Anda di halaman 1dari 17

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA:

PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN – SEKARANG


Sugarcane Industry and Trade: Lesson Learned from the Applied Policies
during the Colonial Era up until this Period
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Sugarcane industry and trade (SIT) in Indonesia is significantly influenced by the government policies.
This paper reviewed SIT policies from colonial period up to now to obtain valuable lessons for future development
of SIT. Lessons learned include: (1) During the colonial era, the peak triumph was achieved through farmers’
sacrifice; (2) High financial support for research institutions to produce super varieties, such as POJ 2838 and
3016 with productivity as high as 18 ton/ha of crystal; (3) In the beginning of independence, Indonesia’s
institutions and manpower were not exclusively ready to optimally develop SIT; (4) There were no comprehensive
policies and several of the existing one were conflicting. Based on these lessons, a comprehensive policy issued
by related institutions are strongly required for future development of SIT.

Key words: history, sugar, policy

ABSTRAK

Industri dan Perdagangan Gula Indonesia sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Tulisan ini
bertujuan untuk mereview kebijakan IPG sejak zaman penjajahan sampai sekarang, untuk dijadikan
pembelajaran dalam pengembangan IPG ke depan. Pembelajaran yang dapat dipetik antara lain: (1) Kejayaan
gula pada zaman penjajahan dicapai dengan mengorbankan petani; (2) Dukungan dana yang kuat, sehingga
lembaga penelitian mampu menghasilkan varietas ajaib POJ 2838 dan 3016 dengan produktivitas sebesar 18 ton
hablur/ha; (3) Pada awal kemerdekaan, kelembagaan dan sumberdaya manusia Indonesia belum siap untuk
mengembangkan pergulaan secara optimal; (4) Kebijakan kurang komprehensif dan kadang-kadang saling
bertentangan. Berdasarkan pembelajaran ini, untuk pengembangan pergulaan ke depan diperlukan kebijakan
yang komprehensif dari semua pihak yang terkait.

Kata kunci : sejarah, gula, kebijakan

PENDAHULUAN mengalokasikan 60 persen dari produksinya


untuk ethanol, lebih besar dibanding tahun
2008 yang sebesar 55 persen (Susila, 2009;
Industri perdagangan gula (IPG) disadari Dewan Gula Indonesia, 2009).
sangat terdistorsi oleh kebijakan pemerintah, Liberalisasi perdagangan, menyebabkan
menduduki peringkat ke dua setelah beras. tingginya harga gula internasional sangat
Oleh karena itu dinamikanya sangat diwarnai berpengaruh terhadap harga gula domestik
kebijakan pemerintah. (Dewan Gula Indonesia, 2009). Pemerintah
Akhir-akhir ini harga gula di dalam negeri mengatasi tingginya harga gula dengan
mengalami peningkatan meskipun tidak seta- kebijakan ad hoc yaitu mengadakan pasar
jam di pasar internasional. Di pasar interna- murah dan membuka impor, namun masyara-
sional, kenaikan harga gula tersebut terutama kat menilai kurang efektif dan dianggap tidak
terkait dengan guncangan sisi penawaran pro petani. Bisnis Indonesia 4 September 2009
karena negara yang semula sebagai produsen mensinyalir kenaikan harga gula adalah akibat
gula seperti India, dua tahun terakhir permasalahan IPG dari aspek hulu hingga hilir
mengimpor sebanyak 6 juta ton dan Brazil sehingga membutuhkan waktu 2-3 tahun ke

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

133
depan untuk membenahi, sehingga diperlukan dalam aspek pengembangan produksi di
kebijakan jangka pendek, menengah dan tingkat usahatani dan pengolahan, perda-
panjang. gangan, kelembagaan serta penelitian dan
Kebijakan jangka panjang dalam me- pengembangan.
nyelesaikan permasalahan pergulaan nasional
tidak hanya menjadi tanggung jawab salah KEBIJAKAN IPG PADA MASA
satu instansi, tetapi juga harus di bawah PENJAJAHAN
koordinasi Menko Perekonomian atau lang-
sung di bawah Presiden serta didukung
dengan data yang lengkap dan akurat. Soentoro et al. (1999) menyimpulkan
Permasalahan IPG tersebut sangat disadari bahwa pada masa penjajahan Belanda, gula
oleh pemerintah dan telah diantisipasi dengan pasir mengalami masa kejayaan sebagai
membuat kebijakan yang diantaranya dican- komoditas ekspor yang penting. Keberhasilan
tumkan dalam “Road Map” (RM) swasembada ekspor gula dalam volume yang besar di masa
gula nasional 2009 (Stakeholder’s Pergulaan itu adalah karena gula diproduksi di lahan
Nasional, 2006). Dalam RM dijabarkan kepu- sawah milik rakyat yang subur dengan sewa
tusan politik secara rinci menurut kegiatan yang murah melalui tanam paksa, meng-
pokok jangka pendek, menengah maupun gunakan tenaga kerja yang murah melalui
panjang, dana yang diperlukan selama tahun kerja paksa dan adanya prioritas penggunaan
2006-2009 (senilai Rp 14 861,8 Milyar), air irigasi.
penanggungjawab setiap kegiatan yang harus Kebijakan IPG pada zaman penjajahan
ditempuh para pelaku dan pemangku di bidang dibagi dalam empat periode: (a) Periode
pergulaan di bawah koordinasi DGI dan 10 1830-1870: Tanam Paksa; (b) Periode 1870-
menteri sebagai penanggungjawab. 1900: Liberalisasi Pasar; (c) Periode 1900-
Dalam sejarah IPG, Indonesia menga- 1930: Pengembangan Sistem Sindikat; dan (d)
lami masa pasang surut. Dinamika tersebut Periode 1931-1942: Kartel.
dapat dipelajari untuk dijadikan pembelajaran
(leason learned) dalam rangka memperbaiki
IPG, khususnya dalam memasuki program Periode 1830-1870: Tanam Paksa
swasembada gula nasional 2010-2014. Dalam Kebijakan tanam paksa adalah penga-
“Gula dalam Kebijakan Pangan Nasional” turan budidaya usahatani tebu secara paksa
(Simatupang et al., 1999), diungkapkan secara dengan tujuan untuk pemenuhan bahan baku
historis kebijakan dan dampak kebijakan, pabrik gula (PG). Peraturan tanam paksa
mulai zaman penjajahan Belanda sampai mencakup: (i) Setiap desa, wajib menyediakan
tahun 1999. Sementara Soentoro et al. (1999) seperlima lahannya untuk ditanami tebu; (ii)
mencermati secara sekilas kebijakan IPG Pemerintah Belanda yang menentukan lahan
sejak masa kemerdekaan sampai tahun 1990, untuk tanaman tebu; (iii) Kegiatan penanaman
khususnya dalam aspek kelembagaan dan hingga panen menjadi tanggungjawab petani
keunggulan komparatif tebu. Disisi lain dengan imbalan yang ditentukan Pemerintah
Masyhuri (2005) sangat terkesan dengan Belanda; (iv) Petani wajib mengangkut dan
implementasi Inpres No.9/1975 yang membuat mengolah tebu di pabrik gula dengan imbalan
kinerja usahatani tebu merosot menjadi 6,5 upah tambahan; dan (v) Petani yang tidak
ton/ha padahal sebelum Inpres No.9/1975 memiliki lahan, wajib mencurahkan tenaga
produksi gula mencapai rata-rata 10 ton/ha, kerja 66 hari per tahun tanpa imbalan.
indeks swasembada gula menurun tajam dari Kebijakan budidaya diikuti dengan kebijakan
0,91 pada tahun 1975 menjadi 0,69 pada perdagangan yang bersifat monopsoni (di-
tahun 1995. Dengan titik tolak Inpres No.9/ mana pemerintah Belanda pembeli tunggal
1975 tersebut kebijakan gula nasional oleh produk gula), dan kebijakan industri yang
Masyhuri dikelompokkan dalam 3 (tiga) diintegrasikan secara vertikal.
periode yaitu sebelum, selama dan sesudah
Dampak kebijakan tanam paksa ter-
Inpres No. 9/1975 (1998-2005). sebut, dalam waktu 10 tahun Pemerintah
Diharapkan dari review kebijakan ini Belanda mampu meningkatkan ekspor hampir
dapat dihasilkan pembelajaran kebijakan 10 kali lipat, dari 6,71 ton tahun 1830 menjadi

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

134
61,75 ton tahun 1840. Dampak negatifnya Indonesia sangat memerlukan dukungan
adalah: (a) Ketahanan pangan penduduk rakyat, maka kaum moralis bersama kaum
menjadi lebih buruk; (b) Luas pertanaman padi liberalis menuntut diterapkannya politik etis di
dan palawija menurun; (c) Upah buruh me- Indonesia. Kerjasama tersebut berhasil dan
ningkat; (d) Siklus usahatani rusak sehingga diberi nama sistem sindikat.
timbul serangan hama yang besar. Kondisi ini
dikenal dengan sindroma ”Dutch desease”
(Knight, 1988). Bersamaan dengan kejayaan Periode 1900-1930: Pengembangan Sistem
industri gula mendorong lahirnya perusahaan Sindikat
swasta. Disamping itu, akibat dampak negatif Sistem sindikat (1900-1930) menerap-
pada masyarakat, muncul gerakan anti sistem kan politik etis melalui 3 (tiga) jalur yaitu
tanam paksa, sehingga pada tahun 1870 migrasi, pendidikan dan irigasi (Onghokham,
tanam paksa dihapuskan. 1985). Melalui jalur irigasi dikeluarkan Undang-
Undang Sewa Tanah No.88 Tahun 1918 untuk
mengakhiri kerja wajib pada perkebunan tebu
Periode 1870-1900: Liberalisasi Pasar dan hak industri gula pemerintah, serta
Kebijakan utama adalah Undang– menentukan upah buruh dan sewa lahan
Undang Agraria (UUA) tahun 1870 yang minimum, dengan kompensasi PG diberi hak
memberikan kepastian dan jaminan pengua- menyewa lahan hingga 50 tahun (Soemarjan,
saan lahan, yaitu: (a) Pada lahan yang belum 1991).
dimanfaatkan, perusahaan swasta diberi hak Kebijakan ini berhasil meningkatkan
sewa selama 75 tahun yang dapat diper- produksi gula namun bersamaan dengan itu
panjang dan dipindahtangankan; (b) Pada produksi gula dunia juga meningkat, dan harga
lahan yang dimiliki rakyat, untuk sawah gula dunia menurun tajam, sehingga tercipta
perusahaan swasta dapat melakukan sewa kesepakatan perdagangan gula dunia
paling lama 35 tahun dan untuk lahan kering ”Chardbourne Agreement” tahun 1931.
dengan sewa kontrak paling lama 12,5 tahun.
Pada tahun 1870 juga dikeluarkan Undang-
Undang Gula (UUG) untuk menghapuskan Periode 1931-1942: Kartel
sistem tanam paksa secara bertahap. Untuk Pada periode ini, pemerintah Belanda
melengkapi kedua kebijakan tersebut lahirlah membentuk Nederlandsch Indie Veereningde
Undang-Undang Tarif (UUT) 1872 yang Voor de Afzet van Suiker (NIVAS) tahun 1932
menghapuskan perdagangan secara progresif yang merupakan awal era sistem kartel gula di
sebagai awal liberalisasi ekonomi. Kebijakan Indonesia (Simatupang et al., 1999:508).
UUT 1872 mulai berlaku tahun 1874 sehingga Seperti halnya VOC, NIVAS bertindak sebagai
agribisnis pergulaan didasarkan sistem per- pembeli dan penjual tunggal. Kebijakan pada
saingan bebas dan merupakan awal swasta- periode ini adalah mewajibkan Jawa menurun-
nisasi industri gula di Indonesia. Namun kan produksi dari 3 juta ton menjadi 1,4 juta
demikian dalam masa tersebut secara de facto ton/tahun (Panglaykim dan Palmer, 1972). Di
sistem tanam paksa ternyata masih berlaku tataran dunia, terdapat Konvensi Gula Inter-
dan industri gula memperoleh laba sangat nasional (International Sugar Convention =
besar, karena perolehan lahan dan tenaga ISC) yang menetapkan kuota ekspor gula
kerja yang mudah dan murah. Hal ini suatu negara.
mendorong investasi industri gula semakin
meningkat dengan pesat. NIVAS mewajibkan seluruh PG menjual
produk melalui NIVAS dengan imbalan 1,64
Kebijakan liberalisasi pasar belum ber- persen dari biaya produksi, disamping itu
hasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat NIVAS melakukan penelitian dan pengemba-
secara umum maupun untuk petani tebu, ngan di Pasuruan dengan biaya dari pabrik
masyarakat tetap miskin bahkan kondisi sebesar 1,36 persen. Lokasi tersebut sekarang
penyediaan pangan lebih buruk dibandingkan menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula
saat tanam paksa. Pada periode ini korupsi Indonesia (P3GI) yang mampu menghasilkan
merajalela, rakyat tereksploitasi dan bodoh. varietas ajaib POJ 2838 dan 3016 dengan
Kondisi tersebut menyentuh keprihatinan kaum produksi 18 ton hablur/ha pada tahun 1940.
moralis, yang menyadari bahwa perekonomian

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

135
Tabel 1. Kebijakan IPG Zaman Penjajahan (1602 – 1942)

Dampak
Kebijakan
Negatif Positif
1. Periode 1830-1870: Tanam Paksa (TP) - Bangsa Indonesia - Ekspor meningkat, dari
• 20% lahan desa wajib untuk TP menderita sindroma ” 6,71 ton (1930),
• Lokasi lahan ditentukan Belanda deutch deseases” yaitu menjadi 61,75 ton
• Petani wajib tanam sampai panen dgn petani dan buruh tani (1840)
imbalan ditentukan Belanda tanaman pangan - Lahir perusahaan
menderita kesengsaraan swasta
• Petani wajib angkut dan olah tebu di pabrik
dengan imbalan tambahan - Ketahanan pangan - Lahir anti sistem TP
menurun, siklus usahatani
• Petani landless wajib kerja 66 hari/th tanpa rusak
upah

2. Periode 1870-1900: Liberalisasi Pasar Kondisi masyarakat lebih - IPG untung besar,
• Tahun 1870 dibentuk UU Agraria buruk, tereksploitasi, investasi di IPG
• Lahan tidak bertuan boleh disewa 75 tahun bodoh, korupsi merajalela meningkat
• Lahan rakyat 35 tahun (sawah), 12,5 tahun - Lahir kaum moralis dan
(lahan kering) kaum liberalis menuntut
• Tahun 1870 dibentuk UU Gula, isi: hapus politik etis
sistem TP
• Tahun 1872 lahir UU Tarif

3. Periode 1900-1930: Pengembangan Sistem Tahun 1920 harga gula Produksi meningkat
Sindikat sangat rendah
• Politik etis mengatur migrasi, pendidikan dan
irigasi
• Lahir UU No.8/Tahun 1918, isi: akhiri kerja
wajib, revisi sewa tanah, upah buruh dan
hak sewa PG

4. Periode 1931-1942: Kartel - Tahun 1940 lahir


• Tahun 1932 dibentuk NIVAS (sebagai varietas ajaib POJ 2838
pembeli dan penjual), seluruh PG wajib dan 3016, produktivitas
menjual produk ke NIVAS dengan imbalan 18 ton hablur/ha
1,64% biaya produksi
• NIVAS melakukan penelitian dengan biaya
1,36% dari PG
• Tahun 1931 ada kesepakatan IPG dunia
(Chardbourne Agreement”), produksi
diturunkan dari 3 menjadi 1,4 juta ton/th dan
International Sugar Convertion yang
menetapkan kuota ekspor
Sumber: Simatupang et al. (1999), Soentoro et al. (1999) diolah

Tahun 1942 Jepang menggantikan Belanda, KEBIJAKAN IPG SEJAK KEMERDEKAAAN


menjajah Indonesia, pabrik-pabrik gula dibumi- HINGGA SEKARANG
hanguskan oleh Belanda dan para pejuang
kemerdekaan saat revolusi fisik sehingga
industri gula Indonesia mengalami kehancuran Kebijakan IPG setelah kemerdekaan
dan kehilangan status komoditas strategisnya. dibedakan atas dua periode, yaitu: (a) Periode
Dengan demikian saat Indonesia merdeka 1945-1965, yang terdiri atas Nasionalisasi
industri gula memerlukan rehabilitasi total. Industri Pergulaan (1945-1959) dan Sistem
Secara ringkas, inti dan dampak masing- Ekonomi Terpimpin (1959-1965); (b) Periode
masing kebijakan dikemukakan dalam Tabel 1. 1966-Sekarang, yang dibedakan atas: Liberali-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

