Anda di halaman 1dari 6

RANGKUMAN BAB 3

Masalah-Masalah Pokok dalam Pers dan Jurnalistik Media massa memiliki kekuatan
raksasa dalam memengaruhi dan menggerakkan massa. Kekuatan tersebut masuk
melalui proses interaksi antara media dan manusia. Pesan- pesannya ikut mewarnai
kesadaran setiap individu melalui cara-cara yang amat halus. Media mampu
menggerakkan perilaku massa sesuai dengan arah yang dikehendakinya. 

Pada 1988,Monitor dipandang bersalah karena salah satu tulisan yang dimuatnya
dianggap telah merendahkan martabat agama Islam dengan menempatkan Nabi
Muhammad urutan ke-11 setelah beberapa tokoh dunia lainnya, termasuk Arswendo,
sehaesi tokoh yang berpengaruh. Akibatnya, surat izin terbit (SIUPP) tabloid itu
dicabut. Selain itu, kejadian tersebut berakibat pula pada media massa lainnya yang
berada di bawah perusahaan tersebut. Arswendo diseret ke pengadilan atas desakan
massa yang menuduh pimpinan redaksi tabloid tersebut telah menghina Islam dan
umatnya. Tindakan pencabutan SIUPP pada saat itu dianggap banyak orang,
khususnya insan pers, sebagai kisah pahit bagi dunia pers.

Pravda dan Monitor menjadi penting dibahas hanya untuk menunjukkan sekurang-
kurangnya dua hal. Pertama, media massa memiliki kekuatan raksasa dalam
memengaruhi dan menggerakkan massa, Kekuatan tersebut masuk melalui proses
interaksi antara media dan manusia. Pesan-pesannya ikut mewarnai kesadaran setiap
individu melalui cara-cara yang amat halus. Media mampu menggerakkan perilaku
massa sesuai dengan arah yang dikehendakinya. Karena kekuatan pengaruh ini pula,
banyak kalangan mengkhawatirkan efek negatif media massa bagi pertumbuhan
kepribadian anak-anak. Berbagai tudingan ditujukan kepada media massa berkenaan
dengan semakin meningkatnya frekuensi kenakalan remaja. Menurutnya, perilaku
anak dan remaja kini telah dipengaruhi dan dibentuk oleh pesan-pesan yang mereka
serap melalui media. Kedua, realitas yang disajikan media massa sebetulnya hanyalah
realitas bentukan. Media berfungsi sebagai penerjemah. Media juga berfungsi sebagai
jembatan antara peristiwa dan publik pembaca. Peristiwa-peristiwa dunia yang sulit
dipahami dapat diterjemahkan oleh media sesuai dengan bahasa dan logika yang 1
oleh masyarakatnya. Dengan demikian, masyarakat akan dengan mudah-dan hanya
dengan logika sederhana saja dapat menangkap setiap pesan komunikasi yang sulit
dipahami. Karena kekuatannya sebagai alat penerjemah, media dapat menampilkan
realitas kedua (the second reality), yakni realitas bentukan yang belum tentu sesuai
dengan realitas apa adanya (the first reality). Film, televisi, radio, teater, dan komik
merupakan media yang dapat menampilkan situasi sosial tertentu di luar situasi yang
sebenarnya. Apa yang kita terima dari media adalah gambaran kenyataan yang telah
dibentuk menjadi realitas kedua, bukan realitas yang sesungguhnya. Media merupakan
hasil rekayasa para peliput dan penulis berita, serta editor yang menerima laporan
hasil liputan. 66Menurut Neil MacNeil, dalam buku Without Fear of Favor, berita
adalah kompilasi fakta dan peristiwa yang menimbulkan perhatian atau kepentingan
bagi para pembaca surat kabar yang memuatnya" - Bond, 1978: 102. Pesan-pesan
penulis yang dituangkan dalam bentuk tajuk dan artikel merupakan jenis tulisan yang
telah dibumbui oleh hasil interpretasi, sesuai dengan visi dan kepentingannya, serta
dibuat dengan bahasa pilihan yang dapat menarik perhatian para pembacanya. Bila
dibandingkan dengan jenis berita biasa, straight news misalnya, kedua jenis tulisan
tersebut memiliki daya persuasi yang lebih besar.

