Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat
karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
Pancasila Sebagai Etika Politik ini dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki. Kami berterima kasih kepada Bapak Drs. H. MBM Munir, MH
selaku dosen mata kuliah pendidikan pancasila yang telah memberikan tugas ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah


wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pancasila Sebagai Etika Politik. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam pengerjaan tugas ini banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi kebaikan masa yang akan datang. Tak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.


Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kesalahan kata yang kurang berkenan
dihati dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dimasa
yang akan datang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengertian Nilai, Norma, Moral....................................................................3
B. Hubungan Antara Nilai, Norma, Moral........................................................7
C. Etika Politik...................................................................................................7
D. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik....................................11
E. Pelaksanaan Pancasila Sebagai Etika Politik..............................................13
F. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Etika Politik.........................15
G. Faktor Terjadinya Penyimpangan Etika Politik..........................................17
H. Fungsi dan Etika Politik............................................................................20

I. Prinsip - prinsip Etika Politik Berdasar Pancasila......................................21

J. Contoh Pelanggaran Etika Politik...............................................................24

K. Dimensi Politis Manusia.............................................................................24

BAB III PENUTUP...............................................................................................20


A. Kesimpulan.................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, memegang peranan
penting dalam aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satunya
adalah Pancasila sebagai suatu sistem etika. Di dunia Internasional bangsa
Indonesia terkenal sebagai salah satu Negara yang memiliki etika yang
baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi.
Pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa
ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang
beradab di dunia. Kecenderungan menganggap hal yang tak penting akan
kehadiran Pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang
besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukanlah hal yang
mudah, karena berasal dari tingkah laku dan hati nurani.

Empat pilar berbangsa dan bernegara yang menjadi landasan dalam


membangun bangsa Indonesia adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan dibarengi empat pilar
tersebut, harapan bangsa Indonesia untuk sejahtera, adil, dan makmur
dapat terwujud. Meski demikian, fenomena politik Indonesia seringkali
keluar dari empat pilar tersebut. Berbagai politik kotor di jalani demi
kesuksesan Organisasi Partai Politik, dan untuk keperluan dirinya sendiri.
Money politik dengan bentuk pemberian sejumlah uang untuk menyuap,
black campaigne dengan memperburuk citra lawan politik, nepotisme
dengan membentuk dinas politik, dan golput. Pemimpin politik adalah
seseorang yang mendasarkan pada empat pilar kebangsaan dalam pola
piker, sikap dan perilaku.

Sulit di era sekarang ini menemukan pemimpin yang amanah dan


bisa mensejahterahkan rakyatnya. Penyebabnya tentu ambisi ingin
menduduki jabatan yang tinggi dan berpenghasilan lebih sehingga dirinya
sejahtera dengan mengesampingkan tugas pokoknya sebagai pemimpin.
Begitu maraknya politik kotor di Indonesia . Namun, kita masih punya
harapan bagi bangsa ini untuk menerapkan politik yang beretika. Politik
yang berlandaskan pada empat pilar kebangsaan. Dengan politik yang
berlandaskan pada keempat pilar itu maka cita – cita bangsa untuk
sejahtera, adil, dan makmur akan terwujud. Serta bisa melahirkan
pemimpin yang amanah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan nilai, norma dan moral ?
2. Bagaimanakah hubungan antara nilai, norma dan politik?
3. Bagaimanakah Etika Politik itu ?
4. Bagaimanakah nilai – nilai Pancasila Sebagai Etika Politik ?
5. Bagaimanakah Pelakasanaan Pancasila Sebagai Etika Politik ?
6. Bagaimanakah Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Etika
Politik?
7. Bagaimanakah Penyimpangan terhadap Pancasila Sebagai Etika
Politik?
8. Bagaimanakah Fungsi dan Etika Politik?
9. Apa saja prinsip – prinsip etika politik berdasar Pancasila ?
10. Apa saja contoh pelanggaran dari etika politik ?
11. Bagaimanakah pandangan mengenai dimensi politis
manusia dari sudut pandang yang berbeda – beda ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nilai, Norma, Moral


1. Nilai
Di dalam Dictionary of Sociology and Related Science, dikemukakan bahwa
nilai adalah kemampuan untuk dapat dipercayai yang ada pada suatu benda
sehingga ia dapat memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah
sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, dan bukan objek itu sendiri.
Jika sebuah objek mengandung nilai maka artinya ada sifat atau kualitas yang
melekat pada objek itu.1
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek,
namun bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang kemudian nilai dijadikan landasan,
alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik disadari maupuin tidak
disadari. Nilai merupakan harga untuk manusia sebagai pribadi yang utuh,
misalnya kejujuran, kemanusiaan. Nilai akan lebih bermanfaat dalam menuntun
sikap dan tingkah laku manusia, maka harus lebih di kongkritkan lagi secara
objektif, sehingga memudahkannya dalam menja-barkannya dalam tingkah laku,
misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.2
Nilai dapat dibedakan berdasarkan ciri-cirinya, yaitu sebagai berikut:
a. Internalized value yaitu meniru nilai-nilai yang telah menjadi kepribadian
bawah sadar atau yang mendrong timbulnya tindakan tanpa berpikir lagi. Bila
melanggar akan menimbulkan rasa malu atau bersalah yang mendalam serta
sukar dilupakan

1
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 114
2
BFP, Rowland. 2013. Pancasila Sebagai Etika Politik.
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36631/bab-04-pancasila-sebagai-
etika-politik.pdf (diakses pada Hari Senin Tanggal 16 November 2018), hal. 41

3
b. Nilai dominan, nilai dominan dianggap lebih penting daripada nilai lainnya.
Hal ini tampak pilihan yang dilakukan seseorang pada waktu berhadapan
dengan beberapa tindakan yang harus diambil.3

2. Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga
masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan dan
pengendali sikap dan tingkah laku manusia. Agar manusia mempunyai harga,
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Sedangkan derajat
kepribadian sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna
moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Oleh karena itu, norma sebagai penuntun, panduan atau pengen-
dali sikap dan tingkah laku manusia.4
Dari segi sifatnya terdapat dua macam norma , yaitu norma teknis dan norma
umum. Norma teknis bersifat sementara, terbatas pada tempat, waktu, dan
orangnya, serta tujuannya. Contoh: Norma permainan sepak bola, norma ujian.
Norma umum bersifat tetap, dan tidak terbatas oleh tempat, waktu, dan orang,
sehingga berlaku di manapun, kapanpun, dan siapapun juga.5
Dalam pergaulan hidup dibedakan menjadi empat macam norma, yaitu:
1. Norma agama
Norma agama yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah,
larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan. Para pemeluk
agama mengakui dan berkeyakinan, bahwa peraturan - peraturan hidup itu berasal
dari Tuhan dan merupakan tuntunan hidup kearah jalan yang benar.
Pada abad pertengahan orang berpendapat, bahwa norma agama adalah satu -
satunya norma yang mengatur peribadatan yaitu kehidupan keagamaan dalam arti
sesungguhnya dan mengatur hubungan manusia dengan tuhan, tetapi juga memuat
peraturan-peraturan hidup yang bersifat kemasyarakatan, yaitu peraturan yang
3
M Taufik dkk. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
hal. 95
4
BFP, Rowland. 2013. Pancasila Sebagai Etika Politik.
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36631/bab-04-pancasila-sebagai-
etika-politik.pdf (diakses pada Hari Senin Tanggal 16 November 2018), hal 40-41
5
Dwi Sulisworo dkk. Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional (Yogyakarta: Universitas
Ahmad Dahlan, 2012), hal. 14

4
mengatur hubungan antara manusia dan memberi perlindungan diri dan harta
bendanya.
2. Norma kesusilaan
Norma kesusilaan yaitu peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati
sanubari manusia. peraturan hidup ini berupa bisikan kalbu atau suara bathin yang
diakui dan di insyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan
perbuatan.
Dalam norma kesusilaan terdapat juga peraturan-peraturan hidup seperti
dalam norma agama, misalnya: Hormatilah orang tuamu agar engkau selamat di
akhirat dan jangan engkau membunuh sesamamu. Norma kesusilaan itu dapat juga
menetapkan baik buruknya suatu perbuatan manusia dan turut pula memelihara
ketertiban manusia dalam masyarakat. Norma kesusilaan juga bersifat umum dan
dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
3. Norma kesopanan
Norma kesopanan yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan
segolongan manusia. peraturan-peraturan hidup ini diikuti dan diataati sebagai
pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada di
sekitarnya.
Norma kesopanan tidak berlaku bagi masyarakat seluruh dunia, melainkan
bersifat khusus dan setempat(regional) dan hanya berlaku bagi segolongan
masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi golongan masyarakat,
mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian
4. Norma hukum
Norma hukum yaitu peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh
penguasa Negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat
dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat Negara.
Dari ke empat norma diatas, yang memiliki ke istimewaan adalah norma
hukum, karena bersifat memaksa, dengan sanksinya yang bermacam-macam. Alat
kekuasaan Negara berupaya agar peraturan-peraturan hukum dapat ditaati dan
dilaksanaan sesuai ketentuan yang berlaku.6

6
M Taufik dkk. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
hal. 103-107

5
3. Moral
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau
cara hidup. Etika dan moral mengandung makna yang sama, tetapi dalam
penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai. Sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai yang ada.7
Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar mnejadi
manusia yang lebih baik. Moral dengan etika hubungannya sangat erat, sebab
etika suatu pemikiran kritis dan mendasar tetang ajaran-ajaran dan pandangan
moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip
moralitas. Etika merupakan tingkah laku yang bersifat umum universal berwujud
teori dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berwujud
praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami
dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut
norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral.
Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral.8
Ada dua macam moral, yaitu moral keagamaan adalah moral yang selalu
bedasarkan pada ajaran iaslam, dan moral sekuler adalah moral yang tidak
berdasarkan pada ajaran agama dan hanya bersifat duniawi semata. Contoh moral
baik adalah seperti: bertutur kata yang baik kepada orang lain, hidup
berdampingan dengan berbagai suku, adat, ras, budaya dan agama tanpa saling
melecehkan, gotong-royong dalam setiap kegiatan sosial di lingkungan
maasyarakat dimna mereka tinggal, dll. Sedangkan contoh moral buruk adalah
seperti: kekeraasan dalam pendidikan, demo yang merusak fasilitas umum,
minum-minuman keras, judi, durhaka kepada orang tua, dll.9
7
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 114
8
BFP, Rowland. 2013. Pancasila Sebagai Etika Politik.
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36631/bab-04-pancasila-sebagai-
etika-politik.pdf (diakses pada Hari Senin Tanggal 16 November 2018), hal 40
9
M Taufik dkk. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
hal. 111

6
B. Hubungan Antara Nilai, Norma, Moral
Agar nilai menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka ia perlu lebih dikonkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah
laku. Wujud yang lebih konkret dari nilai adalah norma. Terdapat berbagai
macam norma. Dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling
kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh kekuatan eksternal seperti
penguasa atau penegak hukum.10
Agar nilai menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap perilaku manusia,
maka perlu lebih dikonkritkan serta diinformasikan secara obyektif sehingga
memudahkan menjabarkan dalam tingkah laku, yang dapat diwujudkan dalam
norma. Norma sebagaimana yang sudah diterangkan diatas ada bermacam-
macam, meliputi norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma
hukum.
Nilai dan norma memiliki hubungan yang erat dan senantiasa ada keterkaitan
dengan moral dan etika. Peraturan-peraturan hidup manusia tidak akan berjalan
secara signifikan manakala tidak didukung oleh nilai-nilai yang ada. Demikian
juga dengan moral dan etika terkait dengan nilai dan norma, karena tingkah laku
manusia merupakan cerminan moral manusia itu sendiri. Moral menunjukkan
integritas dan kepribadian seseorang atau tinggi rendahnya drajat seseorang di-
tentukan oleh moralnya.11

C. Etika Politik
1. Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
baik-buruk. Yang dapat dinilai baik atau buruk adalah sikap manusia yang

10
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 116
11
M Taufik dkk. Op. Cit., hal. 108

7
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya.
Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku
yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang
dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik atau buruk.12

Etika adalah anak cabang dari filsafat. Masuk dalam kategori filsafat praktis.
Pembahasan-nya langsung mengarah pada tindakan dan bagaimana manusia harus
berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi pemahaman pada manusia
dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian dari filsafat
praktis.13 Etika dalam hubungannya dengan perbuatan dan perilaku manusia dapat
dibagi menjadi berikut:
a. Etika umum, membicarakan perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia
secara umum dan tidak ada batas.
b. Etika khusus, membicarakan perbuatan-perbuatan menusia yang dihubungkan
dengan ber-bagai aspek kehudupan. Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu:
1) Etika individual adalah mencakup kewajiban manusia terhadap diri sendiri
2) Etika sosial adalah mencakup kewajiban-kewajiban manusia terhadap
sesama manusia.14
Ada tiga teori atau aliran-aliran besar tentang Etika, antara lain :
a. Etika Deontologi, aliran atau teori ini memandang bahwa, tindakan nilai baik
atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan
kewajiban, tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut. Kebaikan
adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Etika deon-tologi menekankan bahwa kebijakan atau tindakan harus didasari
oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih
apapun dari tindakan yang dilakukan.
b. Etika Etiologi, aliran ini memandang bahwa, baik buruk suatu tindakan dilihat
berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika ini di golongkan
menjadi dua yaitu, egoisme etis memandang bahwa, tindakan yang baik
adalah tindakan yang berakibat baik bagi pelakunya. Secara moral setiap
12
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 112
13
Dwi Yanto, Etika Politik Pancasila, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan. Vol. 15 No. 27,
hal. 26
14
Iriyanto Widisuseno dkk. Buku Ajar Pendidikan Pancasila (Semarang:UNDIP, 2005), hal. 39

8
orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah
atau buruk bila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan. Kedua,
utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibat-nya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik
apabila mendatangkan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang.
c. Etika keutamakan, aliran ini tidak mempersoalkan suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.15
2. Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau
Negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warga
negara, politika yang berarti pemerintahan Negara dan politikus yang berarti
kewarganegaraan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang
menyangkut peraturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada.
Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan dan jika perlu bersifat
paksaan. Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan
keinginan belaka. Politik merupakan upaya atau cara memperoleh sesuatu yang
dikehendaki, namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya
berkisaar dilingkungan kekuasaan Negara atau tindakan-tindakan yang
dilaksanakan oleh penguasa Negara.16

3. Dimensi Etika politik


Dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dalam pengertiannya yang
lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kemasyarakatan atau hubungan
antar manusia, sebagai missal yang mencakup kehidupan bermasyarakat,

15
M Taufik dkk. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
hal. 115-116
16
Ibid., hal. 117

9
melainkan juga hubungan kenegaraan, pemerintah yang menentukan dalam
pelaksanaan kebijakan pemerintahan yang tentang menyangkut berbagai hal
tentang kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga
sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan
kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan dengan batasan sesuai dengan
konsep-konsep pemerintahan (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), pembagian (distribution), dan alokasi (allocation), pengertian
itu dapat diperluas lagi ke dalam tatanan manusia sebagai makhluk yang berpolitik
dan dapat disebutkan pula bahwa segala tindakan manusia atau bahkan manusia
itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan praktik-praktik politik.17
Etika politik tidak langsung mencampuri urusan politik praktis. Tugas etika
politik ialah membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat
dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan
pe-gangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan
ke-hidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia atau mempertanyakan
legiti-masi moral sebagai keputusan politik.18
Etika politik diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar
pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta anatar kelompok kepentingan
lainnya untuk mencapai kemajuan Bangsa dan Negara dengan mendahulukan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti
melakukan kesalahan dan secara kebijakannya bertentangan dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat.19

D. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik


Pancasila tidak hanya merupakan sumber bagi peraturan perundangan,
melainkan juga sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
17
Dwi Yanto, Etika Politik Pancasila, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan. Vol. 15 No. 27,
hal. 26
18
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 116
19
M Taufik dkk. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
hal. 114-115

10
kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu negara seharusnya sesuai dengan nilai-
nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan
negara. Asas kemanusiaan seharusnya merupakan prinsip dasar moralitas dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.20
Nilai-nilai pancasila bersifat universal dan dapat diterima oleh siapapun. Nilai
digali dari budaya bangsa Indonesia artinya apa yang sudah ada sekarang
merupakan warisan dari nenek moyang kita, berarti pancasila adalah miliki bangsa
Indo-nesia yang menjadikan bangsa Indonesia memiliki ciri khas dibanding
dengan bangsa lain. Nilai etika dalam pancasila bisa dijabarkan sebagai berikut:

1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa


Nilai ketuhanan menyangkut keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki
bangsa ini. Agama merupakan salah satu sumber moralitas (Sudaryanto,
2007). Aspek etis yang tercerminkan dari sila pertama adalah adanya jaminan
bagi setiap penduduk untuk mengidentifikasi dirinya berdasar keyakinan atau
agama tertentu. 29
2. Nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam sila kedua mempresentasikan
kedudukan manusia yang sederajat dan bermartabat. Manusia ditempatkan
dalam kedudukan yang terhormat. Dalam nilai ini melekat atribut adil dan
beradab yang mempertegas orientasi kemanusiaan berdasar pancasila.
3. Nilai Persatuan Indonesia
Sila ini mengandung arti bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan dengan mengutamakan kepentingan bersama
30
dibandingkan dengan kepentingan pribadi atau golongan. Persatuan
merupakan modalitas utama dalam mengintegrasikan seluruh kepentingan
dibawah payung kebangsaan. Berbagai kemungkinan yang mengarah pada
disintegrasi seoptimal mungkin di antisipasi. Pemerintah dan rakyat harus

20
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 118
29
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Bumi Medika : Jakarta 13220, hal. 150
30
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Bumi Medika : Jakarta 13220, hal. 151

11
secara sadar menjaga dan memelihara kohesivitas yang melekatkan entitas
bangsa dalam satu bingkai kebangsaan.
4. Nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Nilai kerakyatan menegaskan bahwa orientasi sesungguhnya dari
keberadaan bangsa ini harus bermuara pada kepentingan rakyat. Rakyat adalah
kekuatan terbesar yang menentukan harapan dan cita – cita bangsa.
Pemerintah harus mengupayakan optimalisasi potensi kekuatan rakyat sebagai
penopang keberlangsungan bangsa.
5. Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan yang dimaksud dalam sila ini adalah seluruh masyarakat
Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan. Keadilan social menjamin pemerataan pembangunan. Kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat merupakan prioritas utama kerja pemerintah.
Pembangunan yang diupayakan pemerintah harus dirasakan dan dinikmati
seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Melalui sila ini, pemerintah
memastikan bahwa siapapun akan memperoleh haknya berdasarkan pada
kewajiban – kewajiban yang melekat didalamnya (Mulia Ardi, 2012)

Etika Politik bangsa Indonesia seharusnya mendasarkan diri pada pancasila


sebagai berikut:

1. Etika Politik Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa


Perilaku para penyelenggara Negara seharusnya didasarkan pada rasa takut
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab terhadap tugasnya bukan
hanya menjadi kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepada dunia
tetapi dalam kehidupan nanti.
2. Etika Politik yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab
Rasa tanggung jawab terhadap tugasnya hanya diperuntukkan pada masya-
rakat. Artinya, yang disandangkan untuk kepentingan masyarakat Indonesia
bukan untuk kepentingan pribadi/golongan.
3. Etika Politik yang berdasarkan persatuan Indonesia

12
Artinya, perilaku para penyelenggara Negara hanya untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan bukan perpecahan mengingat bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai masam perbedaan dan perbedaan itu dimunculkan untuk mewu-
judkan persatuan.
4. Etika Politik yang berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Demokrasi yang menjadi inti dari perkembangan sila ini. Demokrasi yang
dilaksankan dengan baik akan menjadikan kehidupan politik di Indonesia akan
lebih baik pula.
5. Etika Politik yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tindakan dan perilaku dari para penyelenggara Negara harus bisa kita
mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia. Artinya, semua lapisan
masyarakat ikut menikmati keadilan itu. Penguasa tidak memihak satu masya-
rakat tertentu. Semua diperlakukan dan memiliki hak yang samaa untuk men-
dapatkan keadilan.21

E. Pelaksanaan Pancasila Sebagai Etika Politik


Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan 1) Asas legalitas, yaitu
dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara
demokratis, serta 3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi
moral)22