136
sasi pemasaran (1966-1971); Stabilisasi sewa lahan pada UU No.8/1918 direvisi
(1972-1997); Adaptasi terhadap Sistem Perda- melalui UU Darurat No.6/1951 yang kemudian
gangan Bebas (1993-2001); dan Pengen- ditetapkan sebagai UU No.6/1952. Dengan
dalian Impor (2002-Sekarang). ketentuan itu sewa lahan untuk tebu hanya
selama 1 (satu) musim saja dan nilai sewa
ditetapkan selama setahun secara pasti oleh
Kebijakan IPG Periode 1945-1965 Menteri Pertanian (Mentan).
Pada awal kemerdekaan jumlah PG Selama nasionalisasi IPG, tahun 1951
tinggal 49 karena sebagian besar hancur dibentuk Pusat Penjualan Gula Indonesia
selama masa penjajahan Jepang dan sengaja (PPGI) yang anggotanya pengusaha pribumi.
dihancurkan oleh Belanda agar tidak diman- PPGI memperoleh jatah penyaluran 10 persen
faatkan oleh Jepang. Selanjutnya berkembang dari total produksi nasional dan diberi jaminan
tanaman tebu rakyat, diantaranya di bekas keuntungan maupun fasilitas agar mampu
daerah kerja PG Kerebet Malang. Tanaman menandingi NIVAS. Langkah fundamental
tebu rakyat yang diusahakan oleh petani program nasionalisasi industri gula adalah
berkembang pesat dan layak diolah oleh satu mengambil alih semua perusahaan milik warga
PG baru. Sehingga PG Kerebet direnovasi negara asing pada Desember 1957. NIVAS
dengan nama baru yaitu PG Kerebet Baru di diserahkan kepada PPGI, dengan demikian
awal tahun 1950-an. Bersamaan dengan sejak tahun 1958 usaha produksi dan tata-
adanya tanaman tebu rakyat tersebut tahun niaga gula berada dalam kendali pemerintah.
1953 didirikan Yayasan Tebu Rakyat (Yatra). Kemudian dibentuklah Pusat Perkebunan
Prioritas kebijakan di masa kemerde- Negara Baru (PPN-Baru) melalui SK Menteri
kaan adalah mengubah peraturan perun- Pertanian No.229/UM Th 1957. Langkah
dangan pemerintah kolonial sehingga berlaku terakhir program nasionalisasi ekonomi ialah
sama bagi seluruh rakyat Indonesia dan lebih dikeluarkannya PP No.10/1959 yang menetap-
mengutamakan peningkatan kesejahteraan kan semua usaha dagang asing (khususnya
rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan Cina) di ibukota Provinsi, Karesidenan dan
dalam konstitusi. Pada kenyataannya walau- Kabupaten diseluruh Indonesia harus ditutup
pun telah merdeka secara politis namun selambatnya tanggal 1 Januari 1960
secara ekonomis belum ada perbaikan. Oleh (Soemarjan, 1991; Kholifah ,1995).
karena itu nasionalisasi perekonomian meru- Pada periode ini inflasi relatif tinggi,
pakan prioritas utama pemerintah Indonesia sehingga nilai sewa lahan selalu ketinggalan
merdeka. Terdapat 2 (dua) kebijakan yang dari kenaikan harga umum. Untuk mengatasi
sangat mendasar (Tabel 2) yang diberlakukan kondisi tersebut, petani dan koperasi hanya
pemerintah setelah masa kemerdekaan hingga menyewakan lahan kualitas rendah dan
1965 yaitu: (a) Nasionalisasi Industri Per- memperlambat waktu penyerahan lahan,
gulaan (1945-1959) dengan 10 kebijakan; dan sehingga masa tanam tebu tidak optimal
(b) Industri Terpimpin (1959-1965) dengan 3 akibatnya terjadi penurunan produktivitas.
(tiga) kebijakan. Produktivitas yang semula 11,24 ton/ha tahun
1950 menjadi 8,96 ton/ha tahun 1955. Ini jelas
Nasionalisasi Industri Pergulaan (1945- terjadi penurunan tajam, terlebih dibanding
1959) tahun 1930 saat penjajahan Belanda yang
mencapai 14,79 ton/ha. Nasionalisasi gula
Kebijakan utama pemerintah setelah yang berlangsung cepat belum diimbangi
merdeka adalah membentuk Badan Penye- dengan kesiapan tenaga ahli setara manager
lenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan teknisi Belanda yang diusir tiba-tiba. PPGI
pada tahun 1946. Pada tahun 1947 dibentuk (Pusat Penjualan Gula Indonesia) dan PGTP
pula Perusahaan Perkebunan Republik (Pedagang Gula Tangan Pertama) juga
Indonesia (PPRI) untuk mengelola perusahaan mengalami kegagalan karena pedagang murni
gula eks Kasunanan dan Mangkunegaran hanyalah pedagang boneka yang merupakan
(Gaol, 1985 dan Bahari, 1989). Peraturan- kolusi dari pejabat pemerintah atau elit partai
peraturan kolonial yang sangat membebani politik yang korup.
petani dihapuskan atau diganti. Ketentuan

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

137
Sistem Ekonomi Terpimpin (1959-1965) tanaman tebu. Namun ternyata tidak dapat
Kebijakan utama adalah mengatasi menjamin ketersediaan lahan bagi PG.
putusnya jaringan distribusi gula akibat PP Bahkan mengandung paksaan karena dengan
No.10/1959. Untuk itu dikeluarkan Perpu ancaman pidana sehingga tidak memuaskan
No.38/1960 yang memberi wewenang kepada petani.
Menteri Agraria untuk menetapkan luas lahan Untuk mengatasi permasalahan sewa
minimum yang harus disediakan suatu desa lahan, tahun 1963 dikembangkan sistem bagi
untuk tanaman tertentu, termasuk tebu dengan hasil dengan dua pola yaitu pola peralihan dan
imbalan menurut ketentuan Mentan. Inflasi pola bagi hasil. Pada pola bagi hasil, petani
yang tinggi merupakan salah satu kendala dan PG masing-masing memperoleh bagian
memperoleh lahan, terutama dalam penetapan 60 dan 40 persen dari gula yang dihasilkan,
harga sewa lahan. Di beberapa daerah muncul petani juga memperoleh bagian dalam bentuk
reaksi petani untuk tidak menyerahkan lahan gula 3 kuintal per hektar. Pola peralihan
kepada PG. Untuk penyediaan lahan usaha diterapkan pada daerah yang belum mengenal
tani tebu makin sulit karena harga sewa terlalu tebu rakyat. Dimana petani menyerahkan
rendah sehingga petani lebih tertarik mena- lahan untuk ditanami tebu oleh PG dengan
nam padi. Maka pemerintah mengeluarkan imbalan 25 persen gula yang dihasilkan.
Perpu No.38 Tahun 1960, yang dilandasi Penerapan sistem bagi hasil gagal,
UUPA 1960 Pasal 16. Perpu mengatur pada saat itu pemerintah dituntut memenuhi
penggunaan dan penetapan luas tanah untuk

Tabel 2. Kebijakan IPG di Indonesia Periode 1945-1965

Dampak
Kebijakan
Negatif Positif
a. Nasionalisasi pergulaan (1945-1959) - Nilai sewa lahan lebih Tebu
- Tahun 1946 dibentuk Badan Penyelenggaraan Perusahaan rendah dari harga Rakyat
Gula Negara (BPPGN) umum, maka petani Bangkit
- Tahun 1947 dibentuk Perusahaan Perkebunan Republik hanya menyewakan
Indonesia (PPRI) yang mengelola perusahaan eks lahan berkualitas
Mangkunegaran dan Kasunanan serta menghapus aturan rendah dan
yang bebani petani memperlambat
- Tahun 1950 lahir Tanaman Tebu Rakyat penyerahan
- Tahun 1951 dibentuk Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI) - Pribumi hanya boneka
beranggotakan pribumi, memperoleh jatah penyaluran 10% karena pemilik modal
total produksi, jaminan keuntungan dan fasilitas tetap orang asing
- Tahun 1951 lahir UU darurat No.6, merevisi UU No.8/1918 - Periode 1950-1955
- Tahun 1952, UU No.6/1952, sewa lahan untuk tebu hanya produktivitas menurun
semusim yang nilainya ditetapkan Mentan 11,24 ton/ha menjadi
- Tahun 1953 lahir Yayasan Tebu Rakyat 8,96 ton/ha
- Tahun 1957 semua perusahaan asing diambilalih pemerintah,
NIVAS diserahkan ke PPGI
- SK MENTAN No.29/UM/1957 membentuk Pusat Perkebunan
Negara Baru (PPN Baru)
- Tahun 1958, IPG dalam kendali Republik Indonesia
- PP No.10/1959, Usaha dagang asing wajib ditutup paling
lambat 1 Januari 1960

b. Industri terpimpin (1959 -1965)


- Tahun 1960 lahir Perpu No.38: Menteri Agraria berwenang - Nilai sewa lahan lebih -
menetapkan luas lahan minimum yang harus dikelola desa rendah dari harga
dengan imbalan ditentukan Mentan pasar
- Tahun 1963 lahir 2 pola sistem bagi hasil yaitu peralihan - Bagi hasil tidak
(petani serahkan lahan ke PG dengan imbalan 25% hasil) dan menarik bagi petani
pola bagi hasil (petani menanam tebu dengan imbalan 60%,
PG 40%)
Sumber: Simatupang et al. (1999 ), Soentoro et al. (1999) diolah
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

138
kebutuhan beras dari areal sawah yang sama, pembagian tugas dan wewenang antara
sehingga lahir program BIMAS yang mem- Departemen Pertanian dan Departemen Per-
bawa era baru pada perkembangan teknologi dagangan.
budidaya padi, akibatnya meningkatkan Untuk mengatasi polemik kewenangan,
persaingan penggunaan lahan untuk padi dan pada tanggal 13 Januari 1969 dikeluarkan
komoditas lainnya. Untuk mengatasi situasi Surat Keputusan Presiden yang mengatur
diatas lahir UU No.19/1960 dan PP No.141/ tugas departemen terkait, Departemen Per-
1961 yang membentuk Badan Pimpinan tanian bertanggungjawab dalam produksi,
Umum Perusahaan Negara Perkebunan Gula sedangkan Departemen Perdagangan dalam
(BPU-PNPG) yang dipimpin oleh Dewan perdagangan. Selanjutnya Departemen Perda-
Direktur yang diangkat dan diberhentikan oleh gangan membentuk 4 (empat) sindikat sebagai
Menteri Pertanian. Setiap pabrik menyampai- konsorsium perusahaan swasta yang membeli
kan laporan keuangan pada BPU-PNPG yang gula langsung dari PG secara tunai dengan
dijadikan dasar penentuan harga pokok dukungan dana dari Bank Bumi Daya. Setiap
produksi dan harga jual gula dengan imbalan sindikat mempunyai kuota dan wilayah pema-
jasa 5 persen dari harga provenue gula saran yang sudah ditentukan, yang dilaksana-
(Mubyarto, 1985) kan oleh distributor yang ditunjuk. Untuk
Program ini ternyata tidak efektif, menjalankan tugasnya sindikat tergantung
menimbulkan inefisiensi dan kemacetan modal dari Bank, namun sebenarnya peru-
pemasaran gula, maka tahun 1963 diperbaiki sahaan tersebut tidak layak memperoleh
dengan ditetapkan sistem bagi hasil yaitu pinjaman (not bankable) akibatnya perda-
sewa lahan petani adalah 25 persen dari gula gangan gula didominasi pemilik modal dan
yang dihasilkan apabila seluruh pekerjaan bersifat oligopolistik (CIC, 1988), situasi ini
budidaya tebu dilakukan PG, bila dilakukan menimbulkan polemik.
oleh petani maka bagian yang diterima petani
60 persen. Walaupun secara teoritis sistem ini
menarik, namun pada prakteknya tidak Stabilisasi (1972 – 1997)
demikian, karena tidak ada transparansi dan Awal tahun 1970-an terjadi kenaikan
kepastian produksi gula yang dihasilkan harga gula di pasar dunia terkait dengan
petani. Petani curiga PG cenderung mengu- kegagalan tanaman bit di Rusia dan Eropa
rangi hasil gula dengan memainkan angka Timur. Kondisi ini memotivasi peningkatan
rendemen. Di samping itu, rendemen ditentu- produksi gula di Indonesia. Pada periode ini,
kan berdasarkan rata-rata sehingga tidak ada kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat
insentif untuk tebu berkualitas baik. intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan
harga (Tabel 3). Sebagai langkah awal,
pemerintah mengeluarkan Keppres No.43/
Kebijakan IPG Periode 1966-Sekarang 1971 yang pada dasarnya memberi wewenang
Liberalisasi pemasaran (1966-1971) kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga
Keterpurukan IPG, mengakibatkan dan pasokan gula pasir. SK ini menandai era
Indonesia berubah menjadi negara pengimpor dimulainya peran Bulog sebagai lembaga
gula sejak tahun 1967. Impor gula menghabis- stabilisator, dan pada periode ini kinerja Bulog
kan devisa negara, BPU-PPNG dinilai kurang sebagai stabilator harga cukup bagus
berhasil sehingga dibubarkan pada tahun (Mubyarto, 1983). Keppres No.43/1971 juga
1968. Sebagai pengganti BPU-PPNG dibentuk berisi pembubaran sistem sindikat gula serta
8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula mengatur pembagian tugas dan wewenang
(PNPG) yang masing-masing mengelola 4-7 instansi terkait dalam industri gula secara rinci,
pabrik yang dilengkapi dengan Badan dimana Departemen Pertanian bertanggung-
Pemasaran Bersama (BPB) untuk memper- jawab dalam produksi, Bank Bumi Daya di
lancar pemasaran. Namun demikian BPB tidak bidang pembiayaan dan Bulog di bidang
dapat berfungsi optimal karena keterbatasan pemasaran (pembelian gula dalam negeri
modal. Hal ini mengakibatkan pemasaran maupun impor). Agar Keppres tersebut lebih
macet dan PG-PG kembali melakukan pen- efektif, maka didukung oleh Surat Mensekneg
jualan langsung, sehingga timbul polemik No.B.136/APBN Sekneg/3/74 tentang pema-