Sesungguhnya pers dapat digunakan untuk berbagai kepentingan karena kekuatannya.


Pers bisa menjadi alat penegak keadilan,pembela demokrasi, atau bisa juga
sebaliknya, menjadi alat untuk melakukan penindasan dan mempertahankan
kekuasaan. 
PERS SEBAGAI KEKUATAN KEEMPAT 
Pers, sebagai media informasi, merupakan kekuatan yang mampu memengaruhi
sekaligus mengubah perilaku masyarakatnya. Pers, sesuai dengan sifat yang
dimilikinya, selalu menyajikan informasi yang terbaru bagi para pembacanya. Di
samping mengandung unsur kebaruan (aktualitas), informasi juga mengandung dan
sekaligus menyebarkan ide-ide atau opini yang dianggap baru dan relevan dengan
kondisi masyarakat. Ide-ide baru disajikan, misalnya, dalam artikel-artikel pilihan atau
tajuk rencana yang sengaja dibuat oleh seorang redaktur tetap. Artikel senantiasa
menyajikan hasil analisis para pakar yang berkaitan dengan isu- isu terbaru.
Sedangkan tajuk rencana merupakan tulisan yang mengulas berita utama yang sedang
terjadi pada saat media itu terbit. Rogers (1981: 26), dalam Communication of
Innovations, menyebut ide-ide baru itu sebagai suatu inovasi, yakni gagasan, tindakan,
atau harang yang dianggap baru.
Di sinilah pers, sebagai agen informasi, memainkan perannya daləm membangun
suatu opini tertentu di masyarakat. Pada tahap berikutnya, pembentukan opini terjadi
secara masal, yang pada akhirnya berubah menjadi opini publik (public opinion).
Menurut Newcomb (1985: 121), informasi memiliki hubungan langsung dengan sifat-
sifat objek penerima informasi. Sikap seseorang terhadap suatu objek dapat berubah
bila objeknya berubah, baik karena memang objek itu telah berubah maupun hanya
karena informasi menge- nai objek itu yang berubah tanpa adanya perubahan yang
sesungguhnya. Bisa saja terjadi perubahan pada keduanya. Berkenaan dengan
perubahan tersebut, pers kembali memainkan peranannya secara signifikan. Pers dapat
membentuk kesan tertentu untuk bisa diterima atau ditolak publik. Pada kegiatan
kampanye politik, misalnya, pers dimanfaatkan untuk melaku- kan proses pengelolaan
kesan (impression management) yang dapat meng- untungkan satu pihak. 

