaviorisme. Dalam behaviorisme, masalah metter (zat)
menempati kedudukan yang paling utama dengan tingkah laku tentang
sesuatu jiwa dapat diterangkan. Behaviorisme dapat menjelaskan kelakuan
manusia secara Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) ISSN 2541-
657X Volume 1 Desember 2016 67 seksama dan menyediakan program
pendidikan yang efektif (Hamalik, 2008:43) Teori belajar behavioristik
adalah sebuah aliran dalam teori belajar yang sangat menekankan pada
perlunya tingkah laku (behavior) yang dapat diamati. Menurut aliran
behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak
atau hubungan antara stimulus dan respons. Oleh karena ituteori ini juga
dinamakan teori stimulus-respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respon sebanyakbanyaknya.
Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih
kepada sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti
kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam kegiatan belajar.
Peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para
ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus (S) dengan respons (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang
penting adalah adanya input berupa stimulusdan output yang berupa respon
(Andriyani, 2015) Behaviorisme adalah suatu studi tentang tingkah laku
manusia. Behaviorisme dapat menjelaskan perilaku manusia dengan
menyediakan program pendidikan yang efektif. Fokus utama dalam konsep
behaviorisme adalah perilaku yang terlihat danpenyebab luar
menstimulasinya. Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar jika
dapat menunjukkan perubahan perilaku (Zulhammi, 2015) Menurut teori
behavioristik tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
penguatan dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksireaksi behavioristik dengan
stimulusnya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respons. Proses terjadi antara
stimulus dan respons tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
dan apa yang diterima harus dapat diamati dan diukur. Hal ini menurut
Sujanto (2009:118), teori belajar behaviorisme objekilmu jiwaharus terlihat,
dapat di indera, dan dapat diobservasi. Metode yang dipakai yaitu mengamati
serta menyimpulkan.
c. Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristic melihat semua tingkah laku manusia dapat
ditelusuri dari bentuk refleks.Dalam psikologi teori belajar behavioristik
disebut juga dengan teori pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku
yang diperoleh dari pengkondisian lingkungan.Pengkondisian terjadi melalui
interaksi dengan lingkungan. Hal ini dilihat secara sistematis dapat diamati
dengan tidak mempertimbangkan keseluruhan ISSN 2541-657X Nusantara
( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1 Desember 2016 68 keadaan
mental. Menurut Ahmadi (2003:46), teori belajar behavioristik mempunyai
ciri-ciri, yaitu. Pertama, aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari
kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang
berdasarkan kenyataan.
Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada
badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa
jiwa. Kedua, segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme
mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan
kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari
terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks
atau suatu mesin. Ketiga, behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu
dilahirkan semua orang adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan
adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang berkembang karena
kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan
hati.

2. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran


Teori belajar behavioristik menekankan terbentuknya perilaku terlihat sebagai
hasil belajar.Teori belajar behavioristik dengan model hubungan stimulus respons,
menekankan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif. Munculnya perilaku
siswa yang kuat apabila diberikan penguatan dan akanmenghilang jika dikenai
hukuman (Nasution, 2006:66).Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap
masalah belajar, karena belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan untuk
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Dengan memberikan
rangsangan, siswa akan bereaksi dan menanggapi rangsangan tersebut. Hubungan
stimulus-respons menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis belajar. Dengan
demikian kelakuan anak terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-
stimulus tertentu. Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa komponen seperti: tujuan pembelajaran, materi
pelajaran, karakteristik siswa, media, fasilitas pembelajaran, lingkungan, dan
penguatan (Sugandi, 2007:35).

Teori belajar behavioristik cenderungmengarahkan siswa untuk berfikir.


Pandangan teori belajar behavioristik merupakan proses pembentukan, yaitu
membawa siswa untuk mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Pembelajaran yang dirancang pada teori belajar
behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif, sehingga belajar
merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu siswa diharapkan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang diterangkan
oleh guru itulah yang harus dipahami oleh siswa. Hal yang paling penting dalam
teori belajar behavioristik adalah masukan dan keluaran yang berupa respons.
Menurut teori ini, antara stimulus dan respons dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan diukur. Dengan demikian yang dapat
diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan
oleh guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati
dan diukur yang bertujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku.
Faktor lain yang penting dalam teori belajar behavioristik adalah factor ISSN
2541-657X Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ) Volume 1 Desember
2016 72 penguatan. Di lihat dari pengertiannya penguatan adalah segala sesuatu
yang dapat memperkuat timbulnya respons.

Pandangan behavioristik kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat


emosi siswa, walaupun siswa memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan behavioristik tidak dapat menjelaskan dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relative sama. Di lihat dari
kemampuannya, kedua anak tersebut mempunyai perilaku dan tanggapan berbeda
dalam memahami suatu pelajaran.Oleh sebab itu teori belajar behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Teori belajar
behavioristik tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsurunsur yang diamati (Putrayasa, 2013:49) Teori belajar
behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon, sedangkan belajar sebagai aktivitas yang
menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari.
Menurut Mukinan (1997:23), beberapa prinsip tersebut, yaitu: (1) teori belajar
behavioristik beranggapan yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah
laku. Seseorang dikatakan telah belajar jika yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan tingkah laku, (2) teori ini beranggapan yang terpenting
dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, karena hal ini yang dapat
diamati, sedangkan apa yang terjadi dianggap tidak penting karena tidak dapat
diamati, dan (3) penguatan, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya
respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Pendidikan berupaya
mengembangkan perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Pendidik berupaya agar
dapat memahami peserta didik yang beranjak dewasa. Perkembangan perilaku
merupakan objek pengamatan dari aliranaliran behaviorisme. Perilaku dapat
berupasikap, ucapan, dan tindakan seseorang sehingga perilaku ini merupakan
bagian dari psikologi. Oleh sebab itu, psikologi pendidikan mengkaji masalah
yang memengaruhi perilaku orang ataupun kelompok dalam proses belajar.