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

139
saran gula yang berasal dari non-PNP kelembagaan produksi yang dilakukan melalui
(Perusahaan Negara Perkebunan). Inpres No.9/1975 juga bertujuan mengubah
Dari sisi kebijakan produksi dan kebi- sosok industri gula dari sistem perusahaan
jakan input, kebijakan yang paling signifikan perkebunan besar (estate) menjadi sistem
dari pemerintah pada periode stabilisasi usaha pertanian rakyat (Mubyarto, 1977).
adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Ketentuan utama sistem TRI mencakup: (1)
Inpres No.9/1975, pada tanggal 22 April 1975. PG wajib menyediakan sarana produksi dan
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk penyuluhan teknis bagi petani tebu; (2) Lokasi
meningkatkan produksi gula serta pendapatan perkebunan tebu ditentukan oleh pejabat
petani tebu. Dengan demikian, impor gula BIMAS dengan memperhatikan usulan PG dan
diharapkan menurun. Esensi dari kebijakan pandangan petani melalui KUD; (3) BRI
tersebut adalah membuat petani menjadi menyediakan kredit murah; (4) Pengelolaan
manajer pada lahannya sendiri dengan usaha petani dilakukan petani; dan (5) Tebu
dukungan pemerintah melalui kredit Bimas, yang dihasilkan dijual ke PG dengan sistem
bimbingan teknis, perbaikan sistem pema- bagi hasil didasarkan pada rendemen dan
saran dengan melibatkan KUD, serta mencip- ditetapkan melalui surat keputusan Menteri
takan suatu hubungan kerjasama antara Pertanian.
petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, Untuk menjaga ketersediaan bahan
1998). Di samping itu, pemerintah melakukan baku tebu, dan terkendalanya areal tebu di
rehabilitasi beberapa PG di Jawa, dan lahan sawah, mulai tahun 1980 dikembangkan
mendirikan PG baru baik di Jawa maupun di tebu di daerah lahan kering. TRI membawa
luar Jawa, dengan dukungan dana pinjaman konsekuensi perubahan tata ekonomi di
dari Bank Dunia. pedesaan, baru pada tahun 1981 areal tebu di
Inpres No.9/1975 melibatkan 5 (lima) Jawa berhasil didominasi oleh tebu rakyat
organisasi yaitu: (1) PG sebagai pengolah dan yang mencapai 80 persen dari total areal
pembimbing petani; (2) KUD (Koperasi Unit tebu. Namun ternyata Program TRI kurang
Desa) sebagai penyalur sarana produksi berhasil dalam peningkatan produksi gula.
(saprodi); (3) Bank BRI sebagai penyalur Produksi pada periode tahun 1975-1980 lebih
kredit; (4) Bulog membeli bagian petani dan rendah dibandingkan dengan periode tahun
PG dengan harga yang ditetapkan pemerintah; 1970-1975, disebabkan karena penurunan
dan (5) Dinas Perkebunan sebagai pembim- produktivitas. Hal ini disebabkan karena
bing teknis melalui penyuluhan. Penataan pengelolaan usahatani yang dilakukan terpisah

Tabel3. Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Industri Gula Periode Stabilisasi (1971-1996)

Kebijakan Perihal Tujuan


Keppres No.43/1971,14 Juli Pengadaan, penyaluran dan Menjaga kestabilan gula sebagai bahan
1971 pemasaran gula pokok
Surat Mensekneg Penguasaan, pengawasan dan Penjelasan mengenai Keppres
No.B.136/ABN SEKNEG penyaluran gula pasir non PNP No.43/1971/14 Juli 1971
/3/74,27 Maret 1974
Inpres No.9/1975, 22 April Intensifikasi tebu (TRI) Peningkatan produksi gula serta
1975 pendapatan petani tebu
Kepmen Perdagangan dan Tataniaga gula pasir dalam negeri Menjamin kelancaran pengadaan dan
Koperasi No.122/Kp/III/81, penyaluran gula pasir serta peningkatan
12 Maret 1981 pendapatan petani
Kepmenkeu Penetapan harga gula pasir, Menjamin stabilitas harga devisa, serta
No.342/KMK.011/1987 produksi dalam negeri dan impor kesesuaian pendapatan petani dan
pabrik
UU No.12/1992 Sistem Budidaya Tanaman Memberikan kebebasan kepada petani
untuk menanam komoditas sesuai
dengan prospek pasar
Sumber; Susila (2005:63), diolah.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

140
dari PG, usahatani tebu terpencar-pencar jukkan stabilitas dan kemajuan yang gradual.
karena pemilikan lahan yang sempit sehingga Pada periode tersebut, areal meningkat
tidak efisien (Masyhuri, 2005). dengan laju 2,2 persen per tahun, dengan
Bulog menunjukkan kinerja bagus, prog- rata-rata luas areal mencapai 381 341 ribu ha.
ram stabilisasi harga yang dilakukan Bulog Pada akhir periode ini (1997), areal tebu
ternyata sangat berhasil akhirnya tanggal 22 nasional mencapai 386.878 ribu ha. Produksi
Oktober 1980 pemerintah menetapkan bahwa juga mengalami peningkatan dengan laju 1,0
semua gula yang masih berada di PG PNP persen per tahun, produksi nasional pada akhir
maupun non-PNP dibeli oleh Bulog dengan periode ini mencapai 2.191 juta ton. Karena
harga yang wajar. Melalui SK Menteri Perda- periode ini adalah periode stabilisasi, maka
gangan dan Koperasi No.122/KP/III/1981 impor menjadi bersifat residual. Bulog sebagai
ditetapkan bahwa Bulog sebagai pembeli lembaga yang mengelola impor gula menjadi-
tunggal seluruh produksi gula dalam negeri. kan impor sebagai selisih antara konsumsi
Disamping itu perdagangan gula dikendalikan dengan produksi domestik. Karena bersifat
oleh pemerintah melalui monopoli Bulog. residual, maka volume impor cenderung fluk-
Terkait dengan harga gula, instrumen utama tuatif tergantung produksi nasional, sebagai
kebijakan adalah harga provenue dan harga contoh pada periode 1980-1984, produksi gula
jual yang dikelola oleh Bulog (Kepmenkeu semakin meningkat maka impor cenderung
No.342/KMK.011/1987). Kebijakan ini mempu- menurun.
nyai tujuan untuk stabilisasi harga gula di
pasar domestik, peningkatan penghasilan Adaptasi terhadap Sistem Perdagangan
penerimaan pemerintah, harga gula yang ter- Bebas (1993–2001)
jangkau masyarakat, serta menjamin penda-
patan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et Untuk menanggulangi permasalahan
al., 2000). Kebijakan ini bersifat multi tujuan, perdagangan (termasuk IPG) secara inter-
bahkan antar tujuan ada yang bersifat berla- nasional, telah disepakati liberalisasi perdaga-
wanan (conflicting) seperti peningkatan pen- ngan yang tertuang dalam Putaran Uruguay
dapatan petani versus harga yang terjangkau, (PU) sebagai rangkaian dari General
serta peningkatan penerimaan pemerintah. Agreement on Tariff and Trade (GATT) tanggal
15 Desember 1993. Upaya mengurangi dis-
Tahun 1989 terjadi perubahan sistem torsi IPG telah ditempuh berbagai negara
bagi hasil, dimana petani memperoleh 62 dengan mewujudkan komitmen pada 4 hal
persen dari produksi hablur dan 2 kg tetes dari penting yaitu: (1) Tindakan sanitasi/ fitosanitasi
total tebu yang dikirim. Gula bagian petani (kontaminasi aflatoxin dan standar yang ketat);
diserahkan dalam bentuk uang sebanyak 98 (2) Bantuan/dukungan domestik yang diukur
persen dan sisanya dalam bentuk natura. dengan total agregat measurement of support
Sistem bagi hasil tersebut lebih baik diban- (AMS), di mana untuk negara maju menurun-
dingkan dengan sistem bagi hasil tahun 1963 kan 20 persen, sedangkan negara berkem-
yang dikembangkan dengan dua pola. Sistem bang 13 persen; (3) Akses pasar yaitu tarifi-
bagi hasil baru memberikan konsekuensi kasi, penurunan tarif yang umum diterapkan
petani menanggung berbagai risiko. Risiko berbagai negara (ad volorem tariffs) dimana
mulai dari kegiatan usahatani sampai pasca negara maju diharapkan mewujudkan tahun
panen, misalnya petani akan mengalami 2000 dengan penurunan sebesar (21-23%)
kerugian apabila tebu yang ditebang tidak sedangkan negara berkembang tahun 2004
segera digiling (setelah 30 jam akan terjadi sebesar (9-14%) dan tarif spesifik yang pro-
fermentasi sehingga rendemen menurun). porsi penerapannya sangat terbatas berkisar
Disisi lain PG memperoleh keuntungan lebih (24-36%); dan (4) Pengurangan subsidi ekspor
kecil daripada sebelum TRI sehingga PG berdasarkan penurunan volume ekspor,
berusaha meningkatkan keuntungan melalui volume yang disubsidi sebesar 18 persen dari
peningkatan kapasitas giling, kapasitas teknik, produk pertanian yang dipasarkan di dunia dan
dan memperpanjang masa giling (hari giling nilai ekspor.
diperpanjang 180 hingga 200 hari per tahun).
Namun implementasi kesepakatan
Pada periode stabilisasi ini, secara GATT tersebut oleh Susila (2005) dilaporkan
umum kinerja industri gula Indonesia menun- belum banyak menyentuh distorsi IPG. Hal ini