Relevansi antara media dan publik, salah satunya dapat dilihat dari tingkat pemikiran
atau pola-pola kebudayaan yang dianutnya. Dari beberapa bentuk media yang
mungkin dapat diguna- kan, khususnya untuk kepentingan pemahaman dan
perubahan, menurut Watson (1984: 182), media tulis merupakan media yang paling
efektif. Pesan komunikasi tertulis (printed and written messages), pada umumnya
memberi- kan kesempatan yang lebih leluasa kepada komunikan untuk melakukan
penelaahan serta penerimaan, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Misalnya,
komunikan itu adalah Anda. Apa yang dapat Anda lakukan, atau sikap apa yang
muncul ketika Anda sedang mendengarkan radio atau duduk di depan layar televisi
untuk menerima pesan-pesan keagamaan lewat program mimbar Agama Islam?
Bandingkan dengan ketika pesan-pesan itu Anda nikmati melalui media cetak, seperti
surat kabar dan majalah. Pers merupakan salah satu kekuatan sosial yang menjalankan
kontrol secara bebas dan bertanggung jawab, baik terhadap masyarakat maupun
terhadap kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Efektivitas pengaruhnya dapat dilihat pada
bukti-bukti yang menyiratkan terjadinya peristiwa luar biasa sebagai akibat dari
perilaku pers, baik positif maupun negatif. pers digunakan dalam kegiatan propaganda
partai-partai politik selama masa kampanye Pemilu 1992 dan Pemilu 1997 di
Indonesia. Pers telah, dan tampaknya akan tetap, dijadikan media untuk
menyampaikan pesan-pesan politik, khususnya dalam memengaruhi publik. Karena
itu, tidak heran jika tiga lembaga kekuasaan-eksekutif, legis- latif, dan yudikatif-
dalam memainkan perannya, kerapkali menggunakan pers setagai alat yang efisien.
Atau mungkin lembaga-lembaga tersebut memiliki media massa sendiri yang secara
bebas dapat membawakan his master's voice. Media tersebut dimanfaatkan untuk
membantu menyampaikan pesan-pesan politik tertentu, menyebarkan informasi
pembangunan sesuai dengan visi dan misinya sendiri untuk menggairahkan partisipasi
masyarakat, serta melakukan perubahan sosial dalam setiap sektor kehidupan. 
PERS SEBAGAI PEMBENTUK PENDAPAT UMUM
Pers memang memiliki kekuatan yang tidak kecil dalam membentuk pendapat umum
(public opinion) sebab tidak ada gagasan pribadi yang dapat berubah menjadi
pendapat umum tanpa melalui proses publikasi. Seperti ditunjukkan dalam contoh
kasus sebelumnya, andai saja Indonesią Raja saat itu tidak memublikasikan gagasan
Cak Nur, mungkin ceritanya akan berbeda. Secara teknis mungkin tidak akan terjadi
polemik di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat. Sedangkan secara substansial,
mungkin juga nasib pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak akan sedewasa
seperti yang kita lihat saat ini. Lalu, pertanyaannya adalah: apa sesungguhnya
“pendapat umum" itu? Bagaimana proses terbentuknya? Mariam D. Irish dan James
W. Prothro, dalam The Politics of American Democracy (1955), memberikan definisi
bahwa pendapat umum adalah "The expression of attitudes on a social issue" (Astrid
S. Susanto, 1975: 91). Jika rumusan definisi tersebut kita analisis secara perinci,
terdapat tiga unsur pokok yang menjadi bahan dasar pendapat umum, yaitu pernyataan
(expression), sikap (attitude), dan masalah masyarakat (sociał issue). Hal tersebut
berarti bahwa suatu gagasan, pendapat pribadi, atau sikap yang belum dinyatakan
secara terbuka tidak akan membentuk pendapat umum. la belum tersosialisasi
sehingga belum menjadi bahan pemikiran dan perbincangan orang banyak. Ia belum
menjadi alat pergaulan melalui proses interaksi sosial dan belum mengalami proses
komunikasi secara intensif. Ia masih menjadi milik pribadi dan merupakan suatu
proses yang hanya berlangsung dalam diri individu yang bersangkutan. 
jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendapat umum (public opinion) dalam dunia
jurnalistik merupakan suatu pendapat yang dinyatakan, atau pendapat yang telah
“dibuat umum" sehingga diketahui oleh masyarakat ramai. Hampir sama dengan
pengertian tersebut, dalam buku Essentials of Public Opinion (1975: 1), Bernard
Ilennessy mendefinisikan opini publik sebagai suatu kompleksitas pilihan-pilihan
yang dinyatakan oleh banyak orang berkaitan dengan suatu isu yang dipandang
penting oleh umum. 
Menurut Bernard Hennessy, seperti digambarkan dalam rumusan se- belumnya, ada
lima faktor penting yang menyebabkan terbentuknya opini publik, antara lain:
1. Adanya isu Secara sederhana opini publik dapat diilustrasikan semacam
konsensus yang terbentuk dalam suatu arus perbincangan tentang suatu isu. Dalam
rumusan yang berbeda, opini publik kerapkali disebut sebagai suatu generalisasi
yang menggambarkan adanya semacam sikap kolektif atau kesadaran publik.
Sedangkan yang dimaksud dengan isu dalarn konteks yang sedang kita bicarakan
adalah suatu persoalan kekinian yang sedang diperbincangkan dalam situasi
ketidaksepakatan. Karena itu, dalam suatu isu terdapat elemen-elemen yang
mendorong munculnya kontroversi pendapat
2. Adanya publik Adanya kelompok yang jelas dan tertarik dengan isu tersebut.
Menurut John Dewey, dalam buku The Public and Its Problems, dalam suatu
sistem sosial, terdapat banyak publik yang masing-masing terdiri atas individu-
individu yang secara bersama-sama dipengaruhi oleh suatu aksi dan gagasan.
Dengan demikian, menurut Dewey, setiap isu dapat memunculkan publiknya
masing-masing.
3. Adanya kompleksitas pilihan dalam publik Kompleksitas pilihan tersebut
merujuk pada totalitas opini yang berkaitan dengan isu yang menjadi perhatian
seluruh anggota suatu publik. Pada setiap isu, perhatian publik akan dibagi
menjadi dua atau lebih pandangan yang berbeda. Banyaknya pandangan pada
setiap isu akan sangat bergantung pada sikap setiap anggota publik, pengalaman
sebelumnya, dan kompleksitas isu tersebut. Artinya, muatan isu yang relatif
sederhana tidak akan melahirkan pandangan yang sangat beragam.
4. Pernyataan opini Pandangan yang dapat membentuk opini publik adalah
pandangan yang dinyatakan secara terbuka. Terdapat banyak cara yang hisa
digunakan untuk menyatakan opini. Tetapi, bahasa, baik dinyatakan secara lisan
maupun tertulis, merupakan bentuk yang paling umum digunakan untuk
menyatakan suatu opini. Pernyataan dimaksud juga mensyaratkan keterbukaan
schingga mengundang banyak respons. Karena itu, pada tahap menyatakan opini
secara terbuka, media massa merupakan alat yang relatif paling efektif juga efisien
5. Banyaknya individu yang terlibat Faktor terakhir yang ikut menentukan proses
pembentukan opini publik adalah banyaknya publik yang tertarik dengan isu.
Terdapat beberapa norma yang digunakan: (a) besarnya publik tidak selalu
ditentukan oleh jumlah mayoritas yang terlibat dalam perbincangan tentang isu;
(b) publik yang terlibat tidak harus yang memiliki gagasan awal atau mereka yang
melahirkan isu; (c) signifikansi publik ditentukan oleh efektivitas komunikasi
yang berlangsung dalam proses pembentukan opini sampai pada pertimbangan
dalam penetapan bahwa suatu opini telah menjadi opini publik.

Senada dengan uraian tersebut, Astrid (1975: 94) menjelaskan beberapa unsur yang
terkandung dalam suatu pendapat umum: (1) memung- kinkan terjadinya pro dan
kontra, terutama sebelum tercapainya suatu konsensus; (2) melibatkan lebih dari
seorang, atau dalam istilah Hennessy disebut ukuran publik; (3) dinyatakan, yakni
opini yang dikomunikasikan secara terbuka; (4) memungkinkan atau mengundang
adanya tanggapan.
PERS SEBAGAI PERUSAHAAN
Media massa harus dilihat sebagai satu entitas bisnis, bukan semata-mata entitas
politik. Kebijakan yang hanya mengutamakan stabilitas politik, misalnya, cenderung
menempatkan posisi, fungsi, dan peran media massa semata-mata pada dimensi
politik. Wujud ideal media massa sebagai alat kontrol dan sarana bisnis akan
terabaikan. Perhatian besar pada media massa sebagai entitas bisnis baru muncul pada
saat orang mulai mempermasalahkan soal konglomerasi, persaingan antarmedia dalam
merebut porsi iklan, serta berubahnya orientasi pemberitaan yang lebih
mengutamakan aspek komersial daripada aspek ideal. 

Ketertarikan para pengusaha dalam memanfaatkan jasa media massa untuk


memublikasikan produksinya telah meningkatkan dimensi bisnis dalam dunia pers dan
jurnalistik. Misalnya, sampai saat ini, hampir tidak ada satu bentuk media jurnalistik
yang luput dari kolom iklan. Meski- pun dalam persaingan "bisnis iklan" media
elektronik telah mampu menyerap lebih banyak sumber income dibanding media
cetak, media cetak tetap tidak kehilangan peminatnya sebab ada bentuk iklan yang
hanya bisa dilakukan oleh media cetak, tetapi tidak oleh media elektronik.
PERS DAN PROSES POLITIK
Pers dan proses politik memiliki kedekatan fungsional bukan saja karena sejarahnya
yang sangat "akrab" satu sama lain, melainkan karena fakta zaman yang seolah-olah
memaksa proses politik untuk semakin cerdas memanfaatkan media. Proses politik
saat ini hampir tidak mungkin melepaskan jasa media. Hampir semua sektor
kehidupan memanfaatkan jasa media, termasuk politik. Bahkan, gagasan political
marketing menjadi strategi dalam proses kampanye politik pun lahir karena semakin
maraknya fasilitas media yang memungkinkan aktivitas politik dilakukan dengan
menggunakan paradigma marketing. Media kebanjiran pesanan agenda politik,
terutama untuk kepentingan pemasaran banyaknya suara pada setiap kali kompetisi
pemilihan umum nasional atau pemilihan kepala daerah. Kampanye politik nyaris
tidak ada bedanya dengan iklan suatu produk, terutama untuk kebutuhan sosialisasi
partai politik atau pencitraan seorang kandidat. Di Amerika, fenomena seperti ini telah
berlangsung lama. 

Di Indonesia, ketika pesta demokrasi Pemilihan Umum 1992 akan digelar,


berkembang isu untuk tidak melakukan acara kampanye rally. Bukan hanya isu,
lembaga-lembaga terkait bahkan mengeluarkan himbauan untuk tidak berkampanye
rally. Kampanye lebih banyak dilakukan dengan meng- gunakan media massa. Musim
kampanye saat itu memang menjadi awal kebangkitan pers dalam proses politik di
Indonesia. Organisasi-organisasi peserta pemilu yang memiliki media massa sendiri
yang lebih banyak punya kesempatan untuk berkampanye. Walaupun demikian,
banyaknya media massa yang dimiliki belum tentu dapat memberikan jaminan pasti
pihaknya akan unggul. Efektivitas komunikasi dalam kegiatan kampanye tidak hanya
ditentukan oleh kuantitas dan frekuensi kehadiran media, tetapi juga dipengaruhi oleh
kualitas bagaimana media digunakan. Untuk itu, terdapat beberapa metode dan
strategi dalam usaha menyiasati publik, sesuai de- ngan bentuk atau jenis media yang
digunakannya. Potret sederhana tersebut menunjukkan betapa strategisnya peran
media di tengah masyarakat kontemporer, khususnya berkaitan dengan
keterlibatannya dalam proses politik dan pemerintahan. Setiap hari jutaan mata tertuju
pada tabung televisi, jutaan telinga mendekati radio, dan jutaan orang melahap berita
lewat surat kabar. Kenyataan tersebut menggambarkan bagaimana sesungguhnya
masyarakat semakin bergantung pada media untuk mendapatkan informasi tentang
berbagai peristiwa yang terjadi dipusat-pusat kekuasaan dan seluruh jagat pada
umumnya.
Pers dan politik kini menjadi dua senyawa yang saling membutuhkan dengan
alasannya masing-masing. Fenomena yang paling tampak pada era media saat ini,
yaitu proses dan kepentingan politik nyaris tidak bisa menghindari media, baik
sebelum, selama, maupun sesudah proses politik dilaksanakan. Di era politik
pencitraan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, medialah yang memiliki peranan
signifikan. Pers adalah "politikus baru" di ranah perebutan kekuasaan yang masih
cenderung mengandalkan kekuatan pencitraan.

Anda mungkin juga menyukai