Usaha untuk membuat sebuah rambu dan batasan dalam penilaian etika politik
Pancasila, sehingga dari titik tersebut dapat ditarik kesimpulan logis, yaitu hal-hal
mana saja yang dapat dipakai sebagai acuan penilaian yang lebih konkret. Rambu
dan batasan tersebut dimulai dengan cara menentukan nilai objektif, nilai inter-
subjektif dan pemaknaannya dalam tiap-tiap sila:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai objektif: Tuhan
Nilai intersubjektif: Ketuhanan

21
Iriyanto Suseno Dkk, Buku Ajar Pendidikan Pancasila (Semarang: UNDIP, 2005), hal. 41-44
22
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 118

13
Mengandung makna: keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa
sebagai Causa Prima
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Nilai objektif: manusia
Nilai intersubjektif: Kemanusiaan
Mengandung makna: pengakuan terhadap adanya harkat dan martabat
manusia, pengakuan terhadap asas kesamaan dan kebebasan manusia
3. Sila Persatuan Indonesia
Nilai objektif: satu
Nilai intersubjektif: Persatuan
Mengandung makna: pengakuan terhadap perbedaan sebagai hakikat, dan pe-
ngakuan akan sifat ko-eksistensi manusia.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Per-
musyawaratan / Perwakilan
Nilai objektif: rakyat
Nilai intersubjektif: Kerakyatan
Mengandung makna: pengakuan bahwa kedaulatan negara di tangan rakyat,
musyawarah untuk mufakat dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat, pen-
jaminan tidak adanya tirani minoritas dan dominasi mayoritas.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai objektif: adil
Nilai intersubjektif: Keadilan
Mengandung makna: pengakuan akan kesamaan hak dan kesempatan bagi
seluruh rakyat Indonesia di bidang agama, ekonomi, politik, sosial-budaya dan
pertahanan-keamanan.
Memperhatikan analisis singkat atas sila-sila di atas, etika politik Pancasila
dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik negara,
terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar salahnya sebuah
kebijakan serta baik buruknya tindakan pemerintah dengan cara meneliti
kesesuaian antara nilai objektif dengan nilai intersubjektifnya, kemudian

14
dilanjutkan dengan menelaah kesesuaian antara kebijakan, dan tindakan
pemerintah dengan makna dari sila-sila dalam Pancasila tersebut.23
Etika politik ini juga harus direlisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara kongkrit dalam plaksanaan pemerintahan Negara. Para pejabar
eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat Negara, anggota
DPR maupun MPR aparat peleksana dengan penegak hukum, harus
menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga
harus berdasarkan pada legitimasi moral. Misalnya ingin membangun gedung
baru anggota dewan harus sesuai dengan hukum, mengingat kondisi rakyat
Indonesia yang masih banyak untuk hidup layak, dananya bissa untuk bantu
masyarakat yang masih miskin secara moral (legitimasi moral).24

F. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Etika Politik


1. Dinamika Pancasila Sebagai Etika Politik

Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam


penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.
a. pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi
yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik,
yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama
mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru
bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal
karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang
cenderung otoriter.
b. Pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk
penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia
Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan

23
Surajiyo, Pancasila Sebagai Etika Politik Di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora. Vol. II No. 1,
2014, hal. 121-122
24
M Taufik dkk, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi (Malang: Baskara Media, 2018),
Hal. 120

15
berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia
seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik,
yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi
yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan
emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai
makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera.
Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain,
baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara
selaras, serasi, dan seimbang. Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk
mono-pluralis yang terdiri atas susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan
kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk
sosial dan makhluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling
melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia
Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya
Pancasila. (Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17-18).
c. Sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa
dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan,
serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian
Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan
Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Nasional mengatakan sebagai berikut:
“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut
dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena
bangsa Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar pada sila
Ketuhanan Yang Maha Esa”.25

2. Tantangan Pancasila Sebagai Etika Politik


25
Paristiyanti Nurwardani dkk, Pendidikan Pancasila (Jakarta: Direktorat Jendral Pembelajaran
Dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi, 2016), Hal. 190-191

16
Hal-hal berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap
sistem etika Pancasila.
a. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa
sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam
penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal
tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan
semangat musyawarah untuk mufakat.
b. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait
dengan masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan
penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial
karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir
orang atau kelompok tertentu.
c. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia
kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya,
munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnama-
kan kebebasan berdemokrasi.26

G. Faktor Terjadinya Penyimpangan Etika Politik


Penyimpangan etika sering terjadi dalam kehidupan masyarakat termasuk
dalam kegiatan politik dalam suatu negara. Konsep etika yang seharusnya
berdampingan dengan setiap perilaku manusia mulai diabaikan seiring
berjalannya waktu. Aparat pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan
kepada masyarakat justru bertindak semuanya dan mengesampingkan etika
profesi dalam hal berpolitik. Politik yang adil dan bersih sulit ditemui di setiap
instansi baik instansi
usaha maupun pemerintahan. Banyaknya tindak korupsi, money politik,
nepotisme, dll mewarnai wajah politik di Indonesia.
Terjadinya perilaku menyimpang dapat dilihat dari situasi dan kondisi
masyarakat yang ada. Setiap individu memiliki latar belakang kehidupan yang
berbeda maka hal tersebut akan menyebabkan terbentuknya pola-pola perilaku
yang berlainan. Menurut teori penyimpangan sosial tidak semua individu mampu
26
Paristiyanti Nurwardani dkk, Pendidikan Pancasila (Jakarta: Direktorat Jendral Pembelajaran
Dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi, 2016,), hal. 192

17
mengidentifikasi diri dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Hal ini berarti gagalnya proses sosialisasi sehingga cenderung menerapkan pola-
pola perilaku yang salah dan menyimpang.
Dalam penyimpangan etika politik hampir sama yaitu dipengaruhi oleh pola
perilaku manusia yang berlainan dalam memahami konsep etika dan politik
sendiri. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyimpangan
etika politik, yaitu :
1. Ketidakpahaman dan ketidakmampuan masyarakat memahami
Pancasila sebagai konsep etika politik
Ketidakpahaman masyarakat akan nilai-nilai Pancasila menjadi masalah utama
dalam mendasari perilaku-perilaku yang menyimpang di Indonesia. Setiap warga
negara mampu menyebutkan makna dari setiap butir Pancasila tetapi tidak mampu
mewujudkannya dalam kegiatan sehari-hari. Kurangnya kesadaran akan
pentingnya penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari serta kurangnya
usaha untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam diri masing-masing individu
meru-pakan penyebab awal generasi bangsa melakukan penyimpangan-
penyimpangan termasuk penyimpangan etika politik.
Etika politik yang seharusnya berdasarkan pada butir-butir sila Pancasila
semakin diabaikan dan kalah oleh keinginan serta kepentingan individu dalam
berpolitik. Perubahan pola pikir masyarakat yang semakin meninggalkan makna
dari Pancasila dipengaruhi oleh masuknya budaya barat yang menggerus rasa
nasiona-lisme bangsa. Hal ini menyebabkan masyarakat mengabaikan nilai-nilai
Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari - hari
terutama kegiatan politik yang bertujuan menciptakan keadilan dalam suatu
negara.
2. Krisis moral yang terjadi dalam lingkungan masyarakat Indonesia
Dewasa ini moral masyarakat semakin luntur tergantikan oleh budaya-
budaya serta kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya
sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan
sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum

18
dan peraturan, yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal baik dari dalam
mau-pun luar negeri.
Bermunculan sikap acuh tak acuh, tidak jujur dan selalu bertindak curang
selalu mewarnai kegiatan politik dewasa ini. Manusia seakan melupakan budaya
bangsa Indonesia yang selalu menjungjung tinggi moral dalam bersikap baik di
lingkungan masyarakat maupun bernegara. Kesadaran moral serta tanggung jawab
terhadap manusia lain atau masyarakat perlahan mulai hilang tergantikan oleh
sikap individualistik.
3. Longgarnya kepercayaan dan pemahaman individu terhadap agama
yang dianutnya
Longgarnya pegangan terhadap agama sudah menjadi tragedi di dunia maju,
dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga
keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol,
larangan-larangan dan perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya
pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang
ada didalam dirinya. Sehingga manusia cenderung bersikap menyimpang karena
mereka sudah meninggalkan nilai-nilai agama yang dahulu pernah dipahami.
4. Tidak adanya pengawasan serta hukum yang tegas
Indonesia adalah negara hukum, segala sesuatu yang terjadi di dalam negara
telah diatur oleh Undang-Undang dan sesuai dengan Pancasila. Hukum berfungsi
mengatur serta menertibkan masyarakat suatu negara agar tunduk dan patuh terha-
dap peraturan negara tersebut. Pengawasan serta tindak hukum yang tegas penting
untuk diterapkan agar masyarakat suatu negara dapat patuh tanpa berbuat penyim-
pangan.
Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menja-
min agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu
yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mem-
punyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah
negara. Tetapi apabila seluruh aparat Negara atau aparat pemerintahan sen-diri
mempunyai niat untuk tidak mematuhi aturan yang berlaku maka sulit
mewujudkan hukum yang tegas.27

I Made Kartika. Nilai-Nilai Pancasila Dalam Membangun Etika Politik Di Indonesia. Jurnal
27

Kajian Pendidikan Widya Accarya FKIP Universitas Dwijendra, 2015, Hal. 6-7

19
H. Fungsi dan Etika Politik
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat
teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik (dukungan
masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintah) secara bertanggung jawab dan
didasarkan pada aspek yang rasional, objektif dan argumentatif. Tugas etika
politik adalah membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat
dijalankan secara objektif dan sebagai pegangan normatif bagi mereka yang ingin
menilai kualitas tatanan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia
dan legitimasi moral.