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

141
disebabkan karena: (1) Gula tidak banyak (1.5%-2.3%). Ada 3 faktor yang secara konsis-
berpengaruh terhadap kesehatan dan ling- ten potensial mendorong pengurangan pro-
kungan; (2) Berbagai fakta kebijakan subsidi teksi dan subsidi industri gula di negara
yang ditempuh berbagai negara (Lampiran 1), produsen dan konsumen: (1) Dikembangkan-
masih menempatkan industri gula menerima nya pemanis alternatif pesaing gula; (2) Kema-
subsidi yang besar. juan teknologi yang meningkatkan efisiensi
Komitmen akses pasar dianggap masih dan (3) Globalisasi dalam kepemilikan industri
marginal dengan fakta masih tingginya tingkat dan akses informasi (Susila, 2005).
binding tariff. Dari tarif yang diberikan oleh 17 Dalam rangka kesepakatan GATT terse-
negara, Jepang menduduki rangking tertinggi but, pemerintah Indonesia membuka pasar
yaitu 283 persen, diikuti Mexico (156%), impor secara dramatis. Dengan argumen
Zimbabwe (150%), EU (146%), Zambia untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerin-
(126%), Columbia (117%), US (106%), Afrika tah mengeluarkan Kepmenperindag No.25/
Selatan (105%) dan Indonesia (95%), merupa- MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi
kan urutan ke 10. Negara lain yang tarif monopoli pada Bulog untuk mengimpor
impornya rendah (dibawah 100%) berturut- komoditas strategis, termasuk mengimpor
turut Canada (8%), Australia (14%), Brazil gula. Era ini merupakan akhir dari peran Bulog
(35%), Cuba (40%), Filipina (50%), China sebagai lembaga yang memonopoli impor,
(76%) dan Thailand (94%). Penurunan tarif sekaligus dimulainya era perdagangan bebas
yang relatif kecil, menggambarkan negara untuk gula di pasar Indonesia. Karena tidak
tersebut pada posisi proteksi yang tinggi, ada tarif impor pada periode ini, maka impor
bahkan EU diberi kewenangan menggunakan gula dilakukan dengan tarif impor 0 persen dan
safeguards mechanism, yaitu memberi tam- impor dilakukan oleh perusahaan importir.
bahan tarif ketika harga gula dunia rendah Akibatnya, impor gula pada periode ini
atau impor melebihi target (Susila, 2005). meningkat tajam. Jika pada tahun 1996 impor
Kesepakatan PU dimanfaatkan oleh masih dibawah 1 juta ton, maka pada tahun
negara tertentu untuk menaikkan tarif pada 1977 sudah mencapai 1,36 juta ton dan
saat negara lain harus menurunkan tarif. Dari mencapai puncaknya menjadi 1,73 juta ton
empat komitmen PU yang dianggap paling pada tahun 1998 (Susila, 2005).
signifikan terhadap distorsi IPG adalah Banjirnya gula impor dengan harga
komitmen mengurangi subsidi ekspor. Amerika murah membuat industri gula dalam negeri
Serikat menurunkan subsidi 24 persen (US$ mengalami kemunduran. Pada periode ini
56.000 menjadi US$ 42.000) dan volume areal turun drastis dari 446 ribu ha pada tahun
ekspor (dari 791.000 menjadi 601.400 ton). EU 1996 menjadi sekitar 350 ribu ha pada periode
menurunkan 21 persen subsidi sehingga liberalisasi. Sebagai akibatnya, produksi me-
volume gula yang masih boleh diberi subsidi nurun dari di atas 2 juta ton pada akhir periode
ekspor 1,3 juta ton (dari sebelumnya 1,6 juta stabilisasi menjadi sekitar 1,7 juta ton pada
ton). periode liberalisasi. Kebijakan Pemerintah
Dampak liberalisasi perdagangan di Indonesia berkaitan dengan IPG Periode
pasar dunia dan beberapa negara relatif kecil, Liberalisasi dikemukakan pada Lampiran 2.
antara lain: (1) Peningkatan harga gula di Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai
pasar dunia relatif kecil (USc 2-5/lb, bahkan berkurang pada tahun 1999, harga gula di
pada tahun 1995-2000 lebih kecil). Bahkan dalam negeri justru mengalami penurunan
dari estimasi pesimis surplus produksi, diper- yang signifikan. Penurunan tersebut disebab-
kirakan harga gula hanya meningkat USc 1/lb; kan tiga faktor yaitu harga gula dunia terus
(2) Di US, penurunan areal 1,24 persen dan menurun, nilai tukar Rupiah yang menguat,
produksi 1,06 persen, serta peningkatan serta tidak adanya tarif impor. Pada tahun
konsumsi sebesar 1,82 persen; (3) Di EU, 1999, rata-rata harga dunia di pasar interna-
penurunan produksi 0,53 persen dan pening- sional adalah US$ 137,3/ton, sedangkan nilai
katan konsumsi 0,55 persen, serta penurunan tukar Rupiah pada saat tersebut rata-rata
ekspor 1,23 persen; (4) Di Australia, produksi mencapai Rp 7 100/US$. Sebagai akibatnya,
dan ekspor meningkat ( 2,1% dan 2,89% ); (5) harga paritas impor gula pada saat itu
Di Brazil produksi dan ekspor meningkat mencapai titik terendah yaitu antara Rp 1.800-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

142
1.900 per kg. Hal ini membuat harga gula pada Lampiran 3. Kebijakan perdagangan
dalam negeri mengalami tekanan. Untuk Indonesia khususnya mengenai tarif impor
melindungi produsen, maka pemerintah masih rendah dan dilematis. Disarankan
mengeluarkan SK Menhutbun No.282/KPTS- kebijakan tarif impor perlu dianalisis secara
IV/1999 yang kembali menetapkan harga cermat untuk menciptakan iklim yang fair
provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. dalam menghadapi perdagangan gula dunia
Kebijakan harga provenue tersebut ternyata yang terdistorsi, sekaligus dapat diterima oleh
merupakan kebijakan yang tidak efektif karena pelaku industri gula. Disimpulkan bahwa
tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang liberalisasi perdagangan tidak berpengaruh
memadai. Sebagai contoh, untuk mengimple- pada tingkat IPG sehingga pada masa
mentasikan kebijakan tersebut, pemerintah mendatang perdagangan dan industri gula
tidak memiliki dana yang memadai. Di sisi lain, masih akan tetap terdistorsi (Susila, 2005).
BUMN perkebunan yang mengelola gula juga
Ketika harga gula domestik terus
tidak memiliki dana yang memadai untuk
merosot dan industri gula sudah diambang
melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai
kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan
akibatnya, kebijakan tersebut menjadi tidak
petani) semakin kuat, pemerintah mengeluar-
dapat diwujudkan sehingga harga gula petani
kan kebijakan yang bertujuan untuk mengen-
masih tetap mengalami ketidakpastian.
dalikan impor, dengan membatasi importir
Untuk mengatasi masalah tersebut, hanya menjadi importir produsen (IP) dan
maka pemerintah melalui Departemen Per- importir terdaftar (IT). Kebijakan ini dituangkan
industrian dan Perdagangan mengeluarkan SK dalam Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/
Menperindag No.364/MPP/Kep /8/1999. Instru- 2002, 23 September 2002. Era ini merupakan
men utama dari kebijakan tersebut adalah era dimulainya regim pengendalian impor.
pembatasan jumlah importir dengan hanya Gula yang diimpor oleh IP hanya dimaksudkan
mengijinkan importir produsen. Dengan kebi- untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP
jakan ini, pemerintah dapat membatasi dan tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi
mengendalikan volume impor di samping lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG
memiliki data yang lebih valid mengenai milik IT minimal 75 persen berasal dari petani.
volume impor dan stok. Dengan demikian, Esensi lainnya yang penting dari kebijakan
harga gula dalam negeri dan harga gula di tersebut adalah bahwa impor gula akan
tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan diijinkan bila harga gula di tingkat petani
importir produsen tersebut ternyata masih mencapai minimal Rp 3.100/kg. Kebijakan ini
kurang efektif, baik untuk mengangkat harga diharapkan mampu meningkatkan harga di
gula di pasar domestik maupun mengontrol dalam negeri sehingga memperbaiki penda-
volume impor. Walau tidak ada data pendu- patan produsen. Kebijakan tersebut kemudian
kung yang memadai, kegagalan tersebut direvisi dalam bentuk penetapan harga gula
terutama disebabkan oleh stok gula dalam ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg (Kep-
negeri sudah terlalu banyak serta masih menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004), Rp
adanya gula impor ilegal. 3.800/kg (Peraturan Menteri Perdagangan
Situasi ini membuat harga gula di pasar No.08/M-Dag/Per/4/2005), dan Rp 4.800/kg
domestik tetap melemah. Desakan petani dan (Permendag No.19/M-Dag/Per/4/2006).
pabrik gula terhadap pemerintah untuk Kebijakan-kebijakan pada periode ini
melindungi industri gula dalam negeri semakin cukup efektif untuk membangkitkan kembali
kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Menang- industri gula nasional, walaupun faktor
gapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar
kebijakan tarif impor dengan SK Menperindag internasional juga turut menolong industri gula
No.230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlaku- nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai
kan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk tampak dan pada tahun 2005 areal diperkira-
raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. kan mulai meningkat secara signifikan. Pro-
duksi mulai meningkat, dan mulai tahun 2004
Pengendalian Impor (2002- Sekarang) produksi sudah kembali diatas 2 juta ton.
Sebagai akibatnya, impor mulai menurun dari
Kebijakan Pemerintah berkaitan dengan sekitar 1,5 juta ton menjadi sekitar 1,3 juta ton.
IPG periode pengendalian impor dikemukakan

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

143
Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan yang dirinci menjadi 26 subkegiatan dalam 7
didukung oleh program revitalisasi pemba- (tujuh) major action plan atau rencana tindak
ngunan industri gula nasional, Indonesia dapat lanjut yaitu: (1) Peningkatan produksi dan
berharap mencapai swasembada gula pada produktivitas; (2) Investasi dan rehabilitasi PG;
tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90% (3) Proteksi IPG; (4) Penguatan kelembagaan;
dari konsumsi nasional). (5) Otonomi Daerah (OTODA); (6) Aspek
Dari sisi tataniaga kebijakan penetapan lingkungan; dan (7) Bidang energi. Pelaksana
harga diatas memberikan iklim positif bagi masing-masing action plan telah ditentukan,
produsen. Kebijakan pembatasan impor dila- dimana Ditjenbun memiliki tanggung jawab
kukan agar harga domestik meningkat (karena dalam 5 action plan (kecuali OTODA dan
harga gula dunia relatif lebih rendah daripada proteksi industri gula) atau 65 persen sub-
harga domestik) sehingga produsen mendapat kegiatan. Koordinator seluruh kegiatan adalah
insentif untuk meningkatkan produksinya. Dewan Gula Indonesia (DGI) sedangkan
Dalam kurun waktu tersebut, kebijakan tata- penanggungjawab adalah 10 Menteri yaitu:
niaga didukung oleh kebijakan lainnya yaitu Mentan, Menkeu, Menkoekuin, Menperin,
pada tahun 2002 Departemen Pertanian Meneg BUMN, Mendag , Menpan, Men KLH,
mencetuskan program akselerasi (peningkatan Mendagri dan Men ESDM.
produksi gula) nasional. Program tersebut Action plan didasarkan pada kondisi
dilaksanakan dengan mengoptimalkan kinerja tahun 2005 dimana kebutuhan untuk konsumsi
pabrik gula yang ada melalui penataan dan 2,63 juta ton, dengan asumsi pertumbuhan
rehabilitasi tanaman, peralatan/mesin pabrik, penduduk Indonesia 1,20 persen dan
manajemen pabrik gula, maupun penyehatan konsumsi gula/kapita stabil 12 kg/kapita/tahun,
lembaga penelitian yang ada (P3GI). maka tahun 2009 jumlah penduduk 230 juta
Selain kebijakan diatas, terkait pengen- jiwa sehingga diperlukan produksi gula
dalian impor pemerintah mencanangkan prog- sebesar 2,78 juta ton. Apakah target tersebut
ram khusus ”Swasembada Gula Nasional”, sudah dicapai? Departemen Perdagangan
khusus untuk konsumsi langsung rumah melaporkan prognosa produksi akhir Agustus
tangga. Program tersebut ditetapkan dengan tahun 2009 sebanyak 1.625.312 ton (51%) dari
kesadaran penuh atas kompleksnya permasa- target dimana stok gula sebanyak 266.679,
lahan IPG mulai on-farm dan off-farm serta berada di pedagang 196.544 ton, petani
perdagangan dunia yang sangat distortif. 59.935 ton dan di PTPN serta RNI 10.200 ton.
Swasembada dianggap penting karena ke Sementara itu, prognosa DGI (dengan pro-
depan harga gula diprediksi akan terus duksi aktual sampai bulan Agustus) produksi
meningkat. Sebagai antisipasi, pemerintah tahun 2009 sebesar 2,67 juta ton. Dan sampai
berupaya meningkatkan produksi dan produkti- dengan akhir tahun 2009 tidak ada realisasi
vitas melalui program akselerasi, serta per- impor GKP, namun stok gula relatif kecil.
baikan kebijakan tataniaga serta impor gula. Suatu hal yang menjadi permasalahan adalah
Kebijakan internasional yang mempengaruhi keakuratan data, baik produksi, konsumsi
pergulaan nasional antara lain: (i) Kesepa- langsung dan tidak langsung, serta impor dan
katan “Hongkong Ministerial Meeting” tahun ekspor.
2005 tentang penghapusan subsidi ekspor Pada periode ini, mulai dikembangkan
pada tahun 2013, yang akan mengurangi daya PG rafinasi, yang dimaksudkan untuk mem-
saing produksi gula negara maju khususnya bantu mencukupi kebutuhan gula untuk
Uni Eropa (EU); (ii) Tekanan pada negara industri makanan dan minuman. PG rafinasi
maju (EU) dan AS untuk segera mengurangi memperoleh kemudahan dalam impor bahan
proteksi terhadap industri gula; (iii) Kebijakan baku gula mentah, yaitu dengan keringanan
Cina membatasi pemakaian pemanis buatan bea masuk atau pajak impor, pemerintah
dalam industri mamin; dan (iv) Naiknya harga menerapkan kebijakan bea masuk lima persen
minyak mentah dunia yang menyebabkan selama dua tahun pertama (Surat Keputusan
produsen gula meningkatkan jumlah produksi Menteri Keuangan No.135/KMK.05/2000).
ethanol berbahan baku tebu sebagai alternatif. Ketentuan yang sama tentang keringanan bea
Untuk merealisasi Swasembada Gula masuk ini juga berlaku kepada industri rafinasi
Konsumsi (SGK) telah dibuat ”Road Map” yang melakukan perluasan usahanya.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

