Anda di halaman 1dari 328

HUKUM

KELEMBAGAAN
NEGARA
(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI
PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA)
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama Disusun
7 (tujuh)Oleh
tahun dan/atau denda paling
Dr. Isharyanto,
banyak Rp. 5.000.000,00 (lima S.H., M.Hum.
juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Isharyanto

HUKUM
KELEMBAGAAN
NEGARA
(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI
PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA)

Penerbit
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Isharyanto
Hukum Kelembagaan Negara . Cetakan I . Surakarta . Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2015
ix + 290 hal; 21 cm

HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA


Hak Cipta© Isharyanto, 2015
Penulis : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Editor : -
Ilustrasi Sampul : -
Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta

Cetakan I, Juli 2015


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved
ISBN :
KATA PENGANTAR

Buku ini membahas perkembangan lembaga-lembaga


negara di Indonesia dalam perspektif hukum dan konstitusi.
Pendekatan yang digunakan dalam kerangka pembahasan adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan
pendekatan perbandingan hukum. Dalam hal ini, pendekatan
perundang-undangan ditujukan untuk mengkonfirmasikan karakter
penguraian isu-isu kelembagaan negara mengingat isu-isu tersebut
sebenarnya dapat ditinjau dengan pendekatan politik, sosiologis,
dan ekonomi. Penekanan perundang-ndangan dalam konteks ini
adalah hukum dan konstitusi. Sementara itu, pendekatan
konseptual digunakan untuk membahas isu kelembagaan negara
yang berkembang karena munculnya kasus-kasus hukum konkrit
yang relevan. Sedangkan pendekatan perbandingan hukum
digunakan untuk melakukan studi komparasi terutama dengan
pengaturan di negara lain atas isu yang dibahas.
Dalam konteks Indonesia, perkembangan kelembagaan
negara secara historis maupun akibat perubahan UUD 1945 telah
memberikan warna yang khas dalam pemahaman dan peninjauan
terhadap lembaga-lembaga negara. Pemahaman dan peninjauan itu
tidak hanya dalam melakukan identifikasi, tetapi acapkali
menyangkut hal-hal yang sifanya konseptual. Sebagai contoh,
konsep pemisahan kekuasaan dengan penggambaran separasi
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial,
tidak dapat lagi secara kaku digunakan untuk pemahaman dan
peninjauan lembaga-lembaga negara dewasa ini. Demikian pula,
praktik pengaturan dan persoalan-persoalan yang menyangkut
lembaga negara nonstructural dengan rupa-rupa nomenklatur
seperti komisi, dewan, badan, dan sebagainya, menjadi sesuatu
yang baru dalam khasanah ketatanegaraan Indonesia dewasa ini.
Oleh karena itu, buku ini diharapkan menjadi pengantar dalam
melakukan pemahaman dan peninjauan lembaga-lembaga negara

v
di Indonesia dan diharapkan juga mampu menjadi rintisan untuk
kajian-kajian spesifik kasuistis terkait dengan isu tersebut,
misalnya kedudukan dan kewenangan Presiden, prosedur legislasi
setelah munculnya Dewan Perwakilan Daerah, dan sebagainya.
Kekhususan buku ini adalah uraian mengenai lembaga-
lembaga negara dilakukan dengan bahasa yang relatif mudah
dipahami dan dalam hal-hal tertentu, tidak hanya menyajikan
kerangka normatif belaka, akan tetapi juga hisotoriografi dan
perbandingan di negara lain. Pembaca dengan demikian didorong
untuk senantiasa berfikir kritis dan obyektif apabila kemudian
melanjutkan aktivitas intelektual untuk mengkaji kasus-kasus yang
relevan.
Meskipun telah dilakukan persiapan dan pemeriksaan
naskah secara cermat, akan tetapi penulis menyadari bahwa ada
kekurangan-kekurangan dalam uraian buku ini. Oleh sebab itu,
kritik dan saran-saran yang obyektif akan senantiasa diharapkan
untuk penyempurnaan. Semoga buku ini dapat memenuhi
fungsinya.

Surakarta, Juni 2015


Penulis,

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

vi
Persembahan

Untuk Feriana Dwi Kurniawati, yang selalu membuka pintu


kasih dan kesetiaan;

Untuk bintang-bintang yang bersinar terang, Fito dan Dito,


semoga menjadi secuil pengharapan di masa depan.

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... v


DAFTAR ISI ........................................................................ viii

BAB I KONSEPTUALISASI LEMBAGA NEGARA.. 1


A. Pengertian Lembaga Negara ......................... 1
B. Pembedaan Lembaga Negara ........................ 6
1) Pembedaan dari Segi Hierarkhi ................ 7
2) Pembedaan dari Segi Fungsi .................... 8

BAB II TEORI-TEORI YANG PENTING


SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAHASAN
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA ........... 11
A. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme ...... 11
B. Teori Pemisahan Kekuasaan ......................... 15
C. Rule of Law.................................................... 25

BAB III PARLEMEN ...................................................... 36


A. Pembahasan Umum ....................................... 36
1. Sistem Unikameral ................................... 39
2. Sistem Bikameral ..................................... 40
B. Evolusi Parlemen di Indonesia ...................... 44
1. Sebelum Perubahan UUD 1945 ............... 44
2. Sesudah Perubahan UUD 1945 ................ 61
3. Sorotan terhadap Dewan Perwakilan
Daerah ...................................................... 72

BAB IV PRESIDENSIALISME DAN LEMBAGA


KEPRESIDENAN .............................................. 79
A. Sistem Pemerintahan ..................................... 79
B. Presidensialisme ............................................ 85
1. Semi Presidensialisme Prancis ................. 88

viii
2. Presidentialization ................................... 89
3. Cakupan Kekuasaan: Unitary Executive .. 91
4. Lembaga Kepresidenan Menurut UUD
1945 .......................................................... 97

BAB V KEKUASAAN KEHAKIMAN.......................... 109


A. Independensi Kekuasaan Kehakiman ............ 109
B. Judicial Activism – Judicial Review .............. 130
C. Pengujian Konstitusional (Constitutional
Review) .......................................................... 144
1. Pengujian Norma Abstrak ........................ 184
2. Pengendalian Norma Konkrit ................... 191

BAB VI LEMBAGA NEGARA NONSTRUKTURAL... 200


A. Peristilahan .................................................... 200
B. Latar Belakang Kemunculan ......................... 210
C. Konsolidasi dan Penataan.............................. 213

BAB VII BADAN PEMERIKSA KEUANGAN............... 223


A. Determinasi Lembaga Audit ......................... 223
B. Model-Model Kelembagaan Pemeriksa
Keuangan....................................................... 227
C. Mekanisme Pemeriksaan Keuangan Negara . 232
D. Prinsip Independensi dan Relasi dengan
Cabang Kekuasaan Lain ................................ 237
E. Kelembagaan di Indonesia ............................ 242
1. Masa Republik I (1945-1949) .................. 242
2. Masa Republik II (1949-1959) ................. 243
3. Masa Republik III (1959-1966)................ 245
4. Masa Republik IV (1966-2001) ............... 245
5. Masa Republik V (2001-sekarang) .......... 249

BAB VIII BANK SENTRAL .............................................. 253


A. Pertumbuhan Bank Sentral ............................ 253

ix
B. Independensi Bank Sentral ............................ 258
1. Independensi Tujuan (Goal
Independence) .......................................... 262
2. Independensi Instrumen (Instrument
Independence) .......................................... 267
3. Independensi Personal (Personal
Independence) .......................................... 268
C. Kelembagaan Bank Indonesia ....................... 272
1. Nasionalisasi ke Sirkulasi-Komersial....... 272
2. Struktur dan Tugas Bank Indonesia ......... 276
3. Personal Independence ............................. 282
D. Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara ..... 285

DAFTAR PUSTAKA........................................................... 292

x
BAB I
KONSEPTUALISASI
LEMBAGA NEGARA

A. Pengertian Lembaga Negara


Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis
memiliki istilah tunggal dan seragam. Kata lembaga negara
berasal dari serapan kata staatsorgan dalam Bahasa Belanda atau
political institutions dalam Bahasa Inggris. Dalam Bahasa
Indonesia, hal ini identik dengan kata lembaga negara, badan
negara, atau bisa juga disebut dengan organ negara. Oleh sebab
itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, ataupun
alat kelengkapan negara sering dipertukarkan satu sama lain.
Untuk memahami istilah organ atau lembaga negara secara
lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen
mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General
Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa
‖Whoever fulfills a function determined by the legal order is an
organ‖. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.
Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di
samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap

Hukum Kelembagaan Negara | 1


jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ,
asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm
creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan
adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu
pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ
negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum
yang tertentu (...he personally has a spesific legal position).1
Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit ini adalah
bahwa (i) organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki
jabatan atau fungsi tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai
profesi utama atau bahkan secara hukum bersifat eksklusif; dan
(iii) karena fungsinya itu, ia berhak mendapatkan imbalan gaji dari
negara. Dengan demikian, lembaga atau organ negara dalam arti
sempit dapat dikaitkan dengan jabatan dan pejabat (officials), yaitu
jabatan umum, jabatan publik (public office) dan pejabat umum,
pejabat publik (public officials).2
Istilah lembaga negara itu sendiri hampir tidak dapat
ditemukan dalam berbagai konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Konstitusi RIS menggunakan istilah ‖alat-alat perlengkapan
federal‖. Di dalam Bab III Konstitusi RIS disebut bahwa alat-alat
perlengkapan federal RIS terdiri atas Presiden, menteri-menteri,
Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung Indonesia,
dan Dewan Pengawas Keuangan. UUDS 1950 menggunakan
istilah ‖alat-alat perlengkapan negara‖. Hal ini terlihat dalam Pasal
44 UUDS 1950 yang menyebut alat-alat perlengkapan negara
terdiri atas Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas
Keuangan.

1
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.
2
Ibid., hlm. 38.

2 | Hukum Kelembagaan Negara


Ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan pun tidak
menyebut istilah ‖lembaga negara‖, sehingga menyulitkan dalam
mengidentifikasi dan memakai istilah ‖lembaga negara‖. Istilah
yang muncul adalah ‖badan‖, misal dalam Pasal 23 ayat (5) UUD
1945, ‖badan‖ dipergunakan untuk menyebut Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Demikian halnya dalama Pasal 24 UUD 1945
menyebut ‖badan‖ untuk ‖badan kehakiman‖.
Istilah lembaga negara justru muncul dan banyak dijumpai
dalam berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Istilah lembaga negara pertama kali muncul dan diatur dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam ketetapan
tersebut, terlampir skema susunan kekuasaan negara Republik
Indonesia yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga tertinggi negara di bawah UUD, sedangkan
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan,
Dewan Pertimbangan Agung, dan Mahkamah Agung sebagai
lembaga di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Istilah lembaga negara juga dijumpai dalam Ketetapan
MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad
Hoc MPRS yang bertugas meneliti lembaga-lembaga negara,
penyusunan bagan pembagian kekuasaan di antara lembaga-
lembaga negara menurut sistem UUD 1945, penyusunan rencana
penjelasan pelengkap UUD 1945, dan penyusunan perincian hak-
hak asasi manusia.
Lembaga negara dijumpai kembali dalam Ketetapan MPRS
No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-lembaga
Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan fungsi yang
diatur dalam UUD 1945. Melalui ketetapan tersebut, ditemui dua
kata yang menunjuk organ-organ penyelenggara negara, yaitu
‖badan‖ dan ‖lembaga-lembaga negara‖. Dalam menimbang poin
(a) menyatakan MPRS sebagai badan yang tertinggi dalam negara

Hukum Kelembagaan Negara | 3


RI. Adapun Pasal 2 menyatakan semua lembaga negara tingkat
pusat dan daerah didudukan kembali pada posisi dan fungsi sesuai
dengan yang diatur dalam UUD 1945.
Melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, istilah
lembaga negara mulai menemukan konsepnya, karena ketetapan
tersebut membagi lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu
lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Lembaga
tertinggi negara menurut ketetapan ini adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sedangkan lembaga tinggi negara
disesuaikan dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu
Presiden, Dewan Perwakilan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Mahkamah Agung.
Ketentuan UUD 1945 hasil perubahan pun tidak
mencantumkan ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi
‖lembaga negara‖, sehingga banyak ahli hukum Indonesia yang
melakukan ‖ijtihad‖ dalam mendefinisikan dan
mengklasifikasikan konsep lembaga negara. Satu-satunya
‖petunjuk‖ yang diberikan UUD 1945 hasil perubahan adalah
Pasal 24 C ayat (1) yang meyebut salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah mengadili dan memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945.
Hal ini sesuai dengan pendapat Natabaya 3 yang
menyatakan bahwa:
penyusun UUD 1945 cenderung konsisten menggunakan
istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ
negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik
Indonesia Serikat) tahun 1949 tidak menggunakan istilah
lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD
1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan

3
Dalam Ibid., hlm. 32.

4 | Hukum Kelembagaan Negara


kebiasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum masa
reformasi dengan tidak konsisten menggunakan
peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan
negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‖lembaga‖


memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan
digunakan dalam penelitian ini adalah badan (organisasi) yang
tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau
melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh
frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu ―lembaga
pemerintah‖ yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan
dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata ―pemerintah‖ diganti
dengan kata ―negara‖, maka frase ―lembaga negara‖ diartikan
sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan
negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif).4
Perkembangan tentang definisi lembaga negara terdapat
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003
atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran yang diucapkan pada tanggal 28 Juli 2004, yang
menyatakan bahwa:
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga
negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara
yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaanya atas
dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara
yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan
ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keputusan
Presiden.
4
Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama,
2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Struktur Ketatanegaraan
Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Sebagai Lembaga Negara Bantu , Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm. 17.

Hukum Kelembagaan Negara | 5


Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada Putusan Nomor
031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diucapkan pada tanggal 17
April 2007.
Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau
lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau
lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut
Ornop atau Organisasi Non Pemerintah yang dalam bahasa Inggris
disebut Non Government Organization atau Non Governmental
Organizations (NGO‘s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang
dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut
sebagai lembaga negara.5
Dari berbagai pendapat tersebut, penulis berkecenderungan
memiliki persamaan pendapat dengan definisi lembaga negara
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003
ataupun Putusan Nomor 031/PUU-IV/2006 atas pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan
pendapat Jimly Asshidiqie, yang pada intinya menyatakan bahwa
lembaga negara adalah lembaga yang tidak hanya dibentuk
berdasar UUD 1945, tetapi juga lembaga yang dibentuk berdasar
peraturan undang-undang dan bertujuan untuk menyelenggarakan
tugas dan fungsi pemerintahan serta bukan merupakan lembaga
masyarakat.

B. Pembedaan Lembaga Negara


Ketentuan UUD 1945 menyebut secara langsung maupun
tidak langsung terdapat tiga puluh buah lembaga negara. Menurut
Jimly Asshidiqie, ketiga puluh empat lembaga negara tersebut
dapat dibedakan dari dua segi, yaitu:6

5
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 31.
6
Ibid., hlm. 106-118.

6 | Hukum Kelembagaan Negara


1) Pembedaan dari Segi Hierarkhi
Hierarkhi antar lembaga negara itu penting untuk
ditentukan, karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan
hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga
negara tersebut. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai,
yaitu (i) kriteria hierarkhi bentuk sumber normatif yang
menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang
bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara..
Dari segi hierarkhi, ketiga puluh empat lembaga negara
tersebut dapat dibedakan menjadi tiga lapis. Organ lapis pertama
biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara, organ lapis kedua
disebut dengan lembaga negara, dan organ lapis ketiga adalah
lembaga daerah. Adapun organ konstitusi pada lapis pertama
adalah:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);dan
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua disebut dengan lembaga negara, ada yang


mendapatkan kewenangan dari UUD, dan ada pula yang
mendapatkan kewenangan dari undang-undang. Lembaga yang
mendapatkan kewenangan dari UUD misalnya Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara, sedangkan lembaga yang
sumber kewenangannya berasal dari undang-undang misalnya,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran
Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut disebandingkan
satu sama lain, hanya saja, lembaga negara yang kewenangannya
berasal dari UUD lebih kuat dibandingkan lembaga negara yang

Hukum Kelembagaan Negara | 7


kewenangannya bersumber dari undang-undang. Lembaga negara
sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:
a) Menteri Negara;
b) Tentara Nasional Indonesia;
c) Kepolisian Negara;
d) Komisi Yudisial;
e) Komisi pemilihan umum; dan
f) Bank sentral.

Kategori ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk


kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
misalnya Komisi Hukum Nasional yang dibentuk berdasar
Keputusan Presiden. Artinya, keberadaanya secara hukum hanya
berdasar atas kebijakan Presiden belaka (Presidential Policy) atau
beleid Presiden.
Selain itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur
dalam Bab IV UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah.
Lembaga-lembaga daerah tersebut adalah:
a) Pemerintahan Daerah Provinsi;
b) Gubernur;
c) DPRD Provinsi;
d) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
e) Bupati;
f) DPRD Kabupaten;
g) Pemerintahan Daerah Kota;
h) Walikota; dan
i) DPRD Kota.

2) Pembedaan dari Segi Fungsi


Diantara lembaga negara yang tersebut dalam UUD 1945,
ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer
(primary constitusional organs), dan ada pula yang merupakan
organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk

8 | Hukum Kelembagaan Negara


memahami perbedaan diantara keduanya, lembaga-lembaga
negara tersebut dapat dibedakan menjadi tiga ranah (domain),
yaitu (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana (administratur,
bestuurzorg), (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan,
serta (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan
negara, ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu
kesatuan institusi kepresidenan. Dalam cabang kekuasaan
kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan
kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial
sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku
hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang
(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi ini
bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of law), tetapi
merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the
rule of judicial ethics).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan
legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan
Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis
Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam ranah legislatif, lembaga parlemen yang utama adalah
Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah
bersifat penunjang, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
lembaga perpanjangan fungsi (extension) parlemen, khususnya
dalam rangka penetapan dan perubahan konstitusi, pemberhentian
dan pengisian lowongan jabatan presiden atau wakil presiden.
Namun demikian, meskipun dalam bidang legislasi kedudukan
Dewan Perwakilan Daerah itu bersifat penunjang bagi peranan
Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi dalam bidang pengawasan yang
menyangkut kepentingan daerah, Dewan Perwakilan Daerah tetap
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena itu, Dewan
Perwakilan Daerah tetap dapat disebut sebagai lembaga utama
(main state organ).

Hukum Kelembagaan Negara | 9


Demikian pula dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga parlemen ketiga, meskipun tugas-tugas dan
kepemimpinannya tidak bersifat rutin, Majelis Permusyawaratan
Rakyat tetap dapat disebut sebagai lembaga utama. Karena Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang mempunya kewenangan untuk
mengubah dan menetapkan konstitusi, Majelis Permusyawaratan
Rakyat juga berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil
presiden, serta memilih presiden dan/atau wakli presiden untuk
mengisi lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil
presiden.
Begitu pula dengan Badan Pemeriksa Keuangan, dalam
kaitannya dalam dengan bidang pengawasan terhadap kebijakan
negara dan pelaksanaan hukum, maka kedudukan dan peranan
Badan Pemeriksa Keuangan sangat penting. Karena itu, dalam
konteks tertentu Badan Pemeriksa Keuangan terkadang juga dapat
disebut sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi
utama (main state organ).
Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal pula
adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Diantara ketiga lembaga ini,
hanya dua lembaga yang menjalankan fungsi kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sedangkan Komisi
Yudisial menjalankan peran sebagai lembaga pengawasan
terhadap kinerja hakim dan pengusul pengangkatan hakim agung.
Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu
komisi ini juga tidak tunduk pada pengaruh keduanya. Komisi
Yudisial juga berfungsi sebagai lembaga penunjang (auxiliary)
terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Meskipun kekuasaan Komisi Yudisial
ditentukan dalam UUD 1945, bukan berarti lembaga ini
mempunyai kedudukan yang sederajat dengan dengan Mahkamah
Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

10 | Hukum Kelembagaan Negara


BAB II
TEORI-TEORI YANG PENTING
SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAHASAN
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

A. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme


Pembicaraan mengenai lembaga-lembaga negara dapat
diawali dengan konstitusi. Menurut James Bryce, sebagai suatu
hukum dasar, konstitusi suatu negara ―the form of its government
and the respective rights and duties of the government towards the
citizens and of the citizens towards the government.‖7 Konstitusi
menyediakan suatu ―restraints on theexercise of political power
for the purpose of protecting basic human rights and privileges.‖8
Tetapi, suatu negara yang mempunyai konstitusi tidak serta merta
melekatkan sifat penghormatan konstitusionalisme.
Bagaimanapun, ―Constitutional government needs much more

7
James Bryce, 1995, The American Commonwealth (1888),
Indianapolis, Liberty Fund, hlm. 43.
8
Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional
Law, Boston, Little Brown, hlm. 22.

Hukum Kelembagaan Negara | 11


than a well-written constitution.‖ 9 Dalam konteks ini, seperti
ungkapan Brain Tamanaha, bahwa ―positive law is not always the
primary source of political power.‖10 Pada tataran praktis, ―there
is substantial disagreement about exactly what sort of
fundamental law a constitution is and about what gives it its
normative force.‖ 11 Sehubungan dengan hal ini, maka kajian
mengenai kaidah konstitusi suatu negara ―could be understood
essentially as a theoretic of higher law grounded in the power of
uniquely constituted and inward-looking political
communities.‖12
Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan. Kata
konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu constituir
yang bermakna membentuk. Dalam bahasa latin, istilah konstitusi
merupakan gabungan dua kata yaitu cume dan statuere. Bentuk
tunggalnya contitutio yang berarti menetapkan sesuatu secara
bersama-sama dan bentuk jamaknya constitusiones yang berarti
segala sesuatu yang telah ditetapkan.13

9
Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary
and Cases, Melbourne, Oxford University Press, hlm. 4.
10
Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and
Society, Oxford, Oxford University Press, hlm. 140.
11
Jill Frank, ―Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law‖,
Jurnal Theoretical Inquiries in Law, Volume 8, No. 1, January 2007, hlm. 39.
12
Larry Catá Backer, ―From Constitution to Constitutionalism: A Global
Framework for Legitimate Public Power Systems‖, Penn State Law Review, Vol.
3 No. 113, 2009, hlm. 103.
13
Dalam sebuah studinya, Krammer menyebutkan bahwa istilah
Konstitusi merupakan suatu pengertian yang ambigu, karena mencakup istilah-
istilah seperti ―existing laws and practices that . constituted the government‖,
―ordinary law‖, ―fundamental law in the sense of old and valued customs‖,
fundamental law in the sense of a body of immutable principles beyond the reach
of any institution of government‖. Lihat: Larry D. Kramer, ―The Supreme Court,
2000 Term—Foreword: We the Court‖, Harvard Law Review, Vol. 4, No. 115,
2001.

12 | Hukum Kelembagaan Negara


Dalam pandangan kaum positivis seperti Hart, mengartikan
konstitusi sebagai ―a rule of recognitionas, in other words, a
socio-cultural fact, binding insofar as it has beenaccepted.‖ 14
Tetapi paham demokrasi deliberatif seperti argumen Immanuel
Kant mengatakan bahwa konstitusi merupakan ―a transcendent
rule of right reason, regulative and binding as such.‖15 Sementara
dari kalangan legislatif, suatu konstitusi merupakan ―defines the
substantive and procedural limits on lawmaking.‖16 Oleh sebab
itu, konstitusi dalam suatu negara merupakan ―the proper share of
work to eah and every part of the organism of the State, and thus
maintains a proper connection between the different parts.‖17
Menarik untuk disimak, bahwa sementara pakar
menegaskan bahwa asal usul konstitusi adalah pengakuan
demokrasi, sedangkan demokrasi sendiri merupakan ―is an
attractive way to organize the country.‖18 Relasi konstitusi dengan
demokrasi itu antara lain terwujud ke dalam ketersediaan norma
yang mengakui fundamental rights dan upaya hukum yang ada
untuk penuntutan pemenuhannya. 19 Penuntutan yang demikian

14
Jill Frank, loc.cit.
15
Ibid.
16
Adam N. Steinman, ―A Constitution for Judicial Lawmaking‖,
University of Pitsburgh Law Review, Vol. 64, 2004, hlm. 550.
17
Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the New
Japanese Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 51, 1997,
hlm.733 dan 735-737.
18
Paul Brest, ―The Fundamental Rights Controversy: The Essential
Contradictions of Normative Constitutional Scholarship‖, Yale Law Journal,
Vol. 90, 1991, hlm. 1063.
19
Thomas W. Merrill, ―The Constitution and the Cathedral: Prohibiting,
Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising‖, New York
University Law Review, Vol. 93, 1999, hlm. 1143. Baca juga komentar serupa
dalam Eugene Kontorovich, ―Liability Rules for Constitutional Rights: The Case
of Mass Detentions‖, Stanford Law Review, Vol. 56, 2004, hlm.755.

Hukum Kelembagaan Negara | 13


telah melahirkan konstitusionalisme, yang secara leksikal antara
lain dipahami sebagai ―the advocacy of constitutional
government‖, yang dalam hal ini ―government channeled through
and limited by aconstitution.‖ 20 Dalam konteks ini,
konstitusionalisme menjadi sarana penting ―for government to be
organized through and restrained by a set of constitutional rules;
such a person will be opposed, for example, to various forms of
absolutism because that involves repudiating the idea of rules
limiting government at the highest level.‖21
Dalam konteks inilah, konstitusi meneguhkan prinsip
pemisahan kekuasaan. Peneguhan ini dimaksudkan untuk ―to
avoidance of the tyranny of the individuals invoking state
power, but not to the regulation of the substantive ends for
which that power might be invoked.‖ 22 Dalam konteks ini
relevan apa yang dikatakan oleh de Smith and Brazier, bahwa,
―The doctrine of the separation of powers is often assumed
to be one of the cornerstones of fair government.‖ 23
Singkatnya, doktrin pemisahan kekuasaan bertujuan untuk ―to
limit the concentration of power within any one branch of
government.‖ 24 Prinsip pemisahan kekuasaan sendiri dalam
konstruksi filosofis dirumuskan sejak masa Aristoteles, dan

20
Roger Scruton, 1982, A Dictionary of Political Thought, London,
Macmillan, hlm. 94.
21
Jeremy Waldron, ―Constitutionalism: A Skeptical View‖, Public Law
& Legal Theory Research Paper Series Working Paper, No. 10-87, Desember
2010, hlm. 5.
22
Aharon Barak, ―Foreward: A Judge on Judging: The Role of a
Supreme Court in a Democracy‖, Harvard Law Review, Vol.16, 2002, hlm. 62.
23
de Smith and Brazier., 1989, Constitional and Administrative Law, 6th
ed, London, Penguin Books, hlm.19.
24
Ibid.

14 | Hukum Kelembagaan Negara


kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir John Locke dan
Montesqiue selama abad ke-18 dan 19.25

B. Teori Pemisahan Kekuasaan


Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara,
seluruh kekuasaan yang ada dalam negara dilaksanakan oleh raja.
Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perang
berkepanjangan menyebabkan para raja tersebut menarik pajak
yang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan keuangan pada
para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal
parlemen di beberapa negara. Hal tersebut antara lain dapat dilihat
pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di dunia
yang dibentuk pada tahun 1265 26 , dan juga Prancis, di mana
Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun 1789 terpaksa
memanggil kembali States-general yang tidak pernah bersidang
lagi pada tahun 1614.27 Pemisahan kekuasaan harus dilaksanakan
karena seperti dikatakan oleh Montesqiue, ―when the legislative
and executive power are united in the same person,or in the same
body of magistrates,there can be liberty.‖28
Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan
kekuasaan dalam negara adalah John Locke dalam bukunya Two
Treaties on Civil Government (1690). Pada bab XII buku tersebut
yang berujudul the Legislative, Executive, and Federative Power
of the Commenwealth, John Locke memisahkan kekuasaan dalam
tiap-tiap negara dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

25
J.W. Robbins, ―Acton on the Papacy, The Trinity Foundation‖
[Online], World Wide Web, URL: http://trinity2.envescent.com/
journal.php?id=66 (diakses tanggal 10 Maret 2011).
26
C.F. Strong, 1966, Modern Polical Constitution an Intruoduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, London, Sidgwick &
Jackson Ltd, hlm. 27.
27
Ibid, hlm. 35-36.
28
Dalam Fatmawati, op.cit, hlm. 12.

Hukum Kelembagaan Negara | 15


federatif. Locke sendiri kemudian menandaskan bahwa legislatif
merupakan lembaga yang dipilih dan disetujui oleh warga (chosen
and appointed), berwenang membuat undang-undang, dan
merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Kekuasaan
legislatif tidak perlu dilsakanakan dalam sebuah lembaga yang
permenen, selain karena bukan merupakan pekerjaan rutin, juga
dikhawatirkan adanya penyimpangan kekuasaan jika dijabat oleh
seseorang dalam waktu yang lama.29
Diilhami oleh pendapat John Locke tersebut, Montesqieu
dalam buku The Spiriti of Law (1748) pada bab XI menulis
tentang Konstitusi Inggris. Montesqieu memisahkan 3 (tiga) jenis
kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif memiliki kekuasaan
membuat, mengubah, dan menghapus undang-undang; kekuasaan
eksekutif memiliki kekuasaan yang menyatakan perang atau
damai, mengirimkan atau menerima duta, menjamin keamanan
umum serta menghalau musuh yang masuk; sedangkan kekuasaan
yudisial memiliki kekuasaan menghukum para penjahat atau
memutuskan perselisihan yang timbul diantara orang
perseorangan. 30 Berbeda dengan John Locke, yang memasukkan
kekuasaan yudisial dalam kekuasaan eksekutif, Montesqieu
mamandang kekuasaan yudisial sebagai kekuasaan yang berdiri
sendiri.
Persamaan antara teori yang dikemukakan oleh John Locke
dan Montesqieu adalah bahwa kekuasaan dalam negara tidak
diperbolehkan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu lembaga.
Persamaan lainnya tentang adanya kekuasaan legislatif dan
eksekutif dalam negara, yang masing-masing secara umum
memiliki kekuasaan membuat undang-undang dan melaksanakan
undang-undang. Sementara itu, perbedaan pemikiran John Locke
dengan Montesqiue yang paling penting mencakup 3 (tiga) hal.
29
Ibid., hlm. 13.
30
Ibid.

16 | Hukum Kelembagaan Negara


Pertama, John Locke membagi kekuasaan dalam negara atas
legislatif, eksekutif, dan federatif dan kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara; sedangkan Montesqieu
membaginya dalam legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial,
di mana kekuasaan federatif menurut Montesqiue dikategorikan
sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif. Kedua, Montesqieu
memisahkan secara tegas masing-masing cabang kekuasaan,
eksekutif hanya mempunyai bagian dalam pembentukan undang-
undang berupa menolak (the power of rejecting), sedangkan
menurut John Locke kekuasaan eksekutif ikut membahas dan
menyetujui undang-undang. Ketiga, Montesqieu menjelaskan
secara rinci tentang parlemen baik dari fungsi, struktur organsiasi,
dan sistem pemilihannya.
Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan yang
dikemukakan oleh Montesqieu dikembangkan lebih lanjut
sebagaimana dilihat dalam konstitusi Amerika Serikat yang
dikenal sebagai checks and balnces. Oleh Immanuel Kant, ajaran
Monestqieu tadi dalam banyak literatur hukum dan politik di
Indonesia dikenal sebagai ajaran Trias Politica. Menurut Moh.
Mahfud M.D., ajaran Trias Politica ini kemudian melahirkan
sistem pemerintahan yang berbeda-beda.31
Teori pemisahan kekuasaan berada dalam kerangka
pembahasan ―doctrine related to the division of executive,
legislative, and judicial power.‖ 32 Berbagai kajian mengenai
pemisahan kekuasaan mencakup ―fundamental questions about the
character, development, and proper operation of the overall

31
Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 362.
32
Bernard Schwartz, ―Curiouser and Curiouser: The Supreme Court‘s
Separation of Powers Wonderland‖, Notre Dame Law Review, Vol. 65, 1990,
hlm. 587. Lihat juga Geoffrey P. Miller, From Compromise to Confrontation:
Separation of Powers in the Reagan Era, George Washington Law Review, 1989,
Vol. 57, hlm. 401 dan 404.

Hukum Kelembagaan Negara | 17


system of separated powers.‖33 Di Inggris, mekanisme pemisahan
kekuasaan menampakkan ―the pure doctrine of unseparated
powers‖, di mana ―a political movement need win only one
election before gaining plenary authority.‖ 34 Hal lain yang
menentukan adalah PM‘s ability to determine the time of the next
election (with only a five-year deadline constraining this
decision).35
Dalam pandangan ilmuwan hukum dan politik di Amerika
Serikat, masalah pemisahan kekuasaan acapkali dikaitkan dengan
legislative veto36, executive privelege37, dan independensi negara
bagian sehubungan dengan pemerintah pusat. 38 Konstitusi

33
Jeffrey A. Segal, ―Correction to ‗Separation-of-Powers Games in the
Positive Theory of Congress and Courts‖, American Political Science Review,
Vol. 92, 1998, hlm. 923.
34
Brucke Ackerman, ―The New Separation of Power‖, Harvard Law
Review, No. 3 Vol. 113, 2000, hlm. 644.
35
Ibid.
36
Peter L. Strauss, ―Was There A Baby In the Bathwater? A Comment
on the Supreme Court‘s Legislative Veto Decision‖, Duke Law Journal, 1993,
hlm. 789, bahwa distinguishing the legislative veto in the context of executive-
congressional relations from that used in the regulatory context, and arguing
that only the latter use prompts constitutional concerns. Lihat juga: Alison
Marston Danner, ―Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the
International Criminal Court and the Independent Counsel‖, Stanford Law
Review, Vol. 20, 2003, hlm. 1633 dan 1638.
37
Louis Fisher, ―Separation of Powers: Interpretation Outside the
Courts‖, Pensilvania Law Review, Vol. 57, 1993, hlm. 57-62.
38
Lihat antara lain dalam: Stephen L. Carter, ―The Independent Counsel
Mess‖, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988, hlm. 105; Katy J. Harriger,
―Separation of Powers and the Politics of Independent Counsels‖, Political
Science Quartly, No. 109, 1994, hlm. 261; dan Donald J. Simon, ―The
Constitutionality of the Special Prosecutor Law‖, Michigan Journal of Law
Reform, Vol. 16, 1982, hlm. 45; dan Carl Levin, ―The Independent Counsel
Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance‖, Hofstra Law
Review, Vol. 16, 1987, hlm. 11.

18 | Hukum Kelembagaan Negara


Amerika Serikat menentukan bahwa ―that national powers are
divided among three uniquely constituted organs of government:
Congress, the Presidency, and the Judiciary.‖ 39 Selanjutnya
dikatakan bahwa:40
The Constitution also incorporates a system of checks and
balances through which the branches share in one another's
powers. For example, the President shares in the legislative
function by virtue of his power to veto legislation. As the
Court observed in Mistretta v. United States, "the greatest
security against tyranny . .. lies not in a hermetic division
among the Branches, but in a carefully crafted system of
checked and balanced power within each Branch."

Konstruksi pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat


merupakan reaksi terhadap sistem pemeritnahan di Kerajaan
Inggris. Hal ini seperti diidentifikasi oleh Brucke Ackerman
sebagai berikut.41
39
Lawrence Lessig & Sunstein, Cass R., ―The President and the
Administration‖, Columbia Law Review, Vol. 94, 1994, hlm. 654.
40
Ibid. Baca juga pendapat Jack M. Beerman yang mengatakan bahwa,
―the United States Constitution requires a strict separation between the three
branches of government and that efforts within one branch to influence or
control the exercise of another branch‘s powers are illegitimate and should be
rejected whenever possible‖. Lihat: Jack M. Beermann, ―An Inductive
Understanding of Separation of Powers‖, dalam Electronic copy available at:
http://ssrn.com/abstract=1656452, diakses tanggal 4 Mei 2011.
Menurut sejumlah penulis, implikasi dari kaidah konstitusi ini adalah ―the
federal government and all state governments are structured around the
principle of separation of powers.‖ Baca: Elizabeth Magill, ―Beyond Powers and
Branches in Separation of Powers Law‖, University of Pansylvania Law Review,
No. 150, 2001, hlm. 603; Peter Strauss, ―The Place of Agencies in Government:
Separation of Powers and the Fourth Branch‖, Columbia Law Review, Vol. 84,
1984, hlm. 573; dan Arnold I Burns & Steven J. Markman, ―Understanding
Separation of Powers‖, Pace Law Review, Vol. 7, 1987, hlm. 575.
41
Op.cit., hlm. 633.

Hukum Kelembagaan Negara | 19


Generally, English-speaking critics of American
separationism have looked to Great Britain as the source of
a competing model of democratic government. The modern
British Constitution famously concentrates lawmaking
power in the House of Commons, giving the Prime Minister
and her Cabinet effective control over the legislative
agenda. The real-world operation of this ―Westminster
model‖ has provided critics with a club to batter American
self-confidence. Given the British success in avoiding the
in-exorable slide into tyranny predicted by Madison and
Montesquieu.

Sekalipun mendapatkan pengaruh Amerika Serikat, doktrin


pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Jepang dalam Konstitusi
(1947) tidak mencerminkan gaya presidensial 42 , akan tetapi
mendekati sistem Westminter di Kerajaan Inggris. 43 Kasus di
Jerman menunjukkan implementasi lain, ketika trauma dengan
kekuatan Presiden Adolf Hitler, Sekutu mendiktekan konstitusi
yang menghindari adanya pemilihan presiden langsung. 44

42
Menurut Christopher A. Ford, ―American influence reached its zenith
in post-war Japan — with General MacArthur‘s legal staff presenting a draft
constitution to the Japanese within a ridiculously short space of time. In
particular, they did not require Japan to embrace an American-style presidency
as part of the price of its defeat.‖ Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Christopher
A. Ford, ―The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience‖,
Case West of Journal International Law, Vol. 28, 1996.
43
Hanya saja format parlementarisme di Jepang tidak mendudukkan
parlemen sebagai organ dengan kedaulatan kuat seperti halnya di Kerajaan
Inggris. Pelaksanaan fungsi parlemen Jepang didukung oleh konstitusi tertulis
yang memuat pemisahan kekuasaan, hak asasi manusia, dan Mahkamah Agung.
Parlemen Jepang kuat dalam menentukan kabinet, akan tetapi kekuatan ini tidak
seimbang dengan kewenangan Majelis Tinggi. Lihat uraian ini dalam Brucke
Ackerman, ―The New Separation of Power‖, op.cit., hlm. 635.
44
Ibid., hlm. 633.

20 | Hukum Kelembagaan Negara


Sekalipun masih menentukan penyusunan konstitusinya, Italia
―were entirely unprepared to build a presidential platform upon
which future Mussolinis might vie for (democratic)
preeminence.‖45
Khususnya di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa
Timur, pemisahan kekuasaan dalam desain konstitusi mereka
menggambarkan suatu ―outcomes as a distinctive blend of Western
and socialist ideas.‖ 46 Negara Spanyol misalnya, pasca
kedikatatoran Franco, telah berhasil menyusun skema pemisahan
kekuasaan dengan meniru model Jerman. 47 Pengalaman Brazil
sampai era 1980-an, yang mengadopsi gaya Amerika Serikat,
memicu munculnya kediktatoran militer dan ―had considerable
success in leading the constitutional convention to consider
seriously a fundamental break with this system.‖48
Model Prancis dan Amerika Serikat, yang mengadopsi
sistem pemilihan presiden langsung dipadukan dengan pemisahan
tegas antara eksekutif dan legislatif menjadi model yang paling
berpengaruh di dunia dewasa ini.49 Sekalipun pengaruh itu, dalam
pandangan Feature tidak selalu berjalan mulus seperti kasus di

45
Ibid.
46
Lihat uraian lengkap dalam Rett R. Ludwikowski, ―Mixed‖
Constitutions — Product of an East-Central European Constitutional Melting
Pot‖, Birmigham International Law Journal, Vol. 1, 1998.
47
Spain‘s successful adaptation of the German constitutional model in its
own transition from Francoism gave German solutions substantial influence in
later transitions. For a description of how the Spanish example reinforced
preexisting Eastern European inclinations toward German ideas. Lihat dalam
Luis López Guerra, ―The Application of the Spanish Model in the Constitutional
Transitions in Central and Eastern Europe‖, Jurnal Cordozo Law Review, Vol. 19,
1998, hlm. 1937.
48
Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 637.
49
Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 21


Polandia pada dasawarsa pasca komunias 1990-an. 50 Namun di
Rusia, ―the American model has been invoked to justify grants of
power that in many instances far exceed those wielded by the
American President.‖51
Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan
Amerika Serikat mengalami kegagalan karena ―their ‗founding
fathers‘ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this
system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish
a strong executive power for the purposesof preventing the
disintegration of their newly independent states. 52 Implementasi
sistem tersebut di negara kawasan Amerika Latin menunjukkan
―the model of governance concentrated around the executive
power.‖ 53 Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan
Spanyol, ―almost all Latin American constitutions are provisions
that permit both democracy and dictatorship.‖54 Hal ini diperparah

50
During the early 1990s in Eastern Europe, Poland was the scene of an
especially interesting contest between proponents of rival models. In 1991, the
Solidarity-controlled Senate presented a presidentialist draft for a new
constitution modeled on the French system, while the Sejm (the lower house),
then still controlled by the Communists, advocated a parliamentary model based
on the German system. The confrontation between the Senate and the Sejm
inaugurated a complex institutional and ideological struggle, resulting in a 1992
―small constitution‖ and a 1997 permanent constitution that were closer to the
French model initially advanced by the Senate. Lihat Feature, ―The 1997 Polish
Constitution‖, Jurnal East Europe Constitutional Reviwe, Vol. 66, 1997, hlm. 64.
51
Amy J. Weisman, ―Separation of Powers in Post-Communist
Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation‖, American
University Journal of International Law and Policy, Vol. 10, 1995, hlm.1365.
52
Rett R. Ludwikowski, ―Latin American Hybrid Constitutionalism: The
United States Presidentialism in the Civil Law Melting Pot‖, Boston University
International Law Journal, Vol. 21, 2003, hlm. 51.
53
Ibid.
54
Keith S. Rosenn, ―The Success of Constitutionalism in the United
States and Its Failure in Latin America‖, University of Miami Inter-American
Law Review, Vol. 22, 1990, hlm. 33.

22 | Hukum Kelembagaan Negara


juga dengan kenyataan bahwa ―constitutions are not entrenched
because political leaders do not fear citizen mobilization when
fundamental rules of the game are violated.‖55
Dari uraian tadi dapat diperoleh gambaran bahwa
perbincangan mengenai pemisahan kekuasaan umumnya bertumpu
pada relasi eksekutif dan legislatif. Walaupun sesungguhnya
percakapan ―The separation of powers involves not only
presidents and parliaments, but also the constitutional status of
courts and administrative agencies.‖ 56 Pemisahan kekuasaan
terkait dengan sistem demokrasi yang melekatkan kepada
perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat
Brucke Ackerman yang mengatakan bahwa:57
In one way or another, separation may serve (or hinder) the
project of popular self-government. The second ideal is
professional competence. Democratic laws remain purely
symbolic unless courts and bureaucracies can implement
them in a relatively impartial way. The third ideal is the
protection and enhancement of fundamental rights. Without
these, democratic rule and professional administration can
readily become engines of tyranny.

Dalam pemisahan kekuasaan di Prancis, ―the President is


directly elected for a fixed term of seven years but is obliged to
appoint a Premier who has majority support in the National
Assembly.‖ 58 Hanya saja karena Majelis Nasional (the National
Assembly) harus diperbarui setiap 5 tahun sekali, maka ada
kemungkinan ada perbedaan pengaruh kekuasaan Presiden dengan

55
Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.
56
Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 639.
57
Ibid.
58
Martin A. Rogoff, ―The French (R)evolution of 1958–1998‖,
Columbia Journal of Europe, Vol. 3, hlm. 453 dan 458.

Hukum Kelembagaan Negara | 23


Perdana Menteri dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan.
Ketika partai politik Presiden dominan dalam koalisi
pemerintahan, maka Presiden mempunyai kekuasaan yang besar
seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Charles de Gaulle
(1962-1969), Presiden Georges Pompidou (1969-1974), Presiden
Francois Mitterand (1981-1986), dan Presiden Jacques Chirac
(1995-1997). Akan tetapi jika koalisi mendukung Presiden akan
tetapi Presiden tidak mengendalikan koalisi, maka kekuasaan
Perdana Menteri biasanya relatif otonom seperti kasus Giscard
d‘Estaing (1974-1981) dan Francois Mitterand (1988-1989). Pada
kerangka semacam ini maka yang terjadi adalah kohibitasi
(cohabitation) pemerintahan seperti kasus Presiden Francois
Mitterand dari Partai Sosialis harus berbagi kekuasaan dengan
Perdana Menteri Jacques Chirac dari Partai Konservatif (186-
1988) dan Balladur (1993-1995). Masa kohibitasi berikutnya
terjadi pada pemerintahan Presiden Jacques Chirac dengan
Perdana Menteri Lionel Jospin (1997-2002).
Dibandingkan dengan pemisahan kekuasaan di Amerika
Serikat, kondisi di Prancis menunjukkan pemisahan yang relatif
lemah karena ―on the political side, the French President must
worry mostly about hostility from the National Assembly, since the
French Senate is not very powerful.‖59 Namun demikian, Presiden
dapat kembali mengontrol kekuasaan dengan melaksanakan
pemilihan umum untuk Majelis Nasional dalam waktu yang
ditetapkannya sendiri.60
Dari uraian di atas, nampak bahwa pengertian pemisahan
kekuasaan jauh dari sekedar sebuah definisi. Seperti diungkapkan
oleh Martin S. Flaherty,, bahwa ―separation of powers refers to a
theory about the appropriate allocation of government authority
among the institutions of the national government. It means, on
the one hand, classification of governmental power into three
59
Ibid., hlm. 459.
60
Lihat Pasal 12 Konstitusi Prancis (1958).

24 | Hukum Kelembagaan Negara


categories, allocation of that authority to three different
institutions, with separation of personnel among the
institutions.‖ 61 Pemisahan kekuasaan dibutuhkan untuk ―self-
executing safeguard against the encroachment or aggrandizement
of one branch at the expense of another.‖62

C. Rule of Law
Sebagaimana lazimnya suatu pengertian, konsep rule of law
senantiasa berkembang dan mengelami penafsiran ulang dari
waktu ke waktu. 63 Kata ini merujuk kepada pengertian suatu
doktrin, bahkan dapat dikatakan suatu ideologi, mengenai
bagaimanakah penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan,
dan dianggap sinonim dengan konsep demokrasi konstitusional,
dan kadang-kadang diberikan pengertian sebagai ―pemerintahan
yang demokratis.‖64 Berbagai sinonimitas itu dalam teori banyak
diuraikan melalui penjelasan yang singkat dan mengupayakan
ketegasan hubungannya dengan rule of law serta berbagai
hubungannya dengan lembaga-lembaga hukum yang lain.
Sekalipun konsep ini pada awalnya adalah gagasan yang

61
Martin S. Flaherty, ―The Most Dangerous Branch‖, Yale Law Journal
No. 105, 1998, hlm. 1725.
62
Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential
Lawmaking‖, University Chicago Law Review Vol. 61, 1994, hlm. 123 dan 125-
126. Periksa juga komentar senada dari pandangan penulis-penulis berikut:
William B. Gwyn, ―The Indeterminacy of Separation of Powers‖, George
Washington Law Review, 1999, 474-475; Harold J. Krent, ―Separating the
Strands in Separation of Powers Controversies‖, Virginia Law Review, Vol. 74,
1988, hlm. 1253-1255; dan Thomas O. Sargentich, ―The Contemporary Debate
about Legislative-Executive Separation of Powers‖, Cornell Law Review, Vol.
72, 1997, hlm. 430 dan 433.
63
Carlos Wing-hung Lo, ―Deng Xiaoping's Ideas on Law‖, Journal Asian
Survey Vo. 7 No. 32, 1992, hlm. 649.
64
Keith Mason, ―The Rule of Law‖. In P. D. Finn (ed.), 1995, Essays on
Law and Government, vol. I: 114-43, Sydney: LBC, hlm. 12.

Hukum Kelembagaan Negara | 25


berkembang di Barat, akan tetapi sejumlah sarjana di kawasan
Asia akhir-akhir ini menghimpun perdebatan yang dipandang
sebagai sesuatu yang khas Timur.65 Dalam banyak kasus negara-
negara di banyak kawasan telah mempunyai konstitusi, akan tetapi
konstitusi itu tidak mempunyai pengertian yang sama, sekalipun
rumusan teks atau penamaan lembaga-lembaga negara mempunyai
kesamaan dalam penetapannya di konstitusi. Persoalan mendasar
yang mengemuka adalah sejarah, politik, dan ekonomi suatu
negara telah mempertajam perbedaan setiap konstitusi tersebut.
Sudut pandang modern mengenai rule of law merupakan
suatu istilah doctrinal, yang berkembang pada abad ke-19. Istilah
yang dikemukakan oleh A.V. Dicey (1959) ini mempunyai
persamaan gagasan dengan apa yang diungkapkan oleh W.E.
Hearn, seorang guru besar hukum dari University of Melbourne.
Sudut pandang Dicey dipengaruhi oleh perjalanan kariernya
sebagai seorang hakim dan pengacara praktik. Dalam
pandangannya, rule of law di Inggris harus mengandung formulasi
rumusan kelembagaan sebagai berikut. Pertama, tak seorang pun
dapat diberikan hukuman kecuali oleh badan pengadilan yang
berlaku umum. Kedua, bahwa tidak ada seorang pun yang berada
di atas hukum, apapun derajat dan kondisinya, tunduk kepada
hukum yang berlaku umum yang dapat diajukan tuntutan ke
pengadilan yang sifatnya umum juga, atau ada kesetaraan hukum
dan ini berlaku juga para pejabat resmi yang memerintah
warganegara. Kedua, prinsip-prinsip umum konstitusi merupakan
hasil dari putusan pengadilan yang menentukan hak-hak pribadi
dari seseorang khususnya yang diputus oleh pengadilan.
Penentukan unsur-unsur rule of law itu dianggap lumrah
dalam negara yang menganut doktrin continental. Tetapi Dicey
tetap bertahan dengan argumen itu. Salah satu problem yang

65
Lihat misalnya dalam analisis: De Bary, W. Theodore, ―The
Constitutional Tradition in Chin‖. Journal of Chinese Law, Vol. 1. 1995, hlm. 7-
34.

26 | Hukum Kelembagaan Negara


muncul adalah bahwa doktrin itu lebih dekat dengan sistem di
Inggris dan mengabaikan kemungkinan adanya bermacam-macam
sistem hukum, yang menganut institusi hukum yang juga
bermacam-macam. Asumsi yang dibangun oleh Dicey adalah
bahwa hukum merupakan sesuatu yang tegas dan pasti sementara
di negara Inggris kekuasaan diskresi Pemerintah telah berkembang
semenjak abad ke 18 dan berkembang lebih luas lagi dalam masa-
masa sesudahnya.
Pada abad ke-19, banyak sarjana hukum yang berpandangan
bahwa hakim harus menemukan hukum, walaupun dalam
kenyataannya mereka menafsirkan hukum, dan sesungguhnya
tidak membuat hukum. Setelah kematian Dicey, aparatur negara
berkembang pesat dan perjuangan melalui hukum administrasi
telah menemukan cara baru untuk melindungi prinsip-prinsip
hukum melalui Ombudsman, Kebebasan Memperoleh Informasi,
dan pelembagaan control kepada eksekutif. 66
Versi akhir dari doktrin ini menekankan formalitas daripada
kandungan aspek hukum yang bersifat substantif, sehubungan
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan dalam
kenyataannya, adalah pandangan politik Barat.67 Dengan kata lain,
peraturan adalah fakultatif, dan bukan substantif, dan bukanlah
sesuatu yang secara otomatis melekat untuk menjamn suatu
keadaan yang lebih baik.68 Dalam argument Teori Formal hanya
melihat dalam sebagian hal secara politik, yang mengigkari
kenyataan adanya bermacam-macam tradisi hukum di Barat, dan
juga secara ekonomi tidak memperhatikan aspek ekonomi dalan

66
Lihat argumen selengkapnya dalam Bensel Richard F. Bensel,
―Creating the Statutory State: the Implications of a Rule of Law Standard in
American Politics‖, Journal American Political Science Review, No. 74, 1980,
hlm. 734-744.
67
Michael Oakeshott, ―Executive Versus Judiciary‖, Journal Public Law
Review, No. 2, 1991, hlm. 179-193.
68
Ibid., hlm. 193.

Hukum Kelembagaan Negara | 27


kerangka Welfare State. Kerangka Teori Formal nampak lebih
menunjukkan dimensinya sebagai suatu garis ideologis.69 Padahal
hukum sendiri menapakkan diri ke dalam bermacam-macam
bentuk dan criteria antara lain diundangkan untuk diketahui umum
dan tidak diam-diam, pada umumnya berlaku prospektif dan tidak
retroaktif, tidak memungkinkan untuk diuji, jelas dan
berkesinambungan satu dengan yang lain serta stabil; disusun
dengan panduan aturan hukum; pihak yang memuat dan
Pemerintah bertanggung jawab atas pembentukannya; dan
pengelolaannya sejajar dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri.70
Pendapat terakhir dewasa ini memasukkan unsur-unsur formal
penataan kelembagaan seperti independensi kekuasaan kehakiman
terhadap Pemerintah dalam memutus perkara individual, ada
profesi hukum mandiri, akses ke pengadilan, penerapan keadilan
alamiah (dalam hal ini pengambilan keputusan yang tidak bias
hukum dan mendengarkan para pihak secara setara), dan
imparsialitas dan kejujuran dalam penegakan hukum. 71
Sesungguhnya, suatu proses juga merupakan unsur yang
penting dalam penekanan pemeriksaan yang adil (dua process of
law), seperti memberikan kesempatan yang sama kepada para
pihak, oleh pengadilan atau pejabat yang independen, untuk
memperoleh keputusan rasional yang didasarkan kepada hukum.72

69
Robert S. Summers ―A Formal Theory of the Rule of Law‖, Journal
Ratio Juris, Vol. 2 No. 6, 1993, hlm. 135.
70
Baca dalam: Margarets Allars, 1990, Introduction to Australian
Administrative Law, Sydney: Butterworths, hlm. 15; John Finnis, 1980, Natural
Law and Natural Rights, Oxford, Clarendon Press, hlm. 270-271; John Rawls,
1971, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, hlm. 235-243.
71
Bandingkan: Geoffrey de Q Walker, 1988, The Rule of Law:
Foundation of a Constitutional Democracy. Carlton, Melbourne: Melbourne
University Press.
72
Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia Law
Review, No. 58, 1988, hlm. 145-146.

28 | Hukum Kelembagaan Negara


Dengan landasan Teori Formal, tak ada argumen untuk
menjelaskan bahwa suatu regim bersifat demokratis atau humanis
atau sebaliknya menolak hak asasi manusia, jika masih terjadi
diskriminasi dan hambatan kebebasan beragama. Sepanjang rezim
mengakui susunan hukum dalam pengertian formal, maka
disitulah hukum itu terasa telah dihadirkan.73
Di sejumlah negara kawasan Asia Timur seperti Cina,
bahwa hukum yang ditentukan oleh seseorang merupakan hal
yang berbahaya. Pengalaman terjadinya Revolusi Kebudayaan
(1966-1976) telah membuktikannya. Dengan kata lain rule by law,
pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum dibandingkan
pengaturan dalam kedikatatoran, merupakan sesuatu penting, baik
secara politik mapun sarana utnuk menuju modernisasi.74 Dalam
argumen ini, aturan-aturan yang ditentukan hukum, lebih baik
dibandingkan aturan-aturan yang bersifat personal. Dengan
demikian, hukum menjadi rasional untuk mengatur atau
menentukan arah perkembangan masyarakat. 75 Pada sisi lain,
berlawanan dengan keyakinan ini, ada keyakinan yang tipis
diantara Pimpinan Pemerintahan senior mengenai pentingnya
akuntabilitas, yang sejumlah sektor mereka dengan efektif bisa
mengabaikan hukum, sekalipun itu pimpinan rendahan dalam
perang melawan korupsi. Dari sudut pandang instrumentalis,
kenyataan yang bertentangan ini menunjukkan ada hubungan
antara hukum dalam partai tunggal dan pengaturan hukum
merupakan sesuatu yang problematik. Pada satu hal partai harus
mengesampingkan hukum, sementara di sisi lain partai harus
memandu negara, dalam hal ini adalah melalui hukum. Sekalipun

73
Margaret Radin, ―Reconsidering the Rule of Law‖, Boston University
Law Review, Vol. 4, 1989, hlm. 176.
74
Jayasuria, ―The Rule of Law and Democracy in Hong Kong –
Comparative Analysis of British Liberalism and Chinese Socialism‖, E-Law-
Murdoch University Electronic Journal of Law, 1994.
75
Mixin Rei, 1992, hlm. 101.; Von Savenger, 1985, hlm. 200.

Hukum Kelembagaan Negara | 29


secara resmi adanya yang mengatakan bahw ahal ini bukanlah
suatu penyimpangan, tetapi ada suatu kenyataan bahwa pimpinan
partai politik dapat berada di atas hukum. China sendiri telah
menentukan bahwa partai harus mematuhi hukum karena partailah
yang menyediakan personil untuk memimpin negara.
Di kawasan ASEAN (Association of South East Asia
Nations) berkembang suatu rule of law yang bersifat ―tipis‖, di
mana Pemerintah mengedepankan positivisme untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi dengan menekankan aspek-aspek formal
atau instrumental dari setiap sistem hukum. Prinsip yang muncul
yaitu ―hukum adalah apa yang ditulis‖, yang mendorong
pemahaman kepada variasi baru sebagai rule by law.
Demikian apa yang terjadi dengan Laos, Vietnam, dan
Kamboja, yang pada tahun 1990-an menganut rule of law ―tipis‖,
partai-partai komunis yang berkuasa di negara itu berada di atas
hukum dan dengan demikiran merendahkan hukum. Menurut
Ronald Bruce St-John, akibatnya pemerintah negara itu daam
decade setelah 1975 menghadapi kendala-kendala yang luar biasa
dalam memberlakukan rule of law karena penemapatannya
melibatkan pertentangan dasar antara penghormatan terhadap
otoritas dan tradisi serta kerangka hukum yang dianggap oleh
banyak ekonom dan sarjana lainnya penting bagi ekonomi pasar.76
Sebaliknya, secara oposisional pakar lain mengajukan
konsep rule of law yang ―tebal‖, yang mencakup cita-cita
substantif seperti Hak Asasi Manusia dan tata pemerintahan yang
baik. Thailand ―telah berusaha membawa hukum mengikuti
perkembangan ekonomi dan sosial saat ini dan perlindungan
terhadap hak-hak individu menurut rule of law. 77 Konstitusi
(1997), yang sempat dianggap konstitusi partisipatif, yang

76
Ronald Bruce St.John, ―Development, Reform, and Regionalism in
Southeast Asia‖, Yale Human Right and Development Journal, Vol. 10, No.1,
hlm. 196.
77
William C. Whitford, ―The Rule of Law‖, Wisconsin Law Review, No.
55, 2000, hlm. 723.

30 | Hukum Kelembagaan Negara


memberikan perlindungan tehradap proses hukum dan kebebasan,
dibentuk oleh pelajaran dari pengalaman negara tas hukum
keadaan perang. Namun demikian, jaminan-jaminan formal
terhadap Hak Asasi Manusia melalui rule of law tidak selalu
memberikan pengaruh dalam praktiknya.
Suatu kesulitan membicarakan negaraa di kawasan Asia
Timur dan Tenggara, yang secara factual wilayahnya terbentang
dari Jepang hingga ke Burma dan Korea Utara pada sisi yang lain,
yang mengalami dilemma antara kerumitan hukum dengan
pertumbuhan ekonomi.78 Perlu dicatat bahwa di negara-negara ini
politik, ekonomi, dan lembaga-lembaga lainnya tak selalu
berkesesuaian. Filipina (sejak 1986) mempunyai konstitusi
modern, ada kebebasan pers, akan tetapi mengalami kemunduran
dalam hal ekonomi karena adanya mekansime feodalisme dalam
penguasaan tanah. Hal yang sama terjadi di India, sementara
Pakistan mempunyai demokrasi lemah, ekonomi semifeodal, dan
serupa dengan Bangladesh, marak kronikal politisi dan korupsi
yang meluas.
Singapura pada sisi lain, bersih dari korupsi, mempunyai
birokrasi yang efisien dan modern, standar hidup yang tinggi,
tetapi menjalankan partai tunggal yang paranoid terhadap oposisi.
Karakteristik serupa dijumpai di Malaysia, hanya karena
kemajemukan masyarakatnya menghasilkan sistem demokrasi,
pengadilan dan pers yang lebih terbuka dibandingkan dengan
tetatangganya itu. Brunei Darussalam, masih dikelola dalam
format negara dalam keadaan darurat (sejak 1962) dan isu-ksu
seperti tata pemerintahan yang baik sangat bergantung kepada
individual tanpa kerangka institutisonal untuk menjamin
kelanjutan perdamaian dan stabilitas. Kebebasan berbicara dibatasi
oelh Undang-Undang Penistaan (Deformation Act), Undang-

78
William F. Case, ―Can the Halfway House Stand? Semi Democracy
and Elite Theory in Three South East Asian Countries‖, Journal Comparative
Politics Vol. 4, 1996, hlm. 437-464.

Hukum Kelembagaan Negara | 31


Undang Suratkabar (Newspaper Act), Undang-Undang
Pemberontakan (Sedition Act), dan diperbolehkannya penggunaan
hukum fisik bagi pelanggaran imigrasi. Konstitusi 1959, yang
diubah tahun 1984 dan 2004, memperbesar kekuasaan Sultan
dengan menghapus wewenang Dewan Legislatif guna mengawasi
Dewan Eksekutif, oleh sebab itu pemisahan kekuasaan menjadi
absen.
Di Myanmar, dari 1988-2011, diperintah secara oleh
sekelompok perwira militer yang disebut State Law and Orde
Restoration Council (SLORC) dan State Peace and Devopment
Council (SPDC). Pemerintah dan pejabatnya tidak bertanggung
jawab secara hukum. Kekebalan ini terus berlangsung hingga
disahkannya Konstitusi 2008 sehingga sekalipun konstitusi ini
mempunyai lembaga peradilan yang ditulis independen, akan
tetapi ia akan menerima tantangan baru mengenai keabsahan,
cakupan, atau penerapan klausul kekebalan tersebut. Konstitusi
juga mengesahkan dan melanggengkan aturan militer, di mana
antara lain Angkatan Bersenjata diberikan wewenang untuk
mengambil segala tindakan jika dipandang perlu dalam rangka
―berpartisipasi dalam kepemimpinan politik negara‖, yang mana
klausula ini tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu, setiap
diperlukan Panglima Angkatan Bersenjata dapat melakukan
kapanpun reposisi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial,
atas nama langkah-langkah yang diperlukan dalam situasi darurat.
Ciri pengaturan ini unik diantara konstitusi di negara-negara
anggota ASEAN, jika tidak dapat dikatakan satu-satunya di dunia.
Taiwan menjadi negara pertama yang menerapkan
demokrasi modern dan mampu mengadopsinya dengan kultur
China,79sebagaimana juga di Korea Selatan.80 Indonesia di masa
79
Lee Teng-hui, ―Chinese Culture and Political Renewal‖, Journal of
Democracy, Vol. 4, No. 6, 1995, hlm: 1-8.
80
Kun Yan, ―Judicial Review and Social Change in the Korean
Democratising Process‖, American Journal of Comparative Law , Vol. 1 No. 41,
1993, hlm: 1-8.

32 | Hukum Kelembagaan Negara


Orde Baru, mempunyai sistem politik yang didominasi militer
tetapi pelanggaran HAM masih terjadi81, yang dalam konteks ini
sering disebut soft-authoritarianism.
Pada sisi lain, kelahiran rule of law membutuhkan
dukungan baik dalam taraf gagasan maupun praktik. Minimal,
konstitusi yang ada mewadahi prinsip-prinsip tersebut, atau lebih
dari itu, konstitusi diberi kedudukan sebagai hukum yang tertinggi
sebagai pedoman dalam pembentukan hukum maupun kebijakan
(policy). Dengan sendirinya, jika unsur tersebut dipenuhi, akan
mencerminkan keterwakilan konstitusi sebagai sebuah instrumen.
Sudah semestinya, jika instrumen itu didukung oleh suatu
peradilan yang independen dan pembentukan Undang-Undang
oleh lembaga politik yang dipilih melalui pemilihan. Sebagai
implikasinya, Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk
menguji Undang-Undang, untuk menghilangkan pertentangan
proses pemilihan umum maupun tata cara penyusunan Undang-
Undang tersebut. Sudah tentu, mekanisme semacam itu akan
ditolak, sampai kemudian prinsip-prinsip hukum itu dihormati.
Untuk menjamin konstitusi dan akuntabilitas hukum, di samping
mekanisme pengujian (judicial review) oleh badan pengadilan
yang independen, sejumlah negara juga membentuk Ombudsman,
lembaga antikorupsi, dan pengadilan tata usaha negara. Jika
lembaga-lembaga itu ada dan berjalan secara efektif, maka akan
memperluas semua persoalan dikontrol secara eksternal oleh
hukum, dan memperdalam fungsi hukum dalam proses-proses
administrasi pemerintahan. Sekalipun jaminan hak-hak individual
diperdebatkan, akan tetapi sejumlah negara telah mengadopsi
control terhadap tindakan pemerintahan tersebut. 82
81
Julianne Kokott, ―Indonesian National Commission on Human Rights:
Two Years of Activities‖, Human Rights Law Journal Vol. 16, No. 10-12, 1995,
hlm. 420-421.
82
Lihat analisis lengkap dalam R. H. Hickling dan D. A. Wishart,
―Malaysia: Dr Mahathir's Thinking on Constitutional Issues‖, Lawasia , 1988-
1989, hlm. 47-79.

Hukum Kelembagaan Negara | 33


Dalam tataran sebagai suatu ideologi, rule of law telah
ditelaah dari sudut pandang liberal, sejumlah pakar, yang sebagian
meninjau dari perspetif ―kiri‖, mengkritisi topeng ideologi dalam
ekses mengenai retorika sehubungan dengan kesetaraan di muka
hukum dan imparsialitas sebagai topeng yang menggarisbawahi
ketidaksetaraan dan eksploitasi. 83 Dalam berbagai tulisan itu,
digunakan bermacam-macam varian. Pandangan E.P. Thompson,
misalnya, dalam kajian yang hati-hati sejarah Inggris abad ke-18,
mengikuti gagasan ini, akan tetapi, menyimpulkan bahwa dalam
sistem yang dikuasai oleh golongan kelas, menerima penerapan
hukum dalam rangka menjaga kepentingannya atau untuk
memberikan legitimasi. 84 Dengan kata lain, sebagai akibat
golongan kelas menggunakan hukum maka akan menyamarkan
aksi politik sesungguhnya yang dikehendakinya. Tahap pertama
dari perkembangan ini adalah para pemegang kekuasaan politik
meletakkan mereka yang diperintah dalam garis yang
ditentukannya. Akan tetapi, ―these campaigns have a habit of
creating demands to extend the rules even higher to encompass
the behaviour of the ruling class.‖85
Untuk itu, dalam rangka memahami rule of law, ia tidak
bisa mengenai segala sesuatu yang baik yang diiinginkan oleh
rakyat dan pemerintahannya. Godaan terus menerus untuk
memahami rule of law demikian adalah bukti kekuasaan simbolis
dan rule of law, tetapi hal ini seharusnya tidak dituruti. Rule of law
dapat digunakan untuk bermacam-macam kepentingan. Ia dapat
digunakan sebagai sebuah pedang oleh para pembuat kebijakan
asing dan donor yang mencoba untuk mengekspor teori-teori dan

83
Jones, op.cit., 204; Roberto Unger , 1976, Law in Modern Society:
Towards a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.: 52-57, 66-76, 166-
181, 192-216, dan 238-242.
84
Edaward P. Thompson, ―The Government of Laws and Not a
Government of Men‖, Journal. Public Law Review, Vol. 4, 1994, hlm: 158-174.
85
Jenner, op.cit., hlm. 144.

34 | Hukum Kelembagaan Negara


kebijakan-kebijakan etnosentris, terlepas dari apakah teori-teori ini
dapat diterima oleh masyarakat di negara yang berkembang.
Sebagai contoh, semenjak di bawah otoritas Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tahun 1992-1993, Kamboja telah menerima miliaran
dolar dalam bentuk bantuan asing untuk mereformasi lembaga-
lembaga peradilan utama. Tetapi bantuan dana tidak selalu berarti
adanya hasil-hasil positif yang abadi karena tidaka danya penilaian
empiris oleh konsultan domestik.
Rule of law juga telah digunakan sebagai tameng oleh
negara-negara berkembang yang ingin mengurangi atau
meniadakan pentingnya hak-hak individu, dan dengan mudah
memberikan legitimasi kepada ajaran-ajaran komunitarian
tertentu. Dipelopori oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura,
Deklarasi Bangkok (1993) mengemukakan bahwa ―nilai-nilai
Asia‖ yang dimiliki oleh kawasan itu bertentangan dengan nilai-
nilai Barat yang didasarkan kepada individu.

Hukum Kelembagaan Negara | 35


BAB III
PARLEMEN

A. Pembahasan Umum
Dalam pelaksanaan kekuasaan negara terdapat cabang
kekuasaan yang menjalankan fungsi legislatif. Secara
kelembagaan, fungsi ini dijalankan oleh lembaga perwakilan
rakyat yang dikenal sebagai parlemen. 86 Kata parlemen berasal
dari Bahasa Latin parliamentum, atau Bahasa Prancis parler yang
berarti ―berbicara‖, dan dapat diartikan suatu tempat atau badan di
mana para wakil rakyat berbicara satu sama lain untuk hal-hal
yang penting bagi rakyat.87
Parlemen dalam sistem demokrasi modern merupakan wakil
rakyat yang pada umumnya bertugas membuat undang-undang
dan mengawasi jalannya pemerintahan, dan fungsi-fungsi lain
yang berbeda-beda di setiap negara. 88 Istilah parlemen

86
Muchammad Ali Safa‘at, 2010, Parlemen Bikameral: Studi
Perbandngan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Inggris, Austria, dan
Indonesia, Malang, Penerbit UB Press, hlm. 24.
87
Ibid.
88
Ibid.

36 | Hukum Kelembagaan Negara


(parliament) banyak digunakan di negara-negara Eropa,
sedangkan istilah legislatif (legislature) digunakan di Amerika
Serikat. Perbedaan istilah ini mengandung makna yang cukup
dalam dan strategis. Dalam kasus Eropa, istilah parlemen
mengandung makna pembicaraan masalah-masalah kenegaraan,
sedangkan di Amerika Serikat mengandung makna badan pembuat
undang-undang (badan legislatif atau law making body). Dalam
kenyataan kedua perbedaan tersebut terlihat pada fungsi politik
masing-masing.89
Menurut C.J. Friedrich, fungsi parlemen mencakup fungsi
perwakilan (representative assemblies) dan fungsi memecahkan
masalah dalam aktivitas masyarakat (deliberatives assemblies).90
Dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan, parlemen
merupakan lembaga utama pemerintahan perwakilan yang utama,
yang saat ini lebih merupakan hal yang formal dibandingkan
politis. Hal ini karena secara politik fungsi legislasi lebih banyak
dilakukan birokrasi.
Dalam menjalankan fungsi sebagai deliberative assemblies,
maka parlemen melakukan pengawasan terhadap fiskal dan
administrasi pemerintahan, dan teknik pelaksanaannya dilakukan
melalui speech and debate, serta questions and interpellation.
Mengenai speech and debate, dilakukan dalam perundingan di
parlemen. Perundingan dilakukan dengan cara pidato yang diikuti
dengan pembahasan. Pidato adalah aktivitas parlemen yang
mendasar sehingga harus dibatasi dan diatur dalam parlemen. Jika
seluruh argumen yang relevan telah disampaikan, pembahasan
harus berakhir dan berdasarkan praktik, pada negara Inggris dan
Amerika, maka keputusan diberikan kepada kelompok mayoritas.
Question merupakan salah satu alat yang paling penting
yang dimiliki oleh anggota parlemen. Dengan banyaknya

89
Bambang Cipto, 1995, DPR dalam Era Pemerintahan Modern-
Industrial, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 2.
90
Fatmawati, op.cit., hlm. 18-20.

Hukum Kelembagaan Negara | 37


rancangan undang-undang inisiatif pemerintah dan meningkatnya
aktivitas administratif pemerintahan, maka pertanyaan dari
anggota parlemen semakin meningkat. Dalam sistem
pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem
perwakilan, parlemen dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini
merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan
negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat
seluruh rakyat. 91 Menurut Giovanni Facchini dan Cecilia Testa,
―In modern democracies members of legislative bodies are
appointed through popular elections and while in principle
parliaments should only serve the interests of the electorate, in
practiceelected legislators are often subject to other pressure.‖92
Pembicaraan parlemen sebagai sistem perwakilan untuk
menjalakan demokrasi representatif seringkali dikaitkan dengan
bagaimanakah caranya struktur parlemen diorganisasikan agar
mencerminkan sifatnya sebagai lembaga perwakilan? Singkatnya,
―berapa banyak kamar yang seharusnya ada dalam parlemen?‖
Perbincangan mengenai struktur parlemen ini biasanya dikenal
dengan adanya 2 (dua) sistem yaitu sistem unikameral dan sistem
bikameral. Sistem unikameral terdiri atas satu kamar sedangkan
sistem bikameral mempunyai 2 (dua) kamar yang masing-masing
mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-abad, kedua
tipe struktur pengorganisasian demikianlah yang biasa
dikembangkan di mana-mana.93

91
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2000, Semua Harus Terwakili:
Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia,
Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, hlm. 39-40.
92
Giovanni Facchini dan Cecilia Testa, 2008, A Theory of Bicameralism,
Department of Economics,University of Illinois at Urbana Champaign, hlm. 2.
93
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam
Parlemen Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 11. Lihat juga, Jimly
Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah...., op.cit., hlm. 31.

38 | Hukum Kelembagaan Negara


1. Sistem Unikameral
Dalam struktur parlemen tipe unikameral/satu kamar ini,
tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya
Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, atau Majelis Tinggi dan
Majelis Rendah. Akan tetapi, justru sistem unikameral inilah yang
sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara dunia
sekarang menganut sistem ini.94
Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral
ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi
pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif
tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi
yang dipilih oleh rakyat.95 Banyak alasan mengapa begitu banyak
negara mengadopsi sistem unikameral.96 Beberapa kecenderungan
penting yang dapat dicatat adalah negara-negara yang berukuran
kecil kemungkinan besar mempunyai satu kamar daripada dua
kamar. Hal ini karena masalah keseimbangan kekuasaan politik
lebih mudah diatasi daripada di negara besar. Di negara-negara
kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa
komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya-biaya
daripada keuntungannya.97
Selama abad ke-20, negara-negara Scandinavia mengganti
sistem bikameral dengan unikameral. Parlemen-parlemen
unikameral mendominasi di sejumlah negara yang baru-baru ini
mencapai kemerdekaannya, dan yang sedang berkembang secara

94
Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 33.
95
Ibid., hlm. 36.
96
Misalnya studi yang dilakukan oleh The Inter-Parliamentary Union,
1986, Parliaments of the World (A Comperative Reference Compendium), Vol. I,
Second Edition, New York, Penerbit Oxford, misalnya, menunjuk adanya 55
negara menganut sistem unikameral dari 86 negara yang dikaji.
97
Ibid, hlm. 36.

Hukum Kelembagaan Negara | 39


politik dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan ketika
pemerintaha parlementer Eropa Barat lahir.98
Menurut Dahlah Thaib, suatu sistem unikameral akan
memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut. 99 Pertama,
kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan undang-undang
(karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi
rancangan undang-undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan
dengan usulan yang berbeda-beda. Kedua, tanggung lebih besar
(karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya
apabila suatu undang-undang tidak lolos, atau bila kepentingan
warganegara terabaikan). Ketiga, lebih sedikit anggota terpilih
sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau
kepentingan mereka. Keempat, biaya lebih rendah bagi pemerintah
dan pembayar pajak.

2. Sistem Bikameral
Sistem bikameral menunjukkan adanya struktur parlemen
yang memiliki 2 (dua) kamar atau lebih, dalm dalam praktiknya,
walaupun sbeuah parlemen terdiri dari lebih 2 (dua) kamar,
kewenangan untuk membentuk undang-undang hanya berada pada
salah satu atau kedua kamar, atau jika seluruh kamar memiliki
kewenangan membentuk undang-undang, maka terdapat
perbedaan kategori undang-undang. 100 Pelembagaan sistem
bikameral tidak terlepas dari perluasan cakupan gagasan

98
Ibid.
99
Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral (Studi
Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), Jogjakarta, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 9-10.
100
Sebagai contoh dikemukakan bahwa berdasarkan Constitution of
South Africa Act 110 of 1983, ketiga kamar dalam parlemen memiliki
kewenangan untuk membentuk undang-undang menurut kateori apakah undang-
undang ditetapkan untuk 3 (tiga) golongan penduduk berdasarkan warna kulit
(kulit putih, berwarna, dan India), karena tiap kamar mewakili golongan tersebut.

40 | Hukum Kelembagaan Negara


demokrasi perwakilan. Pada awalnya, demokrasi perwakilan
terpancar dalam pengertian sebagai kedaulatan dewan pemilih
(electorate) dan kedaulatan badan perwakilan. Pengertian yang
terakhir ini ―mengasumsikan rakyat bukan sebagai suatu totalitas
tetapi sebagai komunitas yang majemuk.‖ 101 Demokrasi
perwakilan yang berkembang di dalamnya bukan lagi bersumber
kepada satu kekuatan yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk
pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang berkembang di dalam
masyarakat.102
Pandangan demokrasi perwakilan seperti ini tidak
mengabaikan kekuatan-kekuatan utama dalam masyarakat yang
disebut sebagai ―elit kekuasaan‖ yang sangat berpengaruh
terhadap masyarakat.103 Pengaruh kekuatan-kekuatan dominan ini
niscaya akan melahirkan kedaulatan kelompok yang secara
permanen dimiliki oleh sekelompok elit politik. Sedikit banyak,
pengaruh kekuatan dominan ini memiliki kemiripan dengan
gagasan kedaulatan raja yang menunjukkan adanya superioritas
yang dimiliki oleh seorang raja atau segelintir bangsawan.104
Dalam konfigurasi pemikiran semacam itu, demokrasi tidak
dipandang sebagai representasi dari kehendak rakyat yang bersifat
monistik dan memiliki totalitas yang mengasumsikan orang per
101
Lahirnya paham kemajemukan komunitas berakar dari perkembangan
ajaran filsafat pragmatisme yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat.
Periksa soal ajaran ini dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum: Apakah Hukum
Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, 1993, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 180; dan
Moctar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan
Nasional, Bandung, Penerbit Binacipta, hlm. 9.
102
Lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan
Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press, hlm.
33.
103
Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, hlm. 61-63.
104
Aidul Fitriciada Azhari, op.cit., hlm. 33.

Hukum Kelembagaan Negara | 41


orang secara individualistik, tetapi lebih kepada representasi
kelompok-kelompok yang berkembang di dalam masyarakat. 105
Hal ini dikonfirmasi oleh Mac Iver yang mengatakan bahwa esensi
demokrasi tidak terletak pada kemurniaannya dalam
merepresentasikan kehendak rakyat sebagaimana yang
dipersoalkan dalam pandangan-pandangan kedaulatan rakyat
sebagai totalitas, tetapi pada volume yang merepresentasikan
kekuatan mayoritas. 106 Artinya, kedaulatan rakyat dipandang
sebagai kehendak rakyat yang merupakan resultan dari
pertimbangan-pertimbangan kelompok dominan dalam
masyarakat. Argumen ini menunjukkan corak pemikiran
demokrasi perwakilan dengan sifat pluralis dan bukan totalitas.
Sifat pluralis dilembagakan dalam substansi perwakilan
yang menunjukkan perkembangan yang timbul dari kondisi
masyarakat industri yang mengalami pembagian kerja yang
spesifik. Inilah yang dikenal sebagai perwakilan industrial yaitu
perwakilan berdasarkan golongan-golongan ekonomi dan
pekerjaan. Perwakilan industrial ini merefleksikan kekuatan-
kekuatan kolektif yang terbentuk berdasarkan kepentingan
ekonomi dan pekerjaan yang tumbuh dalam masyarakat
industri.107
Perwakilan industri ini pada dasarnya melengkapi
perwakilan politik individual, yang pada dasarnya juga
menunjukkan perkembangan perwakilan lain dalam pertumbuhan
parlemen di Eropa. Dalam konteks pertumbuhan parlemen
tersebut, selain perwakilan individual, telah pula dikenal
perwakilan golongan, yaitu golongan bangsawan dan gereja. 108

105
Ibid., hlm. 34.
106
Mac Iver, 1984, Negara Modern (Terjemahan), Jakarta, Penerbit Bina
Aksara, hlm. 180-181.
107
Aidul Fitriciada Azhari,., op.cit hlm. 96-97.
108
Ibid., hlm. 97.

42 | Hukum Kelembagaan Negara


Bentuk perwakilan ini sekarang tetap dipertahankan dalam sistem
2 (dua) kamar di negara-negara yang berbentuk monarki seperti
House of Lords di Inggris. 109 Dengan demikian, perwakilan
golongan tidak semata-mata berdasarkan fungsi industrial tetapi
berdasarkan kekuatan nyata yang ada dalam masyarakat seperti
berdasarkan agama atau keturunan (kebangsawanan, suku, atau
rasa).
Perwakilan teritorial merupakan jenis perwakilan lain yang
berkembang sejak lama. Perwakilan ini lahir untuk
merepresentasikan kepentingan komunitas di suatu unit geografis
tertentu dalam wilayah suatu negara. Dengan adanya
pengorganisasian atas wilayah-wilayah negara ke dalam daerah-
daerah atau negara-negara bagian, maka timbul kebutuhan akan
perwakilan atas kepentingan rakyat di teritorial tersebut. Dengan
adanya perwakikan ini, dimaksudkan untuk mempertahankan
keberadaan teritorial di dalam wilayah suatu negara.110 Perwakilan
teritorial ini yang cenderung dilembagakan ke dalam struktur
organisasi parlemen, seperti adanya Senat di Amerika Serikat.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa lahirnya
aneka ragam perwakilan, yaitu perwakilan politik yang bersifat
individual, kemudian perwakilan golongan (industrial dan
kelompok riil dalam masyarakat), serta perwakilan teritorial yang
mendorong pelembagaan organisasi parlemen menjadi lebih dari
satu kamar. Adapula, seperti sudah disinggung sebelumnya seperti
di Afrika Selatan (1983), struktur parlemennya menunjuk kepada
perwakilan politik, perwakilan golongan (penduduk), dan
perwakilan teritorial.
Dengan asal usul seperti, maka ada yang secara leksikal
mendefinisikan sistem bikameral sebagai a term applied by
Jeremy Bentham to the division of legislative body into two

109
Bambang Cipta, op.cit., hlm.
110
Krannenburg, 1981, Ilmu Negara Umum, jakarta, Pradnya Paramita,
hlm. 127-132.

Hukum Kelembagaan Negara | 43


chamber. 111 Atau seperti yang diungkapkan oleh Vernon
Bogdanor, bahwa sistem bikameral menunjukkan adanya Second
Chamber, yang mana historically second chambers are rooted in
the medieval idea of representation of orders or ESTATES. The
various social orders were considered to require representation in
different methods of selection.112
Dengan demikian, sistem bikameral mengenal struktur First
Chamber (Kamar Pertama) atau Lower House (Majelis Rendah),
yang mencerminkan sifat perwakilan politik individiual, yang
sebagian besar dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat dengan
istilah National Council (Prancis), House of Common (Inggris),
dan Bundestag (Jerman). Kemudian struktur berikutnya adalah
Second Chamber (Kamar Kedua) atau Upper House (Majelis
Tinggi) yang dikenal dengan variasi nama yang bermacam-
macam, seperti House of Lords di Inggris, Council of State di
Swedia, Bundesraat di Jerman, Dewan Negara di Malasyia dan
sebagainya.113

B. Evolusi Parlemen di Indonesia


1. Sebelum Perubahan UUD 1945
Pembicaraan mengenai parlemen di Indonesia pada masa ini
diawali dengan pemahaman mengenai Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam

111
Henry Campbell Black, 1991, Black‘s Law Dictionary: Definition of
the Terms and Phrases and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, 6th
Edition, Minnesota: West Group, hlm. 111.
112
Vernon Bogdanor, 1991, The Blackwell Encyclopedia of Political
Science, Massachusetts, T.J. Press Ltd., hlm. 555.
113
Kata ―rendah‖ dan ―tinggi‖ tidak menunjukkan relatifitas kekuasaan,
karena kadang-kadang Dewan Perwakilan Rakyat yang dinisbatkan sebagai
Majelis Rendah mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Senat sebagai Majelis Tinggi, atau kadang-kadang keduanya mempunyai
kekusaan formal yang nyaris sederajat satu sama lain dalam isu tertentu.

44 | Hukum Kelembagaan Negara


naskah asli UUD 1945 dikaitkan dengan kedaulatan rakyat, di
mana diatur bahwa, ―Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat‖
(Pasal 1 ayat [2] UUD 1945). Selanjutnya Penjelasan UUD
1945 114 mengenai Bab II Pasal 2 berbunyi, ―Maksudnya ialah
supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan
mempunyai wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul-
betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat.‖ Kemudian Penjelasan
UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara angka III butir
3 mengatakan, ―Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gezamte Staatgevalt Liegt
allei bei der Majelis).‖
Dengan demikian, UUD 1945 menempatkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara yang
memiliki kekuasaan negara yang tertinggi. Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga negara tertinggi
yang melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat dan secara
eskplisit tertulis bahwa Majelis adalah penjelamaan seluruh rakyat
Indonesia.115

114
Penjelasan UUD 1945 merupakan isu yang kontroversial karena oleh
the founding fathers tidak pernah ditetapkan dalam proses awal kelahiran
konstitusi kita. Ia dibuat sebagai pendapat pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian
dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun I No. I/1946. Bukan hanya
bagaimana kekuatan hukum penjelasan tersebut yang tidak lazim dalam praktik
pembuatan konstitusi, tetapi juga karena Penjelasan dianggap membuat norma
tersendiri dibandingkan ketentuan dalam UUD 1945. Penjelasan UUD 1945
dianggap bagian tak terpisahkan dari UUD 1945 setelalah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yang kemudian terus menerus dikukuhkan oleh Orde Baru sebagai materi
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), suatu praktik
indoktrinasi untuk menyeragamkan ―tafsir‖ Pancasila sesuai dengan keinginan
penguasa. Setelah Perubahan UUD 1945, Penjelasan dihapus dan hal-hal yang
mengandung norma hukum dirumuskan sebagai bagian ketentuan Pasal-Pasal
dalam konstitusi.
115
Lihat juga Ismail Sunny, 1986, Mekanisme Demokrasi Pancasila,
Jakarta, Penerbit Bina Aksara.

Hukum Kelembagaan Negara | 45


Ada 2 (dua) tafsir mengenai kata ―sepenuhnya‖ tersebut.
Pertama, ia merujuk kepada pengertian kedaulatan rakyat, yang
berarti kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat kemudian diserahkan
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan menjadi
pelaku pelaksana dalam mekanisme kenegaraan. 116 Kedua, ia
merujuk kepada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat itu
sendiri, sehingga dalam hal ini berarti lembaga ini yang
merupakan satu-satunya lembaga yang melakukan kedaulatan
rakyat.117 Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa setelah
lembaga ini terbentuk, maka ia yang menjadi pemegang
kedaulatan rakyat (legal soverignty) itu secara hukum (Volonte
generale).118
Oleh karena keanggotannya dalam jumlah cukup besar,
maka untuk proses selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat
menyerahkan mandat lagi kepada lembaga tinggi negara di
bawahnyauntuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan yang
diterima oleh rakyat. Kepada siapa mandat itu diserahkan
kembali? Dalam referensi hukum tata negara ada 4 (empat)
pendapat. Pertama, kedaulatan Majelis Permusyawaratan Rakyat
itu diserahkan kepada lembaga-lembaga Presiden selaku
Mandataris, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

116
Riri Nazriyah, 2007, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan
Prospek di Masa Depan, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 37-38.
117
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Penerbit UII
Press, hlm. 23-24.
118
Artinya, secara hukum kedaulatan rakyat tidak melulu disalurkan
melalui Majelis, akan tetapi dapat disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan
hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan
informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat, serta hak asasi
lainnya yang dijamin dalam undang-undang dasar. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, ―Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945‖, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar, Bali, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
14-18 Juli 2003, hlm. 2.

46 | Hukum Kelembagaan Negara


Badan Pemeriksa Keuangan. 119 Kedua, kedaulatan yang dimiliki
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dibagikan secara vertikal
kelima negara tinggi yang lain yaitu Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
Dewan Pertimbangan Agung. 120 Ketiga, kedaulatan rakyat yang
berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat ―dialirkan‖ kepada
Presiden melalui mandat yang diberikannya. 121 Keempat,
kedaulatan yang berada di tangan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat itu dalam
pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, dan Keputusan Majelis
permusyawaratan Rakyat. Artinya, kedaulatan rakyat itu dalam
praktik tidak terwujud dalam institusi, melainkan dalam hukum. 122
Aneka rupa tafsir akademik mengenai kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dikaitkan dengan kedaulatan rakyat
mengemuka karena tidak dapat diketahui secara pasti, dasar
pemikiran membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat yang terpisah. Ada yang
mengkaitkan dengan Soviet Sosialis (Union of Soviet Socialist
Republic). Ada juga yang membandingkan dengan Kongres
Rakyat Nasional (National People‘s Congress) di Tiongkok. 123

119
Lihat dalam Padmo Wahyono, 1982, Negara Republik Indonesia,
Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 117-118.
120
Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan
121
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis
terhadap Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Pelita I-Pelita
V, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm.
122
Sri Sumantri M., 2007, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 138.
123
Lihat Bagir Manan, Politik dan Teori Konstitusi, op.cit., hlm. 51.

Hukum Kelembagaan Negara | 47


Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, nama Majelis Permusyawaratan
Rakyat tidak muncul original dalam penyusunan UUD 1945, tetapi
diusulkan oleh Tan Malaka sebagai ―badan revolusi‖ yang
mewakili seluruh rakyat, yang diilhami oleh Majelis Nasional
(National Assembly) di Prancis. Badan ini bukan berkedudukan
sebagai badan perwakilan.124
Menurut pendapat penulis, dikaitkan dengan prinsip
permusyawaratan/perwakilan, sistem konstitusi, dan wawasan
negara hukum, serta memperhatikan tradisi ketatanegaraan
Indonesia asli (terutama yang berkembang di Sumatera Barat
dengan lembaga kerapatan nagari),yang dirumuskan dan
mempengaruhi praktik penyusunan UUD 1945 maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga perwakilan.
Dengan prinsip prinsip yang dikemukakan di muka, maka sebagai
lembaga perwakilan, ia tidak memenag kekuasaan tanpa
pembatasan, tetapi dibatasi oleh UUD 1945 itu sendiri. Kemudian,
praktik penyelenggaraan fungsi kedaulatan rakyat itu
didistribusikan kepada lembaga negara yang ditetapkan UUD
1945, termasuk kepada Presiden. Dengan demikian, secara
ekstensif, bukan hanya Presiden yang bersifat sebagai Mandataris,
tetapi juga Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa
Keuangan, Dewan Pertimbangan Agung, dan Mahkamah Agung,
yang wajib tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat.125

124
Tan Malaka, 2000, Menuju Indonesia Merdeka, Jakarta, Penerbit
Komunitas Bambu, hlm. 57 dan Bagir Manan, Politik..., op.cit., hlm. 54.
Perkembangan di Prancis juga menunjukkan bahwa setelah tahun 1959, Majelis
Nasional berkembang menjadi dewan perwakilan yang berciri bikameral. Riri
Nazriyah, op.cit., hlm. 56.
125
Memang praktik di Orde Baru, yang cikal bakalnya dimulai pada
tahun 1960 ketika dibentuk oleh Presiden Soekarno Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara, menunjukkan hanya Presiden yang diberi cap sebagai
mandataris. Tetapi, setelah Pemilu 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menggelar Sidang Tahunan sejak tahun 2000, di samping sidang umum dan

48 | Hukum Kelembagaan Negara


Dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) ditentukan
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-
utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai suatu lembaga
perwakilan, susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat secara
demikian meliputi unsur perwakilan politik-individual (anggota
Dewan Perwakilan Rakyat), kemudian perwakilan fungsional yang
mencerminkan masyarakat industrial (Utusan Golongan), dan
perwakilan teritorial guna menjamin kepentingan daerah agar
tidak terabaikan dalam keputusan nasional (Utusan Daerah).
Dengan kontur seperti ini, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat
benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat,
sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi (supreme).126
Timbul pertanyaan, bagaimana pengisian jabatan anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat? Semenjak awal, UUD 1945
tidak pernah mengatur masalah ini, meskipun kemudian di dalam
praktik dipahami bahwa untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat
harus dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, sedangkan
Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak harus dipilih,
melainkan cukup diutus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan golongan-golongan yang akan diwakili.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959127, Presiden Soekarno
menetapkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang

sidang istimewa, yang salah satunya adalah mendengarkan laporan pelaksanaan


tugas semua lembaga negara.
126
Jimly Asshiddiqie, 2003, Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit FH UII Press,
hlm. 40.
127
Dekrit Presiden merupakan keputusan yang ditetapkan Presiden
Soekarno untuk (i) membubarkan konstituante; (ii) pemberlakuan kembali UUD
1945; dan (iii) membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Ia
dipandang sebagai keputusan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,
tetapi mempunyai legalitas atas dasar hukum tata negara darurat yang subyektif

Hukum Kelembagaan Negara | 49


Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 128 .
Disebutkan dalam penetapan tersebut bahwa: (i) Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong ditambah dengan utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan; (ii) Jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditetapkan oleh
Presiden; (iii) Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-
golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya;
(iv) Anggota tambahan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah
menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dikuasakan oleh
Presiden; dan (vii) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
mempunyai seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang
diangkat oleh Presiden. Untuk melengkapi pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut kemudian ditetapkan
Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 mengenai susunan Utusan
Daerah dan Utusan Golongan. Keseluruhan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara meliputi 551 orang, yang
terdiri atas 257 orang wakil-wakil politik (46,4%), 94 orang
Utusan Daerah (17,06%), dan 200 Utusan Golongan (36,30%).
Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang
merupakan parlemen hasil pemilihan umum tahun 1955

(subyektief staatsnoodsrecht), yang berlaku sekali selesai (einmaligh). Mengenai


latar belakang dan kontroversi Dekrit Presiden lihat dalam Adnan Buyung
Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-
Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan &
Eka Tjipta Foundation, hlm. Tinjauan mengenai aspek normatif Dekrit Presiden
baca: A. Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm. 267-268.
128
Penetapan Presiden merupakan legislasi yang dianggap setara dengan
Undang-Undang dan ditetapkan dalam rangka melaksanakan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Lihat Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No.
2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959 dan No. 3639/HK/1959 tanggal 16
November 1959. Lihat dalam A. Hamid S. Attamimi, ibid., hlm. 261.

50 | Hukum Kelembagaan Negara


dibubarkan oleh Presiden dengan Penetapan Presiden No. 1 Tahun
1959. Untuk mencegah kekosongan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, kemudian ditetapkan
Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Penetapan itu mengatur
bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, selain
meliputi wakil-wakil golongan politik juga diangkat dari golongan
karya dan ditambah 1 (satu) orang wakil Irian Barat.
Setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada
Soeharto, kemudian ditetapkan UU No. 10 Tahun 1966 tentang
Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Seperti disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, ―Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diatur berdasarkan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dalam undang-undang ini
tetap diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,
menjalankan tugas dan wewenangnya menurut UUD 1945 sampai
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara hasil pemilihan
umum menjalankan tugas dan wewenangnya.‖
Menurut UU No. 10 Tahun 1966, susunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 4 dapat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah
yang belum mempunyai wakil. Wakil-wakil dari daerah-daerah itu
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan
dengan cara yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setelah dilaksanakan Pemilihan Umum pada 1971129, pada
tanggal 28 Oktober 1972 untuk pertama kalinya Majelis

129
Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XI/MPRS/1966, seharusnya pemilihan umum dilaksanakan pada tahun 1968.
Akan tetapi, karena kuatnya pergumulan antaar Pemerintah dengan partai-partai
dalam membicarakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dan
komposisi Dewan Perwakilan Rakyat, maka undang-undang tersebut tidak dapat
diselesaikan tepat waktu sehingga pemilihan umum ditunda sampai Juli 1971.
Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Press, hlm. 214 dan 241-244.

Hukum Kelembagaan Negara | 51


Permusyawaratan Rakyat dilantik. Pembentukan lembaga ini
mengacu kepada UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang
menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah,
Golongan Politik, dan Golongan Karya. Jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dua kali jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (460 orang) sehingga mencapai 920
orang. Susunannya mencakup: (i) 360 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah 100 orang
diangkat oleh Presiden (75 Golongan Karya Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan 25 Golongan Karya Bukan Angkata
Bersenjata Republik Indonesia; (ii) Utusan Daerah meliputi
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Panglima Komando Daerah
Militer, dan Komandan Resort Militer, seluruhnya berjumlah 130
orang; (iii) Utusan Golongan Partai Politik (10 partai politik
peserta pemilihan umum sebanyak 350 orang); (iv) Utusan
Golongan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (155 orang);
(v) Utusan Golongan Karya Bukan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (sebanyak 52 orang).130

Ketika membahas rancangan undang-undang tentang pemilihan umum,


juga terjadi ketidaksepakatan diantara anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
khususnya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan distrik atau proporsional.
Di satu pihak pemerintah menginginkan sistem distrik, sebab di bawah sistem ini
rakyat lebih bisa mencalonkan pemimpin-pemimpin baru pilihan mereka sendiri
daripada yang diwakili oleh pemimpin-pemipin partai yang sudah ditetapkan. Di
lain pihak, partai-partai politik lebih memilik proporsional sekalipun juga
berbeda pendapat mengenai proporsi diantara wakil-wakil Jawa dan luar Jawa,
juga anggota-anggota yang diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Lihat dalam Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik
Islam: Golkar di Era Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama, hlm.
106.
130
Baca juga Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, 1968, Pemilu 1971,
Jakarta, Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, hlm. 14-15.

52 | Hukum Kelembagaan Negara


Dari komposisi di atas, maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat memiliki 920 anggota, di mana 460 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat secara otomatis, sisanya berasal dari utusan
daerah dan utusan golongan yang diangkat oleh Presiden. Dengan
komposisi itu, para pengamat menyebut MPR sebagai ―demokrasi
40%.‖131
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat tidak dipisahkan, hanya saja untuk
komposisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah
satu orang dari unsur Utusan Daerah. Tidak jelas benar mengapa
kedua jabatan itu tidak dipisahkan, kecuali spekulasi yang
mengatakan bahwa pemerintah tidak menghendaki kepemimpinan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kuat seperti era Abdul
Haris Nasution sebelumnya.132
Pada pemilihan umum berikutnya, dalam rangka mengisi
susunan keanggotaan lembaga perwakilan, hanya diikuti oleh 3
(tiga) kontestan yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan
Pembangunan 133 , dan Partai Demokrasi Indonesia. 134 Pemilihan

131
Lihat Makrum Kholil, op.cit., hlm. 116.
132
Lihat dalam A.M. Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun
Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta,
Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 51-54 dan Aisyah Amini, 2004, Pasang
Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Jakarta, Penerbit Yayasan Pancur Siwah dan
PP Wanita Islam, hlm. 213, 225-227 dan 256-257.
133
Bahasan mengenai partai ini, misalnya Syamsuddin Haris, 1991, PPP
dan Peta Politik Orde Baru, Jakarta, Penerbit Grasindo dan Umaidi Radi, 1984,
Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat
Nasional, Jakarta, Penerbit Integrita Press. Keterkaitan eksistensi partai ini
dengan isu negara dan Islam (politik) dapat dibaca antara lain: Masykuri
Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1986-1993), Jogjakarta, Penerbit Tiara
Wacana; Taufik Abdullah, 1987, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah
Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES; Bachtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Paramdina; M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Politik Islam,

Hukum Kelembagaan Negara | 53


umum selama Orde Baru menempatkan Golongan Karya
menguasai mayoritas kursi parlemen. 135 Komposisi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berjumlah 360 orang dipilih dan 100
orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diangkat
(hasil pemilihan umum 1971, 1977, 1982), 400 orang dipilih dan
100 orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diangkat
(hasil pemilihan umum tahun 1987 dan 1992), dan 425 orang
dipilih dan 75 orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
yang diangkat (hasil pemilihan umum tahun 1997).
Selama Orde Baru, cara penentuan jumlah kursi yang
diperebutkan untuk setiap daerah pemilihan adalah penentuan
harga setiap 1 kursi dengan 400.000 suara dan jumlah Daerah
Tingkat II 136 untuk setiap daerah pemilihan. Berdasarkan
ketentuan UU No. 15 Tahun 1969 Pasal 5, 6, 23, dan Penjelasan

Jogjakarta, Tiara Wacana; dan Deliar Noer, 2000, Partai Islam di Pentas
Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965,
Bandung, Penerbit Mizan.
134
Soal PDI periksa misalnya Adriana Elizabeth, dkk, 1983, PDI dan
Prospek Pembangunan Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali.
135
Yaitu 62,11 % (1977), 64,34%(1982), 73,16% (1987), 68,10% (1992),
dan 74,51% (1997). Cukup banyak literatur dan referensi yang membahas
peranan Golongan Karya dalam masa Orde Baru, seperti: Imam Pratignjo, 1984,
Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan Karya Perjuangan Menegakkan Kembali
Negara Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, Penerbit Jajasan Bhakti; Sofyan Lubis,
dkk, 1994, 30 Tahun Golongan Karya, Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat
Golongan Karya; M. Irsyad Sudiro, 1998, Partai Golkar Menatap Masa Depan,
Jakarta, Penerbit Yappindo; Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik Islam:
Golkar di Era Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama; dan Akbar
Tanjung, 2007, Golkar Way: Survival Partai Gokar di Tengah Turbelensi Era
Transisi, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
136
Menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, satuan pemerintahan di daerah (bukan ―pemerintah daerah‖ karena
ketentuan undang-undang menitikberatkan asas dekonsentrasi), meliputi Propinsi
Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Jadi ada otonomi
bertingkat.

54 | Hukum Kelembagaan Negara


Umum butir 4, penetapan jumlah kursi untuk setiap daerah
pemilihan pertama-tama didasarkan pada jumlah Daerah Tingkat
II, barulah kemudian (jika hasil jumlah penduduk dibagi 400.000
melebihi jumlah Daerah Tingkat II) penetapan itu dilakukan
dengan perhitungan setiap 400.000 penduduk diwakili oleh satu
kursi di lembaga perwakilan. Dalam pandangan Moh. Mahfud
M.D., cara penentuan yang demikian menyebabkan potensinya
terjadinya underrepresentation dan over representation.137
Sebagai contoh pada Pemilihan Umum Tahun 1992, jatah
kursi untuk Sulawesi Selatan adalah 23 kursi, sedangkan Sumatera
Utara adalah 22 kursi. Padahal penduduk Sumatera Utara lebih
banyak dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi
karena melalui perhitungan sesuai dengan undang-undang yang
didasarkan kepada jumlah Daerah Tingkat II. Sumatera Utara
mempunyai 17 Daerah Tingkat II dengan jumlah penduduk yang
lebih besar hasil perkalian antara 17 dan 400.000, sehingga
mendapatkan tambahan kursi dari kelebihan itu sebanyak 5 kursi.
Sedangkan Sulawesi Selatan memiliki 23 Daerah Tingkat II
dengan jumlah penduduk lebih kecil dari perkalian 23 dan 400.000
sehingga kursi untuk Sulawesi Selatan cukup didasarkan kepada
jumlah Daerah Tingkat II. Dengan demikian, Sulawesi Selatan
mengalami over representation dan Sumatera Utara mengalami
under representation.
Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan
berhenti dan kemudian Wakil Presiden mengucapkan sumpah di
Istana Negara untuk menduduki jabatan sebagai Presiden. 138

137
Ibid., hlm. 248-249.
138
Presiden Soeharto sendiri secara pribadi tidak pernah menjelaskan
alasan-alasan pasti pengunduran dirinya tersebut. Naiknya Habibie sebagai
Presiden, sekalipun secara normatif dianggap konstitusional merujuk kepada
Pasal 8 UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
VII/MPR/1973 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
III/MPR/1978, memancing perdebatan legitimasi karena sebagian kalangan,
termasuk akademisi hukum seperti Dimyati Hartono, menganggapnya tidak sah.

Hukum Kelembagaan Negara | 55


Situasi itu dianggap sebagai puncak dimulainya Orde Reformasi,
yang merupakan kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan
sebelumnya. Setelah konsultasi antara Presiden Habibie dengan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, maka kedua lembaga
sepakat untuk mengadakan Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada November 1998.
Selama kurun waktu tersebut, Presiden Habibie telah
menetapkan penggantian susunan keanggotaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan komposisi baru dalam 6(enam)
gelombang, yaitu tanggal 1 Juli 1998, 24 Juli 1998, 13 Agustus
1998, 14 Oktober 1998, dan 7 November 1998. Penggantian itu, di
samping untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri,
juga untuk menampik tudingan adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme pada lembaga tertinggi negara tersebut.139
Setelah Sidang Istimewa pada 13 November 1998, telah
ditetapkan 12 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
diantaranya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
XIV/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang memerintahkan
agar pemilihan umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999.
Untuk itu kemudian dibentuk UU No. 2 Tahun 1999 tentang

Setelah penegasan Ismail Sunny, guru besar hukum tata negara Universitas
Indonesia dan ahli hukum senior, maka perdebatan tersebut menjadi reda.
Presiden Habibie tidak pernah dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam suatu persidangan, karena ia mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan
Mahkamah Agung di Istana Negara, karena situasi darurat di mana gedung
parlemen saat itu diduduki oleh aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa.
139
Setelah Pemilihan Umum 1992, putra putri Presiden Soeharto, yaitu
Siti Hardiyanti Indra Rukmana, Bambang Trihatmodjo, dan Hutomo Mandala
Putra aktif di Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, yang kemudian
menhantarkan mereka menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
berlanjut pada pasca pemilihan umum tahun 1997. Di samping itu banyak putra
dan putri pejabat negara yang menjadi anggota parlemen seperti Uga Wiranto da
Amalia Wiranto (isteri dan putri Jenderal Wiranto, yang kemudian menjadi
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sebagainya. Setelah
reformasi, banyak diantara mereka yang kemudian mengundurkan diri.

56 | Hukum Kelembagaan Negara


Pemilihan Umum, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Partai Politik,
dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan Umum itu sendiri
dapat dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dengan diikuti oleh 48 partai
politik.
Dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1999, ditetapkan
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebanyak 700
orang, dengan rincian 500 orang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, 135 orang Utusan Daerah dari setiap Daerah Tingkat I,
dan Utusan Golongan sebanyak 65 orang. Di samping itu juga
keanggotaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang
kemudian menjadi Tentara Nasional Indoensia dan Kepolisian
Republik Indonesia140, dipertahankan dengan jumlah 38 anggota.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 45 (Ketentuan Peralihan)
UU No. 4 Tahun 1999, susunan keanggotaan Utusan Golongan
tidak lagi ditentukan secara eksklusif oleh Presiden akan tetapi
melalui prosedur sebagai berikut. Pertama, Komisi Pemilihan
Umum 141 menetapkan jenis dan jumlah wakil golongan. Kedua,

140
Pada 1 April 1999, Presiden Habibie memutuskan kepolisian
dipisahkan dari militer, dan nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
diubah kembali (sejak 1959) menjadi Tentara Nasional Indonesia. Untuk
sementara waktu, kepolisian di bawah Departemen Pertahanan dan Kemamanan,
dan mulai 2000, langsung di bawah Presiden dengan dipimpin oleh seorang
kepala kepolisian.
141
Salah satu pembaruan kelembagaan pemilihan umum adalah
penyelenggara pemilihan umum dari yang semula Lembaga Pemilihan Umum
(yang didominasi oleh birokrat Departemen Dalam Negeri dan Kejaksaan
Agung), menjadi Komisi Pemilihan Umum yang mencakup perwakilan 48
anggota dari unsur partai politik yang lolos mengikuti pemilihan umum dan 5
orang wakil pemerintah (Andi Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Adi
Andojo Sutjipto, Djohermansyah Djohan, dan Anas Urbaningrum). Untuk
pertama kali, Komisi yang independen ini dipimpin oleh Rudini, purnawirawan
militer yang populis dan pernah menjadi Menteri Dalam Negeri (1988-1993),
yang mana merupakan wakil dari Partai Musyawarah Keluarga Gotong Royong
(sempalan induk organisasi Golongan Karya) pimpinan H.R. Mien Sugandhi,

Hukum Kelembagaan Negara | 57


masing-masing golongan mengajukan usul kepada Komisi
Pemilihan Umum dan ditetapkan secara resmi. Ketiga, menurut
daftar yang diajukan Komisi Pemilihan Umum, Presiden
menetapkan utusan golongan yang bersangkutan sebagai anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Namun pemilihan golongan-golongan yang ditentukan oleh
Komisi Pemilihan Umum menimbulkan persoalan, karena untuk
menentukan golongan mana saja yang berhak mendapat kursi di
Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika itu, sangat alot, sehingga
harus dilakukan voting yang akhirnya ditetapkan sebanyak 65
(enampuluh lima) organisasi yang berhak menempatkan wakilnya.
Sementara itu, undang-undang menetapkan bahwa Utusan
Daerah merupakan tokoh masyarakat yang dianggap dapat
membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerahnya, yang
mengetahui dan mempunyai wawasan serta tinjauan yang
menyeluruh mengenai persoalan negara pada umumnya dan yang
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dalam
rapat paripurna (Pasal 1 angka 4). Keseluruhan anggota Utusan
Daerah dalam periode ini mencapai 65 orang. Dalam Peraturan
Tata Tertib, Utusan Daerah tidak dikelompokkan ke dalam fraksi
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perlu juga dicatat, bahwa untuk dapat ditetapkan sebagai
Utusan Daerah, undang-undang tidak pernah mensyaratkan adanya
keharusan asal daerah atau keterkaitan daerah bagi anggotanya.
Artinya, setiap warganegara dapat menjadi Utusan Daerah untuk
daerah tertentu asal memenuhi persyaratan. Akibatnya, orientasi
Utusan Daerah menjadi cenderung kepada partai politik, bukan
kepada kepentingan daerah.142

mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1993-1998). Perempuan ini


adalah suami Brigjen (Purn.) H.R. Sugandi, mantan ajudan Presiden Soekarno
yang kemudian untuk pertama kali memimpin kelompok Musyawarah Keluarga
Gotong Royong pada dekade 1960-an.
142
Lihat Efriza dan Syafuan Rozi, op.cit., hlm. 109.

58 | Hukum Kelembagaan Negara


Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-
2004 dipilih oleh anggota pada tanggal 3 Oktober 1999 oleh 650
anggota. Sebagai Ketua, terpilih Amien Rais (Fraksi Reformasi),
yang didampingi oleh 7 (tujuh) orang wakil ketua, masing-masing
Kwik Kian Gie (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan),
Ginanjar Kartasasmita (Fraksi Partai Golongan Karya), H.M.
Husnie Thamrin (Fraksi Utusan Golongan), Matori Abdul Jalil
(Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa), Hari Sabarno (Fraksi Tentara
Nasional Indonesia/Polri), Jusuf Amir Faisal (Fraksi Partai Bulan
Bintang), dan H.A. Nazri Adlani (Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan). Dalam perkembangan selanjutnya, karena
diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri
Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie
digantikan oleh Sutjipto.
Jika dicermati, komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil pemilihan umum tahun 1999 sebenarnya tidak berbeda
dengan selama Orde Baru, hanya ada perbedaan jumlah dan tata
cara pengisian jabatannya, khususnya untuk Utusan Daerah dan
Utusan Golongan. Namun komposisi tersebut membuat susunan
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ada 2 (dua), yaitu
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Majelis yang bukan
anggota Dewan, yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Artinya, seolah-olah ada 2 (dua) lembaga perwakilan rakyat, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Komposisi itu juga tidak dapat disebut multikameral, karena
tidak menampakkan parlemen dengan struktur demikian, yang ada
kelembagaan secara efektif dalam susunan parlemen. Dapat dilihat
bahwa Utusan Daerah tidak pernah berfungsi efektif karena pada
satu tidak dipilih dan tidak berkategori sebagai fraksi, juga di sisi
lain tidak memiliki kesinambungan tugas melainkan semata-mata
menjalankan kekuasaannya sebagai anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang bukan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.

Hukum Kelembagaan Negara | 59


Kemudian Utusan Golongan juga mempunyai minimal 3
(tiga) persoalan mendasar sebagai berikut. Pertama, selama ini
Utusan Golongan tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan
melalui pengangkatan, yang selama Orde Baru menjadi kekuasaan
eksklusif dari Presiden. Setelah Pemilihan Umum Tahun 1999,
Utusan Golongan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, yang
berarti seakan-akan menempatkan komisi pada posisi yang sejajar
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, asal muasal Utusan
Golongan, misalnya dari unsur organisasi profesi seperti artis dan
cendekiawan misalnya, yang secara individual telah memilih
wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga, ada kesulitan
untuk menetapkan siapa saja golongan yang berhak mengirimkan
wakilnya ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebab definisi
golongan selalu menjadi polemik tiap kali akan menetapkan siapa
wakilnya.
Sisi lain yang penting untuk dikemukakan lainnya adalah
dalam periode ini Majelis Permusyawaratan Rakyat telah
melaksanakan Perubahan UUD 1945. Perubahan itu dilaksanakan
dalam 4 (empat) tahap pengambilan keputusan dalam kurun waktu
1999-2002 yaitu: (i) Perubahan Pertama UUD 1945, ditetapkan
dalam Sidang Umum tanggal 14-21 Oktober 1999; (ii) Perubahan
Kedua UUD 1945, yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan tanggal
7-18 Agustus 2000; (iii) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang
ditetapkan dalam Sidang Tahunan tanggal 1-9 November 2001;
dan (iv) Perubahan Keempat UUD 1945, yang ditetapkan dalam
Sidang Tahunan tanggal 1-11 Agustus 2002.
Salah satu materi yang menjadi perubahan konstitusi
tersebut adalah reposisi dan refungsionalisasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Penguatan kelembagaan lembaga
perwakilan merupakan isu strategis dan menjadi bagian dari
reformasi politik untuk membangun sistem yang lebih demokratis.
Kontestasi usulan pakar dan masyarakat sipil sehubungan
dengan penguatan lembaga perwakilan, terutama dikaitkan dengan
struktur dan komposisi Majelis Permusyawaratan mencerminkan 5

60 | Hukum Kelembagaan Negara


(lima) pokok pikiran sebagai berikut. Pertama, pelembagaan
demokrasi perwakilan tidak cukup hanya Dewan Perwakilan
Rakyat saja, karena dianggap tidak mungkin menampung aspirasi
rakyat seluruhnya, khususnya aspirasi daerah yang mengandung
nilai-nilai politik, sosial, dan kultural. Kedua, pelembagaan
perwakilan harus memperhatikan aspirasi daerah sehingga dapat
terwakili secara efektif di tingkat nasional. Ketiga, perlunya
dilakukan restrukturisasi format Majelis Permusyawaratan Rakyat
di mana tidak boleh lagi ada anggota yang diangkat dan semua
harus dipilih dalam pemilihan umum. Keempat, perlunya
refungsionalisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
lembaga perwakilan, yang harus terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kelima,
pelembagaan perwakilan harus mencerminkan sistem bikameral.
Dengan demikian, berbagai pendapat tersebut mengerucut
kepada pembentukan sistem bikameral dengan mengedepankan
semangat ―semua harus dipilih.‖ Tidak dijelaskan mengapa
semangat itu yang dikemukakan dan tidak semangat ―semua harus
terwakili.‖ Demikian juga tidak ada elaborasi lebih lanjut
mengenai sistem bikameral dibandingkan dengan sistem yang ada
pada waktu itu, sekaligus tidak ada ketegasan bagaimanakah
susunan lembaga perwakilan itu akan dikonstruksikan. Apakah
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan joint-session dengan
mencontoh Kongres di Amerika Serikat, antara Dewan Perwakilan
Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah; ataukah merupakan
kelembagaan tersendiri diantara kedua lembaga perwakilan yang
lain, ataukah justru akan dihilangkan baik struktur maupun
fungsinya?

2. Sesudah Perubahan UUD 1945


Pada hari Jumat, 9 November 2001 telah disetujui
Perubahan Ketiga UUD 1945, terutama pasal-pasal yang
menyangkut Dewan Perwakilan Daerah, kecuali Pasal 2 ayat (1)
UUD 1945 Bab II yang menyangkut keanggotaan Majelis

Hukum Kelembagaan Negara | 61


Permusyawaratan Rakyat.Ketentuan-ketentuan mengenai Dewan
Perwakilan Daerah yang disepakati dalam Perubahan Ketiga UUD
1945 adalah sebagaimana yang tercantum dalam Bab VIIA, Pasal
22C dan Pasal 22D sebagai berikut.

Bab VIIA Pasal 22C


(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur
dengan undang-undang.

Bab VIIB, Pasal 22D


(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-
Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.

62 | Hukum Kelembagaan Negara


(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan
agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.

Kemudian mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan


Rakyat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 baru dapat
diputuskan melalui pemungutan suara dalam Sidang Tahun
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002, menjadi rumusan
sebagai berikut.
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan
Daerah, yang dipilih melalui pemilihan umum, dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang.

Terlihat di dalam pasal tersebut, komposisi parlemen


Indonesia saat ini terdiri dari 2 (dua) majelis atau 2 (dua) kamar.
Mengenai kewenangan dan fungsi kedua majelis/kamar tersebut,
yang menurut banyak ahli dikategorikan sebagai parlemen
bikameral, kiranya masih perlu dijabarkan secara teoritis dan
komparatif. Dengan lain perkataan, apakah dengan ditetapkannya
rumusan baru komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah
Peruabahan UUD 1945 telah mencerminkan parlemen bikameral?
Bikameralisme bukanlah bacaan tunggal dalam menentukan watak
parlemen setelah Perubahan UUD 1945. Kenyataan bahwa
komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari dua

Hukum Kelembagaan Negara | 63


kelembagaan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah, dalam pandangan Komisi Konstitusi
menujukkan sistem unikameral dalam parlemen setelah Perubahan
UUD 1945. Dalam argumen Komisi Konstitusi:
Konstitusi tidak menentukan hubungan DPR-DPD sebagai
hubungan antarkamar maupun hubungan antar kelompok
anggota di bawah naungan MPR. Artinya tidak ada
hubungan antarlembaga (atau antar-kamar). Karena
demikian, MPR merupakan parlemen unikameral dengan
kenaggotaan ganda utusan partai-partai dan utusan-utusan
daerah. Kecuali soal penghapusan Utusan Golongan,
kenyataan ini tidak berubah dari kondisi pra-amandemen.
Keanggotaan MPR pra-amandemen terdiri atas anggota
DPR, utusan-utusan daerah, dan utusan golongan-
golongan (termasuk militer), namun tidak terdapat sub-
kelembagaan lain, kecuali MPR dan tidak ada hubungan
antar-kamar dalam ruang lingkup MPR tersebut. Justru,
yang ada adalah hubungan DPR dan MPR dalam
pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya.143

Pendapat lainnya mengemukakan bahwa setelah Perubahan


UUD 1945 struktur parlemen menjadi bikameral, seperti
dikemukakan oleh Dahlan Thaib dan Sofian Effendi. Menurut
Dahlan Thaib, pasca Perubahan UUD 1945 Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai lembaga negara
tertinggi, sehingga berdasarkan perubahan tersebut, maka di masa
yang akan datang dikembangkan parlemen 2 (dua) kamar yaitu
Dewan Perwakialn Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dengan
tetap mempertahankan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai

143
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004, Naskah Akademik Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta,
hlm. 54-55.

64 | Hukum Kelembagaan Negara


persidangan bersama pada dua lembaga tersebut.144 Sementara itu,
dalam pandangan Sofian Effendi, dengan berlakunya UUD hasil
amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai
pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan
dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan sebagai badan
bikameral dengan kekuasaan yang lebih besar (strong
legislative).145
Pendapat lain mengatakan bahwa sistem parlemen setelah
Perubahan UUD 1945 adalah trikameral, seperti yang
dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Menurut
Jimly Asshiddiqie, setelah Perubahan UUD 1945, parlemen terdiri
dari 3 (tiga) pilar, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah.146 Demikian
pula Bagir Manan yang mengatakan bahwa setelah Perubahan
UUD 1945 struktur parlemen terdiri dari 3 (tiga) badan perwakilan
yang mandiri. Setiap badan perwakilan itu mempunyai anggota
masing-masing dan lingkungan jabatan yang mandiri berikut
kewenangannya sendiri-sendiri, sehingga tidak dapat
147
dikategorikan ke dalam sistem 2 (dua) kamar.
Jika disarikan dan dilakukan analisis maka pendapat di atas
dapat disajikan ke dalam 3 (tiga) pokok-pokok pikiran sebagai
berikut. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa setelah
Perubahan UUD 1945, struktur parlemen Indonesia menganut
unikameral. Seperti argumen yang dibangun oleh Komisi
Konstitusi, dengan kerangka pemikiran bahwa tidak ada
kelembagaan yang lain di luar Majelis Permusyawaratan Rakyat

144
Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 8.
145
Sofian Effendi, ―Sistem Pemerintahan Kekeluargaan‖, Pidato Dies
Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Jogjakarta, 9 Oktober 2004, hlm. 6.
146
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm.
274.
147
Bagir Manan, op.cit., hlm. 5 dan hlm. 61.

Hukum Kelembagaan Negara | 65


yang mempunyai keanggotaan ganda yaitu wakil-wakil politik
(Dewan Perwakilan Rakyat) dan wakil-wakil daerah (Dewan
Perwakilan Daerah). Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
setelah Perubahan UUD 1945, struktur parlemen Indonesia
menganut bikameral, karena Majelis Permusyawaratan Rakyat
tidak lagi sebagai lembaga, sehingga hanya Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan lembaga.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa setelah Perubahan
UUD 1945, struktur parlemen Indonesia menganut trikameral.
Pijakan argumentasi adalah pandangan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan suatu lingkungan
jabatan tersendiri dan merupakan suatu lembaga negara.
Kemudian, antara pendapat yang mengatakan bahwa
struktur parlemen Indonesia menganut bikameral maupun
trikameral berangkat dari 3 (tiga) asumsi yang sama. Pertama,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tersendiri.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kewenangan
sesuai dengan fungsi dari parlemen (representative assemblies dan
deliberative assemblies). Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
masing-masing mempunyai anggota, struktur kelembagaan, dan
aturan prosedural internal sendiri-sendiri.148
Sekalipun ada perbedaan dan persamaan, akan tetapi
masing-masing pendapat itu tidak menjelaskan, ―kriteria apakah
yang digunakan untuk mengatakan bahwa masing-masing
lembaga negara itu merupakan suatu ―lembaga?‖ Atau secara
negatif, dapat juga diajukan pertanyaan, ―kriteria apakah yang
digunakan untuk mengatakan bahwa masing-masing unsur
perwakilan itu bukan merupakan suatu lembaga negara?‖

148
Bandingkan juga Fatmawati, op.cit., hlm. 276.

66 | Hukum Kelembagaan Negara


Cukup menarik untuk disimak pendapat Valina Singka
Subekti, yang mengatakan bahwa kriteria itu berkaitan dengan
kelembagaan dan kewenangan membentuk undang-undang.
Dikatakan oleh ahli ilmu politik ini bahwa:
Sistem perwakilan Indonesia pada perspektif ilmu politik
ditinjau dari segi kelembagaan dapat dikatakan sebagai
menganut sistem bikameral lunak (soft bicameralism).
Tetapi ditinjau dari segi fungsional pembuatan perundang-
undangan dapat dikatakan sebagai unicameralism plus,
sebab fungsi legislasi yang diberikan kepada Dewan
Perwakilan Daerah sangatlah terbatas (Pasal 22D ayat (1)
dan ayat (2)), yaitu ―dapat mengajukan‖ rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan
daerah, serta ―ikut membahas‖. Fungsi pertimbangan, dan
fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan
Daerah juga terbatas. Persetujuan akhir seluruhnya berada
di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.149

Namun demikian penulis perlu memberikan catatan


terhadap pendapat Valina Singka Subekti itu. Pertama, dalam hal
kelembagaan, dikatakan bahwa sistem yang digunakan setelah
Perubahan UUD 1945 adalah sistem bikameral karena Majelis
Permusyawaratan Rakyat bukan lagu sebuah lembaga. Akan
tetapi, dilihat dari pengaturan UUD 1945, diketahui bahwa majelis
ini merupakan lembaga permanen dengan diaturnya tentang
pimpinan majelis dan prosedur kelembagaan tersendiri di luar
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kedua,
ditinjau dari segi kewenangan pembentukan undang-undang,
sistem yang digunakan adalah unicameralism plus. Tetapi
penjelasan yang dibangun tidak konsisten karena kewenangan

149
Valina Singka Subekti, ―Keterwakilan dan Tipe Parlemen‖, makalah
Seminar Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), Komisi Hukum Nasional, Jakarta,
25-26 Agustus 2008, hlm. 5.

Hukum Kelembagaan Negara | 67


selain membentuk undang-undang juga digunakan. Ketiga,
analisis bahwa dengan terbatasnya wewenang Dewan Perwakilan
Daerah dalam legislasi serta merta diberikan cap bukan sebagai
sebuah kamar, menurut penulis juga tidak tepat. Di beberapa
negara, di mana kamar kedua tidak mempunyai wewenang
membentuk undang-undang, tetap dikategorikan sebagai suatu
kamar, sekalipun kriteria pembentukan undang-undang tersebut
digunakan untuk menganalisis watak parlemen bikameral.150
Menurut pendapat penulis, struktur parlemen Indonesia
merupakan sistem bikameral. Walaupun jelas, sistem bikameral ini
sangat sulit dibandingkan dengan idealisasi yang terdapat dalam
teori maupun praktik serupa di negara lain. Ada 2 (dua) argumen
yang penulis ajukan untuk memperkuat alasan tersebut. Pertama,
memang benar bahwa masing-masing unsur parlemen seperti
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat masing-masing mempunyai
wewenang, keanggotaan, lingkungan jabatan, dan aturan internal
prosedural sendiri-sendiri, akan tetapi dalam hukum tata negara,
titik tekannya adalah pada fungsi kelembagaan tersebut.
Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah, bagaimanapun cakupan pengaturannya, merupakan
wewenang yang berlangsung terus menerus, sementara wewenang
Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak merupakan fungsi yang
dilaksanakan secara rutin, yaitu menetapkan Undang-Undang
Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, melakukan
pengisian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
keadaan berhalangan tetap, dan melakukan impeachmet terhadap
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menampakkan dirinya sebagai

150
Baca soal ini dalam Samuel C. Petterson dan Anthony Mogan,
―Fundamentalism of Institusional Design: The Function and Power of
Parliamentary Second Chamber‖, Journal of Legislative Studies, Vol. 1, 2001,
hlm. 45. Bandingkan juga dengan Interpaliamentary Union, op.cit., hlm. 898.

68 | Hukum Kelembagaan Negara


joint-session terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Ciri yang demikian merupakan kelaziman
dalam pelaksanaan fungsi parlemen bikameral.
Kedua, rumusan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota-anggota Dewan
Perwakilan Daerah, harus dipahami dalam fungsi kelembagaan
juga. Watak parlemen bikameral adalah adanya struktur kamar
yang menunjukkan basis perwakilan yang masing-masing tidak
sama, sekalipun dalam praktiknya kemudian menjadi kabur dan
melampaui batas-batas sifat perwakilan itu sendiri, akan tetapi
secara organisasional ciri demikian tidak mengingkari susunan
parlemen itu. Secara berkebalikan juga harus disampaikan bahwa
kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah tersusun dari anggota-anggotanya, yang kemudian
menjalankan fungsi menurut aturan yang ditetapkan dalam hukum.
Ketidakcocokan susunan kelembagaan parlemen Indonesia
berikut fungsinya dengan teori dalam dunia akademik maupun
praktik di negara lain, yang memunculkan istilah ―bikameral
setengah hati‖, dan sebagainya, merupakan konstelasi politik yang
harus dilacak dari sejarah perumusannya dalam kerangka
Perubahan UUD 1945, akan tetapi bukanlah norma UUD 1945 itu
sendiri. Hal yang perlu disampaikan kepada khalayak adalah apa
yang menjadi isi dan apa yang dikehendaki dari rangkaian norma
UUD 1945, dan bukan ―bagaimana sebaiknya‖ norma UUD 1945
seharusnya disusun.
Dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
menampakkan diri sebagai suatu joint-session antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, akan tetapi
dilekati dengan kewenangan dan lingkungan jabatan tersendiri
justru merupakan ciri khas dari bikameralisme yang dikehendaki
oleh UUD 1945. Dengan kerangka pembagian kekuasaan, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menampakkan diri sebagai legislator

Hukum Kelembagaan Negara | 69


karena berwenang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar 151 ,
suatu wewenang yang menurut Frank J. Goodnow dalam ruang
lingkup ―menyatakan kehendak negara.‖ 152 Ini merupakan
wewenang utama, sedangkan melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden 153 , serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden
dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar meurpakan
wewenang tambahan. Terkait dengan wewenang tambahan ini,
maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat dikatakan
berwenang untuk ―melakukan pengawasan dalam hal pemilihan
pejabat publik sesuai dengan ketentuan UUD 1945.‖154
Memang secara tersurat tidak ada penjelasan resmi dari
pembentuk Undang-Undang Dasar mengenai alasan-alasan
dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
konteks seperti itu. Dalam praktik, kebutuhan membentuk ―kamar
lain‖ di samping kedua kamar didorong oleh minimal 3 (tiga)
motif.
Pertama, mewakili kategori warganegara yang berbeda dari
kamar pertama dan kamar kedua. Pengalaman Afrika Selatan di
masa lalu dengan Konstitusi 1983 menunjukkan hal ini. Pasal 52
Konstitusi Afrika Selatan, pemilih yang berkulit putih (white
person) memilih untuk anggota House of Assembly, pemilih
berkulit berwarna (coloured person) memilih untuk anggota
House of Representatives, dan pemilih India memilih untuk House
of Delegates.
Kedua, melaksanakan fungsi khusus yang dilakukan secara
terus menerus. Pada Konstitusi Republik Rakyat Cina (1946)

151
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.
152
Frank J. Goodnow, hlm. 22, 33, dan 46.
153
Dalam praktik, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak ―melantik‖,
akan tetapi menyaksikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam
mengucapkan sumpah jabatan menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.
154
Fatmawati, op.cit., hlm. 293.

70 | Hukum Kelembagaan Negara


sebelum revisi 1994, misalnya, terdapat 3 (tiga) lembaga yang
memiliki fungsi parlemen yaitu National Assembly, Legislative
Yuan, dan Control Yuan. Dari ketiga kamar tersebut, hanya
Legislative Yuan yang berwenang membentuk undang-undang,
sedangkan fungsi Control Yuan, sebagai kamar ketiga, antara lain
adalah sebagai pengawas tertinggi, memberi persetujuan dalam
pengangkatan dan pemberhentian pejabat, serta melakukan audit.
Ketiga, sebagai lembaga negara tertinggi. Kamar ketiga
Loya Jirga menurut Konstitusi Afganistan (2004) merupakan
manifestasi tertinggi dari rakyat. Demikian juga ketentuan Pasal
25 Konstitusi Republik Rakyat Cina yang menempatkan National
Assembly sebagai pelaksana hak politik atas nama rakyat
seluruhnya.
Dengan menggunakan penafsiran sistematis terhadap
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan susunan dan
kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut UUD 1945,
hemat penulis, sekalipun tidak ada penegasan secara tersurat,
maka lembaga ini dipertahankan dengan wewenang dan
lingkungan jabatan tetap untuk melaksanakan fungsi khusus yang
dilakukan terus menerus dan sebagai lembaga negara tertinggi.
Pengertiannya diuraikan sebagai berikut:
1. Fungsi khusus yang dilaksanakan terus menerus itu
terkandung maksud sebagai fungsi yang dilaksanakan sesuai
penetapan konstitusi sehingga sepanjang ketentuan itu tidak
diubah maka akan melekat terus menerus sebagai fungsi
Majelis yaitu melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa
jabatan menurut Undang-Undang Dasar.
2. Sebagai lembaga negara tertinggi, karena Majelis merupakan
satu-satunya lembaga negara yang menyatakan kehendak
negara yaitu berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar
dan pengawasan tertinggi terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

Hukum Kelembagaan Negara | 71


3. Sorotan terhadap Dewan Perwakilan Daerah
Fungsi Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD 1945
adalah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)). Kemudian,
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)).
Selanjutnya, Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasan itu kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal
22D ayat (3)).
Suatu perbedaan yang nyata, jika dibandingkan dengan
kamar kedua di Prancis (Senat) dan Inggris (House of Lords) yang
dapat mengajukan rancangan undang-undang dalam bidang apa
saja, tidak dibatasi yang terkait dengan masalah daerah.
Pembatasan kekuasaan legislasi oleh kamar kedua serupa dengan
kekuasaan Senat di Australia, yang tidak dapat mengusulkan dan
mengubah rancangan undang-undang finansial, akan tetapi hanya
dapat mengembalikan legislasi permintaan amandemen dari kamar
pertama. Akan tetapi, kekuasaan legislasi tunggal dilaksanakan di

72 | Hukum Kelembagaan Negara


Jepang, di mana Diet,merupakan satu-satunya badan yang
membuat undang-undang.
Di Jerman, Bundesrat mempunyai veto untuk legislasi yang
dipengaruhi oleh negara bagian. Bahkan dengan dukungan 2/3
suara, dapat menolak persetujuan rancangan undang-undang (bill),
yang hanya dapat dibatalkan oleh 2/3 Lower house. Mekanisme
tersebut mirip dengan kekuasaan Senat dalam parlemen Kamboja,
yang mempunyai hak untuk menolak rancangan undang-undang
yang sedang dibahas atau diuji, tetapi rancangan yang telah ditolak
Senat dapat menjadi undang-undang jika National Assembly telah
mengambil suara dengan mayoritas absolut untuk memberlakukan
rancangan tersebut. Di Malaysia, kekuasaan membuat undang-
undang harus dilakukan dengan persetujuan kedua kamar
parlemen yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Kesederajatan
dalam kekuasaan legislasi juga dimiliki oleh kedua kamar
parlemen di Filipina yaitu Senate/Senado dan House of
Representatives/Kapulungan Ng Mga Kinatawan. Dalam
Konstitusi Belanda, Eeste Kamer yang akan memutuskan
rancangan undang-undang yang dikirimkan oleh kamar kedua.
Kamar kedua dapat memerintahkan satu atau lebih anggotanya,
tergantung dari rancangan undang-undang yang diajukan olehnya
dalam kamar pertama.
Mekanisme seleksi diatur dalam UUD 1945 bahwa anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih setiap provinsi melalui
pemilihan umum setiap 5 tahun sekali (Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (1)). Untuk dapat menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah, peserta pemilihan perseorangan harus
memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu
juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000
(seribu) orang pemilih;
b. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)
sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih;

Hukum Kelembagaan Negara | 73


c. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta)
sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih;
d. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh
juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang
pemilih; dan
e. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas
juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000
(lima ribu) orang pemilih.

Dukungan di atas harus tersebar sekurang-kurangnya 25%


(duapuluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan. Persyaratan dibuktikan dengan daftar nama
disertai tanda tangan atau cap jempol dan fotokopi Karta Tanda
Penduduk atau identitas lain yang sah. Seorang pendukung tidak
diperbolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dukungan yang
diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah dinyatakan batal.155
Bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
berdomisili di provinsi yang wilayahnya sangat luas dan jumlah
penduduknya yang padat, dirasakan sangat berat untuk
mendapatkan dukungan. Demikian juga dalam melakukan
sosialisasi dan kampanye. Faktanya penetapan daerah pemilihan
untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih sempit
dibandingkan dengan penetapan daerah pemilihan untuk
kenaggotaan Dewan Perwakilan Daerah.
Ada baiknya diusulkan agar daerah pemilihan itu diubah.
Setiap bagian provinsi memperebutkan satu kursi. Demi keadilan,
penetapan calon-calon untuk bagian provinsi dilakukan dengan
cara diundi. Penyempitan daerah pemilihan tersebut dimaksudkan

155
Lihat Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

74 | Hukum Kelembagaan Negara


agar tidak terlalu luas dan para calon membutuhkan biaya yang
relatif kecil, sehingga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
tidak didominasi oleh mereka yang berduit tebal. Jika hal tersebut
dibandingkan dengan daerah pemilihan bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, tidak terdapat perbedaan yang mencolok,
sehingga hukum akan berpihak pula kepada ―keadilan‖, bukan
semata-mata demi ―ketertiban.‖ Mekanisme seleksi melalui
pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun daerah serupa
dengan kamar kedua parlemen Argentina, Australia, Brazil,
Columbia, Kongo, Jepang, Meksiko, Nigeria, dan Amerika
Serikat.
Menurut UUD 1945, peserta pemilihan umum untuk
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan (Pasal 22E ayat
(4)). Dengan demikian Dewan Perwakilan Daerah mewakili
kategori warganegara yang tidak sama, yaitu sebagai perwakilan
daerah, dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
perwakilan politik menurut jumlah penduduk. Ketentuan serupa,
di mana ada perbedaan kategori warganegara yang diwakili,
dijumpai di Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Columbia,
Kongo, Jerman, Meksiko, Nigeria, Pakistan, dan Amerika Serikat.
Jika ditinjau dari kewenangan formal, maka wewenang
Dewan Perwakilan Daerah memang tidak dapat dikatakan setara
dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Fonomena ini
bukan hanya monopoli parlemen Indonesia saja, akan tetapi juga
dapat dijumpai menurut konstitusi Algeria, Mesir, Etiopia,
Prancis, India, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Inggris, dan
Belanda.
Dari sini dapat terlihat bahwa tidak selalu jika keanggotaan
parlemen itu dipilih melalui pemilihan umum, kemudian memiliki
kesetaraan wewenang diantara kedua kamar, sekalipun bukan
penghalang bagi sifat bikameralisme. Sebaliknya, ada kamar
kedua yang tidak dipilih langsung, seperti Kanada dan Jerman,
akan tetapi kedua kamar parlemen mempunyai kewenangan
formal yang hampir sama.

Hukum Kelembagaan Negara | 75


Dalam studinya, Fatmawati juga memberikan 4 (empat)
catatan khusus yang terkait dengan karakteristik kamar kedua,
seperti Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia.156
Pertama, tidak semua anggota kamar kedua merupakan
wakil dari wakil rakyat di daerah atau negara bagian. Di Jepang,
anggota kamar kedua (Sangiin) dipilih melalui pemilihan umum
secara nasional. Di Inggris, kamar kedua (House of Lords)
mewakili bangsawan dan uskup. Pada tingkat dan variasi yang
berbeda-beda kamar kedua yang mewakili daerah atau negara
bagian dijumpai pada parlemen di negara Mesir, Etiopia,
Kolumbia, Afrika Selatan dan Jerman. Di Etiopia, kamar kedua
dipilih untuk mewakili suku-suku, sementara di Jerman kamar
kedua terdiri dari menteri-menteri dari pemerintahan negara
bagian yang diangkat untuk mewakili negara bagian. Di Mesir,
kamar kedua sebanyak 2/3 dipilih oleh penduduk daerah, dan dari
2/3 tersebut, ½ harus berasal dari kaum buruh dan tani (seperti
halnya kamar pertama), sedangkan yang 1/3 lainnya diangkat oleh
Presiden. Pada kamar kedua Kolumbia, tidak hanya mewakili
daerah, akan tetapi juga ada 2 senator tambahan untuk komunitas
Indian.
Kedua, pengisian jabatan kamar kedua kebanyakan negara
menggunakan pemilihan umum untuk mewakili daerah atau
negara bagian seperti di Argentina, Australia, Brazil, Columbia,
Kongo, Meksiko, Nigeria, dan Amerika Serikat. Negara lainnya
bervariasi, ada yang diangkat oleh Gubernur Jenderal atas nama
Ratu (misalnya Kanada), dipilih oleh parlemen daerah, wakil dari
ibukota, dan wakil daerah yang berasal dari kamar pertama
(seperti di Pakistan) atau diwakili oleh menteri negara bagian
seperti Jerman.
Ketiga, ada negara yang anggota kamar keduanya dipilih
melalui pemilihan umum oleh rakyat secara nasioanl (Jepang),
dipilih oleh rakyat daerah atau negara bagian (Spanyol), gabungan

156
Fatmawati, op.cit., hlm. 232-233.

76 | Hukum Kelembagaan Negara


antara dipilih dalam pemilihan umum mewakili rakyat di negara
bagian atau daerah dan diangkat oleh kepala negara (Mesir dan
Rusia), dipilih oleh parlemen di negara bagian atau daerah
(Belanda), gabungan antara dipilih oleh parlemen di negara bagian
atau di daerah dan diangkat oleh Kepala Negara (Algeria dan
India), dipilih oleh dewan pemilih (electoral college, seperti di
Prancis), dan gabungan antara anggota parlemen di negara bagian
atau di daerah dan diangkat oleh kepala negara (Afrika Selatan)
atau variasi Etiopia, yaitu dipilih oleh warganegara di negara
bagian atau diangkat oleh parlemen negara bagian.
Keempat, Inggris mempunyai keunikan khusus, karena
masih dipertahankan kamar kedua (House of Lords) yang
mewakili bangsawan dan uskup, yang merupakan kategori yang
dikenal sebelum konsep demokrasi dipraktikkan.
Menurut UUD 1945, jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini berkaitan dengan perbandingan
jumlah anggota parlemen dalam masing-masing kamar. Dalam
konstitusi di berbagai negara, dikenal beberapa cara untuk
menentukan keanggotaan masing-masing kamar.
Pertama, ditentukan perbandingan antara jumlah anggota
kamar pertama dengan anggota kamar kedua. Di Algeria, jumlah
anggota kamar kedua separuh dari jumlah anggota kamar pertama.
Sementara di Australia, jumlah anggota kamar kedua adalah
separuh jumlah anggota kamar pertama, dengan minimal jumlah
senator 6 orang pada tiap negara bagian.
Kedua, ditentukan secara pasti jumlah wakil dari setiap
daerah atau negara bagian. Misalnya di Argentina tiap provinsi
diwakili leh 3 orang melalui pemilihan umum. Kemudian di Brazil
3 senator setiap distrik, di Mesir ditentukan menurut undang-
undang tetapi minimal adalah 132 anggota. Sementara itu, di
Jerman 3-6 wakil tiap negara bagian, di Meksiko meliputi berisi 2
wakil tiap negara bagian dan 2 wakil untuk Federal yang
semuanya dipilih langsung, di Nigeria 3 orang senator tiap negara

Hukum Kelembagaan Negara | 77


bagian dan 1 senator dari ibukota negara, dan di Rusia setiap
negara bagian diwakili oleh 2 orang, di mana yang satu dipilih
dalam pemelihan umum dan satunya berasal dari pemerintah
negara bagian. Di Afrika Selatan setiap provinsi 10 orang, di mana
1 orang merupakan utusan provinsi dan 9 orang dipilih dalam
pemilihan umum. Di Spanyol tiap provinsi diwakili oleh 4 orang
senator yang diplih melalui pemilihan umum. Sedangkan tiap
negara bagian di Amerika Serikat diwakili oleh 2 orang senator
yang dipilih dalam pemilihan umum.

78 | Hukum Kelembagaan Negara


BAB IV
PRESIDENSIALISME
DAN LEMBAGA KEPRESIDENAN

A. Sistem Pemerintahan
Secara teoritis, sistem pemerintahan menunjuk kepada cara
kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama lain.157
Dalam pandangan Moh. Mahfud M.D. sistem pemerintahan
diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja antara
lewmbaga-lembaga negara. 158 Meskipun dalam cakupan lebih
sempit, Sri Soemantri menegaskan bahwa ditinjau dari hukum tata
negara sistem pemerintahan menggambarkan hubungan antara
legislatif dengan lembaga eksekutif 159 Pendapat Sri Soemantri
mirip dengan I Gede Pantja Astawa yang mengatakan bahwa
sistem pemerintahan merupakan hubungan kekuasaan, wewenang,

157
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 199.
158
Moh. Mahfud M.D., 1993, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Penerbit LP3ES, hlm. 83.
159
Sri Soemanteri, 1976, Implementasi Demokrasi Pancasila, Bandung,
Penerbit Alumni, hlm. 37.

Hukum Kelembagaan Negara | 79


atau fungsi antara dua organ negara ataupun pemerintahan secara
timbal balik, terutama hubungan antara eksekutif dan
legislative. 160 Penelitian ini sepenuhnya merujuk kepada
pemaknaan sistem pemerintahan dalam perspektif hukum tata
negara terutama sebagai jalinan relasi kekuasaan antara lembaga
eksekutif dengan lembaga legislatif.
Dalam perspektif ini, kecenderungan teoritis pada akhirnya
menunjukkan adanya 2 (dua) model sistem pemerintahan yang
satu sama lain bersifat ekstrim, yaitu sistem presidensial dan
sistem parlementer. Walaupun demikian, kiranya diakui, bahwa
sebagai sistem politik, sistem pemerintahan mengandung variasi-
variasi tertentu ketika dipraktikkan dalam suatu negara. Tetapi
sistem presidensial dan sistem parlementer mwempunyai ciri-ciri
yang secara akademik dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Menurut Moh. Mahfud M.D., sistem presidensial
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:161
1) Kepala Negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif);
2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR),
parlemen dan pemerintah adalah sejajar;
3) Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden;
4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Sementara itu sistem parlementer mengandung ciri-ciri


sebagai berikut:
1) Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional
(Pemersatu bangsa);

160
I Gede Pantja Astawa, 2004, ―Identifikasi Masalah Atas Hasil
Perubahan UUD 1945 yang Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi‖,
Makalah Seminar 23 September 2004 yang diselenggarakan oleh Unpad dan
Persahi Bandung.
161
Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 83.

80 | Hukum Kelembagaan Negara


2) Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh
seorang Perdana Menteri;
3) Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh
parlemen melalui mosi;
4) Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah (dan bergantung
kepada) parlemen.

Sebagai imbangan dari lemahnya kabinet ini, Kabinet dapat


meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen
dengan alasan yang sangat kuat sehingga parlemen dinilai tidak
representatif. Akan tetapi, jika demikian yang terjadio dalam
waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan
pemilu untuk membentuk parlemen baru.
Dari uraian di atas, secara singkat dikatakan bahwa ranah
teoritis sistem pemerintahan dalam penelitian ini menunjuk kepada
sistem hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Hubungan
tersebut menciptakan sistem pemerintahan yang dapat dipilah
dalam 2 kategori besar yaitu sistem presidensial dan sistem
parlementer. Dengan mengabaikan berbagai deviasi dalam ranah
praksis, masing-masing sistem itu mempunyai ciri pembeda satu
sama lain.
Pemerintahan demokrasi dengan sistem parlementer
ditandai oleh hubungan yang erat antara organ eksekutif dan
parlemen. Ditinjau dari proses pembuatan undang-undang di
Indonesia, nampak adanya koordinasi yang erat antara Presiden
dan DPR. Pada pembuatan undang-undang menurut kebiasaan
dalam sistem parlementer, kepala negara dilibatkan dalam
pengesahan undang-undang sehingga sifatnya hanya formal.
Dalam negara republik yang bersistem presidensial, keterlibatan
Presiden selaku kepala negara semata-mata bersifat formal, tetapi
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kepentingan
sebagai badan yang melaksanakan undang-undang. Karena itu
pengesahan undang-undang oleh Presiden harus diartikan pula
sebagai persetujuan terhadap isi undang-undang.

Hukum Kelembagaan Negara | 81


Menurut Suwoto Mulyosudarmo, di dalam kepustakaan
terdapat kerancuan penggunaan istilah di mana sistem pemisahan
kekuasaan dianggap identik dengan sistem presidensial dan sistem
kekuasaan terpadu (fused powers) dianggap identik dengan sistem
parlementer.162 Dalam hubungan ini dapat diuraikan lebih lanjut
bahwa pembedaan sistem pemisahan kekuasaan dari sistem
kekuasaan terpadui, didasarkan kepada pembedaan proses
pembuatan undang-undang, sementara pembedaan sistem
parlementer dan sistem presidensial didasarkan kepada sistem
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif.163
Atas dasar pemikiran seperti itu, penulis setuju dengan
argumentasi yang disusun oleh Suwoto Mulyosudarmo ketika
mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak perlu
disebut sebagai perpaduan antara sistem presidensial dengan
sistem parlementer. 164 Dalam proses pembuatan undang-undang,
Indonesia menganut sistem kekuasaan terpadu, sedangkan
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif memakai sistem
presidensial. Konsekuensi penggunaan sistem presidensial adalah
bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh menteri secara
administratif harus dibuat atas nama Presiden. Pilihan lain dari
pembuatan keputusan menteri atas nama Presiden dapat dilakukan
dengan bentuk Keputusan Presiden.
Secara teoritis, lahirnya sistem pemerintahan secara politik
didasarkan kepada asumsi ―All countries should preserve a set of
institutions which permit a small group of politicians to take

162
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis
dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 35.
163
Ibid.
164
Ibid.

82 | Hukum Kelembagaan Negara


decisions which are obligatory for society as a whole.‖165 Pilihan
terhadap sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer,
―has been between either a rigid separation of powers, with
practically no connection between the Parliament and the
government1, or interconnected institutions, on the basis of a
governmentelected by the Parliament and accountable to it, but
endowed at the same time with the power to dissolve it.‖ 166
Meskipun demikian, presidensalisme dan parlementerisme,
bukanlah sebagai suatu tipe statistik saja, akan tetapi merupakan
suatu kenyataan yang unik. Dikatakan oleh Rafael Mart‘nez
Martinez sebagai berikut:167
Of course, presidentialism and parliamentarianism are not
static archetypes. The presidential parliamentary dichotomy
is fictitious and the inclusion of new variables has the effect
of modifying the system and leads to each presidential and
parliamentary system being unique. Thus, for example, the
degree of party presence and control, the mechanisms of
participation and representation and the characteristics of
the individual society are all influential factors in the make-
up of an individual system, and lead to units of analysis
which do not fully correspond across borders, though
comparative studies are of course possible because of the
presence of similar elements.

Parlementerisme dalam konsep yang berkembang sejak


abad ke-19 merupakan pelaksanaan representative government,168

165
Rafael Mart‘nez Martinez, Semi Presidential: A Comparative
Studies‖, ECPR Joint Sessions Mannheim, 26-31 March 1999 Workshop no 13,
hlm. 5.
166
Ibid.
167
Ibid., hlm. 7-8.
168
Dikatakan oleh J.S. Mills (1861), bahwa, ―The meaning of
representative government is that the whole people, or some numerous portion of

Hukum Kelembagaan Negara | 83


dan merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan
Undang-Undang (legislation) yang berlaku dalam masyarakat.
Parlementerisme merupakan pelaksanaan konsep lama (the old
concept) mengenai pemisahan kekuasaan, yang menjadi pertanda
mekanisme paling prinsipil untuk menciptakan legitimasi
kekuasaan negara, termasuk bagi eksekutif dan yudisial. Dengan
semakin meluasnya paham welfare state, kemudian melahirkan
―jalur transformasi‖ (belt-transformation) bagi keberadaan
parlemen, di mana fungsi legislasinya semakin tergerus, dan
cenderung menyerahkan pelaksanaan fungsi negara menurut
tradisi birokrasi yang teknokratik. 169 Pengadilan, sebagaimana
kecenderungan di Prancis, menjadi badan yang memastikan bahwa
eksekutif menjalankan dengan benar norma-norma hukum yang
disusun menurut delegasi dari parlemen.170 Akibatnya, parlemen,
sebagai elected assembles, ―now more often than not simply
delegated broad normative power to executive or administrative
bodies ―to make the rules via some form of subordinate
legislation, subject to certain general statutory guidelines.‖171
Kemudian, seiring dengan diterimanya sifat administrasi
negara yang teknokratik dan impolitic, executives throughout the
industrialized world came to exercise extensive normative
authority in their own right, whether in the production of quasi-
legislative rules or in the adjudication of disputes that arose in

them, exercise through deputies periodically elected by themselves the ultimate


controlling power.‖ Lihat dalam Peter L. Lindseth, ―The Paradox of
Parliamentary Supremacy: Delegation, Democracy, and Dictatorship in Germany
and France, 1920s-1950s‖, The Yale Law Journal, Vol. 113, , 2004, hlm. 1343.
169
Richard Stewart, ―The Transformation of America Administrative
Law‖, Harvard Law Review, Vol. 88, 1975, hlm. 1667 dan 1675.
170
Peter L. Lindseth, op.cit., hlm. 1341.
171
Edward L. Lubin,‖ Law and Legislation in Administrative State‖,
Columbia Law Review, Vol. 89, 1989, hlm. 380-385.

84 | Hukum Kelembagaan Negara


connection with their expanding regulatory authority. 172
Perkembangan semacam ini, merujuk pada perkembangan
ketatanegaraan di Amerika Serikat pasca dekade 1945,
menghasilkan formulasi politik bahwa, ―The concentration of
power in the executive and administrative spheres would be
tolerated as a constitutional matter, but only on the condition that,
at the subconstitutional level, delegated authority would be subject
to a range of political and legal controls that would act as a
substitute for the formal structural protections of separation of
powers.‖173
Menarik dicermati, dalam kasus di Eropa Tengah dan
Timur, bagaiamana preferensi parlementerisme dilaksanakan.
Pertama, pada gelombang transisi politik periode 1922-1989, yang
diwarnai dengan purifikasi ideologis, komunis, dan sosilisme,
pilihan parlementerisme lebih mengemuka. Kedua, kesenjangan
antara ketentuan formal konstitusi dengan praksis politik.
Kejadian di Republik Kroasia (1992-2000), demikian juga di
Rusia dan Ukraina, menunjukkan parlementerisme yang
dikehendaki konstitusi, di dalam praktik mengarah kepada
presidensialisme dengan kecenderungan otoritarian. Ketiga,
warisan rezim sebelumnya, dengan dukungan kekuatan sipil,
mengubah dominasi presidensialisme kepada pilihan parlementer.
Contohnya adalah Kroasia setelah reformasi konstitusi 2000, yang
memilih parlementerisme karena factor historis.

B. Presidensialisme
Presidensialisme dalam studi Joseph Linz, tergantung
kepada bagaimana kapasitas cabang kekuasaan ini dikelola.
Dikatakan bahwa, ―This reasoning leads to the conclusion that
presidentialism is inferior to parliamentarianism, independently of
whether the President is strong or weak. Should he be strong, the
172
Ibid.
173
Peter L. Lindseth, op.cit., hlm. 1345.

Hukum Kelembagaan Negara | 85


system will tend to be overly majoritarian; should he be weak, the
majoritarianism is not likely to be replaced by consensus but
rather by conflict, frustration and paralysis.‖174
Jika dilihat dari asal-usul pembentukannya, monarki di
Eropa, pada saat tumbuh kea rah negara konstitusional liberal,
melahirkan sistem pemilihan parlemen, yang kemudian
mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan oleh kabinet.
Sebaliknya, pada pola negara Republik, ada kehendak rakyat
(people will) untuk menyusun parlemen melalui pemilihan, tetapi
pada saat yang sama juga memilih seorang Presiden yang diberi
kedudukan sebagai eksekutif. Dalam perkembangan selanjutnya,
sistem ini menuntut dilaksanakannya dua tahapan pemilihan, yaitu
untuk memilih Presiden yang selanjutnya menyusun kabinet, dan
tahap pemilihan terhadap parlemen.
Perbedaan antara presidensialisme dengan parlementerisme
―in that the executive and legislative branches of government are
both popularly elected, and in that they each have a fixed term of
office.‖ 175 Pengkombinasian diantara kedua model itu disinyalir
akan menghasilkan desetabilisasi demokrasi. Pemosisian ini akan
menghasilkan ―pemerintahan yang terbelah‖ (divided government)
dan memperburuk kepastian masa jabatan eksekutif. Dalam relasi
antara eksekutif dengan legislatif, ―Parliamentarism and
presidentialism are different: the former is a system of ‗mutual

174
J. Juan Linz, ―The virtues of parlamentarism‖, Journal of Democracy,
Vol. 1 No. 4, 1990, hlm. 87.
175
Eric Magar, ―Patterns of Executive-Legislative Conflict in Latin
America and the U.S.‖, Paper presented at the First International Graduate
Student Retreat for Comparative Research, organized by the Society for
Comparative Research and the Center for Comparative Social Analysis,
University of California, Los Angeles, May 8-9, 1999, hlm. 4.

86 | Hukum Kelembagaan Negara


dependence‘ and the latter of ‗mutual independence‘ between the
executive and the legislature.‖176
Dikaitkan dengan sistem kepartaian, pada presidensialisme
―generates fewer or weaker incentives to form coalitions‖, 177
jikalau tak terhindarkan maka sifat koalisi itu merupakan suatu
keadaan eksepsional. Relasi antara eksekutif dengan legislatif
‖there is no alternative but deadlock‖.178 Sebagai akibatnya: (1)
‖the very notion of majority government is problematic in
presidential systems without a majority party‖ 179 ; (2) ‖stable
multi-party presidential democracy is difficult‖ 180 ; dan (3)
‖presidential systems which consistently fail to provide the
president with sufficient legislative support are unlikely to
prosper.‖181

176
Lihat: Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Constitutional Frameworks
and Democratic Consolidation: Parliamentarism Versus Presidentialism‖,
Journal World Politics, No. 46, 1993, hlm. 17-18.
177
Ibid.
178
Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic
Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-
Communist Europe, Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 181. Baca juga: Juan J.
Linz, 1994, ―Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a
Difference?‖, Dalam J.J. Linz dan Arturo Venezuela (eds.), The Failure of
Presidential Democracy: The Case of Latin America. Baltimore: Johns Hopkins,
hlm. 64.
179
Huang, The-fu, ―Party Systems in Taiwan and South Korea‖, dalam
Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu, and Hung-mao Tien (eds.),
1997, Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives.
Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 138.
180
Lihat analisis lengkap dalam Scott Mainwaring, 1990,
―Presidentialism in Latin America‖, Jurnal Latin American Research Review ,
No. 25, Vol. 1, hlm. 157-179.
181
Mark P Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential
Democracies. Notre Dame: Notre Dame University Press, hlm. 38.

Hukum Kelembagaan Negara | 87


1. Semi Presidensialisme Prancis
Pada perkembangan selanjutnya, formulasi presidensialisme
berkembang dengan adanya model baru. Model tersebut di mana
Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan wewenang eksekutif
yang luas, tetapi pemerintahan ini kemudian bertanggung jawab
kepada Parlemen. Model ini diidentikkan dengan sistem yang
berlaku di Prancis setelah reformasi konstitusi (1962). Formulasi
model ini sering disebut sebagai hybrid system, sebagai varian dari
semi presidensialisme.
Berkaca kepada sistem di Prancis, hybrid system
menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Presiden dipilih dalam pemilihan oleh rakyat.182
2. Adanya kelembagaan eksekutif ganda.183
3. Kekuasaan konstitusional Presiden yang besar.184

182
Maurice Duverger mengatakan dengan adanya ciri ini maka Presiden
(Prancis) memiliki super legitimasi, karena ―has greater prestige since he is
directly elected by the people and due to the symbolical role of the head of the
State as personification of the nation.‖
183
Kelembagaan ini adalah Presiden dan Perdana Menteri yang sama-
sama menjalankan kekuasaan eksekutif. Tetapi kedua lembaga ini tersentral
kepada Presiden karena pada saat yang sama merupakan the head of state.
Dengan posisi ini, maka Presiden tidak terfokus kepada kepada kegiatan teknis
pemerintahan sehari-hari karena hakekatnya ini merupakan ranah Perdana
Menteri. Hal ini memungkinkan tercipta kondisi, ―Everything that goes badly is
the prime minister's fault; everything that goes well is thanks to the President.‖
Baca: Rose, op.cit., hlm. 20.
184
Dengan ciri ini, maka ―President He has the powers and functions of a
head of State in the parliamentary system, but at the same time he also has
executive powers.‖ Selanjutnya, ―These extra powers lie in the sphere of
executive power, are not shared with the cabinet and vary from one political
system to another. However, they generally include the following: the power to
appoint the prime Minister and to chair the cabinet, the power to convene
extraordinary sittings of Parliament, the power to dissolve Parliament, the power
to initiate legislation, control of foreign policy, special powers at times of crisis,
the power to refer laws to the Constitutional Court in cases of possible
unconstitutionality, commandership-in-chief of the Armed Forces, the power to

88 | Hukum Kelembagaan Negara


4. Presiden menunjuk Perdana Menteri dan mempengaruhi kerja
kabinet.185
5. Pemerintahan oleh kabinet bertanggung jawab kepada
Parlemen.186
Semi presidensialisme, selain di Prancis, dipraktikkan di
beberapa negara Eropa seperti Austria, Finlandia, Irlandia,
Iceland, Polandia, Portugal, dan Rumania. Kemudian negara di
kawasan Amerika Selatan seperti Kolumbia, Haiti, Guatemala,
dan Peru, juga mempraktikkan sistem serupa. Di Asia, sistem ini
dipraktikkan misalnya di Iran dan Srilanka; sementara Mesir dan
Angola merupakan contoh negara di kawasan Afrika yang
mempraktikkan semi presidensialisme ini.

2. Presidentialization
Secara resmi suatu negara menjalankan sistem
pemerintahan Parlementer, akan tetapi di dalam praktik mengarah

appoint high-ranking officials and to call referendums.‖ Lihat dalam: Rafael


Mart‘nez Martinez, op.cit., hlm. 13.
185
Dalam posisi ini menunjukkan fungsi Presiden baik sebagai kepala
negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Presiden menunjuk Perdana
Menteri dan memimpin sidang kabinet. Lihat dalam: Rafael Mart‘nez Martinez,
ibid., hlm. 14.
186
Ciri ini menunjukkan bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada
Parlemen. Hal ini dapat dikatakan sebagai ―seek and obtain Parliament‘s
approval, and similarly on other occasions it may be censured by Parliament
when it fails to do so.‖ Meskipun demikian, ―In a semi-presidential system the
government seems to be a typical parliamentary institution, however if differs in
a number of substantial matters: for example, it does not have the right to
dissolve itself, which is a typical feature of government in a parliamentary
system, instead it is the President who, head of the executive, has the power to
dissolve Parliament. On the other hand, although the President has executive
functions he cannot be subjected to a vote of no-confidence. The President is
endowed with total stability, his term of office is pre-fixed and he can only be
removed from office in cases of criminal offence (Impeachment or High
Treason). Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 89


kepada apa yang disebut pengamat sebagai ―Presidentialization.‖
Gejala ini, pertama, menunjuk kepada ―adoption of one or more of
the formal legal-constitutional features of presidential rule
outlined above.‖ 187 Hal ini terjadi jika ―where a parliamentary
democracy adopts one of the necessary elements of
presidentialism in isolation it does not become a presidential
regime as such, but it does introduce presidential features.‖
Sebagai contoh, Israel yang menjalankan parlementerisme, pada
tahun 1992 mengadakan pemilu untuk memilih secara langsung
Perdana Menteri.
Selanjutnya, kedua, ―Presidentialization‖, merupakan
penilaian yang bersifat analogis. 188 Dalam melaksanakan
parlementerisme, sekalipun tidak melakukan perubahan konstitusi,
akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan
karakteristik yang dekat dengan presidensialisme. Karakteristik
analogis terjadi dalam 4 kemungkinan. Pertama, perubahan
kekuasaan internal yang menghasilkan Perdana Menteri yang
karismatis, seperti masa pemerintahan Thatcher dan Tony Blair di
Inggris. Kedua, perubahan kekuasaan di internal partai politik
dengan menghasilkan pimpinan yang karismatis. Pimpinan partai
ini kemudian menjadi sangat independen dalam menentukan
keberlangsungan maupun pelaksanaan garis-garis kebijaksanaan
partai politik yang dipimpinnya. Ketiga, apabila dalam proses
pemilihan menunjukkan dominasi personal seperti halnya
kandidasi di Amerika Serikat. Keempat, jika mandat perseorangan
atau kandidat dapat menjadi mandat partai politik akibat proses
pemungutan suara dalam pemilihan umum.

187
Paul Webb, ―Parliamentarism and the Presidential Analogy: A Case
Study of the UK‖, Paper presented to ECPR Workshop on The
Presidentialization of Parliamentary Democracies?, Copenhagen, 14-19 April
2000, hlm. 5.
188
Ibid., hlm. 6.

90 | Hukum Kelembagaan Negara


3. Cakupan Kekuasaan: Unitary Executive
Dalam tradisi kepresiden di Amerika Serikat, ―The
President stands responsible for all discharge of policy, and is
judged by his or her performance on election day.‖ 189 Motif
penumbuhan tradisi ini adalah sebagai ―a tool not only to enhance
accountability in the public eye for executive branch actions, but
also to centralize power in the President himself‖ 190 , sehingga
―administrative authority was concentrated in a single person.‖191
Kekuasaan eksekutif yang semakin terpusat kepada Presiden inilah
yang dikenal sebagai doktrin unitary executive, sebagai tafsir
terhadap ketentuan Pasal II Konstitusi. 192 Dari segi historis,

189
Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖? The President in
Administrative Law, George Washington Law Review, Vol. 75, 2007, hlm. 696.
Baca juga komentar serupa dalam Robert V. Percival, ―Presidential Management
of the Administrative State: The No-So-Unitary Executive‖, Duke Law Journal,
Vol. 5, 2001, hlm. 963.
190
Peter L. Staruss, op.cit., hlm. 697.
191
Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖?, op.cit., hlm. 599-601.
Baca juga: Cass R. Sunstein, Constitutionalism After the New Deal, Harvard
Law Review, Vol. 101, No. 421, 1997, hlm. 432-433.
192
Christopher S. Yoo et.al., ―The Unitary Executive During theThird
Half-Century, 1889-1945‖, Notre Dame Law Review, Vol. 80, 2004, hlm. 3.
Lihat juga analisis konstitusional yang menghasilkan konklusi serupa dalam:
Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New York University
Law Review, Vol.88, 1994, hlm. 1377; Steven G. Calabresi & Saikrishna B.
Prakash, ―The President‘s Power to Execute the Laws‖, Vol. 104, Yale Law
Journal, 1994, hlm. 541; Steven G. Calabresi & Kevin H. Rhodes, ―The
Structural Constitution: Unitary Executive, Plural Judiciary‖, Harvard Law
Review, Vol. 105, 1992, hlm. 1153; Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The
President and the Administration‖, op.cit., hlm. 47–55 dan 119; dan A. Michael
Froomkin, ―The Imperial Presidency‘s New Vestment‖s, New York University
Law Review, Vol. 88, 1994, hlm. 1346.
Pasal II Konstitusi sering dikenal sebagai The ―Oath‖ Clause, yang
menyatakan bahwa Presiden ―will faithfully execute the Office of the President
and will preserve, protect, and defend the Constitution of the United States.‖
Menurut Steven B. Clarabesi, ―…it is a duty of the President to preserve, protect

Hukum Kelembagaan Negara | 91


pengakuan terhadap unitary executive ini sebelum ratifikasi (1789)
sudah berlangsung 193 , termasuk pandangan yang berkembang
selama abad ke-18 di kalangan ilmuwan politik.194 Praksis unitary
executive ini tercermin dalam peningkatan kapasitas mandiri
Presiden untuk menafsirkan posisi konstitusionalnya dalam proses
pembentukan hukum195 dan ―the increase in discretionary, policy-
making authority wielded by administrative agencies.‖ 196
Pertumbuhan kekuasaan Presiden yang semakin diperhitungkan
ini berlangsung dengan alasan ―the enormously significant and
self-conscious changes in the role of the presidency from the
period following Jackson through Franklin Roosevelt.‖197
Pada wataknya yang unitarian tersebut, maka ―president, as
a coordinate branch of government, may independently interpret

and defend his office, which is, or course, a creation of the Constitution itself.
The President takes an oath to uphold that Constitution and the public judges
him, and ought to judge him, by his vigilance in fulfilling that oath.‖ Lihat dalam
Steven B. Clarabesi, ―Advice to the Next Conservative President of the United
States‖, Harvard Journal of Law and Public Policy, Vol. 24, No. 369, Spring,
2001, hlm. 375.
193
Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, op.cit., hlm. 603-605.
194
Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive Power‖,
University of Illinois Law Review, No. 701, 2003, hlm. 753-789 dan hlm. 808-
812. Lihat juga pendapat Steven Calabresi, yang mengatakan bahwa ―the
Federalist Papers advanced three arguments in favor of a unitary executive—
energy, accountability, and separation of powers.‖ Lihat dalam Steven Calabresi
―Some Normative Arguments for the Unitary Executive.‖ Arkansas Law Review,
Vol. 48, 1995.
195
Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential
Lawmaking‖, op.cit, hlm. 138–153.
196
Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The President and the
Administration‖, op.cit., hlm. 93-106.
197
Ibid., hlm. 84.

92 | Hukum Kelembagaan Negara


the Constitution.‖198 Hal ini disebabkan oleh karena ―the president
is the only nationally elected official which makes him
accountable for how laws are executed. Therefore, the president
is best situated to coordinate agency activities and by virtue of his
accountability and central position, he can bring energy to the
administrative process that agency officials cannot muster by
themselves.‖199
Dalam kapasitas tersebut Presiden ―not defend or enforce
those statutes that are ‗clearly unconstitutional‘ dan ―to not
defend and enforce those that encroach upon the prerogatives of
the executive branch.‖200 Dalam hal yang pertama, maka Presiden
―accommodates the conflict between the constitutional mandate
that the President execute the laws and his oath to support and to
defend the Constitution‖, sementara dalam hal yang kedua,
Presiden akan ―accommodates the occasional conflict between the
roles of the President as the chief law enforcement officer of the
United States and the role of the Attorney General as the advocate
of the executive branch.‖201
Khususnya dalam melaksanakan kapasitas untuk menolak
Undang-Undang yang ‗clearly unconstitutional‘ maka perisai
utama adalah Departemen Kehakiman (Departemen of Justice)
dan Kantor Pertimbangan Hukum (Office of Legal Council, OLC).
Dalam hal ini fungsi Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh

198
Joel K Goldstein, ―The Presidency and the Rule of Law: Some
Preliminary Explorations‖, Saint Louis University Law Journal, Vol. 43, No.
791, 1999, hlm. 809.
199
Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders and
Presidential Power, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 38.
200
Note ―Executive Discretion and the Congressional Defense of
Statutes‖, Yale Law Journal, Vol. 92, No.970, May,1993, hlm. 973.
201
Ibid., hlm. 973-974.

Hukum Kelembagaan Negara | 93


Jaksa Agung (Attorney General), dapat diuraikan sebagai
berikut.202
In many cases, the Department of Justice will propose, as a
fallback position, that an issue be addressed in a signing
statement if it wouldbe politically impossible simply to veto
a bill. For instance, at the very end of its session, Congress
frequently passes large bills and then leaves town. The only
choice we have is to veto the bill and, say, shut down the
foreign operations of the US altogether for six months, or
sign the bill and note exception to some provision we think
is unconstitutional. Thus, in some instances, signing
statements have directed subordinate officials to disregard
provisions of a bill that are thought to be clearly
unconstitutional and severable.

Sementara itu, OLC berperan ―both provides legal advice of


a constitutional nature to all the departments within the executive
branch and it provides ‗both written and oral advice in response
to requests from the Counsel to the President.‘‖203 Semua Undang-
Undang harus diperiksa terlebih dahulu oleh OLC sebelum ditolak

202
William P. Barr, ―Attorney General‘s Remarks‖, Cardozo Law
Review, Vol. 15, 1993, hlm. 33-34.
203
Neal Devins, ―Political Will and the Unitary Executive: What Makes
an Independent Agency Independent?‖ Cardozo Law Review, Vol. 15, 1993, hlm.
281.
OLC didirikan pada tahun 1953 untuk melakukan perlindungan
konstitusional terhadap Presiden. Dalam perkembangannya, badan ini membawa
pengaruh yang penting bukan saja sebagai konsultan legal Presiden dan badan-
badan pemerintahan, tetapi juga menjadi penafsir konstitusi itu sendiri. Lembaga
ini, berperan dalam pertumbuhan dan pengembangan peran Presiden dalam
memberikan signing stateman, suatu pernyataan sikap Presiden bahwa Undang-
Undang yang telah ditandatanganinya, sesungguhnya mempunyai persoalan
konstitusional yang menegaskan afiliasi sikap politiknya terhadap produk hukum
tersebut.

94 | Hukum Kelembagaan Negara


atau ditandatangani oleh Presiden guna memastikan ketiadaan
problem konstitusinya. 204 Meskipun demikian, pendapat OLC
bukanlah kata akhir, karena dalam suatu kasus, lembaga ini dinilai
telah bertindak ―overrule‖ dalam menentukan tingkat
konstitusionalitas Undang-Undang.
Dalam studinya yang cukup komprehensif, Steven G.
Calabresi and Christopher S. Yoo menyatakan bahwa cakupan
unitary executive dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat
adalah ―include the President‘s power of removal, the President‘s
power to direct subordinate executive officials, and the
President‘s power to nullify or veto subordinate executive
officials‘ exercise of discretionary executive power.‖ 205 Dalam
studi itu juga diungkapkan bahwa ―the executive branch‘s
consistent opposition to congressional incursions of the unitary
executive has been sufficiently consistent and sustained to refute
any suggestion of presidential acquiescence in derogations from
the unitary executive.‖206
Sekalipun Presiden mempunyai kualifikasi untuk ―to direct
subordinate executive officials‖, tetapi menurut Peter Strauss ―but
not the power to veto the decisions of subordinates.‖207 Menurut
Richard J. Pierce, Jr., hal ini disebabkan oleh alasan-alasan
sebagai berikut:208

204
William P. Barr, op.cit., hlm. 38.
205
Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, 2008, The Unitary
Executive: Presidential Power from Washington to Bush, Yale University Press,
hlm. 14.
206
Ibid., hlm. 28.
207
Peter Strauss, Overseer of the Decider, op.cit., hlm. 696.
208
Richard J. Pierce, Jr., ―Saving the Unitary Executive Theory From
Who Would Distort and Abuse It: A Review of the Unitary Executive By Steven
G. Calabresi and Chirstopher Yoo‖, University of Pennsylvania Journal of
Constitutional Law, 2009, hlm. 6.

Hukum Kelembagaan Negara | 95


The difference between the power to veto and the power to
remove is not subtle. If a President could veto a decision of
an executive branch officer, he undoubtedly would do so
with some frequency and often at little political cost. By
contrast, removing an officer is always costly. Frequently,
the cost of removal is so high that a President reluctantly
acquiesces in a decision with which he strongly disagrees
in order to avoid incurring the high cost of removing the
executive branch officer who made the decision. I will
discuss the political cost of removing an executive branch
officer systematically in a subsequent section of this essay,
but one example provides a good illustration of the
potentially high cost of removal. I believe that President
Nixon‘s unquestionably lawful decisions to remove Attorney
General Elliot Richardson, Acting Attorney General
William Ruckelshaus, and indirectly, Special Counsel
Archibald Cox cost him the Presidency. By contrast
President Clinton was able to survive a similar scandal
because he was smart enough to know that removing
Attorney General Reno and replacing her with someone
who would remove Ken Starr would cost him far more than
allowing Starr to continue the Whitewater investigation.

Menurut Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo,


dalam hal removal power, Presiden dalam berhadapan dengan
Konggres selalu mendapatkan kemenangan. 209 Tetapi kenyataan,
seperti ditulis oleh Richard J. Pierce, Jr., ―Three times the Court
has upheld statutory limits on the President‘s removal power;
none of those cases has been overruled; and the President
209
Big fights about whether the Constitution grants the President the
removal power have erupted frequently, but each time the president in power has
claimed that the Constitution gives the President power to remove and direct
subordinates in the executive branch. And each time the president has prevailed.
Op.cit., hlm. 9.

96 | Hukum Kelembagaan Negara


continues to be subject to statutory limits on his power to remove
many executive branch officers.‖ 210 Bahkan, ―over the last half
century no president has challenged those judicially-approved
limits on his removal power by attempting to remove any of the
many executive branch officers that are subject to such limits.‖211
Removal power juga sering menjadi kasus yang menarik perhatian,
khususnya yang menyangkut lembaga independen (independence
agency), karena untuk lembaga semacam ini ada semacam
anggapan beroperasi di luar jangkauan Presiden, seperti Komisi
Bursa Efek (Securities and Exchange Commission) dan Komisi
Komunikasi Federal (the Federal Communications
212
Commission). Termasuk juga putusan Mahkamah Agung
Federal yang mengabaikan veto legislatif, tata cara pelaksanaan
veto Presiden, dan upaya Konggres untuk mengontrol pengeluaran
negara melalui Gramm-Rudman-Hollings Act.213

4. Lembaga Kepresidenan Menurut UUD 1945


Salah satu kesepakatan dasar dalam kerangka Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya ditulis sebagai UUD 1945) dalam proses reformasi
konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kurun
210
Richard J. Pierce, Jr., op.cit., hlm. 7.
211
Ibid.
212
Masalah independent agency dan relasinya dengan Presiden
sehubungan dengan unitary executive, cukup banyak diulas dalam berbagai
tulisan di jurnal hukum. Periksa antara lain: David P. Currie, ―The Distribution of
Powers After Bowsher, Supreme Court Review, Vol. 19, 1996, hlm. 31-36; Peter
M. Shane, ―Independent Policymaking and Presidential Power: A Constitutional
Analysis‖, George Washington Law Review, Vol. 57, 1989, hlm. 608-623; dan
Peter L. Strauss, ―The Place of Agencies in Government: Separation of Powers
and the Fourth Branch‖, Columbia Law Review, Vol. 84, 1994, hlm. 573.
213
Baca: Christopher S. Yoo, Steven G. Calabresi & Anthony J.
Colangelo, ―The Unitary Executive in the Modern Era, 1945–2004‖, Iowa Law
Review, Vol. 90, 2005, hlm. 603.

Hukum Kelembagaan Negara | 97


waktu 1999-2002 adalah mempertegas sistwem pemerintahan
presidensial.214 Namun capaian reformasi konstitusi terkait dengan
isu ini justru menghasilkan sejumlah norma konstitusional yang
mengarah kepada upaya mengurangi dominasi lembaga
kepresidenan dalam penyelenggaraan negara, seperti ditunjukkan
terhadap isu-isu di bawah ini:215
1. Pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan
presiden dan wakil presiden;
2. Pembatasan masa jabatan seorang presiden untuk dua kali
masa jabatan;
3. Kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan berada
pada DPR;
4. Perlindungan hak asasi manusia; dan
5. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD.

Capaian legal di atas bukanlah proses yang tunggal, akan


tetapi didorong oleh kenyataan akibat praktik politik masa-masa
sebelumnya yang menyebabkan UUD 1945 mendapatkan cap
sebagai konstitusi yang ―sarat eksekutif‖. 216 Konstitusi ini
memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif tanpa
menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di
bawah UUD 1945, Presiden adalah kepala pemerintahan dan
kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden memiliki
kewenangan eksklusif atas menteri-menteri dan pembentukan
kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2)). Sebagai kepala negara,
presiden memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi Panglima
Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;

214
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, Panduan Sosialisasi UUD 1945,
Jakarta: Setjen MPR RI, hlm. 22-23.
215
Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum
Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, hlm. 3.
216
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran, Bandung: Mizan Pustaka, hlm. 152-154.

98 | Hukum Kelembagaan Negara


(ii) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii)
menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); (iv) mengangkat duta
besar dan konsul; dan menerima surat-surat kepercayaan data
besar sahabat (Pasal 13); dan (v) memberi gelar, tanda jasa, dan
tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).
Sistem UUD 1945 menjadi lebih ―sarat eksekutif‖ karena di
samping kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian
besar Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. Dominasi
kekuasaan Presiden itu disertai dengan tidak adanya sistem check
and balances yang tidak jelas.
Hal itu ditunjukkan adanya norma dalam naskah asli UUD
1945 yang menyatakan MPR adalah lembaga tertinggi negara dan
merupakan ‖penjelmaan seluruh rakyat Indonesia‖, yang
melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini adalah konsep
kedaulatan parlemen. Ini menunjukkan warna parlementer dalam
sistem pemerintahan negara. Tetapi di sisi lain, argumen corak
konstitusi ―sarat eksekutif‖ itu menjadi indikasi kuat bahwa dalam
praktiknya, Indonesia menerapkan sistem presidensial. Praksis
politik juga menunjukkan bahwa MPR yang superior itu tidak kuat
mengendalikan Presiden. Seperti dikatakan oleh Muhammad
Ridwan Indra, bahwa meskipun berdasarkan UUD 1945, MPR
lebih unggul sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi pada
praktiknya, Presidenlah yang lebih dominan. Dalam ranah teoritis
kemudian sistem pemerintahan yang dihasilkan adalah sistem
pemerintahan yang remang-remang karena mengandung baik segi-
segi sistem parlementer dan sistem presidensial.217
Dengan didorong oleh faktor sejarah tersebut, menjadi nyata
bahwa kemudian dalam proses reformasi konstitusi walaupun
disepakati tekad mempertahankan sistem presidensial, akan tetapi
disertai juga semangat untuk mengatur kekuasaan Presiden.
Momen itu dimulai pada Perubahan Pertama (1999) yang

217
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi.

Hukum Kelembagaan Negara | 99


mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan
Presiden dan memberikannya kepada DPR. Kekuasaan Presiden
untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi
negara sudah diatur dengan lebih baik. Ini disusul dengan
diadopsinya mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
―dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ditentukan
dalam konstitusi bahwa partai-partai politik atau koalisinya, yang
berpartisipasi dalam pemilu, mengusulkan calon-calon presiden
dan wakil presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih
dari 50% jumlah suara dalam pemilu dengan minimal 20% suara
di lebih dari setengah jumlah propinsi yang ada di Indonesia,
dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Sisi lain untuk meneguhkan sistem presidensial adalah
prosedur untuk memberhentikan Presiden menjadi jelas. Alasan-
alasan untuk melakukan impeachment meliputi: pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, maupun apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat jabatannya. Kini,
proses ini tidak semata-mata merupakan proses politik yang
melibatkan MPR dan DPR, tetapi juga proses hukum yang
mengikutsertakan Mahkamah Konstitusi yang baru saja dibentuk.
Namun proses reformasi konstitusi luput mengatur
mengenai pertanggungjawaban presiden. Sebuah isu yang bukan
saja secara teoritis sudah dipersoalkan sejak dahulu, tetapi
sebenarnya ini pararel dengan implikasi diterapkannya sistem
pemelihan presiden langsung. Konstitusi baru hanya memerinci
mekanisme pemberhentian Presiden seperti diatur di dalam Pasal
7A dan 7B.
Menurut Firdaus, jika norma itu dianggap berkesejajaran
dengan pertanggungjawaban presiden, maka secara hukum
mengandung sejumlah persoalan. 218 Pertama, manakah yang
merupakan bentuk dan batasan-batasan pertanggungjawaban

218
Firdaus, op.cit., hlm. 5.

100 | Hukum Kelembagaan Negara


Presiden. Kedua, apakah pemberhentian Presiden dalam masa
jabatannya oleh MPR termasuk bagian dari proses
pertanggungjawaban hukum secara politik ataukah secara hukum?
Ketiga, bagaimanakah kedudukan putusan MK yang menyatakan
Presiden terbukti secara sah melakukan pelanggaran hukum
dan/atau tidak lagi memenuhi persyatatan jabatan di dalam sidang
MPR yang hendak mengambil putusan pemberhentian Presiden.
Keempat, apakah hanya sanksi pemberhenti bagi seorang Presiden
atas pelanggaran hukum yang dilakukan? Kelima, bagaimana
sesungguhnya sistem pertanggungjawaban Presiden dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD.
Sebagaimana dipahamai bahwa salah satu perubahan
mendasar setelah Perubahan UUD 1945 adalah pergeseran arti
pelaksana kedaulatan rakyat dari MPR ke rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Kemudian Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 menegaskan negara Indonesia sebagai negara
hukum.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara yang ―diatur oleh hukum‖ (negara hukum atau rechtsstaat)
sudah terdapat sebelumnya dalam Penjelasan UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 memperkuat pernyataan ini dengan
mengadopsinya ke dalam Pasal 1 ayat (3).
Pada sisi lain, hasil Perubahan UUD seperti diuraikan di
muka menunjukkan bahwa MPR sudah mengurangi kekuasaannya
sendiri. Menurut Denny Indrayana, hal ini tidak diduga oleh
banyak kalangan dan mengejutkan bagi sebagian besar orang,
karena umumnya orang menduga bahwa lembaga ini akan
berusaha mempertahankan posisinya sebagai parlemen tertinggi
dan terkuat dengan tetap memegang kekuasaan yang pernah
dimainkannya saat mencopot Presiden Wahid. 219 Lebih lanjut
diuraikan bahwa fakta MPR membatasi kekuasaannya sendiri,
melalui Perubahan yang dibuatnya sendiri, menunjukkan bahwa

219
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 274.

Hukum Kelembagaan Negara | 101


sebuah badan pembuat konstitusi juga bisa mereformasi dirinya
sendiri melalui sebuah proses pembuatan konstitusi, asalkan ada
tekanan yang kuat dari masyarakat.220
Singkatnya, Perubahan UUD 1945 mengakhiri posisi MPR
sebagai parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan
kedaualatan rakyat. Perubahan tersebut menandai tamatnya
doktrin supremasi MPR. Dalam Penjelasan UUD 1945, doktrin ini
menyebutkan bahwa MPR ialah penyelenggara negara yang
tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang
kedaulatan negara dan karena hal ini, maka kekuasaannya menjadi
tidak terbatas. Perubahan UUD 1945 mengubah ini, mengalihkan
kedaulatan dari tangan MPR dan menegaskan bahwa ―kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurtu Undang-
Undang Dasar.‖ Dalam catatan Denny Indrayana, aturan tersebut
pertama kali diusulkan oleh Soewoto Mulyosudarmo, seorang
anggota Tim Ahli dan menjadi salah satu contoh langka pengaruh
langsung tim ini dalam proses amandemen.221
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, kedua hasil
Perubahan UUD 1945 terebut dengan tegas mengintegrasikan dua
pilar negara demokrasi yaitu kedaulatan rakyat atau demokrasi dan
kedaulatan hukum atau nomokrasi.222 Perubahan kedudukan MPR
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat selain mengembalikan
kedaulatan rakyat dan demokrasi, dinilai Bagir Manan disebabkan
oleh kedudukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat banyak
disalahgunakan untuk membuat ketetapan di luar muatan dan tata
cara yang ditentukan dalam UUD, baik pada masa rezim Soekarno
maupun Soeharto.223
220
Ibid., hlm. 275.
221
Ibid.
222
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 4.
223
Bagir Manan, 2004, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII
Press, hlm. 69.

102 | Hukum Kelembagaan Negara


Sementara itu, Maria Farida Indrati Soeprapto
menambahkan bahwa setelah Perubahan UUD 1945 sistem
pemerintahan negara menunjukkan adanya pergeseran-pergeseran
yang meliputi hal-hal sebagai berikut:224
1) Konfigurasi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum, dan mempunyai
wewenang untuk: (a) mengubah dan menetapkan UUD; (b)
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; (c)
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD; (d) memilih Wakil Presiden dalam
hal terjadi kekosongan; dan (e) memilih Presiden dan Wakil
Presiden dalam hal terjadi kekosongan.
2) Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang
tertinggi, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan
dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden, yang mana
berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang
menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menurut Pasal
5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-
undang, namun dalam membentuk undang-undang, DPR harus
membahas bersama dengan Presiden dan mendapat persetujuan
dari Presiden sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Menurut Pasal 20A UUD 1945, DPR juga memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan,
memiliki hak intepelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat,
sedangkan anggota DPR juga mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak

224
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan,
Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 126-129

Hukum Kelembagaan Negara | 103


imunitas. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
tersebut, maka Presiden seharusnya bekerja sam dengan DPR.
Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada
DPR, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada
DPR.
4) Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri tidak
bertanggung jawab kepada DPR. Dalam Pasal 17 UUD 1945
antara lain ditetapkan bahwa: (a) Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara; (b) menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden; dan (c) setiap menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dengan
demikian, menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada
Presiden, oleh karena Presiden yang mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri negara tersebut. Kedudukan
menteri-menteri tersebut tidak tergantung kepada DPR, akan
tetapi tergantung Presiden, karena menteri-menteri negara itu
merupakan pembantu Presiden.
5) Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Meskipun Presiden
tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan ―diktator‖,
artinya kekuasaannya tidak tak terbatas. Kedudukan DPR
adalah kuat. Dalam hal ini, DPR tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) sebagaimana
ketentuan Pasal 7C UUD 1945, yang menyatakan bahwa
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
DPR. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota
DPR dan DPD semuanya merangkap menjadi anggota MPR.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 20A
UUD 1945, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-
tindakan Presiden, sehingga apabila DPR menganganggp
bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh UUD,
maka melalui putusan MK, DPR dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden kepada PR. Seperti dalam sistem

104 | Hukum Kelembagaan Negara


pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD 1945, maka
menteri-menteri negara bukan pegawai biasa. Meskipun
kedudukan menteri negara tergantung dari Presiden, akan tetapi
mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh karena menteri-
menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah
(pouvoir executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin
departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang
mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu,
menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam
menentukan politik negara yang mengenai departemennya.
Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam
pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama-sama satu
sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan mencermati ketentuan-


ketentuan UUD 1945 seperti diuraikan di atas, maka setelah
Perubahan UUD 1945 Indonesia secara resmi telah menganut
ajaran Trias Politica, yang mengacu pada sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power atau scheiding van machten).225
Akan tetapi, Maria Farida Indrati Soeprapto menolak argumen
tersebut dengan menyatakan bahwa kewenangan pembentukan
undang-undang dilaksanakan oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden. Dengan demikian, dapat disimpulkan pula
bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam
arti eksekutif dan kekuasaan membentuk Undang-Undang (dalam
arti legislatif) bersama DPR. 226 Diuraikan lebih lanjut bahwa
aplikasi Perubahan UUD 1945 menempatkan Presiden tetap
sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara, yang
menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti

225
Op.cit., hlm. 45.
226
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 131.

Hukum Kelembagaan Negara | 105


luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan
pengaturan.227
Menurut pendapat penulis, pendapat Maria Farida Indrati
Soeprapto tersebut lebih mendekati kenyataan normatif, sebab
penerapan ajaran pemisahan kekuasaan seperti dimaksudkan oleh
Jimly Asshiddiqie, tidak bisa serta merta disimpulkan hanya dari
aspek legislasi saja, di mana dulu kekuasaan membentuk undang-
undang dipegang oleh Presiden, akan tetapi kemudian beralih
kepada DPR. Jika hal ini pun diterima masih harus dicatat bahwa
ketentuan-ketentuan UUD 1945 juga masih mensyaratkan adanya
hubungan timbal balik antara Presiden dan DPR untuk
menetapkan sebuah undang-undang (lihatlah dalam Pasal 20 ayat
(2), (3), dan (4)).
Walaupun secara normatif UUD 1945 tetap menempatkan
presiden sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara,
akan tetapi di dalam realisasinya Perubahan UUD 1945 juga
menghasilkan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan
Presiden. Belajar dari pengalaman masa kepresidenan Soekarno
dan Soeharto yang panjang, MPR menyisipkan ke dalam UUD
1945 satu jurus pelindung yang menhatakan bahwa Presiden dan
Wakil Presiden bisa dipilih kembali untuk jabatan yang sama
hanya sebanyak satu masa jabatan lagi (Pasal 7 setelah Perubahan
UUD 1945). Hal ini berarti MPR menegaskan lagi Ketetapan
MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Upaya membatasi masa jabatan
Presiden merupakan satu langkah reformasi yang penting karena
menghilangkan satu diantara karakteristik otoriter utama yang
melekat pada UUD 1945. Jadi, penulis memandang bahwa lebih
dari yang manapun, perubahan masa jabatan presiden ini telah
memberikan arah yang jelas tentang transisi politik dari
otoritarianisme.

227
Ibid.

106 | Hukum Kelembagaan Negara


Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan yudisial
Presiden dan memberi DPR lebih banyak pengaruh dalam masalah
hukum dan kehakiman. Perubahan Pasal 14 ayat (2) menyatakan
bahwa Presiden harus mendengarkan saran-saran DPR sebelum
memberikan amnesti dan abolisi. Selain itu, amandemen Pasal 14
ayat (1) juga mengharuskan Presiden untuk berkonsultasi terlebih
dahulu dengan MA sebelum memberikan grasi dan rehabilitasi.
Pada sisi lain, Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan
diplomatik Presiden, dan memberi DPR lebih banyak hak kontrol
dalam pengangkatan duta besar, konsul, dan dalam menerima duta
besar negara-negara asing. Kekuasaan Presiden ini harus juga
digunakan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945).
Perubahan lain yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
sebelumnya adalah diubahnya aturan tentang upacara pengambilan
sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9). Perubahan
ini diilhami oleh sumpah jabatan Habibie, yang disaksikan oleh
MA di Istana Merdeka, karena MPR saat itu tidak bisa berkumpul.
Perubahan yang membatasi kekuasaan Presiden untuk
memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya
(Pasal 5) juga dipicu oleh tindakan Habibie yang membagi-
bagikan tanda kehormatan pada pendukung-pendukungnya pada
bulan Agustus 1999.
Sementara itu, ada juga upaya-upaya untuk membatasi
kekuasaan Presdien dalam mengangkat anggota-anggota kabinet.
Diusulkan agar dalam mengangkat menteri-menteri, Presiden
harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan DPR. Usulan
ini gagal karena mayoritas anggota MPR waktu itu sepakat bahwa
untuk memperkuat sistem presidensial tidaklah lalu serta merta
mengubah UUD 1945 dari cap sarat eksekutif menjadi konstitusi
yang sarat legislatif.
Satu perubahan radikal lainnya adalah diadopsinya
mekanisme pemilihan Presiden langsung. Presiden dan Wakil
Presiden dalam satu pasangan secara langsung. Partai-partai

Hukum Kelembagaan Negara | 107


politik atau koalisinya, yang berpartisipasi dalam Pemilu,
mengusulkan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan
calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara
dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah
jumlah propinsi yang ada di Indonesia, dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden.
Sasaran reformasi konstitusi secara minimalis telah
mencapai tujuannya dengan adanya peneguhan sistem presidensial
yang antara lain ditunjukkan oleh hal-hal: (a) Presiden dan Wakil
Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif;
(b) Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy);
dan (c) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR kecuali
jika ada tuntutan DPR kepada MK tentang adanya pelanggaran
hukum dan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila
tuntutan tersebut dikuatkan oleh MK dalam suatu keputusan, maka
DPR dapat melanjutkan tuntutan pemberhentian Presiden kepada
MPR.

108 | Hukum Kelembagaan Negara


BAB V
KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Independensi Kekuasaan Kehakiman


Pembicaraan mengenai kekuasaan kehakiman (judicial
system) jarang mendapatkan porsi utama dalam diskusi mengenai
desain ketatanegaraan. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya
karya Sartori (1994) yang berjudul ―Comparative Constitutional
Engineering‖ menghabiskan banyak lembaran pembahasan
sehubungan dengan sistem pemilihan umum (electoral system)
dan seleksi eksekutif (dalam sistem presidensial maupun
parlementer), tetapi tidak membahas mengenai kekuasaan
kehakiman.
Seperti dalam formulasi negara Amerika Serikat, kekuasaan
kehakiman merupakan bagian penting sehubungan dengan doktrin
pemisahan kekuasaan seperti halnya dicetuskan oleh Montesqiue,
dan kemudian dikonkritkan oleh Alexander Hamilton, James
Madison, dan Jay, dalam karya mereka yang berjudul ―The
Federalist Paper.‖ Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan
itulah muncul anggapan bahwa salah satu watak dasar dari
kekuasaan kehakiman adalah independensi. Adapun independensi
itu bukan hanya dipahami melalui ketentuan konstitusi saja, akan

Hukum Kelembagaan Negara | 109


tetapi juga bagaimanakah kenyataannya di dalam praktik. Ia tidak
hanya berbicara mengenai dirinya sendiri, tetapi juga
bagaimanakah lembaga negara yang lain memberikan pengaruh
kepada derajat independensi badan pengadilan, termasuk
bagaimanakah aktor pengadilan itu memandang dirinya dalam
berhubungan dengan kenyataan-kenyataan di sekitarnya.
Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, ―Independent
judiciary is the sin qua non-of a democratic government.‖228 Hal
ini karena, ―Independence of judiciary truly means that the judges
are in a position to render justice in accordance with their oath of
office and only in accordance with their own sense of justice
without submitting to any kind of pressure or influence be it from
executive or legislative or from the parties themselves or from the
superiors and colleagues.‖ 229 Selanjutnya dikatakan bahwa,
―Independence of judiciary depends on some certain conditions
like mode of appointment of the judges, security of their tenure in
the office and adequate remuneration and privileges.‖ 230 Untuk
mewujudkan hal ini, maka separasi kekuasaan peradilan menjadi
penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, ―The concept of
separation of the judiciary from the executive refers to a situation
in which the judicial branch of government acts as its own body
frees from intervention and influences from the other branches of
government particularly the executive.‖231 Lebih lanjut dikatakan
bahwa, ―Complete separation is relatively unheard or outside of
theory, meaning no judiciary is completely severed from the
administrative and legislative bodies because this reduces the
potency of checks and balances and creates inefficient

228
Md. Hossein Mollah, ―Separation of Judiciary and Judicial
Independence in Bangladesh‖, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7 No. 48,
Spring 2006, hlm. 445.
229
Ibid.
230
Ibid., hlm. 447.
231
Ibid.

110 | Hukum Kelembagaan Negara


communication between organs of the state.‖ 232 Hal ini
mengkonfirmasi pandangan L.P. Thean yang mengatakan bahwa
―That the most common and most discussed feature of judicial
independence is from governmental or executive intereference.‖233
Namun demikian, ―there is no single model of judicial
independence or generally accepted set of institutions or best
practices, at leastnone articulated with sufficient specificity to be
useful for reformers.‖234 Bagaimanapun, ―Judicial independence is
a multifaceted concept.‖235 Hal ini disebabkan karena:236
The most basic form of judicial independence, decisional
independence, refers to the ability of judges to decide cases
independently in accordance with law and without (undue,
inappropriate, or illegal) interference from other parties or
entities. One prerequisite for decisional independence is
that judges enjoy personal independence, which requires
that their terms of office be reasonably secure;
appointments and promotions should be elatively
depoliticized; judges should be provided an adequate salary
and should notbe dismissed or have their salaries reduced
as long as they are performing adequately; transfers and
promotions should be fair and according to preestablished

232
Ibid.
233
L.P. Thean, ―Judicial Independence and Effevtivenes‖, Sourtern
California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999, hlm. 535.
234
Asian Development Bank, ―Judicial Independence Overview and
Country-level Summaries,‖ (2003), hlm. 2, dalam
www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_Overview_Report.pdf.,
diakses 27 Maret 2011.
235
Randall Peerenboom, ―Judicial Independence in China Common
Myths and Unfounded Assumptions‖, Journal International Law Studies, Vol.
17, 2009, hlm. 71.
236
Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 111


rules; and judges should be assigned cases in an impartial
manner.

Secara umum, tradisi hukum Anglo-Saxon menetapkan


bahwa hanya mereka yang telah mempunyai rekam jejak panjang
dalam profesi hukum yang dapat dipilih sebagai hakim. Mereka
dipilih dari orang-orang yang cakap hasil didikan perguruan
tinggi. Ini yang dikatakan sebagai the professional model
corresponding. 237 Namun dalam tradisi civil law, yang dikenal
sebagai beurocratic model corresponding, hakim adalah aparatur
negara, yang mengalami pendidikan khusus setelah menyelesaikan
pendidikan universitas.238
Feld dan Voigt misalnya, membangun argumen bahwa
independensi kekuasaan kehakiman dapat dilacak ke dalam 2
indikator, yaitu secara de jure, dengan memperhatikan dokumen
legal yang mengaturnya, dan secara de facto, ialah dengan

237
In common law, only experienced practitioners may become judges.
It has a system of training based primarily on scholarly knowledge, with
universities as the main providers for future judges‘ education. Lihat: D.
Woodhouse, ―The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the
People?‖, Parliamentary Affairs, Vol. 54, 2001, hlm. 223–237.
238
In civil law tradition, judges are trained in special schools after
a recruitment conducted amongst university graduates. But the training is
strictly separated between the legal actors who will be on the side of the parties,
defending or not, and the legal actor who will be on the side of thestate – the
judge. Furthermore, the judge is effectively a civil servant: they are there to serve
the state, and ultimately the social structure, in accordance with their curia
regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to
that found in common law. The only connection between the different actors of
the legal team in the case of civil law is that of education. But the way the career
of judges is organised (shaped by the civil service structure, itself conditioned by
the weight of the authority and symbolism of ―public power‖) creates a flow
through the system, between ―lower-level (young) judges‖ and ―higher-
level (older) judges‖. Lihat dalam David Marrani, ―Confronting the symbolic
position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative
Essay‖, European Journal of Legal Studies, Vol. 3, 2010, hlm. 60.

112 | Hukum Kelembagaan Negara


memperhatikan derajat kebebasannya dalam praktik. 239 Kedua
penulis ini menyimpulkan bahwa judicial independence
mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi (economic
growth). Dengan sampel kepada 56 negara, Feld dan Voigt
memperoleh data bahwa secara de jure, kekuasaan kehakiman
yang independen tidak mempunyai hubungan dengan
pertumbuhan ekonomi, akan tetapi sebaliknya, secara de facto,
mempunyai kaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai
tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang
kekuasaan yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan
independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah
peradilan menafsirkan ketentuan Undang-Undang (statutory
interpretation) 240 , atau dalam tradisi ketatanegaraan Amerika
Serikat, bagaimana peradilan ―menempatkan diri‖ pada relasi
Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif
kekuasaannya. 241 Pada sisi lainnya, independensi peradilan
dikaitkan dengan seberapa besar eksekutif dan legislatif
―memasok‖ anggaran bagi badan pengadilan. 242 Perspektif lain,
239
Lihat selengkapnya dalam L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, ―Economic
Growth and Judicial Independence: Cross-Country Evidence using a new set of
indicators‖, European Journal of Political Economy Vol. 3, 2003, hlm. 497-527.
240
Lihat misalnya tulisan J. Ferejohn dan B. Weingast, ―A Positive
Theory of Statutory Interpretation‖, International Review of Law and Economics,
Vol. 12, 1992, hlm. 263-279.
241
Baca misalnya: T.M. Moe, ―Political Institutions: The Neglected Side
of the Story‖, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 6, 1990, hlm.
213-253; J.R.Macey, ―Separated Powers and Positive Political Theory: The Tug
of War Over Administrative Agencies‖, Georgetown Law Journal, Vol. 80,
1992, hlm. 671-703; dan N.S. Zeppos, ―Deference to Political Decisionmakers
and the Preferred Scope of Judicial Review‖, Northwestern University Law
Review, Vol. 88, 1993, hlm. 296-371.
242
Misalnya tulisan Eugenia Toma, ―Congressional Influence and the
Supreme Court: The Budget as a Signaling Device‖, Journal of Legal Studies,
Vol. 20, 1991, hlm. 131-146.

Hukum Kelembagaan Negara | 113


indepensi peradilan tercipta jika ―if politicians fear to lose power
and the farther the ideal points of the rival parties are apart.‖243
Dengan mengambil kasus di Jepang, Ramseyer dan
Rasmusen menyelidiki independensi peradilan dengan
mewawancarai 276 hakim, yang menyimpulkan bahwa ―that
judges who decided a case against the government incurred the
risk of being punished with less attractive posts. 244 Dalam
penyelidikannya yang lain, Ramseyer dan Rasmusen juga
memperoleh data bahwa dari putusan 179 perkara pajak dan 284
pengadilan banding pajak, ―judges who decide cases in favor of
the government do better than those who favor taxpayers.‖245 Jadi
untuk menentukan independensi peradilan di sini berlaku asumsi
―independence is endangered if the government is solely
responsible for career developments of judges.‖246
Hasil studi David S. Law menunjukkan bagaimana
berkuasanya seorang Ketua Mahkamah Agung di Jepang.
Bagaimanapun, ―if he can attain the position of Chief Justice, he
will enjoy influence over both the behavior and the composition of
the Court.‖247 Bentuk pengaruh Ketua Mahkamah Agung terutama
adalah dalam menentukan seleksi hakim, termasuk hakim agung,
berikut juga masalah proses pensiunnya, yang semuanya

243
M. Ramseyer, ―The Puzzling (In)dependence of Courts: A
Comparative Approach‖, Journal of Legal Studies, Vol. 2, 1994, hlm. 721-747.
244
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Judicial Independence in a Civil
Law Regime: The Evidence from Japan‖, Journal of Law, Economics and
Organization, Vol. 2, 1997, hlm. 259-286.
245
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Why the Japanese Taxpayer
Always Loses‖, Southern California Law Review, Vol. 2-3, 72, 1999, hlm. 571-
595.
246
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen ,‖ Why Are Japanese Judges So
Conservative in Politically Charged Cases?‖, American Political Science Review,
Vo. 2, 2001, hlm. 331-344.
247
Op.cit., hlm. 1550.

114 | Hukum Kelembagaan Negara


berlangsung tidak jelas dan penuh kerahasiaan. Pencalonan
seorang hakim agung dilakukan oleh Perdana Menteri, yang pada
gilirannya amat ditentukan oleh saran Ketua Mahkamah Agung.
Jika ada jabatan hakim agung yang lowong, maka Ketua
Mahkamah Agung ―submits to the Prime Minister a list of
candidates containing from one to three names. No Prime
Minister in recent memory is known to have rejected the Chief
Justice‘s recommendations outright.‖ 248 Pengaruh besar Ketua
Mahkamah Agung akan melembaga mengingat ―vacancies occur
much more frequently in Japan than in the United States owing to
a combination of factors—namely, the relatively high number of
seats, the statutorily imposed mandatory retirement age of
seventy, and the practice of appointing justices in their mid-
sixties.‖
Di Israel, komposisi Mahkamah Agung mencerminkan
watak yang menunjukkan adanya persaingan ideologis ―between
the liberal tradition, both Central-European and Anglo-
American, and a very different, East-European political style,
which the judges observed in other governmental institutions, a
style which had distinct antiliberal elements.‖ 249 Hakim Agung
diseleksi oleh suatu komisi yang susunannya meliputi 3 Hakim
Agung, 2 wakil organisasi advokad, 2 anggota kabinet/menteri,
dan 2 anggota parlemen (Knesset). 250 Perempuan Hakim Agung
untuk pertama kalinya diangkat pada 1977 dan jumlahnya terus
bertambah, dan dewasa ini mencapai jumlah separuh dari susunan
majelis, termasuk Ketua Mahkamah Agung, Dorit Beinish.

248
Ibid.
249
Eli M. Salzberger, ―Judicial Activism in Israel‖, Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=984918, hlm. 22.
250
Dengan komposisi itu, maka ―despite political input of the two
Knesset members (traditionally one from the opposition) and two ministers,
there is a majority of 5 to 4 of non-politicians and it gives the three Supreme
Court judges an advantage as the largest group in the committee.‖ Ibid., hlm. 23.

Hukum Kelembagaan Negara | 115


Keanggotaan 3 Hakim Agung yang dominan memberikan warna
ideologis pada Mahkamah Agung. Mereka cenderung mempunyai
karakter nilai liberal dibandingkan pemerintah maupun parlemen.
Pada praktiknya, untuk isu publik yang dominan seperti
perdamaian, keamanan, dan hak asasi manusia, Mahkamah Agung
berwatak kiri dibandingkan cabang kekuasaan lain. Untuk isu
moralitas dan hubungan negara dan agama, Mahkamah Agung
lebih kanan dibandingkan cabang kekuasaan lain. Di bawah
pemerintahan Partai Buruh (yang berhalauan sosialis dan berkuasa
hampir 30 tahun sampai tahun 1977), Mahkamah Agung lebih
berwatak liberal, tetapi dewasa ini, karena sifat pemerintahannya
yang liberal, ―the Court is slowly shifting left to represent a
more social justice orientated stanc.‖251 Pada kondisi ideologis
itu, maka putusan Mahkamah Agung ―not only in terms of ethnic,
gender and religion, but also in terms of values and ideologies, is
a separate cultural system and thus membership of the Court is
exclusive to those who subscribe themselves to liberal values.
The commitment to this value system, according to Mautner, ought
to be a precondition for appointment.‖252
Dalam kasus Mahkamah Agung Singapura, Konstitusi
menyebutkan bahwa watak independensi kekuasaan peradilan
adalah adanya masa jabatan hakim. Para hakim agung hanya
boleh diajukan dalam satu kali masa jabatan dan resmi berhenti
ketika mencapai 65 tahun. 253 Hakim agung hanya dapat
diberhentikan oleh Presiden Singapura setelah memperoleh
rekomendasi dari sebuah majelis khusus yang dibentuk untuk
memeriksa alasan-alasan pemberhentian dan majelis itu meliputi
sebanyak-banyaknya 5 orang atau diambil dari mereka yang

251
Ibid., hlm. 26.
252
Ibid., hlm. 27.
253
Pasal 98 ayat (1) Konstitusi Singapura (1999 Revision).

116 | Hukum Kelembagaan Negara


pernah menjabat hakim agung. 254 Diatur juga bahwa renumerasi
selama memangku jabatan hakim agung tidak boleh lebih rendah
dibandingkan dengan pekerjaan mereka sebelumnya. 255 Tetapi
pengaturan dalam Konstitusi Singapura segera menunjukkan
bahwa bentuk murni dari pemisahan peradilan tidak dapat
dilaksanakan secara riil.256
Sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat juga mencatat
bahwa penunjukkan hakim agung kadang sarat dengan
pertimbangan kepentingan politik dari seorang presiden. 257
Sebagai contoh adalah penunjukkan Ketua Mahkamah Agung
John Marshall, yang sarat dengan kepentingan politik Presiden
John Adams, di mana presiden sebelumny atelah menolak calon-
calon lain. Faktor utama penetapan John Marshal sebagai Ketua
Mahkamah Agung karena atar belakangnya sebagai federalis
sangat kuat dalam pandangan Adams. Penobatan Marshall sebagai
Ketua Mahkamah Agung hanya terjadi beberapa saat sebelum
jabatan presiden beralih kepada Thomas Jefferson, yang di
kemudian hari merupakan seteru Marshall dalam upaya
memperkuat posisi kekuasaan kehakiman. Penolakan Presiden
Adams untuk memilih Peterson, kaena penolah terhadap faksi

254
Pasal 98 ayat (3)-ayat (5) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
255
Pasal 98 ayat (8) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
256
Hal ini dapat dibaca antara lain dalam Pasal 95 Konstitusi yang
mengatakan bahwa hakim agung ditetapkan oleh Presiden menurut pertimbangan
Perdana Menteri. Pasal 23 mengatur bahwa penyelenggaraan wewenang
eksekutif adalah Presiden menurut aturan yang ditetapkan dalam konstitusi atau
oleh Kabinet atau menteri-menteri sebagai bagian dari Kabinet. Komposisi
pengaturan rekrutmen yang segera kental dengan aroma peran eksekutif ini oleh
L.P. Thean bahwa judicial independence from the executive does not lie solely in
the provisions of the Constitution, but also in the complex mix political,
economic, and other forces acting on the executive.‖ Lihat L.P. Thean, op,cit.,
hlm. 558.
257
Bernard schwartz, 1993, A History of Supreme Court, New York,
Oxford University Press, hlm. 3-13.

Hukum Kelembagaan Negara | 117


Hamilton di Senat di mana Peterson dianggap berafilisasi, telah
membuka jalan bagi Marshall menjadi Ketua Mahkamah Agung.
Nominasi hakim agung di Amerika juga dikaitkan dengan
kepentingan calon presiden, terutama terkait dengan upaya
menggalang pemilih dengan karakteristik tertentu dalam
pemilihan umum.258 Sebagai contoh adalah nominasi Sandra Day
O‘Connor oleh Presiden Ronald Reagen yang dimaksudkan untuk
lebih menarik pemilih perempuan dalam Pemilihan Presiden tahun
1981. 259 Satrategi yang sama sebelumnya juga dilakukan oleh
oleh Richard Nixon dengan mencalonkan Clement Hysnworth
(1969), G. Harold Powell (1970), dan Lewis Powell (1971)
sebagai hakim agung dengan maksud sebagai strategi untuk lebih
menarik pemilih dari wilayah selatan Amerika dalam pemilihan

258
Ibid, hlm. 32-34.
259
Ibid. Sandra Day O‘Connor sebelumnya merupakan Ketua Parlemen
Negara Bagian Arizona. Dalam sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat dapat
ditelisik, bahwa periode 1861-1895 dari 22 nominasi calon Hakim Agung,
sebanyak 13,6% berlatar belakang non profesi hukum dan 45,5% berasal dari
profesi hukum. Pada periode 1896-1932, dari 19 nominasi, sebanyak 26,3%
berlatar belakang non profesi hukum dan 42,1% dari profesi hukum. Sebaliknya,
pada kurun 1933-1968 komposisinya terbalik, di mana dari 21 nominasi, 61,9%
berasal dari kalangan nonprofesi hukum, sedangkan 28,6% berasal dari kalangan
profesi hukum. Situasi berubah dalam periode 1969-2005, di mana dari 13
nominasi, sebenyak 7,7% dari kalangan nonprofesi hukum dan dari profesi
hukum meningkat menjadi 84,6%. Lihat dalam Lawrence Baum, op.cit., hlm.67.
Sampai tahun 1997, dari 9 (sembilan) orang hakim agung, sebanyak 5
(lima) orang hakim berasal dari kalangan nonprofesi hukum dan sisanya dari
profesi hukum. Profilnya karir sebelum menjadi hakim agung adalah William
Rehnqusit (Asisten Jaksa Agung Federal, 1969-1971); Steven (Komisi Hukum
Dewan Perwakilan Rakyat, 1951); Sandra Day O‘Connor (Ketua Parlemen
Negara Bagian Arizona, 1969-1975); Anthony Scalia (Asisten Jaksa Agung
Federal, 1974-1977); Anthony Kenendy (lobbyist, 1963-1974); Souter (Asisten
Jaksa Agung Negara Bagian New Hempshire, 1968-1978); Thomas (Direktur
Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja, 1982-1990), dan Breyer (Komisi Hukum
Senat, 1974-1980). Lihat: Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices
Justice Make, Washington D.C., CQ Press, hlm. 37.

118 | Hukum Kelembagaan Negara


umum. 260 Sementara itu, Presiden Ronald Reagen termasuk
Presiden Amerika Serikat yang berupaya memberikan pengaruh
terhadap proses peradilan selama periode pemerintahannya,
termasuk memilih hakim-hakim agung dan Ketua Mahkamah
Agung sejalan dengan pemikiran politiknya.261 Pemilihan William
Rehnquist sebagai Ketua Mahkamah Agung mengubah peta
perimbangan kekuatan politik diantara eksekutif dengan yudikatif
dan legislatif. Penempatan hakim-hakim agung melalui nominasi
Reagen berhasil menempatkan Supreme Court di bawah bayang-
bayang politik pemerintahan Reagen, di mana secara konsisten
lahir putusan-putusan pengadilan yang mendukung pembuatan
undang-undang baru tentang aborsi pada 1988. Padahal 15 (lima
belas) tahun sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan
putusan yang memperkuat hak perempuan untuk menentukan soal
aborsi tersebut. Diantara nominasi hakim agung dan Ketua
Mahkamah Agung dengan pertimbangan politik dari Presiden,
sejarah Amerika Serikat mencatat 3 (tiga) nominasi Ketua
Mahkamah Agung sangat penting bagi sejarah perjalanan
kekuasaan kehakiman dan berpengaruh terhadap pentas politik
negara yaitu pencalonan John Marshall (1801), Earl Warren
(1953), dan Abe Fortas (1968). 262 Walaupun demikian, ada
Presiden yang selama masa jabatannya tidak dapat menggunakan
pandangan politiknya untuk mempengaruhi hakim agung, seperti
Presiden Jimmy Carter (1977-1981).263

260
Ibid., hlm. 37.
261
Ibid.
262
Ibid., hlm. 38.
263
Dalam masa jabatannya, Jimmy Carter tidak memperoleh kesempatan
melakukan rekrutmen hakim agung karena dalam masa itu tidak ada hakim agung
yang diganti. Sebelumnya, Presiden Gerald Ford, yang menggantikan Presiden
Richard Nixon untuk masa kepresidennannya yang kedua, menominasikan John
Paul Steven yang mulai bertugas 19 Desember 1975. Lihat dalam

Hukum Kelembagaan Negara | 119


Kedekatan para Hakim Agung dengan Presiden Amerika
Serikat tetap menjadi kontroversi, walaupun bukan merupakan hal
yang baru. Seperti terlihat betapa dekatnya relasi Hakim Agung
Fiske Stone dengan Presiden Herbert Hoover (18, Hakim Agung
Felix Frankfurter dengan Presiden Franklin Roosevelt (1930-
1945), dan Hakim Agung Abe Fortas dengan Presiden Lyndon
Johson (1963-1969). 264 Begitu juga kasus kedekatan Wakil
Presiden Dick Cheney dengan Hakim Agung Antonin Scalia, yang
mana keduanya pernah sama-sama menjadi pembantu Presiden
Gerald Ford (1972-1976). 265 Bagaimanapun, ―to become a
Supreme Court justice, one must come to the attention of a
politician—a member of Congress, the attorney general, or even
the President.‖266
Jadi, dalam praktik di Amerika Serikat, ―Justices may be
appointed who are acceptable only to the Republicans or only to
the Democrats.‖ Hal ini karena:267
And as long as the president has amajority in the Senate, he
has a pretty good chance of getting an appointment on the
Supreme Court who was acceptable only to the members of
his own party (so long as the other party didn‘t have
thespine to actually filibuster). The American process will
therefore result in Justices pretty far in viewpoint from the
―median‖ Senator. In other words, American court

www.a257.g.akamaitech.net/7/257/2422/14mar20010800/www.supremecourtus.
gov/about/members.pdf, diakses 12 Maret 2011.
264
Lwrence Baum, op.cit., hlm. 83.
265
Kasus ini disorot, sebab Wakil Presiden Cheney, yang pada waktu itu
menjadi Satuan Tugas Eenergi sedang berperkara melawan Pemerintah District
Court, di mana Scalia menjadi Hakim Agung yang menanganinya. Lihat ibid.,
hlm. 82-83.
266
Lee Epstein dan Jack Knight, op.cit., hlm. 37.
267
John E. Ferejohn, op.cit., hlm. 57.

120 | Hukum Kelembagaan Negara


appointments can be fairly extreme, ideologically or
jurisprudentially.

Ini yang membedakan ciri Mahkamah Agung Amerika


Serikat, di mana hakim agung menjabat selama seumur hidup,
dibandingkan dengan tradisi Eropa, termasuk dalam rekrutmen
hakim di Mahkamah Konstitusi. Pada Mahkamah Konstitusi di
Eropa, ―They provide long terms, but rarely permit reappointment.
So, basically, a judge will serve for ten years, nine years, seven
years,some relatively longish term and then leave the court‖, kata
John E. Ferejohn. 268 Contohnya, ―In Bulgaria,Romania,
Lithuania, and Hungary justices are elected for nine years, in
Albania for two years, in Belarus for eleven years, in the Czech
Republic and Ukraine for ten years, and in Slovakia for seven
years; in Poland, the tenure of justices was eightyears, and was
extended by the 1997 Constitution to nine years.‖269 Akibat pola
yang memerlukan dukungan politik ini, maka:270
[T]o get appointed to the German Federal Constitutional
Court, a prospective justice must garner the votes of two
thirds majorities in bothchambers of parliament (Bundestag
and Bundesrat). Thus, all the major political formations
must agree on a new appointment. As a result, nearly all of
the constitutional judges tend to have moderate judicial
viewpoints.

Menurut Veli-Pekka Hautamäki, dalam kasus Jerman dan


Prancis, kenampakkan nilai-nilai politik dalam peran yang
dilakukan oleh Pengadilan Konstitusi menjadi sesuatu yang
lumrah, sepanjang masyarakat menerimanya sebagai ancangan

268
Ibid.
269
Ibid.
270
Ibid., hlm. 58.

Hukum Kelembagaan Negara | 121


pilihan karena ketidakmapuan parlemen dalam merealisasikan
demokrasi. Dikatakan bahwa:
[P]eople accept the political role of the courts, because
there has been ‗chronic impotence‘ in the actions of
parliaments to realise democracy. In Germany and France,
so it became clear, political attitudes affect the choice of
judges morethan their competence in the field of law does,
although the latter is still an important factor.271

Di Norwegia, tidak ada ketentuan pasti mengenai jumlah


hakim agung pada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi
biasanya tidak lebih dari 20 orang dan dipilih oleh Menteri
Kehakiman. Tetapi hal ini tidak menjadi indikator pelabelan
politik kepada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi karena
―that the Høyesterett also has a political function, because both
law and politics belong to the role which the Høyesterett has as a
‗creator of law‘ or as a ‗negative legislator.‘272.
Politisasi rekrutmen hakim agung juga terjadi di negara
Amerika Latin seperti Argentina. Dengan mengadopsi model
Amerika Serikat, dewasa ini Argentina menghadapi tantangan
dalam reformasi peradilan dan sedang proses dalam tahapan dari
masa ―complicity in state terrorism‖ menuju ―the service of a
democratic system.‖ Menurut Alberto M. Binder, ―[After]
removal of judges who were compromised by their association
with the military regime and the reinstatement of those illegally
removed during the dictatorship...howeverafter 20 years of
democracy, the process of naming judges is still subject to
political pressure.‖ 273 Persoalan serupa nyaris melanda sistem

271
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 6.
272
Ibid., hlm. 9.
273
Alberto M. Binder, dalam Peter Dazo dan Juan Enrique Vagas,
―Judicial Reform in Latin America: An Assesment‖, Policy Papers on the
Americas Volume XVII, Study 2, September 2006, CSIS, hlm. 3.

122 | Hukum Kelembagaan Negara


peradilan di negara-negara Amerika Latin. Hal ini seperti
diungkapkan oleh Peter Hakim and Abraham Lowenthal sebagai
berikut:274
Legislatures and judicial systems in much of Latin America
still lack autonomy, stature, resources and competence
needed to carry out all of their constitutional functions
fully. Courts are overburdened and their proceedings,
both criminal and civil, are routinely delayed for years.
Judges are, for the most part, poorly trained and paid,
and they lack the funding to conduct investigations and
administer justice effectively. In many places, judicial
decisions are heavily influenced by political considerations,
intimidation or outright corruption.

Problematika di Amerika Latin itu disebabkan karena:275


Since the colonial period, Latin American judiciaries
have been compromised in many instances by their lack of
independence from other branches of the government-
particularly the executive in interpreting the law. Another
debilitating factor is the fact that civil law judicial systems
do not have to recognize that a court ruling in one case
creates a precedent that is applicable also in subsequent
legal cases.

Di Bangladesh, sejak berdiri sebagai Negara tahun 1972,


rekrutmen hakim di Mahkamah Agung, juga pejabat publik bidang
hukum lain, dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh

274
Peter Hakim and Abraham Lowenthal, "Latin America's Fragile
Democracies," Journal of Democracy, Summer 1991, hlm. 22.
275
William Ratliff dan Edgardo Buscaglia,‖Judicial Reform: The
Negleted Priority in Latin America‖, Annals of the American Academy of
Political and Social Science, Vol. 550, Maret 1997, hlm. 64.

Hukum Kelembagaan Negara | 123


Presiden. 276 Dalam aturan konstitusi semenjak awal sudah
mengabaikan peran Ketua Mahkamah Agung dalam rekrutmen
para hakim. Lebih-lebih mengingat Presiden sebagai kepala
negara, maka tidak mungkin kekuasaan Presiden itu dijalankan
tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Perdana Menteri
sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, ada dominasi
eksekutif dalam proses pengangkatan hakim di Bangladesh.277
Dalam negara yang mengenal pengujian konstitusional
(constitutional review) dengan model Austria, salah satu indikator
independensinya adalah sehubungan dengan komposisi para
hakim. Di kawasan Eropa Tengah dan Timur, yang mana pasca
runtuhnya pemerintahan komunis setiap negara mempunyai
Mahkamah Konstitusi, juga tidak mempunyai pola yang seragam
dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Sekurang-kurangnya
ada 3 model rekrutmen. Pertama, model split, artinya melibatkan
beberapa organ dengan pelaksanaan yang terpisah satu sama lain,
yang umumnya adalah Presiden, Parlemen, dan badan peradilan
yang tertinggi. Sistem ini dipraktikkan di Bulgaria, Moldova,
Romania, Serbia and Ukraina. Menurut Wojciech Sadurski:278
This system has its advantages (it prevents a domination of
any single political viewpoint in the Court) but also its
drawbacks: the judges may maintain loyalties to the organ
that appointed them, and this results not only in a political
dependence but also in a fragmentation of the Court.

Di Rumania, untuk menghindari kelemahan itu, Ketua


Parlemen, Senat, dan Presiden, mengganti seorang hakim setiap 3
tahun. Tetapi upaya ini juga tidak menghindarkan politisasi,

276
Pasal 115 Konstitusi Bangladesh.
277
Md. Awal Hossain Mollah, op.cit., hlm. 458.
278
Wojciech Sadurski, ―Twenty Years After the Transition:
Constitutional Review in Central and Eastern Europe‖, diakses dari Electronic
copy available at: http://ssrn.com/abstract=1437843, hlm. 4-5.

124 | Hukum Kelembagaan Negara


karena tidak ada ketentuan yang menetapkan sifat memaksa
mekanisme ini. Lagipula, calon yang diajukan ketiga badan itu
selalu merupakan kalangan politisi. Demikian juga di Ukraina,
saat terjadi krisis politik 2007-2008, dominasi partai politik
Presiden menjadikan Mahkamah Konsitusi berwajah dua:
sebagian hakimnya Presiden dan sebagian lagi hakimnya Perdana
Menteri.279
Kedua, model ―collaborative‖, karena ―it requires
cooperation between two branches of the government: the
President and the legislative.‖ 280 Sistem ini dipraktiikan di
Albania, Czech Republic, Slovakia, Slovenia dan Russia. Model
ini mempunyai kelemahan di mana ―there is no good
collaboration between the President and the parliamentary
majority, there may be a standstill in the process of appointing
new judges.‖281
Ketiga, model di mana rekrutmen sepenuhnya menjadi
urusan parlemen dengan suara terbanyak mutlak seperti di
Hongaria, atau dengan suara terbanyak sederhana, seperti Polandia
dan Kroasia. Praktik di Polandia menunjukkan mekanisme ini
mempunyai aroma politik yang tinggi sekalipun dimungkinkan
bahwa akan diperoleh kandidat yang mempunyai daya dukung
besar. Tetapi, dengan model parlementer, partai yang menguasai
kursi akan terus menerus mengontrol para hakim, sementara partai
oposisi—sekalipun mempunyai hak untuk mengajukan
kandididat—tetap tidak akan bisa memperoleh dukungan besar.
Selama kurun waktu 1989-2002, sebanyak 29 calon hakim
kosntitusi, sebanyak 27 hakim terpilih karena faktor mayoritas

279
Ibid., hlm. 5.
280
Ibid.
281
Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 125


parlemen. 282 Kenyataan ini menunjukkan bahwa, ―it became
increasingly apparent that each change of political configuration
of the parliament will be reflected in future appointments.‖ 283
Dengan demikian, di Polandia, komposisi parlemen (Majelis
Rendah) akan menunjukkan wajah Mahkamah Konstitusi. Di
Hongaria, dengan suara terbanyak sekalipun, tidak akan
menyelesaikan masalah karena justru memancing polarasasi
politik dengan kompromis yang tinggi untuk menyetujui
pencalonan hakim.
Keadaan rekrutmen hakim konstitusi di kawasan ini,
mencerminkan keadaan sebagai berikut.284
A common feature of all the appointment processes is their
insufficient transparency and publicity. The general public
is neither informed about the nominations nor particularly
concerned about them. Partially, this might be due to a lack
of understanding of the role of the Courts. They are often
being perceived as yet another ―ordinary‖ court; hence
there is not expectation that the appointment procedure
should be publicly debated. However, this practice seems to
undergo a change due to some highly controversial cases
that bring the Courts and their members into the centre of
public attention as well as due to the increasingly proactive
role assumed by the media and non-governmental
organisations.

Kebanyakan mengenal masa jabatan tertentu untuk hakim


konstitusi antara 6-9 tahun, dengan variasi untuk dapat dipilih
kembali seperti di Korea Selatan, Mongolia, dan Indonesia atau

282
Marek Safjan, ―Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s Personal
Perspective‖, EUI Department of Law Working Paper no 2000/10, available at
http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-2008-10.pdf, at 17-18.
283
Ibid.
284
Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 38.

126 | Hukum Kelembagaan Negara


tidak dapat dipilih kembali seperti di Taiwan dan Thailand285 serta
kemungkinan dapat dipecatnya hakim oleh politisi. Misalnya di
Thailand, menurut Konstitusi 1997, sejumlah anggota parlemen
atau 50.000 pemilih dapat mengajukan permohonan kepada Senat
untuk melakukan impeachment terhadap anggota Mahkamah
Konstitusi.286 Dalam Konstitusi 2007, jumlah pemilih yang dapat
mengajukan permohonan dikurangi menjadi 20.000 pemilih. Di
Mongolia, parlemen dapat menolak putusan Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan inkonstitusionalitas Undang-Undang.
Di Taiwan, wewenang mengisi jabatan Grand Justice
melekat pada Presiden, yang mulai tahun 2005, pengisian itu harus
memperoleh persetujuan Majelis Nasional. 287 Sementara itu,
Konstitusi 1997 Thailand mengatur sebanyak 7 hakim konstitusi
diplih dari lingkungan badan peradilan, sementara 8 yang lain (5
orang ahli hukum dan 3 orang ilmuwan politik) diseleksi tersendiri
oleh Senat. 288 Menurut Konstitusi 2007, sebanyak 5 orang

285
Sebanyak 15 konstitusi yang diberlakukan dalam rentang 1932-1991,
selalu mencantumkan mengenai Constitutional Tribunal yang mampu untuk
melakukan pengujian konstitusional terhadap produk legislatif dan keputusan
pemerintah. Pada keberlakuan Konstitusi 1997, dicantumkan adanya Mahkamah
Konstitusi yang independen. Ketika terjadi kudeta milite rmelawan Perdana
Menteri Thaksin Shinawarta (19 September 2006), Konstitusi 1997 dicabut dan
digantikan oleh Konstitusi Sementara 2006 yang mempertahankan keberadaan
Mahkamah Konstitusi. Kemudian dengan Konstitusi 2007, kembali diatur
mengenai Mahkamah Konstitusi yang independen, bahkan dengan kewenangan
yang meluas untuk menangani persoalan Constitutional Complaint dan
memungkinkan keterlibatan Senat dalam rekrutmen hakim konstitusi.
286
Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.
287
Namun, mengingat Presiden adalah Ketua Partai yang menguasai
mayoritas parlemen, maka kontrol demikian menjadi tidak efektif. Aurel
Croissant, ibid.
288
Menurut J.R.Klein, ―the rule that nominees must receive the votes
of three-fourth of the committee enabled the four government
representatives on the committee to effectively veto those candidates of

Hukum Kelembagaan Negara | 127


diajukan oleh badan peradilan sedangkan 4 orang hakim lainnya
dipilih dalam seleksi yang diadakan oleh pengadilan dan
Parlemen. Sebelum diangkat oleh Raja, harus terlebih dahulu
diberitahukan kepada Senat.289
Korea Selatan dan Indonesia melibatkan ketiga cabang
kekusaan dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi. Susunan
organisasi Mahkamah Konstitusi Korea Selatan meliputi 9 orang
hakim. Untuk dapat dinominasikan sebagai hakim, masing-masing
harus terkualifikasi sebagai hakim dan memahami persoalan
hukum. Proses pengangkatan hakim melibatkan Presiden, Majelis
Nasional, dan Mahkamah Agung, yang masing-masing dari
institusi itu mencalonkan 3 orang hakim.290 Masa jabatan seorang
hakim konstitusi adalah 9 tahun dan sesudah itu tidak dapat
dipilih kembali. Selanjutnya, Ketua Mahkamah Konstitusi
diangkat oleh Presiden setelah memperoleh konfirmasi dari
Majelis Nasional.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 hakim
yang ditetapkan oleh Presiden dan sebanyak 3 orang masing-
masing diajukan oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Presiden. 291 Pengisian keanggotaan Mahkamah
Konstitusi yang dimonopoli oleh Mahkamah Agung, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Presiden itu telah menutup peran rakyat
dalam menentukan komposisi Mahkamah. Privilesi ketiga
lembaga ini juga bersifat diskriminatif terhadap Dewan
Perwakilan Daerah. Pola rekrutmen itu terkesan mengimpor

whom the government disapproved.‖ Lihat dalam J.R. Klein (2003) „The
Battle for Rule of Law in Thailand. The Constitutional Court of Thailand‟, dalam
www.cdi.anu.edu.au/CDIwebsite_19982004/thailand/thailand_download/Thaiup
adate_Klien_ConCourt%20April, 2003, diakses 12 Maret 2011.
289
Pasal 204-206 Konstitusi 2007 Thailand.
290
Konstitusi Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3), dan (4).
291
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.

128 | Hukum Kelembagaan Negara


mentah-mentah dari Prancis dan Jerman. Namun, Presiden di
Prancis dan Jerman bukanlah kepala pemerintahan seperti di
Indonesia.
Pada papernya, Besley dan Payne memaparkan bahwa
bagaimana para hakim merumuskan formulasi putusannya, disertai
dengan pertimbangan mengenai peluang untuk keterpilihan
kembali mereka dalam posisinya. 292 Dalam studinya, La Porta,
López-de-Silanes, Pop-Eleches, dan Shleifer, menyimpulkan,
bahwa setelah mengenalisis konsep kekuasaan kehakiman di
Inggris dan Amerika Serikat, diakui bahwa sistem di Inggris
bermanfaat untuk menunjang kebebasan ekonomi (economic
freedom), sementara di Amerika lebih menunjang kepada
kebebasan politik (political freedom).293
Ditinjau dari kinerja putusannya, badan pengadilan
hendaknya menyadari mengenai akibat dari putusan tersebut. Pada
kasus di mana melibatkan orang per orang (private case),
misalnya dalam sebuah sengketa perjanjian, di mana satu pihak
merasa melaksanakan ketentuan kontraktual yang disepakati, di
lain pihak ketentuan kontraktual itu telah dilanggar oleh pihak
yang lain. Posisi pengadilan sebagai pihak yang independen amat
diperlukan, terutama untuk memediasi agar perjanjian dapat
dilaksanakan dengan tingkat yang tepat mengenai prediksi
transaction cost yang diperlukan. Dalam perkara antara
warganegara dengan pemerintah, posisi pengadilan penting untuk
memastikan bahwa negara telah mematuhi prosedur rule of law.
Sementara itu, dalam perselisihan antarlembaga negara,

292
Lihat selengkapnya: T. Besleydan A. Payne, ―A Revisionist View of
the Separation of Powers, Journal of Theoretical Politics, Vol. 3, 2003, hlm. 345-
368.
293
Baca selengkapnya pada: R. La Porta, F. Lopez-de-Silanes, A.
Shleifer dan R. Vishny, ―The Quality of Government‖, Journal of Law,
Economics and Organization, Vol. 15, 1999, hlm. 222-279.

Hukum Kelembagaan Negara | 129


pengadilan menjadi wasit dengan berpedoman kepada ketentuan-
ketentuan konstitusi.

B. Judicial Activism – Judicial Review


Menurut Satya Brata Sinha, judicial activism is nothing but
exceeding the constitutional brief of interpreting and applying the
law as it is, and taking over executive and legislative
functions in violation of the constitutional scheme of the
separation of powers.294 Secara filosofis, judicial activism berarti
―as a philosophy of judicial decision making where by judges
allow there personal views about public policy, among other
factors, to guide their decisions, usu. with the suggestions that
adherents of this philosophy tend to find constitutional violations
and are willing to ignore precedents.‖295 Singkatnya, mengutip
pendapat Cass Sunstein dan Paul Gewitz, suatu judicial activism
merupakan ―as any judicial decision to strike down legislative
acts.‖ 296 Tetapi J.S. Verma, mantan Ketua Mahkamah Agung
India, menolak definisi yang membatasi judicial activism hanya
mencakup ―stricke down legislative acts.‖ Menurutnya, judicial
activism merupakan the process by which new juristic principles
are evolved to update the existing law, to bring it in conformity
with the current needs of the society, and, thereby, to sub serve
the constitutional purpose of advancing public interest under the
Rule of Law.297

294
Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, Paper
Presented during the International Conference and Showcase on Judicial Reforms
held at the Shangri-la Hotel, Makati City, Philippines on 28-30 November 2005,
hlm. 3.
295
Ibid.
296
Ibid., hlm. 4.
297
J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law
Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.

130 | Hukum Kelembagaan Negara


Dalam pandangan yang skeptis, Judicial Review harus
diserang karena memberikan ― ―judges‘ authority to strike down
legislation in the name of individual rights.‖298 Alasannya karena
―The people should decide their own fate through voting and
majority rule, with everyone‘s vote counting equally. When judges
decide the fate of the people, the judges‘ votes count for
everything and the people‘s for nothing.‖ 299 Selanjutnya, ada 2
problem terhadap Judicial Review, yaitu problem demokratik dan
problem kapasitas intepretasi. Dalam problem yang pertama
mengandung pengertian ―the fact that the legal norms being
judicially enforced have nondemocratic provenances.‖ 300
Kemudian, dalam problem yang kedua, mengandung pemahaman
―the fact that it is the courts rather than some other institution that
is interpreting the entrenched legal norms.‖301 Dari kritik terhadap
Judicial Review tersebut menunjukkan bahwa ―surely not
everyone accepts the legitimacy of judicial review.‖302
Hal tersebut terjadi karena dalam praktik timbul asumsi
bahwa ―it is not a case against constitutional entrenchment but
only a case against judicial interpretation of the entrenchment.‖303
Padahal, Judicial Review dalam pencapaiannya hingga dewasa ini
―in short, rests on both the short-term calculations of political

298
Jeremy Waldron, ―A Rights-Based Critique of Constitutional rights,‖
Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, 1993, hlm. 18.
299
Larry Alexander, ―What is the Problem of Judicial Review?‖, Legal
Studies Research Paper Series Research Paper No. 07-03 September 2005, hlm.
1.
300
Ibid.
301
Ibid.
302
Dale Smith, ―Disagreeing with Waldron: Waldron on Law and
Disagreement,‖ Res Publica, Vol. 7, 2001, hlm. 57.
303
Thomas Christiano, ―Waldron on Law and Disagreement,‖ Law &
Philosophy, Vol. 19, 2000, hlm. 513.

Hukum Kelembagaan Negara | 131


actors and on long-term social changes.‖304 Salah satu penyebab
yang mendorong penerimaan Judicial Review adalah ―One
consequence of this global transformation is that some democratic
diversity has been lost. Parliamentary supremacy is now a
critically endangered constitutional species as many of the last
holdouts succumbed to judicial review.‖305 Sehingga yang terjadi
adalah ―demise of parliamentary supremacy‖ (―kematian
supremasi parlemen‖).
Atas cabaran terhadap supremasi parlemen yang mendorong
Judicial Review, maka dalam pandangan yang optimistik, peran
pengadilan ―look at the experience of newer, transitional
democracies to argue that judicial review has an important
democratic payoff.‖ 306 Sementara dalam kubu yang pesimis,
―constitutional courts weaken democracy by looking primarily at
the record of older, consolidated democracies.‖ 307 Tetapi kedua
kubu ini sesungguhnya ―do a particularly good job of elucidating

304
Mark Tushnet, ―The Possibilities of Comparative Constitutional Law‖,
Yale Law Journal, Vol. 108, 1999, hlm. 1225.
305
Mark Tushnet, ―New Forms of Judicial Review and the Persistence of
Rights and Democracy-Based Worries‖, Wake Forest Law Review, Vol. 38,
2003, hlm. 813-815.
306
Ken I. Kersch, ―The New Legal Transnationalism, The Globalized
Judiciary and the Rule of Law‖, Washington University of Global Studies Law
Review, Vol. 4, 2005, hlm. 345 dan 351–353. Lihat juga argumen yang
mengatakan bahwa pengadilan menjalankan peran yang heroik dalam masa
transisi untuk menegakkan keadilan konstitusional dalam Mauro Cappelletti,
―Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of ‗Constitutional
Justice‘ ―, Catholic University Law Review, Vol. 35, 1985, hlm.191.
Demikian juga argumen yang mengatakan ―The nations of continental
Europe drew on their domestic experience of tyranny and oppression unchecked
by law to conclude that constitutions need judicial machinery to be made
effective.‖ Baca: Lorraine E. Weinrib, ―The Postwar Paradigm and American
Exceptionalism‖, The Migration of Constitutional Ideas, Vol. 84, hlm. 98.
307
Ibid.

132 | Hukum Kelembagaan Negara


the complex relationship between judicial review and the
construction or erosion of the societal attitudes that sustain
democracy for the long haul.‖308
Bruce Ackerman, dalam penelitiannya terhadap
konstitusionalisme Jerman, termasuk dalam kelompok optimistik.
Dia mengatakan bahwa ―that the success of the German
Constitutional Court flows from the sociological fact that the
Basic Law has become a central symbol of the nation‘s break with
its Nazi past.‖309 Herman Schwartz menambahkan bahwa dalam
peran di era transisi tersebut ―that while constitutional courts
cannot implement liberty, they can help to maintain, nurture, and
perhaps even to strengthen it.‖310
Sementara itu dalam kelompok pesimistis, diwakili oleh
pandangan Jeremy Waldron, Ran Hirschl, serta Larry Kramer dan
Mark Tushnet. Menurut Jeremy Waldron, ―that legislatures can
do as good a job as courts in effectuating rights by examining
parliamentary debates on liberalizing abortion, legalizing adult
homosexual conduct, and abolishing capital punishment in the
United Kingdom, Canada, Australia, and New Zealand.‖311 Pada
sisi lain, Ran Hirschl mengungkapkan bahwa ―that polities may
have vigorous judicial protection of rights yet suffer from income
inequality as its influence on promoting progressive notions of
distributive justice has been exaggerated.‖ 312 Kemudian, Larry
308
Miguel Schor, ―Mapping Comparative Judicial Review‖, Washington
University Global Legal Studies Law Review, Vol. 7, 2008, hlm. 271.
309
Bruce Ackerman, ―The Rise of World Constitutionalism‖, Virginia
Law Review, Vol. 83, 1997, hlm. 778.
310
Lihat dalam Louis Favoreu, ―Constitutional Review in Europe‖, dalam
Louis Henkin dan Albert J. Rosenthal eds., 1989, Constitutionalism and Rights
the Influence of the United States Constitution Abroad, hlm. 58-59.
311
Jeremy Waldron, ―The Core of the Case Against Judicial Review‖,
Yale Law Journal, Vol. 115, 2006, hlm. 1346.
312
Dalam Miguel Schor, op.cit., hlm. 272.

Hukum Kelembagaan Negara | 133


Kramer dan Mark Tushnet menambahkan that vigorous judicial
review in the United States has undermined the societal attitudes
needed to sustain democracy.‖313
Figur Judicial Review dalam cabaran dan caturan teoritis di
atas perlu diungkapkan kembali, sehubungan dengan pengkajian
pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi. Tak disadari bahwa
telah terjadi persaingan antara Mahkamah Konstitusi dengan DPR
dalam meninjau suatu Perpu yang ditetapkan sepihak oleh
Presiden. Artinya, Mahkamah Konstitusi merasa berwenang untuk
menguji Perpu karena di samping untuk mengontrol unitary
executive Presiden, juga untuk mencegah jangan sampai substansi
Perpu bertentangan dengan UUD 1945. Bagaimanapun Mahkamah
Konstitusi berpijak bahwa ada kemungkinan Perpu berlawanan
dengan konstitusi saat isinya justru bertentangan dengan kaidah-
kaidah dalam UUD 1945. Artinya, pengujian Perpu akan bersaing
dalam 3 arena: Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam doktrin supremasi parlemen seperti diyakini kubu
pesimistik Judicial Review di atas, tentu kenyataan itu tidak
diterima, bahkan dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan
kekuasaan. Argumennya, karena Perpu lahir dari kebutuhan
administratif dalam situasi kegentingan yang memaksa, yang
muncul dari perilaku Presiden, maka hal tersebut berada dalam
ranah pengawasan penyelenggaraan pemerintahan sehingga
menjadi domain DPR. Apalagi—walaupun dalam kajian ini tidak
disetujui—Mahkamah Konstitusi menganggap detail prosedur
Undang-Undang harus dipandang sebagai prosedur legislasi
Perpu, yang dalam konteks ini merupakan hubungan antara
Presiden dengan DPR.
Kemudian, dari sudut Mahkamah Konstitusi, perilaku
Presiden harus diawasi termasuk dalam melaksanakan hak
menetapkan Perpu, karena ―tidak boleh ada dalam satu detikpun,
peraturan yang bertentangan dalam UUD 1945.‖ Secara teoritis,

313
Ibid., hlm. 273.

134 | Hukum Kelembagaan Negara


hal ini dapat dibenarkan karena dalam pengalaman Amerika
Serikat misalnya, kendati klausula state of emergency tidak
ditentukan dalam konstitusi, ―in a crisis the right of habeas
corpus can be suspended and Presidents have de facto increased
their powers in times of war or emergency.‖ 314 Justifikasi yang
mengemuka sehubungan dengan masalah ini adalah ―In times of
crisis there is an unmistakable tendency to augment and extend
the powers of the executive branch.‖ 315 Bahkan seperti
diungkapkan oleh Eric A. Posner dan Adrian Vermeule, ―[w]hen
national emergencies strike, the executive acts, Congress
acquiesces, and courts defer.‖316 Bagaimanapun, dalam kerangka
makro, ―the use of emergency powers (and their continued
extension) is an exceedingly rational position, and is grounded in
the assumption that there are evident benefits to the state in
choosing to utilize extra-ordinary powers.‖317 Akan tetapi, ―there
are substantial dangers to the centralization of crisis powers in
times of emergency.‖318
Berkaitan dengan itu, maka ―judicial review of emergency
and national-security measures can and has established
important constraints on the exercise of emergency powers and

314
Samuel Issacharoff and Richard H. Pilides, ―Emergency Contexts
Without Emergency Powers: The United States‘ Constitutional Approach To
Rights During Wartime‖, International Journal of Constitutional Law, Vol. 2,
2004, hlm. 296.
315
Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, ―A Skeptical View of
Deference to the Executive in Times of Crisis‖, Isarel Law Review, Vol. 41,
2008, hlm. 544.
316
Thomas P. Crocker, ―Book Review: Torture, with Apologies:Terror in
the Balance: Security, Liberty, and the Courts. By Eric A. Posner and Adrian
Vermeule‖ , Texas Law Review, Vol. 86, 2008, hlm. 569.
317
Cass Sunstein, ―National Security, Liberty and the D.C. Circuit‖,
George Washington Law Reviwe, Vol. 73, 2005, hlm. 693.
318
Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, loc.cit.

Hukum Kelembagaan Negara | 135


has restricted the scope of what is acceptable in future
emergencies.‖ 319 Hal ini disebabkan ―because courts, unlike the
political branches or the political culture more generally, must
explain their reasons in a formal manner that then has
precedential authority in future disputes, judicial decisions offer
an opportunity to set the terms of the next crisis, even if they often
come too late to be of much assistance in the immediate term.‖320
Dalam perkara pengujian Perpu, Mahkamah Konstitusi
mencoba untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai judicial
balancing. Pada kajian peradilan yang berkembang di Amerika
Serikat dan Inggris, yang digunakan adalah istilah proportionality
test. Menurut Michel Rosenfeld, ―Proportionality and balancing
are not synonymous, but they seem to overlap significantly,
particularly since balancing proper forms part of proportionality
tests.‖321
Kaidah ―kegentingan yang memaksa‖ (time of stress) tidak
sama dengan pengertian krisis (a crisis) atau situasi normal (time
of ordinary). Menurut Bruce Ackerman, ―In the context of a crisis,
be it military, economic, social or natural, the head of government
may be entitled to proclaim exceptional powers and to suspend
constitutional rights, including political rights. In an acute crisis,
the polity is singularly focused on survival and all other political
concerns and objectives recede into the background.‖ 322
Sementara itu, ―in ordinary times, the polity can readily absorb
the full impact of the give and take of everyday politics, and

319
David Cole, ―Judging the Next Emergency: Judicial Review and
Individual Rights in Times of Crisis‖, Michigan Law Review, Vol. 101, 2004.
320
Ibid., hlm. 2566.
321
Michel Rosenfeld, ―Judicial Balancing in Times of Stress: Comparing
Diverse Aprroaches to the War of Terror‖, Jacob Burns Institute for Advanced
Legal Studies Working Paper No. 119, 2005, hlm. 14.
322
Bruce Ackerman, ―The Emergency Constitution‖, Yale Law Journal,
Vol. 113, 2004, hlm.1029 dan 1040.

136 | Hukum Kelembagaan Negara


constitutional rights ought to be protected to their fullest possible
extent.‖323
Untuk mengatasi ―kegentingan yang memaksa‖ (time of
stress), maka ―the legislature and/or the executive power is
responsible for devising measures designed to cope with the
relevant threat.‖ 324 Kemudian, pada posisi yang lain, ―The
judiciary, in turn, is charged with determining whether
implementation of such measures is compatible with maintaining a
suitable equilibrium.‖ 325 Dalam konteks ini, maka ―Judicial
balancing would work best and be most transparent if the social
goods subjected to balancing were both quantifiable and
comparable.‖326
Kesemua itu menggambarkan tradisi British Constitution,
yang ―characterized by a balance of power between the legislature
and the executive, and later, the judiciary.‖ 327 Tradisi ini, yang
kemudian ditiru di Amerika Serikat, mengandung kearifan ―the
total union of executive and legislative power would produce
tyranny,but the partial separation of powers of the branches, and
the resulting system of checks and balances between the King‘s
prerogatives and Parliament‘s taxing and legislative powers,
guaranteed liberty and prosperity.‖ 328 Gagasan British
Constitution ini dalam realisasinya di negara Amerika Serikat
menunjukkan bahwa ―The U.S. Constitution adopted

323
Ibid.
324
Michel Rosenfeld, op.cit., hlm. 15.
325
Ibid.
326
Ibid., hlm. 16.
327
Robert J. Reinstein, ―The Limit of Executive Power‖, American
University Law Review, Vol. 59, 2009, hlm. 287.
328
Curtis A. Bradley dan Martin S. Flaherty, ―Executive Power
Essentialism and Foreign Affairs‖, Michigan Law Review, Vol. 102, 2004, hlm.
545.

Hukum Kelembagaan Negara | 137


supplementary measures to contain presidential power by
including numerous proscriptions from English laws.‖ 329 Dalam
hal ini, ―At least sixteen of these proscriptions are encoded in the
U.S. Constitution, some particularly directed at the President and
others broadened as guarantees against the entire government.‖330
Basis pemikiran konfigurasi kekuasaan Presiden menurut
konstitusi Amerika Serikat menurut Steven G. Calabresi yaitu
―clearly reject[ing] executive tyranny of the kind exercised by
George III . . . but . . . favor[ing] a president who was a forceful
but constitutionally constrained executive like William III.‖ 331
Dalam tradisi Amerika Serikat, ketentuan Pasal 2 Konstitusi yang
mengatakan ―The executive Power shall be vested in a President
of the United States....‖, yang dikenal sebagai Vested Clause,
telah berkembang sedemikian rupa sehingga mencakup ―to
execute a legislative scheme, and thereby change domestic law,
even in the absence of congressional authorization to do so.‖332
Cakupan yang demikian dipandang ―necessarily possesses in
deciding how and when to execute the laws.‖333
Tidak berlebihan bahwa dari sudut pandang tersebut, maka
kekuasaan Presiden berwatak diktator, di mana ―Dictatorships are
what democracies are not, the very opposite of representative

329
David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The
Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖, UCLA Journal of
International Law, Vol. 12, 2007, hlm. 75.
330
Lihat dalam Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive
Power‖, op.cit., hlm. 717–718.
331
Steven G. Calabresi, ―The President, the Supreme Court, and the
Founding Fathers: A Reply to Professor Ackerman‖, Chicago Law Review, Vol.
73, hlm. 469.
332
Jack Goldsmith & John F. Manning, ―The President‘s Completion
Power‖, Yale Law Journal, Vol.115, 2006, hlm. 2282.
333
Ibid., hlm. 2293-2295.

138 | Hukum Kelembagaan Negara


government under a constitution.‖ 334 Dalam hal ini,
―dictatorship—the power of government officials to act on
important matters free of accountability or timely legal checks—is
not the opposite of democracy.‖ 335 Bukan hanya di Amerika
Serikat, tetapi selama Perang Dunia II, banyak label yang
diberikan sebagai dictatorship guna menyebut penyelenggaraan
pemerintahan di masa itu seperti Prancis, Inggris, dan Jerman.336
Diuraikan bahwa penyebutan dictatorship oleh karena ―the power
conferred on the dictator combines elements of judicial,
legislative, and executive power.‖337
Jika dikaitkan dengan kekuasaan Presiden dalam situasi
negara dalam keadaan darurat (state of emergency) watak
pemerintahan semakin terkonsentrasi kepada eksekutif dan hal lain
disebabkan karena ―emergencies can take a variety of forms, both
foreign and domestic.‖ 338 Hal ini dikarenakan ―the emergency

334
Miguel Schor, ―Constitutionalism Through the Looking Glass of Latin
America‖, Texas International Law Journal, Vol.41, 2006, hlm.6. Sehubungan
dengan hal ini menarik pendapat yang disampaikan oleh J.M. Balkin, ―The term
―dictatorship,‖ after all, began as a special constitutional office of the Roman
Republic, granting a single person extraordinary emergency powers for a limited
period of time. Lihat selengkapnya dalam J.M. Balkin, ―Nested Oppositions‖,
Yale Law Journal, Vol. 99, 1990, hlm. 1669.
335
Jack Balkin, ―Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design‖,
Minnesota Law Review, Vol. 90, 2010, hlm. 1791.
336
[S]tudied the responses of France, Great Britain, Germany, the
United States, and ancient Rome to emergencies, real and perceived, including
those generated by the Great Depression and World War II. Lihat Ibid., hlm.
1798.
337
Ibid., hlm. 1805.
338
Ibid., hlm. 1811.
Di Jerman misalnya, ―Most of the more than 250 presidential
suspensions of rights under the notorious Article 48 of the Weimar Constitution
concerned economic matters; government officials repeatedly turned to the
mechanisms of emergency power as Germany struggled to respond to the

Hukum Kelembagaan Negara | 139


norms are said to be characterised by the fact that they are
applicable to a limited set of addresses.‖339 Penafsiran semacam
ini dikatakan ―has been to radically alter key aspects of US
constitutional law so as to expand executive power to the
detriment of other institutions and decision-making process.‖340
Oleh karena dalam konstitusi Amerika Serikat tidak diatur
bagaimana batas dan substansi kewenangan Presiden dalam situasi
darurat 341 , maka dalam praktik dikembangkan apa yang

economic and social difficulties created by its defeat in World War I, the
Versailles treaty, and a society bitterly divided between left and right,
Communists and Nazis.‖ Lihat: András Jakab, ―German Constitutional Law and
Doctrine on State of Emergency – Paradigms and Dilemmas of a Traditional
(Continental) Discourse‖, German Law Journal, Vol. 7, 2005, hlm. 455-457.
Contoh lain, Presiden Meksiko, Felipe Calderón, yang ―placed the entire
country under a state of emergency because of the potential swine flu pandemic.‖
Lihat: Thomas Black, Mexico‘s Calderon Declares Emergency Amid Swine Flu
Outbreak, BLOOMBERG, http://www.bloomberg.com/apps/
news?pid=20670001&sid=aEsNownABJ6Q, diakses 26 April 2011.
Kemudian, menurut Ackerman notes that Latin America has a ―long
history of using states of emergency as ploys to return to authoritarian-ism.‖
Lihat: John M. Ackerman, An Outbreak of Opportunism: Mexico‘s President Is
Trying to Use the Swine Flu to Consolidate His Power, SLATE,
http://www.slate.com/id/2217017/, diakses 26 April 2011.
339
Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of
Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June 2008, available at
http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.php, diakses 26 April
2011.
340
‗The Green Light‘, entry in the blog published by Harper‘s, available
at http://harpers.org/archive/2008/04/hbc-90002779, 26 April 2011.
341
Hampir semua konstitusi sebelum abad ke-21 tidak mencantumkan
ketentuan mengenai state of emergency. Konstitusi Amerika Serikat, misalnya,
sejak dibentuk tidak mengatur mengenai hal tersebut hingga terjadi Perubahan
Ketiga, yang menegaskan bahwa dalam situasi perang, Presiden tidak dapat
bertindak unilateral dengan meninggalkan Konggres, tetapi pengadilan dapat
menunda berlakunya ketentuan hukum acara pidana. Lihat: Kim Lane Scheppele,

140 | Hukum Kelembagaan Negara


dinamakan ―constitutional construction.‖ Mekanisme ini ―involves
the implementation of the Constitution‘s vague clauses and
abstract principles—not to mention its silences—through the
creation and application of precedents (both judicial and
nonjudicial), congressional enactments, administrative
regulations, and building of institutions with their own rules and
practices.‖342
Dengan demikian, dalam situasi tidak normal, pengadilan
dapat tetap melakun review terhadap tindakan eksekutif. Dalam
pandangan Mahkamah Konstitusi, ―Pembuatan Perpu memang
di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian
subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara
absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena
sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden
tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu
adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang
memaksa.‖ Untuk itu, Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa
―kegentingan yang memaksa‖ dalam Pasal 22 harus ditafsirkan
sebagai (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-
Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum
ada sehingga terjadi kekosongan hukum,atau ada Undang-Undang
tetapi tidak memadai; dan (iii) kekosongan hukum tersebut tidak

―Law in a Time of Emergency: States of Exception and the Temptations of 9/11‖,


Journal of Constitutional Law, Vol. 6, 2004, hlm. 6.
Fenomena serupa dijumpai di kawasan Eropa, di mana ―In much of the
nineteenth century in Europe, however, even when constitutions did try to
establish separation of powers and respect for the rights of citizens, they typically
broke down under stress, and had to be rewritten when the crises were over. The
invocation of emergency provisions typically spelled the end of the constitutional
order itself. The periods between breakdown and reconstruction were simply
non-constitutional moments.‖, ibid., hlm. 7.
342
Jack M. Balkin, ―Framework Originalism and the Living
Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 103, 2009, hlm. 566.

Hukum Kelembagaan Negara | 141


dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.‖
Perkembangan aktivitas Mahkamah Agung di India semakin
disadari prinsip pragmatis dalam rangka ―the guarantee of
Fundamental Rights and the mandate of the Directive Principles
in the Constitution of India.‖ 343 Selanjutnya dikatakan bahwa,
―The basic reason for the growth of judicial activism in India is
the tendency of Courts to control the functioning of Government,
when it exceeds its power and to protect any abuse or misuse
of power by government agencies. It is inevitable reaction to
check misuse of public power.‖ 344 Seperti juga dalam kasus
Kurokawa v. Komisi Pemilu Chiba di Jepang, Mahkamah Agung
India secara atraktif menggunakan judicial activism dalam proses
pemilihan umum di bawah pemerintah yang tangguh seperti
Perdana Menteri Indira Gandhi. 345 Ketika terjadi perselisihan
mengenai bagaimanakah pengisian jabatan Komisi Vigilance yang
bertugas untuk memberantas korupsi, maka putusan amat
menentukan posisi badan ini berhadapan dengan eksekutif. 346
Bahkan, judicial activism menjadi sarana para hakim untuk
menolak penerapan ajaran hukum alam yang dikitrik sebagai ―a
distillate process‖.347
Perkembangan fungsi Mahkamah Agung India itu, hampir
serupa dengan yang terjadi di Jepang, berlangsung secara

343
Ibid.
344
Ibid., hlm. 6.
345
Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain
(1975).
346
Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).
347
Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India
(1978).

142 | Hukum Kelembagaan Negara


berangsur-angsur. Hampir dalam kurun waktu 1950-1975, tidak
dijumpai judicial activism serupa tidak pernah dijumpai karena
sifat konservatif para hakim dan terjerat dalam teks-teks
konstitusi. Hanya sedikit kasus sehubungan dengan hak
kepemilikan yang ditangani karena hak itu terlempar dari daftar
hak asasi menurut konstitusi dan untuk kasus-kasus kebebasan
sipil, Mahkamah Agung secara ekstrem menghindari untuk
berbuat lebih jauh. Pengadilan tak pernah berusaha untuk merebut
kewenangan dalam menafsirkan konstitusi. Baru menjelang tahun
1975, Mahkamah Agung mulai tegas dalam pengujian
konstitusional (constitutional review) Undang-Undang. Dimulai
dalam kasus Keshvananda 348 yang menyatakan bahwa dalam
membentuk Undang-Undang Parlemen tidak boleh membatasi hak
asasi manusia ―but also ruled that there are implied limits
which could not be used to alter the basic structure of the
Constitution.‖ Kemudian dalam kasus Basheshwar Nath,
Mahkamah Agung dengan jeli menafsirkan mengenai makna Rule
of Law sebagai suatu ―an essential feature of the Constitution of
India; and absolute discretion in matters affecting the rights of the
citizens is repugnant in the Rule of Law.‖349 Seterusnya dalam
putusannya, Mahkamah Agung India semakin sering menafsirkan
pengertian Rule of Law yang mencakup life, liberty, dan law,350
absolute power in any individual is anti democratic351, hak
atas peradilan yang cepat352, larangan mempekerjakan anak karena

348
Putusan Mahkamah Agung India (1973).
349
Putusan Mahkamah Agung India (1967).
350
Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India
(1978).
351
Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.
Putusan Mahkamah Agung India (1991).
352
Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung
India (1979).

Hukum Kelembagaan Negara | 143


melanggar hak asasi manusia 353 , dan public trust sebagai syarat
pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia.354
Posisi Mahkamah Agung Jepang serupa dengan Mahkamah
Agung Norwegia ((Høyesterett). Sekalipun dalam Konstitusi atau
Grunnlov (1814) tidak ada aturan mengenai wewenang Mahkamah
Agung dalam menafsirkan konstitusi, akan tetapi sepanjang
praktik ketatanegaraan menurut ―constitutional customary law‖
wewenang itu dianggap terlembaga.355 Sekalipun demikian, ―cases
to the Høyesterett come from the lower courts and these may
concern different kinds of affairs, for example criminal cases or
compensation cases. It should be noticed that, in fact, very few
cases concern constitutional matters.‖356

C. Pengujian Konstitusional (Constitutional Review)


Sebagai salah satu konsep yang diterima dalam gerak
pengorganisasian kekuasaan negara, Negara Hukum 357 sering

353
M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan
Mahkamah Agung India (1996).
354
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.
355
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.
356
Ibid.
357
Diskursus tentang Negara Hukum mulai berkembang saat mencuatnya
pemikiran mengenai teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke-17
hingga abad ke-18. Pemikiran Negara Hukum terbagi ke dalam 2 (dua) kutub
yaitu rechsstaat dan rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara
Eropa Kontinental, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan rule of law dikembangkan di negara-negara
Ango Saxon yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Pada dasarnya kedua
kutub pemikiran itu memiliki satu maksud yang serupa, ayitu adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penghormatan atas martabat
manusia (the dignity of man). Uraian soal ini, baca antara lain: Wahyudi Djafar,
―Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas
Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia‖, Jurnal Konstitusi, Vol. 7,

144 | Hukum Kelembagaan Negara


terpeleset ke dalam simplifikasi makna menjadi ―dalam negara
berlaku hukum.‖ Padahal, filosofi Negara Hukum meliputi
pengertian ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka
negara tundauk terhadap pengawasan hukum.358 Menurut Ahmad
Syahrizal, argumentasi ini berarti ketika hukum eksis terhadap
negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selajutnya
menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan
hukum tertulis atau tidak tertulis (Konvensi).359 Akan tetapi, jika
pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai,
pengertian substantif Negara Hukum akan terperosok ke dalam
kubangan lumpur negara yang kuasa. Jika kondisi demikian
berlangsung terus menerus, maka negara itu lebih tepat disebut
sebagai ―negara dengan nihilnya hukum.‖ 360 Padahal idealisasi
Negara Hukum adalah tercipta konstitusionalisme.361

No. 5, Oktober 2010, hlm. 152-160. Baca juga Moh. Mahfud M.D., 1993,
Demokrasi dan Konstitusi, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm.
358
Cakupan pengertian Negara Hukum sangat tergantung format
pemahaman yang dibangun. Tamanaha misalnya, menawarkan 2 (dua) kategori
Negara Hukum (rule of law) yang masing-masing memiliki 3 (tiga) cabang atau
format yang berbeda-beda. Dengan pengkategorian ini, bentuk-bentuk Negara
Hukum dalam dipilah ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu rule of law, formal legallity,
democracy and legallity, individual rights, rights of dignity, dan social welfare.
Pemahasan lebih lanjut mengenai hal ini, periksa: Brian Z. Tamanaha, 2004, On
The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University
Press, hlm. 91-103.
359
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang
Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif,
Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hlm. 55.
360
Ibid.
361
Gagasan konstitusionalisme berawal dari perkataan Yunani kuno
politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio. Lihat Jimly Asshiddiqie,
2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm.
5.

Hukum Kelembagaan Negara | 145


Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai
suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J Friedrich, ―constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action‖. Basis pokoknya adalah kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara.362
Menurut Abdulkadir Besar, konstitusionalisme merupakan
komponen intergral dari pemerintahan demokratis. Tanpa
memberlakukan konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan
demokratis tidak mungkin terwujud. Konstitusionalisme
menurutnya memiliki dua arti yakni konstitusionalisme arti statik
dan arti dinamik. konstitusionalisme arti statik berkenaan
dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusi yang meskipun
bersifat normatif tetapi berkualifikasi sebagai konsep dalam
keadaan diam yang diinginkan untuk diwujukan. Paham
konstitusionalisme dalam arti statik yang terkandung dalam
konstitusi, mengungkapkan bahwa konstitusi itu merupakan
kontrak sosial yang didasari oleh ex ante pactum yaitu perjanjian
yang ada sebelumnya.363
Sedangkan konstitusionalisme dalam arti dinamik
rumusannya bersifat partikal, menunjukan interaksi antar
komponennya, tidak sekedar rumusan yang bersifat yuridik
normatif . 364 Tetapi menurut Abdul Kadir Besar,
konstitusionalisme dalam arti dinamik bukanlah pengganti dari
konstitusionalisme dalam arti statik. Tiap konstitusi dari negara
demokratis niscaya mengandung konsep konstitusionalisme dalam

362
Ibid., hlm. 24-25.
363
Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma,
Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila, hlm. 68.
364
Ibid., hlm. 64.

146 | Hukum Kelembagaan Negara


arti statik yang jenis pembatasannya berbentuk konsep
keorganisasian negara dan ia merupakan salah satu komponen dari
konstitusionalisme dalam arti dinamik. Hal ini berarti di
dalam konstitusionalisme dalam arti dinamik dengan sedirinya
mencakup konstitusionalisme dalam arti statik.365
Pendalaman sukma Negara Hukum terpatri ke dalam sistem
konstitusional, yang melahirkan komitmen ―self-binding
procedure‖, yang mana pemerintah terikat oleh tata cara
penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi.366 Ciri utama
komitmen tersebut adalah pemerintahan menghendaki hierarki
peraturan perundang-undangan yang jelas dan hanya dapat ditafsir
oleh kewenangan yudisial.367 Namun, seluruh persoalan itu hanya
dapat dicapai, jika kekuatan budaya hukum yang terdapat dalam
masyarakat madani responsif atas persoalan tersebut368, sekalipun

365
Ibid., hlm. 69.
366
Juan Linz dan Alfred Stephen, ―Defining and Crafting Democratic
Transition, Constitution, and Consolidation‖, dalam R. William Liddle (Editor),
2001, Crafting Indonesian Democracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm.
30. Bandingkan juga dengan tulisan menarik Yonky Karman, yang antara lain
mengatakan, ―Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukum Allah, juga bukan
hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas
pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat.
Pemerintah harus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan
jujur kepada masyarakat.‖ Lihat Yonky Karman, ―Krisis Konstitusionalitas‖,
Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.
367
Pengawasan oleh badan yudisial ini, dalam pemikiran Andrews
Heywood, menjadi salah satu jantung konstitusionalisme yang menyangkut ciri
―the form of institution and procedures‖ atau kesepakatan tentang bentuk institusi
dan prosedur ketatanegaraan. Lihat Andrews Heywood, 2002, Politics, New
York, Palgrave, hlm. 297.
368
Ibid. Faktor kebudayaan inilah yang menyebabkan gagasan Negara
Hukum sering dikritik terutama dikaitkan dengan kondisi negara berkembang.
Secara dogmatis, Negara Hukum (rule of law) dimaksudkan untuk menjadi
sebuah alat dan kekuatan untuk mencapai negara kesejahteraan, namun dalam
penerapannya rule of law, terutama yang dikembangkan Barat dan Bank Dunia,

Hukum Kelembagaan Negara | 147


ada sementara argumen bahwa hukum dan kebudayaan dipisahkan
secara tegas dalam pemikiran relasi keduanya.369 Komitmen ―self-
binding procedure‖ juga mengammbarkan bahwa warga negara
yang merasa dirugikan oleh tindakan negara yang diperkirakan
telah melanggar konstitusi atau telah mengurangi hak-haknya
secara tidak sah, maka negara dapat dituntut di muka pengadilan
oleh yang bersangkutan. 370 Artinya, negara seyogyanya harus
dapat mempertanggungjawabkan segala tindakannya melalui
sanksi yang diputus oleh pengadilan apabila negara terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum.371
Pada sisi lain, hierarki peraturan perundang-undangan yang
jelas tidak akan terjaga jika landasan pemikiran bertumpu pada
berprasangka terlalu baik kepada hukum (teks-teks), institusi atau
kelembagaan, dan aktor-aktor/pelaku hukum (pengacara, hakim,
jaksa, dan kepolisian). Dalam pandangan kritis, hukum positif baik
dalam wujud in abstracto maupun penerapannya (in concreto)
tetaplah sebagai proses. Oleh karena itu sangat sulit

menjadi instrumen sekaligus sebuah mekanisme untuk mempertahankan hirarki,


dominasi, eksploitasi, dan penghancuran terhadap masyarakat pra-kapitalis. Lihat
kritik ini misalnya oleh Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New
York, Free Press, hlm. 52-57.
369
John O. Haley, mengutip ahli antropologi Cornell University Robert
Smith, yang mengatakan bahwa that culture comprises the values, beliefs, habits,
and expectations shared within a community. Thus defined, culture can hardly be
separated from law, and attempts to do so must fail. Lihat dalam John O. Haley,
―Law and Culture in China and Japan: A Framework for Analysis‖, Michigan
Journal of International Law, Vol. 27 No. 895, Spring 2006, hlm. 896.
370
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum,
Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 5.
371
Konstruski pemikiran ini, sekalipun logis ditinjau dari komitmen
penghormatan konstitusi, akan tetapi menurut Schimitt harus ditolak karena
wewenang pengadilan yang menjangkau hal-hal semacam itu akan menyebabkan
politisasi lembaga peradilan atau judicialization of politics. Lihat dalam Ahmad
Syahrizal, op.cit., hlm. 17.

148 | Hukum Kelembagaan Negara


membayangkan dalam proses itu, segalanya lantas dikatakan final
sebagai netral dan bebas dari ―permainan politik.‖ 372 Kontruksi
pemikiran ini bertentangan dengan argumen sementara kaum
positivis seperti yang dimotori oleh H.L.A. Hart, Ion Fuller,
Kelsen, dan John Austin. Secara normologik, asumsi yang
dibangun dalam barisan pemikir ini adalah hukum (dan
institusinya) itu senantiasa netral (neutrality of law) dan terlepas
dari politik (law politic distinction). Karena itu hukum yang sudah
diproduksi itu harus diterima dan diberlakukan.373
Kecurigaan terhadap neutrality of law dan law politics
distinction sejatinya juga untuk menghormati supremasi konstitusi

372
Lebih lanjut soal ini, baca: Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal
Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard
University Press.
Konon pula, bukan kejujuran yang berlaku dalam politik, melainkan
arcanum (rahasia). Atas dasar itu, hukum sekaligus institusi yang membuatnya
harus dilihat sebagai realitas. Bahwa hukum itu realitas dan realitas adalah
hukum. Itu adalah factum. Itulah yang tampak. Tetapi jangan percaya kepada
yang tampak. Ada sesuatu yang melampaui yang tampak, yaitu krisis yang selalu
membayangi tatanan dan karenanya membuatnya ada. Krisis adalah induk yang
melahirkan tatanan, dan karenanya lebih penting dari segala aturan. Baca: F. Budi
Hardiman, 2007, Filsafat Fragmentaris, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 149-
151. Lihat juga: Lexy Armanjaya, ―Mencurigai Hukum‖, Kompas, 10 Juli 2008,
hlm. 6.
373
Teori Hart menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada
penggunaan unsur paksaan, sementara teori Ion Fuller menekankan pada isi
kompositif. Sedangkan John Austin, seorang positivis utama, menekankan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Ilmu
hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom. Lihat dalam
Khudifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Muhammadiyah
University Press, hlm. 60-67. Baca juga soal ―kecurigaan terhadap netralitas
hukum‖ dalam Lexy Armanjaya, ―Kekuasaan di Balik Demokrasi‖, Sinar
Harapan, 29 Januari 2007, hlm. 6.

Hukum Kelembagaan Negara | 149


dan menghindari kejahatan terhadap konstitusi. 374 Jika konstitusi
dilanggar, tentu akan mengusik posisinya yang fundamental dan
―tertinggi.‖ Perbuatan demikian berpotensi membuat konstitusi
terancam tidak lagi supreme sebagai acuan dasar penyelenggaraan
negara. Implikasinya konstitusi berlaku tanpa konstitutionalitas.375
Bagaimanapun, suatu konstitusi merupakan ―a higher order law
(which) will generally be entrenced.‖376
Jika konstruksi pemikiran itu diterima tanpa konfirmasi,
pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah kapankah telah
terjadi pelanggaran konstitusi? (When the constitution violed?)
Menurut Nicholas Quinn Rosenkran, dikatakan bahwa:377
A violation of the Constitution is an event. There is a
moment before the constitutional violation. There is a
moment after the violation. And there is a moment—or
perhaps a span of time—when the action that violates the
Constitution actually happens. This is the when of
constitutional violation. Every constitutional violation must
be located in time.

Penghormatan kepada supremasi konsitusi merupakan alur


logis kedaulatan hukum. Hukum mengatur pembentukannya
sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk
membuat norma hukum lainnya dan sampai derajat tertentu,

374
Kejahatan (crimineel-onrecht) adalah perbuatan yang bertentangan
atau membahayakan suatu kepentingan hukum. Lihat dalam Bambang Purnomo,
1992, Asas-asas Hukum Pidana, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 16.
375
Fadjar Laksono, ―Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan
Kejahatan terhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia‖,
Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No. 2, November 2008, hlm. 84.
376
Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a
Contextual Analysis, Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.
377
Nicholas Quinn Rosenkran, ―Subject To Constitution‖, Vo. 62, Issue
5, May 2010, hlm. 1229.

150 | Hukum Kelembagaan Negara


menentukan isi dari norma lainnya tersebut. Karena, suatu norma
hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh
suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah
landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.378 Dengan
kata lain, konstitusi adalah sumber hukum utama dan pertama
dalam membentuk undang-undang dan undang-undang adalah
preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di
bawahnya, demikian seterusnya.379
Untuk menjaga agar ketentuan dalam Undang-Undang
sebagai norma hukum tetap patuh kepada konstitusi maka
diadakanlah gagasan dan praktik pengujian konstitusional
(constitutional review). Pada kerangka yang bersifat umum,
pengujian tersebut menentukan siapakah lembaga yang berwenang
atau mempunyai kuasa otoritatif dalam melakukan penafsiran
konstitusi. Menurut Veli-Pekka Hautamäki, ―An ‗authoritative
interpretation‘ is an interpretation that isrelatively undisputed.
Authority does not arise automatically. The development of author
it may take a long time and authority may in time diminish. When
the legal author it makes itsdecisions, argumentation is
observed.‖380 Selanjutnya dikatakan bahwa:381
Often the authoritative interpretation of the Consti tution
concerns particularlyconstitutiona judicial review.
Authoritative interpretation also takes place in situations
where some state body seeks to determine its own
competency on the basis of the Constitution. From the

378
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York,
Russel & Russel, hlm. 123-124.
379
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan:
Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius.
380
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Norwey‖, Summary
of Ph.D Thesis, Helsenski, 2002, hlm. 2.
381
Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 151


perspective of the theory of interpretation, it is interesting to
see whether the interpretation of the Constitution differs
from the interpretation of ordinary laws, i.e. laws
hierarchically below the Constitution. In general,
interpretation can be defined as an action where the
purpose is to limit uncertainties in texts to be interpreted. It
could also be defined as giving, specifying or confirming
some content of meaning from a group of possible
meanings.

Bagaimanapun, konstitusi berbeda dengan peraturan


perundang-undangan pada umumnya karena:382
Characteristic of the Constitution is that its norms contain
more principles and value statements than the norms in Acts
that are hierarchically below the Constitution. This can be
seen at least in thecase of basic rights. Still, there is a great
similarity at the level of interpretation between the norms
of the Constitution and other statutes. The basic problem in
both cases is that the norm content is unclear.

Pengujian konstitusionalitas itu sendiri, sebagai suatu istilah


hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian
konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh
hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau
pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi
memberikan kewenangan untuk melakukannya.383 Kedua, dalam

382
Ibid., hlm. 4.
383
Pengujian konstitusional (constitutional review) juga dipahami
sebagai ―the power of judicial bodies to set aside ordinary legislative or
administrative acts if judges conclude that they conflict with the constitution‖
Lihat: Aurel Croissant, ―Provisions, Practices and Performances of Constitutional
Review in Democratizing East Asia‖, Paper to be presented at the IPSA-ECPR
Joint Conference: Whatever Happened to North-South?, Sao Paulo, February
19th, 2011, hlm. 1.

152 | Hukum Kelembagaan Negara


konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas
obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pengujian
konstitusional (constitutional review) hanya menyangkut
pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.384 Perlu
juga dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak
identik dengan hak uji materiil (toetsingsrecht). 385 Menelaah
pengujian norma hukum, perlu membedakan juga antara
pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian formil
(formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dibedakan dengan istilah pem-bentukan undang-
undang dan materi muatan undang-undang. 386 Pengujian

384
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional,
Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 3.
385
Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri.
Profesor hukum tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia
merupakan yang paling senior di Indonesia, dengan fasih menggunakan istilah
―hak uji materiil‖ sebagai terjemahan konsep ―materiele toetsingsrecht‖ yang ia
bedakan dari istilah ―hak uji formal‖ sebagai terjemahan ―formele toetsingsrecht.
Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkas
bahwa ―hak uji materiil‖ menyangkut penilaian mengenai isi peraturan
perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya. Sedangkan ―hak uji formil‖ berkenaan dengan tata cara
pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan secara
keseluruhan, masalah ―hak uji materiil‖ dibahas tetapi kadang-kadang bercampur
dengan konsepsi ―hak uji formil‖ seperti yang tercermin dalam definisi ―hak
menguji materiil.‖ Di samping itu, ketika menjelaskan ―hak menguji materiil‖ di
negara lain, istilah ―hak uji materiil‖ atau ―hak menguji material‖ itu disejajarkan
begitu saja dengan istilah ―judicial review.‖ Bahkan ketika menguraikan kosnepsi
yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah ―hak
menguji material di Prancis.‖ Lihat: Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di
Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 6, 11, dan 32-70.
386
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 57.

Hukum Kelembagaan Negara | 153


materiil adalah pengujian undang-undang yang dilakukan atas
materinya. Pengujian tersebut berakibat pada dibatalkannya
sebagian materi muatan atau bagian undang-undang yang
bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan undang-undang itu
adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu
undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu titik, satu
koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sebaliknya, yang dimaksud bagian dari undang-undang itu
dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan
dari suatu bab undang-undang yang bersangkutan.387
Asal muasal pelembagaan pengujian konstitusional
(constitutional review) adalah Austria setelah Perang Dunia I388,
lalu dikembangkan di Jerman389 dan Italy390 setelah Perang Dunia
II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di Spanyol 391 dan
Portugal 392 setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan
serupa berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana
negara-negara yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai

387
Ibid., hlm. 59-60.
388
Hans Kelsen, ―Judicial Review of Legislation: A Comparative Study
of the Austrian and the American Constitution‖, Journal of Politic Vol. 4 No.
183, hlm. 185–186.
389
Donald P. Kommers, ―The Constitutional Jurisprudence of the Federal
Republic of Germany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.
390
Alessandro Pizzorusso, ―Constitutional Review and Legislation in
Italy‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 109, 1988, hlm. 111-
114.
391
Francisco Rubio Llorente, ―Constitutional Review and Legislation in
Spain‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 127, 1990, hlm. 127-
131.
392
Rett R. Ludwikowski, ―FundamentalConstitutional Rights in the New
Constitutions of Eastern and Central Europe‖, Cordozo Journal of International
and Comparative Law, Vol. 3 No. 73, 1995.

154 | Hukum Kelembagaan Negara


negara tersendiri. 393 Di era post-komunis tersebut, pelembagaan
pengujian konstitusional (constitutional review) menunjukkan,
―Subjecting their policy choices to judicial review, post-
Communist rulers demonstrate their commitment to democracy
and the rule of law to their domestic constituencies and to therest
of the world.‖394
Sampai sekarang telah 78 negara yang mengadopsi
kelembagaan pengujian konstitusional (constitutional review)
tersebut. Dalam praktik kelembagaan itu dapat dipilah ke dalam 8
(delapan) model sebagai berikut.
Pertama, model Amerika Serikat. Model Judicial Review
menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan atas pengalaman
Mahkamah Agung Federal memutus perkara Marbury v.s.
Madison (1803). Dalam model ini, pengujian konstitusional
(constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah
Agung (Supreme Court) dengan status sebagai ―the Guardian of
the Constitution.‘ Di samping itu, judicial review juga dilakukan
atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan
biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi
atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispresed
review). Artinya, pengujian demikian itu tidak bersifat
institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan
termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim
dalam semua lapisan pengadilan. Model Amerika Serikat ini
merupakan the interpretation of the Constitution as a special case
in comparisonwith statutes, which do not have the same status.395
Dalam posisi ini, maka seperti yang pernah dituturkan oleh Hakim

393
Robert F. Utter & David C. Lundsgaard, ―Judicial Review in the New
Nations of Central and Eastern Europe: Some Thoughts from a Comparative
Perspective‖, Ohio State University Law Journal, Vol 54, 1993, hlm. 585.
394
Alexei Trochev, ―Less Democracy, More Courts: A Puzzle of Judicial
Review in Russia‖, Journal Law & Society Review, Volume 38, 2004, hlm. 514.
395
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 5.

Hukum Kelembagaan Negara | 155


Agung William Brennan (1977), bahwa ―that Supreme Court use
their own constitution to broaden legal support for civil
liberties.‖396
Seperti juga yang terjadi di Rusia, sekalipun di tingkat
federal terdapat Mahkamah Konstitusi 397 , tetapi setiap negara
bagian (22 negara bagian) juga membentuk pengadilan konstitusi
dalam jurisdiksi sendiri-sendiri. Dalam hasil analisis Alexei
Trochev, hal itu disebabkan karena:398
[T]hat politicians set up judicial review both to consolidate
and to retain their power vis-a `-vis centraland local
governments, contrary to judicial empowerment theories.
Russia‘s subnational political elites did not simply follow
the prescriptions of the federalist rationale for creating one
federal judicial body to review federal-regional disputes.
Instead, subnational constitution makers decided to have
their own courts to police Russian federalism.

Dalam format pemerintahan federasi Rusia—yang


merupakan warisan Soviet dan dinasti Tsar, dikatakan bahwa
―Although subnational units have to follow federal standards in
many policy areas to receive federal funds, the federal government
does not fund the establishment of regional courts.‖ 399 Hal ini
menunjukkan bahwa, ―domestic politics determine the
institutionalization of subnational judicial review, yet we know
very little about the establishment and work of subnational

396
Lawrence Baum, 2006, Judges and Their Audiences: A Perspective on
Judicial Behavior, New Jersey, Princenton University Press, hlm. 40.
397
Susunan Pengadilan di tingkat federal meliputi Mahkamah Konstitusi
Federal, Pengadilan Umum dalam Lingkungan Pidana, Perdata, dan Tata Usaha
Negara yang berpuncak di Mahkamah Agung, dan Pengadilan Niaga.
398
Alexei Trochev, op.cit., hlm. 519.
399
Ibid., hlm. 521.

156 | Hukum Kelembagaan Negara


constitutional courts.‖400 Kenyataan ini menunjukkan pengabaian
aspek internasional, seperti kasus di bekas Yugoslavia, karena apa
yang terjadi di Rusia adalah ―on subnational court-building to
isolate international influences and to examine how domestic
political competition leads to judicial empowerment.‖ 401 Dalam
perkembangannya, pemerintah federal menolak keberadaan
Mahkamah Konstitusi di setiap negara bagian, termasuk
membiayainya, karena menganggap hal itu sebagai urusan
masing-masing negara bagian. Bahkan, Mahkamah Konstitusi
Federal kemudian ―actively supported ther introduction of the
constitutional courts in all regions to protect constitutional
foundations and individual rights, to strengthen the legitimacy of
constitutional review, and to lighten the workload of the federal
constitutional court.‖402
Setelah ditetapkannya 1996 Law on the Judicial System of
the Russian Federation Mahkamah Konstitusi Federal mengakui
otoritas pengadilan konstitusi di setiap negara bagian. Ketentuan
Undang-Undang Tahun 1996 itu mengatakan bahwa ―regional
constitutional courts are to be financed from the regional budgets,
and their decisions are final and binding, not subject to review by
any other court. Regional constitutional courts are not
subordinated to the federal Constitutional Court, and they cannot
be abolished without the simultaneous transfer of their jurisdiction
to another court.‖ Kemudian dalam Pasal 27 Undang-Undang ini
diatur bahwa ―the creation of constitutional/charter courts in the
regions to determine whether regional laws, decrees, and acts of
local government comply with the regional constitution/charter,
and to give the binding interpretation of the regional
constitution/charter.‖

400
Ibid.
401
Ibid.
402
Ibid., hlm. 528.

Hukum Kelembagaan Negara | 157


Kedua, model Austria (Continental Model). Dalam model
ini, guna mengimbangi kekuasaan parlemen, dikehendaki adanya
pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakim
yang mempunyai keahlian khusus. Dalam menjalankan
kewenangannya, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian
konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak
(abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga
dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam model ini,
pengujian dapat bersifat a posteriori (a posteriori review) ataupun
bersifat a priori (apriori review).403
Pelembagaan model Austria ini tidak lepas dari peran Hans
Kelsen (1881-1973).404 Sebagai ilmuwan hukum yang cemerlang,
Hans Kelsen telah menjadi anggota Komisi Perancang Konstitusi
Austria dan sehubungan dengan ini, telah memberikan sumbangan
pemikiran dalam rancangan konstituti itu mengenai pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang melalui Mahkamah
Konstitusi. 405 Pelembagaan model Austria didorong oleh tradisi
rezim pemerintahan sebelumnya yang berwatak parlementer, yang
dalam tradisi ini ―the executive is responsible directly to the

403
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,
hlm. 51.
404
Kelsen recognized the need for an institution with power to control or
regulate legislation. In the case of post-World War I Austria, the concern was
mostly for maintaining federal arrangements, that is, regulating the relationship
between the national and provincial governments. He recognized, too, that
constitutional control essentiall involves legislative activity. He recognized, in
other words, that constitutional adjudication involves legislating as well as
judging. The processes by which constitutional adjudicators make or declare
general rules are different from those employed in ordinary legislatures, and the
considerations and arguments taken into account are different, but constitutional
adjudicators are still legislating. Lihat John E. Fahrejohn, op.cit., hlm. 52-53.
405
Peran Hans Kelsen dan perjalanan karier selanjutnya, lihat misalnya
Nicoletta Bersier Ladavac, ―Hans Kelsen (1881–1973): Biographical Note and
Bibliography‖, Europe Journal Internasional Law, Vol. 9, 1998, hlm. 391-392.

158 | Hukum Kelembagaan Negara


legislature—it remains in office only as long as itcan command a
majority in the legislature. And, the job of the judiciary is to
enforce what the legislature mandates.‖406
Dalam perkembangannya selanjutnya, model pengujian di
Austria, dan diikuti oleh negara-negara lain, dikatakan sebagai
pengujian yang berwatak sentralisme. Menurut Aurel Croissant,
dalam model semacam ini merupakan ― a single court
monopolizes the competence to declare a legal norm
unconstitutional and void, whereas in systems of decentralized
judicial review ordinary courts play the role of constitutional
checks.‖ 407 Jerman, Italia, dan sejumlah negara Timur Tengah
seperti Kuwait, Sudan, dan Syria serta Mesir (Afrika) menganut
model pengujian ini.
Ketiga, model Dewan Konstitusi (Constitutional Council) di
Prancis. Model ini dibentuk atas dasar bentuk kelembagaan
Dewan Konstitusi yang menjalankan fungsi pengujian
konstitusionalitas menurut Konstitusi Republik Kelima (1958).
Tujuan dibentuknya Dewan Konstitusi menurut John Bell adalah
was origanlly intended as an additional mechanism to ensure
executive by keeping Parliament within constitutional role. 408
Semenjak awal, Dewan Konstitusi mempunyai tugas utama untuk
menentukan batas-batas domein la loi (undang-undang) dan le
reglement (peraturan pemerintah), dan bertindak sebagai watch
dog atas nama supremasi eksekutif.409 Tanggung jawab terpenting
Dewan Konstitusi adalah untuk menentukan uji konstitusionalitas
produk legislasi yang akan ditetapkan oleh parlemen.410 Walaupun

406
Stephen Gardbaum, op.cit., hlm.748.
407
Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.
408
John Bell, 1992, French Constitutional Law, hlm. 19-20.
409
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.
410
Pasal 61 Konstitusi 1958 mengatakan, ―...ordinary law may be refered
to the Constitutional Council, before their promulgation, by the President of the

Hukum Kelembagaan Negara | 159


sesunggunya jika dicermati ketentuan Konstitusi 1958, Presiden
juga merupakan organ pelindung konstitusi.411 Model Prancis ini
kemudian ditiru oleh negara lain, terutama bekas jajahannya,
seperti Lebanon, Aljzair, Comoros, Djibouti, Senegal, dan
Kamboja. Di Timur Tengah, Dewan Konstitusi dikenal di negara
Algeria, Maroko, dan Tunisia serta Lebanon.
Contoh lain negara yang menerapkan ini adalah Iran.
Susunan peradilan di Iran meliputi peradilan umum, peradilan
militer 412 , peradilan tata usaha negara 413 dan peradilan revolusi,
yang masing-masing mencakup tingkat pertama dan tingkat
banding. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi,
akan tetapi tidak mempunyai wewenang untuk pengujian
konstitusional.414 Akan tetapi, Konstitusi Iran menetapkan adanya

Republic, the Prime Minister, the Presiden of the National Assembly, the
President of the Senate, or 60 deputies or 60 senators. In this case, the
Constitutional Council must decide within 1 mont. At the demand of the
Government, after a declaration of urgency, this time limit is reduced to 8 days.
A referral of any law to the Constitutional Council suspend its promulgation.
Pasal 62 mengatakan, ―A provision declared unconstitutional may not be
primulgation nor may it enter into force. The decision of the Constitutional
Council may not be appealed.‖
411
Pasal 5 Konstitusi 1958 mengatakan bahwa ―the President of the
Republic shall ensure the respect of the Constitution.‖
412
Military courts are competent to investigate crimes committed by
members of the Army, Gendarmerie, police, security forces and the Islamic
Revolution Guards Corps, in connection with military or security duties.
Lihat Pasal 172 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.
413
A Court of Administrative Justice that has the power to
investigate complaints, grievances and objections with respect to government
officials, organs, and statutes. Lihat Pasal 173 Konstitusi Iran 1979 yang diubah
tahun 1989.
414
Pasal 161 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.

160 | Hukum Kelembagaan Negara


Dewan Garda Revolusi 415 yang a view to safeguarding the
rules of Islam (in accordance with Islamic Shia jurisprudence)
and the Constitution. The Guardian Council examines all
legislation passed by the Majlis and returns it thereto for review
if it finds any inconsistency with its understanding of principles
of Islam and the Constitution.416
Keempat, model campuran Amerika Serikat dan
Kontinental. Di dalam model ini, meskipun pengujian
konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan terkonsentrasi
di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, atau bahkan
pada kamar tertentu (special chamber) dalam badan peradilan
yang ada, semua tingkatan pengadilan pun dapat menyampingkan
berlaku suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan
konstitusi. Di negara-negara yang memilikki Mahkamah
Konstitusi ada juga yang menerapkan sistem campuran ini seperti
Portugal (Eropa), Kolombia, Ekuador, Guatemala, dan Peru
(Amerika Selatan). Beberapa negara Eropa juga memberikan
kewenangan pengujian konstitusional (constitutional review)
kepada Mahkamah Agung atau kepada badan-badan khusus
(special department) seperti di Yunani dan Swiss. 417 Di Asia,
negara yang menerapkan model ini antara lain Taiwan.418

415
Dewan ini yang meliputi 6 (enam) ahli fikih yang diangkat oleh
Pemimpin Tertinggi Iran dan 6 (enam) orang ahli hukum yang dipilih oleh
parlemen menurut usul Ketua Mahkamah Agung. Lihat Pasal 91 Konstitusi Iran
1979 yang diubah tahun 1989.
416
Pasal 72 dan Pasal 94 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.
417
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,
hlm. 60.
418
Kelembagaan dikenal sebagai Judicial Juan atau Councul of Grand
Justice, yang menurut Pasal 78 Konstitusi Taiwan 1947 mempunyai wewenang
untuk intepret the Constitution and shall the power to unify intepretation laws
and ordinance. Jadi, obyek penafsiran Judicial Juan meliputi undang-undang dan
executive act. Dalam perkembangannya, pelaksanaan wewenang juga diarahkan

Hukum Kelembagaan Negara | 161


Kelima, model special chambers. Di Eropa terdapat
beberapa negara yang mempunyai model kelembagaan yang
tersendiri dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusionalitas
ini. Seperti Iceland, Liechtenstein, Monako, dan Kosovo. Banyak
juga negara lain yang melakukan pengujian konstitusionalitas
dalam special chambers tetapi tidak merupakan bagian dari
Mahkamah Agung, misalnya sejumlah negara Timur Tengah yang
melakukannya pada kamar khusus (special chambers) di
Pengadilan Tinggi. Demikian juga negara di Afrika seperti Bukna
Faso, Chad, dan Kongo. Sedangkan di Amerika Tengah dan
Selatan tercatat nama-nama negara Costa Rica, Panama, Paraguay,
dan Uruguay.419
Keenam, model Belgia. Lembaga yang menjalankan fungsi
pengujian konstitusional (constitutional review) di Belgia adalah
Court of Arbitration. Pengujian konstitusional (constitutional
review) dilaksanakan dalam kerangka konsep arbitrase.420
Ketujuh, model tanpa judicial review. Belanda dan Inggris
dapat ditunjuk sebagai contoh negara yang tidak pernah
mengadopsi pengujian konstitusionalitas (constitutional review) ke
dalam sistem hukum nasional mereka. Kalaupun gagasan judicial
review diterapkan, maka pengujian semacam itu hanya terbatas
dalam kerangka pengujian administrative action. Di Inggris
mekanisme ini dipertahankan ―untuk mempertahankan doktrin
kedaulatan parlemen dengan sekaligus menjalankan prinsip
supremasi hukum.‖421 Dalam kasus ini, konstitusi tetap ditafsirkan

secara langsung kepada substansi Konstitusi, khususnya terhadap hasil


perubahan. Lihat dalam Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 146.
419
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,
hlm. 61.
420
Ibid., hlm. 62-63.
421
Seperti dikatakan oleh Hilaire Barnet bahwa, ―Judicial review
represent the means by which the sovereignty of parliament is upheld and the

162 | Hukum Kelembagaan Negara


oleh Parlemen. Menurut Veli-Pekka Hautamäki, ―If
interpretations are made in Parliament, it is, I believe, obvious
that interpretations can also contain strong political features. If
one talks about, for example, freedom of speech, it is clear that
the interpreters cannot ultimately avoid value opinions. Very often
the courts are also in the situation where they must say something
about the values of the Constitution.‖ 422 Sementara di Belanda,
Undang-Undang dianggap tidak dapat diganggu gugat dan para
hakim bertugas bukan sebagai penilai undang-undang.423
Dalam kasus di Finlandia, supremasi parlemen dalam
menafsirkan konstitusi juga tidak tergoyahkan, sekalipun Presiden,
Ketua Parlemen, Ketua Ombudsman Parlemen, dan Jaksa Agung
diberikan kewenangan yang sama. Menurut Veli-Pekka
Hautamäki Komisi Konstitusi (Perustuslakivaliokunta) di
Parlemen Finlandia merupakan badan yang paling otoritatif dalam
menafsirkan konstitusi. Untuk mendukung argumen ini, Veli-
Pekka Hautamäki mengatakan:424

rule of law applied.‖ Lihat dalam Hilaire Barnett, 2004, Constitutional and
Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, hlm. 88.
Hanya saja, dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Inggris,
memang dapat ditemukan juga sistem pengujian konstitusional (constitutional
review) tetapi sifatnya hanya preventif untuk pencegahan dan dilakukan oleh
House of Lords. Lihat misalnya dalam tulisan Catherine Fairbairn and Sally
Broadbridge, ―The Constitutional Reform Bill (HL): a Supreme Court for the
United Kingdom and Judicial Appoipment‖, Reseach Paper, 13 Januari 2005.
422
Op.cit., hlm. 5.
423
Prinsip demikian juga dianut oleh UUD 1945 sebelum diamendemen.
Untuk menilai, menguji, dan mengubah ketentuan undang-undang, yang harus
berperan adalah lembaag yang membentuknya sendiri, yaitu Presiden bersama
DPR. Setelah era reformasi (sebelum Perubahan Ketiga), kewenangan menguji
konstitusionalitas undang-undang diberikan kepada MPR menurut Ketetatapan
MPR RI No. III/MPR/2000, yang secara aktif menilai dan menguji undang-
undang.
424
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 7.

Hukum Kelembagaan Negara | 163


This is a fact that has also been expressed both in the
travaux préparatoires of the new Constitution (Suomen
Perustuslaki 731/1999) as well as in Finnish legal writing.
In thedraft of the new Perustuslaki (which came into force
on March 1st, 2000), there is a provision that throws light
on the interpretation of the Constitution. In the text it is
stated that the Perustuslakivaliokunta has a central and an
authoritative position in terms of theinterpretation of the
Perustuslaki.

Komisi Konstitusi merupakan salah satu organ Parlemen


Finlandia yang susunan keanggotaannya juga merupakan anggota
Parlemen. Peraturan Tata Tertib menegaskan bahwa Komisi ini
sekurang-kurangnya mempunyai 17 anggota dan dapat
memutuskan penafsirkan konstitusi jika sekurang-kurangnya
dihadiri 2/3 dari anggotanya. Selanjutnya, ―Interpretations of the
Perustuslaki are usually given asstatements, whereas the reports
usually contain new doctrines.‖ 425 Dengan kenyataan ini, maka
―Perustuslakivaliokunta is at least at some level a political
body,but it still tries to be a judicial type of body.‖426 Walaupun
demikian, Komisi mempunyai kekuatan karena di dalam
pemeriksaan suatu tafsir konstitusi, ia menghadirkan keterangan
ahli, kelompok kepentingan, dan akademisi, yang pada umumnya
argumen-argumen mereka diambilalih—nyaris kata demi kata—
guna menyusun argumen. Oleh sebab itu, ―Typical of the
Perustuslakivaliokunta is the direct application of the statements
given by the experts.‖427
Menurut argumen Gradbaum, ditolaknya model pengujian
konstitutionalitas undang-undang di Inggris, dan juga negara

425
Ibid.
426
Ibid.
427
Ibid., hlm. 8.

164 | Hukum Kelembagaan Negara


dengan demokrasi mapan seperti Selandia Baru, Belanda, dan
Swedia, dikarenakan dalam perkembangannya negara-negara itu
tidak mengalami transisi pasca rezim orotoritarian sebagaimana
Spanyol, Portugal, Yunani, dan bekas federasi Uni Soviet.
Diuraikan bahwa:428
A formerly authoritarian system adopted a new constitution
and provided for constitutional review in order to enforce
constitutional provisions. That was the case in Germany
and Italy, obviously, and also in Spain, Portugal, Greece,
and the nations previously part of the Soviet empire. These
were all cases of failed authoritarian systems with norecent
history of democracy or liberty. By contrast, in the old
(stableand successful) democracies—Britain, New Zealand,
the Netherlands, Sweden—there was no move to create new
constitutions, or indeed,any real constitutions at all.

Menurut John E. Farejohn, di negara yang lepas dari rezim


otoritarian pelembagaan pengujian konstitusional Undang-Undang
dalam kelembagaan khusus, mempunyai alasan basis sosiologis
yang tegas, yaitu kenyataan kekuasaan hakim yang melekat pada
rezim terdahulu kebutuhan untuk mengontrol produk legislatif dan
penegakan hukum dalam rangka menumbuhkan kembali
kepercayaan rakyat terhadap negara. Diuraikan bahwa:429
One thing that post-authoritarian systems have in common
is thatthe judges that are still on the bench are implicated,
to some extent, in the practices of the previous regime. The
citizenry in such circumstances have every sociological
reason to be suspicious of how those officials would go

428
Stephen Gardbaum, ―The New Commonwealth Model of
Constitutionalism‖, Journal of Comparative Law, Vol. 49 No. 707, 2001, hlm.
759–760.
429
John E. Fahrejohn, ―Constitutional Review in the Global Contex‖,
Journal Public Policy and Legislation, No. 49, 2002, hlm. 51.

Hukum Kelembagaan Negara | 165


about their business. In other words, there exists a
characteristic circumstance of distrust. In fact, there‘s
actually a secondary circumstance of distrust arising
naturally in post-authoritarian settings, and that is distrust
of the lawmakers as well of the judges. In such
circumstances, there is a natural desire to place both the
positive lawmakers and the law enforcers under
constitutional control. The question is how best to do that.

Kedelepan, model executive review. Model ini tidak terkait


dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Misalnya
ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyatakan batal atau
membatalkan berlakunya Peraturan Daerah yang dibentuk oleh
Kepala Daerah dan DPRD.. Misalnya ketentuan UU No. 32 Tahun
2004 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam
Negeri untuk menyatakan batal atau membatalkan berlakunya
Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah dan
DPRD.430
Format argumen ―supremasi konstitusi‖ itu juga melekat
pada sistem kenegaraan Jepang. Negara ini meletakkan Konstitusi
1946 (Nihonkoku Kenpo atau Dai Nihon Tekoku Kenpo)431 sebagai
primary source of law. Di bawah konstitusi terdapat hierarki
peraturan perundang-undangan yang meliputi rules and
regulations (kisoku), cabinet orders (seirei), Prime Minister‘s

430
Ketentuan ini kontradiktif dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD
1045 yang secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
431
Sebenarnya semenjak tahun 1889, pada masa Kaisar Meiji, Jepang
sudah memiliki konstitusi yang dikenal sebagai ―Konstitusi Meiji‖ dan diganti
dengan Konstitusi 1946 di bawah kontrol ketat Sekutu setelah Jepang menyerah
dalam Perang Dunia II. Lihat Washington University Manual of International
Legal Citation, dalam www.washingtonuniversity.edu., diakses 27 Maret 2011.

166 | Hukum Kelembagaan Negara


Office orders (furei), ministry ordinances (shōrei), Instructions
(kunrei), notifications (kokuji), dan circulars (tsūtatsu). Konstitusi
1946 Pasal 81 menegaskan, bahwa Mahkamah Agung adalah
pengadilan tingkat pertama dan terakhir dengan kekuasaan untuk
menentukan konstitusionalitas undang-undang, peraturan
pemerintah, dan keputusan pejabat. Seperti ditulis dalam
artikelnya tersebut, ketentuan tersebut menurut Ju-inchi Satoh
menggambarkan bahwa, ―The literal interpretation of this
provision is that the Court has jurisdiction over all government
action. As such, the Court has the power to strike down any
official act on constitutional grounds.‖432
Dengan cakupan itu kekuasaan pengujian oleh Mahkamah
Agung Jepang, selain luas, juga mewadahi timbulnya sengketa
hukum antara negara dengan warganegara. Hal ini merupakan
fenomena yang cukup menarik, sekalipun kenyataan bahwa lazim
pengadilan di kawasan Asia pada umumnya menerima
kewenangan semacam itu, tetapi awalnya tidak dimaksudkan
sebagai suatu instrumen yang diciptakan untuk menjamin
keberlakuan konstitusionalitas maupun legalitas tindakan
negara.433 Situasi ini disebabkan karena:434
Pengadilan tidak melaksanakan kekuasaan kehakiman
secara benar dan tepat. Kondisi demikian disebabkan oleh
karena pengadilan tidak diperkenankan memiliki
kompetensi menguji norma-norma hukum.
Pengadilan...bukanlah organ yang independen secara
finansial. Artinya, sistem peradilan pada masa tersebut tidak

432
Ju-inchi Satoh, ―Judicial Reviwe in Japan: An Overview of the Case
Law and An Examination of Trends in The Japanese Supreme Court‘s
Constitutional Oversight‖, Loyola of Los Angeles Law Review, Vol. 41, 2008,
hlm. 606.
433
Berita Mahkamah Konstitusi, No. 04. April-Mei 2004, hlm. 16.
434
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 136-137.

Hukum Kelembagaan Negara | 167


menikmati kemerdekaan secara struktural, melainkan
tersubversi oleh kekuasaan politik.

Di Jepang sendiri, secara historis, kondisi bangun


pengadilan dengan persoalan struktural semacam itu sudah
berlangsung semenjak keberlakuan Konstitusi Meiji 1889. Hal ini
digambarkan oleh Shigenori Matsui sebagai berikut:435
Yet the system of govemment under the Meiji
Constitution was a constitutional monarchy. The
judiciary was thus supposed to exercise judicial power
only in the narre of the Emperor, and no full
independence of the judiciary was guaranteed. It didn't
even have jurisdiction over administrative cases
(lawsuits attacking the exercise of govemmental power),
which exclusively belonged to the special Administrative
Court. The constitutional guarantee of rights was
subject to any legislative restrictions, and the judiciary
did not have power to review the constitutionality of
legislative acts.

Kondisi berubah semenjak Jepang memberlakukan


Konstitusi 1946. Dikatakan oleh Shigenori Matsui bahwa:436
In contrast, the Japanese Constitution of 1946, based
on the republican separation of powers principle,
separated judicial power from legislative and executive
powers and assigned it to the judiciary. Moreover, the
judiciary under the Japanese Constitution is guaranteed
full independence and has jurisdiction over all legal
disputes. And finally, the Japanese Constitution
guarantees a full range of fundamental rights even

435
Shigenori Matsui, ―A Coment Upon the Role of Judiciary in Japan‖,
Osaka University Law Review, Volume 17 No. 35, 1988, hlm. 17.
436
Ibid.

168 | Hukum Kelembagaan Negara


against the Diet, and grants the judiciary the power of
judicial review. The judiciary is authorized thereby to
invalidate legislation and other govemmental actions
deemed to violate the Constitution.

Bahkan Shigenori Matsui meyakini bahwa Konstitusi 1946


semenjak awal mendesain pengadilan sebagai penjaga konstitusi
(guardian of the constitution). Dikatakan bahwa:437
In Japan it is widely assumed among commentators
that the principal roles of the judiciary are to guarantee
the Constitution against any encroachment and to
protect individual rights. Equipped with the power of
judicial review similar to that exercised by American
courts, the Japanese judiciary is authorized to strike
down laws and other governmental actions repugnant to
the Constitution. It is thereby expected to assure that
no branch of govemment transgresses granted
authorities and invades fundamental rights of the people
guaranteed by the Constitution. The Court has become,
as is often called, a guardian of the Constitution.

Bagaimanapun, pergeseran fungsi pengadilan semacam itu


tidak lepas dari pembentukan hukum di Jepang yang semenjak
awal ditarik dari pengaruh Barat, yang kemudian melalui
kolonialisasi, situasi itu merasuk juga ke Cina. 438 Lebih jauh,
pergeseran fungsi tersebut mencerminkan penerimaan terhadap
kaidah check and balances, karena dianggap sebagai counter
terhadap kekuasaan badan legislatif sebagaimana dalam tradisi

437
Ibid., hlm. 18.
438
Lihat dalam Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New
Demoracies, Constituional Court in Asian Case, Cambridge, Cambridge
University Press, hlm. 109.

Hukum Kelembagaan Negara | 169


hukum Barat, terutama Amerika Serikat.439 Seperti dikatakan oleh
Itsuo Sonobe, bahwa: 440
[T]he system of constitutional review was transplanted from
elsewhere in the course of reconstructing a democratic state
after the Second World War, rather than as a product of its
own history to counterbalance the powers of the state or the
legislature, as were the case in the Western countries, there
is a tendency to emphasize the aspect of balance, that is, of
harmony and collaboration, in applying the principle of
checks and balances.

Mahkamah Agung Jepang, pada sisi masyarakat, telah


berperan juga sebagai lembaga yang ―to balance many competing
claims.‖ 441 Walaupun merupakan tradisi yang relatif baru akan
tetapi ternyata peran badan pengadilan ini telah melahirkan
metode dan penafsiran sehubungan dengan ketentuan konstitusi.
Seperti dikatakan oleh Itsuo Sonabe bahwa:442

439
R. Daniel Kalemen dan Eric S. Scibitt mengatakan bahwa, ―...U.S.
legal style has labeled as ‗adver-sarial legalism‘ is characterized by complex
rules, formal and adversarial procedures for resolving disputes, costly legal
contestation involving many lawyers and frequent judicial intervention
inadministrative affairs. Japanese legal style, by contrast, has
beencharacterized by informality, opacity, flexibility, cooperation between
regulators and the regulated and little involvement of eitherlawyers or courts.‖
Meluasnya penyebaran hukum Amerika Serikat ini disebabkan karena results
primarily not from economic competition between governments or from
emulation, but fromcommon responses by governments to similar economic,
politicaland social conditions. Lihat dalam R. Daniel Kalemen dan Eric S.
Scibitt, ―Americanization of Japanese Law‖, University Pansylvennia Journal
Economic Law, Vol. 23, 2002, hlm. 269-270 dan 272.
440
Itsuo Sonabe, ―Standar of Review in Constitutional Jurisdiction in
Japan‖, Kobe University Law Review, Vol. 27 No. 45, 2006, hlm. 111.
441
Ibid.
442
Ibid., hlm. 18.

170 | Hukum Kelembagaan Negara


In its not too long history of judicial review, the courts in
Japan have succeeded in establishing a set of principles and
method of reasoning which guide it in distinguishing laws
which are constitutional from those which are not. These
principles have been applied to almost all areas of the
Constitution. As a result, most of the newly filed
constitutional litigation may be dealt with by citing previous
decisions of a similar nature.

Sekalipun muncul perdebatan mengenai perubahan


konstitusi, akan tetapi tidak merubah sifat Mahkamah Agung
sebagai penafsir konsitusi. 443 Sekalipun demikian tidak banyak
perkara yang diputus sebagai perselisihan antarnorma menurut
konstitusi444 , karena secara tradisonal kinerja pengadilan Jepang

443
Timothy S. George mengatakan bahwa debat mengenai perlunya
perubahan Konstitusi 1946 bukanlah fenomena baru di Jepang yang sekurang-
kurangnya negeri tersebut sudah 4 (empat) tahap berkubang dalam perdebatan
sejenis. Pertama, pada periode 1880-1881, di mana disusun usul konstitusi baru
yang merubah Jepang menjadi negara monarki parlementer dengan Kaisar
sebagai pusat kekuasaan pada masa kekuasaan Kaisar Meiji. Kedua, selepas
Perang Dunia II, di mana Konstitusi Meiji 1890 dituding tidak layak
diberlakukan dan di bahwa tekanan Sekutu disusun Konstitusi 1946. Ketiga,
tahun 1950-1960, ketika Partai Konservatif yang berkuasa menyusun Komisi
Konstitusi (Kenpo Chosakai) yang menghasilkan laporan mengenai usul
perubahan konstitusi. Komisi Konstitusi itu dibubarkan pada tahun 1965.
Keempat, pada tahun 2004, termasuk kemungkinan perubahan ketentuan yang
membuka jalan bagi perempuan menjadi Kaisar. Lihat Timothy S. George,
―Changing Pattern of Civic Engangement in Constitutionalism in Japan‖, paper
presented at the Annual Meeting of the Association for Asian Studies, Boston,
25 Maret 2007, hlm. 1-2.
444
Hampir 40 tahun setelah pemberlakuan Konstitusi 1946, yang dikenal
sebagai Peace Constitution, hanya ada 4-5 Undang-Undang yang dinyakatan
inkonstitusional. Suatu hal yang kontras, jika membandingkannya dengan sejarah
di Amerika Serikat di mana Mahkamah Agung Federal telah membatalkan 1.091
Undang-Undang dalam kurun waktu 195 tahun dari 1789-1984; 863 peraturan
lainnya; dan tak kurang 94 peraturan daerah selama 191 tahun dari 1789-1980.
Hal ini di kalangan teoritisi hukum ditunjuk juga sebagai pembeda yang kontras

Hukum Kelembagaan Negara | 171


menampakkan ciri to achieve a proper and flexible conflict
resolution, instead of the realization of the party's formal
rights, by suggesting negotiation trade and reconciliation to the
parties at various steps in the litigation.445
Seperti juga kecenderungan yang terjadi dalam sistem
yudisial, bahwa ―Judicial review is always a politically sensitive
matter, and the Court understandably tries to avoid direct
confrontation with the coordinate branches.‖ 446 Bagaimanapun,
dalam hal terjadi bahwa ― the Court does find that the Constitution
has been violated, it prefers to avoid saying precisely who has
violated it. This habit of mind is also abetted, perhaps, by the
modern indulgence (unknown to the Framers) of plaintiffs who
cannot identify their tortfeasors. 447 Oleh karena itu, menurut
Nicholas Quinn Rosenkran, ketika mengatakan bahwa suatu
Undang-Undang bertentangan konstitusi, maka pengadilan

antara sistem hukum Jepang dan Amerika Serikat. Lihat dalam Masanobu Kato,
―The Role of Law and Lawyers in Japan and the United Sates‖, Birham Young
University Law Review, No. 627, 1987, hlm. 629.
445
Kota Fukui, ―Justice System Reform in Japan: The Connection
Beetween Conflict Management and Realization General Rules of Law‖, Osaka
University Law Review, Vol. 51 No. 55, 2004, hlm. 1. Lihat juga uraian yang
mengkaitkan pertumbuhan ekonomi Jepang dengan budaya litigasi dalam tulisan
John O. Haley, op.cit., hlm. 896-899.
446
Nicholas Quinn Rosenkran, op.cit., hlm. 1219.
447
Sejumlah Putusan Mahkamah Agung Federal dalam Perkara: (i)
Menne v. Celotex Corp., 861 F.2d 1453 (10th Cir. 1988) (plaintiff unable to
identify which manufacturer of asbestos products was responsible for his
asbestos exposure); (ii) Sindell v. Abbott Labs., 607 P.2d 924 (Cal. 1980)
(plaintiff could not identify which manufacturer was responsible for the
particular DES taken by her mother); (iii) Summers v. Tice, 199 P.2d 1 (Cal.
1948) (plaintiff could not identify which defendant shot him); dan (iv) Ybarra v.
Spangard, 154 P.2d 687, 691 (Cal. 1944) (plaintiff could succeed in medical
malpractice suit arising from treatment rendered while unconscious, even though
he could not identify particular doctor responsible, because at least one doctor in
the group must have been responsible). Lihat: Ibid.

172 | Hukum Kelembagaan Negara


―carefully avoids pointing a finger or casting express blame—even
though, in other contexts, it expounds at length on the crucial
structural importance of constitutional accountability.‖ 448
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya ―a statute violates the
constitution‖ merupakan:449
[I]s not merely harmless euphemism. This formulation has
corrupted and confused the nation‘s dialogue about its
Constitution—in classrooms and courtrooms, in law
reviews and editorial pages, constitutional seminars and
high school civics classes. To say that ―a statute‖—rather
than a government official—violates the Constitution is to
conceal and abet a constitutional culprit. This sort of
circumlocution renders our government more opaque and

448
Ibid., hlm. 1209. Pendapat ini disarikan dengan mengutip sejumlah
putusan Mahkamah Agung Federal seperti: (i) Perkara New York v. United States,
505 U.S. 144, 168-69 (1992) (―[W]here the Federal Government compels States
to regulate, the accountability of both state and federal officials is diminished. . .
. [W]here the Federal Government directs the States to regulate, it may be state
officials who will bear the brunt of public disapproval, while the federal officials
who devised the regulatory program may remain insulated from the electoral
ramifications of their decision. Accountability is thus diminished when, due to
federal coercion, elected state officials cannot regulate in accordance with the
views of the local electorate in matters not pre-empted by federal regulation.‖);
(ii) Perkara Freytag v. Comm‘r, 501 U.S. 868, 884 (1991) (―The Framers
understood, however, that by limiting the appointment power, they could ensure
that those who wielded it were accountable to political force and the will of the
people. Thus, the Clause bespeaks a principle of limitation by dividing the power
to appoint the principal federal officers—ambassadors, ministers, heads of
departments, and judges—between the Executive and Legislative Branches. Even
with respect to ‗inferior Officers,‘ the Clause allows Congress only limited
authority to devolve appointment power on the President, his heads of
departments, and the courts of law‖); dan (iii) Perkara Morrison v. Olson, 487
U.S. 654, 731 (1988) (Scalia, J., dissenting) (―[T]he Founders envisioned when
they established a single Chief Executive accountable to the people [that thus]the
blame can be assigned to someone who can be punished.‖).
449
Nicholas Quinn Rosenkran, Ibid., hlm. 1221.

Hukum Kelembagaan Negara | 173


less accountable, so that the people do not know whom to
blame, whom to vote against, whom to impeach.

Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan


pengujian Undang-Undang sangat ketat. Dikatakan bahwa
―Judicial review is not the review of statutes at large; judicial
review is constitutional review of governmental action.‖ 450 Pada
sejumlah putusan, setiap Undang-Undang yang dihasilkan
Kongres, (i) ―sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian dari
pertentangan antarcabang kekuasaan‖ 451, (ii) ―ditetapkan sebagai
suatu rangkaian keputusan yang konstitusional hingga terbukti
sebaliknya‖ 452 , (iii)―dihindarkan dalam pengujian oleh badan
peradilan‖ 453 , dan (iv) ―merupakan produk koordinatif antara

450
Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as
―[a] court‘s power to review the actions of other branches or levels of
government; esp., the courts‘ power to invalidate legislative and executive
actions as being unconstitutional‖ (emphasis added). Dalam suatu putusannya,
Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa ―The Court must either hold that
the Suspension Clause has ‗expanded‘ in its application to aliens abroad, or
acknowledge that it has no basis to set aside the actions of Congress and the
President.‖ Putusan Perkara Boumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2
(2008).
451
Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224,
238 (1998) (―The [constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize
disagreement between the branches by preserving congressional enactments that
might otherwise founder on constitutional objections.‖
452
Putusan Perkara Hepburn v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610
(1869) (―This court always approaches the consideration of [constitutional]
questions of this nature reluctantly; and its constant rule of decision has been,
and is, that acts of Congress must be regarded as constitutional, unless clearly
shown to be otherwise.‖).
453
Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-
49 (1936) (Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary
should avoid constitutional questions and enumerating seven strategies for
doing so‖).

174 | Hukum Kelembagaan Negara


pemerintah dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas
konstitusi yang dilanggar oleh Konggres‖ 454 . Kemudian, jika
pengadilan memandang hanya terdapat satu doktrin saja untuk
menyelesaikan sengketa konstitusional, maka permohonan harus
diabaikan kecuali permohonan itu benar-benar tidak dapat
dihindarkan. 455 Bahkan, suatu pengujian Undang-Undang oleh
Mahkamah Agung merupakan suatu ―one of great gravity and
delicacy.‖456 Oleh karena itu, menyatakan suatu produk Konggres
atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi
berarti has rendered void its attempt at legislation.457
Secara teoritik, fungsi Mahkamah Agung Jepang itu
merupakan realisasi judicial activism. 458 Menurut Satya Brata
Sinha, judicial activism is nothing but exceeding the constitutional
brief of interpreting and applying the law as it is, and taking
454
Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000)
(―Due respect for the decisions of a coordinate branch of Government demands
that we invalidate a congressional enactment only upon a plain showing that
Congress has exceeded its constitutional bounds.‖).
455
Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101,
105 (1994) (―If there is one doctrine more deeply rooted than any other in the
process of constitutional adjudication, it is that we ought not to pass on
questions of constitutionality . . . unless such adjudication is unavoidable.‖
456
Putusan Perkara Adkins v. Children‘s Hosp., 261 U.S. 525, 544
(1923).
457
Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J.,
dissenting).
458
Dari penulusuran literatur melalui Westlaw, dalam kurun waktu 1990
saja ada 3.815 artikel dalam jurnal hukum yang mempunyai kaitan dengan istilah
judicial activism dan judicial activist, sementara dalam kurun 2000-2004
dijumpai lebih dari 1.817 lebih artikel. Lihat dalam Keenan D. Kmiec,
―Comment, The Origin and Current Meanings of ―Judicial Activism,‖ ,
California Law review, Vol. 92, Tahun 2004, hlm. 1441-1442. Ini menunjukkan
bahwa ―The term ―judicial activism,‖ despite its wild popularity, is poorly
understood.‖ Lihat Craig Green, ―An Intellectual History of Judicial Activism‖,
Emory Law Journal, Vol. 58, 2009, hlm. 1195.

Hukum Kelembagaan Negara | 175


over executive and legislative functions in violation of the
constitutional scheme of the separation of powers. 459 Secara
filosofis, judicial activism berarti ―as a philosophy of judicial
decision making where by judges allow there personal views
about public policy, among other factors, to guide their decisions,
usu. with the suggestions that adherents of this philosophy tend to
find constitutional violations and are willing to ignore
precedents.‖460 Singkatnya, mengutip pendapat Cass Sunstein dan
Paul Gewitz, suatu judicial activism merupakan ―as any judicial
decision to strike down legislative acts.‖ 461 Tetapi J.S. Verma,
mantan Ketua Mahkamah Agung India, menolak definisi yang
membatasi judicial activism hanya mencakup ―stricke down
legislative acts.‖ Menurutnya, judicial activism merupakan the
process by which new juristic principles are evolved to update
the existing law, to bring it in conformity with the current needs
of the society, and, thereby, to sub serve the constitutional purpose
of advancing public interest under the Rule of Law.462
Anton Lewis mencatat bahwa perkembangan peran
Mahkamah Agung dalam judicial activism, seperti di Jepang
terjadi karena minimal 3 (tiga) faktor.463 Pertama, ada kesadaran
diantara hakim bahwa peran parlemen menjadi vacuum semenjak
kendali negara beralih ke eksekutif, oleh sebab itu berpotensi
hilangnya pengawasan parlemen manakala terjadi pelanggaran
hak-hak individu. Kedua, kecenderungan parlemen modern yang
hilang fungsinya sebagai perencana hukum dan memberikan ruang

459
Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, op.cit.,,
hlm. 3.
460
Ibid.
461
Ibid., hlm. 4.
462
J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law
Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.
463
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 5.

176 | Hukum Kelembagaan Negara


besar bagi eksekutif untuk bukan saja menyusun peraturan, tetapi
juga untuk menyelesaikan sengketa yang muncul. Ketiga, generasi
baru para hakim menyadari bahwa suatu peraturan bukan saja
sumber kepastian, tetapi di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang
harus dijaga demi penghormatan kepada hak asasi manusia dan
demokrasi.
Bukan saja di Jepang, tetapi juga perkembangan aktivitas
Mahkamah Agung di India semakin disadari prinsip pragmatis
dalam rangka ―the guarantee of Fundamental Rights and the
mandate of the Directive Principles in the Constitution of
India.‖464 Selanjutnya dikatakan bahwa, ―The basic reason for the
growth of judicial activism in India is the tendency of Courts to
control the functioning of Government, when it exceeds its power
and to protect any abuse or misuse of power by government
agencies. It is inevitable reaction to check misuse of public
power.‖465 Seperti juga dalam kasus Kurokawa v. Komisi Pemilu
Chiba di Jepang, Mahkamah Agung India secara atraktif
menggunakan judicial activism dalam proses pemilihan umum di
bawah pemerintah yang tangguh seperti Perdana Menteri Indira
Gandhi. 466 Ketika terjadi perselisihan mengenai bagaimanakah
pengisian jabatan Komisi Vigilance yang bertugas untuk
memberantas korupsi, maka putusan amat menentukan posisi
badan ini berhadapan dengan eksekutif. 467 Bahkan, judicial
activism menjadi sarana para hakim untuk menolak penerapan
ajaran hukum alam yang dikitrik sebagai ―a distillate process‖.468

464
Ibid.
465
Ibid., hlm. 6.
466
Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain
(1975).
467
Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).
468
Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India
(1978).

Hukum Kelembagaan Negara | 177


Perkembangan fungsi Mahkamah Agung India itu, hampir
serupa dengan yang terjadi di Jepang, berlangsung secara
berangsur-angsur. Hampir dalam kurun waktu 1950-1975, tidak
dijumpai judicial activism serupa tidak pernah dijumpai karena
sifat konservatif para hakim dan terjerat dalam teks-teks
konstitusi. Hanya sedikit kasus sehubungan dengan hak
kepemilikan yang ditangani karena hak itu terlempar dari daftar
hak asasi menurut konstitusi dan untuk kasus-kasus kebebasan
sipil, Mahkamah Agung secara ekstrem menghindari untuk
berbuat lebih jauh. Pengadilan tak pernah berusaha untuk merebut
kewenangan dalam menafsirkan konstitusi. Baru menjelang tahun
1975, Mahkamah Agung mulai tegas dalam pengujian
konstitusional (constitutional review) Undang-Undang. Dimulai
dalam kasus Keshvananda 469 yang menyatakan bahwa dalam
membentuk Undang-Undang Parlemen tidak boleh membatasi hak
asasi manusia ―but also ruled that there are implied limits
which could not be used to alter the basic structure of the
Constitution.‖ Kemudian dalam kasus Basheshwar Nath,
Mahkamah Agung dengan jeli menafsirkan mengenai makna Rule
of Law sebagai suatu ―an essential feature of the Constitution of
India; and absolute discretion in matters affecting the rights of the
citizens is repugnant in the Rule of Law.‖470 Seterusnya dalam
putusannya, Mahkamah Agung India semakin sering menafsirkan
pengertian Rule of Law yang mencakup life, liberty, dan law,471
absolute power in any individual is anti democratic472, hak

469
Putusan Mahkamah Agung India (1973).
470
Putusan Mahkamah Agung India (1967).
471
Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India
(1978).
472
Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.
Putusan Mahkamah Agung India (1991).

178 | Hukum Kelembagaan Negara


atas peradilan yang cepat473, larangan mempekerjakan anak karena
melanggar hak asasi manusia 474 , dan public trust sebagai syarat
pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia.475
Posisi Mahkamah Agung Jepang serupa dengan Mahkamah
Agung Norwegia ((Høyesterett). Sekalipun dalam Konstitusi atau
Grunnlov (1814) tidak ada aturan mengenai wewenang Mahkamah
Agung dalam menafsirkan konstitusi, akan tetapi sepanjang
praktik ketatanegaraan menurut ―constitutional customary law‖
wewenang itu dianggap terlembaga.476 Sekalipun demikian, ―cases
to the Høyesterett come from the lower courts and these may
concern different kinds of affairs, for example criminal cases or
compensation cases. It should be noticed that, in fact, very few
cases concern constitutional matters.‖477
Hanya saja sekalipun terdapat aktivitas pengujian
konstitusional (constitutional review), akan tetapi ―The Supreme
Court of Japan has been described as the most conservative
constitutional court in the world.‖478 Seperti ditulis oleh Jun-ichi
Satoh, sejak didirikan 1947, Mahkamah Agung Jepang hanya
menguji 8 Undang-Undang. Sebagai perbandingan, dalam periode
yang hampir sama, Mahkamah Konstitusi Federal di Jerman telah
menangani 600 pengujian konstitusional (constitutional court).
Menurut David S. Law penyebab kondisi itu adalah dominasi

473
Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung
India (1979).
474
M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan
Mahkamah Agung India (1996).
475
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.
476
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.
477
Ibid.
478
David S. Law, ―The Anatomy of a Conservative Court: Judicial
Review in Japan‖, Journal Texas Law Review, Vol. 87, 2009, hlm. 1545.

Hukum Kelembagaan Negara | 179


Partai Liberal Democrat yang nyaris tanpa jeda dalam setengah
abad menguasi pemerintahan Jepang. Apa yang dilakukan oleh
partai penguasa adalah ―influence over the Court is disguised,
however, by the institutional design of the judiciary, which
appears to enjoy a considerable degree of autonomy to manage its
own affairs and even to decide who will serve on the Supreme
Court.‖ 479 Bentuk nyata tindakan partai terhadap tindakan
Mahkamah Agung Jepang adalah ―in effect, to delegate political
control of the judiciary to ideologically reliable agents withinthe
judiciary itself—namely, the enormously powerful Chief Justice
and his aides in the Court‘s administrative arm, the General
Secretariat.‖ 480 Kenyataan itu menjadikan Mahkamah Agung
―highly unlikely to depart from the wishes of the government for
any meaningful period of time.‖481
Fungsi Mahkamah Agung Jepang dengan demikian
memberikan pelajaran bahwa:482
There is no plausible way of designing or structuring a
court so as to insulate it entirely from political influence.
The institutional characteristics of the court can, however,
determine how responsive it will be to its political
environment. An obviously relevant characteristic is the
frequency with which political actors have the opportunity
to shape the composition of the court. A less obvious, but
no less relevant, characteristic is the extent to which power
within the court is centralized or diffuse.
Situasi yang mirip dilakukan oleh Mahkamah Agung Israel.
Pada awal pendiriannya, lembaga ini tidak menunjukkan

479
Ibid., hlm. 1545.
480
Ibid.
481
Ibid.
482
Ibid.

180 | Hukum Kelembagaan Negara


kekuasaannya indepensinya secara subtantif. 483 Dalam jangka
pendek, pengujian konstitusional (constitutional review),
khususnya mengenai hak-hak dan kebebasan, terbentur pada
kenyataan bahwa Deklarasi Kemerdekaan (1948) tidaklah
merupakan norma hukum dalam hierarki perundang-undangan
Israel. Karena suatu Undang-Undang Dasar tidak segera disusun
oleh parlemen, maka Mahkamah Agung kemudian menggunakan
Deklarasi Kemerdekaan 484 sebagai batu uji pengujian
kosntitusionalitas (constitutional review) dalam putusan Perkara
Kol Haam (1953), dengan alasan, ―although the Declaration
cannot be considered as a constitution, it expresses the credo of
the state of Israel and that statutes ought to be interpreted in light
of the rights and freedoms specified in it.‖485 Putusan ini merubah
wajah Mahkamah Agung dari institusi formal bergaya Inggris
menjadi pengadilan model Amerika Serikat.
Dalam masa-masa berikutnya, perkembangan pengujian
konstitutisional di Mahkamah Agung Israel semakin melembaga
karena ―The Court has avoided a comprehensive discussion of
the interpretation of its jurisdiction‖, sehingga ―it has taken a
pragmatic approach, dealing with the particular cases brought
to it. The general outcome, though, is a very ‗liberal‘

483
M. Hofnung, ‗The Unintended Consequences of Unplanned
Constitutional Reform: Constitutional Politics in Israel‘, American Journal
Comparative Law, No. 44, 1996, hlm. 585.
484
Isi deklarasi ini antara lain menyatakan, ―that the State of Israel will
foster the development of the country for the benefit of all its inhabitants; it
will be based on freedom, justice and peace as envisaged by the prophets of
Israel; it will ensure complete equality of social and political rights to all its
inhabitants irrespective or religion, race or sex; it will guarantee freedom of
religion, conscience, language, education and culture; it will safeguard the
Holy Places of all religions; and it will be faithful to the principles of the
Charter of the United Nations.
485
Putusan Mahkamah Agung Israel dalam Perkara Kol Haam V.
Menteri Dalam Negeri (1953).

Hukum Kelembagaan Negara | 181


interpretation of the Court‘s jurisdiction. In fact, the Court
appears to see no limitations to its jurisdiction, other than
questioning its discretion.‖ 486 Khusus pengujian konstitusional
(constitutional review), terdapat 2 kasus yang mirip dengan
Madison V. Marbury di Amerika Serikat, yaitu perkara Bregman
(1969) dan perkara Mizrazi (1995).
Perkara Bregman dapat diilustrasikan sebagai berikut.487
Pada tahun 1969, Parlemen membentuk Undang-Undang
yang isinya menetapkan bahwa ada anggaran negara yang
dialokasikan dan diberikan kepada Partai politik demi
persiapan untuk kampanye berikutnya. Hanya saja, partai
politik yang tidak mempunyai perwakilan tidak berhak
untuk memperoleh alokasi tersebut. Undang-Undang itu
sendiri hanya memperoleh dukungan suara anggota
parlemen kurang dari separuhnya. Aharon Bergman,
seorang pengacara, lalu mengajukan petisi kepada
Mahkamah Agung supaya diputuskan agar Menteri
Keuangan tidak perlu melaksanakan undang-undang
tersebut. Alasan petisi itu adalah bahwa Undang-Undang itu
melampaui wewenang dan bertentangan dengan Pasal 4
Basil Law, yang antara lain mengatakan bahwa ―The
Knesset shall be elected by general, national, direct, equal,
secret and proportional elections, in accordance with
the Knesset Elections Law; this section shall not be
varied save by a majority of the members of the
Knesset.‖

Jaksa Agung, sebagai wakil termohon, menyatakan bahwa


masalah validatas Undang-Undang tidak serta merta
berhubungan dengan pertentangan undang-undang.
Lagipula, ketentuan Pasal 4 Basic Law mengatur makna
486
Eli M Salzberger, op.cit., hlm. 36.
487
Ibid., hlm. 38.

182 | Hukum Kelembagaan Negara


―equality‖ adalah berkaitan dengan tata cara pemberian
suara dalam pemilihan umum dan tidak berhubungan
dengan masalah alokasi bantuan keuangan kepada partai
politik.

Mahkamah Agung menyetujui argumen Jaksa Agung


mengenai ketimpangan Undang-Undang akan tetapi
memberikan tafsir bahwa Mahkamah berwenang untuk
memeriksa semua produk yang dihasilkan oleh parlemen.
Menurut Mahkamah Agung, masalah ―equality‖ tidak boleh
diartikan berkaitan dengan teknis pemberian suara dalam
pemilihan umum, dan demikian Undang-Undang Anggaran
Negara itu justru bertentangan dengan maksud Pasal 4 Basic
Law, dan oleh karena itu harus dinyatakan bertentangan
prinsip kesetaraan karena menciptakan diskriminasi antara
partai lama dan partai baru.

Kasus beriktunya adalah kasus Mizrahi Bank.488


Mizrahi Bank menggugat sebuah Undang-Undang yang
ditetapkan oleh Parlemen mengenai penghapusan kredit
bank bagi desa Kibutzim and Moshavim karena adanya
krisis ekonomi yang melanda desa itu. Mizrahi
mengganggap Undang-Undang itu bertenangan dengan
right of property. Mahkamah Agung mengatakan bahwa
Undang-Undang itu bertenangan dengan Pasal 8 Basic Law,
yang memerintahkan agar dalam membuat keputusan
dilaksanakan secara patut dan proporsional. Mahkamah
Agung juga mengakui keberadaan Parlemen sebagai badan
pembentuk undang-undang dan mengakui kewenangan
pengadilan tingkat bawah untuk menilai konstitusionalitas
undang-undang sehubungan dengan Basic Law.

488
Ibid., hlm. 43.

Hukum Kelembagaan Negara | 183


Putusan itu menjadi cahaya gemilang pengujian
konstitusionalitas undang-undang dan memberikan kekuasaan bagi
pengadilan tingkat bawah untuk wewenang serupa dalam masa-
masa berikutnya. Dengan perkembangan yang semakin aktif
hingga dewasa ini, terutama didorong semenjak Ketua Mahkamah
Agung dijabat oleh Aharon Barak—yang amat dipengaruhi
teoritisi hukum Ronald Dworkin489, menjadikan banyak pengamat
yang menyebut Israel ―as one of the most activist judiciaries in
the world.‖ 490 Keaktifan itu bukan saja kuantitas tetapi juga
jumlahnya.491

1. Pengujian Norma Abstrak


Pengujian norma hukum secara abstrak adalah mekanisme
preventif terhadap masa depan suatu produk legislatif yang
diprediksi tidak konstitusional. Dikatakan pengendalian norma
abstrak (Abstraktes Nrmenkontrolverfahren, Abstract Norm
Control) karena obyek pengujian ditujukan kepada suatu norma

489
Aharon Barak menjabat sebagai hakim agung sejak tahun 1979 dan
menjadi Ketua Mahkamah Agung sejak tahun 1995 sampai dia berusia 70 tahun
(September 2006). Sebelum menjadi hakim agung, Barak dikenal sebagai jaksa
agung yang tangguh, yang antara lain berperan dalam pengunduran diri Perdana
Menteri Yithzak Rabin pada tahun 1977, sehingga untuk pertama dalam sejarah
Israel meninggalkan dominasi kekuasaan Partai Buruh dalam 30 tahun terakhir.
Sebelumnya ia adalah Dean of the Faculty of Law at the Hebrew University
dengan spesialisasi hukum perdata. Dia adalah pendukung aktif legal activism,
sekalipun tidak pernah menggunakan istilah judicial activism. Dia menulis buku
yang berjudul Intepretion in The Law, yang berisi analisis lusinan putusan
pengadilan, sistem hukum Israel, tradisi dan sumber hukumnya. Lihat dalam
Aharon Barak, ―A Judge on Judging: The Role of the Supreme Court in a
Democracy‖, Harvard Law Review, No. 116, Tahun 2002, hlm. 16 dan 27.
490
Y. Dotan, ‗Judicial Accountability in Israel: The High Court of Justice
and the Phenomena of Judicial Hyperactivism‘ , Isreli Affairs, No. 8, 2002,
hlm. 87
491
M. Edelman, ‗The Judicialization of Politics in Israel‘, International
Political Science Review, Vol. 15, 1994, hlm. 177.

184 | Hukum Kelembagaan Negara


yang masih belum disahkan menjadi undang-undang oleh
parlemen, dan atau sudah disetujui tetapi belum dilakukan. 492
Melalui sistem pengendalian norma secara abstrak ini, pengujian
dapat diarahkan kepada seluruh pasal-pasal mapun ayat-ayat yang
terdapat dalam suatu undang-undang.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 ayat (1)
UUD 1945,‖Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.‖
Berdasarkan ketentuan ini, maka Mahkamah Konstitusi dapat
menguji undang-undang secara umum (abstract review). Namun,
pengujian undang-undang secara umum tersebut ternyata tidak
dapat dimohonkan setelah oleh Pasal 51 ayat (3) UU No. 24
Tahun 2003 huruf b, yang menghendaki Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal
dan/atau bagain undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945. Artinya, pengujian yang berlangsung tidak
lagi bersifat umum melainkan tertuju secara konkrit kepada ayat-
ayat maupun pasal-pasal tertentu dalam undang-undang yang telah
dimohonkan untuk diuji.
Suatu perkembangan yang menarik dalam praktik adalah
Mahkamah Konstitusi ternyata menerima perkara pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Setidaknya 2 (dua) kali Mahkamah Konstitusi menguji Perpu,
yaitu terhadap Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi493

492
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 88.
493
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi mendalilkan bahwa, ―Perpu melahirkan norm ahukum dan
sebagi norma hukum baru akan dapat menimbulkan (a) status hukum baru; (b)
hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir
sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada
persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun
demikian sebelum adanya pendapat DPR menolak atau menyetujui Perpu, norma

Hukum Kelembagaan Negara | 185


dan Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK).494
Dalam konteks ini pula, bahwa metode pengendalian norma
abstrak yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi
merupakan a posteriori atau ex post control. Artinya pengujian
baru dapat dilakukan setelah rancangan undang-undang itu
disahkan menjadi undang-undang. Obyeknya pun pasti, yaitu
Undang-Undang. Hal ini berbeda dengan di Jerman, misalnya,
mekanisme pengujian norma abstrak dapat ditujukan keapda
berbagai bentuk legislative rugaliton yang meliputi legislative
acts, decress, dan peraturan perundang-undangan Federal maupun
negara bagian (federal state). Pada tahap melaksanakan pengujian
hakim konstitusi menggunakan basic law dan federal law sebagai
rujukan utama dalam menyatakan konstitutisionalitas produk
hukum.495
Bagi Jerman496, Italia497, dan Spanyol498, pengujian norma
abstrak dilakukan terhadap rancangan undang-undang yang sudah

hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena
dapat menimbulkan norm ahukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan
Undang-Undang, maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut
Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD
1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang utnuk menguji Perpu terhadap
UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan DPR, dan setelah adanya
persetujuan DPR, karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
494
Puutsan Mahkamah Konstitusi No. 145/PUU-VII/2009. Lihat
petimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagaimana Ibid.
495
Ibid., hlm. 89.
496
Lihat dalam Pasal 93 ayat (1) butir ke-2 UUD Federal Jerman, yang
mengatakan bahwa, ―in case of differences of opinion or doubts on the formal
and material compability of federal law or Land law with the Basic Law or on
the compability of Land law with other federal law, at the request of the Federal
Law, of Land government of on e third of the Bundestag members.

186 | Hukum Kelembagaan Negara


diadopsi oleh parlemen serta telah diundangkan akan tetapi belum
diberlakukan secara konkrit. 499 Di Prancis, obyek pengendalian
norma absrak hanya dapat diutjukan kepada suatu rancangan
undang-undang (priori abstract review), dan pengujian tidak dapat
dilakukan kepada undang-undang yang telah mengalami
keberlakuan. 500 Pengendalian norma abstrak juga dikenal di
Austria.501
Sejumlah negara kawasan Eropa Tengah dan Timur502 juga
mengenal pengendalian norma abstrak ini, dengan variasi yang
berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Hampir
semua Presiden di negara tersebut mempunyai kewenangan ini,

497
Dalam Konstitusi Itali Pasal 136 ayat (1) mengatakan, ―When the
Court declares a law or an act having the force of law unconstitutional, the shall
cease to have efefct from daya following the publication of the desicion.
498
The Spanish Constitutional Court is a Constitutional body which is
only subject to the Constitution and its own organic Law The Constitutional
Court is the supreme interpreter of the Constitution (Section 1 of theO.L.C.C.)
and, as we have already said, it was granted the monopoly of
declaringunconstitutional the legal dispositions. Lihat dalam Amelia Pascual
Medrano, ―Active Legitimation in Constitutional Proceeding: Spanish Case‖,
Spanish report for the 26th International Congress of Comparative Law.
Brisbane (Australia), July, 2002, hlm. 166-167.
499
Alec Stone, op.cit., hlm. 45.
500
Ibid., hlm. 234.
501
Dalam Pasal 140 ayat (1) Konstitusi Austria dikatakan, ―The
Constitutional Court pronounces on application by the Administrative Court, the
Supreme Court, or a competent appelate court whether a Federal or State Law is
unconstitutional, but ex officio in so far as the Court would have to apply such a
law in pending suit. It pronounces also on application by the Federal
Government whether State laws are unconstitutional and likewise on application
by State Governemnt or by the one third of the House of Representative members
wheter Federal Laws are unconstitutional.
502
Yaitu Albania, Belarusia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia,
Czech Republic, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Macedonia, Molodova,
Montenegro, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, dan Ukrania.

Hukum Kelembagaan Negara | 187


dengan pengecualian di Lithuania, di mana Presiden hanya
berwenang mengontrol tindakan pemerintah (Perdana Menteri)
dan bukan aturan seperti produk parlemen. Di Rumania dan
Estonia keterbatasan wewenang Presiden ditujukan kepada
rancangan undang-undang dan bukan kepada Undang-Undang
yang sudah berlaku. Ada juga yang melekatkan wewenang
pengujian itu kepada Perdana Menteri, dengan kekhususan seperti
di Kroasia dan Republik Czehnya yang hanya menjangkau
peraturan di bawah undang-undang; atau seperti Estonia yang
mana Pemerintah sama sekali tidak diberi wewenang pengujian
norma.
Variasi lain, wewenang pengendalian norma abstrak
diserahkan kepada parlemen dengan cara yang berbeda-beda. Di
Lithuania, minimum 20 orang anggota dapat mengajukan inisiatif
pengendalian norma, sementara di Majelis Nasional Bulgaria
mensyaratkan dukungan minimum 1/5 anggota dan di Slovenia
dengan 1/3 anggota. Kecuali di Estonia yang tidak mengenal cara
ini, hampir di kawasan ini justru cara ini yang sering dilakukan.503
Di samping itu, secara konstitutional ada juga yang mengatur
bahwa lembaga semacam Kejaksaan 504 , Ombudsman (atau
sejenis) 505 , Mahkamah Agung 506 , badan audit 507 , bagian dari

503
Misalnya, praktik di Bulgaria menunjukkan hampir 67%, inisiatif
pengendalian norma diajukan oleh anggota parlemen, terutama oleh kalangan
oposisi. Lihat: Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 9.
504
Di Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, dan Sloakia.
505
Albania, Latvia, Polandia dan Ukraina.
506
Belarus, Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, Russia dan Ukraina.
507
Albania dan Polandia.

188 | Hukum Kelembagaan Negara


federasi (eksekutif dan legislatif) 508 , parlemen lokal 509 , dan
asosiasi dagang.510
Sedangkan di Amerika Serikat, yang juga diadopsi di
Jepang, pengujian norma abstrak tidak dikenal karena loyalitas
kepada doktrin pemisahan kekuasaan. Pengujian terhadap suatu
rancangan undang-undang di Amerika Serikat merupakan suatu
bentuk campur tangan (intrusion) cabang yudikatif terhadap
domain legislatif.
Namun berbeda dengan Amerika Serikat, kekuasaan
pemerintah dalam menentukan perundang-undangan sangat kuat
di Jepang. Seperti ditulis oleh Jun-ichi Satoh, ―Despite its status
as the ‗court of last resort‘, the Japanese Supreme Court often
plays a somewhat secondary role in determining the
constitutionality of government acts. This situation is largely the
result of the broad legal influence of Japan‘s Cabinet
Legislation Bureau (Naikaku-Hosei-Kyoku).511
Cabinet Legislation Bureau atau CLB, sebagai bagian dari
eksekutif (Perdana Menteri) mempunyai posisi yang secara
informal menentukan dalam penyusunan legislasi karena,
―[T]asks are to provide legal opinions to the Prime Minister
and other legislative officials and to review drafts of bills,
regulations, and orders to determine if they are consistent with
the constitution and legal precedent.‖512 Jadi, CLB merupakan
organ yang juga mempunyai wewenang untuk melakukan
pengujian konstitusional (constitutional review). Sekalipun, ―the
Japanese Constitution, however, mentions nothing about the

508
Seperti di Rusia dan Ukraina.
509
Slovania dan Ukraina.
510
Misalnya di Slovenia.
511
Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 604-605.
512
Ibid., hlm. 605.

Hukum Kelembagaan Negara | 189


CLB‘s advisory role‖513, akan tetapi ―the Court has held that the
CLB‘s role in evaluating draft legislation does not violate the
Constitution.‖ Jadi, Mahkamah Agung Jepang sendiri mengatakan
sekalipun peran CLB tidak diatur dalam konstitusi, akan tetapi
pelaksanaan peran selama ini tidak bertentangan dengan
Konstitusi 1946.
Lebih jauh, Jun-ichi Satoh mengatakan bahwa peran CLB
tidak berbeda dengan Dewan Konstitusi di Prancis. 514
Pembentukan Dewan Konstitusi di Prancis merupakan buah
rasionalisasi sistem parlementer dengan cara mentransformasikan
sebagian kekuasaan legislatif dari parlemen menjadi kewenangan
yang dimiliki oleh eksekutif. Dewan Konstitusi telah dibentuk
guna menjamin keberlangsungan distribusi kekuasaan yang baru
mengalami restrukturisasi itu. Dengan demikian, berdasarkan
Konstitusi Prancis (1958) langkah untuk memperkuat eksekutif
justru memperoleh jaminan dari Dewan Konstitusi. Singkatnya,
Konstitusi Prancis (1958) ―menjamin eksekutif sebagai satu-
satunya lembaga negara yang dapat mengendalikan kalender
legislatif.‖515 Pada posisi inilah, maka argumentasi kesamaan CLB
di Jepang dengan Dewan Konstitusi di Prancis untuk mengubah
status supremasi parlemen dan tidak lagi menempatkan parlemen
pada pusat kehidupan politik, melainkan memantapkan otoritas
absolut cabang eksekutif dalam pembentukan legislasi,
mempunyai dasar rasional yang jelas. Seperti telah dikemukakan
pada Bagian A di atas, bahwa keberadaan lembaga pengadilan di
Asia dan khususnya di Jepang adalah pertama-tama dimaksudkan
untuk memberikan legalitas bagi tindakan pemerintah. Mengingat
posisinya sebagai jabatan di lingkungan eksekutif, maka peran
CLB dengan demikian menampakkan adanya executive review di

513
Ibid.
514
Ibid.
515
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.

190 | Hukum Kelembagaan Negara


Jepang, selain judicial review dalam pengujian konstitusional
(constitutional review). Di Indonesia, konsep executive review
dilakukan oleh pemerintah pusat dalam mengendalikan Peraturan
Daerah.516

2. Pengendalian Norma Konkrit


Pengendalian norma konkrit berarti pelaksanaan pengujian
konstitusional (constitutional review) setelah adanya penyerahan
dari peradilan umum yang meragukan konstitusionalitas suatu
undang-undang dan peraturan peraturan pemerintah. Pengujian ini
timbul dari proses litigasi peradilan umum ketika hakim (ordinary
judges) merasa bimbang terhadap konstitusionalitas suatu undang-
undang ataupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
dinilai inkonsitensi dengan Konstitusi.517
Pengujian norma konkrit telah dilaksanakan di Jerman 518 ,
Austria 519 , Spanyol 520 , dan Amerika Serikat. 521 Secara teknis,
permohonan yang diserahkan kepada Peradilan Konstitusi yang
melibatkan sistem peradilan umum ini disebut penyerahan
(referral). Di Austria misalnya, hampir 90% perkara uji konkrit
yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi berasal dari pengadilan

516
Lihat ketentuan Pasal 145 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) dan Pasal 185-
186 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 158 UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; PP No. 79 Tahun 2005
tentang Pedoman Pembinaan dan PengawasanPenyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Pasal 37.
517
Ibid., hlm. 97.
518
Pasal 100 ayat (1) Basic Law.
519
Pasal 139 Konstitusi Austria.
520
Pasal 161-163 Konstitusi Spanyol.
521
Lihat Pasal III Section 2 Konstitusi (1789) yang membatasi wewenang
Supreme Court hanya pada case and controversies.

Hukum Kelembagaan Negara | 191


tata usaha negara. 522 Metode penyerahan (refferal) ini
dilaksanakan juga di Jerman, Spanyol, dan Italia.
Di Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal dalam
melaksanakan uji konkrit terhadap suatu undang-undang
sebenarnya tidak memutus putusan Mahkamah Agung (Supreme
Court). Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi Federal
tidak berperan sebagai pengadilan banding. Hubungan antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terjadi karena
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari sistem peradilan federal
di Jerman. 523 Logika yang mengatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman dapat memutus perkara yang telah
diputus oleh pengadilan umum, sebenarnya istilah ―memutus‖
oleh mahkamah hanya berlaku terhadap kriterium perkara-perkara
pidana 524 dan perdata 525 yang dimohonkan secara individual
terhadap upaya mempertahankan hak-hak mendasar. Hal itu
disebabkan, karena perkara pidana dan perdata memang
merupakan kewenangan dari pengadilan umum. Namun apabila
hasil keputusan peradilan umum kemudian tidak sesuai dengan
Basic Law atau diputus berdasarkan undang-undang yang telah
mengalami pembatalan serta tidak berlaku (null and void), maka
dakwaan final (final conviction) tersebut selanjutnya dapat
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Federal.
Dalam pengendalian norma konkrit ini, Mahkamah Agung
Jepang lebih mendekati sistem di Amerika Serikat. Pengujian
konstitusional (constitutional review) dilakukan oleh Mahkamah
Agung dalam rangka pemeriksaan perkara tertentu. Sebagaimana
nampak dalam perkara Aizawa v. Japan526, sekalipun judex factie

522
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 98.
523
Ibid., hlm. 99.
524
Pasal 79 ayat (1) Federal Constitutional Court Act of German.
525
Ibid.
526
Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 610.

192 | Hukum Kelembagaan Negara


memutuskan hukuman mati terhadap Aizawa yang didakwa
membunuh ayahnya sendiri menurut Pasal 200 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, tetapi Mahkamah Agung sendiri pada
akhirnya menafsirkan ketentuan pidana itu bertentangan dengan
konstitusi. Dalam pada itu, Mahkamah Agung juga mengurangi
hukuman terdakwa menjadi hukuman penjara dua setengah tahun
dengan kerja keras. Pengujian konstitusional (constitutional
review) di Jepang itu serupa juga dengan kewenangan Grand
Justice di Taiwan.
Seorang warganegara Taiwan melakukan perkawinan
poligami, sesuatu yang bertentangan dengan hukum sipil
Taiwan yang melarang seorang warganegara mempunyai 2
(dua) orang isteri. Ketika isteri pertama menggugat sang
suami, maka perkawinan kedua itu dinyatakan tidak sah
oleh pengadilan umum, yang dikuatkan oleh Mahkamah
Agung. Pria tersebut kemudian mengajukan petisi ke Grand
Justice untuk mempertanyakan pembatasan oleh undang-
undang yang berakibat pada batalnya perkawinan tersebut.

Dalam memutuskan perkara ini, Grand Justice


menggunakan standar penilain menurut ketentuan Pasal 22
Konstitusi (1947). Ketentuan ini antara lain menjamin
bahwa setiap tindakan yang tidak membimbulkan
kekacauan bagi tertib konstitusional dan masyarakat,
termasuk di dalamnya hak untuk menikah serta hak untuk
memperoleh keluarga, telah dilindungi oleh Konstitusi.
Pada amar putusannya, Grand Justice, antara lain
menyatakan, ―all freedoms not detrimental to the
constitutional order or public welfare, to find that there was
a constitutionallity protected right to marriage and the
family.‖ 527 Berdasarkan putusan ini, maka perkawinan
kedua yang dilakukan oleh pria itu dinyatakan

527
Lihat www.judicial.gov.tw/b4/e7-1.htm> , diakses 12 Maret 2011.

Hukum Kelembagaan Negara | 193


konstitusional dan sah dan kemudian putusan Mahkamah
Agung dibatalkan.

Sepanjang suatu negara mempunyai kelembagaan peradilan


yang terpisah antara Supreme Court dan Pengadilan Konstitusi,
dalam pengujian norma konkrit ini akan terjadi proses dialog
konstitusional secara triumvirat antara hakim peradilan umum
(ordinary judges), hakim konstitusi (constitutional judges),
maupun dengan pembuat kebijakan di parlemen. Keterlibatan
hakim peradilan umum dalam dialog konstitusional disebabkan
judicial review pada awalnya dilaksanakan oleh peradilan umum,
meskipun hakim pengadilan umum tidak memiliki kewenangan
untuk memutus perkara konkrit.528
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai
wewenang semacam itu. Menurut Pasal 58 UU No. 24 Tahun
2003, ―Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi
tetap berlaku sebelum ada putusan yang mengatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.‖ Ketentuan
tersebut menyiratkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas
pengujian undang-undang itu berlaku ke depan (prospectus) dan
tidak berlaku surut. Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul
dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai
diucapkannya putusan yang menyatakan Undang-Undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan
mengikat. 529 Tetap berlakunya sebuah aturan hukum atau
keputusan pejabat administrasi negara walaupun terdapat sebuag

528
Ahmad Syahrizal, loc.cit.
529
Lihat juga Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 213-214.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit.,
hlm. 319.

194 | Hukum Kelembagaan Negara


gugatan atas aturan tersebut ke pengadilan, dalam teori dikenal
dengan asas praduga rechtmatige.530
Contoh paling nyata adalah ketika para tersangka terorisme
disidangkan di pengadilan negeri dan proses persidangannya
mengacu kepada UU No. 16 Tahun 2003 tetang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakkan Bom di Bali,
sementara pada saat yang sama, Mahkamah Konstitusi sedang
melakukan pengujian konstitutionalitas undang-undang tersebut
dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial
review itu.531 Namun demikian, sebagian dari terdakwa terorisme
itu telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan dengan dasar hukum
Undang-Undang yang telah dibatalkan tersebut. Bahkan pasca
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, masih terdapat
beberapa terdakwa yang didakwa atau dituntut menggunakan
undang-undang yang sudah jelas-jelas dinyatakan inkonstitusional
oleh Mahkamah Konstitusi.532
Suatu peristiwa yang berlainan muncul di Korea Selatan.
Ketika itu mantan Presiden Chun Doo-hwan yang kemudian
digantikan oleh Roh Tae-woo, keduanya purnawirawan
jenderal angkatan darat, dihadapkan pada ancaman
hukuman mati atas insiden berdarah Mei 1980. Vhun telah
diancam dengan hukuman mati dan Roh dua puluh tahun
penjara. Peristiwa itu berlangsung ketika otoritas militer
mengerahkan pasukan elit ke kawasan Kwangju guna

530
S.F. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia, Cetakan 2, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 172-173.
531
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-I/2003 hlm. 47-48.
532
Lihat juga Jamaludin Ghafur, ―Asas Praduga Rechtmatig dan
Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang dalam Pengujian UU di Mahkamah
Konstitusi‖, Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November 2010, hlm. 157.

Hukum Kelembagaan Negara | 195


menumpas demonstrasi yang ditujukan kepada
pemerintahan saat itu. Kwangju sendiri adalah basis oposisi
veteran pimpinan Kim-Dae-jung. Tuduhan pemberontakan
yang dibebankan kepada Kim mengangkibatnnya diancam
dengan hukuman mati. Namun, ancaman hukuman itu
urung dilaksanakan lantaran pemerintahan Chun dan Roh
digantikan oleh Kim Young Sam, yang terpilih menjadi
presiden pada tahun 1992. Sepanjang periode itu timbul
intensitas desakan guna mengusung peristiwa berdarah
Kwangju ke dalam proses hukum dengan tersangka utama
mantan Presiden Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo.
Kendati demikian, terbatasnya instrumen hukum yang valid
ketika itu, menyebabkan pemerintahan Kim Young-sam
sulit menempatkan mereka sebagai tersangka.

Namun, Majelis Nasional di bawah kendali solid partai


politik pimpinan Kim, akhirnya, dapat menetapkan undang-
undang retroaktif guna memfasilitasi proses penyidikan dan
penuntutan terhadap tersangka utama Chun dan Roh.
Namun, keberadaan undang-undang yang diberlakukan
khusus menyurut itu telah menimbulkan reaksi hukum dari
pembela mereka. Melalui mekanisme permohonan yang
dimediasi oleh peradilan umum, kedua mantan Presiden itu
memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera
membatalkan hukum yang berlaku surut. Dalam
permohonannya, Chun dan Roh mendalilkan bahwa
undang-undang retroaktif tersebut melanggar Pasal 13
Konstitusi Korea Selatan.

Pada tanggal 16 Februari 1996, Mahkamah Konstitusi


sampai pada putusan bahwa diskresi penuntutan yang
dilandasi oleh undang-undang berlaku surut terhadap Chun
dan Roh tidak konstitusional. Pada bulan Desember 1997,
atas inisiatif presiden terpilih Kim Dae-jung dakwaan

196 | Hukum Kelembagaan Negara


terhadap Chun dan Roh—yang ketika berkuasa justru
mengupayakan hukuman mati bagi Kim—akhirnya
memperoleh ampunan dengan diterbitkannya grasi oleh
Presiden Kim Dae-jung.

Sementara itu, pengujian secara konkrit peraturan


perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung.533 Namun
demikian, Mahkamah Konstitusi secara teoritis juga dapat
dikategorikan berwenang menguji undang-undang secara konkrit.
Namun bila Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang,
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Keduanya termasuk ke dalam kategori pengujian
konkrit, walau diuji terhadap obyek hukum yang berbeda.
Apabila dicermati ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang mengatakan, ―Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar‖,
berbanding lurus dengan Supreme Court Amerika Serikat dan
Jepang, yang memiliki kewenangan pengujian konstitusional
(constitutional review) Undang-Undang (produk legislatif).
Di Brasil, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan
tertinggi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian
konstitusional (constitutional review) Undang-Undang secara
abtrak maupun konkrit.534 Dikatakan bahwa:535
The Brazilian system of judicial review combines features
from both abstract review and concrete review systems.

533
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
534
Gilmar Mendes, ―Framework of Brazillian Judiciary and Judicial
Review‖, International and Comparative Law Journal, Vol. 67 No. 77, Winter,
2007, hlm. 457.
535
Ibid., hlm. 457-458.

Hukum Kelembagaan Negara | 197


As in the American concrete review system, Brazilian
judges are conferred ample powers to analyze the
constitutionality of governmental acts, allowing any
judge or court to declare that a law or regulatory act
is unconstitutional and, just as in the European
abstract system, the Brazilian Constitutional model
concentrates at the Supreme Court the competence to
prosecute and adjudicate independent actions concerning
the constitutionality ―in abstract‖ of a law.
In this way, the Brazilian system of Judicial Review
displays original and diverse procedural instruments for
both verifying the constitutionality of legislation and
protecting fundamental rights. These include the habeas
corpus, habeas data, writ of mandamus, injunctive writ,
public civil action and popular action. This diversity, so
typical of the diffuse model, is complemented by a
variety of instruments enabling the Supreme Court to
exercise abstract review such as direct
unconstitutionality suits, declaratory actions of
constitutionality, direct unconstitutionality suits due to
omission (ADO) and claims for non-compliance of a
fundamental precept.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sekalipun


Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian
konstitusional, akan tetapi secara normatif (menurut Konstitusi
1988) terdapat instrumen hukum yang dikenal sebagai
―Extraordinary Appeals‖ guna memverifikasi kemungkinan
pelanggaran Konstitusi atas putusan badan peradilan tertinggi itu.
Secara khusus, instrumen itu ditujukan terhadap: (i) pelanggaran
konstitusi secara langsung; (ii) putusan konstitusionalitas
perjanjian internasional dan Undang-Undang Federal; (iii) putusan
terhadap Undang-Undang yang sudah pernah diputus
inkonstitusional; atau (iv) dalam hal peradilan tingkat banding

198 | Hukum Kelembagaan Negara


memutuskan perkara menurut hukum yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah akan tetapi hukum itu bertentangan dengan
konstitusi. 536 Bahkan dalam Perubahan Konstitusi (2004),
instrumen itu ditambahkan dengan perlunya Mahkamah Agung
untuk memperhatikan general reppurcusion dalam penggunaan
Extraordinary Appeal.

536
Ibid., hlm. 458.

Hukum Kelembagaan Negara | 199


BAB VI
LEMBAGA NEGARA
NONSTRUKTURAL

A. Peristilahan
Pada pelaksanaan kajian ini, yang dimaksudkan sebagai
Lembaga-Lembaga Nonstruktural adalah apa yang di dalam
literatur dikenal sebagai lembaga negara independen atau lembaga
negara penunjang (State Auxilliary State). Lembaga Negara Non
Struktural ada yang disebut sebagai dewan, badan, atau lembaga,
ada pula yang disebut komisi-komisi negara. Ada pula yang
bersifat adhoc yang disebut dengan istilah satuan tugas atau
komite. Di Indonesia sendiri selama ini dikenal adanya istilah
Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (LPND) yang setelah
ditetapkannya UU tentang Kementerian Negara yang mengubah
istilah departemen menjadi kementerian, maka istilah LPND itu
harus diubah menjadi LPNK atau Lembaga Pemerintahan Non-
Kementerian. Namun, atas inisiatif beberapa kementerian, ada
pula istilah lain yang diperkenalkan, yaitu Lembaga Nonstruktural.
Dalam banyak literatur, ada juga yang menggunakan istilah
‗independnet bodies‘, ‗auxiliary agencie‘, ‗self regulatory bodies‘,
dan sebagainya. Semua istilah-istilah itu tidak dapat dipakai untuk

200 | Hukum Kelembagaan Negara


pengertian yang bersifat umum sebab masing-masing lembaga
dimaksud mempunyai cirri khasnya sendiri-sendiri. Ada bersifat
independen, ada yang tidak, dan ada pula yang terkait langsung
dengan fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, judikatif, dan ada pula
yang bersifat campuran. Agar bersifat umum, semua lembaga-
lembaga itu, karena sifatnya yang khusus di luar struktur
kementerian yang lazim dapat saja kita sebut dengan istilah
lembaga-lembaga khusus (special agencies).
Berikut ini disajikan tabel yang berisi 88 Lembaga Negara
Nonstruktural di Indonesia hingga tahun 2011.

No. Wewenang Nama Lembaga


1. Hukum dan Hak  Komisi Hukum Nasional
Asasi Manusia  Komisi Kepolisian Nasional
 Ombudsman Republik Indonesia
 Komisi Kejaksaan
 Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
 Komisi Antikekerasan terhadap
Perempuan
 Komisi Nasional Lanjut Usia
 Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia
 Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban
 Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2. Pemilihan Umum  Komisi Pemilihan Umum
 Badan Pengawas Pemilihan Umum
3. Pengembangan  Dewan Pertimbangan Otonomi
Wilayah/Kawasan Daerah
 Dewan Kelautan Indonesia
 Dewan Pengembangan Kawasan
Timur Indonesia

Hukum Kelembagaan Negara | 201


 Badan Pengembangan Wilayah
Surabaya-Madura
 Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional
 Unit Kerja Presiden untuk
Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan
 Dewan Nasional Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas
 Dewan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
 Dewan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas
Karimun
 Dewan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan
 Komite Pengarah Pengembangan
Kawasan Ekonomi Khusus di
Pulau Batam, Bintan, dan Karimun
4. Ketahanan dan  Dewan Ketahanan Nasional
Keamanan  Badan Koordinasi Keamanan Laut
5. Infrastruktur  Badan Kebijaksanaan dan
Pengendalian Perumahan dan
Permukiman Nasional
 Badan Pendukung Penyediaan
Sistem Air Minum
 Badan Pengatur Jalan Tol
 Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur
6. Ekonomi  Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
 Komite Privatisasi Perusahaan
Perseroan

202 | Hukum Kelembagaan Negara


 Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
 Komite Nasional Standar untuk
Ukuran
 Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan
 Komisi Banding Merek
 Komisi Banding Paten
 Dewan Gula Nasional
 Dewan Koperasi Nasional
 Dewan Ketahanan Pangan
 Badan Ekonomi Kreatif
7. Energi dan  Dewan Energi Nasional
Sumber Daya  Dewan Sumber Daya Air Nasional
 Badan Pengatur Hilir Minyak dan
Gas
 Badan Pengawas Pasar Tenaga
Listrik
8. Kesehatan  Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional
 Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional
 Komite Nasional Pengendalian Flu
Burung dan Kesiapsiagaan
Pandemi Influenza
9. Sosial  Badan Penanggulan Lumpur
Sidoardjo
 Lembaga Koordinasi dan
Pengendalian Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat
 Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan

Hukum Kelembagaan Negara | 203


10. Perhubungan dan  Komisi Penyiaran Indonesia
Penyiaran  Komite Nasional Keselamatan
Transportasi
 Dewan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Nasional
 Dewan Pers
 Komisi Informasi Pusat
11. Keagamaan  Forum Kerukunan Umat Beragama
 Komisi Pengawas Haji Indonesia
 Badan Pengelola Dana Abadi Umat
 Badan Amil Zakat Nasional
 Badan Pelaksana Pengelola Masjid
Istiqlal
12. Pendidikan, Ilmu  Dewan Buku Nasional
Pengetahuan, dan  Dewan Riset Nasional
Teknologi  Komite Inovasi Nasional
 Dewan Penerbangan Antariksa
Nasional
 Komite Akreditasi Nasional
 Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
 Dewan Nasional Perubahan Iklim
13. Ketanagakerjaan,  Dewan Pengupahan Nasional
Kepegawaian,  Dewan Jaminan Sosial Nasional
dan Profesi  Badan Nasional Sertifikasi Profesi
 Lembaga Produktifitas Nasional
 Konsil Kedokteran Indonesia
 Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
 Lembaga Kerjasama Tripartit
 Badan Pertimbangan Kepegawaian
 Komite Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak

204 | Hukum Kelembagaan Negara


14. Pemerintahan  Dewan Pertimbangan Presiden
 Komite Antardepartemen Bidang
Kehutanan
 Komite Standar Akuntasi
Pemerintah
15. Olahraga  Badan Olahraga Profesional
 Badan Standarisasi dan Akreditasi
Nasional Keolahragaan
 Komite Olahraga Nasional
Indonesia
15. Seni dan Budaya  Badan Pertimbangan Perfilman
Nasional

Sementara itu, lembaga pemerintah nonkementerian


meliputi lembaga-lembaga sebagai berikut:
1. Lembaga Administrasi Negara;
2. Arsip Nasional Republik Indonesia;
3. Badan Kepegawaian Negara;
4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;
5. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
6. Badan Pusat Statistik;
7. Badan Standarisasi Nasional;
8. Badan Pengawas Tenaga Nuklir;
9. Badan Intelijen Negara;
10. Lembaga Sandi Negara;
11. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;
12. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional;
13. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional;
14. Badan Pengawasan Obat dan Makanan;
15. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
16. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia;
17. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan;
18. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika;

Hukum Kelembagaan Negara | 205


19. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
20. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi;
21. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme;
22. Badan Koordinasi Penanaman Modal;
23. Badan Pertanahan Nasional;
24. Lembaga Ketahanan Nasional;
25. Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
26. Badan SAR Nasional; dan
27. Badan Narkotika Nasional.

Gejala tumbuh kembangnya Lembaga Negara Nonstruktural


ini merupakan gejala yang mendunia. Selain itu, lembaga-lembaga
ini lahir karena kinerja lembaga utama belum bekerja secara
efektif dan dilatarbelakangi oleh desakan publik dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jimly
Asshidiqie:537
Seperti dalam perkembagan di Inggris dan di Amerika
Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu ada yang
masih berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada
pula yang bersifat independen dan berada di luar wilayah
kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada
umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini
didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan
pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan
kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu
yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien
dan efektif.

Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan state


auxiliary organs. Ada yang menyebutnya sebagai komisi negara,

537
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 29.

206 | Hukum Kelembagaan Negara


state auxiliary agencies, state auxiliary bodies, dan ada juga yang
menyebut sebagai lembaga negara independen. Adapun pengertian
mengenai state auxiliary organs dari beberapa pakar adalah
sebagai berikut.
Asimow mengemukakan bahwa komisi negara adalah ―units
of government created by statute to carry out spesific tasks in
implementing the statute. Most administrative agencies fall in the
excecutive branch, but some important agencies are
independent.‖ 538 Lebih lanjut, dalam bahasa Funk dan Seamon,
komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan ‖quasi
legislative‖, ―executive power‖, dan ―quasi judicial.‖539
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie.
Jimly berpendapat, ―komisi negara independen adalah organ
negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya
berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari
ketiganya.‖540
Dalam kesempatan lain, Jimly Asshidiqie menamakan state
auxiliary organs sebagai self regulatory agencies atau independent
supervisory bodies, yaitu ―lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi campuran (mix function) antara fungsi-fungsi regulatif,
administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan
tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga
baru tersebut.‖541
Di beberapa negara, state axuiliray organs ini juga menjadi
organ konstitusi, misalnya di Afrika Selatan dan Thailand. Dalam
Pasal 181 ayat (1) konstitusi Afrika Selatan, menyebutkan ada

538
Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi
Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hlm. 264-265.
539
Ibid., hlm. 266.
540
Ibid., hlm. 265-266.
541
Op.cit., hlm. 8.

Hukum Kelembagaan Negara | 207


Human Rights Commisions, Commission for the Promotion and
Protection of the Rights of Cultural, Religious and Linguistic
Communities, Commision for Gender Equality, dan Electortal
Commision. Sedangkan di Thailand, Pasal 75 konstitusinya
Thailand mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran
bagi komisi negara independen, seperti: Election Comission,
Ombudsmen, National Human Rights Comission, National
Counter Corruption Comission, dan State Audit Commision.542
Merujuk pada pendapat Asimow, yang menyebut bahwa
state auxliary organs adalah ―units of government created by
statute to carry out spesific tasks in implementing the statute. Most
administrative agencies fall in the excecutive branch, but some
important agencies are indepedent‖, state auxiliary organs di
Indonesia dibedakan atas independent regulatory bodies dan
executive branch agencies.
Di Amerika Serikat, di samping The Executive Departement
sebagai organ utama yang menjalankan kekuasaan pemerintahan
federal, dikenal pula agencies, di luar ketiga cabang kekuasaan
negara yang disebut Quasi Official Agencies, Government
Corporation, dan Independent Agencies. Dimulai pada tahun
1887, Kongres menetapkan suatuu ndang-undang yang mengatur
pendirian The Interstate Commerce Commission, yang merupakan
independent agency, yang memiliki kekuasaan mengatur
perdagangan antarnegara (state) seiring kemajuan lalu lintas kereta
api di Amerika Serikat.543 Sifat independensi agency disebabkan
karena 5 hal sebagai berikut. Pertama, bukan merupakan bagian
executive departerment, atau kementerian, legislatif, maupun

542
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 266.
543
Radian Salman dan M. Hadi Subhan, ―Lembaga Negara Punjang:
Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya‖, dalam Dadan Wildan (Editor),
2010, Bunga Rampai Pemikiran Penataan Lembaga Non Struktural, Jakarta,
Penerbit Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan, hlm.
134.

208 | Hukum Kelembagaan Negara


yudisial. Kedua, dinyatakan secara tegas dalam undang-undang
yang membentuknya, bahwa pengawasan atas lembaga tersebut
tidak melekat pada Presiden. Ketiga, kedudukan dan
kewenangannya langsung bersumber kepada undang-undang.
Keempat, kepemimpinan kolektif, kepemimpinan tidak dikuasai
atau mayoritas dari partai tertentu dan masa jabatan para pimpinan
komisi tidak habis secara bersamaan, akan tetapi secara bergantian
(staggered time). Kelima, tidak terdapat bentuk pertanggung
jawaban.544
Belanda juga mengenal Lembaga Negara Nonstruktural,
seperti National Ombudsman Commission, The Netherlands
Government Information Service, The Netherlans Equal Treatmen
Commission (Commission Gelijke Behandelingen). Koortman dan
Bovend‘Een dalam konteks Hukum Tata Negara Belanda
menyatakan bahwa, ―there are many institution which operate
more or less independently from the minister.‖545
Di Indonesia, sampai dengan tahun 2011, menurut kajian
Kompas terdapat 88 Lembaga Negara Nonstruktural, di luar 28
lembaga negara nonkementerian546 dan 34 kementerian, serta Tim

544
Ibid., hlm. 136.
545
Ibid., hlm. 135.
546
Terutama pada masa Orde Baru, lembaga ini dikenal sebagai Lembaga
Pemerintah Non Departemen, yang seiring dengan diundangkannya UU No. 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, istilah yang digunakan adalah
Lembaga Negara Nonkementerian. Lembaga ini umumnya disebut ―badan‖ yang
menangani urusan pemerintahan dalam bidang tertentu seperti Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Pertanahan
Nasional/BPN, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT, Badan
Tenaga Atom Nasional/BATAN, Badan Pusat Statistik/BPS, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana/BNPB, Badan Arsip Nasional, dan sebagainya.
Kecuali Bappenas, yang untuk posisi Kepala dirangkap oleh Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak tahun 1966, kemudian dijadikan
lembaga nonkementerian era Presiden Abdurrahman Wahid, dan kemudian
kembali dirangkap menteri sejak era Presiden Megawati), lembaga yang lain
umumnya berasal dari birokrat karier/profesional.

Hukum Kelembagaan Negara | 209


dan Satuan Tugas Khusus yang dibentuk oleh Presiden. 547
Berdasarkan dasar hukum pembentukannya, dari 88 Lembaga
Negara Nonstruktural yang dibentuk menurut ketentuan Undang-
Undang sebanyak lembaga, kemudian 41 lembaga dibentuk
menurut Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden, 8 lembaga
dibentuk menurut Peraturan Pemerintah, dan 39 lembaga dibentuk
dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang.

B. Latar Belakang Kemunculan


Lembaga Negara Nonstruktural sebagai suatu Lembaga-
lembaga khusus atau ‗special agencies‘ merupakan gejala yang
dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaan
negara modern. Menurut doktrin Montesquieu yang sebenarnya
tidak pernah diterapkan dalam praktik yang nyata, lembaga-
lembaga negara diidealkan hanya terdiri atas tiga lembaga utama
penyelenggaraan kekuasaan negara, yaitu parlemen, pemerintah,
dan pengadilan yang mencerminkan fungsi-fungsi legislative,
executive, dan judicial. Namun, sejak akhir abad ke 19, dengan
munculnya tuntutan agar negara mengambil peran lebih besar
dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka
jumlah lembaga-lembaga negara menjadi bertambah banyak pula
sesuai dengan tuntutan kebutuhan menurut doktrin negara
kesejahteraan (welfare state). Namun, sampai pertengahan abad
ke-20, peran negara berkembang ekstrim sehingga pada akhir abad
ke-20 berkembang pula kesadaran baru untuk mengurangi peran
negara melalui pelbagai kebijakan liberalisasi, baik di bidang
politik maupun ekonomi. Gelombang liberalisasi politik membawa
akibat munculnya gelombang (i) demokratisasi dan (ii)
desentralisasi, sedangkan liberalisasi ekonomi melahirkan
kebijakan-kebijkan (i) efisiensi, (ii) deregulasi, (iii)
debirokratisasi, dan (iii) privatisasi. Mulai tahun 1970-an,

547
Sementara itu dalam kajian Lembaga Administrasi Negara tercatat
sebanyak 92 lembaga negara.

210 | Hukum Kelembagaan Negara


gerakan-gerakan ini berkembang luas sehingga menyebabkan
terjadinya restrukturisasi bangunan organisasi negara dan
pemerintahan secara besar-besaran. Sebagian fungsi yang
sebelumnya ditangani oleh negara diserahkan kepada masyarakat
atau dunia usaha untuk mengelolanya. Fungsi-fungsi yang
sebelumnya ditangani oleh pemerintahan pusat diserahkan
pengelolaannya kepada pemerintahan daerah.
Bersamaan dengan itu, bentuk-bentuk organisasi yang
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan negara juga berubah
pesat. Fungsi-fungsi yang sebelumnya bersifat eksklusif
legislative, eksekutif, atau judikatif, mulai dirasakan tidak lagi
mencukupi, sehingga doktrin pemisahan kekuasaan tidak lagi
dianggap ideal. Yang dianggap lebih ideal justru adalah prinsip
checks and balances atau prinsip pembagian kekuasaan atau
‗sharing of power‘. Bahkan untuk kepentingan efisiensi, muncul
kebutuhan untuk melembagakan kebutuhan untuk
mengintegrasikan pelbagai fungsi menjadi satu kesatuan ke dalam
fungsi yang bersifat campuran. Pertimbangan lain adalah
munculnya kebutuhan untuk mencegah agar fungsi-fungsi
kekuasaan tertentu terbebas dari intervensi politik dan konflik
kepentingan. Karena kedua alas an inilah maka sejak akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21, banyak bermunculan lembaga-
lembaga baru di luar struktur organisasi pemerintahan yang lazim.
Dalam praktik di Indonesia, kebijakan pembentukan
Lembaga Negara Nonstruktural, sekurang-kurangnya ada 7 (tjuh)
faktor sebagai motivasi munculnya lembaga ini. Pertama,
Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural merpakan refleksi dari
keresahan Negara atas ketidakpastian dan kealpaan perlindungan
atas individu dan kelompok-kelompok marginal baik dari ancaman
kesewenang-wenangan pejabat public maupun ancaman sesasma
warganegara sebagai individu atau kelompok (Di sini dapat
diberikan contoh: pembentukan Komisi Nasional HAM menurut
Keppres No. 50/1993 jo UU No. 39/1999 dan Komisi Ombudsman
Nasional menurut Keppres No. 44/2000).

Hukum Kelembagaan Negara | 211


Kedua, Kehadiran lembaga-lembaga nonstruktural
mencerminkan sentralitas Negara sebagai institusi public dengan
tanggung jawab public yang besar pula sehingga dengan demikian
kebijakan tersebut menyebabkan pemahaman yang mereduksi
kehadiran negara sebatas sebagai substitusi dari kegagalan institusi
lainnya. Untuk ini dapat diberikan contoh adanya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menurut UU No. 5/1999.
Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural
disebabkan tidak adanya kredebilitas lembaga-lembaga yang telah
ada sebelumnya akibat adanya asumsi mengenai korupsi yang
sistemik, mengakar, dan sulit diberantas. Contohnya adalah
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No. 30/2002).
Keempat, kehadiran lembaga-lembaga nonstructural
didoroang oleh tidak adanya independensi lembaga-lembaga
Negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh
suatu kekuasaan tertentu. Contohnya pembentukan Komisi
Yudisial (Pasal 24B UUD 1945, UU No. 22/2004).
Kelima, kehadiran lembaga-lembaga nonstructural juga
didoroang oleh factor ketidakmampuan lembaga-lembaga Negara
yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan
dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan
internal maupun eksternal. Dapat ditunjuk sebagai contoh adalah
adanya Komisi Penyiaran Indonesia (UU No. 30/2002), Dewan
Pers (UU No. 40/1999).
Keenam, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural
menunjukkan adanya pengaruh global, khususnya syarat
pemberian pinjaman luar negeri dari lembaga keungan
internasional seperti International Monetery Fund dan World
Bank, yang menggambarkan adanya kecenderungan beberapa
Negara untuk membentuk lembaga-lembaga Negara ekstra yang
dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-
lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang
harus diperbaiki. Contoh: Badan Regulasi Telekomunikasi, Badan
Regulasi Pengelola Jalan Tol, dan sebagainya.

212 | Hukum Kelembagaan Negara


Ketujuh, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural dalam
hal-hal tertentu juga karena adanya tekanan dari lembaga-lembaga
internasional untuk membentuk lembaga-lembaga itu sebagai
prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi. Contoh: Badan
Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (UU No. 5/19999), Komite
Privatisasi (UU No. 19/2003), Dewan Sumber Air (UU No.
7/2004), dan lain-lain.

C. Konsolidasi dan Penataan


Dalam konteks ini, kehadiran lembaga-lembaga
nonstruktural pada satu sisi mencerminkan pola difusi kekuasaan
yang semakin tersebar diantara 3 arena yaitu negara (political
body), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Akan
tetapi ada juga ―kesulitan yang dihadapi‖, seperti intervensi check
and balances antarcabang kekuasaan negara, kelembagaan dan
penganggaran yang semakin besar, dan tentangan reformasi
birokrasi yang mendasarkan dalil ―miskin struktur tetapi kaya
fungsi.‖ Di dalam praktik, dalil-dalil itu menimbulkan masalah,
antara lain sebagai berikut:
a. Dalam hal tertentu, bertebarannya lembaga Negara
nonstructural tidak dibentuk berdasarkan desain konstitusional
yang dapat menjadi paying hokum keberadaannya, tetapi
berdasarkan isu-isu parsial, incidental, dan sebagai jawaban
khusus terhadap persoalan yang dihadapi;548
b. Akibat dari hal (1) di atas, legitimasi yuridis keberadaan
lembaga nonstructural, antara lain berbagai komisi yang ada,

548
Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Mahfud M.D., yang
mengatakan bahwa banyak lembaga nonstructural justru banyak menghambat
kerja pemerintahan. Selain tumpang tindih dan berbenturan, ada pemborosan
anggaran karena pekerjaannya yang ganda. Pembuatan lembaga dilakukan tanpa
analisis yang dalam, cenderung reaksioner terhadap permasalahan yang dating
dari hari ke hari. Hal semacam ini berujung pada pemborosan dan kegiatan yang
tidak tepat sasaran. Lihat: Kompas, Selasa, 19 Juli 2011, hlm. 15.

Hukum Kelembagaan Negara | 213


sangat lemah sehingga akan mudah terkendala dalam
menjalankan kewenangannya;
c. Dalam hal tertentu, karena pertimbangan kebijakan yang
incidental dan instant, lembaga nonstructural berjalan secara
sendiri-sendiri tanpa tersedia sistematisasi kerja sinergis yang
bisa saling mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja
komisi sering kali tidak termanfaatkan dengan baik oleh komisi
lainnya; dan
d. Sejauh ini, efektivitas keberadaan sejumlah lembaga Negara
nonstruktural dalam struktur ketatanegaraan masih belum
tampak sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang
ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.

Sebagian kalangan masyarakat menilai lahirnya Lembaga


Negara Nonstruktural yang sebagian besar berfungsi sebagai
pengawas kinerja lembaga negara merupakan bentuk
ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas yang telah ada,
khususnya terhadap institusi penegak hukum. Selain itu,
pembentukan Lembaga Negara Nonstruktural ini didorong oleh
kenyataan bahwa birokrasi pemerintahan tidak lagi dapat
memenuhi tuntutan kebutuhan publik akan pelayanan umum
dengan standar mutu yang semakin meningkat, efektif, dan efisien.
Ni‘matul Huda mengemukakan pendapat bahwa:549
Ketidakpercayaan ini bukan saja dimonopoli oleh publik
secara umum, tetapi juga oleh para elit tingkat atas yang
berada dalam lembaga-lembaga negara yang tersedia.
Ketidakpercayaan yang ada, bisa diperkirakan berangkat
dari kegagalan lembaga-lembaga negara yang ada dalam
menjalankan fungsi-fungsi dasarnya atau sebagai akibat
dari meluasnya penyimpangan fungsi lembaga-lembaga
yang ada selama kurun waktu 32 tahun Orde Baru.

549
Ni‘matul Huda. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi
Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, hlm. 197.

214 | Hukum Kelembagaan Negara


Cornalis Lay sebagaimana dikutip oleh Ni‘matul Huda,
menambahkan, bahwa:550
Di tingkat masyarakat umum, performance masa lalu yang
buruk ini menjadi dasar bagi penolakan luas atas lembaga-
lembaga negara yang ada. Sementara di tingkat elit,
kegagalan atau penyimpangan fungsi lembaga-lembaga
negara di masa lalu telah melahirkan kehendak yang kuat
untuk menyebarkan kekuasaan lembaga-lembaga nyang
ada baik secara horizontal lewat pencipataan lembaga-
lembaga negara sampiran negara maupun secara vertikal
melalui desentralisasi.

Kelahiran Lembaga Negara Nonstruktural ini juga


merupakan refleksi kemenanangan kekuatan non negara dalam
mempenetrasi wilayah dominasi negara yang beberapa tahun
terakhir mengalami pembelengguan. Jika pada awalnya kekuatan
non negara terbatas pada perebutan ruang bagi diri sendiri yang
telah dipilah secara ketat, dalam perkembangan selanjutnya
setelah reformasi, telah memperluas hasratnya untuk menjangkau
kontrol atas ranah negara. Dengan logika seperti ini, aktor non
negara yang berwujud state auxliary organs dapat mengkonversi
diri secara cepat sebagai aktor yang dapat bertindak atas nama
dan untuk kepentingan publik yang selama ini dimonopoli oleh
negara.
Lebih lanjut, kemunculan state auxiliary organs juga
merupakan jawaban atas kebuntuan teori trias politica Baron de
Montesquie yang mengidealkan cabang kekuasaan negara dibagi
atas tiga kekuasaan yang saling terpisah secara murni, yaitu
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ternyata tidak dapat
bekerja secara maksimal ketika dihadapkan perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis yang menghendaki struktur
organisasi negara yang lebih responsif dengan tuntutan mereka

550
Ibid., hlm. 198.

Hukum Kelembagaan Negara | 215


serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik
dan mencapai tujuan pemerintahan.
Menurut pengamatan saya, pada aspek tertentu efektivitas
keberadaan sejumlah lembaga Negara nonstruktural dalam
struktur ketatanegaraan masih belum tampak. Saya menunjuk 3
(tiga) hal sebagai berikut:551
a. Pembentukan lembaga Negara nonstructural perlu diragukan
apakah memang merupakan jawaban yang tepat dan sebagai
respons yang harus dilakukan sesuai dengan tantangan yang
dihadapi. Pembentukan Komisi Hukum Nasional (Keputusan
Presiden Nomor 15/2000) di mana fungsi lembaga ini: (a)
memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang
berbagai kebijakan hokum atau yang direncanakan oleh
pemerintahan dan tentang masalah-masalah hokum yang
berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional;
dan (b) membantu Presiden dengan bertindak sebagai panitia
pengarah dalam mendesain suatu rencana umum untuk
pembaruan di bidang hokum. Fungsi ini berpotensi berbenturan
dengan: (1) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), lembaga nondepartemen dirangkap oleh menteri
Negara (UU No. 25/2004; Perpres No. 11/2005); (2) Badan
Pembinaan Hukum Nasional/BPHN (eselon satu di bawah
Departemen Hukum dan HAM); (3) Sekretariat Negara
(menteri Negara), dan (4) Jaksa Agung sebagai jaksa pengacara
Negara (UU No. 16/2004, setingkat menteri Negara).
Kemudian untuk pengembangan wilayah, selain Kementerian
Dalam Negeri, juga ada Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan
Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu, dan lebih dari 10
badan pengembangan wilayah khusus.

551
Isharyanto, ―Kebutuhan Konsolidasi dan Penataan Lembaga-Lembaga
Non Struktural‖, dalam Dadan Wildan (Editor), op.cit., hlm. 259-286.

216 | Hukum Kelembagaan Negara


b. Pembentukan lembaga Negara nonstructural yang berfungsi
sebagai penasehat menunjukkan inefisiensi dalam pola
kelembagaan Negara. Saya menunjuk contoh antara lain: (1)
Keberadaan lembaga-lembaga dan dewan-dewan penasehat
presiden untuk urusan-urusan tertentu dan beberapa
diantaranya diketuai presiden langsung. Misalnya: Komisi
Kepolisian (UU No. 2/2002), Dewan Pertanahan Nasional (UU
No. 3/2002), Dewan Antariksa Nasional, staf khusus presiden
dan staf khusus wakil presiden, dan sebagainya. Lembaga ini
berpotensi berbenturan dengan Dewan Penasehat Presiden
(Pasal 16 UUD 1945, UU No. 19/2006); dan (2) Keberadaan
dewan-dewan sebagai penasehat terhadap menteri, contoh:
Dewan Perbukuan Nasional (Depdiknas), Dewan Riset
Nasional (Menristek), Dewan Pengupahan (Mennakertrans),
dan sebagainya. Dijumpai juga fakta bahwa kadang-kadang ada
yang dibentuk oleh menteri terdahulu, tidak dibubarkan oleh
menteri baru, tetapi fungsinya tidak berjalan sama sekali
sampai sesudah beberapa periode;
c. Adanya fungsi lembaga Negara yang kegiatannya nyaris sulit
dibedakan satu sama lain. Saya menunjuk contoh amtara lain:
(1) Kegiatan kursus kepemimpinan Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhanas), apakah tidak mungkin diintegrasikan
dengan system pendidikan dan pelatihan oleh Lembaga
Administrasi Negara (LAN); (2) Apakah sebagian fungsi
Lemhanas tidak dapat digabung dengan Dewan Pertahanan
Nasional yang langsung dipimpin oleh Presiden; (3) Apakah
BPPT tidak lebih baik digabung dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia; (4) Fungsi Badan Kepegawaian Negara (BKN),
Komisi Kepegawaian Negara (KPN), dan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, apakah tidak sebaiknya
digabung saja?; dan (4) Pola pembinaan yang dilakukan oleh
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi/BAPPETI
(UU No. 32/1997) dengan Badan Pengawas Pasar

Hukum Kelembagaan Negara | 217


Modal/BAPPEPAM (UU 15/1995) mirip dan sama, mengapa
untuk bursa komoditi dan bursa saham harus tunduk kepada
rezim administrasi yang berbeda; dan
d. Adanya fungsi lembaga Negara nonstructural yang derajat
pengaturannya menggunakan logika terbalik. Penulis menunjuk
misalnya Komnas HAM yang mempunyai constitutional
importance absent dari UUD 1945, Komisi Yudisial yang
lazimnya tidak diatur konstitusi, justru menjadi norma dalam
konstitusi, dan sebagainya.

Ada juga pemasalahan bahwa adanya kelembagaan baru


yang dimaksudkan untuk efektivitas penanganan suatu masalah,
akan tetapi karena fungsi yang sama tetap diberikan kepada
lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya, menyebabkan
inefisiensi anggaran dan program kerja yang tidak terlaksana
dengan baik. Contohnya adalah kasus Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibentuk berdasarkan UU
No. 24 Tahun 2007.
Keberadaan BNPB bukannya semakin mempermudah
penaggulangan bencana, tetapi semakin meperumit. Sebab selain
semakin sulitnya koordinasi antaralembaga, hal itu membuat
anggaran bencana semakin terfragmentasi ke banyak badan dan
lembaga. Semakin banyak badan dan lembaga akan semakin
banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk
memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium
pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas) akan
semakin membengkak. Akan tetapi, dari total anggaran yang
terdapat di 8 badan dan lembaga yang terlibat penanganan bencana
anggaran untuk kebutuhan langsung penanganan bencana akan
mengecil, hanya sebesar Rp 2,4 triliun.552

552
Yenny Sucipto, ―Sadar (Anggaran) Bencana‖, Kompas, 15 November
2010, hlm. 6.

218 | Hukum Kelembagaan Negara


Untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem
peringatan dini tsunami, cuaca, dan iklim hanya dianggarkan Rp
137,85 miliar (Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika),
Pengembangan sistem manajemen dan penetapan rawan bencana
baik darat maupun laut Rp 42,27 miliar (BNPB dan Bakorsutanal).
Adapun untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12
miliar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementerian Sosial, BNPB,
dan Basarnas). Untuk pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89
miliar serta pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun.553
Data lain menunjukkan, pembentukan Lembaga Negara
Nonstruktural memerlukan pembiayaan keuangan negara yang
besar, misalnya, Dewan Pertimbangan Presiden (dibentuk menurut
UU No. 19/2006) dibiayai Rp 48,8 miliar, kemudian Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (Rp 14,7 miliar), Satuan
Tugas Reformasi Birokrasi (Rp 1,1 miliar), Unit Kerja Presiden
untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (Rp 479,6
miliar)554, serta Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Rp
10,8 miliar). 555 Setiap tahun anggaran negara untuk Lembaga
Negara Nonstruktural selalu meningkat. Pada tahun 2008, Rp 2,81
triliun dan tahun 2009 sebesar menjadi Rp 3,42 triliun. Untuk
tahun 2010 menjadi Rp 14,9 triliun untuk 85 lembaga.
553
Ibid.
554
Lembaga ini, yang popular disingkat UKP4, untuk pertama kalinya
dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dipimpin oleh Dr.Ir.
Kuntoro Mangkusubroto. Lembaga ini, mengingat fungsinya, ditetapkan sebagai
bagian dari Kabinet dan pelantikan ketuanya bersamaan dengan pelantikan
menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di samping UKP4, Presiden juga
menempatkan Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) dan
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dengan kedudukan setingkat menteri dan
dilantik bersamaan dengan pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu
II. Jaksa Agung Hendarman Supandji (dilantik sejak Mei 2007) pada waktu
bersamaan tetap menduduki jabatannya dan ditafsirkan sebagai anggota kabinet.
Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung harus diangkat dan
diberhentikan bersama-sama dengan anggota kabinet lainnya.
555
Kompas, Selasa, 19 Juli 2011, hlm. 15.

Hukum Kelembagaan Negara | 219


Dalam pengamatan dan kajian Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ditemukan adanya 11
Lembaga Negara Nonstruktural yang benar-benar tidak berfungsi.
Dari jumlah tersebut, 4 lembaga akan dihapus karena tidak ada
kantor, personel, anggaran, dan kegiatan. Keempat lembaga
tersebut adalah Komite Antardepartemen Bidang Kehutanan,
Dewan Buku Nasional, Badan Kebijakan dan Pengendalian
Perumahan dan Permukiman Nasional, serta Lembaga Koordinasi
dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat. Kemudian sebanyak 7 lembaga akan dialihkan fungsinya ke
kementerian guna menghindari tumpang tindih fungsi. 556
Ditambahkan dari hasil pengamatan dan kajian tersebut, bahwa
sepanjang tahun 2010, kesebelas lembaga itu mendapatkan alokasi
anggaran sebesar Rp 2,057 triliun. Bahkan pejabatnya minta
fasilitas jabatan setingkat eselon I, seperti direktur jenderal, yaitu
meminta mobil setara Toyota Camry, fasilitas kantor, dan staf
ahli.557
Saya mendukung penataan kembali terhadap lembaga-
lembaga nonstructural dan oleh karena itu saya memberikan saran
dan rekomendasi yang bersifat makro meliputi 3 hal sebagai
berikut:558
1. Penataan kembali di sini hendaknya dipahami sebagai upaya
untuk melakukan reposisi, revitalisasi, dan redefinisi norma
dan struktur kelembagaan Negara dalam system ketatanegaraan
dengan tujuan utama untuk menciptakan instansi kenegaraan
yang koheren dan sinergik;
2. Prakarasa untuk reformasi ke arah penataan dan konsolidasi
kelembagaan itu harus dating dari presiden sendiri dengan

556
Kompas, 20 Juli 2011.
557
Ibid.
558
Isharyanto, op.cit.

220 | Hukum Kelembagaan Negara


kepiawaiannya menggerakkan roda penataan itu secara luas,
menyeluruh, dan mendasar; dan
3. Perumusan kebijakan mengenai soal ini harus bersifat
partisipatoris dengan melibatkan semua institute dan
stakeholders yang terkait.

Setelah dievaluasi secara seksama, apabila ditemuka adanya


lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang bersifat tumpang
tindih dalam norma dan praktik kerjanya di lapangan. Untuk itu,
ada baiknya keberadaan lembaga-lembaga negara dan
pemerintahan yang saling bertumpang tindih itu ditangani dengan
pelbagai pilihan kebijakan sebagai berikut:
a. Pembubaran lembaga yang bersangkutan secara tegas;
b. Penetapan bidang-bidang koordinasi lembaga-lembaga
dimaksud dengan kementerian Negara yang sudah ada
berdasarkan prnsip bahwa tugas-tugas pemerintahan harus
dipandang telah terbagi habis dalam pembidangan kabinet
pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden, baik sebagai
Kepala Pemerintahan ataupun Kepala Negara;
c. Penggabungan fungsi ke unit kerja kementerian Negara yang
ada sesuai dengan prinsip pembagian habis tugas-tugas
pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas;
d. Penggabungan dengan lembaga lain yang sejenis;
e. Penggabungan dengan lembaga lain dengan peningkatan
fungsinya sesuai dengan kebutuhan;
f. Penguatan dan peningkatan fungsi dan kewenangan lembaga-
lembaga yang dipandang kurang berguna, atau tidak sebanding
dengan energi sosial, ekonomi, dan politik yang diserapnya
dengan produk pelayanan yang dapat dihasilkan untuk
kepentingan Negara dan rakyat; atau
g. Jika ada ide-ide kelembagaan baru, dapat ditambahkan
fungsinya ke dalam struktur dan fungsi kementerian negara
atau lembaga lain yang sudah ada.

Hukum Kelembagaan Negara | 221


Jika keberadaan suatu Lembaga Nonstruktural diperlukan
dengan pertimbangan efisiensi pelayanan, independensi dan
mencegah intervensi politik, dan prinsip pembagian habis
kekuasaan negara, maka untuk menghindarkan saling tumpang
tindih tugas pokok dan fungsinya, maka dapat dipertimbangkan
pilihan-pilihan kebijakan sebagai berikut:
a. Sekretariatnya digabungkan;
b. Satuan kerja anggarannya disatukan;
c. Lembaganya dibangun dengan sub-sub, seperti komisi dengan
subkomisi;
d. Digabung dengan tugas pokok dan fungsi yang baru baru;
e. Digabung ke dalam tugas pokok dan fungsi lembaga lain; atau
f. Mengakhiri tugas dan fungsinya sama sekali atau dibubarkan.

222 | Hukum Kelembagaan Negara


BAB VII
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

A. Determinasi Lembaga Audit


Keberadaan suatu badan yang memeriksa keuangan negara
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mekanisme check
and balances. Dalam praktik di banyak negara, lembaga semacam
ini dipandang sebagai lembaga penunjang (auxiliary state bodies),
terhadap lembaga legislatif, dan menjadi bagian dari akuntabilitas
badan perwakilan itu sendiri. Penataan kelembagaan dapat melalui
desain konstitusi maupun Undang-Undang yang khusus untuk
itu. 559 Persoalan-persoalan yang sering muncul dengan lembaga
pemeriksa keuangan negara adalah: (i) bagaimanakah peran
lembaga dalam mengatasi krisis ekonomi?; (ii) bagaimanakah
fasilitasi lembaga dalam meningkatkan kemampuan fiskal
pemerintah dan mencegah korupsi?; dan (iii) bagaimanakah daya
lembaga itu untuk terus menerus mempertajam kemampuan dan
meningkatkan keterampilannya?560

559
Carlos Santiso, ―Eyes wide shut? The Politics of Autonomous Audit
Agencies in Emerging Economies‖, CIPPEC, 2007, hlm. 3.
560
Ibid.

Hukum Kelembagaan Negara | 223


Berdasarkan pengalaman di kawasan Amerika Latin,
reformasi pengelolaan keuangan negara pertama kali terjadi pada
decade 1920-an dan terjadi di Amerika Serikat (1889), Meksiko
(1917), Kolumbia (1923), Chile (1925), Equador (1925), Bolivia
(1927), dan Peru (1930). Reformasi ini berhasil melahirkan
rasionalisasi pengelolaan anggaran negara dan memperbaiki relasi
eksekutif dan legislatif. Pada kurun waktu itu pula sejumlah
negara mulai merancang kelembagaan pemeriksa keuangan yang
independen seperti di Kolumbia (1923), Chile (1927), Ekuador
(1927), Bolivia (1928), dan Peru (1930). Gelombang reformasi
pengelolaan keuangan negara berikutnya terjadi di decade 1960-an
yang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan kemudian diikuti oleh
negara di Amerika Latin yang sedang dalam cengkeraman rezim
militer. Hasilnya adalah modernisasi pengelolaan anggaran negara
di Brazil (1962), Uruguay (1964), Chile (1975), dan Meksiko
(1976). Gelombang pembaruan berikutnya dimulai pada decade
1980-an ketika mulai diintroduksi ―Washington Concensus‖ yang
menjadi resep International Monetery Fund ketika mengatasi
krisis di negara-negara Amerika Latin. Akibat keadaan ini,
kelembagaan pemeriksa keuangan diperbaiki seperti di Argentina
(1992), Meksiko (2000), Nikaragua (2000), dan Honduras
(2002).561
Dalam kajian The International Organization of Audit
Institute, keberadaan suatu lembaga pemeriksa keuangan negara
penting untuk mengendalikan pengelolaan keuangan negara dan
mencegah korupsi di sektor publik. Lembaga ini merupakan aktor
utama dalam pengelolaan anggaran negara dan sistem pengawasan
keuangan, sekaligus juga ―providing much-needed checks and
balances in the management of public finances.‖562
Lembaga pemeriksa keuangan negara, menurut Dye dan
Stapenhurst, merupakan ―pillars of integrity‖, yang berperan
561
Carlos Santiso, op.cit.
562
Ibid.

224 | Hukum Kelembagaan Negara


sebagai ―agencies of government restraint within the state.‖ 563
Diuraikan lebih lanjut, bahwa fungsi lembaga ini ―to review the
robustness and effectiveness of financial management, government
accounts and control systems and, therefore, contributing to
strengthening those. They help to improve transparency and
accountability in the budget process, traditionally dominated by
the executive branch.‖564 Sebagai suatu lembaga pengawas, badan
ini ―participate in the cycle of legislative accountability, assisting
the legislature in holding government to account for the manner in
which it manages public finances.‖565 Kemudian, badan ini juga
―not limited to protecting the financial positions of public finance,
a more recent and an increasingly decisive task, also from the
point of view of fighting corruption, it is also to investigate the
effectiveness and expediency of the services provided from public
finance resources in a broader sense, by taking into account the
social and public finance interests on a longer run and not only by
taking into account vulgar economic efficiency calculations.‖566
Sebuah lembaga pemeriksa keuangan negara sebagai
lembaga audit tertinggi, lazim ditetapkan di sebuah negara
demokratis. Sebuah asosiasi seperti Uni Eropa pun memiliki juga
lembaga jenis ini, yang disebut sebagai European Court of
Auditors. Fungsi lembaga ini dalam suatu negara lebih luas dan
lebih besar jangkauannya dibandingkan sekedar profesi pengawas
keuangan. Independensi dan kemampuannya berhubungan dengan
Parlemen merupakan kunci bertahannya lembaga ini dalam suatur

563
K. Dye dan R. Stapenhurst, 1998, Pillars of Integrity: The
Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption, Washington,
DC: WBI, hlm. 6.
564
Ibid., hlm. 7.
565
Ibid.
566
Arpad Kovacs, ―Financial (State) Audit and The Fights Againts the
Corruption‖, Periodica Polytechnicha Series Social Scienece, Vol. 11, NO. 2,
2003, hlm. 137.

Hukum Kelembagaan Negara | 225


rezim pemerintahan demokratis. Bahkan di negara dengan
konfigurasi nondemokratis pun, lembaga ini diadakan. Sebagai
contoh adalah The Hungarian State Audit, yang didirikan
semenjak tahun 1870 dan selama rezim komunis berkuasa (1949-
1990) tidak diakui fungsinya. Sejak 1989, bersamaan dengan
pendirian Mahkamah Konstitusi, lembaga ini diadakan kembali
sebagai salah satu penjaga era perubahan sistem ekonomi dan
politik.
Disebabkan independensinya, maka lembaga ini memiliki
kapasitas imparsial yang serupa dengan lembaga yudisial. Oleh
sebab itu di Prancis dan juga beberapa negara Afrika bekas
jajahannya, mengadopsinya dengan nama Court of Account
(Cours de Comptes), sebagai bagian khusus dari Mahkamah
Agung (Supreme Court) atau badan peradilan yang menangani
masalah ―the legality and regularity of the transactions and
accounts of individual public accountants and reports to
Parliament on the overall State Account.‖567 Di negara sub Sahara
Afrika, terutama yang menggunakan Bahasa Prancis, istilah yang
digunakan untuk lembaga pengawas keuangan adalah General
State Inspectorat (Inspection générale d‘Etat).568
Meskipun demikian, seperti dipaparkan oleh Carlos Santiso,
masih sedikit perhatian dan pengetahuan terhadap badan
pemeriksa ini sehubungan dengan ―their impact and what
determines their effectiveness‖ karena ―they are often weak
institutions failing to fulfill their prescribed role.‖ 569 Reformasi
lembaga pemeriksa keuangan umumnya terjadi di negara yang
sedang berkembang. 570 Motivasi yang umum untuk reformasi

567
Ibid.
568
Ibid., hlm. 138.
569
Carlos Santiso, op.cit., hlm. 4.
570
Lihat analisis lengkap dalam: B. Dorotinsky dan R. Floyd, ―Public
Expenditure Accountability in Africa: Progress, Lessons and Challenges,‖ dalam

226 | Hukum Kelembagaan Negara


kelembagaan pengawasan keuangan negara adalah dalam rangka
―improving economic governance, fostering fiscal responsibility
and combating corruption necessarily‖, 571 sehingga untuk
keperluan ini ―require strengthening the institutions of
accountability and oversight in government finances and the
budget process.‖572

B. Model-Model Kelembagaan Pemeriksa Keuangan


Di negara-negara sub Sahara Afrika yang berbahasa
Prancis, seperti Burundi, Burkina Faso, Kamerun, Kongo,
Madagarkar, Mali, Nigeria, Senegal, dan Togo, dikenal 2
kelembagaan terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, yaitu
the Court of Account dan the General State Inspektorat. Lembaga
the Court of Account dapat merupakan divisi khusus dari
Mahkamah Agung atau merupakan badan peradilan khusus dalam
sistem yudisial negara yang bersangkutan. Para penuntut dan
hakim di the Court of Account dipimpin oleh seorang Ketua, yang
dicalonkan oleh Presiden. Peradilan ini, yang juga didukung oleh
sejumlah staf, berwenang untuk memutus perkara legalitas dan
pengaturan transaksi rekening para individu akuntan public serta
melaporkannya kepada Parlemen sebagai bagian dari keseluruhan
anggaran negara. Parlemen kemudian menyetujui hasil
pemeriksaan pengadilan. Para aparatnya secara tradisional disukai
yang berlatar belakang sarjana hukum dibandingkan akuntan atau
auditor, sekalipun di sejumlah negara cakupan kompetensi itu
dapat diperluas. Di sejumlah negara, the Court of Account juga

B. Levy dan S. Kpundeh, eds., 2004, Building State Capacity in Africa: New
Approaches, Emerging Lessons, Washington, DC: WBI, hlm.179-210.
571
G. O‘Donnell, ―Horizontal Accountability: The Legal
Institutionalization of Mistrust‖, dalam S. Mainwaring dan C. Welna,eds, 2003,
Democratic Accountability in Latin America, Oxford: Oxford University Press,
hlm. 34.
572
Ibid., hlm. 35.

Hukum Kelembagaan Negara | 227


berperan dalam rangka memberikan bahan-bahan untuk
penyampaian rancangan anggaran negara dalam tahun yang
berjalan dari Pemerintah kepada Parlemen. Bahan-bahan itu
mencakup suatu komenter (opinion) atas pengelolaan akuntan
public dan kesesuaian terhadap aturan-aturan administrasi yang
berlaku. Hal ini dilaksanakan di the Court of Account Republik
Demokratik Kongo. Lembaga sejenis di Burkina Faso,
menyampaiakan laporan yang ditujukan kepada Presiden. Laporan
ini berisi paparan rinci mengenai kegiatan lembaga dalam tahun
berjalan, temuan-temuan umum, maupun kegiatan pelatihan yang
telah dilakukan, serta suatu paparan singkat (summary) untuk
Parlemen mengenai kesesuaian ketentuan tata usaha keuangan
dengan pengelolaan anggaran negara.
Ada kalanya the Court of Account dipisahkan dengan the
Court of Budgetary Dicipline, seperti di negara Kamerun.
Lembaga the Comission of Budgetary and Financial Disipline
terdiri dari 5 anggota yang dipimpin oleh the General State
Inspectorate. Akan tetapi ada juga negara yang menyatukan antara
the Court of Account dipisahkan dengan the Court of Budgetary
Dicipline seperti di Prancis dan Republik Demokratik Kongo.
Badan peradilan dapat dianggap independen lazimnya
kekuasaan yudisial, akan tetapi rekrutmen keanggotaannya
diajukan oleh Presiden atau Kabinet, dan hasil kerjanya tidak
secara langsung berpengaruh kepada Parlemen. Lembaga ini
mempunyai 2 laporan tahunan. Laporan pertama ditujukan kepada
parlemen dan berisi hasil pemeriksaan mengenai anggaran negara.
Sementara itu, laporan kedua diajukan kepada Presiden dan
memungkinkan untuk diakses oleh publik.
Pada negara-negara di kawasan Sub Sahara Afrika tersebut,
ada kecenderungan akhir-akhir ini untuk mengubah format
lembaga dari bagian Mahkamah Agung menjadi peradilan terpisah
yang mempunyai wewenang mandiri. Sekalipun ada perubahan
mengenai wewenang Presiden dan Perdana Menteri untuk
melakukan rekrutmen keanggotaan dan adanya sumber daya yang

228 | Hukum Kelembagaan Negara


lebih besar untuk menjalin interaksi dengan parlemen,
independensi dari badan ini tetap belum terumuskan dengan jelas.
Kemudian, the Generale State Inspektorate mengajukan
hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden atau Perdana Menteri,
dan kadang-kadang juga kepada Parlemen. Lembaga ini
mempunyai indepensi yang tinggi terhadap kekuasaan birokrasi,
dan memiliki akses yang luas terhadap semua organisasi sektor
public, termasuk kepada para pegawai dan arsip-arsip mereka.
Pada umumnya, lembaga ini menentukan sendiri program
organisasi secara tahunan. Aparaturnya umumnya mempunyai
keahlian di bidang manajemen keuangan publik berdasarkan
pendidikan tingkat perguruan tinggi. Jika ada temuan
penyimpangan, lembaga ini mengajukan hasil pemeriksaan kepada
menteri terkait atau lembaga pemerintah lainnya, termasuk
mengajukan saran-saran tindakan yang diperlukan.
Dengan demikian, lembaga ini mempunyai derajat
independensi yang tinggi terhadap Presiden, termasuk kepada
kabinet, departemen, dan lembaga-lembaga keuangan yang
menjadi obyek pemeriksaannya. Jika lembaga ini didukung oleh
Presiden yang kuat, ia akan menjadi independen berhadapan
dengan lembaga-lembaga yang diperiksanya. Independensi ini
lebih jelas dibandingkan dengan the Court of Account yang mana
anggarannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah
memperoleh persetujuan dari Parlemen. Pada praktik akhir-akhir
ini, badan pemeriksa ini menyusun laporan tahunan yang dapat
diakses oleh publik.
Ada kecenderungan bahwa fungsi the General State
Inspectorate melengkapi fungsi the Court of Account. Di Prancis,
fungsi dari the Court of Account semakin diperluas, sementara di
sejumlah negara di Afrika bekas jajahan Prancis, the Great State
Inspectorate memperoleh tambahan wewenang yang mencakup
fungsi peradilan. Negara seperti Burkinoi Faso melekati fungsi the
General State Inspectorate dengan fungsi pencegahan korupsi.

Hukum Kelembagaan Negara | 229


Di kawasan Amerika Latin terdapat model kelembagaan
yang berbeda, misalnya seperti di Argentina, Brazil, dan Chile.
The Argentine National Audit Office (Auditoria General de la
Nación, AGN) di Argentina merupakan bagian dari Parlemen yang
sistem pengambilan keputusannya bersifat kolegial. Di Brazil,
lembaga The Brazilian Federal Tribunal of Accounts (Tribunal de
Contas da União, TCU) merupakan lembaga quasi judicial, yang
struktur dan mekanisme pengambilan keputusannya seperti
lembaga pengadilan. Kemudian, The Chilean Office of the
Comptroller General (Contraloría General de la República, CGR)
merupakan lembaga negara independen dan bersifat khusus
dengan wewenang dan kekuasaan yang lebih luas.
Sarjana seperti Allen and Tommasi573 merumuskan adanya
3 model kelembagaan lembaga pemeriksa keuangan yaitu model
monokratik (monocratic model), model peradilan (court model),
dan model dewan atau kollegial (board or collegial model).
Berikut ini dibahas secara ringkas penjelasan atas masing-masing
model tersebut.
Pertama, model monokratik (monocratic model).
Kelembagaan pemeriksaan keuangan negara pada model ini
dijalankan oleh satu organ auditor tunggal yang bersifat
independen dan menjadi alat kelengkapan Parlemen. Fokus
wewenang lembaga ini adalah audit represif, dibandingkan
pemeriksaan yang bersifat preventif. Cakupan pemeriksaan
meliputi keuangan dan kinerja lembaga-lembaga yang dapat
dikontrol. Hasil pemeriksaan ditujukan kepada tindakan korektif
daripada penetapan suatu sanksi. Model kelembagaan ini
dilaksanakan di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada,
serta beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Chile,
Kolumbia, Meksiko, dan Peru.

573
R. Allen dan D. Tommasi, eds. , 2001, Managing Public
Expenditure, Paris: OECD, hlm. 45-46.

230 | Hukum Kelembagaan Negara


Kedua, model peradilan (court model). Pemeriksaan
keuangan negara dilakukan oleh sebuah badan yang bersifat
kollegial dan berfungsi sebagai peradilan yang menyerupai
peradilan tata usaha negara. Dengan konfigurasi kelembagaan ini,
maka ―the institution is an integral part of the judiciary, makes
legal judgments on compliance with laws and regulations, and
exercises a budget control function to assure that public funds are
well spent‘ and for the purpose intended.‖574 Sasaran pemeriksaan
dari aspek hukum mengenai kepatuhan pengelolaan keuangan
negara. Dibandingkan dengan model monokratik, relasi dengan
Parlemen pada kelembagaan ini relatif lemah. Demikian juga
dengan kekuasaan kehakiman karena posisi yang ambigu ini.
Sebagai akibatnya, ―there is often uncertainty as to who is the
agency‘s principal.‖ 575 Kelembagaan model ini dipraktikkan di
Prancis, Italia, dan Spanyol serta beberapa negara di kawasan
Amerika Latin seperti Brazil dan Elsavador. Demikian juga
dengan negara sub Sahara Afrika yang berbahasa Prancis, seperti
Burundi, Burkina Faso, Kamerun, Kongo, Madagarkar, Mali,
Nigeria, Senegal, dan Togo, seperti diuraikan dalam paragraf di
muka.
Ketiga, model dewan (board model). Model ini merupakan
model di mana kelembagaan pemeriksaan keuangan negara
dilaksanakan oleh sebuah dewan yang bersifat kolegial akan tetapi
tidak mempunyai wewenang sebagai suatu badan quasi peradilan.
Cakupan pemeriksaan adalah pengelolaan keuangan negara yang
dilakukan oleh pemerintah dan umumnya hasil pemeriksaan itu
diajukan sebagai pertimbangan kepada Parlemen. Negara Jerman,
Belanda, Swedia, Argentina, dan Nikaragua merupakan contoh
negara yang menerapkan model kelembagaan ini.

574
K. Dye dan R. Stapenhurst, op.cit., hlm. 86.
575
R. Stapenhurst dan J. Titsworth, 2001, Features and Functions of
Supreme Audit Institutions, Washington, DC: World Bank, hlm. 59.

Hukum Kelembagaan Negara | 231


Jika diperiksa, maka model-model kelembagaan badan
pemeriksa keuangan negara tersebut hampir mempunyai
konstruksi yang seragam, antara lain independensi di hadapan
cabang kekuasaan eksekutif (kecuali yang dipraktikkan di Bolivia)
dan keragaman tingkat relasi dengan Parlemen. Kecuali itu, semua
kelembagaan itu mempunyai sifat sebagai pemeriksa keuangan
negara yang bersifat eksternal.

C. Mekanisme Pemeriksaan Keuangan Negara


Masing-masing negara mempunyai keragaman dalam
menentukan pemeriksaan keuangan negara dan hal ini merupakan
salah fenomena yang berkembang dari waktu ke waktu. Pada
hakekatnya, mekanisme pemeriksaan keuangan negara ditentukan
oleh 4 faktor utama yaitu tipe audit, jangka waktu, daya jangkau,
dan tindaklanjut hasil pemeriksaan.

a. Faktor Tipe Audit


Pemeriksaan keuangan negara dapat berlangsung dalam
sifat preventif, kuratif, maupun punitif.576 Fungsi utama dari setiap
tindakan pemeriksaan adalah untuk memastikan derajat kepatuhan
hukum terhadap pengelolaan dan perhitungan keuangan negara. 577
Pemeriksaan keuangan digunakan untuk memastikan realisasi dan
legalitas keuangan negara. Sementara itu, audit kepatuhan
(compliance audit) dilaksanakan untuk menentukan kepatuhan
terhadap hukum dan aturan-aturan pengelolaan keuangan negara.
Kepatuhan ini dinilai dalam rangka pelaksanaan ketentuan-
ketentuan selama proses penetapan anggaran negara, termasuk
konsistensi mandat Pemerintah sehubungan dengan kewenangan
dalam proses tersebut.

576
Barra, 2002, dalam Carlos Santino.
577
INTOSAI, Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts,
Section 4, 1, October 1977.

232 | Hukum Kelembagaan Negara


Belakangan, audit juga bergerak ke arah audit kinerja
(performance audit) guna menentukan bahwa pengelolaan
keuangan negara mengarah kepada efektifitas, efisiensi, dan nilai
ekonomi dari pengeluaran pemerintah. Tipe audit ini untuk
mencari kesesuaian antara penggunaan keuangan negara terhadap
hasil-hasil yang berdampak publik atas pemanfaatan sumber daya
yang ada.

b. Faktor Waktu
Pemeriksaan keuangan dapat berlangsung sebelum (ex-ante)
atau sesudah (ex-post) pengelolaan keuangan. Jika pemeriksaan
dilakukan sebelum penerapan pengelolaan keuangan, maka
sasarannya adalah legalitas tindakan-tindakan administratif,
termasuk pencegahan terhadap diskresi pemerintah. Sebaliknya,
pemeriksaan ex post dilakukan setelah implementasi pengelolaan
keuangan negara. Kedua jenis pemeriksaan itu mempunyai
perbedaan sehubungan dengan tindak lanjut yang bersifat
preventif maupun kuratif. Sebagian sarjana mengatakan bahwa
pemeriksa yang dilakukan sebelum dilaksanakannya penerapan
anggaran negara menjamin akuntabilitas, sebaliknya, sebagian
sarjana yang lain menyebutkan bahwa akuntabilitas dapat dicapai
dengan pemeriksaan yang dilaksanakan sebelum, selama, dan
sesudah penerapan pengelolaan keuangan negara.578
Di kalangan auditor professional, mengenai waktu
pemeriksaan masih terus menerus menjadi kontroversi.
Pemeriksaan kinerja dapat dilangsungkan setelah penerapan
anggaran, akan tetapi untuk pemeriksaan kepatuhan dapat

578
Baca selengkapnya antara lain dalam: J. Elster, 1999, ―Accountability
in Athenian Politics‖, dalam A. Przeworski, S. Stokes, dan B. Manin eds., 1999,
Democracy, Accountability and Representation, Cambridge, Cambridge
University Press, hlm. 253-278; dan P. Schmitter, 1999, ‗The Limits of
Horizontal Accountability,‘ dalam A. Schedler et al., 1999, The Self-Restraining
State: Power and Accountability in New Democracies, Boulder: Lynne Rienner,
hlm. 59-62.

Hukum Kelembagaan Negara | 233


berlangsung baik sebelum maupun sesudah penerapan anggaran.
Lain halnya dengan pemeriksaan secara internal, yang ditujukan
untuk pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan eksternal, termasuk
oleh badan pemeriksa independen, dilakukan sebelum penerapan
anggaran. Pemeriksaan kepatuhan yang dilaksanakan sebelum
penerapan anggaran negara, sering dikritik berhimpitan dengan
fungsi administrasi birokrasi, yang berpotensi untuk
mengamputansi kewenangan tersebut oleh badan pemeriksa. Hal
ini dapat mendorong badan pemeriksa menjadi ―tukang jagal‖
pada implementasi kebijakan public, yang mirip dengan mosi
tidak percaya dengan birokrasi. 579 Meskipun demikian, secara
umum disepakati bahwa wewenang badan pemeriksa independen
adalah setelah penerapan anggaran, yang mencakup pemeriksaan
kinerja dan pemeriksaan kepatuhan.
Adanya kontroversi itu disebabkan fungsi badan pemeriksa
independen, yang mencakup lingkup liberal dan lingkup
manajerial. Pada fungsi liberal, badan pemeriksa akan
mengendalikan wewenang eksekutif, yang tercermin dalam audit
kepatuhan pada sebelum penerapan anggaran. Sementara itu,
lingkup manajerial adalah mempertinggi kapasitas pengelolaan
sektor publik, yang dicapai dengan audit kinerja kinerja. Kendati
kedua lingkup ini bertalian secara erat, akan tetapi bagaimanakah
pelaksanaannya amat tergantung kepada pertumbuhan tahapan
sistem anggaran, kualitas birokrasi, dan ketersediaan aturan
hukum.580

579
G. Tsebelis dan E. Chang (2004). ‗Veto Players and the Structure of
Budgets in Advanced Industrialized Countries,‘ European Journal of Political
Research, Vol. 3, 2004, hlm. 449-476.
580
B. Speck, ―The Federal Court of Audit in Brazil‖, paper presented at
the 9th International Anti-Corruption Conference, Durban, South Africa, 10-15
October 1999.

234 | Hukum Kelembagaan Negara


c. Faktor Daya Jangkau
Dalam suatu laporan yang disusun oleh Sherman (2001),
dikatakan bahwa seluruh aspek keuangan yang menyangkut sektor
publik dapat menjadi jangkauan kekuasaan badan pemeriksa yang
independen. Oleh sebab itu, sasaran audit oleh badan independen
ini adalah: (i) lembaga-lembaga negara dan pemerintahan; (ii)
wewenang pemerintahan lokal; (iii) seluruh perusahaan negara;
(iv) proyek negara dan lembaga pemerintahan; dan (v) lembaga
dan badan yang memperoleh alokasi keuangan dari negara.
Keragaman hal yang terkait dengan sektor publik, termasuk
yang berurusan dengan keuangan negara secara teoritis
mempunyai cakupan yang beraneka ragam dan setiap negara tidak
sama. Cakupan itu meliputi pemerintah pusat termasuk
kementerian, departemen, dan Lembaga Negara Nonstruktural,
kemudian pemerintahan lokal (negara bagian, provinsi), dan badan
usaha yang dimiliki oleh negara. Di kebanyakan negara, lembaga
pemeriksa keuanga n negara hanya menangani kewenangan yang
berhubungan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada
wewenang Supreme Audit Institution di Amerika Serikat, Inggris,
Nigeria, dan Ethiopia. Di Prancis dan negara yang mengenai Court
of Account cakupan wewenangnya meliputi juga pemerintahan
lokal. Pada negara lain lagi, keuangan badan usaha yang dimiliki
oleh negara, tidak dapat diperiksa oleh lembaga pemeriksa
keuangan, melainkan oleh auditor swasta, seperti di Inggris dan
Nigeria. Dapat juga keuangan badan usaha itu diperiksa oleh
lembaga negara yang khusus sifatnya semacam Audit Srvice
Commission seperti di Ethipia, Eretria, dan Tanzania. Suatu hal
yang kontras adalah lembaga pemeriksa keuangan di Ghana, yang
berwenang memeriksa keuangan di segala sektor publik, suatu
kondisi yang berbalik dengan lembaga sejenis di Nigeria, di mana
74 auditor di badan pemeriksa keuangan tidak diizinkan
memeriksa keuangan perusahaan negara.

Hukum Kelembagaan Negara | 235


d. Faktor Tindaklanjut Hasil Pemeriksaan
Persoalan tindaklanjut hasil pemeriksaan dalam praktik
maupun teori yang berhubungan dengan akuntabilitas yang
melekat kepada suatu badan pemeriksa independen merupakan isu
yang juga menjadi kontroversi karena terkait dengan kemampuan
badan itu untuk menerapkan kaidah-kaidah audit dan pemberian
sanksi. Persoalan ini terkait dengan peran sentral dari badan
pemeriksa dan akuntabilitas institusi. Akuntabilitas menuntut
adanya serangkaian kaidah yang berurusan dengan tanggung gugat
dan kemampuan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan
illegal. 581 Sejumlah ahli mengatakan bahwa penegakan dan
pemberian sanksi merupakan sesuatu yang melekat kepada
akuntabilitas, akan tetapi tidak dapat dimaknai sebagai
akuntabilitas itu sendiri secara keseluruhan. 582 Jika argumen ini
dirujuk, maka akan menyebabkan suatu badan pemeriksa yang
independen akan bersifat nondaya paksa. Sebagai konsekuensinya,
masih merujuk kepada pandangan ini, akan suatu badan pemeriksa
dianggap kredibel jika mempunyai kapasitas untuk sanksi,
sekaligus menerapkannya secara otonom dan tanpa campur tangan
organ negara yang lain.
Dalam perspektif lain, saya berpendapat bahwa sebagai
badan yang melakukan pengawasan, badan pemeriksa keuangan
berkaitan dengan akuntabilitas yang dilaksanakan oleh institusi
pemerintahan. Akuntabilitas ini merupakan ketentuan yang sifat
konstitusional untuk penyelenggaraan pemerintahan yang
bertanggung jawab. Pada doktrin pemisahan kekuasaan,
akuntabilitas ini dilakukan oleh badan perwakilan dan kekuasaan
kehakiman. Tak ada agen yang dapat mengambilalih akuntabilitas
principal, yang dalam kolerasi ini, maka principal adalah badan

581
Selengkapnya lihat dalam A.M. Goetz dan R. Jenkins, 2004,
Reinventing Accountability: Making Democracy Work for the Poor, London:
Palgrave Macmillan, hlm. 56.
582
Schedler et.al, op.cit., hlm. 17.

236 | Hukum Kelembagaan Negara


perwakilan, sehingga badan pemeriksa sebagai agen, berfungsi
menyediakan informasi bagi principal. Seperti dikatakan oleh
Allen dan Tomassi, ―auditors are authorized only to report what
they found.‖583

D. Prinsip Independensi dan Relasi dengan Cabang


Kekuasaan Lain
Pada tataran praktik di banyak negara, seperti uraian di
muka, seringkali terdapat lebih dari satu lembaga-lembaga negara
yang menjalankan keseluruhan atau sebagian fungsi yang
diidentikkan dengan pemeriksaan keuangan negara. Dalam tradisi
Prancis, pemeriksaan keuangan negara terbagi dalam ranah
administratif, yudisial, dan legislatif. Pemeriksaan administratif
dilakukan oleh sejumlah badan seperti Financial Controller,
General Financial Inspectorate, dan the General State Inspectorate.
Lembaga the General State Inspectorate merupakan badan
tertinggi untuk control admistratif tersebut.
Dalam pandangan sejumlah pakar, sedikitnya 2 lembaga
diantara ketiga lembaga tersebut yang mempunyai watak sebagai
badan pemeriksa keuangan yang bersifat eksternal. The General
Financial Inspectorate memeriksa pelaksanaan dan pengelolaan
keuangan diantara kementerian dan badan-badan pemerintahan
atas nama Menteri Keuangan. Serupa dengan itu, the General
State Inspectorate memeriksa semua kementerian, departemen,
dan badan-badan pemerintahan atas nama Presiden. Tidak seperti
auditor, tidak memberikan saran-saran mengenai pengelolaan
keuangan terhadap badan-badan yang diperiksanya, tetapi
memantau, memeriksa, atau mengaudit suatu badan atas nama
pihak ketiga.
Kontrol yudisial dilaksanakan oleh the Court of Account
dan badan-badan terkait, seperti ―regional courts of audit‖ and
―Courts of Budgetary Discipline‖. Badan-badan ini merupakan

583
Allen dan Tommasi, op.cit.

Hukum Kelembagaan Negara | 237


lembaga pengadilan, dibandingkan dengan lembaga-lembaga audit
lainnya, pejabat-pejabat seniornya terdiri atas para hakim atau
jaksa. Para pejabat lembaga audit diberikan pelatihan oleh the
Court of Account. Jika mereka menemukan kekeliruan dalam
pengelolaan keuangan dapat menjatuhkan pidana denda. The
Court of Account bertanggung jawab kepada Presiden, Perdana
Menteri, dan Majelis Nasional (National Assembly) dalam
pelaksanaan anggaran organisasinya.
Sementara itu, control oleh Parlemen dilaksanakan oleh
Majelis Nasional. Sebelum dimulainya tahun anggaran, Parlemen
memerintahkan Presiden untuk mengajukan rancangan undang-
undang mengenai anggaran negara. Kemudian di akhir tahun
anggaran, Parlemen memerintahkan Presiden untuk mengajukan
laporan pelaksanaan anggaran tersebut. Jika Majelis Nasional
menerimanya, maka akan disusun Undang-Undang untuk
diberikan suatu persetujuan.
Khususnya dalam model Prancis, yang mengenal 3 lembaga
pemeriksa keuangan negara, maka penerapannya dapat
dilaksanakan jika mempunyai tradisi kepresidenan yang kuat.
Oleh karena itu dalam penerapannya, lembaga audit itu lebih
condong mendekat kepada Presiden dibandingkan kepada
Parlemen. Pada praktik di negara bekas jajahan Prancis,
khususnya di kawasan Afrika, General State Inspectorate menjadi
eksis. Sebaliknya, the Count of Court kadang-kadang tidak
dilaksanakan atau sebatas menjadi ketentuan konstitusi saja.
Sebagai contoh Bukina Faso, yang menyebutkan lembaga ini pada
konstitusi 1960 tetapi kenyataannya baru diadakan pada tahun
2002. Demikian juga di Mali, yang sejak tahun 1960 juga
mencantumkan kelembagaannya di dalam Konstitusi, akan tetapi
hampir selama 28 tahun kemudian (2008) hanya menghasilkan 4
laporan kegiatan. Di Kamerun the Account of Court sudah berdiri
sebagai lembaga independen sejak tahun 2003 akan tetapi fungsi
utama pemeriksaan keuangan tetap dilaksanakan oleh the General
State Inspectorate. Oleh karena dalam masa 40 tahun, hanya the

238 | Hukum Kelembagaan Negara


General State Inspectorate yang aktif sebagai lembaga pemeriksa
keuangan, sehingga lembaga-lembaga inilah yang masuk menjadi
anggota International Organization Supreme Audit Inspectorate
(INTOSAI). Belakangan banyak juga negara yang sebelum tidak
mempunyai kelembagaan serupa, mulai mendirikan the General
State Inspectorate seperti di Djibaouti (2004) dan Mauritania
(2005) serta Burundi (2009). Sementara itu di Republik
Demokratik Kongo kelembagaan ini digeser menjadi satu dengan
Kantor Kepresidenan.
Di samping jalur kelembagaan pemeriksa keuangan yang
senantiasa melibatkan cabang kekuasaan eksekutif, yudisial, dan
legislatif, maka persoalan berikutnya adalah masalah
independensi. Kaidah internasional mensyaratkan agar lembaga
pemeriksa mampu menjalankan tugasnya secara imparsial
haruslah terbebas dari intervensi eksekutif. Pada sisi lain, mereka
juga harus memahami perilaku birokrasi, khususnya dengan
lembaga yang akan diperiksanya. Kemudian, karena keterbatasan
dalam pemberian sanksi, mereka harus meyakinkan bahwa hasil
pemeriksaan terhadap pemerintah akan diperhatikan oleh
parlemen dan kekuasaan kehakiman.
Jaminan independensi itu akan terlihat di dalam ketentuan
konstitusi dan Undang-Undang. Independensi itu sendiri menurut
Dove berarti kemampuan untuk melaksanakan mandate yang
ditentukan hukum tanpa campur tangan pihak lain. 584 Cakupan
indepensi itu hendaknya mencakup independensi institusional,
independensi individual serta independensi financial.
Independensi institusional itu mencakup (i) pengaturan
dalam kaidah Konstitusi, (ii) pengaturan dalam Undang-Undang,
(iii) ketentuan prosedur pemeriksaan, (iv) jangkau
mandat/wewenang, (v) otonomi dalam perencanaan program, (vi)
ketercukupan pembiayaan audit, dan (vii) lingkup wewenangnya.
Sementara itu, independensi individual mencakup hal-hal sebagai

584
Dye, K., and R. Stapenhurst, op.cit.

Hukum Kelembagaan Negara | 239


berikut: (i) aturan-aturan seleksi; (ii) pencalonan dan pengisian
jabatan kepala organisasi; (iii) masa jabatan; (iv) privilege dan
kekebalan auditor; (v) ketentuan yang pasti mengenai rekrutmen,
pemecatan, dan promosi bagi para staf; (vi) kemampuan lembaga
dalam mengelola sumber daya; dan (vii) standar kemampuan
profesional dan kompetensi teknik. Selanjutnya, independensi
financial berkaitan dengan kemampuan menentukan anggaran
organisasi.
Dalam hal independensi financial inilah yang kadang-
kadang sulit ditemukan bagaimanakah standarisasinya di dalam
praktik. Penafsiran yang pertama, lembaga pemeriksa keuangan
memperoleh prosentase tertentu dari alokasi anggaran negara
seperti di Ekuador dan Guatemala. Penafsiran yang kedua,
lembaga pemeriksa membuat perencanaan dan mengajukannya
kepada Parlemen seperti praktik di Argentina dan Meksiko.
Penafsiran yang ketiga, anggaran lembaga pemeriksa menjadi
satu kesatuan dengan rancangan anggaran yang diajukan oleh
Pemerintah akan tetapi tidak boleh dilakukan perubahan. Hal ini
dipraktikkan antara lain di Bolivia , Kolumbia , dan Venezuela.
Penafsiran yang keempat, anggaran lembaga pemeriksa ditinjau
oleh Pemerintah dan diajukan sebagaimana anggaran pada
umumnya seperti di Nikaragua.
Seperti penelitian Carlos Santiso585 terhadap negara-negara
di kawasan Amerika Latin, akibat penafsiran yang berbeda
mengenai skala indepensi lembaga pemeriksa keuangan, akan
berpengaruh kepada efektifitasnya. Kelompok pertama, posisi
lembaga pemeriksa keuangan mengalami kesenjangan antara
pengaturan formal dengan kenyataan praktik. Negara seperti
Brazil 586 , Chile 587 , Kolumbia 588 , dan Kosta Rica 589 mempunyai
585
Op.cit., hlm. 65.
586
Tribunal de Contas de la Uniao, Pasal 71-75 dan Pasal 161 Konstitusi
(1988).
587
Controlaria de la Republica, Pasal 87-89 Konstitusi (1988).

240 | Hukum Kelembagaan Negara


efektifitas yang tinggi, dibandingkan dengan keadaan lembaga
pemeriksa di Argentina 590 , Peru 591 , Ekuador 592 , dan Meksiko 593 .
Kelompok kedua, pelaksanaan wewenang tidak sesuai dengan
model kelembagaan yang dianut. Seperti misalnya Ecuador, Peru,
Costa Rica, Meksiko, Chile and Kolombia yang menganut model
monokratik ataupun Brazil dan El Savador yang menganut model
quasi yudisial.
Organisasi auditor internasional, INTOSAI dalam Mexico
Declaration (2007) sendiri telah menerapkan kondisi-kondisi
minimum dalam rangka independensi badan pemeriksa keuangan
suatu negara, yang meliputi 8 prinsip sebagai berikut:
1. Adanya kerangka kerja yang diatur dalam konstitusi dan
Undang-Undang secara efektif dan dilaksanakan dalam
kondisi de facto;
2. Adanya independensi bagi Pimpinan dan Anggota lembaga
pemeriksa, termasuk jaminan masa jabatan dan kekebalan
dalam masa normal;
3. Adanya mandat dan kebebasan bertindak yang cukup dalam
rangka pelaksanaan fungsi lembaga;
4. Tidak ada pembatasan terhadap akses informasi;
5. Adanya hak dan kewajiban utnuk mempublikasikan kegiatan
lembaga;

588
Controlaria de la Republica, Pasal 267-268 Konstitusi (1991).
589
Controlaria General de la Republica, Pasal 183-184 Konstitusi
(1949).
590
Auditoria General de la Nation, Pasal 83 Konstitusi (1994).
591
Controlaria General de la Republica, Pasal 82 Konstitusi (1993).
592
Controlaria General de la Republica, Pasal 121-122 dan Pasal 211-
213 Konstitusi (1998).
593
Pasal 73, 74, 78, dan 79 Konstitusi (1917) yang diperbarui dengan
Konstitusi (1999).

Hukum Kelembagaan Negara | 241


6. Adanya kebebasan dalam menentukan dan mempublikasikan
laporan lembaga;
7. Adanya mekanisme yang efektif untuk tindaklanjut hasil
pemeriksaan; dan
8. Adanya kemampuan financial dan administratif secara
otonom, termasuk ketersediaan personal, material, dan
keuangan.

E. Kelembagaan di Indonesia
1. Masa Republik I (1945-1949)
Semenjak awal penyusunan konstitusi, keberadaan suatu
badan yang memeriksa keuangan negara dianggap sebagai bagian
dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Seperti dikatakan oleh
Soepomo, ―Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan, yang dulu
dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan
undang-undang. Itulah garis-garis besar tentang kekuasaan
negara.‖
Setelah UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi (18 Agustus
1945), untuk pertama kali dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan
pada 1 Januari 1947 berdasaran Surat Penetapan Pemerintah No.
11/OEM/ 28 Desember 1946 tentang Pembentukan Badan
Pemeriksa Keuangan. Untuk sementara waktu, Badan Pemeriksa
Keuangan berkedudukan di Magelang. Sebagai dasar pelaksanaan
tugas, Badan Pemeriksa Keuangan masih menggunakan regulasi
Algemene Rakenkamer, badan pemeriksa di masa Hindia Belanda,
yaitu Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en
vendere bepalingen voor de Algemene Rakenkamer (IAR). Pada
tanggal 6 November 1948, dikeluarkan Penetapan Pemerintah No.
6/1948, yang mengatur perpindahan kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan dari Magelang ke Jogjakarta. Hal ini untuk memenuhi
ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945.

242 | Hukum Kelembagaan Negara


2. Masa Republik II (1949-1959)
Dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat sebagai
hasil kesepakatan Indonesia dan Belanda di Konferensi Meja
Bundar tanggal 27 Desember 1949 di Belanda, maka berlakulah
Ketentuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, di mana
Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian, yang
berkedudukan di Jogjakarta. Untuk melaksanakan ketentuan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yaitu ketentuan Bab V
Pasal 115 dan Pasal 116, dibentuk Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagai salah satu alat perlengkapan negara, dewan ini
berkedudukan di Bogor, Jawa Barat dan menempati bangunan
bekas kantor Algemen Rakenkamer.
Rumusan Pasal 115 Konstitusi Republik Indonesia Serikat
hanya mengatur masalah umum, yaitu ―Maka adalah suatu Dewan
Pengawas Keuangan yang susunan dan kekuasaannya diatur
dengan undang-undang federal.‖ Susunan organisasi itu diatur
dalam Pasal 116 yang meliputi 4 ayat sebagai berikut:
(1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum
menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota-anggota
Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden setela
mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur
hidup ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam
ayat-ayat yang berikut.
(2) Undang-Undang Federal dapat menetapkan bahwa Ketua,
Wakil Ketua, dan anggota diberhentikan, apabila mencapai
usia tertentu.
(3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan
dalam hal yang ditentukan dengan Undang-Undang Federal.
(4) Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan
sendiri.

Dengan kembali ke bentuk negara kesatuan pada 17


Agustus 1950 maka diberlakukan ketentuan UUD 1950, sebagai
konstitusi sementara. Berkaiatan dengan hal tersebut, Dewan

Hukum Kelembagaan Negara | 243


Pengawas Keuangan versi Konstitusi Republik Indonesia Serikat
di Bogor digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan di
Jogjakarta, dengan tempat kedudukan untuk sementara di Bogor.
Kecuali penomorannya, rumusan pasal-pasal dalam UUD 1950
hanya melanjutkan saja rumusan pasal-pasal dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat.Ketentuan itu dijumpai dalam Bab IV
Bagian Dewan Pengawas Keuangan, yaitu pada Pasal 80 dan Pasal
81.
Rumusan ketentuan Pasal 80 berbunyi, ―Susunan dan
kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dengan Undang-
Undang‖, yang serupa dengan rumusan Pasal 115 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat. Selanjutnya, Pasal 81 dengan 4 ayat
serupa dengan ketentuan Pasal 116 Konstitusi Republik Indonesia
Serikat yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum
menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota-anggota
Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden setela
mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur
hidup ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam
ayat-ayat yang berikut.
(2) Undang-Undang Federal dapat menetapkan bahwa Ketua,
Wakil Ketua, dan anggota diberhentikan, apabila mencapai
usia tertentu.
(3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan
dalam hal yang ditentukan dengan Undang-Undang Federal.
(4) Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan
sendiri.

Walaupun mengalami perubahan kelembagaan, akan tetapi


dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Dewan Pengawas Keuangan
ini juga masih menggunakan regulasi Algemene Rakenkamer,
badan pemeriksa di masa Hindia Belanda, yaitu Indische
Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en vendere bepalingen
voor de Algemene Rakenkamer (IAR).

244 | Hukum Kelembagaan Negara


3. Masa Republik III (1959-1966)
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Keputusan
Presiden No. 150/M/1959, yang dikenal sebagai Dekrit Presiden,
yang antara lain berisi penetapan tidak berlaku UUD 1950 dan
menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Untuk itu, Dewan
Pengawas Keuangan menurut UUD 1950 diubah menjadi Badan
Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD
1945.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 12 Oktober
1963, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 7 Tahun 1963, yang kemudian diganti
dengan UU No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan Gaya Baru. Peraturan yang diwarisi dari masa Hindia
Belanda tetap berlaku sesuai dengan prinsip aturan peralihan.
Untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut kemudian ditetapkan UU No. 17 Tahun 1965.
Dalam Undang-Undang ini diatur antara lain bahwa selaku
Pemimpin Besar Revolusi, pemegang kekuasaan pemeriksaan, dan
penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan
negara. Sedangkan yang menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan masing-masing sebagai
atau dirangkap oleh Menteri Koordinator dan Menteri.

4. Masa Republik IV (1966-2001)


Konsolidasi kekuasaan menuju kelembagaan Orde Baru
antara lain ditandai dengan penataan kembali kedudukan dan
fungsi lembaga-lembaga negara melalui Ketatapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. X/MPRS/1966 tentang
Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara di Tingkat Pusat
dan Daerah. Sesuai dengan ketetapan ini, maka Badan Pemeriksa
Keuangan ditempatkan dalam psisi dan fungsi semula sebagai
Lembaga Tinggi Negara. Sebagai tindak lanjut ditetapkan UU No.
5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Hukum Kelembagaan Negara | 245


Dalam kaitan ini layak diperiksa kembali Penjelasan Pasal
23 ayat (5) UUD 1945 yang antara lain mengatakan, ―Cara
pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus sepadan dengan keputusan
tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu
ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekausaan
pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak
dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badan
itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu,
kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-
undang.
Dari ketentuan tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan
mempunyai kedudukan tidak di atas pemerintah, tetapi juga tidak
berada di bawah pengaruh pemerintah. Secara ideal, dalam
kedudukan dan fungsi demikian, maka badan ini bersifat
independen, menjadi instrumen kekuasaan rakyat dalam
menentukan sendirinya nasibnya dalam penentuan dan persetujuan
anggaran negara yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Selama Orde Baru, 2 persoalan mengemuka dalam
pelaksanaan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu ruang
lingkup pemeriksaan dan daya jangkau wewenag. Dalam
menentukan ruang pemeriksaan, belum pernah ditentukan
Undang-Undang yang mengatur keuangan negara. Sehingga
sebagai dampaknya, daya jangkau wewenang Badan Pemeriksa
Keuangan menjadi kabur. Lebih dari itu, alih-alih memberikan
ketegasan substantif terhadap Badan Pemeriksa Keuangan,
Presiden Soeharto (1966-1998), justru menetapkan adanya
kelembagaan pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara yang
bersifat internal pemerintah akan tetapi tumpang tindih terhadap
wewenang Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga-lembaga
tersebut adalah Inspektorat Jenderal Pembangunan, Inspektorat
Jenderal, dan Sekretaris Pengendalian Pelaksnanaan

246 | Hukum Kelembagaan Negara


Pembangunan, dan Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan. Sementara di satuan pemerintahan daerah terdapat
Inspektorat Wilayah Propinsi serta Kabupaten/Kotamadya.594
Inspektorat Jenderal Pembangunan adalah aparat
pengawasan fungsional, yang memeriksa dan memantau
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang menggunakan
Bantuan Instruksi Presiden. 595 Pejabat Inspektorat Jenderal
Pembangunan itu adalah purnawirawan militer yang dipercaya
oleh Presiden. Hasil kerja mereka tidak pernah menjadi konsumsi
publik dan laporan eksklusif hanya ditujukan kepada Presiden.
Belakangan, Inspektorat Jenderal Pembangunan itu digantikan
oleh Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan yang
mempunyai tugas dan mekanisme kerja yang sama.
594
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembentukan Perangkat Daerah, instansi ini
diubah namanya menjadi Badan Pengawas Daerah Propinsi dan Badan Pengawas
Daerah Kabupaten/Kota. Setelah berlaku UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41
Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, penyebutannya
menjadi Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota.
595
Semenjak 1970-an, pengeluaran pembangunan pemerintah pusat yang
dibelanjakan di daerah dapat dibagi menjadi dua yaitu dana sektoral dan dana
Instruksi Presiden. Dana sektoral intinya terdiri dari berbagai pengeluaran yang
diperuntukkan bagi departemen dan instansi pemerintah pusat. Sementara itu,
Bantuan Instruksi Presiden atau Banpres dialokasikan berdasarkan mekanisme
lupsum (jumlah bulat) di mana masing-masing pejabat di tingkat daerah
(provinsi, kabupaten, atau desa) menjadi pelaksananya. Banpres perlu
diperhatikan karena 2 alasan. Pertama, bantuan itu mencerminkan sifat
sentralistis dari pendekatan pembangunan Orde Baru, sebab direncanakan dan
diawasi secara ketat oleh pemerintah pusat. Sekalipun pejabat di daerah
dilibatkan, dalam pelaksanaannya mereka tidak diberi kekuasaan substantif.
Dengan tidak adanya aturan yang jelas mengenai perimbangan keuangan
antarjenjang pemerintahan, program-program tersebut menunjukkan betapa
besarnya kekuasaan diskresi pemerintah pusat. Kedua, Banpres pada anggaran
tahunan biasanya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana sektoral.
Alokasi Banpres mencerminkan perspesi pemerintah pusat mengenai kebutuhan
daerah dan terkadang menujukkan reaksi politik atas tuntutan daerah. Lihat,
Wahyudi Kumorotomo, hlm. 124.

Hukum Kelembagaan Negara | 247


Ispektorat Jenderal adalah satuan organisasi sebagai unit
kerja di lingkungan Departemen menurut Keputusan Presiden No.
44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen.596
Dalam Pasal 17 Keputusan Presiden ini diatur bahwa Inspektorat
Jenderal dipimpin oleh seorang Inspektur Jenderal sebagai unsure
pengawas di bawah Menteri. Ruang lingkup pengawasan bukan
sebatas adminsitrasi keuangan saja, akan tetapi juga administrasi
umum, pelaksanaan proyek pembangunan, dan dugaan
penyalahgunaan wewenang yang terjadi Departemen. Pemeriksaan
ini bersifat internal dan laporan hasil pemeriksaan tidak pernah
dapat diakses oleh publik.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang
semula merupakan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan
Negara di bawah Menteri Keuangan (Keputusan Presiden No. 70
Tahun 1971), dibentuk menurut Keputusan Presiden No. 31
Tahun 1983. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden ini diatur bahwa
badan ini mempunyai tugas untuk: (i) merumuskan kebijaksanaan
pengawasan keuangan dan pembangunan; (ii) menyelenggarakan
pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan;
dan menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Sedemikian
luas lingkup pengawasan tersebut, sehingga kekuasaanya lebih
besar dibandingkan dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain
itu, badan ini mempunyai perwakilan di setiap provinsi, sementara
Badan Pemeriksa Keuangan hanya meliputi perwakilan di

596
Presiden Soeharto melakukan konvensi dengan memperluas susunan
kabinet yang dapat diubah dan ditetapkan secara mutlak dengan meliputi: (1)
departemen, yang dipimpin oleh seorang menteri; (2) kantor menteri negara, yang
dipimpin oleh seorang menteri negara yang menangani urusan-urusan khusus dan
menjadi prioritas kabinet; (3) menteri muda, yaitu seorang menteri yang
diperbantukan dalam menangani urusan-urusan tertentu suatu departemen; (4)
menteri koordinator, yaitu menteri yang mengkoordinasikan urusan pemerintahan
tertentu; dan (5) menteri yang melekat pada jabatan tertentu, seperti sekretaris
negara dan sekretaris kabinet; dan (6) pejabat setingkat menteri dan menjadi
bagian kabinet, seperti jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, dan Panglima
ABRI.

248 | Hukum Kelembagaan Negara


sejumlah regional tertentu yang mencakup beberapa propinsi. Atas
kekuasaan Presiden juga, sejumlah instansi atau perusahaan
negara tidak boleh diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
seperti Sekretariat Negara, Pertamina, Badan Urusan Logistik,
dan P.T. Industri Pesawat Terbang Nusantara. Akses penggunaan
keuangan negara dan pelaksanannya hanya dilaporkan kepada
Presiden. Dengan demikian independensi Badan Pemeriksa
Keuangan tidak ada.

5. Masa Republik V (2001-sekarang)


Dalam proses Perubahan UUD 1945, salah satu masalah
yang menguat adalah perlunya mempertegas posisi dan fungsi
Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk itu ditetapkan Perubahan
Ketiga UUD 1945 (2001), khususnya terhadap ketentuan Bab VIII
Hal Keuangan Negara yang meliputi Pasal 23 menjadi Pasal 23,
23A, 23B, 23C, dan 23D serta Bab VIIIA Badan Pemeriksa
Keuangan 23E, 23F, dan 23G. Ketentuan yang berhubungan
dengan Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pasal 23E terdiri atas
ayat (1) yang berbunyi, ―Untuk mengatur pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.‖ Kemudian dalam
ayat (2) diatur, ―Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.‖ Mengenai kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan, diatur dalam Pasal 23G ayat (1) yang berbunyi, ―Badan
Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan
mempunyai perwakilan di setiap propinsi.‖ Ketentuan tersebut
ditindaklanjuti dengan ―paket‖ undang-undang yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemeriksaan keuangan negara yaitu: (i)
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (iii) UU No. 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Hukum Kelembagaan Negara | 249


Jawab Keuangan Negara; dan (iv) UU No. 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan.
Formulasi pengaturan seperti ketentuan Pasal 23E ayat (1)
mirip dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) Indische Staatsregeling
(S. 1854 No. 2) yang berbunyi, ―Dibentuk sebuah Algemeene
Rakenkamer yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan keuangan negara dan terhadap
pertanggungjawaban perhitungan.‖ 597 Dari rumusan Indische
Staatsregeling tersebut, pengelolaan keuangan negara identik
dengan ―pre-audit‖ atau pemeriksaan sebelum penerapan
keuangan negara. Sementara, ―pertanggungjawaban perhitungan‖
identik dengan post audit.
Seperti diuraikan dalam Sub Bab C huruf b, factor waktu
pemeriksaan merupakan hal yang penting dalam menentukan
kinerja sebuah badan pemeriksa keuangan. Diuraikan juga bahwa
pre audit berorientasi kepada audit kepatuhan, khususnya pada
tahap perencanaan dan penyusunan anggaran, yang menjadi
kompetensi dari pemerintah (eksekutif) sebagai organisasi
birokrasi. Sebaliknya, post audit, berorientasi kepada kinerja, yang
merupakan kewenangan dari badan pemeriksa yang bersifat
eksternal.
Dengan cakupan pengertian semacam itu, maka rumusan
ketentuan Pasal 23E ayat (1) menempatkan Badan Pemeriksa
Keuangan sekaligus bukan saja sebagai lembaga negara yang
memperoleh wewenang dari UUD 1945, tetapi juga lembaga
pemerintahan sebagai bagian dari organisasi birokrasi. Akibatnya
tidak jelas manakah yang menjadi wewenang lembaga pemeriksa
internal dan lembaga pemeriksa eksternal, sehingga kedudukannya
serupa dengan Algemeene Rakenkamer pada masa Hindia
Belanda. Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan setara dengan

597
Lihat terjemahan rumusan oleh Arifin P. Soeriatmadja, 2009,
Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Kritik, dan Praktik, Jakarta,
Penerbit Rajawali , hlm. 269.

250 | Hukum Kelembagaan Negara


lembaga negara yang memperoleh wewenang dari UUD 1945
lainnya, tidak seperti Algemeene Rakenkamer yang memang
condong menjadi alat Gubernur Jenderal. Dengan ketentuan Pasal
23G ayat (1) yang mempersyaratakan Badan Pemeriksa Keuangan
mempunyai perwakilan di setiap propinsi, telah mengaburkan
makna sebagai lembaga negara, yang memang hanya
berkedudukan di ibukota negara karena wibawa dan posisinya.
Menurut Arifin P. Soeriatmadja, format baru kelembagaan
Badan Pemeriksa Keuangan setelah Perubahan UUD 1945 tidak
sesuai dengan sistem pemeriksaan keuangan yang independen
karena 3 alasan. 598 Pertama, penggabungan fungsi pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab secara post-audit dengan pre
audit keuangan negara mengaburkan pemisahan tugas dan
kedudukakan antara pengawasan/pemeriksaan yang sheusnya
dilakukan secara terpisah oleh internal auditor pemerintah dan
eksternal auditor pemerintah. Kedua, penggabungan fungsi pre
audit dengan post audit dalam satu lembaga akan menghilangkan
sifat pengawasan yaitu obyektif. Ketiga, penggabungan fungsi pre
audit dengan post audit dalam satu lembaga akan mendorong
Badan Pemeriksa Keuangan menjadi lembaga administrasi negara.
Dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, maka akan memperluas daya jangkau
kekuasaan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini karena ketentuan
UU No. 17 Tahun 2003 tidak membedakan keuangan negara,
keuangan daerah, dan keuangan milik swasta/badan-badan
perdata, sehingga mengaburkan perumusan ruang lingkup
pengawasan.599 Oleh sebab itu, jangkauan pemeriksaan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan akan melebar dari pemeriksaan pre audit dan
post audit yang tidak terbatas pada tanggung jawab Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, akan tetapi juga pada pengelolaan

598
Ibid., hlm. 274.
599
Lihat: Pasal 1 angka 1 dan angka 5 dan Pasal 2 huruf g dan l UU No.
17 Tahun 2003.

Hukum Kelembagaan Negara | 251


keuangan negara yang terdapat pada seluruh lembaga
pemerintahan (kementerian, lembaga nonkementerian, lembaga
negara), termasuk Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman. Pemeriksaan juga akan
mencakup pengelolaan keuangan Bank Indonesia, yayasan,
perusahaan negara dan badan usaha milik daerah, serta badan-
badan perdata yang lain. Kondisi demikian, secara prinsip Badan
Pemeriksa Keuangan tidak membedakan status uang dan
kepemilikan kekayaan dalam suatu badan, apakah itu milik
negara, milik perusahaan negara, atau milik yayasan, bahkan milik
swasta atau perseorangan. Sementara itu, Badan Pemeriksa
Keuangan juga berwenang melakukan pengawasan atau
pemeriksaan atas keuangan daerah baik di propinsi maupun
kabupaten/kota.

252 | Hukum Kelembagaan Negara


BAB VIII
BANK SENTRAL

A. Pertumbuhan Bank Sentral


Bank sentral pada umumnya merupakan suatu lembaga
yang bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter dan pengawasan sistem keuangan dan perbankan. Dalam
pertumbuhannya, peranan dan fungsi bank sentral telah
mengalami evolusi dari yang semula hanya bank sirkulasi menuju
ke bank sentral yang mempunyai fungsi sebagai pelaksana
kebijakan moneter, mengatur perkreditan, dan pengawasan
perbankan.
Bank sentral kemudian bukan saja menjadi sumber dana
bagi bank-bank (bankers‘ bank) namun juga sebagai penjaga
stabilitas moneter (lender of the resort bank) melalui pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan termasuk mengatur,
mengawasi, dan mengendalikan sistem moneter. Untuk
melaksanakan wewenang tersebut, kepada bank sentral dilekati
dengan beberapa tugas seperti, pertama, mengedarkan dan
sekaligus mengatur peredaran uang. Kedua, mengatur dan
mengawasi kegiatan perbankan. Ketiga, mengembangkan sistem

Hukum Kelembagaan Negara | 253


pembayaran. Keempat, mengembangkan sistem perkreditan. 600
Namun demikian, terutama di negara berkembang, tugas bank
sentral jauh lebih luas, termasuk sebagai agen pembangunan gua
mencukupi pembiayaan pembangunan yang diselenggarakan oleh
pemerintah.601
Dilihat dari sejarah berdirinya, keberadaan bank sentral
diawali dengan berdirinya Swedish Riksbank yang beroperasi pada
tahun 1668 dan diikuti oleh berdirinya The Bank of England pada
tahun 1694. Hingga tahun 1913 baru terdapat 21 bank sentral,
namun meningkat pesat setelah Perang Dunia II terutama akibat
adanya dekolonisasi. Jumlah ini meningkat lagi setelah bubarnya
Uni Soviet pada 1990-an dan munculnya negara-negara baru
bekas republik tersebut, sehingga sampai dengan tahun 1998
terdapat 173 bank sentral di seluruh dunia.602
Banyak studi yang sudah dilakukan sehubungan dengan
penataan posisi bank sentral di masa transisi khususnya di negara-
negara post-communist, seperti yang dilakukan oleh Hinton-
Braaten 603 , Hochreiter 604 , dan Hochreiter dan Riesinger 605 .

600
F.X. Sugiyono dan Ascarya, 2005, Kelembagaan Bank Indonesia,
Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, hlm. 5.
601
Ibid.
602
Periksa sumber berikut: Forest Capie, 1994, ―The Evolution of Central
Banking‖, Seminar Paper, World Bank dan Patrisia S. Pollard, ―A Look Inside
Two Central Banks: The European Central Bank and The Federal Reserve‖,
Federal Reserve Bank of St. Louis Review, Januari-Februari, 2003, hlm. 12-30.
603
K. Hinton-Braaten, ‗New Central Banks‘, paper presented at the
conference on Constitutional Status of Central Banks in Eastern Europe,
University of Chicago Law School, April, 1994.
604
E. Hochreiter, ―Central Banking in Economies in Transition‖, dalam
T. Willett, R. Burdekin, R. Sweeney, R. dan C. Wihlborg, C. (eds.), 1994,
Establishing Monetary Stability in Emerging Market Economies, Boulder, CO:
Westview Press.

254 | Hukum Kelembagaan Negara


Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Sundararajan et.al.606,
yang mengkaji reformasi di Bank Sentral bekas Uni Soviet serta
Radzyner and Riesinger607, yang mengkaji dalam perspektif luas
mengenai kerangka legal independensi bank sentral di Chechnya,
Republik Slovakia, Hongaria, Polandia, dan Slovenia. Studi ini
penting untuk menelaah seberapa jauh kerangka legal
menempatkan independensi bank sentral dan keterkaitannya
dengan pengelolaan ekonomi di masa transisi.
Demikian juga di kawasan Asia setelah terjadinya krisis
financial pada 1997-1998, sejumlah negara, termasuk Thailand,
Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia mengalami transisi politik,
dan salah satu hal yang dilakukan adalah reformasi legislasi
kelembagaan bank sentral. Hal ini karena disadari bahwa legal
arrangement mengenai bank sentral ini penting untuk menjaga
kestabilan nilai mata uang dan lebih jauh lagi mencegah terjadinya
krisis financial.
Pertumbuhan bank sentral dapat dipilah ke dalam 3 isu
utama. Pertama, status hukum pengeloaan bank sentral terutama
dalam hal perhubungan dengan cabang kekuasaan negara lain,
yang secara khusus pembenahan status independensi bank sentral
terhadap Eksekutif. Kedua, watak otonomi bank sentral
memunculkan pemikiran mengenai ruang lingkup dan tata cara
akuntabilitasnya. Ketiga, transparansi penyelenggaraan tugas bank

605
E. Hochreiter dan S. Riesinger, ―Central banking in Central and
Eastern Europe– Selected Institutional Issues‖, ECU Journal, 32, 1995, hlm. 17–
22.
606
Sundararajan, et.al., 1997, Central Bank Reform in Transition
Economies, Washington DC: International Monetary Fund.
607
O. Radzyner dan S. Riesinger, 1997, ―Central Bank Independence in
Transition: Legislation and Reality in Central and Eastern Europe‖, Focus on
Transition, Vol. 2 No. 1, hlm. 55– 90.

Hukum Kelembagaan Negara | 255


sentral. 608 Mayoritas telaah mengenai pertumbuhan bank sentral
berpusat kepada pengembangan status independensi, yang
fenomenanya sejajar dengan percakapan demokrasi transisional di
negara-negara bekas komunis. 609 Tidak berlebihan bahwa salah
satu penanda adanya pengelolaan masa transisi adalah pengaturan
kembali posisi bank sentral dalam kekuasaan suatu negara.610
Penataan kembali status dan posisi bank sentral, yang secara
khusus berkaitan dengan penentuan watak independensinya, dalam
perspektif ekonomi dapat diterima sebagai satu kesepakatan. Akan
tetapi, dalam aspek politik, ―status is more problematic, for it is
often argued that there is a fundamental conflict between central
bank independence and democracy.‖ 611 Sebagai suatu lembaga
yang dibentuk dengan Undang-Undang yang diitetapkan oleh
legislatif, bank sentral selalu berhubungan dengan eksekutif.
Seberapa jauhkan derajat perhubungan itu harus dilekatkan dan
apakah diperlukan suatu indeks yang memadai untuk
melakukannya? Sebagai suatu badan hukum, kelembagaan bank
sentral akan dapat ditelaah dalam 3 isu kunci, yaitu ―the issues of
authority (authority to execute its policies); direction (direct the
economy towards its objectives) and finally, control (control its

608
Christopher Crowe, ―Central Bank Independence and Transparency:
Evolution and Effectiveness‖, paper was presented at the Conference ―Does
Central Bank Independence Still Matter?‖ Bocconi University, September 2007,
hlm. 4.
609
Frederic S. Mishkin, ―Central BankingIn A Democratic Society:
Implications for Transitions Countries‖, National Bureau of Economic Research,
Columbia University New York, 1998, hlm. 1.
610
Ibid.
611
Allan Drazen, ―Central Bank Independence, Democracy, and
Dollarization‖, Journal of Applied Economics, Vol. 5, 2002, hlm. 17.

256 | Hukum Kelembagaan Negara


tools and techniques for achieving its goal) are also applicable for
a central bank.‖612
Secara umum bank sentral dilekati kepada 3 tugas pokok
yaitu sebagai otoritas yang mengendalikan moneter, pengawasan
perbankan, dan pengaturan sistem pembayaran. Dalam praktiknya,
bank sentral tidak seluruhnya menjalankan ketiga tugas tersebut.
Beberapa bank sentral mengemban 2 tugas utama,bahkan ada juga
bank sentral yang hanya mengemban satu tugas utama.
Di sejumlah negara, tugas pengendalian moneter dan
pengawasan perbankan dilakukan oleh bank sentral dengan
pertimbangan bahwa kedua hal itu mempunyai tingkat
ketergantungan tinggi dan hasil dari pengawasan kedua sektor itu
penting untuk mengambil keputusan dan kebijakan di bidang
moneter. Negara yang melaksanakan ini adalah Brazil, India,
Malaysia, Selandia Baru, Filipina, dan Singapura. Sementara itu,
terdapat juga beberapa negara yang pengawasan banknya
dilakukan oleh bank sentral bersama dengan lembaga lainnya. Hal
ini dipraktikkan di Amerika Serikat, Finlandia, dan Jerman. Di
Amerika Serikat misalnya, the Federal Reserve (Bank Sentral
Amerika Serikat), bekerja sama dengan Office of the Controller of
the Curency, State Government, dan Federal Deposit Insurance
Corporation dengan pembagian tugas dan pengawasan yang
berbeda. Dalam pada itu, fungsi pengawasan bank dipisahkan dari
bank sentral karena terjadinya konflik kepentingan antara
pengawasan perbankan dengan perumusan kebijakan moneter.
Model ini dilaksanakan di Australia, Belgia, Inggris, Jepang,
Korea Selatan, dan Swiss.613

612
Skully Ahsan & Wickramanayake, ― Determinants of Central Bank
Independence and Governance: Problems and Policy Implications‖, JOAAG, Vol.
1, 2006, hlm. 49.
613
F.X. Sugiyono dan Ascarya, op.cit., hlm. 9.

Hukum Kelembagaan Negara | 257


B. Independensi Bank Sentral
Sejarah, hukum, dan relasi de facto antara pemerintah
dengan bank sentral berjalan sangat kompleks, yang melibatkan
banyak sekali faktor. Termasuk dalam faktor ini, sekalipun bukan
hal yang terbatas, meliputi keterlibatan Pemerintah dalam
pencalonan dan pemecatan dewan pimpinan bank sentral,
keterlibatan pemerintah dalam kebijakan bank sentral, derajat
ketergantungan anggaran bank sentral kepada Pemerintah, dan
bagaimana bank sentral menentukan kebijakan-kebijakannya
dalam peraturan dasar.614 Semua hal itu pada awalnya merupakan
kerangka untuk menetapkan adanya pengertian independensi bank
sentral, sekalipun perkembangan literatur dewasa ini
menampakkan bahwa kajian bank sentral juga mencakup
―analytical framework of degree of autonomy, directors and their
functions and the board of the bank and its management.‖615
Pada decade 1990-an, baik di negara sedang berkembang
maupun negara maju, terlihat upaya-upaya untuk mempertinggi
derajat independensi bank sentral. Kenyataan ini didorong oleh
keyakinan bahwa ada korelasi antara independensi bank sentral
dengan kinerja perekonomian secara makro. Seperti kasus di
Inggris, ketika ada perubahan status Bank of England, diukur dari
kondisi inflasi sejak tahun 1970-an, maka ketika statusnya
mendekati Bundesbank, hingga tahun 1997 terjadi penurunan
tingkat inflasi rata-rata 4 %.616

614
S. Eijffinger dan J. de Haan, ―The Political Economy of Central-Bank
Independence‖, Special Papers in International Economics, No. 19, Princeton
University, 1996.
615
Lybek dan Morris, 2004, ―Central Bank autonomy, accountability, and
governance: conceptual framework‖, Seminar Paper LEG Seminar.
616
Jan-Egbert Sturm dan Jakob de Haan, ―Inflation in Developing
Countries: Does Central Bank Independence Matter‖, CESifo Working Paper No.
511, Juni 2001, hlm. 2.

258 | Hukum Kelembagaan Negara


Beberapa penulis, antara lain, Cukierman, Webb, and
Neyapti617, mengatakan bahwa independensi bank sentral secara
hukum ditandai oleh 4 kondisi minimum. Pertama, jika para
aparat pelaksana ditentukan oleh dewan pimpinan bank sentral
dibandingkan oleh Eksekutif, tidak dapat dipecat, dan memiliki
masa jabatan yang panjang. Kedua, apabila dalam menentukan
kebijakan yang menjadi wewenangnya tidak melibatkan organ
Eksekutif. Ketiga, jika stabilitas pembayaran merupakan tujuan
utama dalam aturan dasar bank sentral. Keempat, jika ada
pembatasan mengenai kapasitas Eksekutif untuk mengadakan
pinjaman langsung kepada bank sentral. Dalam studi Cukierman
dkk tersebut, ketika indicator itu digunakan untuk mengkaji
tingkat independensi bank sentral, maka hingga tahun 1980-an,
Bank Sentral Swiss yang kemudian diikuti oleh Bundesbank
(Bank Sentral Jerman) merupakan bank sentral dengan tingkat
independensi paling tinggi. Sebaliknya, dengan indikator legal itu,
maka Bank Sentral Polandia dan bekas Yugoslavia mempunyai
tingkat independensi paling rendah.
Jika ditelaah kembali, maka indikator legal versi Cukierman
itu pada tataran praktis tidak dapat digunakan. Di negara dengan
tingkat rule of law rendah ketika berhadapan dengan kekuatan
politik, maka akan terjadi kesenjangan yang menganga lebar
antara lembaga, ketentuan formal, dan akibat kebijakan yang
dijalankannya. Kenyataan ini menjadi kasus di banyak negara
sedang berkembang.618
Menurut Henning, ―independence refers to the ability of the
central bank to use the instruments of monetary control without

617
A. Cukierman, S. B. Webb,dan B. Neyapti, ―Measuring the
Independence of Central Banks and its Effects on Policy Outcomes‖, The World
Bank Economic Review, Vol. 6, 1992, hlm. 353-398.
618
Campillo dan Millon, 1997,

Hukum Kelembagaan Negara | 259


instruction, guidance or interference from the government.‖ 619
Sementara itu, Amternbink620 menegaskan adanya 3 pilar terkait
dengan pengelolaan bank sentral, yaitu independensi,
akuntabilitas, dan transparansi. Sejumlah penulis memberikan
indikator mengenai independensi bank sentral ke dalam banyak
variabel yang kadang-kadang tumpang tindih antara sudut
pandang ―governor‖, ―policy/economic influence‖, ―legal‖,
―accountability and ―transparency.‖
Beberapa literatur itu dapat ditunjuk di sini. Brade dan
Parkin 621 mendefinisikan independensi bank sentral dari sudut
pandang ekonomi (economic independence) dengan menganalisis
unsur-unsur yang meliputi: (i) Undang-Undang yang
mengaturnya; (ii) Pengaruhnya terhadap inflasi; (iii) Variabel
kebijakan; dan (iv) tata cara rekrutmen Gubernur. Kemudian, dari
sudut pandang independensi ekonomi, Alesina menunjukkan
adanya 2 unsur penting yaitu tata cara pemecatan Dewan
Gubernur dan pengaruh kebijakan bank sentral terhadap inflasi.
Bahkan, dari sudut pandang yang sama Eijffinger and Schaling
justru mendefinisikan independensi bank sentral dicirikan dengan
keterwakilan Pemerintah dalam struktur Dewan Gubernur. Dari
sini nampak bahwa sekalipun perspetif yang digunakan adalah
independensi ekonomi, akan tetapi para penulis tersebut
memasukkan unsur-unsur lain seperti ―governor‖ dan ―inflasi.‖

619
C.R. Henning, 1994, Currencies and Politics in the United States,
Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics,
hlm. 48.
620
F. Amtenbrink, 2004, ―The three pillars of central bank governance –
Towards a model central bank law or a code of good governance?‖, IMF LEG
Workshop on Central Banking, and IMF LEG and IMF Institute Seminar on
Current Developments in Monetary and Financial Law, 2004.
621
Brade dan Parkin, ―Capital mobility, perspective and Central Bank
independence: Exchange rate policy since 1945‖, Policy Sciences, Vol 34, 2001,
hlm. 171-193.

260 | Hukum Kelembagaan Negara


Penulis lain merumuskan bahwa independensi bank sentral
harus ditinjau dari aspek legal, sehingga memberikan pengertian
sebagai ―legal independence‖ sebagaimana dilakukan oleh
Cukierman, et.al., 622 Posen 623 , dan de Haan dan van T Hag. 624
Cukierman et.al, merumuskan independensi legal itu mencakup
unsur-unsur inflasi, formulasi kebijakan dan tujuan bank sentral,
serta masa jabatan Dewan Gubernur. Kemudian, Posen dari sudut
pandang yang sama menegaskan independensi bank sentral
meliputi unsur regulasi bank sentral dan inflasi. Analisis ini juga
sama dengan yang diajuklan oleh de Haan dan van T Hag.
Dalam aspek politik (political independence) beberapa
penulis juga mencampuradukkan unsur inflasi dan legal seperti
nampak dalam analisis yang dilakukan oleh Grilli et.al.625, yang
mengajukan unsur: (i) kapasitas hukum dalam rangka pencapaian
kebijakan moneter; (ii) inflasi; (iii) aktivitas ekonomi; dan (iv) tata
cara pencalonan Dewan Gubernur.
Secara teoritis memang kemudian menjadi sulit untuk
menentukan secara komprehensif indikator independensi bank
sentral. Akan tetapi dengan pemahaman yang benar, ke-6
kerangka di atas, dapat dirumuskan kembali, bahwa independensi
menyangkut aspek hukum, aspek politik, aspek moneter dan

622
Cukierman, et.al., ―Central Bank independence, political influence and
macroeconomic performance: A survey of recent developments‖, Cuadernos de
Economia, Vol 30, 1993, hlm. 271-291.
623
A. Posen, 1993, ―Why Central Bank independence does not cause low
inflation: There is no institutional fix for politics‖, Jurnal Finance and the
International Economy., Vol 7., 1993, hlm. 41-54.
624
de Haan, J. & G. J. Van ‗T Hag, ―Variation in Central Bank
independence across countries: Some provisional empirical evidence‖, Journal
Policy Choice, Vol 85, Vol.3-4, hlm. 335-351.
625
V. Grill et.al., ―Political and monetary institutions and public financial
policies in the industrial countries‖, Journal Economic Policy, Vol. 6,1991, hlm.
341-392.

Hukum Kelembagaan Negara | 261


deficit pembiayaan, aspek stabilitas harga dan inflasi, aspek
kebijakan nilai tukar, dan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Selanjutnya, ke-6 indikator di atas dapat diperas ke dalam 3
kategori sebagai pendekatan untuk memahami independensi bank
sentral, yaitu independencsi tujuan (goal independence),
independensi instrumen (instrument independence), dan
independensi personal (personal independence).

1. Independensi Tujuan (Goal Independence)


Independensi tujuan (goal independence). Dalam kaitan ini
pemerintah tidak memiliki pengaruh langsung dalam penetapan
tujuan-tujuan kebijakan moneter. Independensi tujuan bervariasi
dari kebebasan penuh/tinggi sampai dengan kebebasan
terbatas/rendah. Kebebasan tinggi seperti di Amerika Serikat,
Undang-Undangnya hanya menyebutkan tujuan-tujuan yang harus
dicapai. The Federa Reserve memiliki kebebasan untuk
menentukan prioritas sesuai dengan keadaan. Kebebasan cukup
tinggi seperti di Uni Eropa, tujuan utama European Central Bank
atau ECB dalam menjaga stabilitas harga (tanpa menetapkan
rentang waktu secara spesifik) telah ditetapkan dalam Undang-
Undang, tetapi ECB masih memiliki kebebasan menetapkan target
lain dalam jangka pendek. Bank of Japan (BoJ) dan Sverunges
Riksbank (SR) juga memiliki independensi tujuan ckup tinggi.
Kebebasan rendah, seperti di Reserve Bank of New Zealand
(RBNZ) di mana stabilitas harga dinegosiasikan dengan Menteri
Keuangan secara periodik. Demikian pula dengan Bank of
England dan Bank of Canada juga memiliki tingkat goal
independence rendah mengingat di Inggris, Menteri Keuangan
menetapkan batasan stabilitas harga dan di Kanada Pemerintah
dan bank sentral menetapkan target-target pengendalian inflasi.
Dalam rangka penetapan tujuan kebijakan moneter, di
negara-negara yang mengalami transisi pasca komunisme di Eropa
Timur, bank sentral setiap negara nyaris mempunyai wewenang

262 | Hukum Kelembagaan Negara


untuk menentukan tujuan kebijakan moneter, kecuali di
Ukraina.626
Perlu dicatat, bahwa independensi tujuan ini di dalam
praktik bukan saja berhubungan dengan Pemerintah, tetapi juga
relasi bank sentral dengan Parlemen. Di Jerman, aneka ragam
tuntutan politisi di Parlemen dan kemungkinan munculnya
perselisihan kebijakan moneter dengan Pemerintah mempertinggi
komitmen untuk mempertahankan independensi Bundesbank.
Dalam sistem federasi di Jerman, tiap-tiap konstitutuen Negara
Bagian (Land) mengajukan usul-usul kepada politisi mengenai
rentang kebijakan moneter, yang mencerminkan regionalisasi
ekonomi. Jika setiap partai politik di tingkat Negara Bagian
mengendalikan daftar calon di Majelis Rendah (Bundestag), maka
anggota parlemen akan meminta Pemerintah supaya menjamin
pencalonnya. Di sisi lain, bikameralisme di Jerman
memungkinkan konflik politik antara politisi di Majelis Rendah
(Bundestag) dengan politisi di Majelis Tinggi (Bundesrat).
Anggota Majelis Tinggi (Bundesrat) merupakan perwakilan dari
Negara Bagian. Pelaksanaan pemilu yang tidak serentak antara
Majelis Rendah dengan Pemerintah Negara Bagian memunculkan
proposal yang tidak sama sehubungan dengan kebijakan moneter.
Demikian juga sistem pemilu proposional yang menutup peluang
terciptanya single-government yang mendorong koalisi, padahal
setiap partai politik mempunyai pemilih dengan aspirasi yang
berbeda-beda. Bundesbank akan membantu Pemerintah dalam
mencegah kebijakan yang hanya mementingkan partai politik dan
patner koalisinya. Bundesbank juga membantu Pemerintah
mempertahankan masa jabatannya dengan dukungan kebijakan
ekonomi yang kredibel.

626
Wojciech S. Maliszewski, ―Central Bank Independence in Transition
Economies‖, Centre for Social and Economic Research (CASE), London School
of Economics and Political Science, September 2000, hlm. 6.

Hukum Kelembagaan Negara | 263


Di Inggris, semenjak pasca Perang Dunia II, Bank of
England, dikendalikan oleh Pemerintah. Setiap gagasan untuk
membentuk independensi bank sentral selalu ditolak oleh
penguasa yaitu Partai Konservatif yang secara tradisional
mempunyai basis pendukung kalangan bisnis dan kelas menengah,
sementara oposisi utama yaitu Partai Buruh, dianggap mewakili
serikat kerja dan buruh. Sistem pemilu memungkinkan sebuah
partai menjadi Pemerintah tanpa harus koalisi. Gagasan
independensi bank sentral dalam perideo 1980-1990-an konsisten
ditolak oleh Perdana Menteri Thatcher, yang menggaungkan pasar
bebas, privatisasi, dan ketegasannya menolak sistem mata uang
tunggal Eropa. Sebuah tim, yang menguji usulan independensi
bank sentral di tengah resesi ekonomi pada 1990-an, yang meliputi
unsur Pemerintah maupun oposisi, mengalami kegagalan dalam
pengambilan keputusan. Oleh Perdana Menteri John Major, hal itu
disebut sebagai ―deadlock policy‖ independensi bank sentral. Baru
setelah Partai Buruh mengambil alih kekuasaan sejak 1997,
independensi Bank of England dapat dirumuskan lagi.627
Di Italia, formulasi kelembagaan bank sentral juga
dikategorikan sebagai ―dependent bank.‖ Tetapi, Partai Kristen
Demokrat yang mendominasi pemerintahan sejak usai Perang
Dunia II, mulai berubah pada 1980-an ketika mengajukan usul
peningkatan independensi bank sentral, Bank of Italy. Krisis
ekonomi pada tahun 1970-an, kemenangan signifikan Partai
Komunis dalam pemilihan umum, bergabungnya Italia ke dalam
Sistem Moneter Eropa (1979), memaksa pemerintahan Partai
Kristen Demokrat untuk memperbaiki kebijakan di bidang fiskal,
industri, dan moneter. Dengan alasan menjaga ekonomi makro,
maka independensi bank sentral ditetapkan. Hanya saja ketika
1980-an, Pemerintah mampu meyakinkan parlemen agar ada dana
talangan dari Bank sentral untuk menutup deficit anggaran, Bank

627
Gauti B. Eggertsson and Eric Le Borgne, ―A Political Agency Theory
of Central Bank Independence‖, Agustus 2009.

264 | Hukum Kelembagaan Negara


Sentral menolak gagasan tersebut. Hal ini membenarkan sejumlah
studi bahwa ―independent central banks are associated with
superior inflation performance, suggesting that all countries
would have an independent bank to improve their economies.‖628
Pernyataan itu similar dengan upaya reformasi bank sentral
sehubungan dengan pelaksanaan kebijakan ekonomi, khususnya
dalam rangka pengendalian inflasi di bekas negara Yugoslavia dan
negara-negara bekas Uni Soviet di Eropa Tengah dan Timur. 629
Lima negara yaitu Checnya, Hongaria, Polandia, Slovakia, dan
Slovenia, memulai stabilisasi ekonomi setelah mengalami
reformasi politik. Diantara negara itu, Polandia dan Hongaria—
yang keduanya mengalami inflasi yang tinggi (249% dan 33%
dalam rentang 1990-1998)--melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Bank Sentral yang memposisikannya sebagai
lembaga independen, di samping merupakan prakondisi dalam
rangka keinginannya untuk bergabung ke Uni Eropa. Kroasia—
yang mengalami konflik militer dan tidak memperoleh dukungan
International Monetery Fund atau IMF—melakukan perbaikan
ekonomi tanpa mengubah kelembagaan bank sentral. Sementara
itu, di tengah inflasi yang tinggi, Macedonia mengubah
independensi bank sentral, tetapi baru dilaksanakan 2 tahun
setelah reformasi ekonomi. Pada tahun 1992, Albania menetapkan
independensi bank sentral sebagai paket kebijakan pembaruan
ekonomi, hanya beberapa bulan sebelum memperoleh bantuan dari
IMF. Paling akhir, pada tahun 1998 Rumania menginisiasi

628
Lihat analisis riset yang ditulis oleh: Alberto Alesina ―Inflation,
Unemployment, and Politics in Industrial Democracies‖, Jurnal Economic Policy
Vol. 8, 1989, 55-98. Bandingkan juga dengan: Richard Burdekin dan Thomas
Willett. 1991, ―Central Bank Reform: The Federal Reserve in International
Perspective‖, Public Budgeting and Financial Management, Vol. 3, No. 3, hlm.
531-551 dan J. Manfred Neumann, ―Central Bank Independence as a Prerequisite
for Price Stability‖, American Journal of Political Science Vol. 2 No. 40, 1991,
hlm. 570-602.
629
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 9-10.

Hukum Kelembagaan Negara | 265


independensi bank sentral sebagai bagian dari reformasi ekonomi,
di mana Pemerintah dilarang meminjam langsung kepada bank
sentral dengan tingkat suku bunga di pasar, dan setahun kemudian
IMF menandatangani paket bantuan.
Di negara bekas Uni Soviet, pembaruan independensi bank
sentral menjadi cap legitimasi baru dalam upaya pemulihan
ekonomi seperti yang terjadi di Bulgaria, Latvia, Georgia, dan
Rusia; yang semua berada dalam kondisi sama: memperoleh paket
bantuan dari IMF. Oleh sebab itu, consensus domestic di dalam
negeri untuk mengatasi krisis ekonomi memberikan justifikasi
untuk independensi bank sentral. Dengan demikian, pada negara-
negara tersebut, paket bantuan IMF berperan dalam perubahan
posisi bank sentral. Karena ditetapkan dengan Undang-Undang
maka hal itu menimbulkan format baru hubungan Parlemen,
Pemerintah, dan Bank Sentral.
Dengan ilustrasi itu, independensi tujuan bank sentral akan
menjadi tolak tarik kepentingan antara Parlemen, partai politik,
dan pemerintah, yang khususnya nampak pada parlementerisme.
Jika sistem politik menunjukan kepentingan partai politik dalam
bidang kebijakan moneter berbeda-beda dan adanya
kemungkinkan penarikan dukungan oposisi terhadap Pemerintah,
kecenderungan yang terjadi adalah penetapan independensi bank
sentral. Sebaliknya, jika sistem politik memungkinkan tukar
menukar insentif kebijakan moneter diantara partai politik, dan
sangat tipis adanya penarikan dukungan oposisi kepada
Pemerintah, maka bank sentral dibiarkan dependen supaya ―to
maximize the government‘s control over monetary policy.‖630

630
William Bernhard, ―Central Bank Strategy, Credibility, and
Independence: Theory and Evidence‖, American Journal of Political Science ,
Vol. 3, 1992, hlm.588.

266 | Hukum Kelembagaan Negara


2. Independensi Instrumen (Instrument Independence)
Independensi instrument (instrument independence). Dalam
hal ini bank sentral memiliki wewenang untuk menentapkan
sendiri target target operasionalnya tanpa pengaruh dari
pemerintah. Independensi ini meliputi pengendalian suku bunga
jangka pendek dan nilai tukar, serta larangan pemberian kredit
kepada pemerintah. Sebagai gambaran, bank sentral seperti
European Central Bank, the Federal Reserve, Bank of Japan, dan
Sveriges Rijksbank, memiliki kewenangan penuh dalam
menentapkan suku bunga. Dalam hal pengendalian nilai tukar,
hampir semua bank sentral hanya memiliki tanggung jawab yang
sangat terbatas. Demikian juga, hampir semua bank sentral masih
dapat memberikan kredit kepada pemerintah. Sementara itu,
European Central Bank masih memiliki wewenang dalam
penetapan nilai tukar dan tidak dapat memberikan kredit langsung
kepada pemerintah.
Relasi dengan Pemerintah sehubungan dengan instrumen
bank sentral dapat berbentuk konsultasi, pertimbangan
(advosiroy), dan kerjasama (cooperation). Dalam tataran
implementasi, konsekeunsi relasi dari independensi instrument ini
beragam, seperti yang terjadi di negara-negara yang mengalami
transisi ke demokrasi pasca komunis di Eropa.
Di Georgia, kebijakan penetapan instrumen bank sentral
bebas dari pengaruh Pemerintah, tetapi Dewan Gubernur dapat
dipecat apabila tidak menyetujui garis-garis besar kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh Parlemen. Garis-garis besar itu
disusun oleh Parlemen setelah memperoleh laporan tahunan dari
bank sentral. Sementara itu, di Latvia, relasi dengan Pemerintah
bersifat advisory. Meskipun demikian, terkait dengan kebijakan
moneter, Menteri Keuangan dapat kebijakan lain dalam jangka
waktu 10 hari setelah keputusan bank sentral mengenai
penggunaan instrument moneter. Jika bank sentral tidak mengubah
keputusan itu dalam periode berjalan, maka keputusan Menteri
Keuangan itu yang dijalankan. Pada sisi lain, ketentuan mengenai

Hukum Kelembagaan Negara | 267


bank sentral di Albania, Hongaria, Macedonia, Moldova,
Polandia, Rumania, dan Ukraina, tidak mengatur kaidah yang
harus dilakukan jika terjadi ketidasesuaian pendapat antara
Pemerintah dengan bank sentral.631
Sebagai bentuk penyeimbangan informasi dari pelaksanaan
wewenang bank sentral dalam menetapkan sendiri-sendiri target-
target operasionalnya tersebut, maka umumnya disampaikan
laporan atau publikasi kepada Parlemen dengan bentuk yang
bermacam-macam, termasuk ada atau tidaknya mekanisme
penyelesaian perselisihan antara bank sentral dan Pemerintah
dalam penggunaan wewenang itu.
Seperti kasus di Parlemen, jika Pemerintah menetapkan
kebijakan moneter, maka Reserve Bank of New Zealand, akan
memberikan informasi kepada Parlemen, sehingga Parlemen dapat
mengetahui konsekeunsi ekonomi dari penetapan tersebut. Di
Amerika Serikat, the Federal Reserve dapat memberikan
semiannually report kepada Congress, sehingga para legislator
akan mendapat keterangan yang lebih memadai, baik menyangkut
penggunaan instrument oleh bank sentral maupun pilihan
kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden. Lain dari itu, Gubernur
the Federal Reserve membuka kesempatan pemaparan kebijakan
bank sentral kepada media, yang berarti juga memberi peluang
munculnya aneka preferensi kebijakan yang disuarakan oleh
lembaga legislatif.632

3. Independensi Personal (Personal Independence)


Pada independensi ini, berhubungan dengan masa jabatan,
jumlah anggota, dan masa jabatan berjenjang dari anggota badan
pembuat kebijakan, tingkat keragamaan lembaga yang terkait
dengan proses rekrutmen serta status hukum khusus dari undang-

631
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 48.
632
Thomas Havrilesky. ―The Political Economy of Monetary Policy.‖
European Journal of Political Economy, Vol. 10 No.1, hlm. 111-134.

268 | Hukum Kelembagaan Negara


undang bank sentral. Struktur organisasi ini biasanya dikenal
sebagai Dewan Gubernur, yang meliputi Gubernur (Chairman),
yang dibantu oleh sejumlah Deputi Gubernur. Di Amerika Serikat
7 orang anggota Dewan Gubernur dicalonkan oleh Presiden dan
harus memperoleh konfirmasi dari Senat. Dalam pencalonan ini,
Presiden merancang bahwa 2 orang anggota disetujui oleh Senat; 2
orang lagi dicalonkan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan
Senat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Semua
anggota Dewan Gubernur itu menjadi The Federal Open Market
Committee, yang unsur keanggotaan lain masing-masing adalah 5
orang Gubernur Bank Sentral Negara Bagian, yang satu
diantaranya adalah Gubernur Bank New York. Kemudian calon-
calon lain masing-masing 3 orang dari perwakilan bankir,
perwakilan industri, perdagangan, dan pertanian yang bukan
pegawai bank, serta 3 orang yang dicalonkan oleh The Federal
Reserve. Masa jabatan Dewan Gubernur adalah 14 tahun, untuk
Direktur dan Wakil Direktur selama 4 tahun, dan unsur lain adalah
3 tahun.
Di Bangladesh, Gubernur Bank Of Bangladesh diangkat
oleh Perdana Menteri untuk masa jabatan 4 tahun (sejak
kemerdekaan 1971-2003, salama 5 tahun); dan Gubernur tidak
boleh merangkap jabatan di pemerintahan. Di Austrialia, Gubernur
Bank of Australia diajukan oleh Gubernur Jenderal kepada
Parlemen, dan dapat diangkat jika masing-masing kamar parlemen
telah memberikan konfirmasinya pada satu masa sidang. Usul
pemecatan diajukan oleh Menteri Keuangan. Komposisi Dewan
Gubernur meliputi 9 orang dengan masa jabatan 7 tahun.
Dalam Undang-Undang di negara-negara Eropa Tengah
yang mengalami masa transisi ke demokrasi, diatur bermacam-
macam mekanisme untuk pengajukan Dewan Gubernur ini.633 Di
Albania, komposisi Dewan Gubernur mencakup 9 orang dan tanpa
ada perwakilan pemerintah, untuk masa jabatan 7 tahun dan

633
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 25.

Hukum Kelembagaan Negara | 269


sesudahnya dapat dicalonkan kembali. Pengajuan calon diajukan
oleh Parlemen 3 orang, Presiden 1 orang, Kabinet 2 orang,
Menteri Keuangan 2 orang, Dewan Gubernur 1 orang, dan
Gubernur 1 orang. Di Armenia, susunan Dewan Gubernur
meliputi Gubernur dan Deputi Gubernur sebanyak 7 orang untuk
masa jabatan 7 tahun untuk Gubernur dan 5 tahun untuk anggota
Dewan Gubernur lainnya dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Susunan ini tidak mengikutsertakan perwakilan pemerintah.
Gubernur dan Wakil Gubernur diangkat Presiden setelah
memperoleh persetujuan dari Parlemen. Sedangkan untuk anggota
dewan yang lain diangkat oleh Presiden.
Dalam Undang-Undang di Belarusia, tidak ada ketentuan
mengenai susunan Dewan Gubernur. Hanya diatur bahwa masa
jabatan dewan adalah 6 tahun dan tidak ada ketentuan keterpilihan
kembali. Dewan Gubernur diajukan 3 oleh Parlemen 1 orang,
Kabinet 1 orang, dan khusus untuk anggota dewan lain diajukan
Gubernur dan harus memperoleh persetujaun parlemen.
Ketentuan berbeda dijumpai di Bulgaria di mana komposisi
Dewan Gubernur adalah 7 orang, tanpa perwakilan pemerintah,
dan untuk masa jabatan 6 tahun. Gubernur diajukan oleh Presiden
dan disetujui oleh Parlemen, sementara 3 orang Wakil Gubernur
dan 3 orang anggota lainnya ditetapkan masing-masing oleh
Gubernur dan Presiden.
Komposisi Dewan Gubernur juga tidak dijumpai di Estonia,
hanya ditetapkan masa jabatan selama 5 tahun dan tanpa aturan
keterpilihan kembali. Anggota Dewan Gubernur diajukan oleh
Presiden untuk disetujui oleh Parlemen, sedangkan anggota yang
lain disetujui Parlemen dengan pengajuan oleh Gubernur. Dalam
komposisi Dewan Gubernur ini, Menteri Keuangan masuk di
dalamnya, tetapi fungsinya sebagai Penasehat. Keterwakilan
Pemerintah juga dijumpai di Dewan Gubernur Latvia, di mana
Menteri Keuangan termasuk diantara 8 orang anggota dengan
masa jabatan 6 tahun. Keterwakilan Pemerintah juga ada dalam
susunan Dewan Gubernur di Rusia di mana Menteri Keuangan dan

270 | Hukum Kelembagaan Negara


Menteri Ekonomi masuk diantara 13 anggota untuk masa jabatan 4
tahun. Seluruh pencalonan itu, kecuali wakil pemerintah, diajukan
oleh Gubernur kepada Parlemen setelah berkonsultasi dengan
Presiden. Di Giorgia, komposisi Dewan Gubernur sebanyak 9
orang (tanpa perwakilan dari Pemerintah) dan seluruhnya diajukan
oleh Presiden dan disetujui oleh Parlemen untuk masa jabatan 7
tahun dan dapat dipilih kembali.
Dalam sistem di Prancis, Gubernur merupakan anggota dari
Dewan Moneter. Seluruh anggota Dewan Moneter, termasuk
Gubernur, dicalonkan sebanyak 3 orang untuk masing-masing
posisi yang keseluruhannya dilakukan oleh Kabinet, Ketua Senat,
Ketua Majelis Nasional, Wakil Ketua Dewan Konstitusi, Ketua
Mahkamah Agung, Ketua Dewan Ekonomi dan Sosial, dan Ketua
Court of Auditor. Di Denmark, seluruh anggota Dewan Gubernur
sepenuhnya dicalonkan dan ditetapkan oleh Parlemen. Demikian
juga dengan Dewan Gubernur Riksbank di Swedia, kecuali
Gubernur, seluruh anggota Dewan Gubernur lainnya dicalonkan
dan ditetapkan oleh Parlemen. Oleh karena itu, dalam kasus
Swedia, komposisi parlemen hasil pemilu, otomatis akan
memberikan warna pula terhadap asal usul keanggotaan Dewan
Gubernur, yang pengisiannya dilakukan segera setelah Parlemen
baru mulai bekerja.
Di Jerman, Gubernur dan Direktur Bundesbank, diajukan
oleh Dewan Bank Sentral (yang terdiri dari Gubernur dan
Gubernur Bank Sentral Negara Bagian) kepada Presiden Federal.
Setelah itu, Presiden Federal meminta persetujuan dari Bundestag.
Masa jabatan Dewan Gubernur adalah 8 tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali.
Pelibatan parlemen vis a vis Pemerintah, amat tergantung
kepada kekuatan politik masing-masing pihak. Sekalipun disetujui
oleh Parlemen, jika mayoritas politik adalah Pemerintah, maka
sudah pasti Dewan Gubernur akan selalu sejalan dengan kebijakan
moneter pemerintah, suatu mekanisme yang kadang disebut

Hukum Kelembagaan Negara | 271


sebagai deficit demokrasi, yang akhirnya mengaburkan makna
independensi bank sentral itu sendiri.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa pengisian jabatan
Dewan Gubernur sangat majemuk. Kecuali perwakilan
Pemerintah, ada juga negara memasukkan perwakilan dalam
susunan dewan, seperti perwakilan dari bank sentral itu sendiri,
daerah/negara bagian, perwakilan dari badan ekonomi/financial,
dan berbagai interest group lain.

C. Kelembagaan Bank Indonesia


1. Nasionalisasi ke Sirkulasi-Komersial
Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia,
tersirat maupun tersurat, memberikan pengaturan mengenai
kelembagaan bank sentral, utamanya dalam fungsi sebagai bank
sirkulasi. Naskah asli (Sebelum Perubahan) UUD 1945 Pasal 23
ayat (4) mengatakan, ―Hal keuangan negara selanjutnya diatur
dengan Undang-Undang.‖ Dalam bagian Penjelasan, antara lain
dikatakan, ―Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia
yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas,
ditetapkan dengan Undang-Undang.‖ Setelah Proklamasi
kemerdekaan ada niat untuk mendirikan Bank Indonesia
sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (4) tersebut, tetapi sulit
dilaksanakan karena adanya keharusan penetapan dengan Undang-
Undang.
Untuk mensiasati hal tersebut, didirikanlah ‖Poesat Bank
Indonesia‖634 sebagai suatu yayasan berdasarkan Akta Notaris No.
14 R.M. Soerojo, Notaris di Jakarta tanggal 9 Oktober 1945.
Untuk pertama kali, pengurus yayasan ini adalah Mohammad
Hatta, Muwardum Soeharto, Djohar, Mardanus, Soerachman, dan

634
Pengurus yayasan ini pertama kali terdiri dari Mohammad Hatta,
Muwardi, Soeharto, Djohar, Mardanus, Soerachman, dan Soeeno, dengan
Direktur Harian dipegang oleh R.M. Margono Djojohadikusumo dibantu oleh
Abdul Karim. Lihat dalam Maklumat Pemerintah tertanggal 9 Oktober 1945.

272 | Hukum Kelembagaan Negara


Soepno, dengan Direktur Harian dipegang oleh R.M. Margono
Djojohadikoesoemo dibantu oleh Abdulkarim. Menurut Oey
Beng To635, pembentukan yayasan ini sebagai langkah awal dalam
membentuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan oleh
Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UUD 1945. Sebelumnya, pada
tanggal 2 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah tentang
tidak berlakunya uang NICA, kemudian disusul oleh Maklumat
tentang apa yang dianggap sebagai alat pembayaran yang sah pada
tangggal 3 Oktober 1945. Seperti ditulis oleh Jimly Asshiddiqie636,
bahwa semua tindakan tersebut merupakan cermin kebijakan
ekonomi pascaproklamasi sebagai salah satu bentuk konsolidasi
ekonomi untuk mendukung usaha pemerintah dalam memperkuat
kekuasaan politik negara yang baru saja merdeka.
Pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah
No. 1 Tahun 1946 tentang Bank Rakyat Indonesia pada tanggal 22
Februari 1946. Bank ini sebenarnya merupakan pengembangan
bank perkreditan rakyat di masa Jepang yang bernama ‖Syumin
Ginko‖ dan ‖Algemeene Volkscredietbank‖ di zaman Belanda
yang status hukumnya sendiri masih berlangsung hingga tahun
1951. Pada 5 Juli 1946, ‖Poesat Bank Indonesia‖ kemudian
diganti menjadi Bank Negara Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946 tentang
Pembentukan Bank Negara. Untuk mengukuhkan kendali
keuangan ini, maka pada 1 Oktober 1946 ditetapkan UU No. 17
Tahun 1946 tentang Pengeluaran Uang Republik Indonesia.
Adanya Agresi Militer Belanda I (23 Juli 1946) dan Agresi
Militer Belanda II (19 Desember 1948), mengharuskan
Pemerintah Indonesia dan Belanda menempuh jalur perundingan
seperti Perundingan Linggajati (1947) dan Perundingan Reenville

635
Oey Beng To, 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I
(1945-1958), Jakarta: LPPI, hlm. 91.
636
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Disertasi UI, hlm. 182.

Hukum Kelembagaan Negara | 273


(1948), serta berbagai persiapan Konferensi Meja Bundar di
Belanda (1949) melalui Perundingan Roem-Royen di Jogjakarta.
Salah satu hal yang dibahas dalam perundingan itu yang cukup
alot adalah mengenai siapakah bank yang berwenang untuk
mencetak dan mengedarkan uang. Bagaimanapun, Pemerintah
Indonesia sudah mempunyai bank sirkulasi sendiri, akan tetapi di
lain pihak ada De Javasche Bank yang tetap beroperasi sebagai
bank sirkulasi di bawah kendali Belanda. Kemudian, kedua negara
juga tidak sepakat mengenai bentuk bank sirkulasi, apakah
merupakan bank negara atau bank swasta yang memperoleh
pengakuan (oktroi) dari pemerintah. Dengan situasi itu, akhirnya
Indonesia menerima kesepakatan bahwa De Javasche Bank yang
akan menjadi bank sentral, sedangkan Bank Negara Indonesia
hanya menjadi bank sirkulasi bagi Republik Indonesia.
Konfigurasi pendapat itu berlanjut saat berlangsung
Konferensi Meja Bundar di Belanda, yang mana setelah format
negara serikat disepakati, delegasi BFO menghendaki agar bank
sentral adalah bank swasta yang mendapatkan pengakuan dari
Pemerintah, sementara delegasi Republik Indonesia berpendapat
bahwa fungsi itu harus dijalankan oleh bank pemerintah seperti
Bank Negara Indonesia. Akhirnya konferensi menyepakati bahwa
kedudukan de Javasche Bank diterima, selama Pemerintah
Indonesia masih mempunyai hutang kepada Belanda, bila ada
perubahan terhadap undang-undang bank sentral, maka harus
dibuat kesepakatan terlebih dahulu antara Indonesia dengan
Belanda. Selain itu, perubahan pengurus dan pemberian kredit
juga harus memperoleh persetujuan Pemerintah Indonesia. 637
Dalam praktik selanjutnya, fungsi De Javasche Bank sebagai bank
sentral menimbulkan dualisme karena satu Negara mempunyai

637
Priasmoro Prawiroardjo, 1987, ―Perbankan Indonesia 40 Tahun‖,
dalam Hendra asmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan,
Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 184.

274 | Hukum Kelembagaan Negara


bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan
lain.638
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949) sebagai hasil
Konferensi Meja Bundar, antara lain dalam Pasal 164 ayat (4)
mengatur bahwa ‖pengeluaran alat-alat pembayar yang sah
dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat
ataupun oleh bank sirkulasi.‖ Kemudian, dalam Pasal 165 ayat (1)
diatur, ‖Untuk Indonesia ada satu bank sirkulasi.‖ Pasal 165 ayat
(2) mengatur, ‖Penunjukkan sebagai Bank Sirkulasi dan
pengaturan tatanan dan kekuasaanya dilakukan dengan Undang-
Undang Federal.‖
Setelah kembali ke negara kesatuan, diberlakukanlah UUD
1950, sebagai konstitusi sementara, yang juga mengatur
kelembagaan bank sirkulasi. Dalam Pasal 104 ayat (4) diatur,
‖Pengeluaran alat-alat pembyaran yang sah dilakukan oleh atau
atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank
Indonesia.‖ Kemudian, Pasal 110 ayat (1) berbunyi,‖Untuk
Indonesia ada satu Bank Sirkulasi.‖ Lalu Pasal 110 ayat (2)
mengatur bahwa ‖Penunjukkan sebagai Bank Sirkulasi dan
Pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-
undang.‖
Dalam tahun-tahun ini kemudian pemerintah melakukan
kebijakan sehubungan dengan ‖pengeluaran alat-alat pembayaran
sah‖ tersebut. Pertama-tama ditetapkan Undang-Undang Darurat
Nomor 20 Tahun 1951 Tentang Penghentian Berlakunya "Indische
Muntwet 1912" dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata
Uang. Kebijakan itu berturut-turut diikuti dengan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1953 Tentang Penetapan "Undang-Undang
Darurat Tentang Penghentian Berlakunya "Indische Muntwet
1912" dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang
(Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951) Sebagai
Undang-Undang; Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958

638
Didik J. Rachbni, Suwidi Tono, dkk, 2000, op.cit., hlm. 1.

Hukum Kelembagaan Negara | 275


Tentang Pengubahan "Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953"
serta Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1958 Tentang Penetapan
"Undang-UndangDarurat Nomor 4 Tahun 1958 Tentang
Pengubahan Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953" Sebagai
Undang-Undang.
Terkait dengan kelembagaan perbankan, Pemerintah
Indonesia mengesahkan UU No. 12 Tahun 1951 yang
menghapuskan status badan hukum ―Algemeene
Volkscredietbank‖ yang berasal dari zaman Belanda. Sebelumnya
Pemerintah juga sudah mengatur masalah Bank Rakyat Indonesia
pada bulan April dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.
25 Tahun 1951. Semua kekayaan dan pegawai ban dialihkan
kepada Bank Rakyat Indonesia, yang hal ini sebenarnya bentuk
lain dari nasionalisasi.
Dengan pengalaman ini, Pemerintah secara resmi
menasionalisikan De Javasche Bank pada Desember 1951 melalui
UU No. 25 Tahun 1951. Kemudian ditetapkan UU No. 11 Tahun
1953 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti De Javasche Bank
Wet 1922 pada masa Menteri Keuangan Soemitro
Djojohadikoesoemo dalam Kabinet Wilopo. Dalam undang-
undang ini banyak diadopsi pemikiran Mr. Sjafruddin
Prawiranegara (Gubernur Bank Indonesia pertama) khususnya
mengenai fungsi komersial bank. Dalam menjalankan
kegiatannya, Bank Indonesia dipimpin oleh Gubernur Bank
Indonesia, sedangkan kebijakan bank akan ditentukan oleh Dewan
Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua,
Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Selain itu,
terdapat Dewan Penasehat yang bertugas memberi nasehat kepada
Dewan Moneter.

2. Struktur dan Tugas Bank Indonesia


Bank Indonesia, menurut Pasal 7 UU No. 11 Tahun 1953,
ertugas mengatur nilai satuan uang Indonesia demi tercapainya
kemakmuran bangsa dengan kewajiban menjaga keseimbangan

276 | Hukum Kelembagaan Negara


nilai mata uang. Tugas lain Bank Indonesia adalah
menyelenggarakan peredaran uang kertas, mempermudah jalannya
uang giral, dan mengatur jalannya dengan luar negeri; memajukan
kredit dan urusan bank, serta mengawasi masalah kredit. Tugas
bank yang sangat eksklusif adalah mengeluarkan uang kertas bank
(Pasal 8 ayat [1]) sebagai alat pembayaran yang sah (Pasal 8 ayat
[2]).
Selain itu, Bank Indonesia juga mempunyai tugas
memindahkan uang dengan cara yang lazim seperti wesel tunjuk
(Pasal 13 ayat [1]), menerima dan membayar kembali uang-uang
dalam rekening Koran, melakukan pemindahan uang, menerima
pembayara atas tagihan surat berharga (Pasal 13 ayat [1]); dan
lain-lain tugas yang terkait dengan transaksi keuangan, hingga
bertindak sebagai bankir pemerintah, membantu pemerintah dalam
membuat perjanjian dengan negara asing atau organisasi
internasional (Pasal 13 ayat [8]) dan melakukan admnistrasi
pembayaran luar negeri (Pasal 13 ayat [10]).
Ketentuan UU No. 11 Tahun 1953 mengatur bahwa Bank
Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasehat. Jabatan Dewan Moneter secara permanen diduduki
oleh Menteri Keuangan, namun jika Menteri Keuangan
berhalangan, maka secara otomatis jabatan tersebut dipegang oleh
Gubernur Bank Indonesia (Pasal 24 ayat [1]). Latar belakang
pemikiran pembentukan Dewan Moneter ini adalah untuk
menghindari perbedaan pendapat antara Bank Indonesia dengan
pemerintah, mengingat aadanya perbedaan kepentingan dan tugas
dari pemerintah dan Bank Indonesia.
Direksi Bank Indonesia meliputi minimal Gubernur dan 2
orang direktur. Jumlah maksimal direktur adalah 5 orang di mana
pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah atas usul Dewan
Moneter untuk masa jabatan 5 tahun. Direksi yang telah selesai
masa jabatannya dapat diangkat kembali setelah menyelesaikan
masa jabatannya (Pasal 27 ayat [5]).

Hukum Kelembagaan Negara | 277


Setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959, maka kebijakan nasionalisasi dan penataan bank
kembali dilakukan. Dalam diri bank sentral, setelah pemberhentian
Sjafruddin Prawiranegara pada 31 Januari 1958, menyebabkan
tugas Bank Indonesia menjadi lemah dalam menjaga stabilitas
keuangan. Pada tahun 1961, Jusuf Muda Dalam diangkat sebagai
Menteri Urusan Bank Sentral, dan seiring dengan regrouping
kabinet pada tahun 1962, Menteri Urusan Bank Sentral merangkap
sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kepada Dewan Moneter
dengan Keputusan Presiden No. 232/1963 ditambahkan seorang
menteri keanggotaannya dan jangkauan dewan ini juga
menyangkut masalah moneter dan penertiban bank swasta.
Belakangan dengan terbentuknya Kabinet Dwikora, pada 27
Agustus 1964 urusan ini ditangani oleh Menteri Urusan Penertiban
Bank dan Modal Swasta yang dijabat oleh J.D. Massie. 639
Perubahan penting lain adalah terbitnya Keputusan Menteri
Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961, yang melarang
Bank Indonesia mengumumkan serta menerbitkan angka-angka
termasuk moneter atau perbankan.640
Dalam kedudukan sebagai Menteri Urusan Bank Sentral,
Teuku Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk melakukan
reorganisasi terhadap seluruh sistem perbankan yang berada di
bawah kekuasaannya. 641 Juga diperkenalkan fungsi baru Bank
Indonesia sebagai bank berjuang, yang bukanhanya melaksanakan
tugasnya secara konvensional mempertahankan stabilisasi moneter
dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga harus mengabdi kepada tujuan
revolusi Indonesia, yang berarti Bank Indonesia bukan hanya

639
M. Dawam Rahardjo, dkk, 1995,
640
Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan
Hukum, Jogjakarta, Navila Idea, hlm.72.
641
Maqdir Ismail, op.cit., hlm. 6.

278 | Hukum Kelembagaan Negara


sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi, tetapi juga adalah
alat untuk mencapai tujuan politik.642
Corak kebijakan yang sangat berbeda terjadi ketika Orde
Baru berkuasa, khususnya dengan UU No. 13 Tahun 1968 maka
salah satu yang diatur secara tegas adalah memulihkan kedudukan
Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan cara melepaskan
kegiatan bank sentral di bidang perbankan komersial, meskipun
tidak ada perubahan dan penambahan yang radikal dalam undang-
undang yang baru, tidak juga ada perubahan yang baru terhadap
otonomi bank sentral dalam hubungannya dengan peemrintah.643
Dalam undang-undang itu juga Dewan Moneter ditempatkan
sebagai lembaga yang sangat penting karena merumuskan
kebijakan moneter yang akan dilakukan oleh bank sentral. Tidak
berlebihan jika Dewan Moneter sering ditunjuk sebagai alat
pemerintah dan pembantu presiden dalam memikirkan,
merencanakan, dan menetapkan kebijakan moneter (Pasal 9 UU
No. 13 Tahun 1968). Jadi, kekuasaan untuk menetapkan kebijakan
moneter berada di Dewan Moneter. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU
No. 13 Tahun 1968 ditetapkan bahwa Dewan Moneter terdiri atas
Menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian serta
Gubernur Bank Sentral. Ditegaskan juga lewat Pasal 11 ayat (1)
bahwa menteri keuangan merupakan penanggung jawab bidang
keuangan dan sebagai faktor terpenting dalam pelaksanaan
kebijakan moneter, sehingga Menteri Keuangan ditetapkan
sebagai Ketua Dewan Moneter dan bertanggung jawab untuk
mengorganisasikan sebuah kesekretariatan. Jika dikaitkan dengan
Pasal 9 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1968, nampak bahwa Dewan
Moneter adalah perpnajangan tangan Presiden untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dalam model kebijakan ini, bank
sentral berada di luar departemen pemerintahan dan Gubernur
642
Ibid.
643
M. Dawam Rahardjo, dkk, op.cit., hlm. 7.

Hukum Kelembagaan Negara | 279


Bank Sentral tidak berkedudukan sebagai menteri. Namun
semenjak Kabinet Pembangunan II Tahun 1983, Gubernur Bank
Indonesia diberi kedudukan setingkat menteri negara dan
pemerintah memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari
pemerintah.644
Krisis ekonomi tahun 1997 dan reformasi nasional 1998
menjadi momentum titik balik terhadap keberadaan Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Pada tanggal 17 Mei 1999 telah
dapat dibentuk UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Regulasi ini memberikan status dan kedudukan kepada Bank
Indonesia sebagai suatu bank sentral yang independen dan bebas
dari campur tangan pihak luar, termasuk pemerintah. Ketentuan
UU No. 23 Tahun 1999 secara tegas memberikan landasan kepada
Bank Indonesia untuk mencapai target yang telah ditetapkan yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah dengan menggunakan berbagai
instrumen kebijakan yang ditetapkan. Penetapan tujuan tunggal
tersebut menjadikan sasaran dan batas tanggung jawab Bank
Indonesia akan semakin jelas dan terfokus. Dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kepada Bank Indonesia
diberikan 3 (tiga) tugas utama, yaitu (i) menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter; (ii) mengatur dan menjaga

644
Soedrajat Djiwandono, 2001, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa
Krisis, Jakarta: LP3ES, hlm. 290. Pada masa ini perekonomian Indonesia
menghadapi masalah yang semakinberat yaitu ketika harga minyak mulai jatuh
pada awal 1980-an yang menggiring pemerintah ke sudut yang sangat sempit.
Bagi rezim yang menggantungkan legitimasinya pada keberhasilan pembangunan
ekonomi keadaan tersebut tidak bisa dianggap enteng. Dalam situasi ini, Presiden
Soeharto berpaling kepada teknokrat yang kemudian menangkap peluang untuk
kembali menjadi actor-aktor di panggung kebijakan yang paling bertanggung
jawab. Keberadaan Dewan Moneter sendiri, menurut penulis, cermin dari
kepercayaan Soeharto kepada para teknokrat tersebut. Tentang keterlibatan
kembali para teknokrat, lihat dalam Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak
Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford
Foundation, hlm. 97-123.

280 | Hukum Kelembagaan Negara


kelancaran sistem pembayaran; dan (iii) mengatur dan mengawasi
bank.
Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, UU No. 23
Tahun 1999 telah memberikan independensi yang lebih luas yaitu
meliputi aspek goal independence, instrument independence, dan
personal independence. Untuk aspek goal independence nampak
dari penetapan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Sementara itu, aspek
nstrument independence nampak di mana undang-undang
memberikan wewenang kepada Bank Indonesia untuk menetapkan
sendiri target-target operasionalnya tanpa pengaruh dari
pemerintah. Dalam menjalankan kebijakan moneternya, Bank
Indonesia memiliki wewenang penuh dalam menetapkan suku
bunga jangka pendek tanpa pengaruh pemerintah. Kemudian
aspek personal independence nampak dari ketentuan undang-
undang yang melarang campur tangan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia, bahkan kepada Bank Indonesia diberikan wewenang
untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun
dan pihak manapun juga. Anggota Dewan Gubernur mempunyai
masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu
masa jabatan lagi. Pengusulan Gubernur dan Deputi Gubernur
Senior dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Sementara pengangkatan Deputi Gubernur oleh Presiden dengan
persetujuan DPR atas usul Gubernur. Dalam perkembangan
selanjutnya UU No. 23 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 3
Tahun 2004.
Sebagaimana tercantum di dalam bagian Penjelasan Umum,
alasan utama untuk melakukan perubahan peraturan perundang-
undangan itu adalah untuk melakukan penyesuaian mekanise
perumusan kebijana moneter dan penataan kembali mekanisme
perumusan kebijakan moneter dan penataankembali kelmebgaan
Bank Indonesia sebagai penanggung jawab ototirtas kebijakan
moneter. Sehubungan dengan kebijakan ini, maka perubahan juga
bertujuan untuk mewujudkan prinsip keseimbangan antara

Hukum Kelembagaan Negara | 281


independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan pengawasan dan
tanggung jawab terhadap kinerjanya yang harus memenuhi
akuntabilitas publik yang transparan.

3. Personal Independence
Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan
akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai
tersangka 645 dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan
Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi646, maka bersamaan itu juga masa jabatan gubernur bank
sentral mendekati akhir periode. 647 Untuk mengisi jabatan
Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2

645
Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1
miliar atau sekitar Rp 47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk
meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan
besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.
646
YPPI diduga mengalirkan ‖dana gelap‖ sebesar Rp 127,75 miliar di
mana sebesar Rp 96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam
upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp 31,5 miliar
diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid.
Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-
tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader
Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April
1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan
sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain
mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan
lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya
kembali menjadi YPPI.
647
Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank
sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi
Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun
yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat,
Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.

282 | Hukum Kelembagaan Negara


(dua) orang calon—Agus Martowardoyo648 dan Raden Pardede649-
-untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan setelah
melalui serangkaian fit and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR
menyatakan menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh
Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang sudah
diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian
memancing perdebatan seru di balik drama pengisian Gubernur BI
itu. Namun memang penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan
sebagai upaya politis untuk ‖mempengaruhi‖ independensi BI
sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan kontur
kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan dalam hubungan
antarlembaga negara.
Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian jabatan
Gubernur BI pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (1999-2001). Waktu itu sang presiden ingin
Prijadi Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi Direktur
Utama Bank Rakyat Indonesia(BRI). Ternyata tidak mungkin,
karena menurut aturan yang berlaku, Prijadi tidak lulus fit and
proper test yang diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan
minta agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk
mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar indikasi terlibat
skandal Bank Bali. Syahril menolak dan akhirnya memang dia
memang dikriminalkan dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum

648
Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah
sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan
menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. Kini ia
menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
649
Pardede adalah doktor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri
lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah
menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus
Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan,
Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan
sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

Hukum Kelembagaan Negara | 283


itu dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan perubahan
terhadap undang-undang bank sentral yang pada intinya
memungkinkan Presiden mencopot Gubernur BI pada masa
jabatan jika dinilai tidak mempunyai kinerja yang baik. Tetapi,
seperti ditulis oleh Kwik Kian Gie650, proses perubahan undang-
undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah mencapai
keberhasilan.
Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden
Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot
Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur BI, karena yang
bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board
System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI
merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet
Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru
semenjak tahun 1967. 651 Barangkali Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001-2004) yang beruntung karena pada masa
jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak mengalami
kegoncangan ketika ia mencalokan Burhanuddin Abdullah sebagai
calon tunggal ke DPR.
Secara akademik, penulis mengakui, bahwa menilai tingkat
independensi BI hanya dari segi pengisian jabatan Gubernur
terlalu parsial. Akan tetapi secara praksis politik, memang selama

650
Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas,
hlm. 81.
651
Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973),
Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar
(1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-
2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat
menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril
Sabirin yang ‖berprestasi‖ karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden
selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran
UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang
paling independen semenjak berdirinya republik ini.

284 | Hukum Kelembagaan Negara


ini tingkat independensi diungkit-ungkit saat pergantian jabatan
pucuk pimpinan otoritas moneter ini.

D. Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara


Percakapan dalam rubrik ini terfokus kepada 2 (dua) isu
utama yaitu Bank Indonesia sebagai lembaga negara dan Bank
Indonesia sebagai badan hukum. Terlebih dahulu harus dijelaskan
mengapa masalah kedudukan ini menjadi penting untuk ditelaah
secara yuridis. Menurut Bagir Manan 652 , kedudukan merupakan
inti norma yang memberikan status hukum atau tempat suatu
subyek dalam lalu lintas hukum. Dalam pandangan Jimly
Asshiddiqie 653 , kedudukan mempunyai keterkaitan erat dengan
corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ditopang
lewat argumen bagaimana pengorganisasian kekuasaan harus
dilakukan.
Berkaitan dengan hal ini, maka dalam studi hukum tata
negara, kedudukan suatu entitas diatur di dalam konstitusi. Terkait
dengan hal ini maka pantas jika isu utama konstitusi adalah
masalah pengorganisasian kekuasaan yang tercermin dalam
macam-macam lembaga negara serta perhubungan antara lembaga
negara yang satu dengan yang lain.654 Dengan tertib berpikir yang
demikian, pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimanakah
kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam sistem
ketatanegaraan.
Pertama-tama tentu harus dilihat dalam level konstitusi.
Dalam naskah asli UUD 1945 sama sekali tidak diatur masalah
kedudukan Bank Indonesia kecuali secara sepintas lalu dalam

652
Bagir Manan, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru,
op.cit., hlm. 59.
653
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 1.
654
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung:
Alumni.

Hukum Kelembagaan Negara | 285


Penjelasan Pasal 23, salah satu norma dalam Bab VIII dengan
topik Hal Keuangan. Penyebutan sepintas lalu itu secara sistematis
terkait dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 23 ayat (3), yang
berbunyi Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
Undang-Undang. Penjelasan atas ketentuan ini berbunyi sebagai
berikut:
Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan
dengan Undang-Undang. Ini penting karena kedudukan
uang itu besar pengaruhnya dalam masyarakat...Oleh
karena itu keadaan uang itu harus ditetapkan dengan
undang-undang. Berhubung dengan itu, kedudukan Bank
Indonesia yang mengeluarkan dan mengatur peredaran
uang kertas ditetapkan dengan undang-undang.

Dari kutipan sebagian Penjelasan Pasal 23 ayat (3) UUD


1945 di atas nampak bahwa adanya Bank Indonesia dikaitkan
dengan fungsi ‖mengeluarkan dan mengatur peredaran uang
kertas‖ dan itu juga tidaklah dimaksudkan menunjuk kepada suatu
organ tertentu, mengingat bahwa Bank Indonesia saat itu belum
terbentuk.
Pada kurun waktu berlakunya Konstitusi Republik
Indonesia Serikat, juga tidak tegas ditunjuk adanya bank sentral
dan bagaimana kedudukannya dalam ketatanegaraan. Ketentuan
Pasal 165 ayat (1) dan ayat (2) masing-masing menegaskan 2
(dua) hal sebagai berikut: (i) Untuk Indonesia ada satu bank
sirkulasi; dan (ii) Penunjukkan sebagai bank sirkulasi dan
pengatur tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-
undang federal. Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950), ketentuan Pasal 165 ayat (1) dan
ayat (2) KRIS 1949 itu diadopsi sepenuhnya dalam Pasal 110 ayat
(1) dan ayat (2). Tetapi dalam kurun waktu 1950-1959 ini,
dilakukanlah nasionalisasi terhadap De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 1953. Kondisi ini
berlangsung terus sampai dengan berkuasanya Orde Baru dan baru

286 | Hukum Kelembagaan Negara


dibentuk UU No. 13 Tahun 1968. tetapi isyarat yang dapat
ditangkap selama masa 1945 sampai Orde Baru itu tidak pernah
ada ketentuan konstitusional yang mampu menjelaskan bagaimana
kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam sistem
ketatanegaraan.
Dalam reformasi konstitusi (1999-2002) yang mengubah
UUD 1945 sebanyak 4 kali, maka isu mengenai kedudukan Bank
Indonesia menjadi perdebatan yang hangat. Setelah melalui
perdebatan teknis yang panjang, baru pada 2002 Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Perubahan UUD
1945 Pasal 23D yang mengatur mengenai Bank Indonesia. Tetapi
MPR menghindari kata ‖Bank Indonesia‖ dan menggunakan kata
‘bank sentral.‖ Ketentuan Pasal 23D selengkapnya berbunyi
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur
dengan undang-undang. Norma konstitusional baru ini
menyebabkan bank sentral menikmati proteksi konstitusional yang
lebih besar, karena pasal 23D secara eksplisit menyebutkan bahwa
Bank ini harus bersifat independen. Tetapi, konstitusi bungkam
soal arti ‖independen‖ dan hanya menyebutkan bahwa hal itu akan
diatur lebih jauh dengan undang-undang. Perlu dicatat bahwa
‖undang-undang‖ dimaksud telah ada terlebih dahulu yaitu UU
No. 23 Tahun 1999 yang pada hakekatnya telah membuat
kedudukan Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen
seperti diuraikan dalam subbagian D. 1 di atas.
Penjelasan yang sedikit memuaskan terjadi ketika UU No.
23 Tahun 1999 diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004. Di dalam
undang-undang terakhir ini penegasan independensi semakin
nyata sebagaimana terlihat dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 23
Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal
yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Tetapi

Hukum Kelembagaan Negara | 287


keberlakuan ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini tidak tegas memberikan
bagaimana kedudukan Bank Indonesia dalam sistem
ketatanegaraan. Hal ini justru berlainan dengan UU No. 23 Tahun
1999 yang di dalam bagian Penjelasan Umum memuat penegasan
antara lain bahwa kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga
negara yang independen berada di luar pemerintahan
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini. Memang
seyogyanya norma yang menegaskan pengertian independen,
kedudukan, serta posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral diatur
di dalam UUD 1945.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hubungan Bank
Indonesia terhadap pemerintah? Sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004
bahwa Bank Indonesia merupakan lembaga negara independen.
Di sini semestinya Bank Indonesia mempunyai hubungan yang
terpisah dengan pemerintah dan bukan merupakan bagian dari
pemerintah sehingga kedudukannya tidak sama dengan
pemerintah. Tetapi penegasan mengenai hal ini tidak terdapat
dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004. Menurut
Maqdir Ismail 655 jika jalan pemikiran mengenai pemisahan BI
dari pemerintah ini diterima maka harus ada suatu perubahan
norma dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004
yang secara tegas mengatur hubungan Bank Indonesia dan
pemerintah yang dengan jelas dan tegas menyatakan adanya
pemisahan fungsi antara Bank Indonesia dengan pemerintah. Hal
ini sebagaimana diatur dalam UUNo. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3
Tahun 2004 Bab VIII, yaitu Pasal 52, 53, 54, 55, dan Pasal 56,
terutama dalam menjalankan kebijakan moneter. Sebagai contoh,
bisa dilakukan perubahan terhadap Pasal 52 dengan menambahkan
satu ayat yang secara tegas menyatakan adanya pemisahan fungsi
Bank Indonesia dan pemerintah. Dengan terpisahnya fungsi Bank

655
Op.cit., hlm. 25.

288 | Hukum Kelembagaan Negara


Indonesia dengan pemerintah, Bank Indonesia bertindak sebagai
pemegang kas pemerintah.
Ditambahkan oleh Maqdir Ismail, bahwa dengan adanya
pemisahan fungsi antara pemerintah dan Bank Indonesia,
hubungan dan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia
mengenai kebijakan ekonomi danperbankan harus dilakukan
secara langsung oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
Pengaturannya didasarkan kepada ketentuan Pasal 54 UU No. 23
Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, sedangkan kewajiban untuk
berkoordinasi mengenai penerbitan surat utang negara agar tidak
berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, hal itu harus
dilakukan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 55 UU No. 23
Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004.
Perlu dikemukakan di sini bahwa ‖pemisahan‖ di sini
ditekankan kepada fungsi Bank Indonesia dan pemerintah. Secara
institusional Bank Indonesia tetap merupakan bagian dari
pemerintah, sehingga dengan tertib berpikir demikian adanya
koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah dalam kebijakan
ekonomi dan perbankan sebagaimana Pasal 54 UU No. 23 Tahun
1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 dapat diterima. Dapat dikatakan di
sini bahwa Bank Indonesia merupakan the highest executive state
bodies.
Perubahan UU No. 23 Tahun 1999 melalui UU No. 3 Tahun
2004 juga memberi implikasi lahirnya Badan Supervisi. Di dalam
Pasal 58A UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004
ditentukan bahwa Badan Supervisi ini yang akan membantu DPR
untukmelaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu
terhadap Bank Indonesia sebagai upaya meningkatkan
akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank
Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Supervisi
menyampaikan laporan kepada DPR sekurang-kurangnya sekali
dalam 3 (tiga) bulan ataus etiap waktu sesuai permintaan DPR.
Badan ini akan melakukan kajian terhadap laporan tahunan Bank
Indonesia, telaahan terhadap anggaran operasional dan investasi

Hukum Kelembagaan Negara | 289


Bank Indonesia, dan kajian atas prosedur pengambilan keputusan
kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan
aset Bank Indonesia. 656 Tetapi, sebagaimana dalam Penjelasan
Pasal 58A UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tugas
Badan Supervisi tidak boleh merembet ke arah penilaian kinerja
Dewan Gubernur, tidak boleh ikut memutuskan dan menilai
kebijakan dalam sistem pembayaran, serta tidak boleh ikut
memutuskan dan menilai kebijakan pengawasan bank dan
pelaksanaan kebijakan moneter yang lain. Bahkan, Badan ini
tidak boleh menyampaikan informasi secara langsung mengenai
pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat. Kiranya walaupun tidak
dapat disamakan secara persis, Badan Supervisi ini mirip dengan
keberadaan Komisaris Pemerintah versi UU No. 13 Tahun 1968.
Tetapi, Komisaris Pemerintah ini boleh mengikuti rapat yang
dilaksanakan oleh Direksi Bank Indonesia.
Keseluruhan uraian dalam rubrik ini menunjukkan bahwa
pemaknaan Bank Indonesia sebagai lembaga negara tidak pernah
diatur di dalam konstitusi yang pernah dan sedang berlaku. Baru
sesudah reformasi konstitusi hal itu diatur tetapi tidak lengkap dan
tidak jelas serta dalam tingkat undang-undang. Penyebutan Bank
Indonesia sebagai lembaga negara sebagaimana diatur di dalam
Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004
tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, di sini harus dipahami
bahwa kewenangan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia
tidaklah merupakan kewenangan atribusi konstitusi tetapi
kewenangan yang bersumber dari undang-undang.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum diakui
dalam Pasal 4 ayat (3) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun
2004. Kemudian di dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa
sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang
menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas

656
Selengkapnya baca Penjelasan Pasal 58A ayat (1) huruf a, b, dan c UU
No. 3 Tahun 2004.

290 | Hukum Kelembagaan Negara


kewenangannya. Dengan demikian, Bank Indonesia selain sebagai
otoritas yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan,
Bank Indonesia juga dapat mempunya standar dan pedoman
tersendiri dalam memberikan kemudahan dan memberikan
pembatasan dalam lingkup wewenangnya.
Menerik analisis yang dilakukan oleh Bagir Manan 657
ketika menyoroti kedudukan peraturan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Pada adasarnya peraturan yang ditetapkan tersebut
merupakan peraturan administrasi negara. Untuk menguji
peraturan Bank Indonesia, tidak menggunakan prinsip tata urutan
melainkan pada aturan wewenang. Sepanjang peraturan tersebut
dalam wewenang Bank Indonesia, maka semua peraturan
administrasi lain mesti dikalahkan. Demikian pula sebaliknya,
kalau peraturan Bank Indonesia itu melanggar batas wewenang
dan bertentangan dengan peraturan administratif lainnya (mulai
dari Peraturan Pemerintah dan seterusnya), harus dibatalkan. Jadi,
peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak boleh
bertentangan dengan UUD, Ketetapan MPR (jika ada dan
berlaku), dan undang-undang.
Sejatinya, penyebutan Bank Indonesia sebagai badan
hukum publik, dalam arti dibentuk dan dimiliki oleh negara, sudah
ada semenjak ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 1953
dan dinyatakan pula oleh Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1968,
yang menyatakan bahwa, Bank Indonesia adalah milik negara dan
merupakan badan hukum....Akan tetapi, kedua undang-undang
tersebut tidak ada penjelasan mengenai kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara tersebut.

657
Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: UII
Press, hlm. 231.

Hukum Kelembagaan Negara | 291


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan


Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas
Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan & Eka Tjipta Foundation.

Adriana Elizabeth, dkk, 1983, PDI dan Prospek Pembangunan


Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali.

Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan


Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS
Press.

Aisyah Amini, 2004, Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004,


Jakarta, Penerbit Yayasan Pancur Siwah dan PP Wanita
Islam.

Akbar Tanjung, 2007, Golkar Way: Survival Partai Gokar di


Tengah Turbelensi Era Transisi, Jakarta, Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.

A.M. Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun


Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode
1999-2004, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada.

A.M. Goetz dan R. Jenkins, 2004, Reinventing Accountability:


Making Democracy Work for the Poor, London: Palgrave
Macmillan.

Bachtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara: Transformasi


Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Paramdina.

292 | Hukum Kelembagaan Negara


Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Penerbit
UII Press.

Bagir Manan, 2004, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit


UII Press.

Bambang Cipto, 1995, DPR dalam Era Pemerintahan Modern-


Industrial, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada.

Bernard schwartz, 1993, A History of Supreme Court, New York,


Oxford University Press.

Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and


Society, Oxford, Oxford University Press.

Brucke Ackerman, ―The New Separation of Power‖, Harvard Law


Review, No. 3 Vol. 113, 2000.

C.F. Strong, 1966, Modern Polical Constitution an Intruoduction


to the Comparative Study of Their History and Existing
Form, London, Sidgwick & Jackson Ltd.

Craig Green, ―An Intellectual History of Judicial Activism‖,


Emory Law Journal, Vol. 58, 2009.

C.R. Henning, 1994, Currencies and Politics in the United States,


Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for
International Economics.

Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral (Studi


Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), Jogjakarta,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Islam Indonesia.

Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi


Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Hukum Kelembagaan Negara | 293


de Smith and Brazier, 1989, Constitional and Administrative Law,
6th ed, London, Penguin Books.

Deliar Noer, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan


Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965,
Bandung, Penerbit Mizan.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos


dan Pembongkaran, Bandung: Mizan Pustaka.

Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara


Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Widya.

F.X. Sugiyono dan Ascarya, 2005, Kelembagaan Bank Indonesia,


Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan.

Geoffrey de Q Walker, 1988, The Rule of Law: Foundation of a


Constitutional Democracy. Carlton, Melbourne: Melbourne
University Press.

Giovanni Facchini dan Cecilia Testa, 2008, A Theory of


Bicameralism, Department of Economics,University of
Illinois at Urbana Champaign.

Huang, The-fu, ―Party Systems in Taiwan and South Korea‖,


dalam Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu, and
Hung-mao Tien (eds.), 1997, Consolidating the Third Wave
Democracies: Themes and Perspectives. Baltimore: Johns
Hopkins.

Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, 1968, Pemilu 1971, Jakarta,


Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers.

Imam Pratignjo, 1984, Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan


Karya Perjuangan Menegakkan Kembali Negara
Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, Penerbit Jajasan Bhakti.

294 | Hukum Kelembagaan Negara


Ismail Sunny, 1986, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta,
Penerbit Bina Aksara.

James Bryce, 1995, The American Commonwealth (1888),


Indianapolis, Liberty Fund.

J. Elster, 1999, ―Accountability in Athenian Politics‖, dalam A.


Przeworski, S. Stokes, dan B. Manin eds., 1999,
Democracy, Accountability and Representation, Cambridge,
Cambridge University Press.

Jeremy Waldron, ―A Rights-Based Critique of Constitutional


rights,‖ Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, 1993.

Jimly Asshiddiqie, 2003, Format Kelembagaan Negara dan


Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Jogjakarta,
Penerbit FH UII Press.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional,


Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi


Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit
Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-


Undang, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

John Finnis, 1980, Natural Law and Natural Rights, Oxford,


Clarendon Press.

John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University


Press.

J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law


Publishing Co. Pvt. Ltd.

Hukum Kelembagaan Negara | 295


Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni.

Juan J. Linz, 1994, ―Presidential or Parliamentary Democracy:


Does it Make a Difference?‖, Dalam J.J. Linz dan Arturo
Venezuela (eds.), The Failure of Presidential Democracy:
The Case of Latin America. Baltimore: Johns Hopkins.

Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic


Transition and Consolidation: Southern Europe, South
America, and Post-Communist Europe, Baltimore: Johns
Hopkins.

K. Dye dan R. Stapenhurst, 1998, Pillars of Integrity: The


Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing
Corruption, Washington, DC: WBI.

Keith Mason, ―The Rule of Law‖. dalam P. D. Finn (ed.), 1995,


Essays on Law and Government, vol. I: 114-43, Sydney:
LBC.

Lawrence Baum, 2006, Judges and Their Audiences: A


Perspective on Judicial Behavior, New Jersey, Princenton
University Press.

Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?, Bandung,


Penerbit Rosda Karya.

Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices Justice Make,
Washington D.C., CQ Press.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004, Naskah Akademik


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan
Komisi Konstitusi, Jakarta.

296 | Hukum Kelembagaan Negara


Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik Islam: Golkar di Era
Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama.

Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik


dan Hukum, Jogjakarta, Navila Idea.

Margarets Allars, 1990, Introduction to Australian Administrative


Law, Sydney: Butterworth.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan,


Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Mark P Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of


Presidential Democracies. Notre Dame: Notre Dame
University Press.

M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Politik Islam,


Jogjakarta, Tiara Wacana.

Masykuri Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna:


Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep
Demokrasi (1986-1993), Jogjakarta, Penerbit Tiara Wacana.

M. Edelman, ‗The Judicialization of Politics in Israel‘,


International Political Science Review, Vol. 15, 1994.

M. Irsyad Sudiro, 1998, Partai Golkar Menatap Masa Depan,


Jakarta, Penerbit Yappindo.

Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan


Pembangunan Nasional, Bandung, Penerbit Binacipta.

Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,


Penerbit Rajawali Press.

Hukum Kelembagaan Negara | 297


Muchammad Ali Safa‘at, 2010, Parlemen Bikameral: Studi
Perbandngan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda,
Inggris, Austria, dan Indonesia, Malang, Penerbit UB Press.

Ni‘matul Huda. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi


Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.

Oey Beng To, 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I


(1945-1958), Jakarta: LPPI.

Priasmoro Prawiroardjo, 1987, ―Perbankan Indonesia 40 Tahun‖,


dalam Hendra asmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan
Pembangunan, Jakarta, Penerbit Gramedia.

P. Schmitter, 1999, ‗The Limits of Horizontal Accountability,‘


dalam A. Schedler et al., 1999, The Self-Restraining State:
Power and Accountability in New Democracies, Boulder:
Lynne Rienner.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2000, Semua Harus Terwakili:


Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga
Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan.

Radian Salman dan M. Hadi Subhan, ―Lembaga Negara Punjang:


Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya‖, dalam Dadan
Wildan (Editor), 2010, Bunga Rampai Pemikiran Penataan
Lembaga Non Struktural, Jakarta, Penerbit Deputi Menteri
Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan.

R. Daniel Kalemen dan Eric S. Scibitt, ―Americanization of


Japanese Law‖, University Pansylvennia Journal Economic
Law, Vol. 23, 2002.

Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral


dalam Parlemen Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

298 | Hukum Kelembagaan Negara


Riri Nazriyah, 2007, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum
dan Prospek di Masa Depan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak Sentralisme Ekonomi:


Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI
dan The Ford Foundation.

R. Stapenhurst dan J. Titsworth, 2001, Features and Functions of


Supreme Audit Institutions, Washington, DC: World Bank.

Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, Panduan Sosialisasi UUD


1945, Jakarta: Setjen MPR RI.

Sofyan Lubis, dkk, 1994, 30 Tahun Golongan Karya, Jakarta,


Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya.

Roger Scruton, 1982, A Dictionary of Political Thought, London,


Macmillan.

Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung,


Penerbit Alumni.

Sri Sumantri M., 2007, Prosedur dan Sistem Perubahan


Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni.

Suri Ratnapala, et al., 2007, Australian Constitutional Law:


Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University
Press.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan; Kajian


Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Syamsuddin Haris, 1991, PPP dan Peta Politik Orde Baru,


Jakarta, Penerbit Grasindo.

Hukum Kelembagaan Negara | 299


Tan Malaka, 2000, Menuju Indonesia Merdeka, Jakarta, Penerbit
Komunitas Bambu.

Taufik Abdullah, 1987, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah


Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES.

The Inter-Parliamentary Union, 1986, Parliaments of the World (A


Comperative Reference Compendium), Vol. I, Second
Edition, New York, Penerbit Oxford.

Timothy S. George, ―Changing Pattern of Civic Engangement in


Constitutionalism in Japan‖, paper presented at the Annual
Meeting of the Association for Asian Studies, Boston, 25
Maret 2007.

Theo Huijbers, 1993, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,


Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of


Constitutional Law, Boston, Little Brown.

Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New Demoracies,


Constituional Court in Asian Case, Cambridge, Cambridge
University Press.

Umaidi Radi, 1984, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang


Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, Jakarta, Penerbit
Integrita Press.

Vernon Bogdanor, 1991, The Blackwell Encyclopedia of Political


Science, Massachusetts, T.J. Press Ltd.

300 | Hukum Kelembagaan Negara


Jurnal

Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential


Lawmaking‖, University Chicago Law Review Vol. 61,
1994.

Aharon Barak, ―Foreward: A Judge on Judging: The Role of a


Supreme Court in a Democracy‖, Harvard Law Review,
Vol.16, 2002.

Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Constitutional Frameworks and


Democratic Consolidation: Parliamentarism Versus
Presidentialism‖, Journal World Politics, No. 46, 1993.

Adam N. Steinman, ―A Constitution for Judicial Lawmaking‖,


University of Pitsburgh Law Review, Vol. 64, 2004.

Alessandro Pizzorusso, ―Constitutional Review and Legislation in


Italy‖, Journal Constitutional Review and Legislation No.
109, 1988.

Alexei Trochev, ―Less Democracy, More Courts: A Puzzle of


Judicial Review in Russia‖, Journal Law & Society Review,
Volume 38, 2004.

Allan Drazen, ―Central Bank Independence, Democracy, and


Dollarization‖, Journal of Applied Economics, Vol. 5, 2002.

Alison Marston Danner, ―Navigating Law and Politics: The


Prosecutor of the International Criminal Court and the
Independent Counsel‖, Stanford Law Review, Vol. 20,
2003.

Amy J. Weisman, ―Separation of Powers in Post-Communist


Government: A Constitutional Case Study of the Russian

Hukum Kelembagaan Negara | 301


Federation‖, American University Journal of International
Law and Policy, Vol. 10, 1995.

András Jakab, ―German Constitutional Law and Doctrine on State


of Emergency – Paradigms and Dilemmas of a Traditional
(Continental) Discourse‖, German Law Journal, Vol. 7,
2005.

Arnold I Burns & Steven J. Markman, ―Understanding Separation


of Powers‖, Pace Law Review, Vol. 7, 1987.

Arpad Kovacs, ―Financial (State) Audit and The Fights Againts


the Corruption‖, Periodica Polytechnicha Series Social
Scienece, Vol. 11, NO. 2, 2003.

A. Cukierman, S. B. Webb,dan B. Neyapti, ―Measuring the


Independence of Central Banks and its Effects on Policy
Outcomes‖, The World Bank Economic Review, Vol. 6,
1992.

Alberto Alesina ―Inflation, Unemployment, and Politics in


Industrial Democracies‖, Jurnal Economic Policy Vol. 8,
1989.

A. Posen, 1993, ―Why Central Bank independence does not cause


low inflation: There is no institutional fix for politics‖,
Jurnal Finance and the International Economy., Vol 7.,
1993.

B. Dorotinsky dan R. Floyd, ―Public Expenditure Accountability


in Africa: Progress, Lessons and Challenges,‖ dalam B.
Levy dan S. Kpundeh, eds., 2004, Building State Capacity
in Africa: New Approaches, Emerging Lessons,
Washington, DC: WBI.

302 | Hukum Kelembagaan Negara


Bensel Richard F. Bensel, ―Creating the Statutory State: the
Implications of a Rule of Law Standard in American
Politics‖, Journal American Political Science Review, No.
74, 1980.

Bernard Schwartz, ―Curiouser and Curiouser: The Supreme


Court‘s Separation of Powers Wonderland‖, Notre Dame
Law Review, Vol. 65, 1990.

Brade dan Parkin, ―Capital mobility, perspective and Central Bank


independence: Exchange rate policy since 1945‖, Policy
Sciences, Vol 34, 2001.

Bruce Ackerman, ―The Rise of World Constitutionalism‖,


Virginia Law Review, Vol. 83, 1997.

Carl Levin, ―The Independent Counsel Statute: A Matter of Public


Confidence and Constitutional Balance‖, Hofstra Law
Review, Vol. 16, 1987.

Carlos Wing-hung Lo, ―Deng Xiaoping's Ideas on Law‖, Journal


Asian Survey Vo. 7 No. 32, 1992.

Cass Sunstein, ―National Security, Liberty and the D.C. Circuit‖,


George Washington Law Reviwe, Vol. 73, 2005.

Christopher A. Ford, ―The Indigenization of Constitutionalism in


the Japanese Experience‖, Case West of Journal
International Law, Vol. 28, 1996.

Christopher S. Yoo et.al., ―The Unitary Executive During


theThird Half-Century, 1889-1945‖, Notre Dame Law
Review, Vol. 80, 2004.

Hukum Kelembagaan Negara | 303


Curtis A. Bradley dan Martin S. Flaherty, ―Executive Power
Essentialism and Foreign Affairs‖, Michigan Law Review,
Vol. 102, 2004.

David Cole, ―Judging the Next Emergency: Judicial Review and


Individual Rights in Times of Crisis‖, Michigan Law
Review, Vol. 101, 2004.

David Marrani, ―Confronting the symbolic position of the


judge in western European Legal Traditions: A
comparative Essay‖, European Journal of Legal Studies,
Vol. 3, 2010.

Dale Smith, ―Disagreeing with Waldron: Waldron on Law and


Disagreement,‖ Res Publica, Vol. 7, 2001.

David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The
Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖,
UCLA Journal of International Law, Vol. 12, 2007.

Donald P. Kommers, ―The Constitutional Jurisprudence of the


Federal Republic of Germany, Journal of Comparative
Law, Vol 3 No. 4, 1989.

D. Woodhouse, ―The Law and Politics: More Power to the Judge


– and to the People?‖, Parliamentary Affairs, Vol. 54,
2001.

De Bary, W. Theodore, ―The Constitutional Tradition in Chin‖.


Journal of Chinese Law, Vol. 1. 1995.

Donald J. Simon, ―The Constitutionality of the Special Prosecutor


Law‖, Michigan Journal of Law Reform, Vol. 16, 1982.

Edward L. Lubin,‖ Law and Legislation in Administrative State‖,


Columbia Law Review, Vol. 89, 1989.

304 | Hukum Kelembagaan Negara


Edaward P. Thompson, ―The Government of Laws and Not a
Government of Men‖, Journal. Public Law Review, Vol. 4,
1994.

Elizabeth Magill, ―Beyond Powers and Branches in Separation of


Powers Law‖, University of Pansylvania Law Review, No.
150, 2001.

Eugene Kontorovich, ―Liability Rules for Constitutional Rights:


The Case of Mass Detentions‖, Stanford Law Review, Vol.
56, 2004.

Eugenia Toma, ―Congressional Influence and the Supreme Court:


The Budget as a Signaling Device‖, Journal of Legal
Studies, Vol. 20, 1991.

Feature, ―The 1997 Polish Constitution‖, Jurnal East Europe


Constitutional Reviwe, Vol. 66, 1997.

Forest Capie, 1994, ―The Evolution of Central Banking‖, Seminar


Paper, World Bank dan Patrisia S. Pollard, ―A Look Inside
Two Central Banks: The European Central Bank and The
Federal Reserve‖, Federal Reserve Bank of St. Louis
Review, Januari-Februari.

Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, ―A Skeptical View of


Deference to the Executive in Times of Crisis‖, Isarel Law
Review, Vol. 41, 2008.

Francisco Rubio Llorente, ―Constitutional Review and Legislation


in Spain‖, Journal Constitutional Review and Legislation
No. 127, 1990.

G. O‘Donnell, ―Horizontal Accountability: The Legal


Institutionalization of Mistrust‖, dalam S. Mainwaring dan

Hukum Kelembagaan Negara | 305


C. Welna,eds, 2003, Democratic Accountability in Latin
America, Oxford: Oxford University Press.

G. Tsebelis dan E. Chang, ‗Veto Players and the Structure of


Budgets in Advanced Industrialized Countries,‘ European
Journal of Political Research, Vol. 3, 2004.

Harold J. Krent, ―Separating the Strands in Separation of Powers


Controversies‖, Virginia Law Review, Vol. 74, 1988.

Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia
Law Review, No. 58, 1988.

Jack Balkin, ―Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its


Design‖, Minnesota Law Review, Vol. 90, 2010.

Jack M. Balkin, ―Framework Originalism and the Living


Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 103,
2009.

Jeffrey A. Segal, ―Correction to ‗Separation-of-Powers Games in


the Positive Theory of Congress and Courts‖, American
Political Science Review, Vol. 92, 1998.

J. Juan Linz, ―The virtues of parlamentarism‖, Journal of


Democracy, Vol. 1 No. 4, 1990.

Joel K Goldstein, ―The Presidency and the Rule of Law: Some


Preliminary Explorations‖, Saint Louis University Law
Journal, Vol. 43, No. 791, 1999.

John E. Fahrejohn, ―Constitutional Review in the Global Contex‖,


Journal Public Policy and Legislation, No. 49, 2002.

Ju-inchi Satoh, ―Judicial Reviwe in Japan: An Overview of the


Case Law and An Examination of Trends in The Japanese

306 | Hukum Kelembagaan Negara


Supreme Court‘s Constitutional Oversight‖, Loyola of Los
Angeles Law Review, Vol. 41, 2008.

Katy J. Harriger, ―Separation of Powers and the Politics of


Independent Counsels‖, Political Science Quartly, No. 109,
1994.

Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders


and Presidential Power, New Jersey: Princeton University
Press.

Keith S. Rosenn, ―The Success of Constitutionalism in the United


States and Its Failure in Latin America‖, University of
Miami Inter-American Law Review, Vol. 22, 1990.

Larry Catá Backer, ―From Constitution to Constitutionalism: A


Global Framework for Legitimate Public Power Systems‖,
Penn State Law Review, Vol. 3, No. 113, 2009.

Larry D. Kramer, ―The Supreme Court, 2000 Term—Foreword:


We the Court‖, Harvard Law Review, Vol. 4, No. 115,
2001.

Lawrence Lessig & Sunstein, Cass R., ―The President and the
Administration‖, Columbia Law Review, Vol. 94, 1994.

Louis Fisher, ―Separation of Powers: Interpretation Outside the


Courts‖, Pensilvania Law Review, Vol. 57, 1993.

L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, ―Economic Growth and Judicial


Independence: Cross-Country Evidence using a new set of
indicators‖, European Journal of Political Economy Vol. 3,
2003.

L.P. Thean, ―Judicial Independence and Effevtivenes‖, Sourtern


California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999.

Hukum Kelembagaan Negara | 307


Luis López Guerra, ―The Application of the Spanish Model in the
Constitutional Transitions in Central and Eastern Europe‖,
Jurnal Cordozo Law Review, Vol. 19, 1998.

J. Ferejohn dan B. Weingast, ―A Positive Theory of Statutory


Interpretation‖, International Review of Law and
Economics, Vol. 12, 1992.

Jill Frank, ―Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law‖,


Journal Theoretical Inquiries in Law, Volume 8, No. 1,
January 2007.

J.R.Macey, ―Separated Powers and Positive Political Theory: The


Tug of War Over Administrative Agencies‖, Georgetown
Law Journal, Vol. 80, 1992.

Julianne Kokott, ―Indonesian National Commission on Human


Rights: Two Years of Activities‖, Human Rights Law
Journal Vol. 16, No. 10-12, 1995.

Ken I. Kersch, ―The New Legal Transnationalism, The Globalized


Judiciary and the Rule of Law‖, Washington University of
Global Studies Law Review, Vol. 4, 2005.

Kim Lane Scheppele, ―Law in a Time of Emergency: States of


Exception and the Temptations of 9/11‖, Journal of
Constitutional Law, Vol. 6, 2004.

Kun Yan (1993) ―Judicial Review and Social Change in the


Korean Democratising Process‖, American Journal of
Comparative Law , Vol. 1 No. 41, 1993.

Lee Teng-hui, ―Chinese Culture and Political Renewal‖, Journal


of Democracy, Vol. 4, 1995.

308 | Hukum Kelembagaan Negara


Martin S. Flaherty, ―The Most Dangerous Branch‖, Yale Law
Journal No. 105, 1998.

Margaret Radin, ―Reconsidering the Rule of Law‖, Boston


University Law Review, Vol. 4, 1989.

Mark Tushnet, ―The Possibilities of Comparative Constitutional


Law‖, Yale Law Journal, Vol. 108, 1999.

Mark Tushnet, ―New Forms of Judicial Review and the


Persistence of Rights and Democracy-Based Worries‖,
Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003.

Mauro Cappelletti, ―Repudiating Montesquieu? The Expansion


and Legitimacy of ‗Constitutional Justice‘ ―, Catholic
University Law Review, Vol. 35, 1985.

Michael Oakeshott, ―Executive Versus Judiciary‖, Journal Public


Law Review, No. 2, 1991.

Miguel Schor, ―Mapping Comparative Judicial Review‖,


Washington University Global Legal Studies Law Review,
Vol. 7, 2008.

M. Ramseyer, ―The Puzzling (In)dependence of Courts: A


Comparative Approach‖, Journal of Legal Studies, Vol. 2,
1994.

M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Judicial Independence in a


Civil Law Regime: The Evidence from Japan‖, Journal of
Law, Economics and Organization, Vol. 2, 1997.

M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Why the Japanese Taxpayer


Always Loses‖, Southern California Law Review, Vol. 2-3,
1999.

Hukum Kelembagaan Negara | 309


M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen ,‖ Why Are Japanese Judges So
Conservative in Politically Charged Cases?‖, American
Political Science Review, Vo. 2, 2001.

Neal Devins, ―Political Will and the Unitary Executive: What


Makes an Independent Agency Independent?‖ Cardozo Law
Review, Vol. 15, 1993.

Nicoletta Bersier Ladavac, ―Hans Kelsen (1881–1973):


Biographical Note and Bibliography‖, Europe Journal
Internasional Law, Vol. 9, 1998.

Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the
New Japanese Constitution‖, New York University Law
Review, Vol. 51, 1997.

N.S. Zeppos, ―Deference to Political Decisionmakers and the


Preferred Scope of Judicial Review‖, Northwestern
University Law Review, Vol. 88, 1993.

Paul Brest, ―The Fundamental Rights Controversy: The Essential


Contradictions of Normative Constitutional Scholarship‖,
Yale Law Journal, Vol. 90, 1991.

Peter L. Lindseth, ―The Paradox of Parliamentary Supremacy:


Delegation, Democracy, and Dictatorship in Germany and
France, 1920s-1950s‖, The Yale Law Journal, Vol. 113,
2004.

Peter L. Strauss, ―Was There A Baby In the Bathwater? A


Comment on the Supreme Court‘s Legislative Veto
Decision‖, Duke Law Journal, 1993.

Peter L. Strauss, ―The Place of Agencies in Government:


Separation of Powers and the Fourth Branch‖, Columbia
Law Review, Vol. 84, 1984.

310 | Hukum Kelembagaan Negara


R. Allen dan D. Tommasi, eds. , 2001, Managing Public
Expenditure, Paris: OECD.

Randall Peerenboom, ―Judicial Independence in China Common


Myths and Unfounded Assumptions‖, Journal International
Law Studies, Vol. 17, 2009.

R. H. Hickling dan D. A. Wishart, ―Malaysia: Dr Mahathir's


Thinking on Constitutional Issues‖, Lawasia , 1988-1989.

R. La Porta, F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer dan R. Vishny, ―The


Quality of Government‖, Journal of Law, Economics and
Organization, Vol. 15, 1999.

Richard Stewart, ―The Transformation of America Administrative


Law‖, Harvard Law Review, Vol. 88, 1975.

Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, ―Judicial Review in the


New Nations of Central and Eastern Europe: Some
Thoughts from a Comparative Perspective‖, Ohio State
University Law Journal, Vol 54 No. 559, 1993.

Robert S. Summers ―A Formal Theory of the Rule of Law‖,


Journal Ratio Juris, Vol. 2 No. 6, 1993.

Robert V. Percival, ―Presidential Management of the


Administrative State: The No-So-Unitary Executive‖, Duke
Law Journal, Vol. 5, 2001.

Rett R. Ludwikowski, ―Mixed‖ Constitutions — Product of an


East-Central European Constitutional Melting Pot‖,
Birmigham International Law Journal, Vol. 1, 1998.

Rett R. Ludwikowski, ―Latin American Hybrid Constitutionalism:


The United States Presidentialism in the Civil Law Melting

Hukum Kelembagaan Negara | 311


Pot‖, Boston University International Law Journal, Vol. 21,
2003.

Robert J. Reinstein, ―The Limit of Executive Power‖, American


University Law Review, Vol. 59, 2009.

Samuel C. Petterson dan Anthony Mogan, ―Fundamentalism of


Institusional Design: The Function and Power of
Parliamentary Second Chamber‖, Journal of Legislative
Studies, Vol. 1, 2001.

Samuel Issacharoff dan Richard H. Pilides, ―Emergency Contexts


Without Emergency Powers: The United States‘
Constitutional Approach To Rights During Wartime‖,
International Journal of Constitutional Law, Vol. 2, 2004.

Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive Power‖,


University of Illinois Law Review, No. 701, 2003.

Shigenori Matsui, ―A Coment Upon the Role of Judiciary in


Japan‖, Osaka University Law Review, Volume 17 No. 35,
1988.

Skully Ahsan & Wickramanayake, ―Determinants of Central Bank


Independence and Governance: Problems and Policy
Implications‖, JOAAG, Vol. 1, 2006.

Stephen L. Carter, ―The Independent Counsel Mess‖, Harvard


Law Review, Vol. 102, 1988.

Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New


York University Law Review, Vol.88, 1994.

Steven G. Calabresi ―Some Normative Arguments for the Unitary


Executive.‖ Arkansas Law Review, Vol. 48, 1995.

312 | Hukum Kelembagaan Negara


T. Besleydan A. Payne, ―A Revisionist View of the Separation of
Powers, Journal of Theoretical Politics, Vol. 3, 2003.

Thomas Christiano, ―Waldron on Law and Disagreement,‖ Law &


Philosophy, Vol. 19, 2000.

Thomas O. Sargentich, ―The Contemporary Debate about


Legislative-Executive Separation of Powers‖, Cornell Law
Review, Vol. 72, 1997.

Thomas P. Crocker, ―Book Review: Torture, with


Apologies:Terror in the Balance: Security, Liberty, and the
Courts. By Eric A. Posner and Adrian Vermeule‖ , Texas
Law Review, Vol. 86, 2008.

Thomas W. Merrill, ―The Constitution and the Cathedral:


Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco
Advertising‖, New York University Law Review, Vol. 93,
1999.

T.M. Moe, ―Political Institutions: The Neglected Side of the


Story‖, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol.
6, 1990.

V. Grill et.al., ―Political and monetary institutions and public


financial policies in the industrial countries‖, Journal
Economic Policy, Vol. 6,1991.

William Bernhard, ―Central Bank Strategy, Credibility, and


Independence: Theory and Evidence‖, American Journal of
Political Science , Vol. 3, 1992.

William F. Case, ―Can the Halfway House Stand? Semi


Democracy and Elite Theory in Three South East Asian
Countries‖, Journal Comparative Politics Vol. 4, No. 28,
1996.

Hukum Kelembagaan Negara | 313


William P. Barr, ―Attorney General‘s Remarks‖, Cardozo Law
Review, Vol. 15, 1993.

Publikasi Ilmiah Lain

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden


Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara: Suatu Studi Analisis terhadap Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam Pelita I-Pelita V,
Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia.

B. Speck, ―The Federal Court of Audit in Brazil‖, paper presented


at the 9th International Anti-Corruption Conference,
Durban, South Africa, 10-15 October 1999.

Carlos Santiso, ―Eyes wide shut? The Politics of Autonomous


Audit Agencies in Emerging Economies‖, CIPPEC, 2007.

Eric Magar, ―Patterns of Executive-Legislative Conflict in Latin


America and the U.S.‖, Paper presented at the First
International Graduate Student Retreat for Comparative
Research, organized by the Society for Comparative
Research and the Center for Comparative Social Analysis,
University of California, Los Angeles, May 8-9, 1999.

Frederic S. Mishkin, ―Central BankingIn A Democratic Society:


Implications for Transitions Countries‖, National Bureau of
Economic Research, Columbia University New York, 1998.

I Gede Pantja Astawa, 2004, ―Identifikasi Masalah Atas Hasil


Perubahan UUD 1945 yang Dilakukan Oleh MPR dan
Komisi Konstitusi‖, Makalah Seminar 23 September 2004
yang diselenggarakan oleh Unpad dan Persahi Bandung.

314 | Hukum Kelembagaan Negara


Jan-Egbert Sturm dan Jakob de Haan, ―Inflation in Developing
Countries: Does Central Bank Independence Matter‖,
CESifo Working Paper No. 511, Juni 2001.

Jeremy Waldron, ―Constitutionalism: A Skeptical View‖, Public


Law & Legal Theory Research Paper Series Working
Paper, No. 10-87, Desember 2010.

Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam


Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:
Disertasi UI.

Jimly Asshiddiqie, ―Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah


Perubahan Keempat UUD Tahun 1945‖, Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar, Bali, Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, 14-18 Juli 2003.

K. Hinton-Braaten, ‗New Central Banks‘, paper presented at the


conference on Constitutional Status of Central Banks in
Eastern Europe, University of Chicago Law School, April,
1994.

Larry Alexander, ―What is the Problem of Judicial Review?‖,


Legal Studies Research Paper Series Research Paper No.
07-03 September 2005.

Lybek dan Morris, 2004, ―Central Bank autonomy, accountability,


and governance: conceptual framework‖, Seminar Paper
LEG Seminar.

Michel Rosenfeld, ―Judicial Balancing in Times of Stress:


Comparing Diverse Aprroaches to the War of Terror‖,
Jacob Burns Institute for Advanced Legal Studies Working
Paper No. 119, 2005.

Hukum Kelembagaan Negara | 315


Paul Webb, ―Parliamentarism and the Presidential Analogy: A
Case Study of the UK‖, Paper presented to ECPR Workshop
on The Presidentialization of Parliamentary Democracies?,
Copenhagen, 14-19 April 2000.

Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, Paper


Presented during the International Conference and
Showcase on Judicial Reforms, held at the Shangri-la Hotel,
Makati City, Philippines on 28-30 November 2005.

S. Eijffinger dan J. de Haan, ―The Political Economy of Central-


Bank Independence‖, Special Papers in International
Economics, No. 19, Princeton University, 1996.

Sofian Effendi, ―Sistem Pemerintahan Kekeluargaan‖, Pidato Dies


Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Jogjakarta, 9
Oktober 2004.

Wojciech S. Maliszewski, ―Central Bank Independence in


Transition Economies‖, Centre for Social and Economic
Research (CASE), London School of Economics and
Political Science, September 2000.

Internet

Asian Development Bank, ―Judicial Independence Overview and


Country-level Summaries,‖ (2003), hlm. 2, dalam
www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_O
verview_Report.pdf

Eli M. Salzberger, ―Judicial Activism in Israel‖, Electronic copy


available at: http://ssrn.com/abstract=984918

316 | Hukum Kelembagaan Negara


‗The Green Light‘, entry in the blog published by Harper‘s,
available at http://harpers.org/archive/2008/04/hbc-
90002779

Jack M. Beermann, ―An Inductive Understanding of Separation of


Powers‖, dalam Electronic copy available at:
http://ssrn.com/abstract=1656452.

John M. Ackerman, An Outbreak of Opportunism: Mexico‘s


President Is Trying to Use the Swine Flu to Consolidate His
Power, SLATE, http://www.slate.com/id/2217017/

J.W. Robbins, ―Acton on the Papacy, The Trinity Foundation‖


[Online], World Wide Web, URL:
http://trinity2.envescent.com/journal.php?id=66

Marek Safjan, ―Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s


Personal Perspective‖, EUI Department of Law Working
Paper no 2000/10, available at
http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-
2008-10.pdf

Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of
Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June
2008, available at
http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.p
hp

Thomas Black, Mexico‘s Calderon Declares Emergency Amid


Swine Flu Outbreak, BLOOMBERG,
http://www.bloomberg.com/apps/
news?pid=20670001&sid=aEsNownABJ6Q

Hukum Kelembagaan Negara | 317


Kamus

Henry Campbell Black, 1991, Black‘s Law Dictionary: Definition


of the Terms and Phrases and English Jurisprudence,
Ancient, and Modern, 6th Edition, Minnesota: West Group.

Surat Kabar dan Majalah

Kompas, Selasa, 19 Juli 2011

Yenny Sucipto, ―Sadar (Anggaran) Bencana‖, Kompas, 15


November 2010.

318 | Hukum Kelembagaan Negara

Anda mungkin juga menyukai