2. Teori kognitif
a. Pengertian Teori Kognitif
Secara bahasa kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya
berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti segala
sesuatu yang berhubungan atau melibatkan kognisi, atau berdasarkan
pengetahuan faktual yang empiris. Dalam pekembangan selanjutnya,
istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi,
baik psikologi perkembangan maupun psikologi pendidikan. Dalam
psikologi, kognitif mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi
setiap perilaku mental manusia yang berhubungan dengan masalah
pengertian, pemahaman, perhatian, menyangka, mempertimbangkan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, membayangkan,
memperkirakan, berpikir, keyakinan dan sebaganya.
Dalam istilah pendidikan, kognitif disefinisikan sebagai satu teori
di antara teori-teori belajar yang memahami bahwa belajar merupakan
pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman. Dalam teori kognitif, tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan
tujuan. Perubahan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh proses
belajar dan berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan
proses belajar daripada hasil belajar.
Teori kognitf pada awalnya dikemukakan oleh Dewwy, dilanjutkan
oleh Jean Piaget, Kohlberg, Damon, Mosher, Perry dan lain-lain, yang
membicarakan tentang perkembangan kognitif dalam kaitannya dengan
belajar. Kemudian dilanjutkan oleh Jerome Bruner, David Asubel, Chr.
Von Ehrenfels Koffka, Kohler, Wertheimer dan sebagainya. Bagi
penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antar
stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks. Belajar melibatkan prinsip-prinsip dasar
psikologi, yaitu belajar aktif, belajar lewat interaksi sosial dan lewat
pengalaman sendiri. Teori belajar kognitif muncul dilatarbelakangi oleh
ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan
para ahli sebelumnya mengenai belajar, sebagaimana dikemukakan oleh
teori Behavior, yang menekankan pada hubungan stimulus-
responsreinforcement.
Munculnya teori kognitif merupakan wujud nyata dari kritik
terhadap teori Behavior yang dianggap terlalu naïf, sederhana, tidak
masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologis. Menurut
paham kognitif, tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward
(ganjaran) dan reinforcement (penguatan). Tingkahlaku seseorang
senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan untuk mengenal atau
memikirkan situasi di mana tingkahlaku itu terjadi. Dalam situasi belajar,
seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh pemahaman
atau insight untuk pemecahan masalah.
Paham kognitifis berpandangan bahwa, tingkahlaku seseorang
sangat tergantung pada pemahaman atau insight terhadap hubungan-
hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Menurut teori kognitif, ilmu
pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak
berjalan secara terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung-sambung dan menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan
alat musik, orang tidak akan bisa alat memainkan musik tanpa memahami
terlebih not-not balok yang terpampang pada portitur sebagai informasi
yang saling lepas dan berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang
secara utuh masuk pikiran dan perasaannya. Dalam praktik, teori ini
terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan“ yang diusulkan oleh Jean
Piaget, “belajar bermakna” oleh Ausubel, dan “belajar penemuan”
(Discovery Learning) oleh Jerome Bruner, belajar pemahaman (insight)
dan sebagainya. Kesemuanya itu akan dibahas dalam makalah ini dengan
menggunakan pendekatan library research dengan teknik study
dokumentasi. Maksudnya adalah data berkaitan dengan teori kognitif
dikumpulkan dari buku-buku, jurnal dan karya iilmiah dan sebagainya.
Kemudian dianalisis dengan pendekatan reflektif thinking, yaitu
kombinasi antara pendekatan induksi dan deduksi.
b. Teori Kognitif dalam Pembelajaran
1) Belajar dalam Presfektif Teori Kognitif
Terdapat banyak pandangan tentang belajar, sehingga muncul
berbagai teori belajar. Antara teori yang satu dengan teori lainnya
berbeda-beda dalam mendefinisikan belajar. Teori belajar hadir
dan muncul pada dasarnya disebabkan oleh para ahli Psikologi
belum puas dengan penjelasan teori-teori yang terdahulu tentang
belajar. Di antara teori belajar yang sangat terkenal adalah teori
behavior dan teori kognitif. Menurut teori behavior, segala
kejadian di lingkungan sangat mempengaruhi prilaku seseorang
dan akan memberikan pengalaman tertentu dalam dirinya. Oleh
karena itu, belajar menurut teori behavior adalah perubahan
tingkahlaku sebagai akibat dari interaksi individu dengan
lingkungannya, interaksi tersebut merupakan hasil dari
conditioning melalui S-R (stimulus-respons).
Seseorang dikatakan telah belajar, apabila menunjukkan
perubahan tingkah laku dari stimulus yang diterimanya. Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono mengemukakan, perubahan
tingkah laku tersebut dapat diamati dengan indera manusia dan
langsung tertuang dalam tingkah lakuknya. Individu belum
dikatakan belajar, apabila belum terjadi perubahan tingkah laku
individu. Berbeda denga teori kognitif, belajar bukan hanya
sekedar melibatkan hubungan stimulus dan respon, tetapi belajar
pada hakekatnya melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah usaha mengaitkan pengetahuan baru ke dalam
struktur berfikir yang sudah dimiliki individu, sehingga
membentuk struktur kognitif baru yang lebih mantap sebagai hasil
belajar.
Teori kognitif juga beranggapan bahwa, tingkah laku
seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan
atau tingkahlaku individu ditentukan oleh persepsi atau
pemahamannya tentang diri dan situasi yang berhubungan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Dalam teori kognitif, belajar pada
prinsipnya adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat dilihat sebagai perubahan tingkah laku yang kongkrit.
Di sisi lain, teori belajar kognitif lebih menekankan bahwa, belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
Seperti diungkapkan oleh Winkel bahwa “belajar adalah suatu
aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap, perubahan
itu bersifat relatif dan berbekas”. Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat diketahui bahwa belajar menurut teori kognitif adalah
suatu proses atau usaha yang melibatkan aktivitas mental yang
terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif
dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam
bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan, nilai
dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Misalnya, seseorang
mengamati sesuatu ketika dalam perjalanan. Dalam pengamatan
tersebut terjadi aktifitas mental. Kemudian ia menceritakan
pengalaman tersebut kepada temannya. Ketika dia menceritakan
pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat
menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam
perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu
dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Maka dengan demikian, telah
terjadi proses belajar, dan terjadi perubahan terutama terhadap
pengetahuan dan pemahaman. Jika pengetahuan dan pemahaman
tersebut mengakibatkan perubahan sikap, maka telah terjadi
perubahan sikap, dan seterusnya.
c. Beberapa Teori Kognitif: Tokoh dan Pemikirannya
1.) Gambaran umum tentang Teori Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Swiss dan pada awal mulanya ia
ahli biologi, dan dalam usia 21 tahun sudah meraih gelar doktor. Ia
telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang
bertemakan perkembangan anak dan kognitif. Pengaruh pemikiran
Jean Piagert baru mempengaruhi masyarakat, seperti di Amirika
Serikat, Kanada, dan Australia baru sekitar tahun 1950-an. Menurut
Bruno (dalam Muhibin Syah), hal ini disebabkan karena terlalu
kuatnya cengkeraman aliran Behaviorisme gagasan Watson (1878-
1958).
2). Belajar menurut Teori Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget mengemukakan bahwa proses belajar akan terjadi
apabila ada aktivitas individu berinteraksi dengan lingkungan sosial
dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan dan perkembangan individu
merupakan suatu proses sosial. Individu tidak berinteraksi dengan
lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai
bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya
berada di antara individu dengan lingkungan fisiknya. Interaksi
Individu dengan orang lain memainkan peranan penting dalam
mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran
ide-ide dengan orang lain, individu yang tadinya memiliki
pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan
berubah pandangannya menjadi obyektif. Piaget mengemukakan
bahwa, perkembangan kognitif memiliki peran yang sangat penting
dalam proses belajar. Perkembangan kognitif pada dasarnya
merupakan proses mental. Proses mental tersebut pada hakekatnya
merupakan perkembangan kemampuan penalaran logis
(development of ability to respon logically). Bagi Piaget, berfikir
dalam proses mental tersebut jauh lebih penting dari sekedar
mengerti. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin
kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuan kognitifnya. Proses perkembangan mental bersifat
universal dalam tahapan yang umumnya sama, namun dengan
berbagai cara ditemukan adanya perbedaan penampilan kognitif
pada tiap kelompok manusia. Sistem persekolahan dan keadaan
sosial ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan
penampilan dan perkembangan kognitif pada individu, demikian
pula dengan budaya, sisitem nilai dan harapan masyarakat masing-
masing.

3).Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Menurut Jean Piaget


Menurut Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu melalui
interaksi secara terus menerus dengan lingkungan. Ada empat tahap
perkembangan kognitif menurut Piaget, yaitu :
a).Tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun).
individu memahami sesuatu atau tentang dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris, (seperti
melihat, dan mendengar) dan dengan tindakan-tindakan motorik
fisik. Dengan kata lain, pada usia ini individu dalam memahami
sesuatu yang berada di luar dirinya melalui gerakan, suara atau
tindakan yang dapat diamati atau dirasakan oleh alat inderanya.
Selanjutnya sedikit demi sedikit individu mengembangkan
kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bendabenda
lain.
b) Tahap pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Individu mulai melukiskan dunia melalui tingkah laku dan kata-
kata. Tetapi belum mampu untuk melakukan operasi, yaitu
melakukan tindakan mental yang diinternalisasikan atau melakukan
tindakan mental terhadap apa yang dilakukan sebelumnya secara
fisik. Pada usia ini individu mulai memiliki kecakapan motorik
untuk melakukan sesuatu dari apa yang dilihat dan didengar, tetapi
belum mampu memahami secara mental (makna atau hakekat)
terhadap apa yang dilakuaknnya tersebut.
c) Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun).
Individu mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian yang
bersifat konkret. Individu sudah dapat membedakan benda yang
sama dalam kondisi yang berbeda.
d) Tahap operasional formal (11 tahun ke atas).
Sementara Salvin menjelaskan bahwa pada operasional formal
terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal. Pada masa ini individu
mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya
atau individu mengalami perkembangan penalaran abstrak.
Individu dapat berpikir secara abstrak, lebih logis dan idealis.

Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan, dan setiap tahap


tersebut berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari
tahap tersebut. Setiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-
kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami
dunia dengan cara yang semakin kompleks. Hal ini berarti bahwa
semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan
sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuan kognitifnya.
Menurut Peaget, ada tiga proses yang mendasari perkembangan individu
yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi.

Asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur


kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur kognitif yang
sudah ada dengan situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian secara
seimbang, terus-menerus yang dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi sudah berlangsung sejak kehidupan
pada masa bayi. Pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya dan akan
menyebabkan adanya perubahanperubahan kualitatif dalam struktur
kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman
baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan
struktur kognitif yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi.
Sebaliknya, apabila struktur kognitifnya yang harus disesuaikan dengan
informasi yang diterima, maka proses ini disebut akomodasi.
Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila terjadi konflik
koginitif atau suatu ketidakseimbangan antara apa yang telah diketahui
dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi
apa bila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Proses
penyesuaian tersebut terjadi secara seimbang dan terus-menerus
dilakukan secara asimilasi dan akomodasi, itulah yang dinamakan
ekuilibrasi.

d. Implikasi Teori Kognitif Piaget dalam Pembelajaran


Ada beberapa hal penting yang diambil terkait teori kognitif sebagaimana
dikemukakan oleh Piaget, diantaranya adalah :
a) Individu dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri
Yang menjadi titik pusat dari teori belajar kognitif Piaget ialah
individu mampu mengalami kemajuan tingkat perkembangan kognitif atau
pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap individu dapat dibentuk dan dikembangkan oleh
individu sendiri melalui interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus
dan selalu berubah. Dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut,
individu mampu beradaptasi dan mengorganisasikan lingkungannya,
sehingga terjadi perubahan dalam struktur kognitifnya, pengetahuan,
wawasan dan pemahamannya semakin berkembang. Atau dengan kata
lain, individu dapat pintar dengan belajar sendiri dari lingkungannya.
Walaupun demikian, pengetahuan yang diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan, adakalanya tidak persis sama dengan apa
yang diperoleh dari lingkungan itu.
Individu mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri, mampu
memodivikasi pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, sehingga
melahirkan pengetahuan atau temuantemuan baru. Hal ini terbukti banyak
ilmuwan yang menghasilkan temuan-temuan baru yang selama ini tidak
dipelajari di bangku sekolah. Oleh karena itu, proses pendidikan bukan
hanya sekedar transfer of knowledge, tetapi juga bagaimana merangsang
struktur kognitif inadividu sehingga mampu melahirkan pengetahuan dan
temuan-temuan baru.

b) Individualisasi dalam pembelajaran


Dalam proses pembelajaran, perlakuan terhadap individu harus
didasarkan pada perkembangan kognitifnya. Atau dengan kata lain,
dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan individu. Belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Hal ini disebabkan karena setiap tahap perkembangan kognitif
memiliki karakteristik berbeda-beda. Susunan saraf seorang akan
semakin kompleks seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini
memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Oleh karena
itu, dalam proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap
perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini
bersifat hirarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan
umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang di luar
kemampuan kognitifnya. Tingkat perkembangan peserta didik
harus dijadikan dasar pertimbangan guru dalam menyusun struktur
dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum. Hunt (dalam Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono) mempraktekkan di dalam
program pendidikan TK yang menekankan pada perkembangan
sensorimotoris dan praoperasional. Misalnya: belajar menggambar,
mengenal benda, menghitung dan sebagainya. Seorang guru yang
bila tidak memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif,
maka akan cenderung menyulitkan siswa. Contoh lain,
mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang shalat kepada
sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk
mengkongkretkan konsep-konsep tersebut, tidak hanya sia-sia,
tetapi justru akan lebih membingungkan siswa. Dalam proses
pembelajaran juga harus memperhatikan tingkat perkembangan
peserta didik. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang
dewasa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru harus
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

