Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

KEPERAWATAN ANAK
Dosen Pengampu : Teddy Asharyadi,S.Kep,.M.Kep

Disusun Oleh :
MIA AUDIA
183001060026

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

TAHUN AJARAN : 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
karuniaNya Kami di berikan kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan makalah kami
yang berjudul Pempidanaan Dan Peradilan Anti Korupsi.
Tak lupa Kami ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak  yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini yang tidak dapat Kami ucapkan satu persatu sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Di dalam makalah ini kami menyadari banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat Kami harapkan agar menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Jambi, 10 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
COVER ..........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................................................ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
● Pengertian tindak pidana korupsi
● Kewenangan tindak pidana korupsi
● Ruang lingkup tindak pidana korupsi
● Susunan dalam tindak pidana korupsi
● Proses peradilan tindak pidana korupsi
BAB III PENUTUP
A. Simpulan .........................................................................................................................11
B. Saran ................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak pada kerugian
keuangan negara.

Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui
bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat
tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

A. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian, kewewenangan, dan Ruang Lingkup Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.


2. Susunan dalam pengadilan tindak pidana korupsi.
3. Proses peradilan dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

B. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian, kewewenangan, dan ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi
2. Mengetahui susunan dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi


Pengertian Tindak Pidana Korupsi menurut Suyatno, tindak pidana Korupsi dapat
didefiniskan ke dalam 4 jenis yaitu :
1. Discritionery corruption adalah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam
menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik
yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal corruption merupakan jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau
maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
3. Mercenry corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological corruption yaitu suatu jenis korupsi illegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau corruptus, dan istilah
bahasa Latin yang lebih tua dipakai istilah corumpere. Arti harafiah dari kata itu adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian.
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi
dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum.

Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil,
sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara
dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi
kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan
yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah.
Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan manifestasi dari
perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada
seseorang pegawai negeri atau istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang
patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum
pidana.

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2001, maka Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi
pasif.

Yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999).
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
3) Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999).
4) Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana
Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
5) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999).
6) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001).
7) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
8) Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam
keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
9) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
10) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang dapat
membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
11) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001).
12) Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara 21 waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
13) Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-
buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

1) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
2) Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau memperngaruhi nasihat atau
pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
3) Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001
(Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

B. Kewenangan Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus


perkara:
1. tindak pidana korupsi.
2. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
dan/atau
3. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak
pidana korupsi.

Khusus untuk Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai


kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, memberikan kewenangan KPK antara lain melakukan supervisi terhadap instansi
penyidik Kepolisian dan penyidik Kejaksanaan, yang memiliki kewenangan melakukan
tindakan hukum penyidikan dan penuntutan trhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kewenangan supervisi di maksudkan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan
oleh penyidik polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi. Mengingat pemberantasan
tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan badan-badan lain
maka kewenangan supervisi KPK diperlukan kecermatan, prinsip kehati-hatian, agar tidak
tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangan.

C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang diajukan
oleh penuntut umum atau yang diajukan oleh penuntut pada KPK sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili, dan


memutus perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara asing di luar wilayah Negara Republik
Indonesia sepanjang menyangkut kepentingan negara Indonesia.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memberikan izin untuk melakukan


pembekuan, penyitaan, penyadapan, dan/ atau penggeledahan.

D. Susunan Dalam Tindak Pidana Korupsi

usunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas:


● Pimpinan
● Hakim
● Panitera.
1) Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil
ketua. Ketua dan wakil ketua pengadilan Tipikor adalah ketua dan wakil ketua pengadilan
negeri. Ketua bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.