144
Dalam rangka melindungi harga gula (sewa lahan murah, upah tenaga kerja murah;
kristal putih domestik, perdagangan gula (3) Tidak pada tempatnya apabila petani
rafinasi diatur dengan SK Menperindag mensubsidi pemerintah (sistem tanam paksa);
No.527/MPP/Kep/9/2004, bahwa gula rafinasi (4) Dukungan kebijakan lahan, harus saling
hanya untuk kebutuhan bahan baku bagi menguntungkan baik bagi PG maupun petani.
industri pengguna dan distribusi gula rafinasi Ketentuan sewa lahan harus mengikuti
langsung ke industri pengguna tanpa melalui dinamika ekonomi, seperti pasar lahan dan
distributor. Pada Pebruari 2009, Departemen inflasi. Sewa lahan yang rendah, menyebab-
Perdagangan mengeluarkan penyempurnaan kan petani enggan menyewakan lahannya
petunjuk pendistribusian gula rafinasi melalui untuk PG. Hal ini yang menyebabkan keter-
surat Menteri Perdagangan kepada produsen sediaan lahan untuk PG yang terbatas pada
gula rafinasi No.111/M-DAG/2/2009. Penyem- era 1950-an; (5) Untuk melindungi produsen,
purnaan ini dilakukan dalam rangka: (1) menetapkan harga provenue gula. Kebijakan
Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua harga provenue menjadi kebijakan yang tidak
pihak yang terlibat perihal distribusi gula efektif kalau tidak didukung oleh rencana
rafinasi yang sesuai dengan kebijakan peme- tindak lanjut yang memadai. Dengan rencana
rintah, sehingga tidak menganggu penyaluran yang memadai, kebijakan ini bisa menjadi
gula rafinasi sesuai peruntukan, yaitu untuk insentif untuk meningkatkan produksi; (6)
industri, dan juga tidak menganggu pasar gula Ketika harga gula industri terus merosot dan
kristal putih; (2) Agar produsen gula rafinasi, industri gula sudah diambang kebangkrutan,
distributor di semua lini, perusahaan makanan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
dan minuman (menengah, UKM dan industri bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan
rumah tangga), dan aparat pengawasan membatasi industri hanya menjadi industri
mempunyai pemahaman yang sama menge- produsen (IP) dan industri terdaftar (IT); (7)
nai sistem distribusi yang berlaku. Dalam Pengembangan PG rafinasi, yang dimaksud-
surat Menperdag No.111/2009 itu disebutkan kan untuk membantu mencukupi kebutuhan
bahwa dalam memenuhi kebutuhan gula gula untuk industri makanan dan minuman,
rafinasi untuk industri pengguna atau industri harus sinergi dengan pengembangan PG eks
makanan dan minuman, setiap produsen gula tebu.
rafinasi dapat menunjuk distributor secara Dalam aspek perdagangan beberapa
resmi, selanjutnya distributor dapat menunjuk pembelajaran yang dapat dipetik adalah
pula subdistributor secara resmi. Distributor sebagai berikut: (1) Kebijakan perdagangan
yang tidak memiliki surat penunjukan atau yang bersifat monopsoni akan mengakibatkan
pengangkatan dari produsen gula rafinasi harga tidak bersaing; Kebijakan monopoli juga
dilarang mendistribusikan atau memperda- akan merugikan konsumen; (2) Liberalisasi
gangkan gula rafinasi. Hal yang sama juga perdagangan sebelum penjajahan hanya
berlaku bagi subdistributor. menguntungkan pemerintah, sementara libera-
lisasi perdangagan bebas pada era 1990-an
SINTESIS menyebabkan harga domestik menurun,
sehingga petani tebu dirugikan; (3) Pem-
bentukan lembaga pemasaran seperti BPB
Dari sejarah IPG sejak zaman pen- dan konsorsium memerlukan dukungan modal,
jajahan sampai sekarang, dapat diperoleh BPB yang dibentuk pada tahun 1968 tidak
pembelajaran dalam aspek produksi, perda- dapat berfungsi optimal karena keterbatasan
gangan, kelembagaan serta penelitian dan modal. Namun perusahaan tersebut harus
pengembangan. Dalam aspek produksi/pro- bankable. Dukungan permodalan dari
duktivitas di tingkat petani dan pabrik, perbankan untuk perusahaan not bankable
beberapa pembelajaran yang dapat dipetik akan menimbulkan permasalahan baru, terlihat
adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan pada kasus konsorsium; dan (4) Penunjukkan
produksi melalui perluasan areal yang Bulog sebagai instansi yang bertugas menjaga
dipaksakan tidak akan berkelanjutan, seperti stabilitas harga dan pasokan gula pasir, cukup
sistem tanam paksa, ekonomi terpimpin dan bagus menjaga stabilitas harga gula domestik,
TRI; (2) Peningkatan investasi pabrik tidak namun mengarah ke monopsoni dan
harus dilakukan dengan mengorbankan petani monopoli.

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

145
Dalam aspek kelembagaan beberapa pengembangaan pergulaan harus dilakukan
pembelajaran yang dapat dipetik adalah secara komprehensif. Pengembangan pada
sebagai berikut: (1) Kebijakan harus didukung aspek produksi difokuskan pada inovasi dan
dengan kesiapan kelembagaan, contoh adopsi teknologi baik pada aspek pengem-
kebijakan nasionalisasi dan industri terpimpin bangan varietas menurut jenis lahan, pengem-
kurang berhasil karena kelembagaan dan bangan teknologi budidaya spesifik lokasi,
SDM belum siap, Nasionalisasi PG yang serta pengembangan panen dan pasca panen
berlangsung cepat belum diimbangi dengan yang mampu menekan kehilangan hasil.
kesiapan tenaga ahli serta manager dan Untuk menjaga hubungan yang
teknisi Belanda yang diusir tiba-tiba. Pusat harmonis antara PG dan petani tebu maka
Penjualan Gula Indonesia (PPGI) dan diperlukan beberapa syarat : (a) Adanya
Pedagang Gula Tangan Pertama (PGTP) juga kontribusi bersama, dari masing-masing pihak;
mengalami kegagalan karena pedagang murni (b) Adanya pembagian hak dan kewajiban
hanyalah pedagang boneka yang merupakan secara adil; (c) Penetapan jadwal tanam dan
kolusi dari pejabat pemerintah atau elit partai panen terencana dengan baik; dan (d)
politik yang korup; (2) Sistem bagi hasil antara Penetapan harga gula dan transparansi
PG dan petani seharusnya didasarkan pada penetapan rendemen merupakan daya tarik
rasa keadilan, ketidakadilan menyebabkan bagi petani untuk menanam tebu.
sistem tersebut tidak berhasil. Sebagai contoh,
pola peralihan dan pola bagi hasil yang Diperlukan sinergi dukungan kebijakan
dikembangkan tahun 1963 tidak berhasil. Bagi dalam aspek produksi, perdagangan, peneli-
hasil senantiasa diperbaiki, pada saat ini tian dan pengembangan, disertai dengan
petani memperoleh 66 persen dan PG 34 kelembagaan yang matang untuk mengemba-
persen; (3) Pembagian wewenang antar likan kejayaan gula. Kebijakan aspek produksi
departemen harus jelas, kegagalan pema- difokuskan pada upaya peningkatan produk-
saran pada periode 1966-1971 menimbulkan tivitas yang dapat ditempuh melalui terobosan
polemik pembagian tugas dan wewenang inovasi dan adopsi teknologi baru serta
antara Departemen Pertanian dan Perda- peningkatan kapabilitas teknis dan manajerial
gangan; (4) Penataan kelembagaan produksi petani tebu. Kebijakan perdagangan ditujukan
yang dilakukan melalui Inpres No.9/1975 juga untuk melindungi petani dari perdagangan
bertujuan mengubah sosok industri gula dari yang tidak adil melalui kebijakan subsidi input
sistem perusahaan perkebunan besar (estate) dan tarif (sejauh dalam kesepakatan WTO).
menjadi sistem usaha pertanian rakyat. Kebijakan penelitian dan pengembangan
Kebijakan ini mampu meningkatkan areal tebu difokuskan pada inovasi teknologi pembibitan
rakyat. Namun karena pengelolaan usahatani (varietas), teknologi budidaya, serta pena-
yang dilakukan terpisah dari PG, usahatani nganan pasca panen dan pengolahan hasil.
tebu terpencar-pencar karena pemilikan lahan Kebijakan pada aspek kelembagaan difokus-
yang sempit sehingga tidak efisien. kan pada konsolidasi kelembagaan kelompok
tani, kelembagaan kemitraan usaha antara PG
Dalam aspek penelitian dan pengem- dan petani (kelompok tani) yang dapat saling
bangan, dukungan dana yang kuat untuk membutuhkan, memperkuat, dan menguntung-
lembaga ini akan menghasilkan teknologi yang kan. Peran kelembagaan pemerintah perlu
baik. P3GI yang sebelumnya dibiayai oleh PG, terus ditingkatkan baik dalam kebijakan
namun akhir-akhir ini dukungan tersebut regulasi, sasilitasi dan mediasi.
berkurang, maka lembaga ini kurang ker-
kembang secara optimal.
Saran
KESIMPULAN DAN SARAN Diperlukan kebijakan yang kompre-
hensif, yang melibatkan semua pihak yang
terkait dengan pergulaan nasional. Pening-
Kesimpulan katan tranparansi penetapan rende-men,
Pengembangan pergulaan nasional penetapan harga gula yang mengikuti dina-
menyangkut banyak pihak, sehingga kebijakan mika ekonomi.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

146
DAFTAR PUSTAKA Mubyarto. 1969. ”The Sugar Industy”. Bulletin of
Indonesia Economis Studies 5(2): 37-59.
ANU. Canberra.
Anonimous. 2009. Pasar Murah Gula Mulai Digelar. Mubyarto. 1977. “The Sugar Industry. From Estate
Republika. 29 Agustus. to Cane Production". Bulletin of Indonesia
Bahari, R. 1989. Manisnya Gula, Pahitnya Economics Studies 13(2): 29-44. ANU.
Kehidupan: Dari Sindikat Gula Sampai Tebu Canberra.
Rakyat Intensifikasi. Warta Ekonomi. 03/1/3, Mubyarto. 1985. Tebu Rakyat Intensifikasi: Prospek
Juli: 1-2. Jakarta. dan Masalahnya. Prisma 10(10): 50-61.
CIC. 1988. Studi Mengenai Industri dan Pemasaran LP3ES. Jakarta.
Gula serta bahan Pemanis lainnya di Onghokham. 1985. Elite dan Monopoli dalam
Indonesia 1988. P.T. Capricon Indonesia Perspektif Sejarah. Prisma 14(2): 3-13.
Colsult Inc. Jakarta. LP3ES. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia. 2008. Bunga Rampai Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri
Peraturan Pergulaan Indonesia. Sekretariat Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perke-
Dewan Gula Indonesia. Jakarta. bunan. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia. 2009. Kondisi Pergulaan Panglaykim, J. 1968. “Marketing Organization in
Indonesia. Bahan Rapat Teknis. Sekretariat Transition”. Bulletin of Indonesian Economics
Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Studies, 35-59. ANU. Canberra.
Dick, H.W. 1988. Perdagangan Antar Pulau, Panglaykim, J. and I. Palmer. 1972. “Study of
Perintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Enterpreneurship in Developing Countries.
Suatu Perekonomian Nasional. Dalam The Development of One Chinese Concern
Indonesia A. Booth, W.J. O’Malley dan A. in Indonesia”. Journal of Southeat Asian
Weidemann (Eds. ) Sejarah Ekonomi, Hal. Studies 1(1); 85-95.
399-434. LP3ES. Jakarta.
Sawit, H., P. Suharno dan A. Rachman. 1999.
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dan Ekonomi Gula di Indonesia. Kerjasama
Dewan Gula Indonesia. 2006. Penyusunan Bulog dan IPB. Penerbit IPB. Bogor.
Neraca Gula Tahun 2006. Laporan. 51 Hal.
Simatupang, P., A. Rachman dan Lely Pelitasari.
Gaol, H.L. 1985. “Sugar Cane Economy in 1999. Gula dalam Kebijakan Pangan
Indonesai”. Makalah disampaikan pada Nasional: Analisis Historis. Dalam Sawit, H.,
Simposium Peningkatan Peranan Tebu di P. Suharno dan A. Rachman. Ekonomi Gula
Indonesia, 14-18 Oktober 1985. Ikatan Ahli di Indonesia. Kerjasama Bulog dan IPB.
Gula Indonesia. Jakarta. Penerbit IPB. Bogor. Hal. 481-545.
Josie, S.H dan D. Damayanti. 2009. Memutar Nasib Soemardjan, S. 1991. Perubahan Sosial di
Industri Gula Nasional. Kompas. 30 Oktober. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Jakarta. Yogyakarta.
Kholifah, E. 1995. Ekonomi Politik Perdagangan Soentoro, Nani Indiarto, Abdul Muis, S. Ali. 1999.
Gula di Indonesia. Tesis Sarjana S2 program Usahatani dan Tebu rakyat Intensifikasi di
Studi Ilmu Politik. Program Pascasarjana. Jawa. Dalam Ekonomi Gula di indonesia. M.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. H. Sawit, P. Suharto dan Anas Rachman
Knight, G.R. 1988. Kaum Tani dan Budidaya Tebu (Eds). Penerbit IPB. Bogor.
di Pulau Jawa. Abad ke-19. Studi dari Stakeholders’s Pergulaan Nasional. 2008. Road
Karasidenan Pekalongan 1830-1870. Dalam Map Swasembada Gula Nasional. Direktorat
A. Booth W.J.O’Malley dan Weidemann Jenderal Perkebunan. Jakarta. 128 Hal.
(Eds) Sejarah Ekonomi Indonesia. Hal 74-
98. LP3ES. Jakarta. Susila, W.R. 2005. Pengembangan Industri Gula
Indonesia: Analisis Kebijakan dan
Malian, A.H. 1999. Analisis Komparatif Kebijakan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi.
Harga Provenue dan Tarif Impor Gula. Jurnal Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Agro Ekonomi, 18(1):14-36. Bogor.
Susila, W.R. 2009. Harga Gula Tinggi, Perlu
Masyhuri. 2005. Analisis Kebijakan Pergulaan Intervensi? Kompas. 26 Juni. Jakarta.
Nasional. Konsolidasi Kebijakan Pergulaan
Nasional. Fakultas Pertanian. UGM.
Yogyakarta.

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

147
Lampiran 1. Kebijakan Berbagai Negara dalam Mengatasi Industri Gula

Negara Kebijakan
Amerika Menempatkan industri gula menerima subsidi besar, komitmen US memberi subsidi 20%.
Tahun 1985 memberi subsidi input dalam bentuk kredit = US$c 18/lb dan subsidi harga US$
1.054 miliar/tahun.
Eropa (EC) Subsidi diberikan sejak tahun 1968 (Noble, 1997). Tahun 1999-2001 bantuan sebesar US$ 2.7
miliar/tahun.
India - Kebijakan pergulaan dimasukkan dalam Essential Commodities Acts of 1956.
- Pemerintah menentukan harga dasar gula untuk PG sebagai landasan menentukan harga
tebu petani.
- Kombinasi kebijakan distribusi dan differensiasi harga (partial price control).
Brazil - Subsidi harga, harga yang diterima produsen gula lebih tinggi dibanding harga internasional,
sebaliknya untuk konsumen yang diukur dengan AMS sebesar US$857 yang akhirnya
diturunkan 13,3% sehingga menjadi US$ 743 juta/tahun.
- Harga gula domestik lebih tinggi dari pada ekspor.
- Alokasi produksi antara gula dan etahunanol berbahan baku tebu dengan perbandingan
48,8% dan 50,2%.
- Alokasi untuk etahunanol menjadi 60 persen pada tahun 2009
Thailand - Kebijakan harga dan produksi identik kebijakan alokasi produksi EC. Kuota produksi dibagi 3
kelompok, A, B dan C.
- A= harga domestik , tarif impor 65% untuk 13 105 ton dan diatas volume tersebut 104%.
- B= Diekspor oleh Tahunai Cane and Sugar Corporation
- Nilai penjualan quota A dan B = dasar penerimaan petani.
Cina - Bantuan domestik mendorong pertumbuhan produksi.
- Membangun basis produksi dengan dukungan kebijakan pemerintah.
- Pembentukan “Cina Sugar Association” 1992.
- Kebijakan TRQ , kuota impor 1,8 ton/tahun.
Jepang Subsidi harga: Harga yang diterima produsen gula lebih tinggi dibanding harga internasional

Australia - Sugar board menentukan areal tanam tebu dan produksi, yang berhak menerima harga
yang ditentukan (administrative price). Gula yang diproduksi diluar areal yang telah
ditetapkan dihargai AUS$ 1/ton sehingga mencegah areal diluar yang ditetapkan.
- Sistem kuota impor diganti tarif impor. Tarif impor sejak 1989 = 14%
Sumber: Susila, 2005 diolah.

Lampiran 2. Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Industri Gula Periode Liberalisasi

Kebijakan Perihal Tujuan


Inpres No.5 /1997, 29 Des 1997 Program pengembangan tebu Pemberian peranan pada pelaku bisnis
rakyat dalam rangka perdagangan bebas.
Menperindag RI Gula termasuk barang yang Mengendalikan ekspor
No.98/HPP/Kep/12/1998 diawasi ekspornya
Inpres No.5/1998, 21 Januari Penghentian pelaksanaan Kebebasan pada petani untuk memilih
1998 Inpres No.5/1997 komoditas sesuai dengan UU No.
12/1992
Kepmen Perindag No.25/ Komoditas yang diatur Mendorong efisiensi dan kelancaran
MPP/Kep/1/1998 tataniaga impornya arus barang
Kepmenhutbun No.282/Kpts- Penetapan harga provenue Menghindari kerugian petani dan
IX/1999, 7 Mei 1999 gula pasir produksi petani mendorong peningkatan produksi.
Kepmenperindag Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran
No.363/MPP/Kep/8/1999, 5 pemerintah melalui impor gula oleh
Agustus 1999 produsen.
Kepmenperindag Mencabut Kepmenperindag Pembebanan tarif impor gula untuk
No.0230/MPP/Kep/6/1999, 5 Juni No.363/MPP/Kep/8/1999, 5 melindungi industri dalam negeri.
1999 Agustus 1999.
Kepmenkeu No.135/KMK/2000 Kebijakan bea masuk 5% Berlaku 2 tahun
Sumber: Susila, 2005.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167

148
Lampiran 3. Bunga Rampai Peraturan Pergulaan Indonesia

Kebijakan Perihal
Kepmenkeu No.324/KMK.01/2002 Perubahan bea masuk, untuk meningkatan efektifitas bea masuk
Kepmenperindag Pembatasan pelaku impor, untuk meningkatkan pendapatan
No.643/MPP/Kep/9/2002, 23 September petani/produsen
2002
Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1962 tentang
2004 perdagangan barang-barang dalam pengawasan
Kepmenrindag RI Ketentuan impor gula
No.527/MPP/Kep/9/2004
Kepmen Perdagangan RI Perubahan atas keputusan menteri perindustrian dan perdagangan
No.02/M/Kep/XII/2004 No.527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula Tgl 21 April 2005
Tgl 7 Des 2004
Peraturan Menteri Perdagangan RI Tentang perubahan atas lampiran Keputusan Menperindag
No.07/M-DAG/PER/4/2005 No.558/MPP/Kep/12/1998 tentang ketentuan umum di bidang
ekspor yaitu Menperindag No.385/MPP/Kep/6/2004
Keputusan Menteri Perdagangan RI Perubahan atas Keputusan Menteri Perdagangan
No.08/M-DAG/PER/4/2005 No.02/M/Kep/XII/2004 tentang perubahan atas Keputusan
Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula
Peraturan Menteri Perdagangan RI Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Perindustrian Dan
No.18/M-DAG/PER/4/2007 Perdagangan No.27/MPP/Kep /9/2004 tentang ketentuan impor
gula
Peraturan Menkeu Tentang keringanan tarif bea masuk atas impor gula
No.86/PMK.010/2005

Kepmenkeu No.240/KMK.010/2006 Pembebasan bea masuk atas impor raw sugar oleh industri gula
rafinasi

Permentan Pedoman pelaksanaan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi.


No.57/Permentan/KU.430/7/2007 Besar Kredit Usahatani Tebu
Rp. 12 500 000,-
Permen Perindustrian RI Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) gula kristal
No.83/M-IND/Per/11/2008 rafinasi
Sumber: Tahun 1998-2002 = Susila, 2005; Tahun 2004-2008 = Sekretariat Dewan Gula Indonesia,
Jakarta, 2008.

INDUSTRI DAN PERDAGANGAN GULA DI INDONESIA: PEMBELAJARAN DARI KEBIJAKAN ZAMAN PENJAJAHAN - SEKARANG
Sri Wahyuni, Supriyati, dan J.F. Sinuraya

149

Anda mungkin juga menyukai