C. TEORI DAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM


PEMBELAJARAN

Seperti cendawan di musim hujan, kini terminologi “konstruktivisme” telah muncul dan merebak
dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah “konstruktivisme‘ itu sejalan dengan kebingungan
kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis pembelajaran. Menurut Brooks & Brooks
(1993) semula konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan bukan suatu strategi,
pendekatan, maupun model pembelajaran. “Constructivism is not an instructional strategy to be
deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy or
way of seeing the world”. Bahkan menurut Von Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme sebagai
"teori pengetahuan dengan akar dalam ―filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme apapun namanya secara aktif dan kreatif akan selalu membentuk
konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima
apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi dan interaksinya. Hal itu secara aktif dan
kreatif terutama dengan membangun pengetahuan itu. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan
sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, dan bukan untuk menemukan suatu tujuan
kenyataan (von Glasersfeld, 1995). Dengan demikian‘konstruktivisme‘ merupakan istilah luas
yang digunakan oleh para filsuf, ahli kurikulum, psikologi, maupun pendidik, yang menurut
Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam
―filosofi, psikologi, dan cybernetics" menekankan; (1) pembelajar aktif dalam
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri; (2) interaksi sosial itu penting bagi
pengkonstruksian pengetahuan. Perspektif konstruktivis berpijak pada, antara lain; penelitian
John Dewey (1859-1952), Bartlett (1886-1969), Piaget (1896-1980), Vygotsky (1896-1934),
Ausubel (1918–2008), Jerome Bruner (1915-1980). Tidak ada teori konstruktivisme tunggal,
tetapi sebagian besar konstruktivisme memiliki dua ide utama yang sama, yakni; ―pembelajar
aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan bahwa interaksi sosial penting bagi
pengkonstruksian pengetahuan (Bruning, Schraw, Norby & Ronning, 2004: 195). Dalam
konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang
Volume 4 No. 1 Tahun 2016 | H. Dadang Supardan 2 disampaikan oleh guru maupun
teks.Alihalih, pembelajaran adalah konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal (de
Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004).Jadi banyak teori di bidang ilmu kognitif yang memasukkan
jenis konstruktivisme tertentu karena teori-teori tersebut berasumsi bahwa individu-individu
mengkonstruksikan struktur kognitifnya sendiri pada saat mereka menginterpretasikan
pengalamannya dalam situasi tertentu (Palinscar, 1998).Ada beberapa pendekatan konstruktivis
di bidang pendidikan sains dan matematika, di bidang psikologi dan antropologi, dan di bidang
pendidikan berbasis computer. Meskipun banyak psikolog dan pendidik menggunakan instilah
konstruktivisme, seringkali mereka dimaksudkannya untuk hal-hal yang sangat berbeda
(Driscoll, 2000; McCaslin & Hickey, 2001; Philips, 1997). Salah satu cara untuk
mengorganisasikan pandangan-pandangan konstruktivis adalah berbicara tentang tiga bentuk
konstruktivisme, konstruktivisme psikologis/individual/personal, social, dan dialektikal
(Palincsar, 1998; Philips, 1997). Kita bisa saja sedikit terlalu menyederhanakan dengan
mengatakan bahwa konstruktivis psikologis memfokuskan pada bagaimana individuindividu
menggunakan informasi, sumber daya, dan bantuan dari orang lain untuk membangun dan
meningkatkan model mental dan strategi problem solving-nya. Sebaliknya, konstruktivisme
sosial melihat belajar sebagai peningkatan kemampuan untuk berpartisipasi bersama orang lain
dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya dan masyarakat (Windschitl, 2002). Atau
juga dialektikal yang merupakan perpaduan antara psikologia/individual dengan sosial.

PRINSIP-PRINSIP

Di dalam pembelajaran konstruktivisme, konstruktor pengetahuan aktif memiliki prinsip-prinsip


sebagai berikut: 1. Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pembelajar secara aktif
mengkonstruksikan belajarnya dari berbagai macam input yang diterimanya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pembelajar perlu bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. Belajar
adalah tentang membantu untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang
"mendapatkan jawaban yang benar" karena dengan cara seperti ini siswa dilatih untuk
mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya (Muijs, & Reynolds,
2009).. 2. Anak-anak belajar dengan paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif
(konflik dengan berbagai ide dan konsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi, dan metakognisi
(Beyer, 1985). 3. Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna, Pembelajar secara aktif
berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian guru mestinya berusaha
mengkonstruksikan berbagai kegiatan belajar seputar ideide besar dan eksplorasi yang
memungkinkan pembelajar untuk mengkonstruksikan makna. 4. Konstruksi pengetahuan bukan
sesuatu yang bersifat individual semata-mata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui
interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik
adalah adalah mengkonstruksi u topik k 5. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa
pembelajar secara individual dan 7 Edunomic | Volume 4 No. 1 Tahun 2016 kolektif
mengkonstruksilan pengetahuan adalah bahwa agar efektif guru harus memiliki pengetahuan
yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehingga mereka dapat menilai secara
lebih akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi. 6. Di samping itu belajar selalu
dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara murni abstrak, tetapi selalu
dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui. Kita juga belajar dalam kaitannya
dengan prakonsepsi kita. Ini berarti bahwa kita dapat belajar dengan paling baik bila
pembelajaran baru itu berhubungan secara eksplisit dengan apa yang telah kita ketahui. 7.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh,
dengan mengeksplorasi dan menengok kembali mated yang kita pelajari dan bukan dengan cepat
pindah dari satu topik seperti pada pendekatan pengajaran langsung. Murid hanya dapat
mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya. 8. Mengajar adalah
sebagai pemberdayaan pembelajar, dan memungkinkan pembelajar untuk menemukan dan
melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman realistis. Ini akan menghasilkan
pembelajaran otentik dan pemahaman yang lebih dalam bila dibandingkan dengan memorisasi
permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glassersfeld,
1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-
bahan hands-on dari riil daripada texbook.