Etika politik dapat membantu usaha aparatur negara untuk membumikan


falsafah dan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Etika
politik memberikan landasan normatif bagaimana sebuah negara dikelola demi
kebaikan hidup bersama seluruh masyarakat. Dalam menjalankan kehidupan
politik dan kenegaraan berbasis etika, para pekerja politik dan penyelenggara
negara perlu memahami landasan-landasan normatif yang bersifat umum dan
khusus.28

28

20
I. Prinsip - prinsip Etika Politik Berdasar Pancasila

1. Pluralisme

Pluralisme adalah suatu paham dimana kita bisa menerima kemajemukan


atau keberagaman untuk mewujudkan kehidupan bersama yang positif, damai,
bertenggang rasa dengan masyarakat yang memiliki perbedaan agama, budaya,
suku, maupun ras. Meskipun dalam pluralisme, Indonesia menganut paham
ketuhanan yang maha esa sesuai dengan pancasila sila pertama. Konsep ketuhanan
mengajarkan kita pada konsep benar salah yang mutlak, karena nilai – nilai yang
ada berasal dari Tuhan atau dari agama yang sifatnya absolut. Dalam kehidupan
politik, dimana hal tersebut dijadikan dasar untuk sumber nilai benar salah dalam
etika politik, berikut beberapa contoh tindakan yang sesuai dengan etika politik
berdasar pancasila:

 Kebebasan memeluk agama di Indonesia sesuai dengan agama – agama


yang diakui di Indonesia.
 Toleransi terhadap kegiatan peribadatan dan perayaan hari raya suatu
agama tertentu.

 Pemberian jaminan perlindungan dan keaman terhadap upacara


keagamaan suatu agama yang berlangsung di Indonesia.

 Mencegah adanya konflik untuk menjaga stabilitas nasional.

 Semua pelaku politik tidak menyalahgunakan kekuasaannya karena hal


tersebut salah menurut agama apapun.

2. Hak asasi manusia

Salah satu contoh pancasila sebagai etika politik menempatkan Pancasila


sila kedua sebagai sumber nilai kemanusiaan yang kemudian diterapkan dalam
etika politik. nilai kemanuasiaan ini sejalan dengan sila kedua pada pancasila. oleh
karena itu, segala kegiatan politik yang di Indonesia haruslah berdasar pada asas
kemanusiaan dan penghormatan pada hak asasi manusia. Berikut adalah contoh
dari pancasila sebagai etika politik yang berdasar pada nilai kemanusiaan:

21
 Kebebasan menyampaikan pendapat seperti yang dijelaskan pada undang –
undang 1945 pasal 28.
 Kebebasan berpikir dan mencari informasi dalam kehidupan politik
Indonesia.

 Semua warga negara berhak menjadi figure pemimpin dan wakil rakyat
dengan memenuhi syarat – syarat yang berlaku.

 Wakil rakyat harus berfungsi sebagai pembela dan pejuang hak – hak
rakyat yang diwakilinya.

3. Persatuan bangsa

Persatuan bangsa dalam kaitannya dengan contoh pancasila sebagai etika


politik menempatkan manusia sebagai manusia sosial yang tidak bisa lepas dari
peran manusia lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Dan dengan persatuan,
manusia bisa hidup lebih baik lagi. Persatuan juga akan terasa lebih berarti lagi di
tengah perbedaan seperti yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki masyarakat
yang berbeda dari segi agama, budaya, dan suku nya. Akan tetapi masyarakat
Indonesia mampu bersatu dalam sebuah negara. Hal ini juga mendasari beberapa
sikap dalam dunia politik, sebagaimana penerapan pancasila sila ketiga dalam
kehidupan politik. berikut beberapa contohnya:

 Tidak memberikan kekuasaan atau jabatan politik pada orang dengan


pertimbangan suku, budaya, dan agamanya.
 Toleransi antar sesama warga negara dalam kehidupan politik.

 Selalu mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi


maupun golongan.

 Tidak mudah melontarkan ujaran kebencian dalam konteks politik,


terutama yang menyinggung SARA.

4. Demokrasi

22
Asas demokrasi sesuai dengan pancasila sila keempat yang menjunjung
tinggi kerakyatan sebagai contoh perwujudan demokrasi di lingkungan bangsa
dan negara. Sebagai negara demokrasi, sudah barang wajib bagi Indonesia untuk
menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya. Ditambah lagi dengan pancasila
sebagai sumber nilai penentuan etika, maka banyak sekali contoh pancasila
sebagai etika politik yang bisa kita temukan dalam sistem politik Indonesia.
Beberapa contoh dari pancasila sebagai etika politik dari sudut pandang
demokrasi adalah:

 Penyelenggaraan pemilihan umum sebagai wujud pesta demokrasi rakyat.


 Kebebasan memilih calon pemimpin maupun wakil rakyat sebagai wujud
kedaulatan rakyat.

 Kebebasan untuk dapat ikut berpartisipasi menjadi calon wakil rakyat


maupun pemimpin.

 Kebebasan menyalurkan aspirasi maupun kritik pada pemerintah.

 Menjadikan musyawarah untuk mufakat sebagai metode penetapan


kebijakan.

 Pemerintahan yang transparan dan bertanggung jawab.

 Terbukanya ruang public bagi masyarakat untuk menyampaikan


aspirasinya.

5. Keadilan sosial

Keadilan merupakan nilai yang dasar bagi kehidupan manusia dalam


bermasyarakat. Keadilan sosial dalam kehidupan politik adalah dimana semua
anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan
porsinya. Konsep keadilan sosial ini sejalan dengan pancasila sila ke-lima yang
merupakan perwujudan pancasila dalam kehidupan politik. Keadilan sosial yang
dapat ditemukan dalam contoh pancasila sebagai etika politik adalah sebagai
berikut:

23
 Tidak ada diskriminasi menurut jenis kelamin untuk semua warga negara
yang mempunyai potensi untuk duduk di kursi kepemimpinan.
 Semua warga negara mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh
fasilitas untuk mendukung kegiatan politisnya.

 Kebijakan pemerintah harus bisa sesuai dengan kebutuhan dan


kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan elit politik semata.

 Hukum berlaku secara adil dan merata, tidak tumpul ke atas dan tajam ke
bawah.

 Penerapan legalitas hukum di Indonesia sebagai negara hukum.

 Pemerintahan yang jauh dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.

J. Contoh Pelanggaran Etika Politik

 Pejabat terlibat dalam tindak pidana korupsi.


 Penegak hukum dan pengadilan yang menerima suap untuk
kepentingannya sendiri.

 Elit politik yang terjerat kasus, namun mendapat perlakuan khusus selama
proses peradilan dan menjalani masa hukuman.

 Pengalihan isu untuk kasus-kasus yang belum mencapai klimaks.

 Serangan fajar atau gratifikasi berkedok bakti sosial yang dilakukan oleh
calon pejabat politik.

 Negosiasi yang melibatkan nominal untuk mendapatkan sebuah posisi.31

K. Dimensi Politis Manusia

 Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berbagai paham antropologi filsafat memandang

24
hakikat sifat kodrat manusia, dari kaca mata yang berbeda – beda.
Paham indvidualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme,
memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas.
Konsekuensinya dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun Negara
dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik Negara. Segala hak
dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan
kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat manusia sebagai
individu.

Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari – hari, manusia tidak


mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada
suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau
social saja. Manusia memang merupakan makhluk yang bebas, namun
untuk menjamin kebebasan – kebebasannya ia senantiasa memerlukan
orang lain atau masyarakat. Oleh karena itumanusia tidak mungkin
bersifat bebas jikalau hanya bersifat totalitas individu atau social saja. 32

 Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia


sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimensi politis manusia
senantiasa berkaitan dengan kehidupan Negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan
sikap sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu
kseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan
sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota
masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka
kehidupannya dan ditentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta
ditentukan kembali oleh tindakan tindakannya.

25
Dimensi politis manusia ini memiliki due segi fundamental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga due segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral
manusia. Pada tingkatan moralitas dalam kehidupan manusia sudah tidak
dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapi hak orang lain dalam
masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif.
Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu
kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua
anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri
atas norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat.

Oleh karena itu, yang secara efektif dapat menentukan kelakuan


masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk
memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah Negara. Dengan
demikian hukum dan kekuasaan Negara merupakan aspek yang
berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan
masyarakat secara normatif. Hukum tanpa kekuasaan Negara akan
merupakan aturan normatif yang kosong, sedangkan Negara tanpa
hukum akan merosot menjadi kehidupan yang berada dibawah sifat
manusiawi karena akan berkembang menjadi ambisi kebinatangan
karena tanpa tatanan normatif.

Hukum maupun Negara keduanya memerlukan suatu legitimasi.


Hukum harus mampu menunjukkan bahwa tatanan adalah dari
masyarakat bersama dan demi kesejahteraan bersama, dan bukannya
berasal dari kekuasaan. Demikian pula Negara yang memiliki kekuasaan
harus mendasarkan pada tatanan normatif sebagai kehendak bersama
semua warganya, sehingga dengan demikian Negara pada hakikatnya
mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang menetukan tatanan hukum
tersebut. Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika.32

26
29

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

2931
https://guruppkn.com/contoh-pancasila-sebagai-etika-politik  Dian Paramita Tuesday
02nd, January 2018
32
Prof. Dr. H. Kaelan, M, pendidikan pancasila, Paradigma Yogyakarta revisi kesebelas 2016 hal.
91

27
DAFTAR PUSTAKA

BFP, Rowland. 2013. Pancasila Sebagai Etika Politik.


http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36631/bab-
04-pancasila-sebagai-etika-politik.pdf (diakses pada Hari Senin Tanggal 16
November 2018)
Made Kartika, I. (2015). Nilai-Nilai Pancasila Dalam Membangun Etika Politik
Di Indonesia. Jurnal Kajian Pendidikan Widya Accaya FKIP Universitas
Dwijendra Denpasar.
Nurwardani, Paristiyanti dkk. 2016. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Direktorat Jendral Pembelajaran Dan Kemahasiswaan
Kementrian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi.
Sulisworo, Dwi dkk. 2012. Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Surajiyo. (2014). Pancasila Sebagai Etika Politik di Indonesia. Jurnal Ultima
Humaniora, Vol. II(No. 1). Hal. 111-123.
Taufik, M dkk. 2018. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Malang:
Baskara Media.
Widisuseno, Iriyanto.Dkk. 2005. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Semarang:
UNDIP.
Yanto, D. (2017). Etika Politik Pancasila. Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI
Kalimantan, Vol. 15(No. 27), Hal.23-28.
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta : Bumi Aksara, 2017
Kaelan, Pendidikan pancasila, Yogyakarta : Paradigma,revisi kesebelas 2016

28

Anda mungkin juga menyukai