2) Hakim
Hakim Pengadilan Tipikor terdiri dari hakim karir dan hakim ad hock. Hakim karir
ditetapkan oleh Mahkamah Agung Indonesia dan selama menangani perkara tindak pidana
korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
Sementara hakim ad hock diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung. Hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 1 angka 2 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU
Pengadilan Tipikor) yang mendefinisikan:

“Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah
Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi”

Seperti di ketahui, di dalam UU Pengadilan Tipikor yang dimaksud dengan hakim adalah
hakim karier dan hakim ad hoc (lihat Pasal 1 angka 1). Sedangkan, yang dimaksud dengan
hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam UU Pengadilan Tipikor sebagai hakim tindak pidana korupsi (lihat Pasal 1 angka 3).

Panitera
Panitera (Inggris: Clerk;Belanda: Griffiers) adalah pejabat pengadilan yang salah satu
tugasnya adalah membantu hakim dalam membuat berita acara pemeriksaan dalam proses
persidangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Panitera disebut pejabat kantor
sekretariat pengadilan yang bertugas pada bagian administrasi pengadilan, membuat berita
acara persidangan, dan tindakan administrasi lainnya. Dalam menjalankan tugasnya Panitera
biasa dibantu oleh beberapa orang Panitera Muda dan Panitera Pengganti.

Jabatan Panitera terdapat di pengadilan lingkungan Mahkamah Agung dan Mahkamah


Konstitusi.
Secara normatif jabatan fungsional panitera di pengadilan lingkungan Mahkamah Agung diatur
dalam UU sesuai jenis peradilan. Misalnya, dalam UU Peradilan Umum, UU PTUN, UU
Pengadilan Agama yang mengatur proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan panitera. Dalam
UU itu diatur secara lebih rinci, mulai dari tugas dan fungsi panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti di pengadilan tingkat pertama, banding atau kasasi. Tugas dan fungsi jabatan panitera di
Mahkamah Konstitusi disinggung sekilas dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK.

E. Proses Peradilan Tindak Pindana Korupsi

Penyidikan (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 /KUHAP)

a) Penyelidikan (pasal 1 ayat 5)


Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidikan
dilakukan oleh Polisi dan khusus TIPIKOR juga dilakukan oleh Jaksa (pasal 284 KUHP)
dan KPK (pasal 6 Undang Undang no 30 Tahun 2002) .

b) Penyidikan (pasal 1 ke 2 KUHAP)


Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Penyidikan dilakukan oleh Penyidik (polri, jaksa dan KPK).

c) Penuntutan (Pasal 1 Ke 7)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Penuntutan dilakukan oleh Jaksa penuntut Umum pada kejaksaan ( Pasal 1
Ke 8 Kuhap) atau pada KPK Pasal 6 UU KPK).

d) Peradilan/Proses Mengadili (Pasal 1 ke 9)


Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk.gadili (pasal 1 ke 8).
Tahap Peradilan:
● Peradilan Tingkat pertama Pada Pengadilan Negerii
● Peradilan Banding pada Pengadilan Tinggi
● Peradilan Kasasi pada Mahkamah Agung

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan
mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut
umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota
kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana
dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi.

Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan
pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc
diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana
korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan
tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar
modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Proses Peradilan Tipikor dimulai dengan Penyidikan (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981
/KUHAP) Penyelidikan (pasal 1 ayat 5) dan Penyidikan (pasal 1 ke 2 KUHAP), di lanjut
dengan Penuntutan (Pasal 1 Ke 7), dan diakhiri Peradilan/Proses Mengadili (Pasal 1 ke
9).

B. Saran
Semoga Komisi Pemberantasan Korupsi mampu menjalankan tugasnya sebagai mana mestinya
independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan. Sehingga tidak ada lagi kabar kabar buruk yang mengatakan adanya upaya
mengkebiri komisi pemberatasan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana,


Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya
Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_____________, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Ketiga, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
_____________, 2005, Pelajarah Hukum Pidana, Raja Grafinda Persada,
Jakarta.
_____________, 2005, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafinda Persada,
Jakarta.

_____________, 2005, Pelajatah Hukum Pidana, Bagian II, Raja Grafindo


Persada, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai