KELEMBAGAAN
NEGARA
(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI
PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA)
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama Disusun
7 (tujuh)Oleh
tahun dan/atau denda paling
Dr. Isharyanto,
banyak Rp. 5.000.000,00 (lima S.H., M.Hum.
juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Isharyanto
HUKUM
KELEMBAGAAN
NEGARA
(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI
PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA)
Penerbit
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Isharyanto
Hukum Kelembagaan Negara . Cetakan I . Surakarta . Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2015
ix + 290 hal; 21 cm
v
di Indonesia dan diharapkan juga mampu menjadi rintisan untuk
kajian-kajian spesifik kasuistis terkait dengan isu tersebut,
misalnya kedudukan dan kewenangan Presiden, prosedur legislasi
setelah munculnya Dewan Perwakilan Daerah, dan sebagainya.
Kekhususan buku ini adalah uraian mengenai lembaga-
lembaga negara dilakukan dengan bahasa yang relatif mudah
dipahami dan dalam hal-hal tertentu, tidak hanya menyajikan
kerangka normatif belaka, akan tetapi juga hisotoriografi dan
perbandingan di negara lain. Pembaca dengan demikian didorong
untuk senantiasa berfikir kritis dan obyektif apabila kemudian
melanjutkan aktivitas intelektual untuk mengkaji kasus-kasus yang
relevan.
Meskipun telah dilakukan persiapan dan pemeriksaan
naskah secara cermat, akan tetapi penulis menyadari bahwa ada
kekurangan-kekurangan dalam uraian buku ini. Oleh sebab itu,
kritik dan saran-saran yang obyektif akan senantiasa diharapkan
untuk penyempurnaan. Semoga buku ini dapat memenuhi
fungsinya.
vi
Persembahan
vii
DAFTAR ISI
viii
2. Presidentialization ................................... 89
3. Cakupan Kekuasaan: Unitary Executive .. 91
4. Lembaga Kepresidenan Menurut UUD
1945 .......................................................... 97
ix
B. Independensi Bank Sentral ............................ 258
1. Independensi Tujuan (Goal
Independence) .......................................... 262
2. Independensi Instrumen (Instrument
Independence) .......................................... 267
3. Independensi Personal (Personal
Independence) .......................................... 268
C. Kelembagaan Bank Indonesia ....................... 272
1. Nasionalisasi ke Sirkulasi-Komersial....... 272
2. Struktur dan Tugas Bank Indonesia ......... 276
3. Personal Independence ............................. 282
D. Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara ..... 285
x
BAB I
KONSEPTUALISASI
LEMBAGA NEGARA
1
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.
2
Ibid., hlm. 38.
3
Dalam Ibid., hlm. 32.
5
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 31.
6
Ibid., hlm. 106-118.
7
James Bryce, 1995, The American Commonwealth (1888),
Indianapolis, Liberty Fund, hlm. 43.
8
Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional
Law, Boston, Little Brown, hlm. 22.
9
Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary
and Cases, Melbourne, Oxford University Press, hlm. 4.
10
Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and
Society, Oxford, Oxford University Press, hlm. 140.
11
Jill Frank, ―Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law‖,
Jurnal Theoretical Inquiries in Law, Volume 8, No. 1, January 2007, hlm. 39.
12
Larry Catá Backer, ―From Constitution to Constitutionalism: A Global
Framework for Legitimate Public Power Systems‖, Penn State Law Review, Vol.
3 No. 113, 2009, hlm. 103.
13
Dalam sebuah studinya, Krammer menyebutkan bahwa istilah
Konstitusi merupakan suatu pengertian yang ambigu, karena mencakup istilah-
istilah seperti ―existing laws and practices that . constituted the government‖,
―ordinary law‖, ―fundamental law in the sense of old and valued customs‖,
fundamental law in the sense of a body of immutable principles beyond the reach
of any institution of government‖. Lihat: Larry D. Kramer, ―The Supreme Court,
2000 Term—Foreword: We the Court‖, Harvard Law Review, Vol. 4, No. 115,
2001.
14
Jill Frank, loc.cit.
15
Ibid.
16
Adam N. Steinman, ―A Constitution for Judicial Lawmaking‖,
University of Pitsburgh Law Review, Vol. 64, 2004, hlm. 550.
17
Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the New
Japanese Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 51, 1997,
hlm.733 dan 735-737.
18
Paul Brest, ―The Fundamental Rights Controversy: The Essential
Contradictions of Normative Constitutional Scholarship‖, Yale Law Journal,
Vol. 90, 1991, hlm. 1063.
19
Thomas W. Merrill, ―The Constitution and the Cathedral: Prohibiting,
Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising‖, New York
University Law Review, Vol. 93, 1999, hlm. 1143. Baca juga komentar serupa
dalam Eugene Kontorovich, ―Liability Rules for Constitutional Rights: The Case
of Mass Detentions‖, Stanford Law Review, Vol. 56, 2004, hlm.755.
20
Roger Scruton, 1982, A Dictionary of Political Thought, London,
Macmillan, hlm. 94.
21
Jeremy Waldron, ―Constitutionalism: A Skeptical View‖, Public Law
& Legal Theory Research Paper Series Working Paper, No. 10-87, Desember
2010, hlm. 5.
22
Aharon Barak, ―Foreward: A Judge on Judging: The Role of a
Supreme Court in a Democracy‖, Harvard Law Review, Vol.16, 2002, hlm. 62.
23
de Smith and Brazier., 1989, Constitional and Administrative Law, 6th
ed, London, Penguin Books, hlm.19.
24
Ibid.
25
J.W. Robbins, ―Acton on the Papacy, The Trinity Foundation‖
[Online], World Wide Web, URL: http://trinity2.envescent.com/
journal.php?id=66 (diakses tanggal 10 Maret 2011).
26
C.F. Strong, 1966, Modern Polical Constitution an Intruoduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, London, Sidgwick &
Jackson Ltd, hlm. 27.
27
Ibid, hlm. 35-36.
28
Dalam Fatmawati, op.cit, hlm. 12.
31
Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 362.
32
Bernard Schwartz, ―Curiouser and Curiouser: The Supreme Court‘s
Separation of Powers Wonderland‖, Notre Dame Law Review, Vol. 65, 1990,
hlm. 587. Lihat juga Geoffrey P. Miller, From Compromise to Confrontation:
Separation of Powers in the Reagan Era, George Washington Law Review, 1989,
Vol. 57, hlm. 401 dan 404.
33
Jeffrey A. Segal, ―Correction to ‗Separation-of-Powers Games in the
Positive Theory of Congress and Courts‖, American Political Science Review,
Vol. 92, 1998, hlm. 923.
34
Brucke Ackerman, ―The New Separation of Power‖, Harvard Law
Review, No. 3 Vol. 113, 2000, hlm. 644.
35
Ibid.
36
Peter L. Strauss, ―Was There A Baby In the Bathwater? A Comment
on the Supreme Court‘s Legislative Veto Decision‖, Duke Law Journal, 1993,
hlm. 789, bahwa distinguishing the legislative veto in the context of executive-
congressional relations from that used in the regulatory context, and arguing
that only the latter use prompts constitutional concerns. Lihat juga: Alison
Marston Danner, ―Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the
International Criminal Court and the Independent Counsel‖, Stanford Law
Review, Vol. 20, 2003, hlm. 1633 dan 1638.
37
Louis Fisher, ―Separation of Powers: Interpretation Outside the
Courts‖, Pensilvania Law Review, Vol. 57, 1993, hlm. 57-62.
38
Lihat antara lain dalam: Stephen L. Carter, ―The Independent Counsel
Mess‖, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988, hlm. 105; Katy J. Harriger,
―Separation of Powers and the Politics of Independent Counsels‖, Political
Science Quartly, No. 109, 1994, hlm. 261; dan Donald J. Simon, ―The
Constitutionality of the Special Prosecutor Law‖, Michigan Journal of Law
Reform, Vol. 16, 1982, hlm. 45; dan Carl Levin, ―The Independent Counsel
Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance‖, Hofstra Law
Review, Vol. 16, 1987, hlm. 11.
42
Menurut Christopher A. Ford, ―American influence reached its zenith
in post-war Japan — with General MacArthur‘s legal staff presenting a draft
constitution to the Japanese within a ridiculously short space of time. In
particular, they did not require Japan to embrace an American-style presidency
as part of the price of its defeat.‖ Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Christopher
A. Ford, ―The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience‖,
Case West of Journal International Law, Vol. 28, 1996.
43
Hanya saja format parlementarisme di Jepang tidak mendudukkan
parlemen sebagai organ dengan kedaulatan kuat seperti halnya di Kerajaan
Inggris. Pelaksanaan fungsi parlemen Jepang didukung oleh konstitusi tertulis
yang memuat pemisahan kekuasaan, hak asasi manusia, dan Mahkamah Agung.
Parlemen Jepang kuat dalam menentukan kabinet, akan tetapi kekuatan ini tidak
seimbang dengan kewenangan Majelis Tinggi. Lihat uraian ini dalam Brucke
Ackerman, ―The New Separation of Power‖, op.cit., hlm. 635.
44
Ibid., hlm. 633.
45
Ibid.
46
Lihat uraian lengkap dalam Rett R. Ludwikowski, ―Mixed‖
Constitutions — Product of an East-Central European Constitutional Melting
Pot‖, Birmigham International Law Journal, Vol. 1, 1998.
47
Spain‘s successful adaptation of the German constitutional model in its
own transition from Francoism gave German solutions substantial influence in
later transitions. For a description of how the Spanish example reinforced
preexisting Eastern European inclinations toward German ideas. Lihat dalam
Luis López Guerra, ―The Application of the Spanish Model in the Constitutional
Transitions in Central and Eastern Europe‖, Jurnal Cordozo Law Review, Vol. 19,
1998, hlm. 1937.
48
Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 637.
49
Ibid.
50
During the early 1990s in Eastern Europe, Poland was the scene of an
especially interesting contest between proponents of rival models. In 1991, the
Solidarity-controlled Senate presented a presidentialist draft for a new
constitution modeled on the French system, while the Sejm (the lower house),
then still controlled by the Communists, advocated a parliamentary model based
on the German system. The confrontation between the Senate and the Sejm
inaugurated a complex institutional and ideological struggle, resulting in a 1992
―small constitution‖ and a 1997 permanent constitution that were closer to the
French model initially advanced by the Senate. Lihat Feature, ―The 1997 Polish
Constitution‖, Jurnal East Europe Constitutional Reviwe, Vol. 66, 1997, hlm. 64.
51
Amy J. Weisman, ―Separation of Powers in Post-Communist
Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation‖, American
University Journal of International Law and Policy, Vol. 10, 1995, hlm.1365.
52
Rett R. Ludwikowski, ―Latin American Hybrid Constitutionalism: The
United States Presidentialism in the Civil Law Melting Pot‖, Boston University
International Law Journal, Vol. 21, 2003, hlm. 51.
53
Ibid.
54
Keith S. Rosenn, ―The Success of Constitutionalism in the United
States and Its Failure in Latin America‖, University of Miami Inter-American
Law Review, Vol. 22, 1990, hlm. 33.
55
Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.
56
Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 639.
57
Ibid.
58
Martin A. Rogoff, ―The French (R)evolution of 1958–1998‖,
Columbia Journal of Europe, Vol. 3, hlm. 453 dan 458.
C. Rule of Law
Sebagaimana lazimnya suatu pengertian, konsep rule of law
senantiasa berkembang dan mengelami penafsiran ulang dari
waktu ke waktu. 63 Kata ini merujuk kepada pengertian suatu
doktrin, bahkan dapat dikatakan suatu ideologi, mengenai
bagaimanakah penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan,
dan dianggap sinonim dengan konsep demokrasi konstitusional,
dan kadang-kadang diberikan pengertian sebagai ―pemerintahan
yang demokratis.‖64 Berbagai sinonimitas itu dalam teori banyak
diuraikan melalui penjelasan yang singkat dan mengupayakan
ketegasan hubungannya dengan rule of law serta berbagai
hubungannya dengan lembaga-lembaga hukum yang lain.
Sekalipun konsep ini pada awalnya adalah gagasan yang
61
Martin S. Flaherty, ―The Most Dangerous Branch‖, Yale Law Journal
No. 105, 1998, hlm. 1725.
62
Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential
Lawmaking‖, University Chicago Law Review Vol. 61, 1994, hlm. 123 dan 125-
126. Periksa juga komentar senada dari pandangan penulis-penulis berikut:
William B. Gwyn, ―The Indeterminacy of Separation of Powers‖, George
Washington Law Review, 1999, 474-475; Harold J. Krent, ―Separating the
Strands in Separation of Powers Controversies‖, Virginia Law Review, Vol. 74,
1988, hlm. 1253-1255; dan Thomas O. Sargentich, ―The Contemporary Debate
about Legislative-Executive Separation of Powers‖, Cornell Law Review, Vol.
72, 1997, hlm. 430 dan 433.
63
Carlos Wing-hung Lo, ―Deng Xiaoping's Ideas on Law‖, Journal Asian
Survey Vo. 7 No. 32, 1992, hlm. 649.
64
Keith Mason, ―The Rule of Law‖. In P. D. Finn (ed.), 1995, Essays on
Law and Government, vol. I: 114-43, Sydney: LBC, hlm. 12.
65
Lihat misalnya dalam analisis: De Bary, W. Theodore, ―The
Constitutional Tradition in Chin‖. Journal of Chinese Law, Vol. 1. 1995, hlm. 7-
34.
66
Lihat argumen selengkapnya dalam Bensel Richard F. Bensel,
―Creating the Statutory State: the Implications of a Rule of Law Standard in
American Politics‖, Journal American Political Science Review, No. 74, 1980,
hlm. 734-744.
67
Michael Oakeshott, ―Executive Versus Judiciary‖, Journal Public Law
Review, No. 2, 1991, hlm. 179-193.
68
Ibid., hlm. 193.
69
Robert S. Summers ―A Formal Theory of the Rule of Law‖, Journal
Ratio Juris, Vol. 2 No. 6, 1993, hlm. 135.
70
Baca dalam: Margarets Allars, 1990, Introduction to Australian
Administrative Law, Sydney: Butterworths, hlm. 15; John Finnis, 1980, Natural
Law and Natural Rights, Oxford, Clarendon Press, hlm. 270-271; John Rawls,
1971, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, hlm. 235-243.
71
Bandingkan: Geoffrey de Q Walker, 1988, The Rule of Law:
Foundation of a Constitutional Democracy. Carlton, Melbourne: Melbourne
University Press.
72
Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia Law
Review, No. 58, 1988, hlm. 145-146.
73
Margaret Radin, ―Reconsidering the Rule of Law‖, Boston University
Law Review, Vol. 4, 1989, hlm. 176.
74
Jayasuria, ―The Rule of Law and Democracy in Hong Kong –
Comparative Analysis of British Liberalism and Chinese Socialism‖, E-Law-
Murdoch University Electronic Journal of Law, 1994.
75
Mixin Rei, 1992, hlm. 101.; Von Savenger, 1985, hlm. 200.
76
Ronald Bruce St.John, ―Development, Reform, and Regionalism in
Southeast Asia‖, Yale Human Right and Development Journal, Vol. 10, No.1,
hlm. 196.
77
William C. Whitford, ―The Rule of Law‖, Wisconsin Law Review, No.
55, 2000, hlm. 723.
78
William F. Case, ―Can the Halfway House Stand? Semi Democracy
and Elite Theory in Three South East Asian Countries‖, Journal Comparative
Politics Vol. 4, 1996, hlm. 437-464.
83
Jones, op.cit., 204; Roberto Unger , 1976, Law in Modern Society:
Towards a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.: 52-57, 66-76, 166-
181, 192-216, dan 238-242.
84
Edaward P. Thompson, ―The Government of Laws and Not a
Government of Men‖, Journal. Public Law Review, Vol. 4, 1994, hlm: 158-174.
85
Jenner, op.cit., hlm. 144.
A. Pembahasan Umum
Dalam pelaksanaan kekuasaan negara terdapat cabang
kekuasaan yang menjalankan fungsi legislatif. Secara
kelembagaan, fungsi ini dijalankan oleh lembaga perwakilan
rakyat yang dikenal sebagai parlemen. 86 Kata parlemen berasal
dari Bahasa Latin parliamentum, atau Bahasa Prancis parler yang
berarti ―berbicara‖, dan dapat diartikan suatu tempat atau badan di
mana para wakil rakyat berbicara satu sama lain untuk hal-hal
yang penting bagi rakyat.87
Parlemen dalam sistem demokrasi modern merupakan wakil
rakyat yang pada umumnya bertugas membuat undang-undang
dan mengawasi jalannya pemerintahan, dan fungsi-fungsi lain
yang berbeda-beda di setiap negara. 88 Istilah parlemen
86
Muchammad Ali Safa‘at, 2010, Parlemen Bikameral: Studi
Perbandngan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Inggris, Austria, dan
Indonesia, Malang, Penerbit UB Press, hlm. 24.
87
Ibid.
88
Ibid.
89
Bambang Cipto, 1995, DPR dalam Era Pemerintahan Modern-
Industrial, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 2.
90
Fatmawati, op.cit., hlm. 18-20.
91
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2000, Semua Harus Terwakili:
Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia,
Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, hlm. 39-40.
92
Giovanni Facchini dan Cecilia Testa, 2008, A Theory of Bicameralism,
Department of Economics,University of Illinois at Urbana Champaign, hlm. 2.
93
Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam
Parlemen Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 11. Lihat juga, Jimly
Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah...., op.cit., hlm. 31.
94
Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 33.
95
Ibid., hlm. 36.
96
Misalnya studi yang dilakukan oleh The Inter-Parliamentary Union,
1986, Parliaments of the World (A Comperative Reference Compendium), Vol. I,
Second Edition, New York, Penerbit Oxford, misalnya, menunjuk adanya 55
negara menganut sistem unikameral dari 86 negara yang dikaji.
97
Ibid, hlm. 36.
2. Sistem Bikameral
Sistem bikameral menunjukkan adanya struktur parlemen
yang memiliki 2 (dua) kamar atau lebih, dalm dalam praktiknya,
walaupun sbeuah parlemen terdiri dari lebih 2 (dua) kamar,
kewenangan untuk membentuk undang-undang hanya berada pada
salah satu atau kedua kamar, atau jika seluruh kamar memiliki
kewenangan membentuk undang-undang, maka terdapat
perbedaan kategori undang-undang. 100 Pelembagaan sistem
bikameral tidak terlepas dari perluasan cakupan gagasan
98
Ibid.
99
Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral (Studi
Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), Jogjakarta, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 9-10.
100
Sebagai contoh dikemukakan bahwa berdasarkan Constitution of
South Africa Act 110 of 1983, ketiga kamar dalam parlemen memiliki
kewenangan untuk membentuk undang-undang menurut kateori apakah undang-
undang ditetapkan untuk 3 (tiga) golongan penduduk berdasarkan warna kulit
(kulit putih, berwarna, dan India), karena tiap kamar mewakili golongan tersebut.
105
Ibid., hlm. 34.
106
Mac Iver, 1984, Negara Modern (Terjemahan), Jakarta, Penerbit Bina
Aksara, hlm. 180-181.
107
Aidul Fitriciada Azhari,., op.cit hlm. 96-97.
108
Ibid., hlm. 97.
109
Bambang Cipta, op.cit., hlm.
110
Krannenburg, 1981, Ilmu Negara Umum, jakarta, Pradnya Paramita,
hlm. 127-132.
111
Henry Campbell Black, 1991, Black‘s Law Dictionary: Definition of
the Terms and Phrases and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, 6th
Edition, Minnesota: West Group, hlm. 111.
112
Vernon Bogdanor, 1991, The Blackwell Encyclopedia of Political
Science, Massachusetts, T.J. Press Ltd., hlm. 555.
113
Kata ―rendah‖ dan ―tinggi‖ tidak menunjukkan relatifitas kekuasaan,
karena kadang-kadang Dewan Perwakilan Rakyat yang dinisbatkan sebagai
Majelis Rendah mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Senat sebagai Majelis Tinggi, atau kadang-kadang keduanya mempunyai
kekusaan formal yang nyaris sederajat satu sama lain dalam isu tertentu.
114
Penjelasan UUD 1945 merupakan isu yang kontroversial karena oleh
the founding fathers tidak pernah ditetapkan dalam proses awal kelahiran
konstitusi kita. Ia dibuat sebagai pendapat pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian
dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun I No. I/1946. Bukan hanya
bagaimana kekuatan hukum penjelasan tersebut yang tidak lazim dalam praktik
pembuatan konstitusi, tetapi juga karena Penjelasan dianggap membuat norma
tersendiri dibandingkan ketentuan dalam UUD 1945. Penjelasan UUD 1945
dianggap bagian tak terpisahkan dari UUD 1945 setelalah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yang kemudian terus menerus dikukuhkan oleh Orde Baru sebagai materi
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), suatu praktik
indoktrinasi untuk menyeragamkan ―tafsir‖ Pancasila sesuai dengan keinginan
penguasa. Setelah Perubahan UUD 1945, Penjelasan dihapus dan hal-hal yang
mengandung norma hukum dirumuskan sebagai bagian ketentuan Pasal-Pasal
dalam konstitusi.
115
Lihat juga Ismail Sunny, 1986, Mekanisme Demokrasi Pancasila,
Jakarta, Penerbit Bina Aksara.
116
Riri Nazriyah, 2007, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan
Prospek di Masa Depan, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 37-38.
117
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Penerbit UII
Press, hlm. 23-24.
118
Artinya, secara hukum kedaulatan rakyat tidak melulu disalurkan
melalui Majelis, akan tetapi dapat disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan
hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan
informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat, serta hak asasi
lainnya yang dijamin dalam undang-undang dasar. Lihat dalam Jimly
Asshiddiqie, ―Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945‖, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar, Bali, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
14-18 Juli 2003, hlm. 2.
119
Lihat dalam Padmo Wahyono, 1982, Negara Republik Indonesia,
Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 117-118.
120
Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan
121
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis
terhadap Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Pelita I-Pelita
V, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm.
122
Sri Sumantri M., 2007, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 138.
123
Lihat Bagir Manan, Politik dan Teori Konstitusi, op.cit., hlm. 51.
124
Tan Malaka, 2000, Menuju Indonesia Merdeka, Jakarta, Penerbit
Komunitas Bambu, hlm. 57 dan Bagir Manan, Politik..., op.cit., hlm. 54.
Perkembangan di Prancis juga menunjukkan bahwa setelah tahun 1959, Majelis
Nasional berkembang menjadi dewan perwakilan yang berciri bikameral. Riri
Nazriyah, op.cit., hlm. 56.
125
Memang praktik di Orde Baru, yang cikal bakalnya dimulai pada
tahun 1960 ketika dibentuk oleh Presiden Soekarno Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara, menunjukkan hanya Presiden yang diberi cap sebagai
mandataris. Tetapi, setelah Pemilu 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menggelar Sidang Tahunan sejak tahun 2000, di samping sidang umum dan
129
Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XI/MPRS/1966, seharusnya pemilihan umum dilaksanakan pada tahun 1968.
Akan tetapi, karena kuatnya pergumulan antaar Pemerintah dengan partai-partai
dalam membicarakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dan
komposisi Dewan Perwakilan Rakyat, maka undang-undang tersebut tidak dapat
diselesaikan tepat waktu sehingga pemilihan umum ditunda sampai Juli 1971.
Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Press, hlm. 214 dan 241-244.
131
Lihat Makrum Kholil, op.cit., hlm. 116.
132
Lihat dalam A.M. Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun
Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta,
Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 51-54 dan Aisyah Amini, 2004, Pasang
Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Jakarta, Penerbit Yayasan Pancur Siwah dan
PP Wanita Islam, hlm. 213, 225-227 dan 256-257.
133
Bahasan mengenai partai ini, misalnya Syamsuddin Haris, 1991, PPP
dan Peta Politik Orde Baru, Jakarta, Penerbit Grasindo dan Umaidi Radi, 1984,
Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat
Nasional, Jakarta, Penerbit Integrita Press. Keterkaitan eksistensi partai ini
dengan isu negara dan Islam (politik) dapat dibaca antara lain: Masykuri
Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1986-1993), Jogjakarta, Penerbit Tiara
Wacana; Taufik Abdullah, 1987, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah
Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES; Bachtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Paramdina; M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Politik Islam,
Jogjakarta, Tiara Wacana; dan Deliar Noer, 2000, Partai Islam di Pentas
Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965,
Bandung, Penerbit Mizan.
134
Soal PDI periksa misalnya Adriana Elizabeth, dkk, 1983, PDI dan
Prospek Pembangunan Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali.
135
Yaitu 62,11 % (1977), 64,34%(1982), 73,16% (1987), 68,10% (1992),
dan 74,51% (1997). Cukup banyak literatur dan referensi yang membahas
peranan Golongan Karya dalam masa Orde Baru, seperti: Imam Pratignjo, 1984,
Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan Karya Perjuangan Menegakkan Kembali
Negara Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, Penerbit Jajasan Bhakti; Sofyan Lubis,
dkk, 1994, 30 Tahun Golongan Karya, Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat
Golongan Karya; M. Irsyad Sudiro, 1998, Partai Golkar Menatap Masa Depan,
Jakarta, Penerbit Yappindo; Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik Islam:
Golkar di Era Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama; dan Akbar
Tanjung, 2007, Golkar Way: Survival Partai Gokar di Tengah Turbelensi Era
Transisi, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
136
Menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, satuan pemerintahan di daerah (bukan ―pemerintah daerah‖ karena
ketentuan undang-undang menitikberatkan asas dekonsentrasi), meliputi Propinsi
Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Jadi ada otonomi
bertingkat.
137
Ibid., hlm. 248-249.
138
Presiden Soeharto sendiri secara pribadi tidak pernah menjelaskan
alasan-alasan pasti pengunduran dirinya tersebut. Naiknya Habibie sebagai
Presiden, sekalipun secara normatif dianggap konstitusional merujuk kepada
Pasal 8 UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
VII/MPR/1973 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
III/MPR/1978, memancing perdebatan legitimasi karena sebagian kalangan,
termasuk akademisi hukum seperti Dimyati Hartono, menganggapnya tidak sah.
Setelah penegasan Ismail Sunny, guru besar hukum tata negara Universitas
Indonesia dan ahli hukum senior, maka perdebatan tersebut menjadi reda.
Presiden Habibie tidak pernah dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam suatu persidangan, karena ia mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan
Mahkamah Agung di Istana Negara, karena situasi darurat di mana gedung
parlemen saat itu diduduki oleh aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa.
139
Setelah Pemilihan Umum 1992, putra putri Presiden Soeharto, yaitu
Siti Hardiyanti Indra Rukmana, Bambang Trihatmodjo, dan Hutomo Mandala
Putra aktif di Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, yang kemudian
menhantarkan mereka menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
berlanjut pada pasca pemilihan umum tahun 1997. Di samping itu banyak putra
dan putri pejabat negara yang menjadi anggota parlemen seperti Uga Wiranto da
Amalia Wiranto (isteri dan putri Jenderal Wiranto, yang kemudian menjadi
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sebagainya. Setelah
reformasi, banyak diantara mereka yang kemudian mengundurkan diri.
140
Pada 1 April 1999, Presiden Habibie memutuskan kepolisian
dipisahkan dari militer, dan nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
diubah kembali (sejak 1959) menjadi Tentara Nasional Indonesia. Untuk
sementara waktu, kepolisian di bawah Departemen Pertahanan dan Kemamanan,
dan mulai 2000, langsung di bawah Presiden dengan dipimpin oleh seorang
kepala kepolisian.
141
Salah satu pembaruan kelembagaan pemilihan umum adalah
penyelenggara pemilihan umum dari yang semula Lembaga Pemilihan Umum
(yang didominasi oleh birokrat Departemen Dalam Negeri dan Kejaksaan
Agung), menjadi Komisi Pemilihan Umum yang mencakup perwakilan 48
anggota dari unsur partai politik yang lolos mengikuti pemilihan umum dan 5
orang wakil pemerintah (Andi Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Adi
Andojo Sutjipto, Djohermansyah Djohan, dan Anas Urbaningrum). Untuk
pertama kali, Komisi yang independen ini dipimpin oleh Rudini, purnawirawan
militer yang populis dan pernah menjadi Menteri Dalam Negeri (1988-1993),
yang mana merupakan wakil dari Partai Musyawarah Keluarga Gotong Royong
(sempalan induk organisasi Golongan Karya) pimpinan H.R. Mien Sugandhi,
143
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004, Naskah Akademik Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta,
hlm. 54-55.
144
Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 8.
145
Sofian Effendi, ―Sistem Pemerintahan Kekeluargaan‖, Pidato Dies
Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Jogjakarta, 9 Oktober 2004, hlm. 6.
146
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm.
274.
147
Bagir Manan, op.cit., hlm. 5 dan hlm. 61.
148
Bandingkan juga Fatmawati, op.cit., hlm. 276.
149
Valina Singka Subekti, ―Keterwakilan dan Tipe Parlemen‖, makalah
Seminar Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), Komisi Hukum Nasional, Jakarta,
25-26 Agustus 2008, hlm. 5.
150
Baca soal ini dalam Samuel C. Petterson dan Anthony Mogan,
―Fundamentalism of Institusional Design: The Function and Power of
Parliamentary Second Chamber‖, Journal of Legislative Studies, Vol. 1, 2001,
hlm. 45. Bandingkan juga dengan Interpaliamentary Union, op.cit., hlm. 898.
151
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.
152
Frank J. Goodnow, hlm. 22, 33, dan 46.
153
Dalam praktik, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak ―melantik‖,
akan tetapi menyaksikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam
mengucapkan sumpah jabatan menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.
154
Fatmawati, op.cit., hlm. 293.
155
Lihat Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.
156
Fatmawati, op.cit., hlm. 232-233.
A. Sistem Pemerintahan
Secara teoritis, sistem pemerintahan menunjuk kepada cara
kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama lain.157
Dalam pandangan Moh. Mahfud M.D. sistem pemerintahan
diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja antara
lewmbaga-lembaga negara. 158 Meskipun dalam cakupan lebih
sempit, Sri Soemantri menegaskan bahwa ditinjau dari hukum tata
negara sistem pemerintahan menggambarkan hubungan antara
legislatif dengan lembaga eksekutif 159 Pendapat Sri Soemantri
mirip dengan I Gede Pantja Astawa yang mengatakan bahwa
sistem pemerintahan merupakan hubungan kekuasaan, wewenang,
157
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 199.
158
Moh. Mahfud M.D., 1993, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Penerbit LP3ES, hlm. 83.
159
Sri Soemanteri, 1976, Implementasi Demokrasi Pancasila, Bandung,
Penerbit Alumni, hlm. 37.
160
I Gede Pantja Astawa, 2004, ―Identifikasi Masalah Atas Hasil
Perubahan UUD 1945 yang Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi‖,
Makalah Seminar 23 September 2004 yang diselenggarakan oleh Unpad dan
Persahi Bandung.
161
Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 83.
162
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis
dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 35.
163
Ibid.
164
Ibid.
165
Rafael Mart‘nez Martinez, Semi Presidential: A Comparative
Studies‖, ECPR Joint Sessions Mannheim, 26-31 March 1999 Workshop no 13,
hlm. 5.
166
Ibid.
167
Ibid., hlm. 7-8.
168
Dikatakan oleh J.S. Mills (1861), bahwa, ―The meaning of
representative government is that the whole people, or some numerous portion of
B. Presidensialisme
Presidensialisme dalam studi Joseph Linz, tergantung
kepada bagaimana kapasitas cabang kekuasaan ini dikelola.
Dikatakan bahwa, ―This reasoning leads to the conclusion that
presidentialism is inferior to parliamentarianism, independently of
whether the President is strong or weak. Should he be strong, the
172
Ibid.
173
Peter L. Lindseth, op.cit., hlm. 1345.
174
J. Juan Linz, ―The virtues of parlamentarism‖, Journal of Democracy,
Vol. 1 No. 4, 1990, hlm. 87.
175
Eric Magar, ―Patterns of Executive-Legislative Conflict in Latin
America and the U.S.‖, Paper presented at the First International Graduate
Student Retreat for Comparative Research, organized by the Society for
Comparative Research and the Center for Comparative Social Analysis,
University of California, Los Angeles, May 8-9, 1999, hlm. 4.
176
Lihat: Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Constitutional Frameworks
and Democratic Consolidation: Parliamentarism Versus Presidentialism‖,
Journal World Politics, No. 46, 1993, hlm. 17-18.
177
Ibid.
178
Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic
Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-
Communist Europe, Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 181. Baca juga: Juan J.
Linz, 1994, ―Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a
Difference?‖, Dalam J.J. Linz dan Arturo Venezuela (eds.), The Failure of
Presidential Democracy: The Case of Latin America. Baltimore: Johns Hopkins,
hlm. 64.
179
Huang, The-fu, ―Party Systems in Taiwan and South Korea‖, dalam
Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu, and Hung-mao Tien (eds.),
1997, Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives.
Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 138.
180
Lihat analisis lengkap dalam Scott Mainwaring, 1990,
―Presidentialism in Latin America‖, Jurnal Latin American Research Review ,
No. 25, Vol. 1, hlm. 157-179.
181
Mark P Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential
Democracies. Notre Dame: Notre Dame University Press, hlm. 38.
182
Maurice Duverger mengatakan dengan adanya ciri ini maka Presiden
(Prancis) memiliki super legitimasi, karena ―has greater prestige since he is
directly elected by the people and due to the symbolical role of the head of the
State as personification of the nation.‖
183
Kelembagaan ini adalah Presiden dan Perdana Menteri yang sama-
sama menjalankan kekuasaan eksekutif. Tetapi kedua lembaga ini tersentral
kepada Presiden karena pada saat yang sama merupakan the head of state.
Dengan posisi ini, maka Presiden tidak terfokus kepada kepada kegiatan teknis
pemerintahan sehari-hari karena hakekatnya ini merupakan ranah Perdana
Menteri. Hal ini memungkinkan tercipta kondisi, ―Everything that goes badly is
the prime minister's fault; everything that goes well is thanks to the President.‖
Baca: Rose, op.cit., hlm. 20.
184
Dengan ciri ini, maka ―President He has the powers and functions of a
head of State in the parliamentary system, but at the same time he also has
executive powers.‖ Selanjutnya, ―These extra powers lie in the sphere of
executive power, are not shared with the cabinet and vary from one political
system to another. However, they generally include the following: the power to
appoint the prime Minister and to chair the cabinet, the power to convene
extraordinary sittings of Parliament, the power to dissolve Parliament, the power
to initiate legislation, control of foreign policy, special powers at times of crisis,
the power to refer laws to the Constitutional Court in cases of possible
unconstitutionality, commandership-in-chief of the Armed Forces, the power to
2. Presidentialization
Secara resmi suatu negara menjalankan sistem
pemerintahan Parlementer, akan tetapi di dalam praktik mengarah
187
Paul Webb, ―Parliamentarism and the Presidential Analogy: A Case
Study of the UK‖, Paper presented to ECPR Workshop on The
Presidentialization of Parliamentary Democracies?, Copenhagen, 14-19 April
2000, hlm. 5.
188
Ibid., hlm. 6.
189
Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖? The President in
Administrative Law, George Washington Law Review, Vol. 75, 2007, hlm. 696.
Baca juga komentar serupa dalam Robert V. Percival, ―Presidential Management
of the Administrative State: The No-So-Unitary Executive‖, Duke Law Journal,
Vol. 5, 2001, hlm. 963.
190
Peter L. Staruss, op.cit., hlm. 697.
191
Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖?, op.cit., hlm. 599-601.
Baca juga: Cass R. Sunstein, Constitutionalism After the New Deal, Harvard
Law Review, Vol. 101, No. 421, 1997, hlm. 432-433.
192
Christopher S. Yoo et.al., ―The Unitary Executive During theThird
Half-Century, 1889-1945‖, Notre Dame Law Review, Vol. 80, 2004, hlm. 3.
Lihat juga analisis konstitusional yang menghasilkan konklusi serupa dalam:
Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New York University
Law Review, Vol.88, 1994, hlm. 1377; Steven G. Calabresi & Saikrishna B.
Prakash, ―The President‘s Power to Execute the Laws‖, Vol. 104, Yale Law
Journal, 1994, hlm. 541; Steven G. Calabresi & Kevin H. Rhodes, ―The
Structural Constitution: Unitary Executive, Plural Judiciary‖, Harvard Law
Review, Vol. 105, 1992, hlm. 1153; Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The
President and the Administration‖, op.cit., hlm. 47–55 dan 119; dan A. Michael
Froomkin, ―The Imperial Presidency‘s New Vestment‖s, New York University
Law Review, Vol. 88, 1994, hlm. 1346.
Pasal II Konstitusi sering dikenal sebagai The ―Oath‖ Clause, yang
menyatakan bahwa Presiden ―will faithfully execute the Office of the President
and will preserve, protect, and defend the Constitution of the United States.‖
Menurut Steven B. Clarabesi, ―…it is a duty of the President to preserve, protect
and defend his office, which is, or course, a creation of the Constitution itself.
The President takes an oath to uphold that Constitution and the public judges
him, and ought to judge him, by his vigilance in fulfilling that oath.‖ Lihat dalam
Steven B. Clarabesi, ―Advice to the Next Conservative President of the United
States‖, Harvard Journal of Law and Public Policy, Vol. 24, No. 369, Spring,
2001, hlm. 375.
193
Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, op.cit., hlm. 603-605.
194
Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive Power‖,
University of Illinois Law Review, No. 701, 2003, hlm. 753-789 dan hlm. 808-
812. Lihat juga pendapat Steven Calabresi, yang mengatakan bahwa ―the
Federalist Papers advanced three arguments in favor of a unitary executive—
energy, accountability, and separation of powers.‖ Lihat dalam Steven Calabresi
―Some Normative Arguments for the Unitary Executive.‖ Arkansas Law Review,
Vol. 48, 1995.
195
Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential
Lawmaking‖, op.cit, hlm. 138–153.
196
Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The President and the
Administration‖, op.cit., hlm. 93-106.
197
Ibid., hlm. 84.
198
Joel K Goldstein, ―The Presidency and the Rule of Law: Some
Preliminary Explorations‖, Saint Louis University Law Journal, Vol. 43, No.
791, 1999, hlm. 809.
199
Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders and
Presidential Power, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 38.
200
Note ―Executive Discretion and the Congressional Defense of
Statutes‖, Yale Law Journal, Vol. 92, No.970, May,1993, hlm. 973.
201
Ibid., hlm. 973-974.
202
William P. Barr, ―Attorney General‘s Remarks‖, Cardozo Law
Review, Vol. 15, 1993, hlm. 33-34.
203
Neal Devins, ―Political Will and the Unitary Executive: What Makes
an Independent Agency Independent?‖ Cardozo Law Review, Vol. 15, 1993, hlm.
281.
OLC didirikan pada tahun 1953 untuk melakukan perlindungan
konstitusional terhadap Presiden. Dalam perkembangannya, badan ini membawa
pengaruh yang penting bukan saja sebagai konsultan legal Presiden dan badan-
badan pemerintahan, tetapi juga menjadi penafsir konstitusi itu sendiri. Lembaga
ini, berperan dalam pertumbuhan dan pengembangan peran Presiden dalam
memberikan signing stateman, suatu pernyataan sikap Presiden bahwa Undang-
Undang yang telah ditandatanganinya, sesungguhnya mempunyai persoalan
konstitusional yang menegaskan afiliasi sikap politiknya terhadap produk hukum
tersebut.
204
William P. Barr, op.cit., hlm. 38.
205
Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, 2008, The Unitary
Executive: Presidential Power from Washington to Bush, Yale University Press,
hlm. 14.
206
Ibid., hlm. 28.
207
Peter Strauss, Overseer of the Decider, op.cit., hlm. 696.
208
Richard J. Pierce, Jr., ―Saving the Unitary Executive Theory From
Who Would Distort and Abuse It: A Review of the Unitary Executive By Steven
G. Calabresi and Chirstopher Yoo‖, University of Pennsylvania Journal of
Constitutional Law, 2009, hlm. 6.
214
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, Panduan Sosialisasi UUD 1945,
Jakarta: Setjen MPR RI, hlm. 22-23.
215
Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum
Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, hlm. 3.
216
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan
Pembongkaran, Bandung: Mizan Pustaka, hlm. 152-154.
217
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi.
218
Firdaus, op.cit., hlm. 5.
219
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 274.
224
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan,
Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 126-129
225
Op.cit., hlm. 45.
226
Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 131.
227
Ibid.
228
Md. Hossein Mollah, ―Separation of Judiciary and Judicial
Independence in Bangladesh‖, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7 No. 48,
Spring 2006, hlm. 445.
229
Ibid.
230
Ibid., hlm. 447.
231
Ibid.
232
Ibid.
233
L.P. Thean, ―Judicial Independence and Effevtivenes‖, Sourtern
California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999, hlm. 535.
234
Asian Development Bank, ―Judicial Independence Overview and
Country-level Summaries,‖ (2003), hlm. 2, dalam
www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_Overview_Report.pdf.,
diakses 27 Maret 2011.
235
Randall Peerenboom, ―Judicial Independence in China Common
Myths and Unfounded Assumptions‖, Journal International Law Studies, Vol.
17, 2009, hlm. 71.
236
Ibid.
237
In common law, only experienced practitioners may become judges.
It has a system of training based primarily on scholarly knowledge, with
universities as the main providers for future judges‘ education. Lihat: D.
Woodhouse, ―The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the
People?‖, Parliamentary Affairs, Vol. 54, 2001, hlm. 223–237.
238
In civil law tradition, judges are trained in special schools after
a recruitment conducted amongst university graduates. But the training is
strictly separated between the legal actors who will be on the side of the parties,
defending or not, and the legal actor who will be on the side of thestate – the
judge. Furthermore, the judge is effectively a civil servant: they are there to serve
the state, and ultimately the social structure, in accordance with their curia
regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to
that found in common law. The only connection between the different actors of
the legal team in the case of civil law is that of education. But the way the career
of judges is organised (shaped by the civil service structure, itself conditioned by
the weight of the authority and symbolism of ―public power‖) creates a flow
through the system, between ―lower-level (young) judges‖ and ―higher-
level (older) judges‖. Lihat dalam David Marrani, ―Confronting the symbolic
position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative
Essay‖, European Journal of Legal Studies, Vol. 3, 2010, hlm. 60.
243
M. Ramseyer, ―The Puzzling (In)dependence of Courts: A
Comparative Approach‖, Journal of Legal Studies, Vol. 2, 1994, hlm. 721-747.
244
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Judicial Independence in a Civil
Law Regime: The Evidence from Japan‖, Journal of Law, Economics and
Organization, Vol. 2, 1997, hlm. 259-286.
245
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Why the Japanese Taxpayer
Always Loses‖, Southern California Law Review, Vol. 2-3, 72, 1999, hlm. 571-
595.
246
M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen ,‖ Why Are Japanese Judges So
Conservative in Politically Charged Cases?‖, American Political Science Review,
Vo. 2, 2001, hlm. 331-344.
247
Op.cit., hlm. 1550.
248
Ibid.
249
Eli M. Salzberger, ―Judicial Activism in Israel‖, Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=984918, hlm. 22.
250
Dengan komposisi itu, maka ―despite political input of the two
Knesset members (traditionally one from the opposition) and two ministers,
there is a majority of 5 to 4 of non-politicians and it gives the three Supreme
Court judges an advantage as the largest group in the committee.‖ Ibid., hlm. 23.
251
Ibid., hlm. 26.
252
Ibid., hlm. 27.
253
Pasal 98 ayat (1) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
254
Pasal 98 ayat (3)-ayat (5) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
255
Pasal 98 ayat (8) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
256
Hal ini dapat dibaca antara lain dalam Pasal 95 Konstitusi yang
mengatakan bahwa hakim agung ditetapkan oleh Presiden menurut pertimbangan
Perdana Menteri. Pasal 23 mengatur bahwa penyelenggaraan wewenang
eksekutif adalah Presiden menurut aturan yang ditetapkan dalam konstitusi atau
oleh Kabinet atau menteri-menteri sebagai bagian dari Kabinet. Komposisi
pengaturan rekrutmen yang segera kental dengan aroma peran eksekutif ini oleh
L.P. Thean bahwa judicial independence from the executive does not lie solely in
the provisions of the Constitution, but also in the complex mix political,
economic, and other forces acting on the executive.‖ Lihat L.P. Thean, op,cit.,
hlm. 558.
257
Bernard schwartz, 1993, A History of Supreme Court, New York,
Oxford University Press, hlm. 3-13.
258
Ibid, hlm. 32-34.
259
Ibid. Sandra Day O‘Connor sebelumnya merupakan Ketua Parlemen
Negara Bagian Arizona. Dalam sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat dapat
ditelisik, bahwa periode 1861-1895 dari 22 nominasi calon Hakim Agung,
sebanyak 13,6% berlatar belakang non profesi hukum dan 45,5% berasal dari
profesi hukum. Pada periode 1896-1932, dari 19 nominasi, sebanyak 26,3%
berlatar belakang non profesi hukum dan 42,1% dari profesi hukum. Sebaliknya,
pada kurun 1933-1968 komposisinya terbalik, di mana dari 21 nominasi, 61,9%
berasal dari kalangan nonprofesi hukum, sedangkan 28,6% berasal dari kalangan
profesi hukum. Situasi berubah dalam periode 1969-2005, di mana dari 13
nominasi, sebenyak 7,7% dari kalangan nonprofesi hukum dan dari profesi
hukum meningkat menjadi 84,6%. Lihat dalam Lawrence Baum, op.cit., hlm.67.
Sampai tahun 1997, dari 9 (sembilan) orang hakim agung, sebanyak 5
(lima) orang hakim berasal dari kalangan nonprofesi hukum dan sisanya dari
profesi hukum. Profilnya karir sebelum menjadi hakim agung adalah William
Rehnqusit (Asisten Jaksa Agung Federal, 1969-1971); Steven (Komisi Hukum
Dewan Perwakilan Rakyat, 1951); Sandra Day O‘Connor (Ketua Parlemen
Negara Bagian Arizona, 1969-1975); Anthony Scalia (Asisten Jaksa Agung
Federal, 1974-1977); Anthony Kenendy (lobbyist, 1963-1974); Souter (Asisten
Jaksa Agung Negara Bagian New Hempshire, 1968-1978); Thomas (Direktur
Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja, 1982-1990), dan Breyer (Komisi Hukum
Senat, 1974-1980). Lihat: Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices
Justice Make, Washington D.C., CQ Press, hlm. 37.
260
Ibid., hlm. 37.
261
Ibid.
262
Ibid., hlm. 38.
263
Dalam masa jabatannya, Jimmy Carter tidak memperoleh kesempatan
melakukan rekrutmen hakim agung karena dalam masa itu tidak ada hakim agung
yang diganti. Sebelumnya, Presiden Gerald Ford, yang menggantikan Presiden
Richard Nixon untuk masa kepresidennannya yang kedua, menominasikan John
Paul Steven yang mulai bertugas 19 Desember 1975. Lihat dalam
www.a257.g.akamaitech.net/7/257/2422/14mar20010800/www.supremecourtus.
gov/about/members.pdf, diakses 12 Maret 2011.
264
Lwrence Baum, op.cit., hlm. 83.
265
Kasus ini disorot, sebab Wakil Presiden Cheney, yang pada waktu itu
menjadi Satuan Tugas Eenergi sedang berperkara melawan Pemerintah District
Court, di mana Scalia menjadi Hakim Agung yang menanganinya. Lihat ibid.,
hlm. 82-83.
266
Lee Epstein dan Jack Knight, op.cit., hlm. 37.
267
John E. Ferejohn, op.cit., hlm. 57.
268
Ibid.
269
Ibid.
270
Ibid., hlm. 58.
271
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 6.
272
Ibid., hlm. 9.
273
Alberto M. Binder, dalam Peter Dazo dan Juan Enrique Vagas,
―Judicial Reform in Latin America: An Assesment‖, Policy Papers on the
Americas Volume XVII, Study 2, September 2006, CSIS, hlm. 3.
274
Peter Hakim and Abraham Lowenthal, "Latin America's Fragile
Democracies," Journal of Democracy, Summer 1991, hlm. 22.
275
William Ratliff dan Edgardo Buscaglia,‖Judicial Reform: The
Negleted Priority in Latin America‖, Annals of the American Academy of
Political and Social Science, Vol. 550, Maret 1997, hlm. 64.
276
Pasal 115 Konstitusi Bangladesh.
277
Md. Awal Hossain Mollah, op.cit., hlm. 458.
278
Wojciech Sadurski, ―Twenty Years After the Transition:
Constitutional Review in Central and Eastern Europe‖, diakses dari Electronic
copy available at: http://ssrn.com/abstract=1437843, hlm. 4-5.
279
Ibid., hlm. 5.
280
Ibid.
281
Ibid.
282
Marek Safjan, ―Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s Personal
Perspective‖, EUI Department of Law Working Paper no 2000/10, available at
http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-2008-10.pdf, at 17-18.
283
Ibid.
284
Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 38.
285
Sebanyak 15 konstitusi yang diberlakukan dalam rentang 1932-1991,
selalu mencantumkan mengenai Constitutional Tribunal yang mampu untuk
melakukan pengujian konstitusional terhadap produk legislatif dan keputusan
pemerintah. Pada keberlakuan Konstitusi 1997, dicantumkan adanya Mahkamah
Konstitusi yang independen. Ketika terjadi kudeta milite rmelawan Perdana
Menteri Thaksin Shinawarta (19 September 2006), Konstitusi 1997 dicabut dan
digantikan oleh Konstitusi Sementara 2006 yang mempertahankan keberadaan
Mahkamah Konstitusi. Kemudian dengan Konstitusi 2007, kembali diatur
mengenai Mahkamah Konstitusi yang independen, bahkan dengan kewenangan
yang meluas untuk menangani persoalan Constitutional Complaint dan
memungkinkan keterlibatan Senat dalam rekrutmen hakim konstitusi.
286
Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.
287
Namun, mengingat Presiden adalah Ketua Partai yang menguasai
mayoritas parlemen, maka kontrol demikian menjadi tidak efektif. Aurel
Croissant, ibid.
288
Menurut J.R.Klein, ―the rule that nominees must receive the votes
of three-fourth of the committee enabled the four government
representatives on the committee to effectively veto those candidates of
whom the government disapproved.‖ Lihat dalam J.R. Klein (2003) „The
Battle for Rule of Law in Thailand. The Constitutional Court of Thailand‟, dalam
www.cdi.anu.edu.au/CDIwebsite_19982004/thailand/thailand_download/Thaiup
adate_Klien_ConCourt%20April, 2003, diakses 12 Maret 2011.
289
Pasal 204-206 Konstitusi 2007 Thailand.
290
Konstitusi Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3), dan (4).
291
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
292
Lihat selengkapnya: T. Besleydan A. Payne, ―A Revisionist View of
the Separation of Powers, Journal of Theoretical Politics, Vol. 3, 2003, hlm. 345-
368.
293
Baca selengkapnya pada: R. La Porta, F. Lopez-de-Silanes, A.
Shleifer dan R. Vishny, ―The Quality of Government‖, Journal of Law,
Economics and Organization, Vol. 15, 1999, hlm. 222-279.
294
Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, Paper
Presented during the International Conference and Showcase on Judicial Reforms
held at the Shangri-la Hotel, Makati City, Philippines on 28-30 November 2005,
hlm. 3.
295
Ibid.
296
Ibid., hlm. 4.
297
J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law
Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.
298
Jeremy Waldron, ―A Rights-Based Critique of Constitutional rights,‖
Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, 1993, hlm. 18.
299
Larry Alexander, ―What is the Problem of Judicial Review?‖, Legal
Studies Research Paper Series Research Paper No. 07-03 September 2005, hlm.
1.
300
Ibid.
301
Ibid.
302
Dale Smith, ―Disagreeing with Waldron: Waldron on Law and
Disagreement,‖ Res Publica, Vol. 7, 2001, hlm. 57.
303
Thomas Christiano, ―Waldron on Law and Disagreement,‖ Law &
Philosophy, Vol. 19, 2000, hlm. 513.
304
Mark Tushnet, ―The Possibilities of Comparative Constitutional Law‖,
Yale Law Journal, Vol. 108, 1999, hlm. 1225.
305
Mark Tushnet, ―New Forms of Judicial Review and the Persistence of
Rights and Democracy-Based Worries‖, Wake Forest Law Review, Vol. 38,
2003, hlm. 813-815.
306
Ken I. Kersch, ―The New Legal Transnationalism, The Globalized
Judiciary and the Rule of Law‖, Washington University of Global Studies Law
Review, Vol. 4, 2005, hlm. 345 dan 351–353. Lihat juga argumen yang
mengatakan bahwa pengadilan menjalankan peran yang heroik dalam masa
transisi untuk menegakkan keadilan konstitusional dalam Mauro Cappelletti,
―Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of ‗Constitutional
Justice‘ ―, Catholic University Law Review, Vol. 35, 1985, hlm.191.
Demikian juga argumen yang mengatakan ―The nations of continental
Europe drew on their domestic experience of tyranny and oppression unchecked
by law to conclude that constitutions need judicial machinery to be made
effective.‖ Baca: Lorraine E. Weinrib, ―The Postwar Paradigm and American
Exceptionalism‖, The Migration of Constitutional Ideas, Vol. 84, hlm. 98.
307
Ibid.
313
Ibid., hlm. 273.
314
Samuel Issacharoff and Richard H. Pilides, ―Emergency Contexts
Without Emergency Powers: The United States‘ Constitutional Approach To
Rights During Wartime‖, International Journal of Constitutional Law, Vol. 2,
2004, hlm. 296.
315
Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, ―A Skeptical View of
Deference to the Executive in Times of Crisis‖, Isarel Law Review, Vol. 41,
2008, hlm. 544.
316
Thomas P. Crocker, ―Book Review: Torture, with Apologies:Terror in
the Balance: Security, Liberty, and the Courts. By Eric A. Posner and Adrian
Vermeule‖ , Texas Law Review, Vol. 86, 2008, hlm. 569.
317
Cass Sunstein, ―National Security, Liberty and the D.C. Circuit‖,
George Washington Law Reviwe, Vol. 73, 2005, hlm. 693.
318
Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, loc.cit.
319
David Cole, ―Judging the Next Emergency: Judicial Review and
Individual Rights in Times of Crisis‖, Michigan Law Review, Vol. 101, 2004.
320
Ibid., hlm. 2566.
321
Michel Rosenfeld, ―Judicial Balancing in Times of Stress: Comparing
Diverse Aprroaches to the War of Terror‖, Jacob Burns Institute for Advanced
Legal Studies Working Paper No. 119, 2005, hlm. 14.
322
Bruce Ackerman, ―The Emergency Constitution‖, Yale Law Journal,
Vol. 113, 2004, hlm.1029 dan 1040.
323
Ibid.
324
Michel Rosenfeld, op.cit., hlm. 15.
325
Ibid.
326
Ibid., hlm. 16.
327
Robert J. Reinstein, ―The Limit of Executive Power‖, American
University Law Review, Vol. 59, 2009, hlm. 287.
328
Curtis A. Bradley dan Martin S. Flaherty, ―Executive Power
Essentialism and Foreign Affairs‖, Michigan Law Review, Vol. 102, 2004, hlm.
545.
329
David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The
Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖, UCLA Journal of
International Law, Vol. 12, 2007, hlm. 75.
330
Lihat dalam Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive
Power‖, op.cit., hlm. 717–718.
331
Steven G. Calabresi, ―The President, the Supreme Court, and the
Founding Fathers: A Reply to Professor Ackerman‖, Chicago Law Review, Vol.
73, hlm. 469.
332
Jack Goldsmith & John F. Manning, ―The President‘s Completion
Power‖, Yale Law Journal, Vol.115, 2006, hlm. 2282.
333
Ibid., hlm. 2293-2295.
334
Miguel Schor, ―Constitutionalism Through the Looking Glass of Latin
America‖, Texas International Law Journal, Vol.41, 2006, hlm.6. Sehubungan
dengan hal ini menarik pendapat yang disampaikan oleh J.M. Balkin, ―The term
―dictatorship,‖ after all, began as a special constitutional office of the Roman
Republic, granting a single person extraordinary emergency powers for a limited
period of time. Lihat selengkapnya dalam J.M. Balkin, ―Nested Oppositions‖,
Yale Law Journal, Vol. 99, 1990, hlm. 1669.
335
Jack Balkin, ―Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design‖,
Minnesota Law Review, Vol. 90, 2010, hlm. 1791.
336
[S]tudied the responses of France, Great Britain, Germany, the
United States, and ancient Rome to emergencies, real and perceived, including
those generated by the Great Depression and World War II. Lihat Ibid., hlm.
1798.
337
Ibid., hlm. 1805.
338
Ibid., hlm. 1811.
Di Jerman misalnya, ―Most of the more than 250 presidential
suspensions of rights under the notorious Article 48 of the Weimar Constitution
concerned economic matters; government officials repeatedly turned to the
mechanisms of emergency power as Germany struggled to respond to the
economic and social difficulties created by its defeat in World War I, the
Versailles treaty, and a society bitterly divided between left and right,
Communists and Nazis.‖ Lihat: András Jakab, ―German Constitutional Law and
Doctrine on State of Emergency – Paradigms and Dilemmas of a Traditional
(Continental) Discourse‖, German Law Journal, Vol. 7, 2005, hlm. 455-457.
Contoh lain, Presiden Meksiko, Felipe Calderón, yang ―placed the entire
country under a state of emergency because of the potential swine flu pandemic.‖
Lihat: Thomas Black, Mexico‘s Calderon Declares Emergency Amid Swine Flu
Outbreak, BLOOMBERG, http://www.bloomberg.com/apps/
news?pid=20670001&sid=aEsNownABJ6Q, diakses 26 April 2011.
Kemudian, menurut Ackerman notes that Latin America has a ―long
history of using states of emergency as ploys to return to authoritarian-ism.‖
Lihat: John M. Ackerman, An Outbreak of Opportunism: Mexico‘s President Is
Trying to Use the Swine Flu to Consolidate His Power, SLATE,
http://www.slate.com/id/2217017/, diakses 26 April 2011.
339
Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of
Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June 2008, available at
http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.php, diakses 26 April
2011.
340
‗The Green Light‘, entry in the blog published by Harper‘s, available
at http://harpers.org/archive/2008/04/hbc-90002779, 26 April 2011.
341
Hampir semua konstitusi sebelum abad ke-21 tidak mencantumkan
ketentuan mengenai state of emergency. Konstitusi Amerika Serikat, misalnya,
sejak dibentuk tidak mengatur mengenai hal tersebut hingga terjadi Perubahan
Ketiga, yang menegaskan bahwa dalam situasi perang, Presiden tidak dapat
bertindak unilateral dengan meninggalkan Konggres, tetapi pengadilan dapat
menunda berlakunya ketentuan hukum acara pidana. Lihat: Kim Lane Scheppele,
343
Ibid.
344
Ibid., hlm. 6.
345
Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain
(1975).
346
Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).
347
Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India
(1978).
348
Putusan Mahkamah Agung India (1973).
349
Putusan Mahkamah Agung India (1967).
350
Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India
(1978).
351
Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.
Putusan Mahkamah Agung India (1991).
352
Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung
India (1979).
353
M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan
Mahkamah Agung India (1996).
354
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.
355
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.
356
Ibid.
357
Diskursus tentang Negara Hukum mulai berkembang saat mencuatnya
pemikiran mengenai teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke-17
hingga abad ke-18. Pemikiran Negara Hukum terbagi ke dalam 2 (dua) kutub
yaitu rechsstaat dan rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara
Eropa Kontinental, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan rule of law dikembangkan di negara-negara
Ango Saxon yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Pada dasarnya kedua
kutub pemikiran itu memiliki satu maksud yang serupa, ayitu adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penghormatan atas martabat
manusia (the dignity of man). Uraian soal ini, baca antara lain: Wahyudi Djafar,
―Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas
Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia‖, Jurnal Konstitusi, Vol. 7,
No. 5, Oktober 2010, hlm. 152-160. Baca juga Moh. Mahfud M.D., 1993,
Demokrasi dan Konstitusi, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm.
358
Cakupan pengertian Negara Hukum sangat tergantung format
pemahaman yang dibangun. Tamanaha misalnya, menawarkan 2 (dua) kategori
Negara Hukum (rule of law) yang masing-masing memiliki 3 (tiga) cabang atau
format yang berbeda-beda. Dengan pengkategorian ini, bentuk-bentuk Negara
Hukum dalam dipilah ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu rule of law, formal legallity,
democracy and legallity, individual rights, rights of dignity, dan social welfare.
Pemahasan lebih lanjut mengenai hal ini, periksa: Brian Z. Tamanaha, 2004, On
The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University
Press, hlm. 91-103.
359
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang
Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif,
Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hlm. 55.
360
Ibid.
361
Gagasan konstitusionalisme berawal dari perkataan Yunani kuno
politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio. Lihat Jimly Asshiddiqie,
2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm.
5.
362
Ibid., hlm. 24-25.
363
Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma,
Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila, hlm. 68.
364
Ibid., hlm. 64.
365
Ibid., hlm. 69.
366
Juan Linz dan Alfred Stephen, ―Defining and Crafting Democratic
Transition, Constitution, and Consolidation‖, dalam R. William Liddle (Editor),
2001, Crafting Indonesian Democracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm.
30. Bandingkan juga dengan tulisan menarik Yonky Karman, yang antara lain
mengatakan, ―Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukum Allah, juga bukan
hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas
pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat.
Pemerintah harus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan
jujur kepada masyarakat.‖ Lihat Yonky Karman, ―Krisis Konstitusionalitas‖,
Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.
367
Pengawasan oleh badan yudisial ini, dalam pemikiran Andrews
Heywood, menjadi salah satu jantung konstitusionalisme yang menyangkut ciri
―the form of institution and procedures‖ atau kesepakatan tentang bentuk institusi
dan prosedur ketatanegaraan. Lihat Andrews Heywood, 2002, Politics, New
York, Palgrave, hlm. 297.
368
Ibid. Faktor kebudayaan inilah yang menyebabkan gagasan Negara
Hukum sering dikritik terutama dikaitkan dengan kondisi negara berkembang.
Secara dogmatis, Negara Hukum (rule of law) dimaksudkan untuk menjadi
sebuah alat dan kekuatan untuk mencapai negara kesejahteraan, namun dalam
penerapannya rule of law, terutama yang dikembangkan Barat dan Bank Dunia,
372
Lebih lanjut soal ini, baca: Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal
Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard
University Press.
Konon pula, bukan kejujuran yang berlaku dalam politik, melainkan
arcanum (rahasia). Atas dasar itu, hukum sekaligus institusi yang membuatnya
harus dilihat sebagai realitas. Bahwa hukum itu realitas dan realitas adalah
hukum. Itu adalah factum. Itulah yang tampak. Tetapi jangan percaya kepada
yang tampak. Ada sesuatu yang melampaui yang tampak, yaitu krisis yang selalu
membayangi tatanan dan karenanya membuatnya ada. Krisis adalah induk yang
melahirkan tatanan, dan karenanya lebih penting dari segala aturan. Baca: F. Budi
Hardiman, 2007, Filsafat Fragmentaris, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 149-
151. Lihat juga: Lexy Armanjaya, ―Mencurigai Hukum‖, Kompas, 10 Juli 2008,
hlm. 6.
373
Teori Hart menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada
penggunaan unsur paksaan, sementara teori Ion Fuller menekankan pada isi
kompositif. Sedangkan John Austin, seorang positivis utama, menekankan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Ilmu
hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom. Lihat dalam
Khudifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Muhammadiyah
University Press, hlm. 60-67. Baca juga soal ―kecurigaan terhadap netralitas
hukum‖ dalam Lexy Armanjaya, ―Kekuasaan di Balik Demokrasi‖, Sinar
Harapan, 29 Januari 2007, hlm. 6.
374
Kejahatan (crimineel-onrecht) adalah perbuatan yang bertentangan
atau membahayakan suatu kepentingan hukum. Lihat dalam Bambang Purnomo,
1992, Asas-asas Hukum Pidana, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 16.
375
Fadjar Laksono, ―Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan
Kejahatan terhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia‖,
Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No. 2, November 2008, hlm. 84.
376
Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a
Contextual Analysis, Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.
377
Nicholas Quinn Rosenkran, ―Subject To Constitution‖, Vo. 62, Issue
5, May 2010, hlm. 1229.
378
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York,
Russel & Russel, hlm. 123-124.
379
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan:
Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius.
380
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Norwey‖, Summary
of Ph.D Thesis, Helsenski, 2002, hlm. 2.
381
Ibid.
382
Ibid., hlm. 4.
383
Pengujian konstitusional (constitutional review) juga dipahami
sebagai ―the power of judicial bodies to set aside ordinary legislative or
administrative acts if judges conclude that they conflict with the constitution‖
Lihat: Aurel Croissant, ―Provisions, Practices and Performances of Constitutional
Review in Democratizing East Asia‖, Paper to be presented at the IPSA-ECPR
Joint Conference: Whatever Happened to North-South?, Sao Paulo, February
19th, 2011, hlm. 1.
384
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional,
Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 3.
385
Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri.
Profesor hukum tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia
merupakan yang paling senior di Indonesia, dengan fasih menggunakan istilah
―hak uji materiil‖ sebagai terjemahan konsep ―materiele toetsingsrecht‖ yang ia
bedakan dari istilah ―hak uji formal‖ sebagai terjemahan ―formele toetsingsrecht.
Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkas
bahwa ―hak uji materiil‖ menyangkut penilaian mengenai isi peraturan
perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya. Sedangkan ―hak uji formil‖ berkenaan dengan tata cara
pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan secara
keseluruhan, masalah ―hak uji materiil‖ dibahas tetapi kadang-kadang bercampur
dengan konsepsi ―hak uji formil‖ seperti yang tercermin dalam definisi ―hak
menguji materiil.‖ Di samping itu, ketika menjelaskan ―hak menguji materiil‖ di
negara lain, istilah ―hak uji materiil‖ atau ―hak menguji material‖ itu disejajarkan
begitu saja dengan istilah ―judicial review.‖ Bahkan ketika menguraikan kosnepsi
yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah ―hak
menguji material di Prancis.‖ Lihat: Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di
Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 6, 11, dan 32-70.
386
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 57.
387
Ibid., hlm. 59-60.
388
Hans Kelsen, ―Judicial Review of Legislation: A Comparative Study
of the Austrian and the American Constitution‖, Journal of Politic Vol. 4 No.
183, hlm. 185–186.
389
Donald P. Kommers, ―The Constitutional Jurisprudence of the Federal
Republic of Germany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.
390
Alessandro Pizzorusso, ―Constitutional Review and Legislation in
Italy‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 109, 1988, hlm. 111-
114.
391
Francisco Rubio Llorente, ―Constitutional Review and Legislation in
Spain‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 127, 1990, hlm. 127-
131.
392
Rett R. Ludwikowski, ―FundamentalConstitutional Rights in the New
Constitutions of Eastern and Central Europe‖, Cordozo Journal of International
and Comparative Law, Vol. 3 No. 73, 1995.
393
Robert F. Utter & David C. Lundsgaard, ―Judicial Review in the New
Nations of Central and Eastern Europe: Some Thoughts from a Comparative
Perspective‖, Ohio State University Law Journal, Vol 54, 1993, hlm. 585.
394
Alexei Trochev, ―Less Democracy, More Courts: A Puzzle of Judicial
Review in Russia‖, Journal Law & Society Review, Volume 38, 2004, hlm. 514.
395
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 5.
396
Lawrence Baum, 2006, Judges and Their Audiences: A Perspective on
Judicial Behavior, New Jersey, Princenton University Press, hlm. 40.
397
Susunan Pengadilan di tingkat federal meliputi Mahkamah Konstitusi
Federal, Pengadilan Umum dalam Lingkungan Pidana, Perdata, dan Tata Usaha
Negara yang berpuncak di Mahkamah Agung, dan Pengadilan Niaga.
398
Alexei Trochev, op.cit., hlm. 519.
399
Ibid., hlm. 521.
400
Ibid.
401
Ibid.
402
Ibid., hlm. 528.
403
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,
hlm. 51.
404
Kelsen recognized the need for an institution with power to control or
regulate legislation. In the case of post-World War I Austria, the concern was
mostly for maintaining federal arrangements, that is, regulating the relationship
between the national and provincial governments. He recognized, too, that
constitutional control essentiall involves legislative activity. He recognized, in
other words, that constitutional adjudication involves legislating as well as
judging. The processes by which constitutional adjudicators make or declare
general rules are different from those employed in ordinary legislatures, and the
considerations and arguments taken into account are different, but constitutional
adjudicators are still legislating. Lihat John E. Fahrejohn, op.cit., hlm. 52-53.
405
Peran Hans Kelsen dan perjalanan karier selanjutnya, lihat misalnya
Nicoletta Bersier Ladavac, ―Hans Kelsen (1881–1973): Biographical Note and
Bibliography‖, Europe Journal Internasional Law, Vol. 9, 1998, hlm. 391-392.
406
Stephen Gardbaum, op.cit., hlm.748.
407
Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.
408
John Bell, 1992, French Constitutional Law, hlm. 19-20.
409
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.
410
Pasal 61 Konstitusi 1958 mengatakan, ―...ordinary law may be refered
to the Constitutional Council, before their promulgation, by the President of the
Republic, the Prime Minister, the Presiden of the National Assembly, the
President of the Senate, or 60 deputies or 60 senators. In this case, the
Constitutional Council must decide within 1 mont. At the demand of the
Government, after a declaration of urgency, this time limit is reduced to 8 days.
A referral of any law to the Constitutional Council suspend its promulgation.
Pasal 62 mengatakan, ―A provision declared unconstitutional may not be
primulgation nor may it enter into force. The decision of the Constitutional
Council may not be appealed.‖
411
Pasal 5 Konstitusi 1958 mengatakan bahwa ―the President of the
Republic shall ensure the respect of the Constitution.‖
412
Military courts are competent to investigate crimes committed by
members of the Army, Gendarmerie, police, security forces and the Islamic
Revolution Guards Corps, in connection with military or security duties.
Lihat Pasal 172 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.
413
A Court of Administrative Justice that has the power to
investigate complaints, grievances and objections with respect to government
officials, organs, and statutes. Lihat Pasal 173 Konstitusi Iran 1979 yang diubah
tahun 1989.
414
Pasal 161 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.
415
Dewan ini yang meliputi 6 (enam) ahli fikih yang diangkat oleh
Pemimpin Tertinggi Iran dan 6 (enam) orang ahli hukum yang dipilih oleh
parlemen menurut usul Ketua Mahkamah Agung. Lihat Pasal 91 Konstitusi Iran
1979 yang diubah tahun 1989.
416
Pasal 72 dan Pasal 94 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.
417
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,
hlm. 60.
418
Kelembagaan dikenal sebagai Judicial Juan atau Councul of Grand
Justice, yang menurut Pasal 78 Konstitusi Taiwan 1947 mempunyai wewenang
untuk intepret the Constitution and shall the power to unify intepretation laws
and ordinance. Jadi, obyek penafsiran Judicial Juan meliputi undang-undang dan
executive act. Dalam perkembangannya, pelaksanaan wewenang juga diarahkan
rule of law applied.‖ Lihat dalam Hilaire Barnett, 2004, Constitutional and
Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, hlm. 88.
Hanya saja, dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Inggris,
memang dapat ditemukan juga sistem pengujian konstitusional (constitutional
review) tetapi sifatnya hanya preventif untuk pencegahan dan dilakukan oleh
House of Lords. Lihat misalnya dalam tulisan Catherine Fairbairn and Sally
Broadbridge, ―The Constitutional Reform Bill (HL): a Supreme Court for the
United Kingdom and Judicial Appoipment‖, Reseach Paper, 13 Januari 2005.
422
Op.cit., hlm. 5.
423
Prinsip demikian juga dianut oleh UUD 1945 sebelum diamendemen.
Untuk menilai, menguji, dan mengubah ketentuan undang-undang, yang harus
berperan adalah lembaag yang membentuknya sendiri, yaitu Presiden bersama
DPR. Setelah era reformasi (sebelum Perubahan Ketiga), kewenangan menguji
konstitusionalitas undang-undang diberikan kepada MPR menurut Ketetatapan
MPR RI No. III/MPR/2000, yang secara aktif menilai dan menguji undang-
undang.
424
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 7.
425
Ibid.
426
Ibid.
427
Ibid., hlm. 8.
428
Stephen Gardbaum, ―The New Commonwealth Model of
Constitutionalism‖, Journal of Comparative Law, Vol. 49 No. 707, 2001, hlm.
759–760.
429
John E. Fahrejohn, ―Constitutional Review in the Global Contex‖,
Journal Public Policy and Legislation, No. 49, 2002, hlm. 51.
430
Ketentuan ini kontradiktif dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD
1045 yang secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
431
Sebenarnya semenjak tahun 1889, pada masa Kaisar Meiji, Jepang
sudah memiliki konstitusi yang dikenal sebagai ―Konstitusi Meiji‖ dan diganti
dengan Konstitusi 1946 di bawah kontrol ketat Sekutu setelah Jepang menyerah
dalam Perang Dunia II. Lihat Washington University Manual of International
Legal Citation, dalam www.washingtonuniversity.edu., diakses 27 Maret 2011.
432
Ju-inchi Satoh, ―Judicial Reviwe in Japan: An Overview of the Case
Law and An Examination of Trends in The Japanese Supreme Court‘s
Constitutional Oversight‖, Loyola of Los Angeles Law Review, Vol. 41, 2008,
hlm. 606.
433
Berita Mahkamah Konstitusi, No. 04. April-Mei 2004, hlm. 16.
434
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 136-137.
435
Shigenori Matsui, ―A Coment Upon the Role of Judiciary in Japan‖,
Osaka University Law Review, Volume 17 No. 35, 1988, hlm. 17.
436
Ibid.
437
Ibid., hlm. 18.
438
Lihat dalam Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New
Demoracies, Constituional Court in Asian Case, Cambridge, Cambridge
University Press, hlm. 109.
439
R. Daniel Kalemen dan Eric S. Scibitt mengatakan bahwa, ―...U.S.
legal style has labeled as ‗adver-sarial legalism‘ is characterized by complex
rules, formal and adversarial procedures for resolving disputes, costly legal
contestation involving many lawyers and frequent judicial intervention
inadministrative affairs. Japanese legal style, by contrast, has
beencharacterized by informality, opacity, flexibility, cooperation between
regulators and the regulated and little involvement of eitherlawyers or courts.‖
Meluasnya penyebaran hukum Amerika Serikat ini disebabkan karena results
primarily not from economic competition between governments or from
emulation, but fromcommon responses by governments to similar economic,
politicaland social conditions. Lihat dalam R. Daniel Kalemen dan Eric S.
Scibitt, ―Americanization of Japanese Law‖, University Pansylvennia Journal
Economic Law, Vol. 23, 2002, hlm. 269-270 dan 272.
440
Itsuo Sonabe, ―Standar of Review in Constitutional Jurisdiction in
Japan‖, Kobe University Law Review, Vol. 27 No. 45, 2006, hlm. 111.
441
Ibid.
442
Ibid., hlm. 18.
443
Timothy S. George mengatakan bahwa debat mengenai perlunya
perubahan Konstitusi 1946 bukanlah fenomena baru di Jepang yang sekurang-
kurangnya negeri tersebut sudah 4 (empat) tahap berkubang dalam perdebatan
sejenis. Pertama, pada periode 1880-1881, di mana disusun usul konstitusi baru
yang merubah Jepang menjadi negara monarki parlementer dengan Kaisar
sebagai pusat kekuasaan pada masa kekuasaan Kaisar Meiji. Kedua, selepas
Perang Dunia II, di mana Konstitusi Meiji 1890 dituding tidak layak
diberlakukan dan di bahwa tekanan Sekutu disusun Konstitusi 1946. Ketiga,
tahun 1950-1960, ketika Partai Konservatif yang berkuasa menyusun Komisi
Konstitusi (Kenpo Chosakai) yang menghasilkan laporan mengenai usul
perubahan konstitusi. Komisi Konstitusi itu dibubarkan pada tahun 1965.
Keempat, pada tahun 2004, termasuk kemungkinan perubahan ketentuan yang
membuka jalan bagi perempuan menjadi Kaisar. Lihat Timothy S. George,
―Changing Pattern of Civic Engangement in Constitutionalism in Japan‖, paper
presented at the Annual Meeting of the Association for Asian Studies, Boston,
25 Maret 2007, hlm. 1-2.
444
Hampir 40 tahun setelah pemberlakuan Konstitusi 1946, yang dikenal
sebagai Peace Constitution, hanya ada 4-5 Undang-Undang yang dinyakatan
inkonstitusional. Suatu hal yang kontras, jika membandingkannya dengan sejarah
di Amerika Serikat di mana Mahkamah Agung Federal telah membatalkan 1.091
Undang-Undang dalam kurun waktu 195 tahun dari 1789-1984; 863 peraturan
lainnya; dan tak kurang 94 peraturan daerah selama 191 tahun dari 1789-1980.
Hal ini di kalangan teoritisi hukum ditunjuk juga sebagai pembeda yang kontras
antara sistem hukum Jepang dan Amerika Serikat. Lihat dalam Masanobu Kato,
―The Role of Law and Lawyers in Japan and the United Sates‖, Birham Young
University Law Review, No. 627, 1987, hlm. 629.
445
Kota Fukui, ―Justice System Reform in Japan: The Connection
Beetween Conflict Management and Realization General Rules of Law‖, Osaka
University Law Review, Vol. 51 No. 55, 2004, hlm. 1. Lihat juga uraian yang
mengkaitkan pertumbuhan ekonomi Jepang dengan budaya litigasi dalam tulisan
John O. Haley, op.cit., hlm. 896-899.
446
Nicholas Quinn Rosenkran, op.cit., hlm. 1219.
447
Sejumlah Putusan Mahkamah Agung Federal dalam Perkara: (i)
Menne v. Celotex Corp., 861 F.2d 1453 (10th Cir. 1988) (plaintiff unable to
identify which manufacturer of asbestos products was responsible for his
asbestos exposure); (ii) Sindell v. Abbott Labs., 607 P.2d 924 (Cal. 1980)
(plaintiff could not identify which manufacturer was responsible for the
particular DES taken by her mother); (iii) Summers v. Tice, 199 P.2d 1 (Cal.
1948) (plaintiff could not identify which defendant shot him); dan (iv) Ybarra v.
Spangard, 154 P.2d 687, 691 (Cal. 1944) (plaintiff could succeed in medical
malpractice suit arising from treatment rendered while unconscious, even though
he could not identify particular doctor responsible, because at least one doctor in
the group must have been responsible). Lihat: Ibid.
448
Ibid., hlm. 1209. Pendapat ini disarikan dengan mengutip sejumlah
putusan Mahkamah Agung Federal seperti: (i) Perkara New York v. United States,
505 U.S. 144, 168-69 (1992) (―[W]here the Federal Government compels States
to regulate, the accountability of both state and federal officials is diminished. . .
. [W]here the Federal Government directs the States to regulate, it may be state
officials who will bear the brunt of public disapproval, while the federal officials
who devised the regulatory program may remain insulated from the electoral
ramifications of their decision. Accountability is thus diminished when, due to
federal coercion, elected state officials cannot regulate in accordance with the
views of the local electorate in matters not pre-empted by federal regulation.‖);
(ii) Perkara Freytag v. Comm‘r, 501 U.S. 868, 884 (1991) (―The Framers
understood, however, that by limiting the appointment power, they could ensure
that those who wielded it were accountable to political force and the will of the
people. Thus, the Clause bespeaks a principle of limitation by dividing the power
to appoint the principal federal officers—ambassadors, ministers, heads of
departments, and judges—between the Executive and Legislative Branches. Even
with respect to ‗inferior Officers,‘ the Clause allows Congress only limited
authority to devolve appointment power on the President, his heads of
departments, and the courts of law‖); dan (iii) Perkara Morrison v. Olson, 487
U.S. 654, 731 (1988) (Scalia, J., dissenting) (―[T]he Founders envisioned when
they established a single Chief Executive accountable to the people [that thus]the
blame can be assigned to someone who can be punished.‖).
449
Nicholas Quinn Rosenkran, Ibid., hlm. 1221.
450
Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as
―[a] court‘s power to review the actions of other branches or levels of
government; esp., the courts‘ power to invalidate legislative and executive
actions as being unconstitutional‖ (emphasis added). Dalam suatu putusannya,
Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa ―The Court must either hold that
the Suspension Clause has ‗expanded‘ in its application to aliens abroad, or
acknowledge that it has no basis to set aside the actions of Congress and the
President.‖ Putusan Perkara Boumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2
(2008).
451
Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224,
238 (1998) (―The [constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize
disagreement between the branches by preserving congressional enactments that
might otherwise founder on constitutional objections.‖
452
Putusan Perkara Hepburn v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610
(1869) (―This court always approaches the consideration of [constitutional]
questions of this nature reluctantly; and its constant rule of decision has been,
and is, that acts of Congress must be regarded as constitutional, unless clearly
shown to be otherwise.‖).
453
Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-
49 (1936) (Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary
should avoid constitutional questions and enumerating seven strategies for
doing so‖).
459
Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, op.cit.,,
hlm. 3.
460
Ibid.
461
Ibid., hlm. 4.
462
J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law
Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.
463
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 5.
464
Ibid.
465
Ibid., hlm. 6.
466
Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain
(1975).
467
Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).
468
Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India
(1978).
469
Putusan Mahkamah Agung India (1973).
470
Putusan Mahkamah Agung India (1967).
471
Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India
(1978).
472
Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.
Putusan Mahkamah Agung India (1991).
473
Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung
India (1979).
474
M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan
Mahkamah Agung India (1996).
475
Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.
476
Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the
Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.
477
Ibid.
478
David S. Law, ―The Anatomy of a Conservative Court: Judicial
Review in Japan‖, Journal Texas Law Review, Vol. 87, 2009, hlm. 1545.
479
Ibid., hlm. 1545.
480
Ibid.
481
Ibid.
482
Ibid.
483
M. Hofnung, ‗The Unintended Consequences of Unplanned
Constitutional Reform: Constitutional Politics in Israel‘, American Journal
Comparative Law, No. 44, 1996, hlm. 585.
484
Isi deklarasi ini antara lain menyatakan, ―that the State of Israel will
foster the development of the country for the benefit of all its inhabitants; it
will be based on freedom, justice and peace as envisaged by the prophets of
Israel; it will ensure complete equality of social and political rights to all its
inhabitants irrespective or religion, race or sex; it will guarantee freedom of
religion, conscience, language, education and culture; it will safeguard the
Holy Places of all religions; and it will be faithful to the principles of the
Charter of the United Nations.
485
Putusan Mahkamah Agung Israel dalam Perkara Kol Haam V.
Menteri Dalam Negeri (1953).
488
Ibid., hlm. 43.
489
Aharon Barak menjabat sebagai hakim agung sejak tahun 1979 dan
menjadi Ketua Mahkamah Agung sejak tahun 1995 sampai dia berusia 70 tahun
(September 2006). Sebelum menjadi hakim agung, Barak dikenal sebagai jaksa
agung yang tangguh, yang antara lain berperan dalam pengunduran diri Perdana
Menteri Yithzak Rabin pada tahun 1977, sehingga untuk pertama dalam sejarah
Israel meninggalkan dominasi kekuasaan Partai Buruh dalam 30 tahun terakhir.
Sebelumnya ia adalah Dean of the Faculty of Law at the Hebrew University
dengan spesialisasi hukum perdata. Dia adalah pendukung aktif legal activism,
sekalipun tidak pernah menggunakan istilah judicial activism. Dia menulis buku
yang berjudul Intepretion in The Law, yang berisi analisis lusinan putusan
pengadilan, sistem hukum Israel, tradisi dan sumber hukumnya. Lihat dalam
Aharon Barak, ―A Judge on Judging: The Role of the Supreme Court in a
Democracy‖, Harvard Law Review, No. 116, Tahun 2002, hlm. 16 dan 27.
490
Y. Dotan, ‗Judicial Accountability in Israel: The High Court of Justice
and the Phenomena of Judicial Hyperactivism‘ , Isreli Affairs, No. 8, 2002,
hlm. 87
491
M. Edelman, ‗The Judicialization of Politics in Israel‘, International
Political Science Review, Vol. 15, 1994, hlm. 177.
492
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 88.
493
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi mendalilkan bahwa, ―Perpu melahirkan norm ahukum dan
sebagi norma hukum baru akan dapat menimbulkan (a) status hukum baru; (b)
hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir
sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada
persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun
demikian sebelum adanya pendapat DPR menolak atau menyetujui Perpu, norma
hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena
dapat menimbulkan norm ahukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan
Undang-Undang, maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut
Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD
1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang utnuk menguji Perpu terhadap
UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan DPR, dan setelah adanya
persetujuan DPR, karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
494
Puutsan Mahkamah Konstitusi No. 145/PUU-VII/2009. Lihat
petimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagaimana Ibid.
495
Ibid., hlm. 89.
496
Lihat dalam Pasal 93 ayat (1) butir ke-2 UUD Federal Jerman, yang
mengatakan bahwa, ―in case of differences of opinion or doubts on the formal
and material compability of federal law or Land law with the Basic Law or on
the compability of Land law with other federal law, at the request of the Federal
Law, of Land government of on e third of the Bundestag members.
497
Dalam Konstitusi Itali Pasal 136 ayat (1) mengatakan, ―When the
Court declares a law or an act having the force of law unconstitutional, the shall
cease to have efefct from daya following the publication of the desicion.
498
The Spanish Constitutional Court is a Constitutional body which is
only subject to the Constitution and its own organic Law The Constitutional
Court is the supreme interpreter of the Constitution (Section 1 of theO.L.C.C.)
and, as we have already said, it was granted the monopoly of
declaringunconstitutional the legal dispositions. Lihat dalam Amelia Pascual
Medrano, ―Active Legitimation in Constitutional Proceeding: Spanish Case‖,
Spanish report for the 26th International Congress of Comparative Law.
Brisbane (Australia), July, 2002, hlm. 166-167.
499
Alec Stone, op.cit., hlm. 45.
500
Ibid., hlm. 234.
501
Dalam Pasal 140 ayat (1) Konstitusi Austria dikatakan, ―The
Constitutional Court pronounces on application by the Administrative Court, the
Supreme Court, or a competent appelate court whether a Federal or State Law is
unconstitutional, but ex officio in so far as the Court would have to apply such a
law in pending suit. It pronounces also on application by the Federal
Government whether State laws are unconstitutional and likewise on application
by State Governemnt or by the one third of the House of Representative members
wheter Federal Laws are unconstitutional.
502
Yaitu Albania, Belarusia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia,
Czech Republic, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Macedonia, Molodova,
Montenegro, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, dan Ukrania.
503
Misalnya, praktik di Bulgaria menunjukkan hampir 67%, inisiatif
pengendalian norma diajukan oleh anggota parlemen, terutama oleh kalangan
oposisi. Lihat: Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 9.
504
Di Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, dan Sloakia.
505
Albania, Latvia, Polandia dan Ukraina.
506
Belarus, Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, Russia dan Ukraina.
507
Albania dan Polandia.
508
Seperti di Rusia dan Ukraina.
509
Slovania dan Ukraina.
510
Misalnya di Slovenia.
511
Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 604-605.
512
Ibid., hlm. 605.
513
Ibid.
514
Ibid.
515
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.
516
Lihat ketentuan Pasal 145 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) dan Pasal 185-
186 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 158 UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; PP No. 79 Tahun 2005
tentang Pedoman Pembinaan dan PengawasanPenyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Pasal 37.
517
Ibid., hlm. 97.
518
Pasal 100 ayat (1) Basic Law.
519
Pasal 139 Konstitusi Austria.
520
Pasal 161-163 Konstitusi Spanyol.
521
Lihat Pasal III Section 2 Konstitusi (1789) yang membatasi wewenang
Supreme Court hanya pada case and controversies.
522
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 98.
523
Ibid., hlm. 99.
524
Pasal 79 ayat (1) Federal Constitutional Court Act of German.
525
Ibid.
526
Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 610.
527
Lihat www.judicial.gov.tw/b4/e7-1.htm> , diakses 12 Maret 2011.
528
Ahmad Syahrizal, loc.cit.
529
Lihat juga Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 213-214.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit.,
hlm. 319.
530
S.F. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia, Cetakan 2, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 172-173.
531
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-I/2003 hlm. 47-48.
532
Lihat juga Jamaludin Ghafur, ―Asas Praduga Rechtmatig dan
Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang dalam Pengujian UU di Mahkamah
Konstitusi‖, Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November 2010, hlm. 157.
533
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
534
Gilmar Mendes, ―Framework of Brazillian Judiciary and Judicial
Review‖, International and Comparative Law Journal, Vol. 67 No. 77, Winter,
2007, hlm. 457.
535
Ibid., hlm. 457-458.
536
Ibid., hlm. 458.
A. Peristilahan
Pada pelaksanaan kajian ini, yang dimaksudkan sebagai
Lembaga-Lembaga Nonstruktural adalah apa yang di dalam
literatur dikenal sebagai lembaga negara independen atau lembaga
negara penunjang (State Auxilliary State). Lembaga Negara Non
Struktural ada yang disebut sebagai dewan, badan, atau lembaga,
ada pula yang disebut komisi-komisi negara. Ada pula yang
bersifat adhoc yang disebut dengan istilah satuan tugas atau
komite. Di Indonesia sendiri selama ini dikenal adanya istilah
Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (LPND) yang setelah
ditetapkannya UU tentang Kementerian Negara yang mengubah
istilah departemen menjadi kementerian, maka istilah LPND itu
harus diubah menjadi LPNK atau Lembaga Pemerintahan Non-
Kementerian. Namun, atas inisiatif beberapa kementerian, ada
pula istilah lain yang diperkenalkan, yaitu Lembaga Nonstruktural.
Dalam banyak literatur, ada juga yang menggunakan istilah
‗independnet bodies‘, ‗auxiliary agencie‘, ‗self regulatory bodies‘,
dan sebagainya. Semua istilah-istilah itu tidak dapat dipakai untuk
537
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 29.
538
Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi
Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hlm. 264-265.
539
Ibid., hlm. 266.
540
Ibid., hlm. 265-266.
541
Op.cit., hlm. 8.
542
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 266.
543
Radian Salman dan M. Hadi Subhan, ―Lembaga Negara Punjang:
Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya‖, dalam Dadan Wildan (Editor),
2010, Bunga Rampai Pemikiran Penataan Lembaga Non Struktural, Jakarta,
Penerbit Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan, hlm.
134.
544
Ibid., hlm. 136.
545
Ibid., hlm. 135.
546
Terutama pada masa Orde Baru, lembaga ini dikenal sebagai Lembaga
Pemerintah Non Departemen, yang seiring dengan diundangkannya UU No. 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, istilah yang digunakan adalah
Lembaga Negara Nonkementerian. Lembaga ini umumnya disebut ―badan‖ yang
menangani urusan pemerintahan dalam bidang tertentu seperti Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Pertanahan
Nasional/BPN, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT, Badan
Tenaga Atom Nasional/BATAN, Badan Pusat Statistik/BPS, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana/BNPB, Badan Arsip Nasional, dan sebagainya.
Kecuali Bappenas, yang untuk posisi Kepala dirangkap oleh Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak tahun 1966, kemudian dijadikan
lembaga nonkementerian era Presiden Abdurrahman Wahid, dan kemudian
kembali dirangkap menteri sejak era Presiden Megawati), lembaga yang lain
umumnya berasal dari birokrat karier/profesional.
547
Sementara itu dalam kajian Lembaga Administrasi Negara tercatat
sebanyak 92 lembaga negara.
548
Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Mahfud M.D., yang
mengatakan bahwa banyak lembaga nonstructural justru banyak menghambat
kerja pemerintahan. Selain tumpang tindih dan berbenturan, ada pemborosan
anggaran karena pekerjaannya yang ganda. Pembuatan lembaga dilakukan tanpa
analisis yang dalam, cenderung reaksioner terhadap permasalahan yang dating
dari hari ke hari. Hal semacam ini berujung pada pemborosan dan kegiatan yang
tidak tepat sasaran. Lihat: Kompas, Selasa, 19 Juli 2011, hlm. 15.
549
Ni‘matul Huda. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi
Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, hlm. 197.
550
Ibid., hlm. 198.
551
Isharyanto, ―Kebutuhan Konsolidasi dan Penataan Lembaga-Lembaga
Non Struktural‖, dalam Dadan Wildan (Editor), op.cit., hlm. 259-286.
552
Yenny Sucipto, ―Sadar (Anggaran) Bencana‖, Kompas, 15 November
2010, hlm. 6.
556
Kompas, 20 Juli 2011.
557
Ibid.
558
Isharyanto, op.cit.
559
Carlos Santiso, ―Eyes wide shut? The Politics of Autonomous Audit
Agencies in Emerging Economies‖, CIPPEC, 2007, hlm. 3.
560
Ibid.
563
K. Dye dan R. Stapenhurst, 1998, Pillars of Integrity: The
Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption, Washington,
DC: WBI, hlm. 6.
564
Ibid., hlm. 7.
565
Ibid.
566
Arpad Kovacs, ―Financial (State) Audit and The Fights Againts the
Corruption‖, Periodica Polytechnicha Series Social Scienece, Vol. 11, NO. 2,
2003, hlm. 137.
567
Ibid.
568
Ibid., hlm. 138.
569
Carlos Santiso, op.cit., hlm. 4.
570
Lihat analisis lengkap dalam: B. Dorotinsky dan R. Floyd, ―Public
Expenditure Accountability in Africa: Progress, Lessons and Challenges,‖ dalam
B. Levy dan S. Kpundeh, eds., 2004, Building State Capacity in Africa: New
Approaches, Emerging Lessons, Washington, DC: WBI, hlm.179-210.
571
G. O‘Donnell, ―Horizontal Accountability: The Legal
Institutionalization of Mistrust‖, dalam S. Mainwaring dan C. Welna,eds, 2003,
Democratic Accountability in Latin America, Oxford: Oxford University Press,
hlm. 34.
572
Ibid., hlm. 35.
573
R. Allen dan D. Tommasi, eds. , 2001, Managing Public
Expenditure, Paris: OECD, hlm. 45-46.
574
K. Dye dan R. Stapenhurst, op.cit., hlm. 86.
575
R. Stapenhurst dan J. Titsworth, 2001, Features and Functions of
Supreme Audit Institutions, Washington, DC: World Bank, hlm. 59.
576
Barra, 2002, dalam Carlos Santino.
577
INTOSAI, Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts,
Section 4, 1, October 1977.
b. Faktor Waktu
Pemeriksaan keuangan dapat berlangsung sebelum (ex-ante)
atau sesudah (ex-post) pengelolaan keuangan. Jika pemeriksaan
dilakukan sebelum penerapan pengelolaan keuangan, maka
sasarannya adalah legalitas tindakan-tindakan administratif,
termasuk pencegahan terhadap diskresi pemerintah. Sebaliknya,
pemeriksaan ex post dilakukan setelah implementasi pengelolaan
keuangan negara. Kedua jenis pemeriksaan itu mempunyai
perbedaan sehubungan dengan tindak lanjut yang bersifat
preventif maupun kuratif. Sebagian sarjana mengatakan bahwa
pemeriksa yang dilakukan sebelum dilaksanakannya penerapan
anggaran negara menjamin akuntabilitas, sebaliknya, sebagian
sarjana yang lain menyebutkan bahwa akuntabilitas dapat dicapai
dengan pemeriksaan yang dilaksanakan sebelum, selama, dan
sesudah penerapan pengelolaan keuangan negara.578
Di kalangan auditor professional, mengenai waktu
pemeriksaan masih terus menerus menjadi kontroversi.
Pemeriksaan kinerja dapat dilangsungkan setelah penerapan
anggaran, akan tetapi untuk pemeriksaan kepatuhan dapat
578
Baca selengkapnya antara lain dalam: J. Elster, 1999, ―Accountability
in Athenian Politics‖, dalam A. Przeworski, S. Stokes, dan B. Manin eds., 1999,
Democracy, Accountability and Representation, Cambridge, Cambridge
University Press, hlm. 253-278; dan P. Schmitter, 1999, ‗The Limits of
Horizontal Accountability,‘ dalam A. Schedler et al., 1999, The Self-Restraining
State: Power and Accountability in New Democracies, Boulder: Lynne Rienner,
hlm. 59-62.
579
G. Tsebelis dan E. Chang (2004). ‗Veto Players and the Structure of
Budgets in Advanced Industrialized Countries,‘ European Journal of Political
Research, Vol. 3, 2004, hlm. 449-476.
580
B. Speck, ―The Federal Court of Audit in Brazil‖, paper presented at
the 9th International Anti-Corruption Conference, Durban, South Africa, 10-15
October 1999.
581
Selengkapnya lihat dalam A.M. Goetz dan R. Jenkins, 2004,
Reinventing Accountability: Making Democracy Work for the Poor, London:
Palgrave Macmillan, hlm. 56.
582
Schedler et.al, op.cit., hlm. 17.
583
Allen dan Tommasi, op.cit.
584
Dye, K., and R. Stapenhurst, op.cit.
588
Controlaria de la Republica, Pasal 267-268 Konstitusi (1991).
589
Controlaria General de la Republica, Pasal 183-184 Konstitusi
(1949).
590
Auditoria General de la Nation, Pasal 83 Konstitusi (1994).
591
Controlaria General de la Republica, Pasal 82 Konstitusi (1993).
592
Controlaria General de la Republica, Pasal 121-122 dan Pasal 211-
213 Konstitusi (1998).
593
Pasal 73, 74, 78, dan 79 Konstitusi (1917) yang diperbarui dengan
Konstitusi (1999).
E. Kelembagaan di Indonesia
1. Masa Republik I (1945-1949)
Semenjak awal penyusunan konstitusi, keberadaan suatu
badan yang memeriksa keuangan negara dianggap sebagai bagian
dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Seperti dikatakan oleh
Soepomo, ―Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan, yang dulu
dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan
undang-undang. Itulah garis-garis besar tentang kekuasaan
negara.‖
Setelah UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi (18 Agustus
1945), untuk pertama kali dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan
pada 1 Januari 1947 berdasaran Surat Penetapan Pemerintah No.
11/OEM/ 28 Desember 1946 tentang Pembentukan Badan
Pemeriksa Keuangan. Untuk sementara waktu, Badan Pemeriksa
Keuangan berkedudukan di Magelang. Sebagai dasar pelaksanaan
tugas, Badan Pemeriksa Keuangan masih menggunakan regulasi
Algemene Rakenkamer, badan pemeriksa di masa Hindia Belanda,
yaitu Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en
vendere bepalingen voor de Algemene Rakenkamer (IAR). Pada
tanggal 6 November 1948, dikeluarkan Penetapan Pemerintah No.
6/1948, yang mengatur perpindahan kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan dari Magelang ke Jogjakarta. Hal ini untuk memenuhi
ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945.
596
Presiden Soeharto melakukan konvensi dengan memperluas susunan
kabinet yang dapat diubah dan ditetapkan secara mutlak dengan meliputi: (1)
departemen, yang dipimpin oleh seorang menteri; (2) kantor menteri negara, yang
dipimpin oleh seorang menteri negara yang menangani urusan-urusan khusus dan
menjadi prioritas kabinet; (3) menteri muda, yaitu seorang menteri yang
diperbantukan dalam menangani urusan-urusan tertentu suatu departemen; (4)
menteri koordinator, yaitu menteri yang mengkoordinasikan urusan pemerintahan
tertentu; dan (5) menteri yang melekat pada jabatan tertentu, seperti sekretaris
negara dan sekretaris kabinet; dan (6) pejabat setingkat menteri dan menjadi
bagian kabinet, seperti jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, dan Panglima
ABRI.
597
Lihat terjemahan rumusan oleh Arifin P. Soeriatmadja, 2009,
Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Kritik, dan Praktik, Jakarta,
Penerbit Rajawali , hlm. 269.
598
Ibid., hlm. 274.
599
Lihat: Pasal 1 angka 1 dan angka 5 dan Pasal 2 huruf g dan l UU No.
17 Tahun 2003.
600
F.X. Sugiyono dan Ascarya, 2005, Kelembagaan Bank Indonesia,
Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, hlm. 5.
601
Ibid.
602
Periksa sumber berikut: Forest Capie, 1994, ―The Evolution of Central
Banking‖, Seminar Paper, World Bank dan Patrisia S. Pollard, ―A Look Inside
Two Central Banks: The European Central Bank and The Federal Reserve‖,
Federal Reserve Bank of St. Louis Review, Januari-Februari, 2003, hlm. 12-30.
603
K. Hinton-Braaten, ‗New Central Banks‘, paper presented at the
conference on Constitutional Status of Central Banks in Eastern Europe,
University of Chicago Law School, April, 1994.
604
E. Hochreiter, ―Central Banking in Economies in Transition‖, dalam
T. Willett, R. Burdekin, R. Sweeney, R. dan C. Wihlborg, C. (eds.), 1994,
Establishing Monetary Stability in Emerging Market Economies, Boulder, CO:
Westview Press.
605
E. Hochreiter dan S. Riesinger, ―Central banking in Central and
Eastern Europe– Selected Institutional Issues‖, ECU Journal, 32, 1995, hlm. 17–
22.
606
Sundararajan, et.al., 1997, Central Bank Reform in Transition
Economies, Washington DC: International Monetary Fund.
607
O. Radzyner dan S. Riesinger, 1997, ―Central Bank Independence in
Transition: Legislation and Reality in Central and Eastern Europe‖, Focus on
Transition, Vol. 2 No. 1, hlm. 55– 90.
608
Christopher Crowe, ―Central Bank Independence and Transparency:
Evolution and Effectiveness‖, paper was presented at the Conference ―Does
Central Bank Independence Still Matter?‖ Bocconi University, September 2007,
hlm. 4.
609
Frederic S. Mishkin, ―Central BankingIn A Democratic Society:
Implications for Transitions Countries‖, National Bureau of Economic Research,
Columbia University New York, 1998, hlm. 1.
610
Ibid.
611
Allan Drazen, ―Central Bank Independence, Democracy, and
Dollarization‖, Journal of Applied Economics, Vol. 5, 2002, hlm. 17.
612
Skully Ahsan & Wickramanayake, ― Determinants of Central Bank
Independence and Governance: Problems and Policy Implications‖, JOAAG, Vol.
1, 2006, hlm. 49.
613
F.X. Sugiyono dan Ascarya, op.cit., hlm. 9.
614
S. Eijffinger dan J. de Haan, ―The Political Economy of Central-Bank
Independence‖, Special Papers in International Economics, No. 19, Princeton
University, 1996.
615
Lybek dan Morris, 2004, ―Central Bank autonomy, accountability, and
governance: conceptual framework‖, Seminar Paper LEG Seminar.
616
Jan-Egbert Sturm dan Jakob de Haan, ―Inflation in Developing
Countries: Does Central Bank Independence Matter‖, CESifo Working Paper No.
511, Juni 2001, hlm. 2.
617
A. Cukierman, S. B. Webb,dan B. Neyapti, ―Measuring the
Independence of Central Banks and its Effects on Policy Outcomes‖, The World
Bank Economic Review, Vol. 6, 1992, hlm. 353-398.
618
Campillo dan Millon, 1997,
619
C.R. Henning, 1994, Currencies and Politics in the United States,
Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics,
hlm. 48.
620
F. Amtenbrink, 2004, ―The three pillars of central bank governance –
Towards a model central bank law or a code of good governance?‖, IMF LEG
Workshop on Central Banking, and IMF LEG and IMF Institute Seminar on
Current Developments in Monetary and Financial Law, 2004.
621
Brade dan Parkin, ―Capital mobility, perspective and Central Bank
independence: Exchange rate policy since 1945‖, Policy Sciences, Vol 34, 2001,
hlm. 171-193.
622
Cukierman, et.al., ―Central Bank independence, political influence and
macroeconomic performance: A survey of recent developments‖, Cuadernos de
Economia, Vol 30, 1993, hlm. 271-291.
623
A. Posen, 1993, ―Why Central Bank independence does not cause low
inflation: There is no institutional fix for politics‖, Jurnal Finance and the
International Economy., Vol 7., 1993, hlm. 41-54.
624
de Haan, J. & G. J. Van ‗T Hag, ―Variation in Central Bank
independence across countries: Some provisional empirical evidence‖, Journal
Policy Choice, Vol 85, Vol.3-4, hlm. 335-351.
625
V. Grill et.al., ―Political and monetary institutions and public financial
policies in the industrial countries‖, Journal Economic Policy, Vol. 6,1991, hlm.
341-392.
626
Wojciech S. Maliszewski, ―Central Bank Independence in Transition
Economies‖, Centre for Social and Economic Research (CASE), London School
of Economics and Political Science, September 2000, hlm. 6.
627
Gauti B. Eggertsson and Eric Le Borgne, ―A Political Agency Theory
of Central Bank Independence‖, Agustus 2009.
628
Lihat analisis riset yang ditulis oleh: Alberto Alesina ―Inflation,
Unemployment, and Politics in Industrial Democracies‖, Jurnal Economic Policy
Vol. 8, 1989, 55-98. Bandingkan juga dengan: Richard Burdekin dan Thomas
Willett. 1991, ―Central Bank Reform: The Federal Reserve in International
Perspective‖, Public Budgeting and Financial Management, Vol. 3, No. 3, hlm.
531-551 dan J. Manfred Neumann, ―Central Bank Independence as a Prerequisite
for Price Stability‖, American Journal of Political Science Vol. 2 No. 40, 1991,
hlm. 570-602.
629
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 9-10.
630
William Bernhard, ―Central Bank Strategy, Credibility, and
Independence: Theory and Evidence‖, American Journal of Political Science ,
Vol. 3, 1992, hlm.588.
631
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 48.
632
Thomas Havrilesky. ―The Political Economy of Monetary Policy.‖
European Journal of Political Economy, Vol. 10 No.1, hlm. 111-134.
633
Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 25.
634
Pengurus yayasan ini pertama kali terdiri dari Mohammad Hatta,
Muwardi, Soeharto, Djohar, Mardanus, Soerachman, dan Soeeno, dengan
Direktur Harian dipegang oleh R.M. Margono Djojohadikusumo dibantu oleh
Abdul Karim. Lihat dalam Maklumat Pemerintah tertanggal 9 Oktober 1945.
635
Oey Beng To, 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I
(1945-1958), Jakarta: LPPI, hlm. 91.
636
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Disertasi UI, hlm. 182.
637
Priasmoro Prawiroardjo, 1987, ―Perbankan Indonesia 40 Tahun‖,
dalam Hendra asmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan,
Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 184.
638
Didik J. Rachbni, Suwidi Tono, dkk, 2000, op.cit., hlm. 1.
639
M. Dawam Rahardjo, dkk, 1995,
640
Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan
Hukum, Jogjakarta, Navila Idea, hlm.72.
641
Maqdir Ismail, op.cit., hlm. 6.
644
Soedrajat Djiwandono, 2001, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa
Krisis, Jakarta: LP3ES, hlm. 290. Pada masa ini perekonomian Indonesia
menghadapi masalah yang semakinberat yaitu ketika harga minyak mulai jatuh
pada awal 1980-an yang menggiring pemerintah ke sudut yang sangat sempit.
Bagi rezim yang menggantungkan legitimasinya pada keberhasilan pembangunan
ekonomi keadaan tersebut tidak bisa dianggap enteng. Dalam situasi ini, Presiden
Soeharto berpaling kepada teknokrat yang kemudian menangkap peluang untuk
kembali menjadi actor-aktor di panggung kebijakan yang paling bertanggung
jawab. Keberadaan Dewan Moneter sendiri, menurut penulis, cermin dari
kepercayaan Soeharto kepada para teknokrat tersebut. Tentang keterlibatan
kembali para teknokrat, lihat dalam Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak
Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford
Foundation, hlm. 97-123.
3. Personal Independence
Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan
akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai
tersangka 645 dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan
Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi646, maka bersamaan itu juga masa jabatan gubernur bank
sentral mendekati akhir periode. 647 Untuk mengisi jabatan
Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2
645
Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1
miliar atau sekitar Rp 47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk
meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan
besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.
646
YPPI diduga mengalirkan ‖dana gelap‖ sebesar Rp 127,75 miliar di
mana sebesar Rp 96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam
upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp 31,5 miliar
diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid.
Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-
tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader
Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April
1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan
sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain
mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan
lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya
kembali menjadi YPPI.
647
Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank
sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi
Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun
yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat,
Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.
648
Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah
sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan
menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. Kini ia
menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
649
Pardede adalah doktor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri
lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah
menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus
Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan,
Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan
sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.
650
Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas,
hlm. 81.
651
Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973),
Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar
(1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-
2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat
menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril
Sabirin yang ‖berprestasi‖ karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden
selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran
UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang
paling independen semenjak berdirinya republik ini.
652
Bagir Manan, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru,
op.cit., hlm. 59.
653
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 1.
654
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung:
Alumni.
655
Op.cit., hlm. 25.
656
Selengkapnya baca Penjelasan Pasal 58A ayat (1) huruf a, b, dan c UU
No. 3 Tahun 2004.
657
Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: UII
Press, hlm. 231.
Buku
Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices Justice Make,
Washington D.C., CQ Press.
David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The
Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖,
UCLA Journal of International Law, Vol. 12, 2007.
Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia
Law Review, No. 58, 1988.
Lawrence Lessig & Sunstein, Cass R., ―The President and the
Administration‖, Columbia Law Review, Vol. 94, 1994.
Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the
New Japanese Constitution‖, New York University Law
Review, Vol. 51, 1997.
Internet
Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of
Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June
2008, available at
http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.p
hp