PENERAPAN PEMBELAJARAN

Suatu hal yang perlu diingat, tidak mungkin untuk menciptakan sebuah pembelajaran
konstruktivis yang bersifat "generik", berlaku untuk semua situasi. Menurut sifatnya,
konstruktivisme seharusnya mendorong siswa untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka dan
mendiskusikan tentang subjek yang dikajinya. Berdasarkan jenis dan bentuknya penyajian model
pembelajaran konstruktivisme, terdapat tiga model kecenderungan, yakni; Model
Konstruktivisme "Siklus Belajar", yang tahapan-tahapannya; (a) diskaveri, di mana para siswa
didorong untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun hipotesis-hipotesis; (b)
Pengenalan Konsep; dalam hal ini guru mempertanyakan konsep-konsep yang berhubungan
dengan topik itu; (c) Aplikasi Konsep; dengan menerapkan konsepkonsep yang dikemukakan
tahap 1 & 2 serta boleh mengulangi tahapannya lagi; Model Konstruktivisme Gagnon & Collay;
yang terdiri atas enam tahapan, yakni; (a) Situasi: gambarkan situasi tertentu yang berhubungan
dengan tema/topik pembhs; (b) Pengelompokan: buat kelompok bisa berdasarkan no urut
maupun campuran tingkat kecerdasannya; (c) Jembatan; memberikan suatu masalah
sederhana/permainan/ teka-teki untuk dipecahkan; (d) Pertanyaan; buat pertanyan pembuka
maupun kegiatan inti agar siswa tetap termotivasi untuk belajar lebih jauh; (e)
Mendemonstrasikan: memajangkan/ memamerkan/menyajikan hasil kerja siswa di kelas; (f)
Refleksi: merenungkan, menindak-lanjuti laporan kelompok yang dipresentasikan. Model
Konstruktivisme McClintock dan Black; yang terdiri atas tujuh tahapan, yakni; (a) Observasi:
siswa melakukan observasi terutama atas sumber-sumber, materi-materi, foto, gambar, rekaman
video, & permainan ttg kebudayaan daerah; (b) Konstruksi Interpretasi: siswa
menginterpretasikan pengmt dan memberikan penjelasan; (c) Kontekstualisasi/siswa
membangun konteks untuk penjelasan mereka; (d) Belajar keahlian kognitif. guru membantu
pengamatan, penguasaan siswa, interpretasi, dan kontekstualisasi; (e) Kolaborasi:Para siswa
bekerja sama dalam Volume 4 No. 1 Tahun 2016 | H. Dadang Supardan 8 observasi,
menafsirkan, dan kontekstualisasi; (f) Interpretasi jamak: Para siswa memperoleh fleksibilitas
kognitif dengan memiliki kemampuan mengunjukkan berbagai penafsiran dari berbagai
perspektif; (g) Manifestasi jamak.siswa memperoleh transferabilitas dengan melihat berbagai
penjelmaan penafsiran yang beragam (Supardan, 2015: 175-177; 2004:5). Dalam contoh
penerapan pembelajaran di bawah ini, penulis mengambil bentuk Model Pembelajaran
Konstruktivisme "Siklus Belajar". Pertama, fase discovery (diskaveri); pada tahap ini di mana
para siswa didorong untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun hipotesis-hipotesis.
Sebut saja tentang kajian Pergerakan Nasional sebagai perlawanan terhadap Imperialisme &
Kolonialisme Barat, maka pada kegiatan awal tersebut guru harus mampu mendorong siswa
untuk belajar tentang Pergerakan Nasional tersebut.Misalkan, mengapa periode 1908-1942
sering disebut sebagai Pergerakan Nasional? Apa yang menjadi ciri yng khas dalam periode
Pergerakan Nasional itu? Bagaimana menurut Anda pentingnya Pergerakan/perjuangan dalam
kehidupan kita sekarang ini? Kedua, fase Pengenalan Konsep; dalam hal ini siswa sibuk
membahas beberapa konsep baru tentang Pergerakan Nasional melalui bimbingan guru dengan
mendiskusikan dan mempertanyakan konsep-konsep yang berhubungan dengan topik tersebut.
Misalkan konsep; Kebangkian Nasional; Organisasi Budi Utomo, Muhammadiyah, Sarekat
Islam, Indische Partij, PNI, Partindo, Parindra, GAPI, Volksraad, Petisi Sutardjo, dan
sebagainya. Atau para siswa dapat mencari konsep-konsep bagiannya yang menyertai
pembahasan tersebut, seperti: Pendiri, Pejuang Perintis, Penjara Sukamiskin, diekstradisi
/diasingkan ke Digul, Negeri Belanda, Golongan Konservatif, kooperatif, nonkooperatif, dan
sebagainya Ketiga, fase aplikasi konsep; dengan menerapkan konsep-konsep yang dikemukakan
tahap 1 & 2 serta boleh mengulangi tahapannya lagi jika hal itu dianggap perlu.Pada tahap ini
siswa mampu menghubungkan organisasiorganisasi Pergerakan Nasional tempo dulu dengan
organisasi-organisasi profesi sekarang, dan siswa mampu memberikan usulan-usulan baru dalam
memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, social, budaya dalam kehidupan sekarang ini.
Contoh; Siswa dapat menjelaskan hubungan organisasi-organisasi politik dahulu dengan partai-
partai politik yang berkembang sekarang ini; perbandingan bentuk-bentuk organisasi Pergerakan
Nasional dengan organisasi profesi yang sekarang berkembang, seperti IDI (Ikatan Dokter
Indonesia), PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dan sebagainya. Siswa juga mampu
menganalisis serta mendiskusikan apa yang teleh mereka kerjakan dalam diskusi kelompok kecil,
agar bangsa Indonesia tidak dijajah secara ekonomi, budaya, dan politik sekarang ini oleh
negara-negara Barat khususnya, dan negara-negara maju umumnya. Pentingnya beretos kerja
yang kreatif dan produktif merupakan modal dasar yang harus dimiliki sebagai bangsa yang
berupaya membebaskan belenggu dari kemiskinan, serta pengembangan jiwa wira-usaha yang
gigih merupakan keniscayayaan dalam meniti ekonomi mandiri. Dalam hal ini guru dapat
memberikan scaffolding yang bermanfaat siswa sangat—sebuah teknik mengubah level
dukungan, saat kemampuan siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan
(Santrock, 2009: 43).
Dalam menerapkan teori belajar, terkadang guru menggunakan lebih dari satu teori belajar dalam
proses pembelajaran. Walaupun memang pada dasarnya tidak ada teori belajar yang terbaik.
Tinggal bagaimana kita bisa menentukan teori mana yang cocok dan bisa melaksanakan
pembelajaran dengan baik sesuai dengan keadaan peserta didik.

Pendidikan, bukanlah melulu penerapan teori-teori belajar. Namun, ketepatan memilih metode
dan pendekatan sangat penting dalam pendidikan.Oleh karena itu, guru harus menggunakan
metode dan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya menarik, tetapi juga memberikan ruang
bagi peserta didik untuk berkreatifitas dan terlibat secara aktif sepanjang proses pembelajaran.
Sehingga aspek-aspek yang ada dalam diri peserta didik dapat dikembangkan secara optimal.

4. TEORI BELAJAR HUMANISTIK DALAM MENINGKATKAN PRESTASI


BELAJAR SISWA
Pendidikan dan pembelajaran bagi setiap individu manusia merupakan “personal
requirement” yang harus dipenuhi oleh setiap manusia guna meningkatkan taraf hidupnya dan
mengangkat derajatnya, apakah itu di lakukan di lingkungan keluarga sebagai organisasi
terkecil, sekolah ataupun di lingkungan masyarakat (Baharun, 2016a). Pembelajaran dapat
dipahami sebagai segala sesuatu yang dilakukan dengan maksud untuk memfasilitasi belajar.
Pembelajaran juga dapat dipahami sebagai upaya yang disengaja untuk mengelola kejadian
atau peristiwa belajar dalam memfasilitasi peserta didik sehingga mampu memperoleh tujuan
dari yang dipelajari (Yaumi, 2013).
Belajar merupakan suatu kegiatan yang cukup urgen dalam upaya pencapaian tujuan
pendidikan. Tanpa belajar seseorang tidak mungkin bisa menjadi orang yang terdidik. Dengan
kata lain orang yang terdidik adalah orang yang selalu gemar belajar. Dalam kehidupannya
selalu berusaha untuk belajar, sehingga tertanam suatu prinsip pada dirinya “tiada hari tanpa
belajar”. Setiap manusia dimana saja berada tentu melakukan kegiatan belajar. Seorang siswa
yang ingin mencapai cita-citanya tentu harus belajar dengan giat. Bukan hanya di sekolah
saja, tetapi juga harus belajar di rumah, dalam masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan
ekstra di luar sekolah berupa kursus, les privat, bimbingan studi, dan sebagainya (Dalyono,
2009).
Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para
pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu
di lembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan
keinginan (Djamarah, 2002). Belajar merupakan proses yang kompleks yang terjadi pada
setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara
seseorang dengan lingkungannya (Baharun, 2016b). Sebuah dimensi kajian differencial
psychology memberikan ruang khusus tentang teori perbedaan individu manusia (Muali,
2017). Dalam perspektif psikologi, belajar adalah merupakan proses dasar dari perkembangan
hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu
sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain
adalah hasil dari belajar. Belajar itu bukan sekedar pengalaman, belajar berlangsung secara
aktif dan integratif dengan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan (Nidawati,
2013). Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup anak didik. Dengan belajar
anak didik melakukan perubahan-perubahan kualitatif, sehingga tingkah lakunya berkembang.
Semua aktivitas dan prestasi hidup anak didik lain adalah hasil dari belajar (Soemanto, 2006).
Tujuan belajar adalah: (1) Belajar bertujuan mengadakan perubahan dalam diri antara lain
perubahan tingkah laku. (2) Belajar bertujuan mengubah kebiasaan yang buruk menjadi baik.
(3) Belajar bertujuan mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat menjadi
hormat, benci menjadi sayang dan sebagainya. (4) Dengan belajar dapat memiliki
keterampilan. (5) Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu
(Syarifuddin, 2011).
Dalam sistem dan proses pendidikan manapun, guru tetap memegang peranan penting,
para siswa tidak mung kin belajar sendiri tanpa bimbingan guru yang mampu mengemban
tugasnya dengan baik. Peranan guru yang begitu besar dapat ditinjau dalam arti luas dan
dalam arti sempit (Baharun, 2017). Ada 3 prinsip belajar yang utama yakni: (1) Classical
Conditioning, teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan Ivan Pavlov
(1849-1936), seorang ilmuan kebangsaan Rusia. Classical conditioning merupakan suatu
proses belajar melalui pembiasaan (conditioning) terhadap suatu objek dengan
menitikberatkan pada proses pemberian rangsang (stimulus) guna mendapatkan suatu respon
tertentu (stimulus and response relationship), tanpa menggunakan penguat (reinforcement).
Menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan respon. (2) Instrumental (Operant)
Conditioning. Penelitian conditioning operant dimulai dengan sejumlah eksperimen oleh
Throndike. Beliau berpendapat bahwa dalam conditioning operant, hukum efek menyeleksi,
dari sejumlah respon acak, hanya respon yang diikuti oleh konsekuensi positif. Proses ini
mirip evolusi yang hukum kelangsungan hidup bagi yang terkuat memilih dari sekumpulan
variasi spesies acak, hanya perubahan yang meningkatkan kelangsungan hidup spesies.
Dengan begitu hukum efek meningkatkan kelangsungan hidup spesies. Sebagai contoh, tikus
yang berada di dalam sangkar bereksplorasi dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-
benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding dan sebagainya. (3) Cognitive Learning,
terminologi kognisi (cognitive) mengarah pada pemrosesan informasi mengenai lingkungan,
yang diterima melalui panca indera. Sedangkan learning mengarah pada perubahan perilaku
yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan ataupun pengalaman. Cognitive learning
adalah perubahan cara memproses informasi sebagai hasil pengalaman atau latihan
(Syarifuddin, 2011). Prinsip-prinsip belajar dapat digunakan untuk mengungkapkan
batasbatas kemungkinan dalam pembelajaran, sehingga guru dapat melakukan tindakan yang
tepat. Selain itu dengan teori dan prinsip-prinsip pembelajaran, guru juga dapat memiliki dan
mengembangkan sikap yang diperlukan untuk menunjang peningkatan belajar peserta didik
(Bahtiar, tt). Berdasarkan realita yang tampak didepan mata, pendidikan saat ini cenderung
bersifat pragmatism, yang mana siswa dianggap sebagai sebuah gelas yang kosong yang
hanya bisa diisi tanpa peduli terhadap potensi yang dimilikinya. Untuk itu maka perlu kiranya
mengembangkan proses pembelajaran. Termasuk upaya dalam mengembangkan proses
pembelajarann yaitu, pertama membangun proses belajar sebagai proses yang diarahkan
siswa, bukan sekedar keinginan guru atau orang tua yang menuang di gelas kosong. Kedua,
kemampuan belajar berdasar regulasi diri mempunyai hubungan dengan motivasi dan prestasi
belajar siswa. Ketiga, terkait dengan fungsi pendidikan, kemampuan belajar berdasar regulasi
diri mampu mengembangkan tujuan utama pendidikan yaitu pengembangan keterampilan
belajar sepanjang hayat (Yuli Fajar Susetyo, 2012).

a. Teori Belajar Humanistik


Pada dasarnya kata “humanistik” merupakan suatu istilah yang mempunyai banyak
makna sesuai dengan konteksnya. Misalnya, humanistik dalam wacana keagamaan
berarti tidak percaya adanya unsur supranatural atau nilai transendental serta
keyakinan manusia tentang kemajuan melalui ilmu dan penalaran. Di sisi lain
humanistik berarti minat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bersifat
ketuhanan. Sedangkan humanistik dalam tataran akademik tertuju pada pengetahuan
tentang budaya manusia, seperti studi-studi klasik mengenai kebudayaan Yunani dan
Roma (Roberts, 1975). Pendidikan humanistik sebagai sebuah nama pemikiran/teori
pendidikan dimaksudkan sebagai pendidikan yang menjadikan humanisme sebagai
pendekatan. Dalam istilah/nama pendidikan humanistik, kata “humanistik” pada
hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan
(Mulkhan, 2002). Teori pendidikan humanistik yang muncul pada tahun 1970-an
bertolak dari tiga teori filsafat, yaitu: pragmatisme, progresivisme dan
eksistensisalisme. Ide utama pragmatisme dalam pendidikan adalah memelihara
keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah
lingkungan (Dewey, 1966). Progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri
supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam
menentukan kebijakannya. Kalangan progresivis berjuang untuk mewujudkan
pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. Progresivisme menekankan
terpenuhi kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif membangun
pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari
pengalaman kehidupan. Pengaruh terakhir munculnya pendidikan humanistik adalah
eksistensialisme yang pilar utamanya adalah invidualisme. Kaum eksistensialis
memandang sistem pendidikan yang ada itu dinilai membahayakan karena tidak
mengembangkan individualitas dan kreativitas anak. Sistem pendidikan tersebut
hanya mengantarkan mereka bersikap konsumeristik, menjadi penggerak mesin
produksi, dan birokrat modern. Kebebasan manusia merupakan tekanan para
eksistensialis (Noddings, 1998). Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan
bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga
muncul keinginan belajar. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa eksistensialisme
adalah suatu humanisme (Scruton, 1984). Teori humanistik berasumsi bahwa teori
belajar apapun baik dan dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan
manusia yaitu pemcapaian aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang
belajar secara optimal (Assegaf, 2011). Penuturan Knight tentang humanistic ialah
“Central to the humanistic movement in education has been a desire to create learning
environment where children would be free from intense competition, harsh discipline,
and the fear of filure”. Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan
untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari
kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan ketakutan gagal. Freire
mengatakan; “Tidak ada dimensi humanistik dalam penindasan, juga tidak ada proses
humanisasi dalam liberalisme yang kaku” (Freire, 2002). Prinsip-prinsip pendidik
humanistik: (1) Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru
humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar
jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya. (2) Tujuan pendidikan harus
mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar.
Siswa harus termotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri. (3)
Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi belajar diri
yang bermakna. (4) Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun
pengetahuan, sangat penting dalam sebuah proses belajar dan tidak memisahkan
domain kognitif dan afektif. (5) Pendidik humanistik menekankan pentingnya siswa
terhindar dari tekanan lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar.
Dengan merasa aman, akan lebih mudah dan bermakna proses belajar yang dilalui.
Prinsip-prinsip belajar yaitu: (1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan, kemudian
baru menuju bagian-bagian. (2) Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian. (3)
Belajar adalah penyesuaian diri terhadap lingkungan. (4) Belajar akan berhasil
apabila tercapai kematangan untuk memperoleh pengertian. (5) Belajar akan berhasil
bila ada tujuan yang berarti individu. (6) Dalam proses belajar itu, individu
merupakan organisme yang aktif, bukan bejana yang harus diisi oleh orang lain
(Sobur, 2003).
Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk
menentukan arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh
atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Beberapa pendekatan yang layak
digunakan dalam metode ini adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif.
Pendekatan dialogis mengajak siswa untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif.
Guru tidak bertindak sebagai guru yang hanya memberikan asupan materi yang
dibutuhkan siswa secara keseluruhan, namun guru hanya berperan sebagai fasilitator
dan partner dialog (Arbayah, 2013). Pembelajaran humanistik memandang manusia
sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia
bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain.
Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang
utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara
pribadipribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini
berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi
oleh cinta kasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan
relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh
pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal
relationship) (Arbayah, 2013). Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk
memanusiakan manusia. proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaikbaiknya. Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan
dari sudut pandang pengamatnya (Arbayah, 2013). Abraham Maslow dikenal sebagai
pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk
memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal
sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan).
Manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan
fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging
needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs
(kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).
Sehingga pendidikan humanistik haruslah pendidikan yang mencakup lima kebutuhan
tersebut (Arbayah, 2013).
Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
Hakikat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia
(human dignity) atau memperlakukan manusia sebagai humanizing human sehingga
menjadi manusia yang sesungguhnya (Mastuhu, 2003). Pendidikan dan pembelajaran
di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik
untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif
mereka sendiri menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir
kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi
tantangan dan lebih kompetitif (Arbayah, 2013). Belajar adalah perubahan struktur
mental individu yang memberikan untuk menunjukkan perubahan perilaku (learning
is a change in a person’s mental structure that provides the capacity to demonstrate
change in behaviour) (Syarifuddin, 2011).
Belajar juga merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku menuju perubahan tingkah
laku yang baik, dimana perubahan tersebut terjadi melalui latihan atau pengalaman.
Perubahan tingkah laku tersebut harus relatif mantap yang merupakan akhir daripada suatu
periode waktu yang cukup panjang. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar
tersebut menyangkut berbagai aspek kepribadian baik fisik maupun psikis, seperti
perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berfikir, keterampilan, kecakapan
ataupun sikap (Sudarwan Darnim, 2011). Tujuan belajar bukanlah mencari rezeki di dunia
semata, tetapi untuk sampai kepada hakikat, memperkuat akhlak, artinya mencari atau
mencapai ilmu/belajar yang sebenarnya dan akhlak yang sempurna (Zuhairini, 2009). Belajar
dan pembelajaran merupakan aktivitas utama dalam proses pendidikan. Pendidikan
merupakan sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan baik untuk diri peserta didik
itu sendiri maupun untuk masyarakat, bangsa dan Negara (Hanafy, 2014). Pendidikan yang
humanistik memandang manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan dengan fitrah-fitrah
tertentu untuk dikembangkan secara optimal. Selain itu pendidikan islam (humanistik)
adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan apresiasinya yang tinggi kepada manusia
sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang
hakiki dan tentu sebagai khalifatullah (Baharuddin, 2009). Berdasarkan hal tersebut di atas
pendidikan diharapkan mampu menjadikan anak didik sebagai pelaku pendidikan sehingga
mampu membentuk pribadi yang unggul, pribadi utuh dan pribadi yang memiliki
ketangguhan dan kesiapan dalam menghadapi era persaingan global dan nilainilai daya
saing yang tinggi dan kritis terhadap berbagai permasalahan (Haryu, 2006)
Dengan terwujudnya cita-cita pendidikan di atas diharapkan siswa mampu
meningkatkan prestasi belajarnya yang mana hal tersebut bisa dijadikan sebuah symbol
kesuksesan dari proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Sebagaimana telah tersebut
di atas beberapa factor meningkatnya prestasi belajar, maka di perlukan sebuah kerjasama
berbagai pihak yang terkait. Kesimpulan Pendidikan saat ini cenderung bersifat pragmatism,
yang mana siswa dianggap sebagai sebuah gelas yang kosong yang hanya bisa diisi tanpa
peduli terhadap potensi yang dimilikinya. Hal ini bisa memasung potensi yang tertanam dala
diri siswa. Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk
menentukan arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh atas
hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Dalam pembelajaran humanistic seorang
guru tidak bertindak sebagai guru yang hanya memberikan asupan materi yang dibutuhkan
siswa secara keseluruhan, namun guru hanya berperan sebagai fasilitator dan partner
dialog. Menurut teori belajar humanistic tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
manusia, yang mana proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Jika teori tersebut
telah diimplementasikan, maka siswa diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajarnya.
Prestasi belajar merupakan buah dari proses belajar. Maka, dengan meningkatnya prestasi
belajar sebuah proses belajar dapat dikatakan berhasil yang kemudian disertai dengan
perubahan dalam diri siswa

DAFTAR PUSTAKA

Arbayah. (2013). Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu Vol 13. No. 2, Desember, 205.
Ariwibowo, M. S. (2012).

Pengaruh Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa PPKn Angkatan 2008/2009
Universitas Ahmad Dahlan Semester Ganjil Tahun Akademik 2010/2011.

Jurnal Citizenship, Vol. 1 No. 2, Januari, 114. Assegaf, R. (2011). Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma
Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baharuddin, M. M. (2009). Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori dan Aplikasi Praktis dalam Dunia
Pendidikan. Yogyakarta: AR-Ruzz Media. Baharun, H. (2016). PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA;
TELAAH EPISTEMOLOGIS. Pedagogik, 3(2), 96–107. Baharun, H. (2016). Pengembangan Media
Pembelajaran PAI Berbasis Lingkungan Melalui Model ASSURE. Cendekia: Journal of Education and
Society, 14(2), 231–246. Baharun, H. (2016). Penilaian Berbasis Kelas pada Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Madrasah. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 3(2), 205–2016. Baharun, H. (2017).
Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik (Konsep, Prinsip, Pendekatan dan Langkah-langkah
Pengembangan Kurikulum PAI. Yogyakarta: CV Cantrik Pustaka. Baharun, H. (2018). Penerapan
Pembelajaran Active Learning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di Madrasah. PEDAGOGIK, 1(1).
Bahtiar, A. R. (tt). Prinsip-prinsip dan Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurnal Tarbawi
Volume 1 No 2, 149. Dalyono, M. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dewey, J.
(1966). Democracy and Education. New York: The Free Press. Djamarah, S. B. (2002). Psikologi Belajar.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Freire, P. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,
terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & READ. Hanafy, M. S.
(2014). Konsep Belajar dan Pembelajaran. Lentera Pendidikan, Vol. 17 No. 1 Juni , 66. Jurnal Pedagogik,
Vol. 04 No. 02, Juli-Desember 2017 ISSN : 2354-7960, E-ISSN : 2528-5793 Teori Belajar Humanistik dalam
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa 201 Haryu. (2006). Aplikasi Psikologi Humanistik dalam Pendidikan
di Indonesia. Tadrîs Volume 1.Nomor 1. , 77. Mangunwijaya, Y. (2001). “Mencari Visi Dasar Pendidikan”,
Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius. Mastuhu. (2003).
Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insani Press-
Magiter Studi Islam UII. Muali, C. (2017). Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences sebagai
Upaya Pemecahan Masalah Belajar. Jurnal Pedagogik, 3(2), 1 - 12. Mulkhan, A. M. (2002). Nalar Spiritual
Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nidawati. (2013).
Belajar dalam Perspektif Psikologi dan Agama. Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember, 14.
Noddings, N. (1998). Philosophy of Education. Oxford: Westview. Nuryatno, (. A. (2008). Mazhab
Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Prisca Febrian Liauwrencia, D. P. (2014). Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar Siswa
Kelas XII IPA2 Tahun Ajaran 2013/2014 Di Sma Dharma Putra Tangerang. Jurnal NOETIC Psychology
Volume 4 Nomor 1, Januari-Juni, 66. Roberts, T. (1975). Four Psychologies Applied to Education. New
York: Jhon Niley and Sons. Roestiyah, N. (1989). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Scruton,
R. (1984). Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai Wittgenstein, terj. Zainal Arifin
Tandjung. Jakarta: Pantja Simpati. Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung:
Pustaka Setia. Soemanto, W. (2006). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudarwan Darnim, K. (2011). Psikologi Pendidikan; dalam Perspektif Baru.
Bandung: CV. Alfabeta. Sudjana, N. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Sumantri, B. (2010). Pengaruh Disiplin Belajar terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas XI SMK
PGRI 4 Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010. Media Prestasi Vol. VI No. 3 Edisi Desember, 118. Syah, M.
(2000). Psikologi Pendidikan dengan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Jurnal
Pedagogik, Vol. 04 No. 02, Juli-Desember 2017 ISSN : 2354-7960, E-ISSN : 2528-5793 202 Teori Belajar
Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Syarifuddin, A. (2011). Penerapan Model
Pembelajaran Cooperative Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. TA’DIB, Vol. XVI, No. 01,
Edisi Juni, 115. Thaib, E. N. (2013). Hubungan antara Prestasi Belajar dengan Kecerdasan Emosional.
Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XIII, No. 2, Februari, 387. Vandini, I. (2015). Peran Kepercayaan Diri terhadap
Prestasi Belajar Matematika Siswa. Jurnal Formatif 5 : 3, 214. Yaumi, M. (2013). Prinsip-prinsip Desain
Pembelajaran. Jakarta: Kencana prenada media group. Yuli Fajar Susetyo, A. K. (2012). Orientasi Tujuan,
Atribusi Penyebab, dan Belajar Berdasar Regulasi Diri. JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 39, NO. 1, JUNI, 96.
Zuhairini. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai