Anda di halaman 1dari 179

KETIDAKADILAN GENDER DAN CITRA PEREMPUAN

DALAM NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER

PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL

KARYA NAWAL EL SAADAWI

TESIS

Oleh
CITRA GANDHINI PUTRI
147009021/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KETIDAKADILAN GENDER DAN CITRA PEREMPUAN
DALAM NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER

PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL

KARYA NAWAL EL SAADAWI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

CITRA GANDHINI PUTRI


147009021/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KETIDAKADILAN GENDER DAN CITRA PEREMPUAN DALAM
NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER PEREMPUAN DAN PEREMPUAN
DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI

ABSTRAK

Penelitian ini mengungkapkan ketidakadilan gender yang meliputi marginalisasi,


subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja yang dialami tokoh perempuan
serta menampilkan citra perempuan dalam aspek fisis, psikis, sosial dan budaya
dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol
karya Nawal El Saadawi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap model interaktif, yaitu reduksi data,
penyajian data dan verifikasi. Data yang sudah dianalisis kemudian disajikan
dalam bentuk uraian singkat yang menggambarkan analisis ketidakadilan gender
yang terdiri dari marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja
serta analisis citra perempuan yang terdiri dari aspek fisis, psikis, sosial, dan
budaya. Penelitian ini menggunakan teori feminisme marxisme sosialis, dan
pendekatan sosiologi sastra, serta dilihat perubahan makna yang digunakan
pengarang dalam menciptakan suatu wacana. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, (1) Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan dalam novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El
Saadawi meliputi lima aspek, yaitu, 1) Marginalisasi, 2) Subordinasi, 3)
Stereotipe, 4) Kekerasan, 5) Beban kerja. (2) Citra perempuan yang tergambar
dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol
karya Nawal El Saadawi meliputi empat aspek, yaitu, 1) Aspek fisis tergambar
dari tokoh aku dalam novel MSDP dan tokoh Firdaus dalam novel PDTN sama-
sama menampilkan citra perempuan yang cantik dan dewasa. 2) Aspek psikis
yang tergambar dari tokoh aku dalam novel MSDP yaitu pintar, kritis,
pemberontak, kuat dan pantang menyerah, serta mandiri dan tokoh Firdaus dalam
novel PDTN sebagai sosok yang pintar dan pemberani. 3) Aspek sosial yang
tergambar dari tokoh aku dalam novel MSDP yaitu sebagai anak, istri dan dokter
dan tokoh Firdaus dalam novel PDTN yaitu sebagai anak, istri, pelacur, dan
pegawai perusahaan. 4) Aspek budaya yang tergambar dari tokoh aku dalam novel
MSDP yaitu anak perempuan mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan,
dan istri sepenuhnya milik suami, dan tokoh Firdaus dalam novel PDTN yaitu
anak perempuan mengalami diskriminasi dalam bidang pendidikan, dalam bidang
publik, dan dalam bidang hukum. perempuan sebagai objek kekerasan fisik
maupun seksual.

Kata Kunci: Ketidakadilan Gender, Citra Perempuan, Budaya Patriarkhi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


GENDER EQUALITY AND IMAGE OF WOMEN IN THE NOVEL MEMOAR
SEORANG DOKTER PEREMPUAN AND PEREMPUAN DI TITIK NOL BY
NAWAL EL SAADAWI

ABSTRACT

This study reveals gender inequalities that include marginalization,


subordination, streotipe, violence, and workload experienced by female
characters and displays the image of women in the aspect of physical,
psychological, social and cultural in the novel Memoirs of a Woman Doctor and
Woman At Point Zero by Nawal El Saadawi , The method used in this research is
qualitative method. Data sources include primary data and secondary data.
Collecting data in this study conducted with technical documentation data
analysis was performed through three stages of interactive models, namely data
reduction, data presentation and verification. Data that has been analyzed and
then presented in the form of a brief description that describes the analysis of
gender inequality which consists of marginalization, subordination, streotipe,
violence, and the workload as well as analysis of the image of women that
consists of physical aspects, psychological, social, and cultural. This study uses
the theory of Marxist socialist feminism, and the approach of sociology of
literature, as well as views change of meaning used in the author creates a
discourse. The results showed that, (1) The injustice of gender happens to women
in the novel Memoirs of a Woman Doctor and Woman At Point Zero by Nawal El
Saadawi includes five aspects, namely, 1) Marginalization, 2) Subordination, 3)
Stereotyping, 4) Violence , 5) Workload. (2) The image of women portrayed in the
novel Memoirs of a Woman Doctor and Woman At Point Zero works of Nawal El
Saadawi includes four aspects, as follows, 1) Aspects of physical illustrated by the
figures Aku was in the novel MSDP and figures Firdaus in novel PDTN equally
displaying the image a beautiful woman and an adult. 2) The psychological aspect
which is reflected from a character Aku in the novel MSDP is a smart, critical,
rebellious, strong and unyielding, as well as independent and characters in the
novel Firdaus PDTN as a highly intelligent and courageous. 3) The social aspect
of the character Aku portrayed in the novel MSDP of daughter, a wife and a
doctor and woman image in the novel Firdaus PDTN that as a child, a wife, a
prostitute, and company officials. 4) The cultural aspect is illustrated by the
figures Aku was in the novel MSDP that girls face discrimination in education,
and the wife wholly-owned husband, and Firdaus in novel PDTN that girls face
discrimination in education, in public spheres, and in the field of law , women as
objects of physical or sexual abuse.

Key Words: Gender Equality, Woman Image And Patriarchal Culture.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Rabb

Semesta Alam, hanya kepada-Nya lah semua akan kembali. Salawat dan salam

teruntuk pelita sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun

umat dengan cahaya yang benderang. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih

kepada orang tua peneliti Ayahanda Ir. H. Abdul Murad Msc dan Ibunda Dra. Hj.

Anita Syamsinar Lubis yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan

motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang

berjudul Ketidakadilan Gender dan Citra Perempuan dalam Novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El

Saadawi. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

pada Program Studi Linguistik, Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak

memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

2. Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan serta tesis ini.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A. Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister

Linguistik Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan bantuan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

serta tesis ini.

4. Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Program Studi Magister

Linguistik Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji tesisi ini, atas

kesempatan dan bantuan serta saran, kritik, dan masukan yang diberikan

kepada penulis untuk kebaikan tesis ini.

5. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si, selaku pembimbing I, yang dengan

penuh perhatian telah memberikan saran, kritik, dorongan, bimbingan, dan

motivasi kepada penulis selama ini.

6. Dr. Siti Norma Nasution, M.Hum, selaku pembimbing II, yang

memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi yang berharga demi

kebaikan tesis ini.

7. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si, yang telah banyak memberi kritik, saran, dan

masukan yang membangun demi kebaikan tesis ini.

8. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A yang telah banyak memberi kritik, saran dan

masukan yang membangun demi kebaikan tesis ini.

9. Seluruh dosen Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan

selama penulis mengikuti perkuliahan di Universitas Sumatera Utara,

beserta staf administrasi Program Studi Linguistik, khususnya kak Yuni

dan kak Nila atas bantuannya selama ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2014 yang memberikan

motivasi kepada penulis dan senantiasa hadir selama proses seminar tesis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11. Dosen-dosen dan pegawai Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

12. Bang Bayu Amirullah Ilham beserta istri Harliyati, Adek Tria Ratu

Hudzaifah, Adek Muhammad Topan Amirullah, Adek Fatimah Az-zahra

serta keluarga besar penulis atas doa, dukungan, dan motivasinya.

13. Taufiq Munandar Lubis terima kasih atas doa, dukungan dan motivasi

yang selalu diberikan setiap harinya.

14. Pudin, Nurul, Oza, Walimah, Siti, Aghni, Tia, dan semua teman

sepermainan, yang mendukung dan menjadi penyemangat bagi penulis

untuk menyelesaikan tesis ini.

15. Kepada elemen-elemen yang mungkin tidak merasa telah membantu

penulis namun penulis berterima kasih kepada abang dan kakak pengusaha

printer, satpam, penjual makanan, supir angkot, dan lain-lain yang secara

tidak langsung ikut membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan

jauh dari sempurna. Namun, harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat

kepada seluruh pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi kita

semua. Amin.

Medan, Desember 2016

Penulis,

Citra Gandhini Putri

147009021

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Citra Gandhini Putri


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 10 Februari 1991
Alamat : Komplek Balai Diklat Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Jl. Bali No. 12 Pematangsiantar
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
HP : 08116199102
E-mail : sii.putri@yahoo.com

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1997-2003 : SD Taman Asuhan Pematangsiantar


Tahun 2003-2006 : MTS Swasta Al-Washliyah Pematangsiantar
Tahun 2006-2007 : MAN Pematangsiantar
Tahun 2007-2009 : SMA Negeri 2 Pematangsiantar
Tahun 2009-2013 : S1 Sastra Arab FIB USU
Tahun 2014-2016 : Pascasarjana Linguistik USU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 10
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 11
1.5.1 Manfaat Teoretis ............................................................... 11
1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................. 11

BAB II TINJAUAN PUSTA .......................................................................... 12


2.1 Penelitian Yang Relavan ............................................................ 12
2.2 Landasan Teori ........................................................................... 15
2.2.1 Teori Feminisme ................................................................ 15
2.2.1.1 Teori Feminisme Marxisme dan Sosialis . ............ 16
2.3 Pendekatan Sosiologi Sastra ...................................................... 21
2.4 Perubahan Makna ...................................................................... 25
2.5 Konsep ....................................................................................... 28
2.5.1 Ketidakadilan Gender ...................................................... 28
2.5.1.1 Marginalisasi ....................................................... 29
2.5.1.2 Subordinasi .......................................................... 29
2.5.1.3 Streotipe .............................................................. 30
2.5.1.4 Kekerasan ............................................................ 31
2.5.1.5 Beban Kerja ......................................................... 32
2.5.2 Citra Perempuan ............................................................. 32
2.5.2.1 Citra Perempuan Dalam Aspek Fisis ................... 35
2.5.2.2 Citra Perempuan Dalam Aspek Psikis ................. 38
2.5.2.3 Citra Perempuan Dalam Aspek Sosial................. 41
2.5.2.4 Citra Perempuan Dalam Aspek Budaya .............. 47
2.6 Kerangka Pikir .......................................................................... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 57


3.1 Metode Penelitian ...................................................................... 57
3.2 Data dan Sumber Data ............................................................... 59
3.3 Metode Dan Teknik Pengumpulan Data .................................... 60
3.4 Metode Dan Teknik Analisis Data ............................................. 61
3.4.1 Reduksi Data ..................................................................... 61
3.4.2 Penyajian Data................................................................... 63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.4.3 Verifikasi Data .................................................................. 64
3.5 Penyajian Hasil Analisis Data ................................................... 64

BAB IV KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL MEMOAR


SEORANG DOKTER PEREMPUAN DAN PEREMPUAN
DI TITIK NOL ................................................................................. 65
4.1 Pendahuluan ................................................................................ 65
4.2 Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan Yang Terdapat
dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan
Perempuan Di Titik Nil ............................................................... 66
4.2.1 Marginalisasi ...................................................................... 68
4.2.2 Subordinasi......................................................................... 73
4.2.3 Streotipe ............................................................................. 76
4.2.4 Kekerasan ........................................................................... 79
4.2.5 Beban Kerja ........................................................................ 81
4.3 Diskusi ....................................................................................... 84
4.3.1 Pengantar Diskusi.............................................................. 84
4.3.2 Pembahasan Hasil Penelitian ............................................ 84

BAB V ANALISIS CITRA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF


SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL MEMOAR SEORANG
DOKTER PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL
KARYA NAWAL EL-SAADAWI ................................................. 91
5.1 Pendahuluan ................................................................................ 91
5.2 Citra Perempuan dalam Novel Memoar Seorang Dokter
Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol ..................................... 93
5.2.1 Citra Perempuan dalam Aspek Fisis dalam Novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan
Di Titik Nol.......................................................................... 93
5.2.2 Citra Perempuan dalam Aspek Psikis dalam Novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan
Di Titik Nol .......................................................................... 98
5.2.3 Citra Perempuan dalam Aspek Sosial dalam Novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan
Di Titik Nol............................................................................ 105
5.2.4 Citra Perempuan dalam Aspek Budaya dalam Novel
Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan
Di Titik Nol............................................................................ 112
5.3 Diskusi ......................................................................................... 124
5.3.1 Pengantar Diskusi ............................................................... 124
5.3.2 Pembahasan Hasil Penelitian .............................................. 124

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 128


6.1 Simpulan ................................................................................. 128
6.2 Saran........................................................................................ 130

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pikir.............................................................................. 55


Gambar 3.1 Sumber Data Penelitian ................................................................ 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR SINGKATAN

MSDP MEMOAR SEORANG DOKTER PEREMPUAN


PDTN PEREMPUAN TITIK NOL
KDRT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan ekspresi dari masyarakat dan mengandung

kerangka sosial historis. Dengan demikian, karya sastra dapat berfungsi sebagai

dokumen sosial seperti dinyatakan oleh Wellek dan Warren (dalam Budianta,

1990: 20) bahwa karya sastra dapat menjadi dokumen sosial yang

mengungkapkan sejarah dan peradaban suatu masyarakat pada waktu tertentu dan

karya sastra selalu menggambarkan fenomena sosial pada zamannya.

Dalam karya sastra Arab terdapat fenomena sosial yang tergambar pada

zamannya, di antaranya adalah novel-novel yang ditulis oleh Nawal El Saadawi.

Ia adalah seorang sastrawan feminis dari Kairo, Mesir. Ia lahir di Kafr Tahla, 27

Oktober 1931 dan banyak menulis tentang perempuan. Saadawi lulus dari jurusan

kedokteran Universitas Kairo pada tahun 1955. Melalui praktik medisnya, dia

melakukan observasi permasalahan fisik dan psikologis perempuan lalu

menghubungkannya dengan tekanan praktik kebudayaan, dominasi patriarkhi,

tekanan kelas, dan imperialis. Dengan latar belakang seorang dokter, ia

mengungkap pemasalahan fisik dan psikologis perempuan lalu

menghubungkannya dengan kebudayaan, gender, dan patriarkhi. Ia menulis

permasalahan perempuan melalui praktik medisnya.

Perempuan mengalami posisi yang sangat sulit di negara Arab. Pada tahun

2002, Arab Human Development Report melaporkan kurang majunya wilayah

disebabkan oleh tiga faktor, yakni tidak diperhatikannya hak-hak perempuan,

kurangnya kebebasan politik, dan pendidikan yang buruk. Namun, embusan masa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


depan yang baru makin kencang dengan ditulis ulangnya konsititusi yang

memberi ruang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi secara politik.

Pada tahun 1914 dilakukan sensus pertama mengenai partisipasi wanita

dalam dunia kerja. Ketika itu hanya 5% atau 20.000 orang jumlah tenaga kerja

wanita dari seluruh jumlah tenaga kerja. Para gadis dari keluarga miskin mencari

pekerjaan di sejumlah pabrik dan penggilingan gandum. Jam kerja mereka adalah

14 jam kerja per hari dengan gaji tiga piastre, namun bayaran tersebut lebih baik

daripada keluaga mengalami kelaparan. Para wanita Mesir tidak diberikan

jaminan undang-undang ketenagakerjaan. Jika para gadis sudah kelelahan dan

sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan itu maka pemilik pabrik akan

mengeluarkannya.

Pada tahun 1962, Mesir mempunyai seorang menteri kabinet wanita dan

enam orang wanita di kabinet. Namun, sebagian besar kaum wanita Mesir masih

hidup dalam kemiskinan, kebodohan, bahkan buta huruf. Mereka hidup dalam

kehidupan yang memprihatinkan. Bahkan wanita yang hidup dari kelas menengah

yang berpendidikan tinggi masih merasakan tradisi-tradisi lama dari keluarga

untuk menerima beban kerja tambahan yang dikerjakan hampir sepanjang waktu.

Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita tidak berada dalam

posisi yang setara dengan pria. Diskriminasi terhadap wanita masih kerap terjadi

dan hal ini tentunya bertentangan dengan esensi demokratisasi yang sebelumnya

diharapkan oleh kaum wanita. Para perempuan Mesir saat ini terus hidup dalam

situasi ekonomi yang buruk, kerawanan pangan, kebutuhan pokok yang tidak

terjangkau, dan dengan pedih menyaksikan anak-anak mereka menderita gizi

buruk pada tingkat yang menyedihkan akibat penderitaan kemiskinan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penulis menetapkan dua novel karya Nawal El Saadawi yang dianalisis

dalam penelitian ini yaitu Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di

Titik Nol. Kedua novel ini dianggap dapat mewakili isu ketidakadilan gender yang

dialami perempuan di negeri-negeri Arab. Menurut Mochtar Lubis dalam kata

pengantar yang ditulisnya dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-

Saadawi, bahwa negeri-negeri Arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan

perempuannya dianggap amat terbelakang jika dibandingkan dengan hasil-hasil

perjuangan persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dan lelaki yang telah

tercapai.

Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan merupakan novel yang di tulis

oleh Nawal El Saadawi pada tahun 1957. Saadawi menulis novel ini pada saat

kepemimpinan Rezim Nasser (1952-1970). Pada awal kepemimpin Nasser bukan

demokrasi yang ia angkat untuk menjalankan pemerintahan Mesir. Pada masa itu,

Nasser berusaha mengarahkan kekuasaan politik ke satu tangan, adanya partai

politik tunggal, kekuasaan parlemen lebih rendah dari kekuasaan presiden, dan

banyak hal yang ia larang untuk mempertahankan kepemimpinannya.

Pada tahun1952 terjadi revolusi Mesir, Mesir mengalami transisi sistem,

yakni dari sistem Kerajaan beralih ke sistem Ripublik. Partisispasi perempuan

dalam kehidupan politik Mesir belum seimbang. Kemudian baru pada tahun 1956,

pertama kali diadakan tentang diperbolehkannya perempuan untuk ikut dalam

pemilu, sehingga terlihat ada kemajuan dalam penggunaan hak-hak perempuan

dalam memberikan suaranya, meski presentasinya baru mencapai 2,6% dari

peserta pemilu yang berhak memberikan suara. Oleh karenanya, jumlah suara

pada dekade terakhir ini mencapai 40%. Berkat Revolusi pada 23 Juli 1952 pula,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pembebasan terhadap rakyat dari ketidakadilan yang sering muncul di tengah-

tengah masyarakat, serta adanya seruan untuk membentuk masyarakat berasaskan

keadilan dan persamaan, antar individu tidak ada diskriminasi maupun

pengistimewaan jenis kelamin, hak-hak sosial politik pun, secara utuh dapat

dipegang perempuan, utamanya ketika undang-undang pertama pasca revolusi

hadir pada tahun 1956.

Berpijak pada prinsip inilah, Undang-undang Mesir menjadikan

perempuan dicatat dalam daftar pemilihan sebagai suatu kewajiban, sepanjang

perempuan menuntut hal tersebut. Di bawah lindungan undang-undang ini juga,

pemilu dilaksanakan, dan perempuan untuk pertama kalinya ikut berpartisispasi,

ditandai dengan kemenangan tokoh perempuan (Rawya „Atiya) dalam

memperebutkan kepercayaan pemilih.

Meskipun di Mesir kewarganegaraan perempuan serta hak-hak politiknya

dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1956, namun lingkungan sosial dan

ekonomi di negara ini telah berjalan menentang hak-hak politik perempuan

tersebut. Nilai-nilai yang mendorong partisipasi perempuan dalam urusan-urusan

publik saling berdampingan dengan nilai-nilai reaksioner, dan akibatnya konflik

di antara dua nilai tersebut menghabiskan banyak waktu. Dalam dua dekade

terakhir ini, konflik tersebut menjadi lebih sensitif, terutama karena situasi politik

dan ekonomi di Mesir.

Sebagai seorang dokter sekaligus aktivis perempuan, Saadawi mengalami

hal yang sama dirasakan oleh para kaum perempuan. Saadawi dilahirkan sebagai

anak tertua dari sembilan bersaudara pada 27 Oktober 1931. Sejak kecil Saadawi

tumbuh dalam sebuah keluarga yang selalu menjejalinya dengan pemikiran-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pemikiran bahwa wanita merupakan makhluk yang derajatnya dibawah lelaki.

Dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan sendiri oleh Saadawi sekaligus

melihat kondisi sosial di sekitarnya inilah akhirnya Saadawi mengungkapkan

perasaan dan pengalamannya dalam sebuah novel dengan judul Memoar Seorang

Dokter Perempuan. Hal ini diungkapkan Saadawi dalam catatan penulis di lembar

novel tersebut.

Pada masa pemerintahan Nasser, tahun 1958-1972 Sadawi menjabat

sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pimpinan Redaksi Majalah Health di

Mesir. Saadawi yang juga berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat

menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah

masyarakat tradisional Mesir. Saadawi melihat nasib perempuan yang sangat

menyedihkan, Saadawi lalu melakukan penelitian terpanggil untuk mencatat

kesaksian, menyodorkan realitas pahit yang berabad-abad tersembunyi, dan

mendorong proses perubahan, melalui karya sastra (novel).

Pada tahun 1972, Saadawi menulis buku non-fiksi dengan judul

Perempuan dan Masalah Seks. Tulisan tersebut terkait dengan feminisme, gender,

perempuan dan seksualitas, dan juga subyek sensitif, patriarkhi budaya, politik

dan agama. Saadawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah

struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam bukunya tersebut,

Saadawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang

negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Publikasi ini membangkitkan

kemarahan otoritas politik dan teologis saat itu, dan Departemen Kesehatan

memaksanya untuk memundurkan diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Health di

Mesir.

Setelah keluar dari pekerjaannya pada tahun 1973 sampai 1976, Saadawi

menjadi sorang peneliti perempuan dan neurosis di University of Medicine. Ia juga

melakukan penelitiaan yang mendalam tentang kasus perempuan di penjara-

penjara dan rumah sakit. Penelitian ini memberinya inspirasi untuk menulis novel

Perempuan di Titik Nol, yang didasarkan pada perempuan terpidana mati yang

dihukum karena membunuh seorang germo.

Dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami

diskriminasi gender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus

mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus

mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena

ditempatkan sebagai „kaum kelas dua‟, perempuan sering menjadi korban

pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain

diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.

Dalam kehidupan bermasyarakat, biologis dan sosiologis saling

mempengaruhi. Perbedaan biologis memang bersifat fitrah atau nature. Namun

karena adanya perbedaan biologis tersebut masyarakat sebagai suatu kelompok

menciptakan menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa

yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan laki-laki dan

perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan

keindahan rumah tangga, atau urusan domestik, seperti memasak, mencuci dan

merawat anak selalu dianggap kodrat wanita. Padahal peran gender seperti itu

adalah hasil konstruksi sosial dan kultural dalam masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Perilaku pembagian gender tersebut diturunkan melalui tradisi. Dalam

proses perkembangan zaman akhirnya perilaku tersebut menjadi sistem dari

berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik (kekuasaan), keamanan, dan

kepercayaan (agama). Semakin lama aspek-aspek kehidupan tersebut saling

mempengaruhi. Perkembangan manusia secara pribadi dan kelompok tidak

homogen lagi. Oleh karena itu, terjadilah struktur sosial tertentu yang membuat

manusia semakin bersifat melembaga. Sifat ini yang menyebabkan struktur sosial

menjadi terkunci mati, seolah tak tergoyahkan. Inilah yang membuat sengsara

kelompok masyarakat tertentu, khususnya yang berada di pinggiran, kaum miskin,

kaum perempuan, kaum buruh, dan sebagainya.

Situasi seperti ini merupakan hasil belajar manusia dari budaya patriarkhi.

Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul di berbagai bidang dan bentuk.

Ketidakadilan gender tersebut terdapat dalam berbagai wilayah kehidupan, yaitu

wilayah Negara, masyarakat, organisasi, atau tempat bekerja, keluarga, dan diri

pribadi. Bentuk dari berbagai ketidakadilan gender ini, berupa marginalisasi,

streotipe, subordinasi, kekerasan, serta beban kerja ganda terhadap perempuan.

Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol

dipilih karena menggambarkan potret perempuan dan proses menuju kemandirian

untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Tokoh perempuan dalam

novel ini mengalami dominasi dalam keluarganya, ia kehilangan hak-hak

fundamental seperti mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga

terperangkap di ranah domestik sehingga kehilangan kesempatan untuk

meningkatkan kualitas diri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, kedua novel sangat relevan

untuk diteliti karena banyak mengungkapkan ketidakadilan yang dirasakan oleh

perempuan. Secara umum novel ini bertema feminisme, menurut Mochtar Lubis

dalam kata pengantar yang ditulisnya dalam novel tersebut menunjukkan bahwa

perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama,

dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki

Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai.

Kedua novel karya Nawal El Saadawi yang disebutkan di atas perlu untuk

diteliti, karena perjuangannya melawan ketidakadilan gender memiliki relevansi

dengan pemahaman feminisme. Gagasan dan ide disampaikan melalui tokoh-

tokoh utama dalam novel dan pengalamannya sendiri dalam keluarganya dan saat

bersama suaminya. Tokoh utama ini dapat digolongkan ke dalam perempuan

korban laki-laki berbudaya patriarkhi. Dia mengungkapkan penderitaannya di

balik lembaga perkawinan yang tidak harmonis. Pilihan tokoh “Aku” dalam novel

Memoar Seorang Dokter Perempuan dan tokoh “Firdaus” dalam novel

Perempuan di Titik Nol yang sama-sama memilih jalan hidup untuk menikah

dengan laki-laki dan akhirnya meninggalkannya merupakan hal yang menarik

untuk dikaji sebagai suatu gerakan pertentangan bagi kaum perempuan.

Penggunaan ekspresi ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama

perempuan dalam novel tersebut tentu berkaitan erat dengan latar belakang sosial

budayanya. Permasalahan sosial dan budaya yang kompleks dalam kedua novel

tersebut menurut pandangan peneliti memiliki latar belakang yang berkaitan

dengan konteks sosial tokoh “Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan tokoh “Firdaus” dalam novel Perempuan di Titik Nol sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


seorang perempuan Mesir. Aspek sosial budaya tersebut sangat penting untuk

dianalisis sebagai bagian untuk mengungkapkan hubungan karya sastra tersebut

dengan masyarakat. Peneliti menilai bahwa hal tersebut akan bermanfaat apabila

dikaji dan dianalisis secara mendalam dengan teori feminisme dan pendekatan

sosiologi sastra.

Masalah-masalah perempuan ini perlu dibicarakan karena masih banyak

perempuan yang terperangkap dalam lembaga perkawinan yang berubah menjadi

tempat penyiksaan yang tersembunyi. Banyak di antara mereka yang memilih

untuk tidak bersuara karena hal ini dianggap tabu mengungkapkan aib keluarga.

Dominasi di ranah domestik juga termasuk dalam perjuangan ideologi feminisme

untuk membebaskan perempuan dari berbagai opresi.

Tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut beragam latar belakang

sosial budayanya. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh tokoh

perempun, cara mereka mengatasi persoalan yang dihadapi dapat menampilkan

citra perempuan tokoh tersebut. Konsep citra perempuan diartikan sebagai kesan

mental, bayangan visual atau yang mewakili sesuatu yang tidak tampak, atau

gambaran mengenai perempuan yang dijadikan tokoh dalam cerita novel. Hal ini

berpadanan dengan konsep citra perempuan Effendi dkk (1995: 25) yang

mengatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran angan atau imaji yang

timbul dalam proses pembacaan. Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki

setiap individu mengenai pribadi perempuan.

Citra perempuan yang terlihat dari novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

dan Perempuan di Titik Nol dapat menunjukkan gambaran kehidupan perempuan

sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Ganelli, dkk (2010: 5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengatakan citra perempuan merupakan segala bentuk tingkah laku individu yang

terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap

segala rangsangan, baik datang dari luar dirinya atau lingkungannya maupun dalam

dirinya sendiri, sehingga tingkah laku individu adalah menifestasi dan kepribadian yang

dimilikinya sebagai perpaduan yang timbul dari dalam lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, masalah

yang akan dianalisis dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan

dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El Saadawi?

2. Bagaimana citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya

Nawal El Saadawi ditinjau dari perspektif sosial budaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menggambarkan ketidakadilan gender yang dialami tokoh

perempuan dalam novel MSDP dan PDTN karya Nawal El-

Saadawi dan menggali pesan-pesan yang ingin disampaikan

pengarang dalam kedua novel tersebut.

2. Mengungkapkan citra perempuan dalam novel MSDP dan PDTN

karya Nawal El-Saadawi berdasarkan perspektif sosial budaya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Dapat memperkaya kajian sastra, khususnya dalam kajian gender,

feminisme dan sosiologi sastra.

2. Dengan menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini

diharapkan pemakaian teori feminisme dan sosiologi sastra dapat

membantu bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan

masalah-masalah perempuan dalam karya sastra.

3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada mahasiswa agar lebih

banyak memahami mengenai novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi

khususnya tentang citra perempuan yang terdapat di dalamnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat

untuk mengubah cara pandang dan sikap agar tercapai hubungan yang

harmonis antara laki-laki dan perempuan, sebagai mitra yang sejajar,

yang satu tidak lebih dominan dari yang lain.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh penentu kebijakan

untuk membuat peraturan yang dapat melindungi kepentingan

perempuan di ranah publik dan domestik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Yang Relavan

Penelitian terhadap sosok perempuan dalam novel Nawal El Saadawi sudah

banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tetapi, beberapa dilakukan hanya

terhadap satu karya Nawal El Saadawi saja atau dengan pendekatan yang

berbeda. Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian yang

relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang citra perempuan dalam

perspektif sosial budaya dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan

Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Penelitian yang relavan dan

dapat dijadikan acuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Dalam jurnal online Universitas Negeri Malang terdapat jurnal dengan judul

Pencitraan Wanita Dalam Novel “Imro’ah Inda Nuqthah Ash-Shifr” Karya Nawal El-

Sa’dawi (Kritik Sastra Feminis). Penelitian tersebut dilakukan oleh Esti Rohana dkk

(2012). Tujuan penelitian tersebut untuk mendeskripsikan citra wanita dalam novel

“Imro’ah Inda Nuqthah Ash-Shifr karya Nawal El-Sa‟dawi. Penelitian ini

menggunakan teori kritik sastra feminis. Dalam penelitian ini citra wanita terdiri dari

citra wanita mesir dalam segi fisik, psikis, dan sosial dalam pandangan feminisme.

Ada beberapa perbedaan dan persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini.

Salah satunya adalah teori yang dipakai. Penelitian tersebut menggunakan teori kritik

sastra feminis. Sedangkan penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan

feminisme. Salah satu novel yang dijadikan objek penelitian dalam penelitian tersebut

sama dengan novel yang digunakan sebagai objek penelitian yang sekarang ini. Dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penelitian yang sekarang ini juga mengungkapkan ketidakadilan gender yang terjadi

pada tokoh perempuan dalam novel untuk dapat menunjukkan citra perempuan dalam

perspektif sosial dan budayanya.

Indiyah Prana Amertawengrum (2012) melakukan penelitian terhadap

tokoh “Aku” dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawal El-

Saadawi. Judul jurnal tersebut adalah Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan :

Tinjauan Psikologis Tokoh. Penelitian tersebut mengkaji aspek psikologi tokoh

yang muncul dalam novel tersebut antara lain kekecewaan, kemarahan, kebencian,

kemunafikan, ketidakpuasan, kegagalan, perlawanan, kesunyian, dan kerinduan

tokoh “Aku”. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu

pendekatan yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan

psikologi sementara penelitian yang sekarang ini dengan pendekatan sosiologi.

Dengan adanya penelitian tersebut yang mangkaji psikologi tokoh maka dapat

membantu penelitian ini untuk melihat bagaimana tokoh tersebut dalam aspek

fisis, psikis, sosial dan budaya.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Cinta Raga Suci Prestiyono (2013)

Penelitiannya yang berjudul Ketidakadilan Gender Novel Perempuan di Titik Nol

Karya Nawal El-Saadawi ini menunjukkan adanya konflik fisik dan konflik batin

yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel PDTN. Penelitian tersebut

relevan dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang ini karena pada

penelitian ini pada rumusan masalah pertama membahas ketidakadilan gender

yang dialami tokoh perempuan dalam novel. Perbedaannya yaitu pada penelitian

ini melakukan analisis pragmatik yang dititik beratkan pada ketidakadilan gender

meliputi: marginalisasi, subordinasi, strotipe, dan kekarasan. Sementara penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini menunjukkan citra perempuan dalam novel yang tergambar dari ketidakadilan

gender yang dialami tokoh perempuan dalam novel tersebut.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh David Setiadi (2013) dengan

judul Perempuan dalam Lokalitas Budaya Arab: Analisis terhadap Novel

Perempuan Di titik Nol Karya Nawal El-Sadawi dan Novel Istri Untuk Putraku

karya Ali GhalemDavid Setiadi. Penelitian ini membahas peran perempuan dalam

sebuah sistem kebudayaan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Dari gambaran

tersebut terlihat bahwa peran perempuan dalam kebudayaan Arab secara umum

menyempitkan gerak dan langkah perempuan untuk maju atau dapat

mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.

Maria Theresia Ratih Pramuditha (2014) mengkaji novel Perempuan di

Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi. Penelitian dalam jurnal Universitas Jember

yang berjudul Kehidupan Perempuan Yang Digambarkan Dalam Novel

Perempuan Di titik Nol Karya Nawal El-Saadawi dianalisis secara sosiologis

dengan metode pemahaman teks hermeneutic Gadamer. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan perempuan Mesir,

terutama mencakup kuasa tubuh perempuan, penomorduaan, dan tradisi yang

melekat pada kehidupan mereka. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian

ini yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis. Namun penelitian tersebut

juga menganalisis secara sosiologis dan menunjukkan gambaran kehidupan

wanita Mesir sehingga dapat bermanfaat bagi peneliti dalam penelitian ini untuk

melihat realita sosial yang ada di dalam masyarakat Mesir.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.2 Landasan Teori

Teori terdiri atas konsep utama dan konsep-konsep lain sebagai pelengkap.

Dalam penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk

mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian

merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang relavan dengan objek

penelitian ini untuk memecahkan rumusan masalah pertama yaitu ketidakadilan

gender terhadap perempuan yang meliputi marginalisasi, subordinasi, streotipe,

kekerasan, dan beban kerja terhadap perempuan dan rumusan masalah kedua yaitu

citra perempuan dalam perspektif sosial budaya dalam novel Memoar Seorang

Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi adalah

teori feminisme marxis dan sosialis dengan pendekatan sosiologi sastra.

2.2.1 Teori Feminisme

Feminis, dari kata femme, berarti perempuan. Feminisme adalah bidang

teori dan politik yang plural, dengan perspektif dan rumusan aksi yang saling

bersaing. Secara umum biasa dikatakan bahwa feminisme melihat seks/kelamin

sebagai sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tidak bisa direduksi yang

sampai saat ini, telah menempatkan perempuan di bawah lelaki. Dengan

demikian, perhatian utama feminisme adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip

pengaturan sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan.Para feminis melihat bahwa

subordinasi perempuan terjadi di berbagai lembaga dan praktik, atau, dengan kata

lain, bahwa subordinasi tersebut bersifat struktural. Subordinasi struktural inilah

yang disebut sebagai patriarkhi, bersama dengan makna-makna turunannya

tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.2.1.1 Feminisme Marxis dan Sosialis

Tong (1998: 139) mengatakan bahwa memang dimungkinkan untuk

membedakan, pemikiran feminis Marxis dan sosialis, namun tidaklah mudah

melakukannya. Ia juga mengatakan bahwa telah bertahun-tahun menjadi yakin

bahwa perbedaan antara dua kelompok pemikiran ini lebih merupakan masalah

penekanan daripada masalah substansi. Feminis Marxis cenderung untuk

menunjukkan penghargaan mereka langsung kepada Marx, Engels, dan pemikir

abad 19 lain. Mereka juga cenderung untuk mengidentifikasi kelasisme (classism)

dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap perempuan.

Sebaliknya, Tong mengatakan bahwa feminis sosialis tampaknya dipengaruhi oleh

pemikir abad 20, seperti Louis Althusser dan Jurgen Habermas. Lebih dari itu,

feminis sosialis juga menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap

perempuan bukanlah “kelasisme” atau “seksisme” melainkan suatu keterkaitan

yang sangat rumit antara kapitalisme dan patriarkhi.

Feminis ini muncul karena keprihatinan para pencetusnya (Karl Marx dan

Friedrich Engels) yang melihat bahwa kaum perempuan kedudukannya identik

dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Teori feminisme marxisme

dan sosialis mempermasalahkan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan

perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan pria memiliki istri secara

pribadi. Karl Marx dan Friedrich Engels memandang bahwa gejala ini merupakan

bentuk penindasan perempuan.

Wanita dapat terbebas dari penindasan ini, apabila sistem ekonomi

kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa

kelas-kelas. Untuk mencapai tujuan masyarakat sosialis, ini harus dimulai juga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dari keluarga, di mana para istri harus dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi

dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat

tercipta, maka ini akan tercermin pula pada kehidupan sosial.

Untuk menciptakan keadilan sosial, perubahan lingkungan harus berubah.

Karena jika lingkungan berubah, maka individu akan berubah. Teori Marxis

menganalisis bahwa pola relasi antara laki-laki dan perempuan dianalogikan

dengan perkembangan masyarakat modern industrial kapitalisme. Friedrich

Engels mengatakan bahwa pada bentuk masyarakat awal, yaitu masyarakat

berburu yang berpindah-pindah (hunting and gathering) pola relasi sosial adalah

egaliter. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kepemilikan pribadi. Harta milik

dapat menjadi beban, karena mereka harus berburu dan berpindah-pindah. Para

perempuan dalam masyarakat ini, walaupun harus berperan sebagai pengasuh

anak, mempunyai kekuasaan dan menjadi tuan di wilayahnya (rumah).

Feminis marxisme dan sosialis percaya bahwa sifat-sifat alamiah

perempuan terbentuk dari pemikirannya sendiri. Aliran feminisme ini percaya

bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan juga hubungan

pertukaran. Jika kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem hubungan pertukaran,

kapitalisme juga digambarkan sebagai suatu masyarakat komoditi atau pasar yang

di dalamnya segala sesuatu, termasuk kekuatan kerja seseorang, mempunyai

harga, dan semua transaksi pada dasarnya merupakan transaksi pertukaran. Jika

kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem hubungan kekuasaan, maka

kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat yang di dalamnya setiap

hubungan transaksional, pada dasarnya, adalah eksploitatif. Karena itu,

bergantung cara pandang masing-masing, hubungan pekerja dan majikan dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dilihat sebagai hubungan pertukaran yang, dalam hubungan ini, segala sesuatu

yang bernilai setara secara diperjualbelikan.

Tong (1998: 148), mengatakan bahwa feminis ini juga menawarkan suatu

analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari

kekuatan yang mengoperasinya. Bahkan, sebagian besar pemikiran Marxis

terhadap feminis ini ditujukan untuk membuat cetak biru agar membimbing

pekerja, laki-laki atau perempuan, bersamaan dengan usaha mereka untuk

membentuk diri sebagai suatu kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan

terhadap transisi dari kapitalisme ke sosialisme, dan akhirnya untuk mencapai

komunisme-komunitas yang utuh dan kebebasan penuh.

Menurut Marx (dalam Tong, 1998: 148), di bawah kapitalisme, manusia

sebagian besar bebas untuk melakukan apa yang ingin dilakukan di dalam batasan

sistem, tetapi mereka tidak dapat banyak bersuara dalam penentuan batasan-

batasan itu, yang membuat mereka bertingkah laku seperti seorang egois yang

hanya memikirkan dirinya sendiri. Menurut Marx kepribadian dikondisikan dan

ditentukan oleh hubungan kelas yang cukup jelas. Sebaliknya, bagi orang-orang

yang hidup di dalam kapitalisme, orang-orang yang hidup di dalam komunisme

adalah bebas, bukan saja untuk melakukan, tetapi juga untuk menjadi apa yang

mereka inginkan, karena mereka mempunyai kekuatan sistem struktur yang

membentuk mereka.

Istri selalu di tempatkan dalam sektor domestik, dan sektor publik di

tempatkan untuk para suami. Sektor publik selalu memberikan nilai materi (uang),

sedangkan pekerjaan rumah tangga tidak. Suami dengan sendirinya mempunyai

posisi yang lebih kuat, lalu istri dan anak-anaknya menjadi pihak yang lemah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


karena ketergantungan ekonomi mereka kepada kepala keluarga. Keadaan ini

telah memberi peluang bagi para suami untuk merasa memiliki materi yang

diperoleh dari wilayah di luar rumah. Pekerjaan perempuan di wilayah domestik

menjadi tidak bernilai dibandingkan materi yang dikumpulkan suami. Hal seperti

ini menurut Engels yang menjadi awal mula timbulnya struktur patriarkhi di

dalam keluarga.

Karl Marx (dalam Nugroho, 2008: 72-73), membuat teori yang disebut

materialist determinism, yang mengatakan bahwa budaya dan masyarakat berakar

dari atau mempunyai basis material atau ekonomi. Ia mengatakan bahwa basis

kehidupan masyarakat berdasarkan pola relasi material dan ekonomi yang selalu

menimbulkan konflik. Di sini terlihat bahwa paham materialisme yang

dikembangkan Marx dan Engels telah menentukan nilai eksistensi seseorang, di

mana kepemilikan materi dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang.

Pekerjaan domestik yang dilakukan oleh wanita memang tidak menghasilkan uang

atau materi. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak yang tidak

mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena kekuasaan berada

pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.

Feminisme marxisme dan sosialis memberikan solusi untuk membebaskan

perempuan dari penindasan dalam keluarga dengan mengajak perempuan untuk

masuk ke sektor publik. Partisipasi wanita dalam sektor publik dapat membuat

wanita produktif (menghasilkan materi/uang), sehingga konsep pekerjaan

domestik perempuan tidak ada lagi. Disini terlihat bahwa standar yang dipakai

sebagai hal yang berharga dan produktif, adalah standar materi, yang analoginya

sama dengan keberhasilan standar maskulin seperti yang beberapa kali disebutkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebelumnya. Bahkan, usaha menghapuskan keberadaan institusi keluarga perlu

dilakukan; karena keluarga dianggap sebagai institusi yang melahirkan

kapitalisme. Ini mengingat sistem patriarkhi yang menurut kaum feminis

mengeksploitasi para wanita di rumah. Sebagai gantinya, dapat diciptakan suatu

keluarga kolektif di mana pekerjaan rumah tangga dilakukan secara kolektif,

termasuk pengasuhan dan pendidikan anak yang dapat dilakukan misalnya di

tempat pengasuh anak. Dengan cara ini wanita dapat bebas berkiprah di sektor

publik yang dapat meningkatkan kepemilikan materi dan kekuasaan para wanita.

Penerapan ideologi Marx-Engels ini telah dilakukan oleh para feminis

yang berorientasi sosialisme. Feminisme sosialis bergerak untuk membebaskan

wanita melalui struktur patriarkhi. Perubahan struktur patriarkhi bertujuan agar

kesetaraan gender dapat terwujud. Menurut para feminis sosialis, perwujudan

kesetaraan gender adalah salah satu syarat penting untuk terciptanya masyarakat

tanpa kelas, egaliter, atau tanpa hierarki horizontal. Dalam kiprahnya, feminisme

sosialis adalah feminisme yang mengadopsi teori Marxisme, yaitu teori

penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka

merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha

untuk membangkitkan rasa emosi (emotional arousal) pada para wanita agar

mereka bangkit untuk mengubah keadaanya. Timbulnya kesadaran bahwa para

wanita adalah kaum tertindas, akan membuat para wanita bangkit emosinya, dan

secara kelompok diharapkan dapat mengadakan konflik langsung dengan

kelompok dominan (pria). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas wanita dan

kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarkhi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari uraian di atas terlihat bahwa feminisme marxis dan feminisme

sosialis terlihat agak berbeda konteks dan cara pandang kedua kelompok tersebut

mengenai penyebab tertindasnya perempuan. Feminisme marxis lebih melihat

kepada kapitalisme daripada seksisme, sementara feminisme sosialis lebih melihat

kepada kapitalisme dan patriarkhi. Namun, feminis marxis dan sosialis percaya

bahwa opresi terhadap perempuan merupakan hasil dari produk struktur politik,

sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup. Hal tersebut bukanlah hasil

tindakan sengaja dari satu individu.

2.3 Pendekatan Sosiologi Sastra

Sastra merupakan ekspresi kehidupan manusia yang tergambar dari

masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal

yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan

sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika

antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan

penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.

Novel dan karya sastra lainnya berasal dari gejala sosial dan sangat terikat

dengan waktu tertentu dalam sejarah sosial. The form and content of the novel

derive more closely from social phenomena and often seem bound up with

particular moments in the history of society, (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 35).

Para pengarang menganalisis data dari kehidupan sosial, menginterprestasikannya,

memberinya bentuk dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sastra lahir dari

hasil observasi rasional dan merupakan pengalaman dari realitas yang dirancang

dengan baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Levin (dalam Elizabeth, 1973: 66) mengatakan bahwa sastra dengan isinya

yang asli adalah seni yang dengan berani mengekspresikan kedalaman jiwa dan

keseluruhan realitas sisial, dapat merupakan ekspresi dari individu dan juga

ekspresi kolektif dari masyarakat. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa “a novel is a

kind of portable mirror which can be conveyed everywhere and which is most

convenient for reflecting all aspects of nature and life”. Novel itu seperti cermin

kecil yang dapat dibawa ke mana-mana dan merefleksikan dengan jelas apa pun

yang ada di depannya alam dan kehidupan manusia.

Seperti yang dikatakan oleh Levin, Endraswara (2013: 78) juga

mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan

ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra

tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu

sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan

sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan

tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Pengarang berusaha mengungkapkan kekacauan yang terjadi pada orang per orang

atau sekelompok orang dengan demikian sastra tidak hanya “To make sense of our

lives but also to make nonsense of our lives” (Zeraffa dalam Elizabeth, 1973: 31).

Persamaan dunia fiktif dengan dunia nyata membuat karya sastra seperti asli dan

bermakna yang membuat kita memahami dunia nyata dengan lebih baik.

Novel merupakan usaha untuk menciptakan kembali kehidupan

bermasyarakat yang berhubungan dengan keluarganya, politiknya, negaranya,

peraturan, konflik, dan tegangan konflik antar kelompok dan kelas sosial. Sebagai

sebuah dokumen murni, satu hal yang dapat dilihat bahwa novel banyak memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kesamaan sosial, ekonomi, dan politik selayaknya ilmu sosiologi. Akan tetapi,

dokumen dalam sastra lebih dari itu; sebagai sebuah karya seni, sastra tidak

memasukkan kehidupan masyarakat secara permukaan saja, namun juga

memperlihatkan cara-cara pengalaman dan perasaan masyarakat.

Swingewood (dalam Yasa 2012: 22) membuat tiga perspektif dalam

melihat fenomena sosial dalam karya satra. Pertama, perspektif yang paling

populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada

cermin zaman. Perspektif ini memfokuskan perhatian pada teks sastra sebagai

objek kajian dengan asumsi dasarnya adalah bahwa karya merupakan cermin

zaman.

Kedua, perspektif kedua tentang sosiologi sastra mengambil cara lain

dengan memberikan penekanan pada bagian produksi dan lebih khusus pada

situasi sosial penulis. Pada perspektif kedua ini, fokus perhatian penelitian

diarahkan pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Perspektif kedua ini

bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan cermin situasi sosial

penulis.

Ketiga, perspektif ketiga menuntut satu keahlian yang lebih tinggi,

mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra benar-benar diterima oleh

masyarakat tertentu dan pada suatu momen sejarah tertentu. Perspektif ketiga ini

memfokuskan perhatian pada penerimaan masyarakat terhadap karya sastra terkait

dengan momen sejarah. Asumsi dasarnya adalah karya sastra sebagai refleksi

peristiwa sejarah.

Pada kutipan di bawah dapat dilihat bahwa novel adalah karya sastra yang

dapat mewakili manusia secara eksplisit dari perspektif sejarah dan sosial.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keberadaan novel seolah menegaskan bahwa tidak ada masyarakat tanpa sejarah

dan juga tidak ada sejarah tanpa masyarakat. Dengan adanya novel, masyarakat

masuk ke dalam sejarah dan sejarah masuk ke dalam masyarakat.

Implicit in the text of the novel are the propositions that man have
lives by himself and above all, that he has a past, a present and a
future. The novels emergence as an art form affirms, essentially, that
there was no society without history, nor history without society. With
the novel, society enters history and history enters into society (Zeraffa
dalam Elizabeth, 1973: 39).
Selanjutnya Goldmann (dalam Elizabeth, 1973: 109) menegaskan bahwa

tidak ada penelitian sosial yang realistis jika tidak bersifat historis dan tidak ada

penelitian historis yang bersifat ilmiah dan realistis jika tidak mengandung unsur-

unsur sosiologis. Jadi, dalam mempelajari fakta-fakta kemanusian dalam struktur

dan realitas konkretnya diperlukan metode yang sekaligus sosiologis dan historis.

Seorang pengarang besar mengemban tugas yang mendesak, yaitu

memainkan tokoh-tokoh ciptaannya dalam satu situasi rekaan untuk

mengungkapkan nilai dan makna dalam dunia sosial. Mereka tidak sekedar

menggambarkan dunia sosial secara mentah, tetapi berhadapan dengan norma dan

nilai. Dalam sastra, juga dicerminkan nilai dan norma yang secara sadar

difokuskan dan yang diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra

juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu,

kemungkinan sastra tersebut bisa merupakan salah satu ukuran sosiologis yang

paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.

Karya sastra juga merefleksikan langsung berbagai segi sosial, hubungan

keluarga, konflik kelas, dan mungkin kecenderungan pemisahan susunan

masyarakat. Dalam konteks ini, seorang sosiologi, sastra berusaha

menghubungkan karakter tokoh-tokoh dan situasi yang ada dalam cerita dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


situasi sejarah yang melingkupi kehidupan penulis. Dia harus mengubah arti tema

dan gaya dalam karya sastra yang sifatnya pribadi menjadi bersifat sosial.

Karya sastra seperti sebuah cermin, merefleksikan situasi zamannya.

Setiap zaman mengenal pertentangan kelas dan hasil sastra mengarah pada suara

kelas tertentu sehingga ia merupakan alat perjuangan kelas. Keadaan sosial selalu

ditandai dengan pertentangan kelas dan seorang penulis akan menyuarakan

kelasnya. Kesan pertentangan kelas ini akan ditemui dalam karya sastra sehingga

tokoh-tokoh di dalamnya merupakan tokoh yang representatif (representatif

figure) yang mewakili kelas sosial tertentu. Karya sastra adalah suatu wadah yang

merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia karena di samping

sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial, maka dinamika sosial

budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Sinkronisasi antara fakta

imajiner dengan fakta realitas sebagai bukti bahwa sastra adalah refleksi sosial.

Menurut Ratna (2004: 339) sosiologi sastra adalah analisis karya sastra

dalam kaitannya dengan masyarakat maka model analisis yang paling tepat adalah

dengan menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra,

kemudian dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dunia nyata.

2.4 Perubahan Makna

Makna suatu bahasa dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh

berbagai faktor oleh pemakai bahasa tersebut. Menurut Chaer (2009: 130-139),

faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata antara lain

adalah perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan

budaya, perkembangan bidang pemakaian, adanya sosiasi, pertukaran tanggapan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


indra, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses gramatikal, dan

pengembangan istilah. Dari faktor-faktor terjadinya perubahan makna tersebut

berikut jenis-jenis perubahan makna menurut Chaer (2009: 140-145).

1. Meluas

Perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau

leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian

karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Umpamanya pada

kata saudara, pada mulanya hanya bermakna „seperut‟ atau „sekandung‟.

Kemudian maknanya berkembang menjadi „siapa saja yang sepertalian darah‟.

Akibatnya, anak paman pun disebut saudara.

Proses perluasan makna ini dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat,

tetapi dapat terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun, yang perlu

diingat adalah bahwa makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan iu

masih berada dalam lingkup poliseminya. Jadi, makna-makna itu masih ada

hubungannya dengan makna aslinya.

2. Menyempit

Perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang

pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi

terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada

mulanya berarti „orang pandai‟ atau „cendikiawan‟, kemudian hanya berarti

„orang yang lulus dari perguruan tinggi‟, seperti tampak pada sarjana sastra,

sarjana ekonomi, dan sarjana hukum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Perubahan Total

Perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari

makna aslinya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih

ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya

sudah jauh sekali. Misalkan, kata ceramah yang dulunya berarti 'cerewet', tetapi

sekarang kata itu berarti 'pidato' atau 'uraian'.

4. Penghalusan (Eufemia)

Dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini maka akan berhadapan

dengan gejala yang ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap

memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan dari kata atau ujaran

sebelumnya. Misalnya pada kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga

dan kini diganti lagi menjadi pramuwisma.

5. Pengasaran (Disfemia)

Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha

untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata

yang maknanya kasar. Usaha-usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan

orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan.

Misalnya kata atau ungkapan masuk kotak dipakai untuk menggantikan kata kalah

seperti pada kalimat Taufik sudah masuk kotak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5 Konsep

2.5.1 Ketidakadilan Gender

Menurut Fakih (2008: 76), perbedaan gender (gender difference) pada

proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak

menimbulkan masalah, makanya tak pernah digugat. Akan tetapi yang menjadi

masalah dan perlu digugat oleh meraka adalah struktur ketidakadilan yang

ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut. Berdasarkan studi

yang dilakukan dengan menggunakan analisis gender ini, banyak ditemukan

manifestasi ketidakadilan seperti berikut: Pertama, terjadi marginalisasi

(pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Kedua, terjadi subordinasi

terhadap salah satu jenis kelamin, umumnya kaum perempuan. Ketiga, adalah

pelabelan negatif (streotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan strotipe itu

mengakibatkan terjadinya diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.

Keempat, kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya

perempuan, karena perbedaan gender. Kelima, karena peran gender perempuan

adalah mengolah rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban

kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden).

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang dikemukakan oleh Fakih

tersebut diungkapkan pula oleh Handayani dan Sugiarti (2008: 15-16). Guna

memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan

gender tersebut dapat dipahami sebagai berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5.1.1 Marginalisasi

Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Ada beberapa

mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan. Dari segi sumbernya bisa

berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi

dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender adalah adanya

program di bidang pertanian misalnya: revolusi hijau yang memfokuskan pada

petani laki-laki mengakibatkan banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin.

Sesungguhnya banyak proses di dalam masyarakat dan negara yang

memarginalkan masyarakat, seperti proses eksploitasi namun ada salah satu

bentuk pemiskinan yang berakibat hanya pada jenis kelamin tertentu (perempuan)

yang disebabkan oleh keyakinan gender. Ada berbagai macam dan bentuk, serta

mekanisme proses marginalisasi perempuan akibat dari ideologi tersebut. Dari

segi sumbernya dapat dipilah menjadi sumber kebijakan pemerintah, keyakinan

atau tafsiran keagamaan, tradisi atau kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

2.5.1.2 Subordinasi

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat

dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tesubordinasi oleh faktor-faktor

yang dikonstruksikan secara sosial. Hal ini disebabkan karena belum

terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya

diskriminasi kerja bagi perempuan. Anggapan sementara perempuan itu irrasional

atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Diskriminasi yang

diderita oleh kaum perempuan pada sektor, pekerjaan misalnya presentase jumlah

pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak

perempuan yang berkaitan dengan kodratnya yang belum terpenuhi. Agar

perempuan tidak tersubordinasi lagi, maka perempuan harus mengejar berbagai

ketertinggalan dari lelaki untuk meningkatkan kemampuan kedudukan, peranan,

kesempatan, dan kemandirian, serta ketahanan spritualnya. Dengan demikian

perempuan mampu berperan bersama-sama laki-laki sebagai mitra sejajar yang

selaras, serasi, seimbang yang ditujukan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa

semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah

dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki.

Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan sendiri akhirnya

menganggap bahwa pekerjaan domestik dan reproduksi lebih rendah dan

ditinggalkan. Subordinasi terhadap jenis pekerjaan perempuan ini ternyata tidak

hanya terjadi di rumah tangga, juga terproyeksi di tingkat masyarakat dan tempat

pekerjaan (pabrik).

2.5.1.3 Streotipe

Streotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan

tertentu. Streotipe adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum streotipe merupakan

pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya

pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


negatip. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya

laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan

perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, atau keibuan.

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak streotip

yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang

perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan

pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka pelung perempuan untuk bekerja di luar

rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang berpendidikan tidak

pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasi diri. Akibat adanya

streotipe (pelabelan) ini banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah

merupakan kodrat.

2.5.1.4 Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik

maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia ini

sumbernya macam-macam, namun ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber

anggapan gender. Kekerasan ini disebut sebagai “gender-related violence”, yang

pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam bentuk kejahatan

yang dapat dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah

tangga sampai tingkat negara, bahkan tafsiran agama.

Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-

laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-lakiuntuk

memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan

seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi sistem patriarkhi

yang berkembang di masyarakat.

2.5.1.5 Beban Kerja

Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara,

rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua

pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu

perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja di domestik, mereka

masih harus bekerja membantu mencari nafkah. Bagi golongan kelas kaya, beban

kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic

workers). Mereka inilah yang sesungguhnya menjadi korban dari bias gender di

masyarakat. mereka bekerja berat, tanpa perlindungan dan kebijakan negara.

Selain tanpa perlindungan hubungan mereka bersifat feodalistik dan perbudakan,

serta masalahnya belum bisa secara transparan dilihat oleh masyarakat luas.

2.5.2 Citra Perempuan

Kata citra dalam penelitian ini mengacu pada makna setiap gambaran

pikiran. Menurut Sugihastuti (2007: 45), citra artinya rupa, gambaran; dapat

berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental

(bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan

merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Ganelli, dkk (2010: 5) mengatakan citra merupakan segala bentuk tingkah

laku individu yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan

menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik datang dari luar dirinya atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lingkungannya maupun dari dalam dirinya sendiri, sehingga tingkah laku individu

adalah manifesti dari kepribadian yang dimilikinya sebagai perpaduan yang

timbul dari dalam lingkungan.

Citra perempuan diambil dari gambaran-gambaran citraan yang

ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pencecapan

tentang perempuan. Citra perempuan dalam novel yang dimunculkan pengarang

adalah sebagai gambaran dari efek tentang perempuan, gambaran angan dalam

novel merupakan hasil pengungkapan pikiran terhadap objek, yaitu perempuan.

Hellwig (2012: 20) mengatakan parameter citra perempuan adalah

gambaran tentang perempuan dalam kehidupannya di ranah domestik dan di ranah

publik. Penggambaran citra perempuan sebagai perempuan mandiri maupun

sebagai perempuan yang hidup terperangkap norma-norma patriarkal yang

dibebankan kepadanya sebagai seorang istri. Unsur-unsur yang membentuk dan

membangun citra diri,antara lain pendidikan, pekerjaan, kepribadian, kehidupan

keluarga, kehidupan sosial, lingkungan,dan gaya hidup.

Tulisan Hellwig dengan judul Citra Perempuan di Hindia Belanda pada

tahun 2007 menjelaskan kehidupan perempuan yang berhubungan dengan

ekonomi masyarakat jajahan, hubungannya perempuan dengan gender, pengarang

dan pembacanya, kecemburuan dan rasa tidak puas serta gambaran perempuan

secara umum. Contoh-contoh citra perempuan pada masa Hindia Belanda

karangan Hellwig sebagai berikut.

1. Njai Dasima

Citra perempuan yang digambarkan dalam tokoh Njai Desima

dalam novel Tjerita Njai Dasima (1813) karya G. Francis adalah sosok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perempuan yang bahagia dengan pasangannya. Sama sekali tidak ada

masalah diskriminasi berdasarkan rasa tau gender, perempuan itu menjadi

nyai atas keinginannya sendiri, dan majikan mereka sangat ramah dan

menaruh hormat kepadanya.

2. Nji Paina

Nji Paina dalam novel Tjerita Nji Paina (1900) karya H. Kommer

dicitrakan sebagai sosok yang mau mengalah. Ia dipaksa menjadi „nyai‟

Briot. Ia harus melayani dan menyerahkan diri kepada lelaki yang tidak

tahu adat, kasar dan pemabuk. Nji Paina menerima situasi ini untuk

menyelamatkan keluarganya dari bencana, dan akhirnya ia menang dan

berhasil menghilangkan lawan kolonialnya yang menjijikkan dengan

menularkan penyakit cacar kepadanya.

3. Etty Van Welven, Leonie Van Oudijck, dan Jet Revenga.

Ketiga perempuan ini merupakan istri para Residen, namun tak ada

satupun diantara mereka yang merasa berbahagia dalam perkawinan. Etty

Van Welven dalam novel De Familie Van Den Resident karya A. Teixeira

de Mattos, Leonie Van Oudijk dalam novel De Stille Kracht karya Louis

Couperus, dan Jet Revenga dalam novel Tjerita Controleur Malheure

karya Th. H. Phoa. Mereka dicitrakan sebagai perempuan yang

bergelimang harta namun dituduh sebagai penyebab kejatuhan dari suami

mereka. Sebagai imbangan atas ketidakpuasan mereka Leonie Van

Oudijck dan Jet Revenga memperturutkan hati dalam hubungan diluar

pernikahan, sedangkan Etty Van Welven bergelimang dalam pemborosan.

Mereka dianggap menodai dan merusak nama baik keluarga. Sebaliknya,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


suami mereka juga patut di salahkan karena tak cukup memberi

pemahaman terhadap istri mereka dan terhadap kebutuhan-kebutukan

mereka.

Keterkaitan antara citra perempuan dengan karya sastra terlihat, ketika isi

dari karya sastra tersebut mengisahkan tentang seorang perempuan. Pencitraan itu

termasuk kedalam unsur cerita dan selalu melekat pada tokoh tersebut. Perempuan

dapat dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan

sebagai makhluk sosial yang beraspek keluarga dan masyarakat. Aspek-aspek ini

terinci atas dasar citra pemikiran terhadapnya (Sugihastuti, 2000: 46).

2.5.2.1 Citra Perempuan dalam Aspek Fisis

Secara fisik, memang kodrat biologis sudah tidak dapat diubah.

Perempuan dalam denotatifnya memiliki fisik yang berbeda dengan laki-laki.

Akan tetapi secara psikis dan sosial, kodrat fisik itu dapat dikembangkannya

sehingga perempuan dapat martabat yang sesuai. Diskriminasi fisik seperti ini

membawa konsekuensi pada deskriminasi norma-norma tentang status dan peran

perempuan dalam masyarakat, seperti nanti dapat dilihat dalam aspek citra sosial

perempuan.

Perempuan tidak menganggap atau melihat sesuatu sama dengan laki-laki.

Perempuan mempunyai pikiran dan perasaan yang berlainan tentang apa yang

penting dan tidak penting baginya. Hanya perempuan, menurut alasan tertentu

mengalami pengalaman hidup yang khusus bagi perempuan, seperti mengalami

ovulasi, menstruasi, dan bersalin. Maka dari itu hanya perempuan yang dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berbicara tentang kehidupan kaumnya. Hal ini ditunjukkan oleh kesejajaran fisis

dan psikis perempuan dengan pengarang yang perempuan pula.

Citra fisis perempuan tergambar secara fisiologis dicirikan oleh tanda-

tanda jasmani antara lain dengan dialaminya haid, tumbuhnya bulu di bagian

badan tertentu, perubahan suara, dan lain sebagainya. Menurut Sadli (dalam

Sugihastuti 2000: 85), anak perempuan pada usia tertentu juga membuat berbagai

keputusan karena karakteristik sekundernya sebagai ciri fisik. Tergantung dari apa

yang menjadi ketentuan mengenai perempuan, maka ia harus memutuskan apa

yang akan dilakukan karena ia mengalami siklus haid, atau karena buah dadanya

mulai membesar. Tanda-tanda fisik yang mengantarkan anak perempuan menjadi

perempuan dewasa ini mempengaruhi pula perilaku yang dianggap pantas baginya

sebagai perempuan dewasa. Sehubungan dengan karakteristik sekunder itu,

perempuan juga harus mengambil keputusan yang tidak terlepas dari

keinginannya sebagai perempuan dewasa dan dianggap pantas baginya. Selain itu,

masa perkawinan juga mengisyaratkan bahwa secara fisik citra perempuan

ditunjukkan sebagai perempuan dewasa.

Dalam karya sastra citra fisis perempuan dapat dilihat dari pembaca

sebagai penerima. Pembaca sebagai penerima mempunyai perspektif dalam

menempatkan informasi sebagai suatu hal yang umum sebagai representasi yang

merupakan identitas makna. Oleh karena itu, Sugihastuti (2000: 90),

menyimpulkan bahwa citra fisis perempuan dapat dilihat dari dua arah, dari

pengarang sebagai pengirim atau pembaca sebagai penerima. Kedua-duanya tidak

menimbulkan perbedaan karena realitas yang dihadapi bahwa fisik perempuan itu

tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam aspek fisis perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang lebih

lemah daripada laki-laki, tidak berdaya dan menempati posisi yang tidak

menguntungkan bagi dirinya. Kelemahan fisik perempuan dianggap sebagai takdir

dan perlu disangsikan. Anggapan-anggapan yang muncul atas citra fisis

perempuan itu dapat berangkat dari denotasi dan konotasi kata yang digunakan

pengarang dalam karyanya. Denotasi merupakan hubungan langsung antara

penanda dan unit budaya yang dibentuk oleh kode dan konotasi merupakan satuan

budaya yang ditimbulkan oleh denotasi itu. Dengan demikian citra fisis

perempuan dalam batas denotasi dan konotasi kata-kata yang dipilih oleh

pengarang ini terbentuk dalam novel yang dapat menerima satu atau lebih makna

potensialnya. Mekanisme konotasi yang berdasarkan pada denotasinya.

Sugihastuti (2000: 92), mengatakan bahwa aspek fisis yang khas

perempuan mempunyai implikasi tertentu terhadap pengembangan perilakunya.

Sebaliknya karena adanya interaksi kompleks antara aspek fisis dan ketentuan

lingkungan sosialnya, maka perbedaan perempuan dan laki-laki sering

disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Aspek fisis tidak terlepas dari aspek

psikis sebagai komponen aspek perwujudan citra perempuan. Seperti diketahui

bahwa perempuan sebagai sosok manusia dibangun atas aspek fisis dan psikisnya.

Maka dari itu sedikit banyak berpengaruh terhadap citra psikisnya. Misalnya, ada

beberapa di antara ciri-ciri citra fisis perempuan yang berpengaruh terhadap citra

psikisnya. Pengaruh ini pada kelanjutannya bergeser mempengaruhi pula citra

sosialnya. Jadi, antar aspek perempuan itu sebenarnya saling berkaitan dalam

perempuan mencapai martabat hidupnya. Secara fisis perempuan sudah

dikodratkan bebeda dengan laki-laki sejak awal terbentuknya kromosom; namun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


secara psikis dan sosial, perempuan dapat mencapai martabat wajar yang sesuai

dengan citra dirinya.

2.5.2.2 Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

Citra perempuan yang ditinjau dari segi psikis atau kejiwaan, yaitu

gambaran tentang perempuan yang dilihat dari segi psikologisnya, seperti

mentalitas, ukuran moral, dapat membedakan yang baik dan tidak baik, dan antara

yang benar dan salah, temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi, sikap dan

perilaku, dan IQ (Intelegence Quantent) atau tingkat kecerdasan.

Ditinjau dari aspek psikisnya, wanita adalah makhluk psikologis, makhluk

yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi. Dengan mengingat aspek fisis dan

psikis itu, keduanya ikut mempengaruhi dan menentukan citra perilakunya. Aspek

psikis perempuan tidak dapat dipisahkan juga dari apa yang disebut sebagai

feminitas. Prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung (dalam Sugihastuti, 2000:

95), sebagai sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri

perempuan; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness,

receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup orientasinya komunal,

dan memelihara hubungan interpersonal.

Kartono (dalam Sugihastuti 2000: 97) mengatakan citra fisis perempuan

erat kaitannya dengan citra psikis, bahwa perempuan itu lebih banyak mengarah

ke luar, kepada subjek lain. Pada setiap kecenderungan kewanitaannya, misalnya

saja pada caranya berhias, secara primer perempuan menunjukkan aktivitasnya ke

luar, untuk menarik perhatian pihak lain, terutama seks lain. Langer (dalam

Sugihastuti 2000: 97) berpendapat bahwa pengaruh timbal balik antara aspek fisis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan psikis wanita itu merupakan sesuatu hal yang tak terhindarkan. Konsep dasar

dari perkembangan aspek psikis yang berhubungan dengan konseptualisasi

manusia (termasuk perempuan) dalam hubungannya dengan lingkungan adalah

bahwa perempuan itu merupakan makhluk yang aktif. Aspek fisis yang sudah

tercirikan oleh wanita itu dengan sendirinya pula mempengaruhi aspek psikisnya,

yang juga merupakan aspek psikis sebagai citra perempuan. Dalam aspek fisis

memang terjadi perbedaan dasar yang tidak dapat dielakkan, namun secara citra

psikis perempuan tidak harus diterima sebagaimana adanya.

Perempuan dilahirkan berbeda secara biopsikologis dengan laki-laki hal

ini akan juga mempengaruhi pengembangan dirinya. Pengembangan dirinya

berawal dari lingkungan keluarga, keluarga hasil perkawinannya, dan

pengalaman-pengalaman lain dari interaksi sosialnya. Interaksi sosial dapat

terwujud pada sesama perempuan, pada interaksi dengan laki-laki sebagai lawan

jenisnya, atau interaksi dalam keluarga dan masyarakat secara luas. Interaksi

prempuan dengan lingkungan sosialnya akan mempengaruhi perempuan dalam

bersikap dan mempengaruhi pula cara perempuan dalam menghadapi berbagai

masalah yang menimpanya.

Aspek psikis perempuan dapat tercitrakan dari gambaran pribadi.

Gambaran pribadi perempuan itu secara karakteristik dan normatif sudah

terbentuk dan relatif stabil sifatnya juga stabil, misalnya perkawinan, pilihan

sikap, pilihan pekerjaan, dan sebagainya. Perempuan secara psikis bersifat lebih

praktis, lebih langsung, dan meminati segi-segi kehidupan yang kongkret dan

yang sifatnya segera. Perempuan sangat meminati masalah-masalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kerumahtanggaan dan kehidupan sehari-hari, atau kejadian-kejadian yang

berlangsung di sekitarnya.

Menurut Sugihastuti (2000: 106), citra psikis terjadi bukan saja karena

pengaruh aspek fisis, melainkan juga karena pengaruh aspek sosial. Hampir

semua orang yang berkebudayaan berpendapat bahwa perlulah adanya regulasi

terhadap penyelenggaraan hubungan seks dengan peraturan tertentu, namun rupa-

rupanya penyimpangan pun terjadi. Penyimpangan itupun mempengaruhi psikis

perempuan, ia pun merasa bersalah melanggar norma susila yang ada. Sugihastuti

(2000: 107), menambahkan bahwa psikis perempuan juga tercitrakan sebagai

insan yang bersifat sosial, artinya ia menonjolkan sifat kesosialannya. Oleh karena

itu, psikis perempuan tercitrakan sebagai psikis orang yang terbuka bagi orang

lain sehingga ia cepat membuka diri bagi orang lain pula, baik sesama perempuan

maupun bagi lawan jenisnya.

Heymans (dalam Sugihastuti 2000: 108) mengatakan perbedaan antara

psikis laki-laki dan perempuan itu terletak pada sifat-sifat sekundaritas,

emosionalitas, dan aktivitas fungsi-fungsi kejiwaan; pada diri wanita, fungsi

sekundaritas tidak terletak di bidang intelek, akan tetapi pada perasaan. Ciri ini

yang menandai citra psikisnya. Dari uraian tersebut, Sugihastuti (2000: 108),

menyimpulkan bahwa dari aspek psikisnya, perempuan berbeda dengan laki-laki

seperti dinyatakan dalam psikologi. Perbedaan ini disadari perempuan memang

karena dirasakannya. Dilihat dari aspek psikis pun, terbukti bahwa ada ideologi

yang sifatnya patriarkal. Perempuan secara sadar mengetahui kenyataan ini,

namun tidak sempat membuka selubung patriarkal yang menutupinya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam aspek psikis pula, tercitrakan wanita secara alami bernilai lebih

rendah daripada pria. Seperti dikatakan Ruthven (dalam Sugihastuti 2000: 109)

bahwa nilai rendah dan rendah dan penentuan batas perempuan tidak ada

kaitannya dengan sifat biologis alami, akan tetapi dengan proses sosialisasi.

Hurlock (dalam Sugihastuti 2000: 109) mengatakan citra psikis wanita tidak saja

langsung berkaitan dengan fisis, namun juga dengan misalnya caranya berpakaian.

Pakaian dapat mencitrakan kepribadian seseorang karena pakaian memberi

kepuasan emosional. Pakaian yang dikenakan perempuan, misalnya,

mempengaruhi bagaimana ia merasa dan bagaimana ia berbuat. Pakaian

mempunyai efek yang penting terhadap suasana hati dan tingkah laku seseorang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa citra psikis perempuan terbentuk

sedemikian rupa dalam hubungannya dengan aspek fisis. Ciri-ciri yang

ditunjukkan oleh aspek fisis dan psikis ini saling berkaitan.

2.5.2.3 Citra Perempuan dalam Aspek Sosial

Wolfman (dalam Sugihastuti 2000:121) mengatakan citra perempuan

dalam aspek sosial disederhanakan dalam dua peran, yaitu peran perempuan

dalam keluarga dan peran perempuan dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang

dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dengan cara bertingkah laku untuk

menyelaraskan diri dengan keadaan. Menurut Sugihastuti (2000: 121), peran dapat

berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang

berkedudukan dalam masyarakat. Peranan perempuan artinya bagian dari tugas

utama yang harus dilaksanakan perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sugihastuti (2000: 121), berpendapat bahwa sebenarnya dapat dilihat ada

tujuh peranan yang dapat dimainkan wanita, sebagian lebih berorientasi pada

keluarga dan sebagian lebih beriorentasi pada keluarga dan sebagian lebih

berorientasi pada masyarakat. Ketujuh peranan tadi adalah peranan: 1) sebagai

orang tua, 2)sebagai istri, 3) di dalam rumah tangga, 4) di dalam kekerabatan, 5)

pribadi, 6) di dalam komunitas, dan 7) di dalam pekerjaan (Oppong dan Church,

1981: 1). Peran-peran itu menyangkut peran perempuan sebagai makhluk individu

dan sekaligus sebagai makhluk sosial.Pemisahan secara tegas setiap peran tidak

memungkinkan, peran-peran itu saling berkaitan.

Dalam berbagai peran itu, terdapat pola-pola tingkah laku dan harapan-

harapan sederhana yang menuntun tindakan-tindakan dan tanggapan-

tanggapannya jika wanita itu memangku peran yang bersangkutan. Hubungan

berbagai peran dapat semakin rumit, namun masih bisa disederhanakan dalam

klasifikasi peran secara global, yaitu dalam keluarga dan dalam masyarakat

sebagai berikut.

1. Citra Perempuan dalam Keluarga

Dari aspek fisis dan psikis terlihat bahwa perempuan berbeda dengan laki-

laki, perbedaan ini mempengaruhi pula citranya dalam keluarga. Terdapat banyak

alasan untuk memilih dan memainkan peran perempuan dalam keluarga. Ada

perempuan yang menerima peran domestik secara rela, namun ada pula yang tidak

rela menerimanya.

Dalam aspek fisis dan psikis perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan

ini juga yang mempengaruhi citranya dalam keluarga. Seorang perempuan sudah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sewajarnya tercitrakan hidup di lingkungan rumah tangga. Tugasnya sebagai

seorang ibu dan pendidik anak-anaknya merupakan tugas yang diberikan alam

kepada mereka. Karena itu, citra perempuan dalam keluarga dianggap sebagai

citra sosial yang alamiah. Perempuan dalam keluarga tercitrakan sebagai insan

yang secara ekonomis berrgantung pada laki-laki karena pekerjaan yang

dilakukannya tidak menghasilkan uang.

Sebagai anggota keluarga, perempuan sibuk dengan pekerjaan

domestiknya, Pekerjaan tersebut meskipun jelas berguna tidak mempunyai nilai

pasar dan nilai tukar uang. Sehingga perempuan seolah-olah tergantung kepada

laki-laki. Dalam menanggapi citra seperti ini, laki-laki dan perempuan sudah

sewajarnya sadar terhadap kesepakatan tentang kenyataan bahwa ada ideologi

seks yang patriarkal. Sebuah syarat untuk untuk mengubah ideologi ini adalah

penerimaan umum tentang hubungan kekuasaan di antara jenis kelamin, antara

perempuan dan laki-laki, yang itu semua termasuk ke dalam politik; politik

pribadi adalah politik dan politik seksual adalah ungkapan yang banyak didengar

di dalam feminisme.

Sebagian perempuan merasa bahwa keluarga merupakan tembok yang

mengukungnya, tidak adanya cinta di dalamnya, maka ia lari ke luar mencari cinta

yang lain. Citra perempuan yang tergambarkan dalam perannya sebagai istri,

sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai anggota keluarga. Sebagai seorang

istri dan kekasih suaminya, perempuan bersikap sesuai dengan aspek fisis dan

psikis yang dimilikinya, kedua aspek itu secara biologis membedakannya dengan

laki-laki. Akan tetapi, ada kalanya pria yang dikasihi itu berpretensi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyalahgunakan citra perempuan sehingga perempuan merasa tersudut ke

tempat yang tidak membahagiakan.

Perempuan sebagai anggota keluarga dicitrakan sebagai makhluk yang

disibukkan dengan berbagai aktivitas domestik kerumahtanggaan; banyak

pekerjaan rumah tangga, yang dianggap sebagai tetek bengek, menjadi tanggung

jawab perempuan. Dalam belenggu banyak pekerjaan domestik kerumahtanggaan

itu, perempuan terhalang untuk berkembang secara sosial, namun dalam peran

seperti itu perempuan tetap berfungsi sesuai dengan aspek fisis dan psikisnya.

2. Citra Perempuan dalam Masyarakat

Sugihastuti (2000: 131), mengatakan bahawa selain citra perempuan dalam

keluarga, citra perempuan dalam masyarakat juga tercakup pada citra perempuan

dalam aspek sosial. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya

memerlukan manusia lain. Demikian juga bagi perempuan, hubungannya dengan

manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum tergantung pada bentuk

sifat hubungan itu. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungan

antarorang, termasuk hubungan antara perempuan dengan laki-laki orang seorang.

Anwar (dalam Sugihastuti 2000: 134) mengatakan ada beberapa faktor

yang mempengaruhi sikap sosial seseorang, antara lain dari pengalaman pribadi,

kebudayaan, media massa, orang lain yang dianggap penting, institusi atau

lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor-faktor emosi dalam diri

individu.

Dari pengalaman pribadi perempuan dapat mempengaruhi psikisnya, yang

kemudian pengalaman itu membentuk sikapnya. Pembentukan kesan dan

tangapan perempuan atas sikap perempuan atas sikap sosial sesama manusia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


antara laki-laki dan perempuan itu merupakan proses yang kompleks dalam

dirinya. Pengalaman pribadilah yang menjadikan kesan kuat itu sebagai

pendorong sikap sosialnya. Perempuan perlu merasa perlu menuntut atas sikap

laki-laki yang merugikannya.

Stereotip-stereotip tradisional masih menandai citra sosial perempuan yang

antara lain ditunjukkan oleh superioritas laki-laki. Perempuan perlu menyuarakan

dan memperjuangkan hak-haknya dan berusaha melawan stereotip itu. Stereotip

tradisional antara lain mengatakan bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup

terbatas dalam lingkungan rumah tangga, mengurusi anak dan rumah tangga,

mengurusi hal-hal sepele, mencuci dan sebagainya. Tugas perempuan seperti itu

sebagian dari mereka dapat diterima, menurutnya itu merupakan tugas yang

diberikan oleh alam kepadanya. Pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan

seks, yang diatur oleh alam, untuk menciptakan kehidupan manusia yang beradab

diterimanya, karena hal yang demikian dianggap sebagai hal yang wajar dan

alamiah.

Citra perempuan dalam masyarakat terlihat bahwa ada superioritas laki-

laki, ada kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam posisi demikian ini,

perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujuinya sebagai sesuatu

yang semestinya terjadi. Tidak kuasa bagi perempuan untuk menyingkirkan

kekuasaan itu.

Dalam budaya patriarkhi, hubungan laki-laki dengan perempuan dalam

masyarakat merupakan hubungan politik. Millet (dalam Sugihastuti, 2000: 137-

188), mendefenisikan politik sebagai hubungan yang didasarkan pada struktur

kekuasaan, suatu sistem masyarakat tempat kelompok manusia dikendalikan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kelompok manusia lainnya. Lembaga Utama dari sistem patriarkal ialah keluarga.

Begitu lama dan begitu universalnya nilai-nilai patriarkal ini sehingga kekuatan

fisik yang kasar hampir tidak diperlukan walaupun sekali-kali terlihat pula dalam

kekerasan fisik.

Perempuan mempertanyakan apakah perannya itu datang karena kodrat

atau karena masyarakat. Menurut Miller dan Giligan (dalam Sugihastuti, 2000:

140), ada nilai-nilai tersendiri pada sifat-sifat khas kaum wanita. Nilai-nilai itu

berkaitan dengan sifat-sifat fisis dan psikis bawaannya, dan bukan pada proses

pembentukan sosialnya dalam masyarakat. Sepertinya ada pembagian yang jelas

sejak semula sehingga dicitrakan hanya terbatas pada pekerjaan domestik

kerumah tanggaan saja, perempuan sudah ditaksirkan dalam peran domestik

seperti ini. Urusan dunia luar semua milik laki-laki.

Dalam aspek masyarakat, citra perempuan adalah makhluk sosial, yang

hubungannya dengan manusia lain dapat bersifat khusus maupun umum

tergantung kepada bentuk hubungan itu. Hubungan perempuan dalam masyarakat

dimulai dari hubungannya dengan orang-seorang, antarorang, sampai ke

hubungan dengan masyarakat umum. Termasuk ke dalam hubungan orang-

seorang adalah hubungan perempuan dengan laki-laki dalam masyarakat.

Sikap sosialnya perempuan dapat terbentuk karena pengalaman pribadi

dan budaya. Perempuan menolak terhadap streotipe-streotipe tradisonal yang

menyudutkannya ke tempat tidak bahagia. Pengalaman pribadi perempuan

mempengaruhi penghayatannya dan tanggapannya terhadap rangsangan sosial,

termasuk terhadap lawan jenisnya. Tanggapan itu menjadi salah satu terbentuknya

sikap perempuan dalam aspek sosial.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5.2.4 Citra Perempuan dalam Aspek Budaya

Pembicaraan tentang citra tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya, karena

segala tingkah laku tokoh dalam masyarakat ditentukan adanya budaya yang

dimiliki oleh masyarakat itu. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah masyarakat ciptaan pengarang. Keseluruhan cara hidup manusia sebagai bagian

dari lingkungan dikenal sebagai kebudayaan. Adapun kebudayaan oleh Kluckhohn

diungkapkan bahwa keseluruhan cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang

diperoleh seseorang dan kelompoknya (1959: 69). Dan hal tersebut dapat diketahui

bahwa kebudayaan dapat dianggap sebagai bagian dari lingkungan yang diciptakan

oleh manusia. Hubungannya dengan citra perempuan dalam novel bahwa

kebudayaan dihubungkan dengan manusia. Hal tersebut dilandasi dengan

pemikiran bahwa tokoh dalam novel adalah manusia ciptaan pengarang yang mencoba

untuk memahami diri sendiri, serta memahami tingkah laku diri sendiri. Itu

termasuk cara berpikir, cara merasa, dan cara meyakini.

Di samping itu, dalam kebudayaan terdapat sifat karakteristik (sifat pokok)

yang dimiliki oleh semua kebuyaan, antara lain: kebudayaan merupakan milik

bersama dari suatu masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah tertentu yang

dalam kehidupannya terdapat hubungan “ketergantungan” yang lebih bersifat

timbal balik di antara individu-individu yang memiliki kebudayaan yang sama, di

mana masyarakat merupakan pendukung kebudayaan. Sebab pada hakekatnya,

tanpa masyarakat tidak mungkin ada kebudayaan dan masyarakat merupakan

sekumpulan individu, sehingga jika tidak ada masyarakat, manusia yang tidak

berkebudayaan. Penting untuk disadari bahwa meskipun kebudayaan merupakan

milik bersama anggota masyarakat, namun di dalam kebudayaan itu sendiri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terdapat perbedaan-perbedaan, seperti: peranan (perempuan dan laki-laki), jenis

kelamin, umur, stratifikasi sosial dan lain-lain.

Negara-negara Arab dikenal sebagai negara yang masyarakatnya kental

dengan budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi yang male-centres ini memandang

laki-laki lebih berkuasa, mengakibatkan peran perempuan selalu dibatasi. Sampai

saat ini, masih ada beberapa negara yang masih membatasi peran perempuan

diruang publik dunia kerja, bidang politik dan lain-lain. Namun ada juga beberapa

negara yang telah membuka ruang seluas-luasnya agar perempuan dapat berperan

aktif di dalam masyarakat.

Konsep patriarkhi dapat dipakai untuk menjelaskan asal mula dan kondisi

penindasan laki-laki atas wanita. Bhasindan Khan dalam Feminisme dan

relevansinya menjelaskan bahwa patriarkhi adalah sistem yang menindas dan

merendahkan kaum wanita, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam

masyarakat (Bhasin dan Khan, 1995: 26). Kramarae dalam ”The Condition of

patriarchy” mengutip beberapa pendapat mengenai konsep patriarkhi. Konsep-

konsep tersebut merupakan hasil pemikiran Gerda Lerner, Joanna Liddle, Rama

Joshi dan Sally Hacker.

Oleh karena itu perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua

dan mendapatkan ketidakadilan mereka menghadapi pelecehan di jalanan,

menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak

kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan

tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun

perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi

politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mesir adalah salah satu Negara Arab. Mesir tergolong negara paling buruk

dalam hal penerapan hak asasi perempuan di negara-negara Arab menurut suatu

survei. Di Negeri Firaun ini, banyak dijumpai pelecehan seksual dan praktek sunat

terhadap perempuan. Survei dilakukan Thomson Reuters Foundation terhadap

lebih dari 330 ahli gender di 21 negara Liga Arab, termasuk Suriah, selama tiga

tahun sejak Arab Spring pada 2011. Hasilnya, penerapan terbaik ada di Kepulauan

Komoros. Negeri kepulauan ini menempatkan 20 persen kaum perempuannya

pada kursi menteri--menempati urutan pertama terbaik diikuti oleh Oman, Kuwait,

Yordania, dan Qatar. Adapun posisi kedua terburuk setelah Mesir diduduki oleh

Irak, disusul Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Jajak pendapat itu dilakukan dengan

cara bertanya kepada para ahli untuk mengetahui tentang kekerasan terhadap

kaum perempuan, hak-hak melahirkan, pengobatan, serta peran perempuan dalam

politik dan ekonomi.

Masyarakat telah membuang jauh-jauh nilai-nilai yang pernah menjadi

kendala bagi pertisipasi wanita sebagai tenaga kerja. Masyarakat dengan gigihnya

mempertahankan beberapa nilai-nilai usang terutama nilai-nilai yang menjamin

kelangsungan eksploitasi tenaga wanita untuk merawat rumah, suami dan anak-

anak; usaha yang juga berkelanjutan tanpa bayaran. Masyarakat juga menghargai

pekerjaan wanita dan hak, terhadap pendidikan sekaligus meruntuhkan dinding-

dinding dan pagar-pagar sosial yang menghalangi wanita menjadi bagian tenaga

kerja yang bebas.

Saadawi (2001: xxxii) menyimpulkan bahwa meskipun demikian,

masyarakat terus mempertahankan nilai-nilai yang memperhambakan wanita bagi

anak-anak dan suami. Masyarakat terus saja mendendangkan lagu tentang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kebajikan menjadi seorang ibu yang baik, islam juga menyatakan bahwa “surge di

bawah telapak kaki ibu”, dan bahwa kepatuhan kepada suami adalah adalah

kualitas tertinggi wanita sekaligus menjadi tanda ketaatan kepada Allah. Sebagai

seorang wanita Mesir, Saadawi mengatakan bahwa sampai hari ini, seorang

wanita Mesir yang bekerja dan berkarir, bahkan seorang menteri sekalipun masih

diatur oleh undang-undang kepatuhan yang ditasbihkan di dalam Kitab Undang-

Undang Perkawinan Mesir. Ia menambahkan bahwa apabila seorang wanita

mengeluh atas beban pekerjaan rumah tangga yang teramat banyak, atau tidak

mampu memberikan perawatan bagi suami dan anak-anak yang dituntut darinya,

ia akan dikucilkan. Bebagai tuduhan akan ditimpakan ke atas kepalanya, hanya

lantaran mengabaikan anak-anak dan tidak memenuhi keinginan dan kebutuhan

suami, berarti ia ikut mendorong perpecahan “ikatan-ikatan suci keluarga”.

Masyarakat tradisional sering mengatasnamakan agama dan

menjadikannya senjata untuk memenggal bahkan menghancurkan usaha-usaha

para peneliti dan pencari kebenaran. Saadawi mengatakan “Aku telah melihat

dengan sangat jelas bahwa agama paling sering digunakan sekarang sebagai alat

di tangan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, sebagai sebuah lembaga yang

dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa untuk menundukkan orang-orang

yang dikuasainya”.

Untuk meraih emansipasi wanita Arab harus menyapu bersih kondisi-

kondisi yang mendorong penindasan. Emansipasi sejati berarti kemerdekaan dari

segala bentuk eksploitasi baik secara ekonomi, politik, sosial dan kultural. Tidak

diragukan lagi bahwa kemerdekaan dari eksploitasi ekonomi adalah kontribusi

penting dari seluruh tujuan emansipasi, tapi tetap harus dibarengi dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kemerdekaan dari segala bentuk penindasan, baik secara sosial, moral maupun

kultural sehingga perempuan dan juga laki-laki, bisa benar-benar merdeka.

1. Perempuan sebagai Alat

Dalam masyarakat Arab, untuk menahan perlawanan masyarakat dan

mencegah mereka berada pada jalan yang benar yaitu dengan keterbelakangan

keilmuan dan budaya. Salah satu senjata utama yang digunakan untuk menahan

pemberontakan kaum wanita dan para pemuda terhadap sistem dan nilai-nilai

patriarkhi adalah dengan menyalahgunakan Islam dan ajaran-ajarannya. Tidak

diragukan lagi bahwa gelombang fanatisme yang telah menyapu sejumlah negara

Arab di tahun-tahun belakangan ini adalah salah satu cara yang digunakan oleh

kelas penguasa feudal dan kapitalis untuk menahan gerakan-gerakan kearah

kemajuan.

Nilai-nilai ekonomi dan komersial akan berbenturan dengan nilai moral

dan agama jika masyarakatnya dibangun di atas eksploitasi. Masyarakat kelas

patriarkhi dihujani dengan pertentangan-pertentangan yang dalam dan moralitas

ganda yang melintasi setiap aspek kehidupan. Namun selalu banyak orang yang

dikuasai oleh orang lain ketimbang mereka yang berkuasa, kaum perempuan

ketimbang laki-laki, kelas pekerja ketimbang kelas atas, yang ditimpa akibat-

akibat sekaligus membayar arga pertentangan-pertentangan ini yang menjadi lebih

parah di negara-negara miskin dan terbelakang. Daerah Arab dengan kelebihan

pertanian dan sumber minyaknya, secara ekonomi dianggap kaya, hanya saja

kekayaan itu tidak dimiliki rakyatnya karena kekayaan itu lebih banyak dikuasai

oleh perusahaan-perusahaan multi nasional serta segelitir orang-orang arab

kapitalis atau semi feudal. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


masih hidup dalam kondisi yang dicirikan oleh kemiskinan yang mengerikan,

serta keterbelakangan ekonomi dan sosial yang tercermin dalam keterbelakangan

intelektual, mental dan moral yang merajalela dalam berbagai bidang.

Keterbelakangan masyarakat mengakibatkan penindasan ekonomi, moral

dan seksual terhadap wanita. Kekayaan dapat memutarbalikkan dosa menjadi

kebajikan. Wanita meski moralnya bobrok dapat melindungi wanita yang dicerai

agar tidak kehilangan rumah, menjadi pengemis atau pelacur legal maupun illegal.

Uang dapat menolong seorang wanita untuk mendapatkan pengguguran janin

yang tidak diinginkannya di klinik seorang dokter, kendati abosrsi masih dianggap

sebagai sebuah kejahatan. Sedangkan seorang wanita yang miskin akan

mendapatkan hukuman lebih keras untuk kesalahan yang tidak ia buat namun

dijatuhkan kepadanya.

Wanita-wanita Arab adalah korban penindasan yang disebabkan oleh

standar moral ganda yang mengatur masyarakat mereka. Eksploitasi ekonomi

yang dibebankan terhadap negara-negara Arab tidak hanya menyebabkan

penjarahan yang sistematis atas sumber-sumber kekayaan mereka, tetapi juga

memaksakan kepada mereka standar moral ganda akibat pertentangan nilai-nilai

komersial kapitalisme dan nilai-nilai keagamaan yang diwarisi dari masa lalu.

Wanita digunakan sebagai alat, obyek atau instrument oleh iklan-iklan

komersial, bekerja tanpa upah di rumah dan di ladang, pekerja bayaran di luar

rumah dan dilanjutkan dengan bekerja gratis di dalam rumah, dimanfaatkan untuk

melahirkan anak demi tujuan-tujuan reproduksi masyarakat, atau mereka menjadi

obyek seksual yang dipakai untuk memuaskan keinginan dan nafsu laki-laki.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fakta menunjukkan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang para

penguasa, bukan dari sudut pandang rakyat yang dikuasai. Hal ini merupakan

salah satu penyimpangan paling besar dari sejarah penderitaan umat manusia.

Akibatnya hal ini umumnya menjadi cerminan dari kepentingan-kepentingan

kelas penguasa terhadap perempuan. Sejarah dengan demikian telah

menggambarkan kepalsuan fakta-fakta yang berkenaan dengan wanita.

2. Perempuan dan Pekerjaan

Pemisahan yang tegas antara jenis kelamin oleh kelas-kelas sosial tertentu

yang menyebabkan berkembangnya jabatan dan pekerjaan perempuan yang

tujuannya adalah untuk memenuhi dan melayani wanita-wanita tertentu dari

kalangan menengah dan atas. Salah satu dari panggilan pekerjaan tersebut adalah

menjadi perawat, di mana para pekerja dari profesi ini kebanyakan berasal dari

kalangan miskin, karena seorang perempuan atau gadis yang bekerja di luar

rumah dianggap memalukan dan tidak terhormat oleh keluarga yang merasa

mampu memberi makan dan pakaian untuk anggota keluarganya.

Sebagian besar pekerja wanita di Mesir adalah petani yang bekerja untuk

suami dan keluarga mereka tanpa menerima bayaran apapun, atau ibu-ibu rumah

tangga yang sebenarnya adalah pembantu rumah tangga yang tidak digaji.

Walaupun sampai saat ini belum ada satu undang-undang yang membedakan jenis

kelamin sepanjang menyangkut pendidikan dan pekerjaan. Padahal dalam

kenyataannya, diskriminasi sering terjadi. Salah satu contoh diskriminasi ini

terlihat dari tidak adanya pengangkatan hakim untuk perempuan. Sistem peradilan

di Mesir di dominasi oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan dihalangi untuk

menjadi hakim dengan anggapan bahwa seorang perempuan mempunyai sifat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang dinilai tidak cocok untuk memikul tanggung jawab yang berhubungan

dengan persidangan hukum.

Menurut Saadawi (2001: 380), masyarakat Arab dan Mesir masih

menganggap bahwa wanita diciptakan untuk memainkan peran sebagai ibu dan

istri, yang memiliki fungsi dalam kehidupan untuk melayani rumah tangga dan

mendidik anak-anak. Wanita hanya boleh mencari pekerjaan untuk merespon

kebutuhan ekonomi dalam masyarakat maupun keluarga. Saadawi menyebutkan

(2001: 384), bahwa kendala serius yang menentang wanita-wanita Arab sepanjang

menyangkut pekerjaan mereka adalah unang-undang yang berkenaan dengan

perkawinan dan hak sipil. Undang-undang ini masih member kaum laki-laki hak

mutlak untuk melarang istrinya mendapat pekerjaan, bepergian ke luar negeri,

atau bahkan keluar rumah kapan saja kehendak hatinya.

Saadawi (2001: 385), mengatakan bahwa undang-undang tenaga kerja di

Mesir mengizinkan wanita bekerja di luar rumah. Namun undang-undang

perkawinan dan hukum adat memberi suami hak tak terbantah untuk menolak

keizinan istrinya untuk meninggalkan rumah, pergi bekerja dan bepergian.

Namun, Saadawi (2001: 387), menambahkan bahwa bila seorang suami

memperoleh keuntungan bila istri bekerja diluar rumah, mereka akan berdiri

antara kaum wanita dan pekerjaan, atau mendorong bahkan memaksa untuk

mencari pekerjaan tambahan penghasilan yang lebih menguntungkan mereka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.6 Kerangka Pikir

Dalam melakukan suatu penelitian, seorang peneliti harus memiliki tujuan

yang jelas yang harus dicapai. Oleh karena itu, untuk mempermudah tercapainya

tujuan tersebut, dalam melihat dan memberi makna terhadap novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol, penulis menyusun

kerangka pemikiran dengan berdasar pada hasil penelitian yang relevan dan

landasan teori yang dikemukakan sebelumnya. Penelitian ini lebih menitik

beratkan pada penampilan tokoh Utama perempuan dalam novel Memoar Seorang

Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol.

Adapun kerangka pikir penelitian ini nampak pada gambar berikut:

Novel Memoar Seorang Novel Perempuan di Titik


Dokter Perempuan Nol
Perempuan di Titik Nol

Ketidakadilan Gender Citra Perempuan

Margi Subor Streoti Keker Beban Aspek Aspek Aspek Aspek


nalisasi dinasi pe asan Kerja Fisis Psikis Sosial Budaya

Temuan

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi,

subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja serta citra perempuan yang

ditinjau dari aspek fisis, psikis, sosial dan budaya dalam novel Memoar Seorang

Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dalam

penelitian ini dianalisis menggunakan teori feminisme untuk melihat perjuangan

perempuan yang terdapat dalam novel, pendekatan sosiologi sastra untuk melihat

keadaan yang terjadi pada novel dengan keadaan perempuan dalam masyarakat

Mesir yang diambil dari media online. Serta dilihat karakteristik analisis wacana

kritis, dan perubahan makna yang digunakan pengarang dalam membuat

menciptakan sebuah wacana.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika yang digunakan untuk

memahami sebuah karya sastra secara mendasar dan mendalam dengan prinsip

interpretasi atau penafsiran. Peneliti dapat menginterpretasi pesan dan tujuan

pengarang dengan melihat aspek dalam dan luar dari suatu karya sastra untuk

mengungkap makna yang ada di dalamnya.

Ratna (2004: 46) menyatakan, bahwa metode kualitatif pada dasarnya sama

dengan metode hermeneutika. Artinya, baik metode hermeneutika, kualitatif dan

analisis isi, secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan

menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode hermeneutika juga menekankan

keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Pemahaman interpretasi

objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknya.

Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan

masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan

wacana yang terdapat dalam naskah karya sastra. Dalam ruang lingkup

kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan karena tanpa

interpretasi atau penafsiran, peneliti tidak akan mengerti atau menangkap jiwa

zaman di mana kesusastraan itu dibuat (Darwin, 2005: 314).

Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan

masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan

wacana yang terdapat dalam naskah karya sastra.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penelitian kuantitatif budaya dianggap kurang mampu memahami

kedalaman fenomena humaniora. Alasan utama pemakaian penelitian kualitatif

budaya antara lain data yang diperoleh biasanya tidak terstuktur dan relatif

banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan

mengklasifikasikan data melalui penelitian kualitatif. Pengamatan kualitatif

cenderung mengandalkan kekuatan indra peneliti untuk merefleksikan fenomena

budaya. Pengamatan indra ini dipertimbangkan lebih akurat untuk melihat

kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring dengan pergeseran zaman.

Perubahan ini tentu saja sulit diukur dan dihitung dengan metode kuantitatif.

Menurut tradisi kualitatif, sebagai instrumen pengumpul data, peneliti

mengikuti asumsi kultural dan mengikuti data. Peneliti lebih fleksibel dan

reflektif. Dalam penelitian kuantitatif, instrumen berupa alat teknologi telah

dirancang secara matang. Jadi, peneliti tidak fleksibel, imajinatif, dan reflektif.

Penelitian kualitatif lebih menitikberatkan keutuhan (entity) sebuah fenomena

budaya, bukan memandang budaya secara parsial. Unsur pengamatan sangat

menentukan keberhasilan penelitian, terlebih lagi pengamatan berpartisipasi yang

jelas amat penting bagi terlaksananya penelitian budaya.

Penelitian gender adalah suatu kajian yang dilaksanakan untuk memahami

terjadinya ketimpangan sosial yang disebabkan oleh aspek gender. Esensi

penelitian perspektif gender adalah suatu kajian yang secara jelas berusaha

mengungkapkan pengalaman perempuan dan hubungan gender sesuai dengan isu

sentral yang perlu mendapat perhatian (Handayani dan Sugiarti, 2002: 47).

Bagi penelitian yang berfokus pada gender, kepekaan peneliti terhadap

masalah gender harus tinggi sehingga metodologi penelitian tidak bias laki-laki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


atau nonseks. Secara epistemologis, metodologi penelitian studi perempuan

berdasarkan paradigma ini mengubah dan mengembangkan sumber daya manusia

perempuan yang terbebas dari berbagai ketidakberuntungan, seperti

ketertinggalan, keterbelakangan, subordinasi, eksploitasi, serta perlakuan yang

tidak memandang bahwa perempuan sebagai zat biologis yang berharkat dan

bermartabat sederajat dengan laki-laki.

3.2 Data dan Sumber Data

Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer

adalah teks karya sastra itu sendiri, yaitu novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan yang diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar yang berjumlah enam

bab dan 110 halaman dan Perempuan di Titik Nol yang diterjemahkan oleh Amir

Sutaarga yang berjumlah 3 bab dan 156 halaman karya Nawal El Saadawi.

Adapun sumber sekunder adalah seluruh literatur yang membahas tentang konsep

sosial dan budaya, serta yang berkaitan dengan teori sastra. Penelitian ini juga

menunjukkan gambaran realita sosial yang diambil dari media massa.

Data primer penelitian ini yaitu teks novel yang berupa ungkapan-

ungkapan atau kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidakadilan gender yang

mencakup marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja serta

citra perempuan yang beraspek fisis, psikis, sosial, dan budaya dari tokoh utama

novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol.

Penelitian ini didukung data sekunder yang berasal dari tulisan-tulisan

yang berhubungan dengan permasalahan perempuan pada masyarakat Arab yang

ditulis oleh Nawal El Saadawi. Serta permasalahannya yang ditulis oleh penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lain maupun pengarang sendiri seperti dari majalah, surat kabar, dan lain-lain.

Data primer akan dijadikan sumber data utama sedangkan data sekunder dijadikan

pendukung pelegitimasian hasil kajian terhadap sumber data utama. Sumber data

penelitian dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Sumber Data
Penelitian

Data Primer Data Sekunder

Novel MSDP dan PDTN Buku, internet, serta catatan


karya Nawal El Saadawi lain yang berkaitan dengan
masalah penelitian

Gambar 3.1 Sumber Data Penelitian

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik

dokumentasi. Dalam penelitian ini metode dokumentasi dilakukan dengan

pengumpulan data berdasarkan teks novel MSDP dan PDTN karya Nawal El

Saadawi dan teks berita-berita yang telah dimuat di media internet tentang

keadaan perempuan Mesir.

Peneliti mengumpulkan data dengan cara (1) membaca berulang-ulang

keseluruhan isi novel, (2) melakukan pengkodean terhadap unit- unit teks yang

sesuai dengan rumusan masalah penelitian 3) menyeleksi data yang telah

terkumpul, (4) mengklasifikasikan data yang sesuai dengan rumusan masalah

pertama dan kedua. Untuk rumusan masalah pertama yaitu ketidakadilan gender

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang terdiri dari marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan dan beban kerja;

dan rumusan masalah kedua yaitu citra perempuan yang terdiri dari aspek fisis,

psikis, sosial dan budaya.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data.

Menurut Miles dan Huberman (2014: 12) analisis data dilakukan melalui tiga

tahap model interaktif, yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi. Ketiga

tahap tersebut berlangsung secara simultan. Dalam pengumpulan data, peneliti

mengumpulkan data primer dan data sekunder. Analisis teks sastra dilakukan

dengan penafsiran yang logis dan realistis berdasarkan permasalahan. Data

dianalisis dengan menggunakan teori feminisme marxisme dan sosialis,

pendekatan sosiologi sastra, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan

rumusan masalah.

3.4.1 Reduksi Data

Miles dan Huberman (2014:10) menjelaskan bahwa reduksi data adalah

“Data reduction refers to the process of selecting, focusing, simplifying,

abstracting, and transforming the data that appear in written-up field notes or

transcriptions”. Reduksi data merujuk kepada proses menyeleksi, memfokuskan,

menyederhanakan, mengabstraksi dan mentransformasi data yang terdapat pada

catatan lapangan maupun transkrip dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

a. Selecting

Data-data ketidakadilan gender yang meliputi marginalisasi, subordinasi,

streotipe, kekerasan, serta beban kerja untuk menjawab rumusan masalah pertama

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan citra perempuan dalam aspek fisis, psikis, sosial dan budaya untuk menjawab

rumusan masalah kedua yang sudah dikumpulkan diseleksi kembali atas dasar

data yang didapat sesuai dengan pokok tema yang diteliti.

b. Focusing

Fokus data pada rumusan masalah pertama yaitu data tentang

ketidakadilan gender yang meliputi marginalisasi, subordinasi, streotipe,

kekerasan, dan beban kerja dengan teori feminisme marxisme sosialis dan

pendekatan sosiologi sastra, serta dilihat perubahan makna yang digunakan

pengarang dalam menciptakan suatu wacana. Data dihubungkan juga dengan

berita-berita tentang ketidakadilan gender yang dirasakan oleh perempuan-

perempuan Arab khususnya perempuan Mesir yang telah diliput di media massa.

Dalam rumusan masalah kedua, focus penelitian terhadap citra perempuan

dalam perspektif sosial budaya, fokus data yang berupa data yang menunjukkan

citra perempuan dalam aspek fisis, psikis, sosial dan budaya dianalisis

berdasarkan teori sosiologi feminisme marxisme sosialis. Sementara itu, data yang

tidak mendukung rumusan masalah dibuang. Selebihnya, Data-data yang

mendukung digolongkan dan diarahkan sesuai dengan rumusan masalah.

c. Abstracting

Dalam tahap ini peneliti membuat rangkuman yang inti, proses, dan

pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga untuk menunjukkan ketidakadilan

gender dan citra perempuan. Jika peneliti merasa jumlah data sudah cukup, data

tersebut digunakan untuk menjawab masalah yang diteliti.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


d. Simplifying and Transforming

Data dalam penelitian ini selanjutnya disederhanakan dan transformasikan

dalam berbagai cara, yakni melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau

uraian singkat, menggolongkan data dalam satu pola yang lebih luas, dan

sebagainya. Untuk menyederhanakan data, peneliti mengumpulkan data setiap

novel dan disesuaikan dengan tema-tema yang ditentukan yaitu marginalisasi,

subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja serta citra perempuan dalam

aspek fisis, psiskis, sosial dan budaya. Data dari hasil berita-berita yang telah

dimuat di media massa diringkas dalam bentuk uraian dan dipilih data yang

berhubungan dengan penelitian.

3.4.2 Penyajian Data

Penyajian data dilakukan setelah data selesai direduksi atau dirangkum.

Data yang diperoleh dari hasil selecting, focusing, abstracting, dan simplifying

and Transforming dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk uraian singkat dan

tabel, yang menggambarkan analisis ketidakadilan gender yang terdiri dari

marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja serta analisis

citra perempuan yang terdiri dari aspek fisis, psikis, sosial, dan budaya. Data yang

sudah disajikan dalam bentuk uraian singkat dan tabel diberi kode data untuk

mengorganisasi data, sehingga peneliti dapat menganalisis dengan cepat dan

mudah. Masing-masing data yang sudah diberi kode dianalisis dalam bentuk

refleksi dan disajikan dalam bentuk teks.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.4.3 Verifikasi Data

Peneliti menyimpulkan data sesuai dengan rumusan masalah yang telah

dikemukakan. Data-data yang sudah dideskripsikan disimpulkan secara umum.

Simpulan tersebut yaitu ketidakadilan gender yang meliputi marginalisasi,

subordinasi, streotipe, kekerasan, dan beban kerja serta citra perempuan yang

terdiri dari aspek fisis, psikis, sosial dan budaya. Setelah disimpulkan, analisis

data kembali pada tahap awal sampai semua data kompleks.

3.5 Penyajian Hasil Analisis Data

Untuk memperjelas penyajian hasil analisis data, dilengkapi dengan tabel.

Adapun teknik penyajian hasil penelitian adalah Bab I berisi latar belakang,

masalah, tujuan, dan manfaat penelitian. Bab II menyajikan tinjauan pustaka,

konsep, landasan teori. Bab III di dalamnya mencakup metode dan teknik

penelitian serta sumber data. Bab IV mengungkapkan bentuk-bentuk

ketidakadilan gender yang meliputi marginalisasi, subordinasi, streotipe,

kekerasan, dan beban kerjadalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan

Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Bab V menganalisis citra

perempuan yang beraspek fisis, psikis, social, dan budaya dalam novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi.

Bab VII berisi kesimpulan dan saran.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL MEMOAR SEORANG

DOKTER PEREMPUAN DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL

4.1 Pendahuluan

Dalam menganalisis tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan

gender, peneliti mengamati hubungan antara perempuan dan pria yang dalam hal

ini posisi perempuan termarginalkan, tesubordinasi, terjadinya streotipe,

kekerasan (violence), dan beban kerja berat yang dialami perempuan.

Ketidakadilan ini merupakan manifestasi dari ketidakadilan gender yang telah

mengakar mulai dari keyakinan di masing-masing individu, keluarga, masyarakat,

hingga pada tingkat negara yang bersifat global. Semua manifetasi ketidakadilan

gender ini saling mempengaruhi dan saling terkait. Kaum laki-laki dan perempuan

menjadi terbiasa dan akhirnya meyakini bahwa peran gender yang dibeda-bedakan

itu seolah-oleh merupakan kodrat. Sistem ketidakadilan gender ini lambat laun

diterima dan mulai tercipta dan dirasakan merupakan sesuatu yang benar.

Hal inilah yang mendorong kalangan orang yang selanjutnya disebut

feminis memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena perempuan adalah manusia

maka perjuangan perempuan adalah perjuangan kemanusiaan juga. Perjuangan

tersebut dilakukan dengan cara melawan segala bentuk penindasan terhadap

perempuan. Penindasan terhadap perempuan ini telah demikian membudaya

sehingga dianggap sebagai kewajaran. Novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan Perempuan di Titik Nol merupakan bentuk perlawanan Nawal El

Saadawi terhadap kesewenang-wenangan masyarakat (kaum laki-laki) terhadap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perempuan. Sistem budaya patriarkhi yang bersifat paternalistik masih

membelenggu kaum perempuan. Kalangan konservatif menganggap

ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan secara sosial maupun hukum

adalah kodrat perempuan. Nilai-nilai moral dan sosial yang dianut itu sudah tentu

bersifat male bias. Sistem kekuasaan yang ada memiliki ciri laki-laki memiliki

otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan disegala

bidang, baik politik dan ekonomi, maupun agama dan sosial. Situasi ini

melahirkan pembagian peran dan posisi yang sangat diskriminatif antara laki-laki

dan perempuan.

4.2 Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan yang Terdapat dalam


Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk

ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi

atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau

melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan

lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2008:

13).

Karena adanya perbedaan biologis (fisik) antara laki-laki dan perempuan

masyarakat menetapkan sifat dan peranan laki-laki dan perempuan secara

sosiologis dan kultural yang disebut dengan gender. Kemudian laki-laki dan

perempuan diberi label (stereotipe). Perempuan itu bersifat emosional, pasif dan

lemah, sedangkan laki-laki bersifat rasional, kuat, dan agresif. Berdasarkan

pelabelan tersebut perempuan ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki

di ranah publik. Pada titik inilah terjadi persoalan ketidakadilan gender termasuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan dan beban kerja terhadap

perempuan.

Timbulnya marginalisasi yang menimpa kaum perempuan disebabkan oleh

berbagai kejadian, antara lain penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi.

Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan dapat terjadi di ranah publik dan

domestik. Di ranah domestik misalnya, perempuan tidak mendapatkan warisan

keluarga, sedangkan di ranah publik perempuan hanya dapat menjadi petani,

pekerja, buruh kasar di pabrik, dan seterusnya. Lebih parah lagi dengan

meningkatnya industri teknologi, banyak tenaga manusia diganti dengan mesin

sehingga perempuan kehilangan pekerjaan.

Anggapan bahwa perempuan itu emosional membuat perempuan tidak

bisa memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada

posisi yang tidak penting. Hal ini yang menyebabkan terjadinya subordinasi

dalam segala bentuk yang dapat berubah dari tempat ke tempat dan waktu ke

waktu. Dalam masyarakat Arab anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu

bersekolah tinggi-tinggi karena akhirnya orang tuanya akan menikahkannya

kepada siapapun yang memberikan mahar tinggi. Sedangkan istri harus menuruti

semua perintah suami karena semua harta adalah milik suami, dan apabila istri

masih dinafkahi oleh suami dia tidak boleh melanggar aturan suami.

Anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami

merupakan suatu pelabelan atau penandaan tehadap suatu kelompok tertentu.

Pelabelan seperti inilah yang disebut dengan streotipe. Streotipe selalu merugikan

dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan yang bersumber dari

penandaan yang dilekatkan kepada perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Semua gambaran penderitaan akibat perbedaan gender di atas dapat

ditemukan pada tokoh perempuan dalam novel Memoar Seorang Dokter dan

Perempuan Di Titik Nol yang dianalisis pada penelitian ini. Penyebab utamanya

adalah budaya patriarkhi yang merupakan fenomena universal dan masih

dipertahankan sampai sekarang ini. Walaupun sudah banyak perempuan yang

sadar akan hak-haknya untuk mendapatkan kesetaraan gender, tetapi lebih banyak

lagi yang belum mengetahui bahwa posisi perempuan selama ini dikonstruksi

secara sosial, perempuan ditempatkan di ranah domestik dan laki-laki di ranah

publik.

Dari hasil penelitian, ditemukan manifestasi ketidakadilan gender dalam

novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol.

Manifestasi ketidakadilan gender tersebut berupa marginalisasi, subordinasi,

stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan yang berupa kekerasan fisik,

kekerasan verbal, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual, dan beban kerja. Untuk

lebih jelasnya, hasil penelitian mengenai wujud ketidakadilan gender terhadap

tokoh utama dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di

Titik Nol karya Nawal El Saadawi sebagai berikut.

4.2.1 Marginalisasi

Marginalisasi terhadap perempuan berarti menempatkan atau menggeser

perempuan ke pinggiran. Perempuan menjadi korban budaya patriarkhi, teropresi,

terhegemoni dan didominasi sehingga hidup dalam penderitaan dan kemiskinan.

Hak-haknya dikebiri, aksesnya ke dunia publik dibatasi sehingga mereka tidak

dapat mengembangkan potensi diri, menjadi warga negara kelas dua dan inferior.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Memang, lelaki didukung oleh seluruh dunia, dan dialah yang
memegang tongkat lambang kekuasaan kehidupan di tangannya,
lelakilah yang memiliki hari kemarin, hari ini dan hari esok.
Kehormatan, respek dan moralitas, semua adalah miliknya. Merupakan
penghargaan yang diperolehnya setelah berlaga melawan kaum
perempuan. Dia memiliki kekuasaan spiritual dan material yang ada di
dunia. Bahkan dialah yang memiliki tetesan air mani yang dituangkan
dalam diri perempuan pada akhir perjuangan mereka. Dan lelaki dapat
pula mempertimbangkan apakah ia akan mengakui bibit yang
ditanamnya itu lalu memberikan namanya serta tempat terhormat
dalam kehidupan, membiarkannya hidup atau membinasakannya.
(MSDP, hal 79)

Kutipan di atas sesuai dengan konsep Fakih (2008) yang mengatakan

bahwa akses perempuan ke dunia publik dibatasi. Pembatasan akses perempuan

dalam kutipan di atas secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kehidupan untuk

perempuan. Lelaki didukung oleh seluruh dunia, dan dialah yang memegang

tongkat lambang kekuasaan kehidupan di tangannya, lelakilah yang memiliki hari

kemarin, hari ini dan hari esok. Kehormatan, respek dan moralitas, semua adalah

miliknya. Merupakan penghargaan yang diperolehnya setelah berlaga melawan

kaum perempuan. Dia memiliki kekuasaan spiritual dan material yang ada di

dunia. Dari kutipan ini dapat dilihat bahwa seorang perempuan tidaklah

mempunyai harapan menjadi seperti apa yang diinginkannya. Laki-lakilah yang

berhak menentukan kemana perempuan harus melangkah. Perempuan tidak

memiliki apapun. Semua yang ada di dunia adalah milik laki-laki. Kata bibit

dalam kalimat tersebut memiliki perluasan makna. Kata bibit dahulu

dihubungkan dengan benih, misalnya benih padi. Jadi, berhubungan dengan

pertanian. Kini, muncul urutan kata bibit perkara, bibit persengketaan.

Kata bibit dalam hal ini tidak berhubungan lagi dengan pertanian. Kata bibit

dalam kalimat tersebut artinya anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Saadawi (2001: 105), mengatakan bahwa bila laki-laki diberi hak untuk

memberi pengakuan kebapakannya, ia juga diberi hak yang sama untuk menolak asal-

usul dari seorang anak bahkan bila hal itu hanya sebatas keraguan. Seorang laki-laki

yang yakin bahwa ia bukanlah ayah dari seorang anak, menurut hukum agama ditutunt

untuk menyangkal asal-usulnya. Juga terlarang baginya mengklaim sebagai ayah dari

seorang anak yang secara pasti ia ketahui lahir dari ayah lain.

Dukungan yang diberikan dunia kepada laki-laki secara tidak terasa akan

menggusur keberadaan perempuan kepinggiran. Kemisikinan yang terjadi dalam

masyarakat dan negara merupakan akibat dari marginalisasi. Marginalisasi

diperkuat oleh adat istiadat yang berlaku di lingkungan setempat.

“Apa yang akan kita perbuat dengannya?”


“Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di
sana dia dapat tinggal di asrama puteri”.
“Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan
dengan lelaki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini
akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang
laki-laki? (PDTN, hal 52)

Dalam suatu pertengkaran mengenai tempat tinggal Firdaus setelah tamat

sekolah menengah, terjadi tawar menawar antara Paman dan Istri. Karena istri

pamannya tidak menginginkan Firdaus untuk tetap tinggal di rumah mereka, dia

pun berniat menjodohkan Firdaus dengan Syekh Mahmoud yang sudah tua. “Ke

universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan lelaki?

Dari kutipan ini dapat dilihat bahwa isteri Paman Firdaus menolak untuk

menyetujui suaminya yang berniat menyekolahkan Firdaus ke jenjang yang lebih

tinggi. Sejak dini banyak perempuan mendapat perlakuan yang tidak sama dengan

laki-laki, umpamanya dalam mendapatkan pendidikan, apalagi pada keluarga

yang miskin selalu mendahulukan kepentingan anak laki-laki. Ada lagi yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


membedakan-bedakan jenis pendidikan, untuk perempuan diberikan keterampilan

yang khusus seperti menjahit, memasak, menjadi perawat, mengasuh anak dan

keterampilan lain yang bernilai ekonomi rendah. Yang dialami Firdaus di dalam

keluarganya termasuk proses marginalisasi karena mengkesampingkan pendidikan

Firdaus dan berniat menikahkan Firdaus meskipun usianya belum cukup untuk

menikah seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

Saya bermaksud untuk minta mas kawin yang besar darinya.


“Berapa banyaknya?”
“Seratus pon, atau barangkali malahan dua ratus jika ia punya uang.”
“Jika ia membayar seratus pon, maka Allah benar-benar telah bermurah
hati kepada kita, dan saya tidak berlaku serakah untuk meminta yang
lebih banyak.”
“Aku akan mulai dengan dua ratus. Anda tahu dia adalah seorang lelaki
yang dapat bertengkar berjam-jam mengenai lima kelip, dan akan bunuh
diri demi uang satu piaster.”

Dari kutipan saya bermaksud untuk minta mas kawin yang besar

darinya menunjukkan bahwa Firdaus mengalami marginalisasi yang dilakukan

oleh istri pamannya. Istri pamannya berniat menikahkan Firdaus dengan Syekh

Mahmoud. Syekh Mahmoud adalah saudara dari istri paman Firdaus yang sudah

tua. Istri pamannya memandang wajah Firdaus yang jelek dan berhidung besar,

sehingga Firdaus tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Firdaus masih muda

ketika dinikahkan dengan Syekh Mahmoud. Istri pamannya mengesampingkan

hak Firdaus untuk dapat memilih sendiri pasangannya. Dari ide ini, istri

pamannya berharap mendapat uang dari Syekh Mahmoud untuk keperluan dirinya

sendiri dan berharap bisa membayar hutang-hutangnya.

Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan.

Dalam sebuah artikel online yang dimuat di situs bbc.com menuliskan hasil

wawancara dengan seorang perempuan yang berupaya mengubah Arab Saudi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Walaupun wawancara tersebut tidak dengan perempuan Mesir secara langsung

namun pendapat tersebut menggambarkan perempuan Mesir seutuhnya. Artikel

yang ditulis oleh Joe Miller ini memuat hasil wawancara dengan seorang

perempuan bernama Rawan Albutairi. Perempuan satu ini menarik perhatian

dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos. Dia merupakan salah seorang dari

delegasi perempuan yang berjumlah 18%, dan sangat jarang yang berusia dibawah

30 tahun - terutama yang berasal dari Arab Saudi.

Dalam artikel tersebut menceritakan bahwa Rawan merupakan salah satu

dari orang-orang pertama yang mendapat manfaat dari program beasiswa Raja

Abdullah, yang diluncurkan pada 2005 untuk membantu warga Saudi yang

ambisius untuk melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat. Di Universitas Maine, di

mana dia belajar keuangan, mengalami suatu gegar budaya.

Para mahasiswa di AS banyak mempertanyakan mengapa dia tidak

menggunakan penutup kepala, apakah perempuan benar-benar dilarang menyetir

di Kerajaan Saudi, dan apakah kelak kalau pernikahannya melalui perjodohan, ia

akan menerima. Berikut jawaban dari Rawan.

"Anda dapat melihat di mata mereka; mereka ingin menjadi insiyur,


mereka ingin menjadi pengacara, tetapi mereka kurang mendapatkan
bimbingan, mereka kekurangan sumber daya," kata dia.
"Itu sangat membuat patah hati".
“Tetapi, meski hambatan untuk berusaha jelas terlihat bagi anak-anak
perempuan di Arab Saudi, seperti larangan bagi perempuan untuk
menyetir, atau meninggalkan rumah tanpa ditemani, Rawan
mengatakan yang lebih menentukan adalah apa yang terjadi di rumah”.
"Sayangnya, banyak anak-anak perempuan, perjalanan karirnya tidak
hanya ditentukan oleh mereka ingin menjadi apa, tetapi juga oleh
budaya dan latar belakang mereka.”
"Kami berupaya dan mendorong mereka, tetapi masalahnya lebih pada
bagaimana mereka mendorong orangtua agar setuju."

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari kutipan wawancara tersebut jelas tergambar bahwa perempuan dalam

masyarakat Arab masih mengalami proses marginalisasi. Menurut Fakih (2008:

14) hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang

termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Salah satu unsur utamaya adalah

karena susahnya mendapatkan izin dari orang tua untuk membebaskan pilihan

kepada anak perempuan mereka. Namun demikian Rawan percaya perubahan

tersebut akan segera terjadi.

4.2.2 Subordinasi

Subordinasi perempuan adalah diskriminasi perempuan dalam bidang

kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Karena perempuan mendapat label

manusia nomor dua, dia berada di bawah dominasi laki-laki, dan haknya untuk

memperoleh posisi tawar, kepemimpinan serta keputusan sering tidak diakui.

(Fakih, 2007 : 15)

Teori feminis Marxis dan Sosialis jika direfleksikan pada posisi

perempuan usaha kecil terhadap akses dan kontrolnya dalam keluarga, sangat

memungkinkan perempuan sebagai pengelola usahanya (manajer) menjadi

majikan terhadap usahanya sendiri. Namun sistem patriakhi dan cara pandang

laki-laki yang belum berubah, membawa panderitaan baru bagi perempuan,

dimana laki-laki sebagai suami justru bertindak sebagai majikan dan pengelola

usaha bagi usaha yang dijalankan isterinya (perempuan). Laki-laki tetap

memposisikan perempuan sebagai isteri, yang dapat diatur menurut kehendak nya.

Kepemilikan aset (usaha) adalah milik istri namun penguasaannya berada di

tangan suami (laki-laki). Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap usahanya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sesungguhnya tindakanku menandatangani dokumen tadi, ternyata
sama dengan menandatangani hukuman mati untuk diriku sendiri.
Namaku, kata pertama yang kukenal dan di dalam ataupun di luar
bawah sadarku, yang dikaitkan dengan keberadaanku dan
kepribadianku, menjadi hilang dan tak berlaku lagi. Lelaki itu
melengketkan namanya pada diriku secara lahiriah. Aku duduk di
sampingnya, sementara orang memanggilku dengan namaku yang
baru. Aku suka memandang kepadanya dan kepada diriku sendiri
dengan terpana, seakan-akan orang-orang itu tak benar-benar menyapa
diriku. Rasanya seperti aku sendiri telah meninggal dunia, lalu jiwaku
masuk ke tubuh perempuan lain yang wajahnya mirip aku tetapi kini
menyandang nama baru. (MSDP, hal 64)

Pemikiran Aku sejalan dengan pemikiran feminisme yang menekankan

atas kebebasan untuk menguasai dan mengatur hidup sendiri sesuai dengan yang

diinginkan. Perempuan harus memiliki hak otonomi atas jiwa dan raganya.

Menurut Aku, walaupun suami isteri sudah membuat perjanjian sebelum menikah

bahwa semua yang dimiliki oleh suami adalah milik istri. Dengan kata lain, hak

dan kewajiban dibagi sama rata, tetapi sering kali akhirnya hanya lelakilah yang

terlihat mempunyai harta dan perempuan hanya menumpang dengannya saja.

Namaku, kata pertama yang kukenal dan di dalam ataupun di luar bawah

sadarku, yang dikaitkan dengan keberadaanku dan kepribadianku, menjadi hilang

dan tak berlaku lagi. Lelaki itu melengketkan namanya pada diriku secara lahiriah.

Aku duduk di sampingnya, sementara orang memanggilku dengan namaku yang

baru. Aku suka memandang kepadanya dan kepada diriku sendiri dengan terpana,

seakan-akan orang-orang itu tak benar-benar menyapa diriku. Kutipan ini

menunjukkan bahwa betapa kuat budaya patriarkhi memojokkan para isteri,

sehingga Aku tidak lagi memiliki kebebasan dan kekuatan untuk mengendalikan

hidupnya sendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Makna kata hukuman mati adalah siksaan dan sebagainya yang dikenakan

kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya. Namun dalam

kalimat ini pengarang menggunakan kata hukuman mati untuk menggambarkan

bahwa aku telah menyerahkan diri seutuhnya untuk suaminya. Begitupun dengan

kata meninggal dunia yang digunakan oleh pengarang bermakna bahwa aku

sebagai tokoh utama dalam novel MSDP kehilangan jati dirinya. Aku bukan lagi

seperti dirinya yang dulu. Aku menjadi orang baru yang perannya ditentukan oleh

suaminya. Nama baru yang disandang aku bukan bermakna aku mengganti

namanya. Namun, kini aku dipanggil dengan nama suaminya. Kedua kata tersebut

mengalami perubahan makna pengasaran atau disfemia. Makna disfemia

digunakan untuk menunjukkan bahwa tokoh dalam keadaan marah.

Subordinasi terhadap perempuan juga terlihat dari pandangan laki-laki

yang merasa bahwa perempuan kurang mampu dan lebih rendah dari nya.

Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya

sebagai pembantu, sosok, bayangan, dan tidak berani memperhatikan

kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki pandangan ini menyebabkan

mereka sah untuk tidak memberikan kesempatan perempuan muncul sebagai

pribadi yang utuh. Mereka selalu merasa khawatir apabila satu pekerjaan yang

utuh atau berat ditangani oleh perempuan. Laki-laki menganggap perempuan tidak

mampu berfikir seperti ukuran mereka (Nunuk, 2004a: X).

Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu, saya menyadari, bahwa
sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih hormat, dan
dihargai lebih tinggi daripada semua karyawan perempuan, termasuk
saya. Pada masa itu saya tinggal di sebuah rumah dengan kamar mandi
pribadi. (PDTN, hal 109)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kutipan di atas sejalan dengan pemikiran Feminis Marxis perempuan

disamakan dengan kaum buruh, jadi termasuk kelompok tertindas (Ratna, 2009:

186). Kondisi-kondisi fisik perempuan yang lebih lemah secara alamiah

hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum perempuan

dalam posisinya yang lebih rendah. Pekerjaan perempuan selalu dikaitkan dengan

memelihara. Laki-laki selalu dikaitkan dengan bekerja. Laki-laki memiliki

kekuatan untuk menaklukan, mengadakan ekspansi, dan bersifat agresif.

Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir kemudian diperkuat dengan hegemoni

struktur kebudayaan, adat istiadat, tradisi, pendidikan, dan sebagainya (Ratna,

2009: 191).

Kalimat pada masa itu saya tinggal di sebuah rumah dengan kamar mandi

pribadi menggambarkan kehidupan Firdaus sewaktu masih menjadi pelacur.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pembagian pekerjaan yang diterapkan

dalam mayarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)

bukanlah merupakan sesuatu yang alami (nature) tetapi merupakan konstruksi

sosial.

4.2.3 Streotipe (Pelabelan)

Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok

tertentu. Celakanya sterotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.

Salah satu jenis sterotipe bersumber dari pandangan gender, misalnya, penandaan

yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek merupakan upaya

memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau

pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan sterotipe (Fakih, 2008:17).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Masyarakat menganggap bahwa seorang perempuan tidak pantas untuk

melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya bidang

kedokteran seperti yang dilakukan oleh tokoh Aku. Masyarakat yang masih kolot

menganggap bahwa setelah perempuan sudah menginjak usia dewasa haruslah

menikah. Sehingga aku mendapatkan perlakuan yang aneh setelah ia memilih

mengambil keputusannya.

Aku berdiri di halaman Fakultas Kedokteran, melihat sekelilingku.


Ratusan pasang mata diarahkan kepadaku, mengandung tatapan tajam
penuh pertanyaan. Aku hampir tak melihat kembali kepada mereka.
Buat apa aku harus mengalihkan pandangan bila mereka memandang
kepadaku, kenapa aku harus menundukkan kepala sementara mereka
mengangkat wajah mereka, berjalan terhuyung-huyung apabila mereka
melangkah dengan mantap dan penuh percaya diri? Aku toh sama
dengan mereka, bahkan lebih baik, lebih pandai. Maka, kutegakkan
diriku tegap-tegap. Telah kulupakan ke dua belah payudaraku dan
beratnya menekan dada pun terasa lenyap. Aku merasa diriku ringan,
seolah aku mampu bergerak dengan mudah dan bebas sebagaimana
kuinginkan. Telah kurencanakan jalan hidupku dengan jelas, yaitu
melalui jalan kerja otak. Aku juga telah menjatuhkan “hukuman mati”
terhadap tubuhku, sehingga aku tak lagi merasakan keberadaannya.
(MSDP, hal 20-21)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa aku igin membuktikan kepada

dunia bahwa ia bisa mengatasi keterbatasan fisik yang terbungkus oleh sosok

perempuan. Tetapi masyarakat di sekelilingnya terlalu menganggap remeh

keputusannya ini. Ia bahkan sempat tidak percaya diri karena perlakukan yang

dialaminya tersebut. Kalimat Aku hampir tak melihat kembali kepada mereka.

Buat apa aku harus mengalihkan pandangan bila mereka memandang kepadaku,

kenapa aku harus menundukkan kepala sementara mereka mengangkat wajah

mereka, berjalan terhuyung-huyung apabila mereka melangkah dengan mantap

dan penuh percaya diri? Aku toh sama dengan mereka, bahkan lebih baik, lebih

pandai. Maka, kutegakkan diriku tegap-tegap. Telah kulupakan ke dua belah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


payudaraku dan beratnya menekan dada pun terasa lenyap sejalan dengan

pemikiran feminisme marxisme dan sosialis yang menganggap bahwa masyarakat

akan percaya terhadap kemampuan dan kepemilikan perempuan jika perempuan

itu sendiri mengungkapkan dan menunjukkannnya dengan berani dan lugas.

Untuk menjadi berani dan lugas, perempuan membutuhkan kesadaran dalam

dirinya sendiri. Kesadaran dan kesiapan itu dibutuhkan untuk perubahan yang

diperjuangkannya. Kutipan ini menunjukkan bahwa aku melakukan sebuah

tindakan memilih untuk maju. Tokoh aku berfikir bahwa akankah seorang

perempuan bisa menjadi kebanggaan dalam keluarga, dan akankah seorang

perempuan bisa menjadi sosok yang berharga dalam keluarga walaupun tokoh

laki-laki masih berperan dalam keluarga tersebut. Dalam novel PDTN Firdaus

juga melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pendidikan seperti

Pamannya. Berikut kutipan tersebut.

Ketika Paman naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat


tinggal, saya menangis dan merengek supaya dia membawa saya saya
bersamanya ke Kairo. Tetapi Paman bertanya, “Apakah yang akan kau
perbuat di Kairo Firdaus?”
Lalu saya menjawab: “Saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti
Paman.”
Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk
kaum pria saja. (PDTN, hal 22)

Kutipan di atas sejalan dengan pemikiran feminisme sosialis yang

mengatakan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan lebih karena idiologi

(social construction) terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan

juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat,

melainkan karena manifestasi dari ketidakadilan gender yang merupakan

konstruksi sosial. Oleh karena itu, yang mereka perangi adalah konstruksi visi dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


idiologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun di

atas bias gender.

Dari kutipan kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya

untuk kaum pria saja ini terlihat bahwa Firdaus mendapatkan sambutan yang

kurang menyenangkan dari Pamannya ketika ia menyampaikan niatnya untuk

bersekolah di El Azhar. Hal ini membuat stereotipe tentang pendidikan untuk

perempuan tidak terlalu diutamakan. Karena perempuan bukanlah pemimpin

dalam keluarga yang berkewajiban untuk mencari nafkah, jadi bagi mereka

(perempuan) pendidikan bukanlah hal yang utama yang harus mereka dapatkan.

Dari kutipan-kutipan mengenai stereotipe atau pelabelan dalam novel

Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol menunjukkan

bahwa perempuan sering mendapatkan pelabelan negatif dari orang-orang sekitar.

Perempuan sebagai kelas kedua harus menerima ketidakadilan yang menimpa,

salah satunya adalah pelabelan negatif yang diberikan oleh masyarakat maupun

adat. Perempuan menjadi pihak yang terpinggirkan karena dominasi patriarkhi

yang menimbulkan ketidakadilan.

4.2.4 Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik

maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama

manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan

terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender

(Fakih, 2008: 17). Banyak macam dan bentuk yang dikategorikan sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kekerasan gender, yakni: kekerasan seksual, tindakan pemukulan, serangan fisik

dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual.

Tetapi, tiba-tiba kurasakan jemarinya yang kasar mengelus-elus


pahaku lalu menelusur ke atas di balik pakaianku. aku meloncat
ketakutan dan berlari meninggalkannya. (MSDP, hal 7)

Bentuk kekerasan pada kutipan tetapi, tiba-tiba kurasakan jemarinya yang

kasar mengelus-elus pahaku lalu menelusur ke atas di balik pakaianku berupa

pelecehan seksual. Tokoh aku mendapatkan pelecehan seksual yaitu menyentuh

dan menyenggol tanpa ada izin darinya dilakukan oleh penjaga pintu di usianya

yang beranjak dewasa.

Bentuk kekerasan berikutnya adalah kekerasan fisik. Firdaus mengalami

kekerasan berupa pukulan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud. Syekh

Mahmoud memukul Firdaus dengan tongkat hingga hidung dan telinganya

berdarah. Ia memperlakukan Firdaus dengan kasar dan sering memukulnya.

Kekerasan yang dialami Firdaus terjadi karena tidak adanya kekuatan untuk

melawan. Berikut kutipan yang menunjukkan Firdaus mengalami kekerasan fisik.

Suatu hari dia memukul saya dengan tongkatnya yang berat sampai
darah keluar dari hidung dan telinga saya. Lalu saya pergi, tetapi kali
ini saya tidak pergi ke rumah Paman. Saya berjalan-jalan di jalan raya
dengan mata yang bengkak, muka memar, tetapi tak seorang pun
yang memperhatikan saya. (PDTN, hal 64-65)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Firdaus mendapat tindak kekerasan

oleh suaminya sendiri. Pernyataan pada kalimat suatu hari dia memukul saya

dengan tongkatnya yang berat sampai darah keluar dari hidung dan telinga saya

sudah dapat dikatakan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Sikap superior

seperti ini dipicu oleh kekuatan uang yang membiayai keperluan keluarga. Ia

mulai bertindak seperti majikan terhadap bawahannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketidakadilan gender berupa kekerasan yang menimpa Aku dalam novel

Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Firdaus dalam novel Perempuan Di

Titik Nol menunjukkan bahwa laki-laki menempati posisi yang dominan.

Dominasi patriarkhi ditunjukkan melalui perempuan dijadikan sebagai objek

kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Kekerasan fisik, dan pelecehan seksual

yang dilakukan oleh tokoh laki-laki menjadikan tokoh perempuan sebagai pihak

yang tertidas.

4.2.5 Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan

rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa

semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tangga menjadi tanggung jawab

kaum perempuan (Fakih, 2008: 22). Beban kerja yang terdapat dalam novel

Memoar Seorang Dokter Perempuan dialami tokoh Aku dalam keluarganya.

Aku sungguh membenci kewanitaanku, menyesalkan ciri diriku


sementara aku tak tahu apa-apa tentang tubuhku. Apa yang dapat
kulakukan adalah: menolak, menantang dan menantang! Aku hendak
menolak kewanitaanku, menantang ciri pembawaanku, menantang
semua keinginan-keinginan tubuhku. Aku ingin membuktikan kepada
ibu dan nenekku, bahwa aku bukanlah perempuan seperti mereka,
bahwa aku tak bermaksud menghabiskan kehidupanku dengan
berkurung di dapur, mengupas kentang, bawang merah dan bawang
putih, membuang hari-hari berharga demikian rupa, agar suamiku
dapat menikmati makan dan terus makan. (MSDP, hal 17-18)

Kutipan di atas memang tidak menggambarkan bahwa tokoh aku sedang

melakukan pekerjaan di dapur tetapi kutipan tersebut sudah menunjukkan bahwa

perempuan diharuskan melakukan hal tersebut. Walaupun aku masih kecil ia

sudah membantu ibunya untuk bekerja di dapur sehingga ia tau bahwa jika ia

sudah menjadi seorang istri akan melakukan hal yang sama seperti ibunya. Dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kutipan tersebut kalimat aku ingin membuktikan kepada ibu dan nenekku

menunjukkan bahwa sebelumnya ibu aku juga mendapat perlakuan yang sama

dari ibunya (nenek aku) menjadi perempuan yang berperan sebagai istri,

seseorang harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Pekerjaan

rumah sudah harus dikerjakan seperti memasak untuk suami, dan membersihkan

rumah.

Pemikiran aku yang ingin membuktikan kepada ibu dan neneknya bahwa

ia tidak akan menghabiskan hidupnya di dapur sejalan dengan pemikiran

feminisme marxis. Penganut feminisme ini percaya bahwa status kaum

perempuan akan berubah hanya melalui revolusi sosial dan penghapusan

pekerjaan domestik. Seperti model liberal, Marxisme juga menerima pandangan

bahwa teknologi akan membebaskan kaum perempuan.

Pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan domestik harus ditanggung oleh

perempuan karena pandangan masyarakat tentang pekerjaan rumah tangga

dianggap lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki. Akan tetapi,

apabila perempuan juga harus membantu perekonomian keluarga ia juga harus

bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perempuan harus

menanggung beban kerja ganda yaitu dalam sektor domestik dan dalam sektor

publik.

Tetapi belum lama saya membaringkan tubuh di atasnya untuk


istirahat karena lelah sesudah memasak, mencuci serta membersihkan
rumah yang besar itu dengan ruangan-ruangan yang penuh dengan
meubel, maka Syekh Mahmoud akan muncul di samping saya.
(PDTN: hal 61)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sebagai seorang istri, Firdaus

menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


membersihkan rumah. Dalam budaya patriarkhi pemisahan pekerjaan antara laki-

laki dan perempuan dibagi dengan sangat jelas. Urusan rumah tangga diserahkan

semuanya kepada sang istri, apakah itu pekerjaan berat atau ringan, suami tidak

mau tahu. Setelah memberikan biaya untuk rumah tangga para suami merasa

urusannya telah selesai, sisanya adalah tanggung jawab istri.

Saadawi (2001: 385), mengatakan bahwa undang-undang tenaga kerja di Mesir

mengizinkan wanita bekerja di luar rumah. Namun undang-undang perkawinan dan

hukum adat memberi suami hak tak terbantah untuk menolak keizinan istrinya untuk

meninggalkan rumah, pergi bekerja dan bepergian. Namun, Saadawi (2001: 387),

menambahkan bahwa bila seorang suami memperoleh keuntungan bila istri bekerja

diluar rumah, mereka akan berdiri antara kaum wanita dan pekerjaan, atau mendorong

bahkan memaksa untuk mencari pekerjaan tambahan penghasilan yang lebih

menguntungkan mereka. Namun jika pekerjaan tersebut menghalangi seorang suami

untuk menguasai istrinya maka ia tidak akan mengizinkan istrinya bekerja.

Gambaran seperti penjelasan di atas dapat dilihat dari kutipan berikut.

Rupanya ia telah menarik kesimpulan bahwa pekerjaankulah yang telah


memberi kekuatan padaku sehingga ia tak dapat menguasai diriku. Ia
berpendapat bahwa uang yang kuperoleh setiap bulan sebagai penghasilan,
banyak atau sedikit, adalah alasan bagiku untuk selalu menegakkan kepala.
Ia tak menyadari bahwa kekuatanku bukan karena aku mempunyai
pekerjaan, sikap bangga pada diriku juga bukanlah karena aku mempunyai
penghasilan sendiri. Kedua sikap itu ada padaku, karena aku tak dikejar oleh
kebutuhan psikologis terhadap dirinya sebagaimana ia merasakannya
terhadap diriku. Aku tak mempunyai perasaan seperti itu terhadap ibuku,
ayahku atau siapa saja, karena aku memang tak bergantung pada siapa pun.
Sebaliknya ia sebelumnya sangat bergantung pada ibunya, kemudian
mengganti kedudukan ibunya itu dengan diriku. (MSDP, hal 66)

Kata menegakkan kepala dahulu hanya berarti kepala yang merupakan anggota

tubuh dalam posisi tegak atau vertikal. Namun kata menegakkan kepala pada kutipan di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


atas mengalami perubahan makna pengasaran. Makna pengasaran yaitu kata yang

memiliki makna yang halus atau biasa dengan kata yang maknanya kasar. Kata

menegakkan kepala disini berarti bersifat sombong.

Setelah tokoh aku memutuskan untuk menikah dengan satu-satunya lelaki yang

ia kenal, ternyata apa yang menjadi ketakutannya benar terjadi. Suaminya melarang aku

untuk bekerja dan menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah saja. Padahal sebelum

mereka menikah suaminya berjanji akan tetap memperbolehkannya bekerja. Namun

ketika memasuki kehidupan rumah tangga apa yang terjadi tak sesuai dengan keinginan

mereka masing-masing. Sang suami menganggap bahwa aku akan bersifat sombong

jika ia mempunyai penghasilan sendiri dan tidak bergantung padanya agar ia bisa

menguasai aku.

4.3 Diskusi

4.3.1 Pengantar Diskusi

Bagian diskusi ini menjelaskan makna dari data/hasil penelitian yang

didapatkan. Dalam diskusi ini, hal-hal penting yang peneliti uraikan yaitu hasil

penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam

dua novel karya Nawal El Saadawi yang berjudul Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol.

4.3.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan

mengalami berbagai manifestasi ketidakadilan gender yang meliputi

marginalisasi, subordinasi, sterotipe, kekerasan, dan beban kerja. Dari berbagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


manifestasi ketidakadilan gender tersebut tokoh Aku dalam novel MSDP terlihat lebih

banyak mendapatkan streotipe atau pelabelan negatif dari masyarakat sekitarnya.

Dikarenakan tokoh Aku adalah orang yang berpendidikan ia sering mendapatkan

perlakukan aneh jika ia memilih mengambil keputusannya sendiri yang selalu lebih

sering menentang adat istiadat mereka. Sedangkan tokoh Firdaus dalam novel PDTN

sering mengalami kekerasan baik fisik, maupun psikis. Dalam budaya patriarkhi, sisi

laki-laki yang sangat dominan menciptakan identitas perempuan menjadi

makhluk kelas dua. Akibat budaya patriarkhi ini sejak kecil Firdaus sering kali

mengalami tindak kekerasan dan sewenang-wenang dari laki-laki. Ayah Firdaus

adalah sosok yang ditakuti dalam keluarganya. Sebagaimana dalam budaya

patriarkhi, ayah mempunyai peranan dominan dalam keluarga. Tak jarang Firdaus

mendapatkan kekerasan dari ayahnya yang membiarkannya lapar dan membasuh

kaki ayahnya apabila sedang kedinginan. Ayahnya pula yang menciptakan

identitas Firdaus sebagai pelayan rumah tangga untuk menggantikan ibunya.

Murniati (2004: 62) mengatakan bahwa ideologi gender menghasilkan

pandangan manusia tentang peran jenis dalam masyarakat. Peran jenis (sex role)

adalah satu kelompok perilaku, kesenangan, dan sifat serta sikap yang dipunyai

oleh satu jenis tertentu, dan tidak dimiliki oleh jenis lain. dengan adanya peran

jenis maka muncul stereotip jenis.

Stereotipe adalah pembakuan suatu pandangan terhadap kelompok manusia

dengan memberi ciri-ciri tertentu, tanpa memperhatikan variasi perseorangan.

Stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu, telah membakukan pandangan tentang

bagaimana perempuan “seharusnya”, dan bagaimana laki-laki “seharusnya”.

Kedua, tanpa memberi kesempatan untuk “keluar” dari ciri yang telah ditetapkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


oleh masyarakat. Pandangan stereotip ini, membuat seorang pribadi laki-laki

merasa bersalah apabila ia melakukan tindakan dengan ciri keperempuanan, atau

sebaliknya.

Sebuah sistem yang sarat dengan stereotipe yang dikonstruksi secara sosial

dan kultural. Lelaki memiliki code of conduct atau tata perilaku yang harus diikuti

jika ingin menjadi bagian dari manhood seperti, penguasa di ranah publik,

breadwinner, dan selalu diidentikkan dengan sifat sukses, mandiri, rasional,

pejuang, agresif, macho (kuat), dan lain-lain. Sedangkan perempuan kebalikan

dari semua itu, mereka adalah ”ratu” rumah tangga dan objek seks saja, maka ia

harus ditampilkan dengan citra menarik, seksi, dan dilekatkan dengan sifat

keibuan (motherhood) sebagai ”kodratnya”.

Nilai patriarkhi yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di

rumah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan perempuan

sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan

sosial dan hak-hak kerja lainnya. Begitu juga dalam bidang politik, budaya

patriarkis mengonstruksikan bahwa yang berhak memerintah adalah seorang laki-

laki. Budaya patriarkis menciptakan suatu mitos bahwa ruang perempuan adalah

mengurus rumah tangga (domestik) sedangkan wilayah publik atau politik

dianggap sebagai ruang bagi laki-laki. Tidak heran jika sampai saat ini jumlah

perempuan dalam jabatan publik masih sangat minim.

Dalam budaya patriarkhi identitas perempuan diidentikkan dengan sifat

lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah

dan mudah didominasi. Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya

patriarkhi menghalangi perempuan untuk mengembangkan kekuatan serta potensi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk membuatnya kuat serta mampu

bertahan dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Di dalam budaya patriarkhi

kelemahan tubuh perempuan dijadikan sebagai kelemahan yang nyata sebagai

jenis kelamin kedua.

Seorang perempuan bernama Um Waleed pernah diliput dalam sebuah

berita online dengan situs www.srikandipp.com. Berita yang dimuat pada

Minggu, 26 Sep 2016 | 14:59 ini menceritakan tentang seorang perempuan yang

nekat menjadi supir. Didorong oleh kondisi ekonomi untuk mencari nafkah, dia

pergi menyusuri jalan yang sangat sedikit perempuan lain di dunia Arab mampu

melakukan hal ini dan itu akan membuat wanita Arab merenungkan keadaan

wanita Mesir ini. Biasanya pekerjaan jenis ini didominasi oleh laki-laki tetapi

diskriminasi pekerjaan yang ia alami sepanjang masa itu dan kian membuatnya

makin mantap bekerja.“Ketika saya pergi ke departemen lalu lintas untuk

mengikuti tes, seorang laki-laki mengolok-olok saya. Pergi ke dapur, kupas

bawang dan masak kubis,” kata mereka. Ini hanya membuat saya lebih bertekad.

“Komentar mereka dan cara mereka memandang saya memotivasi saya bahkan

lebih,” kata Waleed.

Liputan6.com juga telah meliput berita politik dari negeri Arab. Berita

yang diliput pada tahun 2015 tersebut melansir dari CNN, Senin (30/11/2015),

pada pemilihan kepala daerah di Saudi 12 Desember 2015 mendatang akan

menjadi kesempatan pertama bagi perempuan Saudi untuk memilih. Namun kritik

terhadap perubahan itu pun bermunculan, para kritikus menilai aturan sederhana

itu menjadi ngawur. Wanita dinilai hanya boleh berpartisipasi dalam pemilihan di

tingkat kota. Kemudian, dua aktivis hak perempuan mengumumkan di Twitter,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bahwa Loujain Hathloul dan Nassima al-Saada yang awalnya tercatat sebagai

kandidat calon kepala daerah mengatakan nama mereka telah dicoret dari daftar

kandidat akhir.

Dari kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa masyarakat Arab khususnya

Mesir masih menganggap bahwa wanita diciptakan untuk memainkan peran sebagai ibu

dan istri, yang memiliki fungsi dalam kehidupan untuk melayani rumah tangga dan

mendidik anak-anak. Wanita hanya boleh mencari pekerjaan untuk merespon kebutuhan

ekonomi dalam masyarakat maupun keluarga. Saadawi menyebutkan (2001: 384),

bahwa kendala serius yang menentang wanita-wanita Arab sepanjang menyangkut

pekerjaan mereka adalah undang-undang yang berkenaan dengan perkawinan dan hak

sipil. Undang-undang ini masih memberi kaum laki-laki hak mutlak untuk melarang

istrinya mendapat pekerjaan, bepergian ke luar negeri, atau bahkan keluar rumah kapan

saja kehendak hatinya.

Selain mendapatkan streotipe atau pelabelan negatif, laki-laki juga

menganggap perempuan hanya sebagai objek seks atau dikontrol tubunya lewat

seksualitasnya. Hal tersebut dialami oleh Firdaus dalam novel PDTN. Pelecehan

seksual sering kali didapatkan oleh Firdaus dari pamannya sejak kecil. Perlakuan

inilah yang nantinya membentuk identitas Firdaus menjadi seorang pelacur.

Ketika Firdaus memasuki usia remaja, ia dinikahkan oleh pamannya kepada

seorang laki-laki bernama Syekh Mahmoud seorang laki-laki tua yang

berperangai kasar dan kikir. Firdaus ditukar dengan mahar yang sangat mahal.

Dalam rumah tangganya tidak jarang Firdaus mendapatkan perlakuan kasar dari

suaminya karena dia adalah seorang istri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Identitas Firdaus sebagai seorang perempuan yang dianggap sebagai

makhluk kelas dua membuat Firdaus pasrah menerima perlakuan kekerasan dari

suaminya. Di tengah-tengah budaya patriarki kejadian tersebut dianggap lumrah,

ketika seorang suami memukul istri. Bahkan pamannya berkata bahwa ia juga

sering memukul istrinya. Kewajiban seorang istri ialah kepatuhan yang sempurna.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami oleh Firdaus sejak kecil memberikan

pelajaran kepada Firdaus bahwa identitasnya sebagai seorang perempuan

hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan

sewenang-wenang. Perlakuan sewenang-wenang yang diterima Firdaus

mengajarkan bahwa ia juga pantas menerima sebuah kebebasan, tanpa kontrol

dan siksaan dari laki-laki. Dalam kondisinya yang miskin Firdaus lebih memilih

menjalani profesinya sebagai pelacur.

Berbagai bentuk penindasan pun kerap kali diberitakan dialami oleh

perempuan. Penindasan tersebut dapat dialami dengan berbagai bentuk, mulai

dari kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, serta pemecatan di tempat

kerja. Tidak jarang pula kita sering disuguhi dengan berita diskriminasi lainnya,

seperti anggapan tentang baik tidaknya tubuh perempuan, larangan bagi

perempuan beraktivitas malam, larangan bagi perempuan memakai celana, serta

peraturan-peraturan diskriminatif lainnya.

Artikel yang ditulis oleh Ichsan Emrald Alamsyah telah dimuat pada situs

replukila.co.id menyebutkan bahwa Mesir merupakan negeri terburuk bagi wanita.

Dalam survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga, para pakar diminta untuk

menilai sejumlah faktor, seperti kekerasan terhadap perempuan, hak-hak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


reproduksi, perlakuan terhadap perempuan di keluarga, dan peran perempuan di

bidang politik serta ekonomi.

Selain itu pelecehan seksual dan praktik sunat perempuan, ada beberapa

praktik lain di Mesir yang dinilai membahayakan kaum wanita, yaitu kawin paksa

dan perdagangan perempuan. Hal inilah yang membuat Mesir terperosok ke

peringkat terbawah di antara negara-negara Arab lainnya. Seperti dikatakan Zahra

Radwan, aktivis LSM Global Fund for Women, ada desa-desa di luar Kairo yang

sarat dengan aktivitas kawin paksa dan perdagangan perempuan.

Namun, di antara faktor-faktor di atas, pelecehan seksual merupakan

faktor utama. Sebuah laporan PBB pada April menyebut, 99,3 persen perempuan

dan anak perempuan di Mesir menjadi korban pelecehan seksual. Jajak pendapat

ini melibatkan 330 pakar kesetaraan gender di 21 negara Liga Arab, termasuk

Suriah. Dalam survei ini, Irak menempati posisi kedua terburuk setelah Mesir,

disusul Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Dibandingkan dengan masa kekuasaan

Saddam Hussein, Irak kini menjadi negara yang lebih berbahaya bagi perempuan.

Akibat dari manifestasi ketidakadilan gender yang dialami oleh Aku

dalam novel MSDP dan Firdaus dalam novel PDTN yang mendapatkan perlakuan

tidak wajar dan layak pada perempuan merupakan sarana ampuh untuk memberi

kritik pedas terhadap kebobrokan masyarakat. Persoalan lain yang diketengahkan

Saadawi dalam novelnya adalah perempuan dan masalah gender dalam

lingkungan keluarga. Perempuan, meskipun dapat melakukan berbagai tugas,

suatu kemestian ia mempunyai fungsi yang fundamental dengan peranannya

sebagai istri melayani suaminya di rumah, sebagai ibu melayani anak-anaknya

dan sebagai anak dalam keluarga patuh mengikuti norma keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

ANALISIS CITRA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

BUDAYA DALAM NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER PEREMPUAN

DAN PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI

5.1 Pendahuluan

Citra perempuan dalam karya sastra selalu menciptakan citra perempuan

di kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra

merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam novel

Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-

Saadawi, terdapat gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan

digambarkan dengan kehidupan yang begitu pelik tetapi memiliki kekuatan dan

kemandirian.

Dalam bab ini dianalisis citra perempuan dalam dua novel karya Nawal El

Saadawi yang diteliti. Saadawi lulus dari jurusan kedokteran Universitas Kairo

pada tahun 1955. Melalui praktik medisnya, dia melakukan penelitian tentang

permasalahan fisik dan psikologis perempuan lalu menghubungkannya dengan

tekanan praktik kebudayaan, dominasi patriarkhi, tekanan kelas, dan imperialis

yang dirasakan oleh perempuan. Analisis ini dimaksudkan untuk memecahkan

masalah kedua yang penulis telah rumuskan sebelumnya pada bab pertama.

Terlepas dari masalah tersebut, ada beberapa tokoh perempuan dalam novel ini

namun penulis hanya mengarahkan fokus penelitian pada tokoh utama yaitu Aku

dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan Firdaus dalam novel

Perempuan di Titik Nol.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Seseorang dapat mengetahui citra diri seorang tokoh setelah ia mengenali

keberadaan tokoh itu melalui pengindraanya terhadap tokoh tersebut. Dengan kata

lain, citra tokoh itu diketahui dari proses melihat, mendengar, ataupun membaca

keberadaan tokoh itu. Jadi gambaran, cerminan, bayangan, atau citra mengenai

tokoh itu diketahui dari proses pengindraan atau kesadaran yang ada pada diri

seseorang. Tidak akan diketahui gambaran atau citra mengenai tokoh itu jika

seseorang tidak mengetahui keberadaan fisik, dan aktifitas yang dilakukan oleh

tokoh tersebut. Citra perempuan merupakan wujud gambaran mental spiritual dan

tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai

aspeknya yaitu aspek fisis dan psikis sebagai citra diri perempuan serta aspek

keluarga dan masyarakat sebagai citra sosial. (Sugihastuti, 2000:7).

Citra perempuan dalam penelitian ini berwujud mental spiritual dan

tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh tokoh Aku dalam novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan dan tokoh Firdaus dalam novel Perempuan di Titik

Nol menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Citra perempuan dapat dilihat

melalui peran yang dimainkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dan juga

melalui tokoh-tokoh lainnya yang terlibat dalam kehidupannya. Citra perempuan

yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah citra perempuan dalam aspek fisis,

psikis, sosial, dan budaya dengan terori feminism marxisme dan sosialis lalu

menghubungkannya dengan realita yang ada dengan pendekatan sosiologi sastra.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5.2 Citra Perempuan dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan
Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi

5.2.1 Citra Perempuan dalam Aspek Fisis

Citra perempuan dari segi fisis akan dilihat bagaimana fisik dari Aku

sebagai tokoh utama dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan fisik

dari Firdaus sebagai tokoh Utama dalam novel Perempuan Di Titik Nol, baik itu

jenis kelaminnya, usianya, dan dari tanda-tanda jasmaninya, misalnya mengalami

haid dan perubahan fisik lainnya. Tanda-tanda fisik yang akan mengantarkan

seorang anak perempuan menjadi dewasa ini dapat mempengaruhi pula perilaku-

perilaku yang dianggap pantas baginya sebagai perempuan dewasa. Secara fisis

perempuan dewasa merupakan sosok individu hasil pembentukan proses biologis

dari bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa.

Dalam aspek fisis ini perempuan mengalami hal-hal yang khas yang tidak dialami

oleh laki-laki, misalnya hanya perempuanlah yang dapat hamil, melahirkan dan

menyusui anak-anaknya.

Dalam mitos ini perempuan diasumsikan sebagai sumber hidup dan

kehidupan yaitu sebagai makhluk yang dapat menciptakan makhluk baru dalam

arti melahirkan seorang anak. Dalam hal ini sosok perempuan yang utuh adalah

kemampuannya menjadi seorang ibu yang mampu menciptakan dan membentuk

anaknya, karena seorang anak akan menjadi individu yang berakhlak atau tidak

tergantung dari kemampuan seorang ibu dalam mendidik anaknya. Perempuan

pada dasarnya mempunyai perasaan dan pikiran tentang apa yang penting dan

tidak penting baginya, hanya menurut alasan tertentu perempuan dapat mengalami

pengalaman hidup yang khusus bagi perempuan, seperti mengalami haid, ovulasi

dan bersalin.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam kenyataannya perempuan dan laki-laki memang diciptakan

memiliki perbedaan fisik, keduanya sama-sama mengalami proses pendewasaan.

Hal inilah yang tidak disadari oleh Aku sebagai tokoh utama dalam novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan bahwa semua proses pendewasaan yang dialami

olehnya memang sudah kodratnya dan diciptakan sesuai dengan fungsinya,

bahkan ketika ada wanita yang tidak mengalami menstruasi dapat diduga wanita

itu menderita suatu penyakit.

Aku sungguh tak dapat memahami ini semua. Kusangka aku telah
dihinggapi oleh suatu penyakit yang mengerikan. Dengan diliputi rasa
takut yang amat sangat sambil gemetaran, kutemui ibuku untuk
bertanya. Pada saat itulah tiba-tiba wajah ibuku berseri-seri penuh
kebahagiaan. Betapa heran aku bahwa ibu menanggapi keadaan yang
mengerikan ini dengan senyuman lebar! Lalu, melihat kekagetan dan
kebingunganku, ibu memegang tanganku dan dibimbingnya aku ke
kamarku. Di sinilah ia menceritakan tentang kondisi pendarahan
bulanan bagi kaum wanita. (MSDP, hal 4)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sebagai anak perempuan yang

beranjak dewasa Aku mengalami datangnya haid dan perubahan fisik lainnya.

Dalam analisis hal ini membuat Aku menjadi sosok yang penyendiri. Ia merasa

semakin tak bebas beraktivitas karena ciri-ciri kewanitaannya ini menjadi

perhatian lelaki. Oleh karena itu Aku tak pernah lagi keluar rumah walaupun

hanya sekedar untuk bermain. Sebagai anak perempuan yang beranjak dewasa,

aku juga mengalami perubahan pada payudaranya yang semakin tumbuh.

Gambaran tersebut terlihat dari kutipan berikut.

Tak pernah lagi aku keluar untuk berlari-lari dan bermain. Kedua
gundukan daging di dadaku bertumbuh makin besar saja. Payudaraku
ini bergoyang perlahan-lahan jika aku bergerak dan berjalan. Aku
sungguh sedih dengan tubuhku yang tumbuh semakin tinggi dan
langsing, karena itu aku suka bersedekap, merentangkan lengan di atas
dadaku untuk menyembunyikan dadaku, dengan hati pilu kupandangi
saudara lelakiku beserta teman-temannya apabila mereka bermain-
main. (MSDP, hal 5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kata gundukan daging mengalami perubahan makna meluas. Dahulu kata

gundukan berarti tumpukan-tumpukan kecil yang membukit. Misalnya kata

gundukan daging berarti tumpukan-tumpukan daging. Tetapi kata gundukan

daging dalam kalimat ini bukan lagi tumpukan-tumpukan kecil melainkan

bermakna payudara. Kata gundukan daging dipakai untuk memaknai payudara

karena payudara merupakan daging dari manusia yang berbentuk seperti sebuah

gundukan.

Dalam aspek fisis, citra yang tergambar dalam tokoh Firdaus dalam novel

Perempuan Di Titik Nol ialah seorang perempuan yang cantik, karakteristik

wanita cantik dalam novel ini adalah fisik yang indah, dipuji para lelaki, dan

menarik bagi lelaki. Apa-apa yang tampak pada dirinya indah, banyak para lelaki

yang memujanya karena keindahan fisiknya.

”Kau cantik dan terpelajar.”


”Terpelajar?” kata saya. ”Apa yang saya miliki hanyalah sebuah ijazah
sekolah menengah.”
”Kau meremehkan dirimu sendiri, Firdaus. Saya tidak lebih hanya
mendapatkan ijazah sekolah dasar.”
‟Dan anda mempunyai harga?‟ tanya saya hati-hati.
”Tentu saja. Tak seorang pun dapat menyentuh saya tanpa membayar
harga yang sangat tinggi. Kau lebih muda dari saya dan lebih terpelajar,
dan tak seorang pun mampu mendekatimu tanpa membayar dua kali
lebih banyak daripada yang dibayarkan kepada saya,” (PDTN, hal 79)

Sebelumnya Firdaus tidak menyadari akan kecantikan dirinya. Namun

Sharifa seorang perempuan yang membawa dirinya pada kehidupan pelacuran dan

melupakan peristiwa-peristiwa masa lalu membuat dirinya menyadari, memahami,

dan melihat segi-segi yang tak tampak pada tubuhnya. Sharifa secara terang-

terangan mengatakan bahwa Firdaus cantik. Tidak hanya cantik, Sharifa juga

mengatakan bahwa Firdaus seorang yang terpelajar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setiap orang memiliki persepsi masing-masing tentang apa itu cantik. Ada

yang mengatakan bahwa kulit putih dan mulus itu cantik, namun ada juga yang

mengatakan bahwa cantik itu tergantung dari sifat perempuan. Semua itu berdasar

pada penilaian objektif orang lain karena yang menilai cantik tidaknya seseorang

bukan orang itu sendiri melainkan orang lain.

Sadli dalam (Sugihastuti, 2000: 85), mengatakan anak perempuan pada

usia tertentu juga membuat berbagai keputusan mengenai wanita, maka ia harus

memutuskan apa yang akan dilakukan karena ia mengalami siklus haid, atau

karena buah dadanya mulai membesar. Tanda-tanda fisik yang mengantarkan

anak perempuan menjadi wanita dewasa ini mempengaruhi pula perilaku yang

dianggap pantas baginya sebagai wanita dewasa. Sehubungan dengan karakteristik

sekunder itu, wanita juga harus mengambil keputusan yang tidak terlepas dari

keinginannya sebagai wanita dewasa dan hanya dianggap pantas baginya.

Untuk pertama kali dalam hidupku, suatu ketika kutinggalkan flat tanpa
meminta izin pada ibuku. Jantungku berdebar keras ketika aku
melangkah di jalan, meskipun perbuatanku yang melanggar peraturan
itu telah memberiku sebuah kekuatan tertentu. Ketika aku sedang
berjalan, tiba-tiba suatu tulisan pada papan menarik pandanganku,
“Salon Rambut untuk Wanita.‟ Hanya sedetik aku merasa ragu sebelum
aku melangkah masuk. (MSDP, hal 11)

Untuk pertama kali dalam hidupku, suatu ketika kutinggalkan flat tanpa

meminta izin pada ibuku. Kutipan ini menunjukkan bahwa Aku mengambil

keputusan yang sama sekali tidak diizinkan oleh ibunya. Aku memotong pendek

rambutnya seperti laki-laki. Tapi ini justru membuat dirinya puas dan bahagia,

Aku merasa kali ini dia telah mengalahkan ibunya. Rasa takutnya selama ini

kepada ibunya pun hilang karena Aku telah merasa berhasil mengambil keputusan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kini aku menjadi seorang yang

pemberani.

Ibuku menjerit dengan suara melengking dan menampar wajahku dengan


keras! Setelah itu, sekali lagi ia menamparku sementara aku hanya berdiri
saja di sana seakan-akan terpaku di tempat itu. Tindakanku yang
menantang kekuasaan ini seolah-olah telah mengubah diriku menjadi
suatu kekuatan yang tak tergoyahkan, kemenanganku atas ibuku
menjelmakan diriku menjadi suatu permukaan yang kokoh, tak
terpengaruh sedikit pun oleh serangan. Tangan ibuku menampar wajahku
dengan keras, dan setiap kali ia menarik tangannya kembali rasanya
hanya ibarat tangannya memukul sebuah batu granit saja. (MSDP, hal 12)

Dari kutipan tangan ibuku menampar wajahku dengan keras, dan setiap kali

ia menarik tangannya kembali rasanya hanya ibarat tangannya memukul sebuah

batu granit saja dapat dilihat bahwa aku dapat menguasai ibunya. Aku memiliki

kekuasaan untuk memotong rambutnya hingga pendek sesuai dengan

keinginannya sendiri. Cara aku menyikapi ibunya yang berulang kali menampar

wajahnya tidak mempengaruhi mental aku. Aku semakin berani dan merasa

memenangkan pertempuran ini.

Penggambaran Aku dengan pemikiran-pemikirannya yang bebas ini

selaras dengan apa yang diungkapkan oleh para feminis, dimana nilai-nilai

tradisional yang mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian

mereka, bersifat pasif dan menyerah serta memelihara domestisitas menjadi

penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat rendah kaum wanita.

Sehingga seorang perempuan tidak sanggup menjadi pribadi mandiri yang bangga

akan jati dirinya terutama dalam hidup bermasyarakat (Djajanegara, 2003:5).

Aspek fisis ini tidak terlepas dari aspek psikis sebagai komponen kesatuan

aspek perwujudan citra perempuan, seperti diketahui bahwa perempuan sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sosok perempuan yang dibangun atas aspek fisis dan psikisnya. Maka dari itu citra

fisis dan psikis sedikit banyak berpengaruh juga terhadap citra psikisnya.

Pengaruh ini selanjutnya bergeser mempengaruhi citra sosialnya. Jadi antara

aspek citra perempuan itu sebenarnya saling berhubungan dalam mencapai

martabat hidupnya.

5.2.2 Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

Di dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan tokoh Aku

tergambar sebagai sosok perempuan yang sedari kecil menunjukkan sifat

kritisnya. Ia selalu mempertanyakan mengapa sebagai perempuan Ibunya selalu

membedakan dan memperlakukan tidak sama dengan saudara laki-lakinya.

Mengapa sebenarnya, ibuku selalu mengadakan pembedaan-pembedaan


tajam antara kakak lelakiku dan aku, menggambarkan seorang laki-laki
seperti seorang dewa, yang harus kulayani di dapur selama hidupku?
(MSDP, hal 22)

Pernyataan kutipan di atas cukup jelas menggambarkan bahwa aku tumbuh

menjadi seorang yang kritis. Akibat dari perlakuan ibunya yang membedakan Aku

dengan saudara laki-lakinya menjadikan Aku sebagai sosok yang keras dan

pemberontak walaupun pemberontakan itu belum terang-terangan ditunjukkannya

kepada ibunya karena pada saat itu Aku seorang gadis yang harus menuruti segala

perkataan ibunya. Pemberontakkan itu pun hanya terjadi di dalam batinnya yang

terus mempertanyakan apa kehebatan seorang laki-laki sehingga mereka bagaikan

dewa. Menurutnya ketidakadilan ini merupakan kerugian yang besar karena apa

yang ingin dilakukannya semua terhambat dikarenakan fisiknya yang sebagai

perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kata tajam dalam kalimat diatas mengalami perubahan makna disfemia.

Pengarang mengganti kata yang maknanya halus atau biasa dengan kata yang

maknanya kasar. Makna disfemia sering digunakan dalam situasi tidak ramah,

kejengkelan atau penegasan. Dalam kalimat ini makna tajam berarti sangat jelas.

Aspek psikis perempuan dapat tercitrakan dari gambaran pribadi,

gambaran pribadi perempuan dewasa itu secara karakteristik dan normatif sudah

terbentuk dan sifatnya stabil (Kartini Kartono dalam Sugihastuti, 2000:101).

Dengan kestabilan ini dimungkinkan baginya untuk memilih relasi sosial yang

sifatnya juga stabil, misalnya perkawinan, pilihan sikap, pilihan pekerjaan dan

sebagainya. Dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan terlihat bahwa

citra perempuan dalam aspek psikis adalah perempuan yang berkarakteristik

stabil, setelah akhirnya bertemu dengan seorang pria ia memutuskan untuk

menikah namun pernikahan tak seperti yang dibayangkannya lalu ia mengambil

keputusan untuk meninggalkan suaminya tersebut. Namun streotipe yang

dilekatkan kepada perempuan membuat Aku dipandang heran oleh orang-orang di

sekitarnya.

Mulut orang-orang menganga karena heran dan tak setuju. Bagaimana


ia dapat meninggalkan suminya? Dan mengapa?

Betapa beraninya mereka berbuat demikian, mereka yang telah


menyerahkan diri jiwa dan raganya kepadaku, orang-orang yang telah
kuselamatkan dari penyakit dan maut? Mereka mempunyai hak apa
sampai bisa mencampuri kehidupan pribadiku atau menyatakan
pendapatnya kepadaku? Akulah yang selama ini menasihati mereka
tentang apa yang boleh mereka makan atau minum, menerangkan
kepada mereka bagaimana mereka harus bernapas, tidur, hidup, punya
anak. Apakah mereka lupa, ataukah mereka berpikir, bahwa bila aku
melepaskan alat stetoskop atau baju dokter yang putih ini, aku lalu
harus menyingkirkan kemampuan berpikirku, kecerdasanku,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kepribadianku? Betapa sedikitnya pengetahuan mereka! (MSDP, hal
69-70)

Kutipan di atas menunjukkan perlawanan Aku terhadap dominasi dan

superioritas kaum pria terlihat pada sikapnya yang memutuskan untuk berpisah

dari suaminya, bahkan bercerai. Walaupun orang-orang di sekitarnya memandang

heran kepadanya dan bersikap sinis. Dia tidak ingin membiarkan dirinya terus

dikuasai kekuatan dari luar. Dengan keyakinan bahwa dia mampu hidup mandiri.

Dalam menganalisis sebuah wacana diperlukan konteks untuk menafsirkan teks

tersebut. Aku berprofesi sebagai seorang dokter sehingga ia bisa menilai para

pasien yang datang kepadanya untuk tidak mencapuri urusan pribadinya. Karena

selama ini dialah yang menjadi penasihat bagi mereka semua. Perempuan

mempunyai kemampuan untuk berkembang, maju dan membangun dirinya

sendiri. Kemampuan atas pilihannya sendiri perempuan bertanggung jawab atas

potensi diri sendiri sebagai makhluk individu. Hal ini juga dirasakan oleh Firdaus

dalam novel PDTN terlihat dari kutipan di bawah ini.

Saya tetap masih punya ijazah sekolah menengah saya, surat


penghargaan penghargaan saya, dan otak yang tajam dan bertekad
untuk mencari pekerjaan yang terhormat. Saya tetap memiliki dua
mata yang hitam yang dapat menatap mata orang dan siap melawan
pandangan orang yang mengerling licik yang siap dilontarkan kepada
saya dalam menempuh jalan hidup saya. Setiap kali ada iklan saya
ajukan lamaran untuk mendapatkan pekerjaan itu. Saya pergi ke semua
kementrian, departemen dan kantor-kantor perusahaan yang mungkin
ada lowongan. Dan akhirnya, berkat daya upaya itu, saya memperoleh
suatu pekerjaan pada salah satu perusahaan industri besar. (PDTN, hal
106)

Pernyataan di atas menunjukan bahwa Firdaus ingin memperoleh harga

dirinya agar lebih terhormat. Sejak kecil ia menginginkan suatu pekerjaan dimana

ia akan menjadi seorang pemimpin. Namun subordinasi yang diterimanya di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perusahaan tersebut yang menganggap bahwa sebagai seorang perempuan,

Firdaus dianggap remeh dan tidak layak dihormati. Inilah realita kehidupan yang

ditampilkan pada novel ini, kehidupan perempuan yang berada di kelas bawah.

Perempuan ingin mengubah hidupannya menjadi lebih baik. Namun, sebagai

seorang perempuan tetap saja melekat anggapan bahwa perempuan dinilai lebih

rendah dari laki-laki. Gambaran tersebut terlihat dari kutipan di bawah ini.

Saya tidak ditakdirkan untuk mencapai apa yang saya harapkan.


Bagaimana kerasnya pun saya berusaha, atau pengorbanan apa pun yang
telah saya berikan seperti orang yang berkhayal mempunyai maksud
yang baik, saya masih tetap seorang karyawati miskin yang tak berarti.
Kebajikan saya, seperti kebajikan semua orang yang miskin, tak pernah
dianggap suatu kualitas, atau sebuah aset, tetapi malah dianggap bagai
semacam kedunguan, atau cara berpikir tolol, untuk dipandang lebih
rendah lagi daripada kebejatan moral dan perbuatan penjahat. (PDTN,
hal 125)

Ideologi patriarkhi yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di

rumah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan perempuan

sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan

sosial dan hak-hak kerja lainnya.

Setelah kerja seharian itu selesai, saya akan mengambil tas kecil saya
dan pulang ke rumah. Apa yang saya sebut rumah bukanlah rumah,
atau sebuah flat, tetapi hanyalah sebuah bilik kecil tanpa kamar mandi.
Saya menyewanya dari seorang perempuan tua yang biasa bangun
pagi-pagi untuk shalat, kemudian mengetuk pintu saya. Pekerjaan saya
baru dimulai pukul delapan pagi, tetapi saya selalu bangun pukul lima,
sehingga masih ada waktu untuk mengambil handuk, dan turun ke
bawah lalu turut berbaris dengan laki-laki dan perempuan yang berdiri
di depan kamar mandi. Karena dengan gaji saya yang amat kecil itu
saya tak dapat tinggal di tempat lain kecuali rumah ini, yang terletak di
sebuah gang yang dipenuhi barisan warung-warung tempat tukang
kayu dan pandai besi melakukan usaha dagangannya. (PDTN, hal 106-
107)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Manusia mempunyai rasa takut dan menginginkan rasa nyaman, menyukai

harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa

senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan

rasa cinta. Pada kutipan Karena dengan gaji saya yang amat kecil itu saya tak

dapat tinggal di tempat lain kecuali rumah ini, yang terletak di sebuah gang yang

dipenuhi barisan warung-warung tempat tukang kayu dan pandai besi melakukan

usaha dagangannya tergambar bahwa Firdaus menginginkan sebuah rumah yang

terletak di pinggir kota, tidak dipenuhi oleh tukang kayu dan pandai besi yang

dalam pekerjaannya mengeluarkan suara yang ribut dan tidak nyaman di dengar.

Tetapi, karena gaji Firdaus tidak mencukupi untuk tinggal di sebuah rumah

mewah ia terpaksa tinggal di bilik tersebut.

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Di dalam diri

manusia terdapat sesuatu yang tidak ada di dalam makhluk hidup lainnya yang

bersifat khusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan

dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan

kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya.

Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta.

Suatu perasaan rindu yang amat dahsyat menguasai diriku, jiwa maupun
ragaku, kerinduan suatu jiwa yang yang haus akan cinta yang baru saja
dibebaskan dari pertimbangan akal sehat, dan kegairahan tubuh yang
masih perawan yang baru saja dilepaskan dari balik terali besi. Aku
ingin tahu, bagaimana kiranya, jika seorang lelaki dan perempuan
bertemu dalam cinta. Kemudian malam hari terasa semakin panjang
karena berbagai khayalan dan ilusi seperti berkumpul di sekitar tempat
tidurku lengan yang panjang dan kuat yang memeluk pinggangku.
Wajah lelaki yang begitu dekat dengan wajahku. Matanya seperti mata
ayahku, tetapi mulutnya seperti mulut saudara sepupuku, tetap ia
bukanlah kedua-duanya. Siapakah gerangan dia? Obrolan anak-anak
perempuan di masa sekolah dulu tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Aku
menarik napas panjang merintih dan berkhayal seperti seorang gadis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


remaja, seakan-akan aku belum pernah membedah maupun
menelanjangi tubuh lelaki dan terkesan akan keburukannya. (MSDP, hal
49-50)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa sosok Aku terlihat sebagai

perempuan yang tegar dan mandiri untuk mempertahankan hidupnya tanpa

kehadiran laki-laki. Sebagai seorang dokter ia telah berhasil dalam karirnya.

Namun pada akhirnya Aku merasakan suatu kekurangan dalam dirinya. Sebagai

seorang perempuan Aku tidak pernah merasakan cinta. Sejak seseorang beranjak

usia remaja, munculnya perasaan rindu dan hasrat untuk hidup bersama dengan

lawan jenisnya semakin mendesak dan menjadi pemikiran serta sumber kegiatan

dalam kehidupan setiap manusia.

Kemandirian seorang perempuan dituntut untuk bisa mengadakan

penyesuaian dengan perkembangan masyarakat yang ada. Penyesuaian itu harus

didukung oleh pengetahuan yang cukup, berkeinginan untuk terus belajar dan

bekerja keras serta disiplin yang tinggi. Mandiri dapat diartikan sebagai

kemampuan seseorang dalam menyelami kehidupan dengan putusan-putusan yang

dipertimbangkan atas dasar pola dan kemampuan pikir yang dimilikinya.

Kemandirian seorang perempuan bukan merupakan barang baru karena justru

terlihat menonjol sekali di masyarakat yang dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya, mereka masih harus bergulat dengan kejamnya dunia (Gusti, 1992:54).

Dalam novel Perempuan Di Titik Nol Firdaus diancam dengan hukuman

gantung, karena telah melakuan pembunuhan. Ada harapan dibebaskan jika

Firdaus meminta surat permohonan kepada Presiden dan meminta maaf atas

kejahatan yang telah ia lakukan. Tapi Firdaus menolak meminta grasi, karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menurutnya ia bukan seorang penjahat. Firdaus lebih memilih mati daripada harus

menjatuhkan harga dirinya.

“Ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim surat permohonan


kepada Presiden dan meminta maaf atas kejahatan yang kau lakukan.”
“Tetapi saya tidak mau dibebaskan,”kata saya, “dan saya tidak mau
meminta pengampunan atas kejahatan saya. Apa yang disebut kejahatan
bukanlah kejahatan.”
“Kau membunuh seorang lelaki.”
“Jika saya keluar lagi dan memasuki kehidupan yang menjadi milikmu,
saya tidak akan berhenti membunuh. Jadi apa gunanya saya
menyampaikan permohonan pengampunan kepada Presiden?”
“Kau penjahat. Kau memang harus mati.”
“Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang
saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau
lakukan.” (PDTN, hal 147-148)

Kenyataan sesungguhnya hubungan laki-laki dan perempuan didalam

masyarakat adalah hubungan politik, karena hubungan itu didasarkan pada

struktur kekuasaan. Gambaran yang dikisahkan ini sudah barang tentu kemudian

menimbulkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem sosial

di dalam masyarakat Arab. Ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim

surat permohonan kepada Presiden dan meminta maaf atas kejahatan yang kau

lakukan. Tetapi saya tidak mau dibebaskan, kata saya, dan saya tidak mau

meminta pengampunan atas kejahatan saya. Apa yang disebut kejahatan bukanlah

kejahatan. Pernyataan tersebut merupakan bentuk perlawanan Firdaus terhadap

kaum lelaki.

Pembagian peran yang sangat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan

lahir dikarenakan sistem kekuasaan yang ada memiliki ciri laki-laki memiliki

otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala

bidang, baik politik, ekonomi, agama maupun sosial. Relasi antara laki-laki dan

perempuan masih didominasi oleh sistem patriarkhi. Hal ini sejalan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pemikiran feminisme marxisme dan sosialis yang menganggap bahwa opresi

terhadap perempuan merupakan suatu produk dari struktur politik, sosial, dan

ekonomi tempat individu itu hidup.

5.1.3 Citra Perempuan dalam Aspek Sosial

Citra perempuan ditinjau dari segi sosial, yaitu gambaran tentang

perempuan yang dilihat berdasarkan ciri-ciri sosiologis yaitu pekerjaan, jabatan,

peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama,

kepercayaan, idiologi, bangsa, suku, dan kehidupan pribadi.

1. Peran dalam keluarga

Keluarga mulai melatih anak dalam pengenalan bentuk-bentuk dasar

kehidupan beradab dengan mengajarkan kepadanya betapa pentingnya pembedaan

jenis kelamin dan tingkatan umur, tua atau muda, dengan membentuk sikap patuh

dan taat pada perintah serta rasa hormat pada keluarga (Kenneth, 1988:11).

Dalam lingkungan keluarga, Aku dalam novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan mempunyai kedudukan sebagai seorang anak. Aku tergambar sebagai

anak yang mematuhi peraturan yang diterapkan oleh ibunya walaupun di dalam

batinnya ada rasa iri karena perbedaan perlakuan Aku dengan perlakuan saudara

lelakinya. Bagi Aku semua yang dilakukan nya merupakan keinginan dari ibunya

yang menginginkan hidupnya seperti perempuan di sekelilingnya. Gambaran

tersebut terlihat dari kutipan di bawah ini.

Saudara lelakiku bangun pada pagi hari dan boleh meninggalkan tempat
tidurnya kusut sebagaimana adanya, sedangkan aku diharuskan
membersihkan dan membereskan tempat tidurku dan sekaligus tempat
tidurnya. (MSDP, hal 2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam wacana ideal, perempuan diharapkan menuruti orang tua mereka

ketika muda, suami mereka ketika kelak menikah dan anak laki-laki mereka

ketika hidup menjanda. Hal ini sejalan dengan penjelasan dari Mikiso Hane yang

mengatakan bahwa perkawinan di atur oleh orang tua, dan anak tidak bisa bicara

dengan keputusan ini. Suami dapat dengan mudah menceraikan istri, tetapi istri

harus bertahan dengan sikap tabah dan mengorbankan diri terhadap segala bentuk

ketidakadilan dan pelecehan di tangan suami dan keluarganya (Mikiso, 1986:

211).

“Mengapa kau kembali dari rumah pamanmu? Apakah dia tidak


sanggup memberimu untuk makan beberapa hari saja? Sekarang kau
melarikan diri dariku? Mengapa kau memalingkan mukamu dari
mukaku? Apakah aku ini buruk? Apakah aku ini bau busuk? Mengapa
kau menjauhkan aku jika aku mendekatimu?”. (PDTN, hal 64)

Kutipan diatas merupakan salah satu pengorbanan Firdaus tokoh utama

dalam novel Perempuan Di Titik Nol yang rela dinikahkan dengan Syekh Mahmoud

yang umurnya sudah 60 tahun sementara Firdaus belum lagi 19 tahun. Pernikahan

ini melahirkan penderitaan yang amat menyiksa. KDRT yang dialami Firdaus terjadi

berulang kali, sehingga Firdaus memutuskan untuk kembali ke rumah pamannya.

Namun baru saja ia sampai di rumah pamannya, pamannya mengantarkan kembali

Firdaus ke rumah Syekh Mahmoud.

Dari aspek fisis dan psikis terlihat bahwa perempuan dengan laki-laki

berbeda, perbedaan ini mempengaruhi citranya dalam keluarga, sudah selayaknya

hidup di lingkungan rumah tangga, peran perempuan sebagai seorang ibu dan

pendidik anak-anaknya merupakan tugas yang diberikan alam kepadanya. Karena

itu citra perempuan dalam keluarga dianggap sebagai citra sosial yang alamiah,

sebagai anggota keluarga wajar apabila kesibukan domestik seperti mengasuh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


anak, mencuci, membersihkan rumah dan mengatur rumah tangga menjadi

kewajiban bagi seorang perempuan.

2. Peran dalam Masyarakat

Di samping citra perempuan dalam keluarga, citra perempuan dalam

masyarakat juga terpancar dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan dan

Perempuan Di Titik Nol, dalam citra sosial terlihat pula sikap sosial perempuan.

Sikap sosial adalah konsisten individu dalam memberikan respon terhadap laki-

laki sebagai pasangannya, konsisten respon dinyatakan sebagai sikap apabila

ditunjukkan bukan oleh individu saja melainkan oleh sejumlah anggota dari suatu

kelompok atau masyarkat (Campbell dalam Sugihastuti, 2000: 131). Sikap sosial

dinyatakan dengan cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap

objek sosial baik yang bersifat material dan non mental (Gerungan, 1983:151

dalam Sugihastuti, 2000:131). Sebagai suatu respon evaluatif yang dinyatakan

berdasarkan proses evaluatif dalam diri individu, sikap sosial memberikan tekanan

utama pada sikap-sikap pergaulan dan sosialisasi diwujudkan dalam sikap-sikap

sosial individu melalui kata-kata atau perilakunya. Jadi sikap sosial merupakan

skema penting dalam kehidupan manusia (Sherif dan Sherif dalam Sugihastuti,

2000:132).

Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan orang

lain demikian juga bagi perempuan hubungannya dengan manusia itu dapat

bersifat khusus maupun umum tergantung pada bentuk dan sifat hubungannya itu,

bisa jadi hubungan itu hanya sebatas seorang teman atau mungkin bisa juga

sebagai kekasih. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


orang perorang termasuk hubungan antara perempuan dengan laki-laki orang

perorang.

Dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan digambarkan

bagaimana hubungan Aku antara orang perorang dan juga masyarakat di

lingkungan tempat tinggal Aku. Hubungan antara Aku dengan orang perorang di

antaranya ditunjukkan bagaimana hubungannya dengan suaminya.

Aku kini memandang kepadanya dengan mata terbuka lebar. Matanya


tampak pucat tanpa ada kedalaman. Tangannya keras dan lebih kasar
daripada yang pernah kubayangkan, jemarinya lebih pendek, tanpak
seperti tangan orang bodoh. Siapa sebenarnya orang asing di sampingku
ini? Siapakah seonggok daging yang kusebut suamiku ini? (MSDP, hal
67)

Ketika remaja Aku sangat membenci dengan yang namanya perkawinan,

hingga akhirnya Aku bertemu dengan seorang lelaki yang membuatnya merasa

kuat sebagai seorang wanita dan akhirnya mereka menikah tanpa keyakinan yang

kuat dari Aku apakah itu atas dasar cinta atau karena Aku merasa lelaki ini lebih

lemah. Rumah tangga mereka tidak bertahan lama dikarenakan prinsip keduanya

yang berbeda. Keinginan Aku yang terus menjalankannya profesi nya sebagai

seorang dokter tidak disetujui oleh suaminya yang menginginkan Aku terus

berada di rumah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara Aku

merasa tidak menikmati hari-harinya karena terikat dengan sosok suami. Akhirnya

perceraian terjadi dan Aku merasakan kembali kebebasan seperti saat sebelum

terjadi pernikahan. Hubungan Aku dengan anggota masyarakat boleh dikatakan

hubungan yang penuh solidaritas karena keeksistensiannya sebagai seorang

dokter.

Demikianlah, kamar praktekku dibanjiri lelaki, perempuan dan anak-


anak, dan peti-petiku penuh dengan uang dan emas. Namaku menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tak kalah tenarnya dari nama bintang film, pendapatku diterima oleh
orang-orang ibarat undang-undang. Orang yang tak kukenal tiba-tiba
menyatakan diri memiliki hubungan denganku, musuh lelaki
mengerubungiku ibarat lalat dan serangan mereka berubah menjadi
pembelaan atas posisiku dan upaya untuk membantuku. Laci-laci
lemariku penuh dengan surat pujian, permohonan dan permintaan
bantuan. (MSDP, hal 87)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Aku mampu menyelamatkan orang-

orang dari penyakit yang dideritanya. Orang yang tak kukenal tiba-tiba

menyatakan diri memiliki hubungan denganku, musuh lelaki mengerubungiku

ibarat lalat dan serangan mereka berubah menjadi pembelaan atas posisiku dan

upaya untuk membantuku. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sebagai dokter

membuat aku lebih dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Baik laki-laki

maupun perempuan datang kepadanya memberikan pujian, permohonan dan

permintaan.

Feminisme marxis dan sosialis mengatakan, penyebab penindasan

terhadap perempuan lebih pada klasisme daripada seksisme. Penindasan

perempuan bukan hasil tindakan individu melainkan produk dari struktur politik,

sosial dan ekonomi tempat seorang individu hidup. Solusi yang ditawarkan ialah

kemandirian ekonomi perempuan dengan berkiprah di sektor publik. Perempuan

tidak tergantung pada laki-laki. Dengan kemadirian ekonomi, perempuan akan

sejajar dengan laki-laki.

Dalam aspek masyarakat citra perempuan adalah makhluk yang dalam

hubungannya dengan manusia lain bersifat saling membutuhkan seperti hubungan

yang dimulai dengan orang perorang sampai ke hubungan dengan masyarakat

umum, termasuk ke dalam hubungan orang seorang adalah hubungan perempuan

dan laki-laki dalam masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kubenamkan wajahku di dadanya, mencari perlindungannya, berpegang
erat kepadanya. Aku merasa sepertinya kehidupanku yang lalu terlepas
dari diriku, sehingga aku kembali menjadi anak kecil yang baru belajar
jalan. Aku mulai memerlukan uluran tangan yang dapat membantuku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, urasakan bahwa aku butuh
kehadiran orang lain, sesuatu yang belum pernah kurasakan, terhadap
ibuku sendiri sekalipun! (MSDP, hal 108)

Sebagai makhluk sosial, apa yang dirasakan oleh perempuan seperti itu

adalah wajar bahwa manusia itu tidak dapat hidup dan berdiri sendiri tanpa orang

lain. Kubenamkan wajahku di dadanya, mencari perlindungannya, berpegang erat

kepadanya. Kutipan ini menggambarkan bahwa aku juga memerlukan orang lain

untuk meneruskan hidupnya. Dalam novel Perempuan Di Titik Nol, juga terlihat

bahwa Firdaus memerlukan orang lain untuk menolongnya setelah pergi dari

rumah suaminya.

Dia berkata, bahwa dia tinggal di dua kamar dan bahwa saya dapat
tinggal di sebuah kamar sampai saya memperoleh pekerjaan . (PDTN,
hal 67)

Firdaus berjumpa dengan seorang laki-laki bernama Bayoumi, yang

menolongnya ketika melihat Firdaus kelaparan di jalanan. Pada awalnya, Bayoumi

memperlakukan Firdaus dengan sangat baik, ia menjanjikan kepada Firdaus bahwa

ia akan mencarikan pekerjaan yang layak baginya, sesuai dengan ijazah yang

dimiliki oleh Firdaus, yaitu ijazah sekolah menengah. Bahkan iapun lebih memilih

tidur di lantai, dari pada harus berdua dengan Firdaus di atas tempat tidurnya

yang kecil. Firdaus menolak tidur di tempat tidur Bayoumi, ia mengusulkan agar ia

saja yang tidur di lantai. Bayoumi pun tidak membiarkan itu terjadi, ia langsung

menyentuh tangan Firdaus dan menggiringnya ke tempat tidur, namun kemudian ia

pun menidurinya.

Saya merasakan sentuhannya yang tiba-tiba, bagaikan suatu mimpi


yang mengingatkan pada masa lampau, atau suatu kenangan mulai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan kehidupan. Tubuh saya tersentuh rasa nikmat yang tidak jelas
atau oleh perasaan sakit yang sebenarnya bukan rasa sakit tetapi rasa
nikmat, dengan rasa nikmat yang saya belum tahu sebelumnya, yang
pernah hidup di kehidupan lain, yang bukan kehidupan saya, atau yang
ada dalam tubuh lain, yang bukan tubuh saya. (PDTN, hal 69)

Tinggal bersama Bayoumi untuk waktu yang lama menggelisahkan jiwa

Firdaus, sehingga ia memutuskan untuk mencari tempat lain dan menyampaikan

usulan tersebut kepada Bayoumi. Bayoumi marah, maka ia pun melakukan

kekerasan terhadap Firdaus dan menidurinya setiap malam secara kasar. Suatu

malam, dengan kepasrahan Firdaus membiarkan tubuhnya disentuh dan

digerayangi seperti biasanya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda yang ia

rasakan, sampai akhirnya ia tersadar bahwa yang menidurinya bukanlah

Bayoumi, tetapi teman-temannya. Mereka tidak sekedar melakukan pelecehan

seksual terhadap Firdaus, tetapi juga mengejek Firdaus sambil menghina ibunya

dan mengatakan bahwa Firdaus adalah perempuan jalang. Sejak itu Firdaus

melarikan diri dari Bayoumi lalu bertemu dengan Sharifa. Sharifalah yang

membawa Firdaus pada suatu profesi yang disebut pelacur.

Saya tak pernah meninggalkan rumah itu. Sebenarnya, saya pun tak
pernah meninggalkan ruangan tidur. Siang dan malam saya terbaring di
tempat tidur, tersalib, dan setiap jam seorang lelaki akan memasukinya.
Begitu banyaknya mereka itu. Saya tidak mengerti dari mana saja
mereka itu datangnya. Karena mereka semua sudah kawin, semuanya
berpendidikan, semuanya membawa tas yang membengkak, dan dompet
kulit yang tebal di dalam kantung bagian dalam baju mereka. (PDTN,
hal 82)

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa citra sosial perempuan terbentuk

atas realisasinya dengan orang perorang termasuk dengan laki-laki yang berada

dalam pertarungan jenis, seakan-akan laki-laki menjadi lawan jenis bagi

perempuan untuk ditentangnya. Penentuan perempuan atas sikap laki-laki terjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


karena berbagai sebab dan akibat, dalam aspek sosialnya keberadaan perempuan

ditentukan oleh budaya yang melingkupinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa posisi seorang perempuan

dalam lingkup keluarga dan sosial adalah posisi subordinat. Posisi ini tak dapat

tergantikan, karena budaya dan agama (dengan pemahaman tafsir qur`an dan

hadits secara misoginis) seolah mengaturnya demikian. Akan tetapi, menyadari

hal ini Firdaus tidak menyerah begitu saja. Ia malah merasa harus bangkit dan

bergerak memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan perempuan. Karena sebagai

makhluk Tuhan, perempuan juga punya hak untuk dikasihi, dihargai dan

dimuliakan. Seperti yang telah diungkapkan dalam citra psikis Firdaus yaitu

seorang yang pemberani. Ia melakukan pembunuhan dan menolak meminta grasi

kepada presiden. Baginya, kematian adalah kemenangan, karena ia telah

memperoleh rasa bangga dari kematian itu. Rasa bangga karena telah berhasil

melakukan perlawanan terhadap hegemoni budaya patriarkhi yang telah

menindasnya hingga ke titik yang terendah, titik nol.

5.1.4 Citra Perempuan dalam Aspek Budaya

Laki-laki dan perempuan secara alamiah, bilogis dan genetis berbeda,

adalah sebuah kenyataan, sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat diubah. Akan

tetapi yang kemudian melahirkan perdebatan adalah ketika perbedaan secara

alamiah ini lalu kemudian menimbulkan pemahaman yang beragam pada tiap

orang dan kelompok masyarakat. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal

dengan konsep gender, yaitu beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural (Fakih, 2008:8).

Misalnya stereotipe perempuan yang dikenal lemah lembut, keibuan, emosional

atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan

sebagainya. Stereotipe seperti ini dapat dipertukarkan dan bisa jadi berbeda pada

masing-masing masyarakat, tergantung pada budaya dan sistem nilai yang

dibangun.

Tidak sesaatpun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri


sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan
oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini
dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual
tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling
murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah
pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya orang yang cerdas,
saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada
menjadi seorang isteri yang diperbudak. (PDTN, hal 133)

Menurut pemikiran feminisme marxisme dan sosialis pekerjaan

perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga

sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka percaya bahwa kapitalisme adalah suatu

sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan memiliki kekuasaan yang

lebih besar, mengkoreksi pekerjaan untuk bekerja yang lebih keras. Perempuan

tidak memiliki kekuatan yang selalu dianggap sebagai binatang, yang tidak

mempuanyai perasaan dan hati ataupun keinginan lebih) dan hubungan pertukaran

(bekerja untuk upah, hubungan yang diperjual belikan).

Dari pernyataan semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain

bentuk. Karena saya orang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang

pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. Terlihat

bahwa pekerjaan telah membentuk pemikiran yang pada dasarnya selalu

dilakukan oleh perempuan. Seorang yang sudah percaya diri akan pekerjaan yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ia lakoni menghasilkan sesuatu yang besar, berharga dan menjadikanya terhormat

meski kebenaranya ia tidaklah terhormat dalam pandangan moral. Sungguh sangat

menyedihkan keadaan seperti ini bagaimana mungkin para pelacur dapat

dibandingkan dengan para istri yang memiliki posisi terhormat di tengah

masyarakat. Para aktivis feminis banyak yang berpendapat demikian, lebih baik

mendapat bayaran atas layanan yang diberikan kepada laki-laki daripada hanya

diberi upah tempat yang terhormat dalam masyarakat.

Perempuan tidak memperoleh kehormatan sebagai wanita. Seorang isteri

hanya dijadikan budak oleh suaminya. Kondisi ini terkait dengan masih kuatnya

nilai-nilai ketidakpercayaan terhadap perempuan, perempuan kurang memeroleh

akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan, dan aspek lainnya.

Saya tahu perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya
merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya juga anak-anak lain
di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-
laki. (PDTN, hal 36)

Pemikiran yang terdapat pada kutipan saya tahu perempuan tidak bisa

menjadi kepala negara di atas karena adanya diskriminasi perempuan yang

mengakar pada mentalitas personal dan struktural. Hukum, budaya, pemerintah

bahkan keluarga pun mendukung diskriminasi ini. Status sebagai suami tidak

lebih dari bahasa sosial yang menjadikan institusi perkawinan sebagai legitimasi

penindasan dan pembungkaman perempuan.

Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua
perempuan adalah pelacur. Pekawinan adalah lembaga yang dibangun
atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita. (PDTN, hal
126)

Pernyataan pada kutipan pekawinan adalah lembaga yang dibangun atas

penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita di atas menunjukkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bagaimana lembaga perkawinan itu tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi

para istri. Suami sebagai pendamping tidak lagi menarik bagi istri karena hatinya

penuh dengan kesedihan dan kemarahan. Lembaga perkawinan yang sering kali

bukan menjadi tempat yang aman untuk berlindung bagi perempuan, malahan

menjadi tempat perangkap yang membuat perempuan menderita lahir batin.

Mereka tidak lebih dari pelayan yang tidak digaji, mungkin para pelacur lebih

beruntung karena mereka menerima bayaran upah setelah melakukan “pekerjaan”

mereka.

Secara umum, sensitifitas gender dan diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan masih menjadi isu yang paling kuat di wilayah negara Arab yang

sangat patriarkhi. Akita dalam Hegemony, Patriarchy and Human Rights: The

Representation of Ghanaian Women in Politics menjelaskan bahwa secara

literal patriarkhi didefinisikan sebagai „kekuasaan oleh ayah‟. Lebih lanjut, Akita

mengungkapkan bahwa patriarkhi adalah kondisi di mana laki-laki menjadi

yang dominan dalam berbagai posisi dan ranah seperti dalam ranah politik,

ekonomi, hukum, agama, pendidikan, militer, serta ruang publik lain yang

hampir semuanya hanya ditujukan untuk laki-laki (Akita, 2010: 44-45).

Dalam artikel yang ditulis oleh Randa El Tahawy pada 06 Juli 2012 silam

menunjukkan salah satu potret ikonik revolusi Mesir. Sebagian orang

berpandangan sebelum memperhatikan hak-hak perempuan bahwa demokrasi

perlu dicapai lebih dulu. Namun, untuk menciptakan Mesir yang benar-benar

demokratis mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat

penting. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-

laki, namun juga tentang ketidakadilan. Perempuan terlalu sering diperlakukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidakadilan. Mereka

menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer,

dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para

aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan

konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti

hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan

tak bisa memperolehnya. Seperti yang tergambar dari kutipan berikut.

Sesungguhnya, sejak kecil aku telah terlibat dalam serangkaian


pertempuran tanpa akhir, dan disinilah kini aku menghadapi suatu
pertempuran baru melawan masyarakat seluruhnya; berjuta-juta
manusia dengan berjuta orang di depan dan di belakangku. Mengapa
kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya? Mengapa tak terdapat
pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan?
Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja
dengan anak lelaki, atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan
sebagai orang sederajat dan sebagai mitra? mengapa masyarakat tak
mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan
menggunakan baik otak maupun tubuhnya? (MSDP, hal 83)

Menurut Hellwig (1997: 14), bukan hanya para suami, anak laki- laki pun

mendapat tempat yang penting dalam keluarga. Mereka lebih dihargai daripada

anak perempuan. Mereka mendapat perlakuan yang istimewa karena mereka

merupakan tempat tergantungnya semua harapan orang tua untuk mencapai

kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Perlakuan istimewa tersebut,

diantaranya dalam bentuk: mendapatkan lebih banyak perhatian dan kebebasan,

cinta kasih yang berlebihan,serta pendidikan, makanan dan perawatan yang lebih

baik. Kebebasan yang mereka terima bukan hanya kebebasan jasmani, tetapi juga

kebebasan, baik untuk mengungkapkan diri maupun untuk memilih. (Bhasin dan

Khan, 1995: 55)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari kutipan mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama

saja dengan anak lelaki, atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan

sebagai orang sederajat dan sebagai mitra? mengapa masyarakat tak mengakui

hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan baik otak

maupun tubuhnya? menunjukkan bahwa memang adanya perbedaan yang

dilakukan oleh orang tua antara anak laki-laki dan anak perempuan mereka.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pemahaman

tentang peran, tugas dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini

lahir anggapan bahwa yang pantas mencari nafkah adalah laki-laki. Seiring

dengan perkembangan masyarakat, perbedaan kerja antara wilayah domestik dan

publik semakin menajam yang membawa pada terbentuknya spesialisasi kerja.

Akibatnya, laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, bisnis, industri, dan juga

dalam kehidupan keluarga. Sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya dalam

pekerjaanya. Sementara perempuan semakin terkurung dalam sangkar emas

keluarga.

“Aku tak mau kamu pergi keluar setiap hari,” katanya lagi.
“Aku pergi toh bukan untuk bersenang-senang. Aku kerja.”
“Aku tak mau kamu memeriksa tubuh-tubuh lelaki dan melepaskan
bajunya.” (MSDP, hal 65)

Kutipan “Aku tak mau kamu pergi keluar setiap hari,” katanya lagi di atas

merupakan sikap dari suami aku yang dipengaruhi oleh sistem patriarkhi yang

menindas kaum wanita, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam

masyarakat. Suami yang menganut budaya patriarkhi selalu ingin mengatur hidup

istrinya sesuai dengan kemauan dan keperluannya untuk mempertahankan

kekuasaannya dalam rumah tangga. Dalam sistem ini, suami berkuasa atas istrinya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(Bhasin dan Khan, 1995: 25-6). Istri dianggap berada di bawah kekuasaan suami,

sehingga suami berhak berbuat apa saja terhadap istrinya. Suami aku menganggap

bahwa dirinya adalah kepala keluarga sehingga dia berhak berbuat apa saja yang

dikehendaki, termasuk menentukan apakah seorang isteri berhak bekerja atau

tidak.

Sebagai seorang wanita Mesir, Saadawi mengatakan bahwa sampai hari ini,

seorang wanita Mesir yang bekerja dan berkarir, bahkan seorang menteri sekalipun

masih diatur oleh undang-undang kepatuhan yang ditasbihkan di dalam Kitab Undang-

Undang Perkawinan Mesir. Ia menambahkan bahwa apabila seorang wanita mengeluh

atas beban pekerjaan rumah tangga yang teramat banyak, atau tidak mampu

memberikan perawatan bagi suami dan anak-anak yang dituntut darinya, ia akan

dikucilkan. Bebagai tuduhan akan ditimpakan ke atas kepalanya, hanya lantaran

mengabaikan anak-anak dan tidak memenuhi keinginan dan kebutuhan suami, berarti ia

ikut mendorong perpecahan “ikatan-ikatan suci keluarga”. (Saadawi, 2001: xxxii).

Tokoh Aku dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan ini seolah-olah

menjadi gambaran dan bukti bahwa telah terjadi pergeseran moral dalam

kehidupan sosial masyarakat yang disebabkan oleh budaya.

Hal ini juga terjadi pada tokoh Firdaus dalam novel Perempuan Di Titik

Nol yang selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebagai seorang pelacur

yang sukses Firdaus banyak diinginkan oleh orang-orang penting untuk

disenanginya. Suatu hari ada seorang tokoh yang amat penting dari suatu Negara

asing memesan Firdaus namun ia menolaknya. Lelaki tersebut mengancam Firdaus

dengan penjara bahkan menganggap bahwa Firdaus tidak mencintai negaranya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada kesempatan yang ketiga kalinya, ia menjelaskan kepada saya
bahwa menolak seorang Kepala Negara dapat dipandang sebagai suatu
penghinaan pada tokoh yang penting dan dapat menjurus pada
ketegangan hubungan antara dua negara. Ditambahkannya, bahwa jika
saya benar-benar mencintai negara saya, jika saya seorang patriot, saya
akan pergi kepadanya. Lalu saya katakan kepada orang dari kepolisian
itu bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme, bahwa negeri
saya bukan saja tidak memberi apa-apa, tetapi juga telah mengambil
segalanya yang soyagyanya saya miliki, termasuk kehormatan dan
martabat saya. Saya heran ketika melihat bahwa orang dari kepolisian itu
seakan-akan kebanggan moralnya telah amat tersinggung oleh apa yang
saya katakana itu. Bagaimana mungkin seseorang sama sekali tidak ada
perasaan patriotik. (PDTN, hal 131-132)

Pada kutipan pada kesempatan yang ketiga kalinya, ia menjelaskan kepada

saya bahwa menolak seorang Kepala Negara dapat dipandang sebagai suatu

penghinaan pada tokoh yang penting dan dapat menjurus pada ketegangan

hubungan antara dua negara Nawal El Saadawi sang pengarang novel seolah ingin

menegaskan bahwa, perempuan kerap kali mengalami diskriminasi hukum,

perempuan dijadikan alat untuk sistem ekonomi dan politik sebuah negara.

Bahkan ketika mereka mengalami kekerasan, diperlakukan kasar oleh laki-

laki, atau ketika mereka harus mengalami pelecehan seksual, yaitu tak ada

jaminan hukum yang kuat untuk melindungi mereka. Salah satu media online

yang diterbitkan oleh wordpress.com pada 2 November 2010 melakukan

wawancara dengan Nehad Abu el Komsan, Direktur Pusat Hak-Hak Perempuan.

Salah satu pertanyaannya adalah mengapa pelecehan seksual di Mesir begitu

merajalela? Mungkin ada sejumlah alasan, tetapi banyak titik untuk mengabaikan

hak asasi manusia.“Mesir lebih tertarik pada keamanan politik, dari keamanan

publik,”. Dia mengatakan bahwa sering berarti pejabat lebih fokus pada mencegah

kerusuhan politik daripada mengatasi penyakit sosial.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam novel ini, peristiwa tersebut tergambarkan ketika Firdaus harus

mendekam dipenjara karena kasus pembunuhan. Dalam kasus tersebut Firdaus

dihukum tanpa proses pembuktian, karena dalam proses tersebut tidak dibuktikan

kebenaran dari latar belakang terjadinya pembunuhan tersebut. Padahal dalam

novel tersebut, Firdaus melakukan perlawan karena telah diserang oleh seorang

laki-laki germo.

Mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan


membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke
dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya
tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah
satu-satunya perempuan yang membuka kedok mereka dan
memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum
saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki.
Beribu-ribu orang yang dibunuh tiap hari, tetapi karena mereka takut
untuk membiarkan saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya masih
hidup mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka.
Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup
mereka. Mereka ingin hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin
banyak kejahatan, semakin banyak perampokan, perampasan yang tak
terbatas. Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian,
karena saya sudah tidak lagi mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak
lagi merasa takut mati. Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya tak
takut apa-apa. Karena selama hidup itu adalah keinginan, harapan,
ketakutan kita yang memperbudak kita. Kebebasan yang saya nikmat
membuat mereka marah. Mereka ingin mengetahui, bahwa
bagaimanapun juga ada sesuatu yang saya inginkan, takutkan atau
harapkan. Kemudian mereka akan tahu bahwa mereka akan
memperbudak saya lagi. (PDTN, hal 147)
Patriarkhi juga dapat didefinisikan sebagai fitur umum organisasi sosial

yang diprakarsai dan terus dipelihara oleh laki-laki serta secara prinsip memberi

banyak keuntungan bagi laki-laki. Pengertian ini dibentuk dari kepercayaan

tradisional bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan posisi istri ada di bawah

laki-laki. Selain itu, hal ini juga diperkuat oleh klaim masyarakat tradisional

bahwa perempuan tidak bisa eksis dengan diri mereka sendiri tanpa berhubungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan laki-laki (Bolatito, 2003: 361). Patriarkhi menegaskan superioritas laki-laki

pada perempuan dan menempatkan perempuan pada ketidaksetaraan yang

fundamental di mana lelaki memiliki kuasa penuh untuk mengendalikan banyak

sektor seperti hukum, ekonomi, militer, pendidikan, dan institusi agama sementara

perempuan tidak. Selain itu, laki-laki secara umum dianggap lebih kuat dan lebih

berguna dari perempuan.

Kutipan mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah

membunuh seorang lelaki. Beribu-ribu orang yang dibunuh tiap hari, tetapi karena

mereka takut untuk membiarkan saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya

masih hidup mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka.

Hidup saya berarti kematian mereka menggambarkan bahwa Firdaus di hukum

mati, dan tidak ada pembelaan yang bisa dilakukan oleh Firdaus.

Panjimas.com memuat sebuah berita bahwa Pihak Aliansi Revolusioner

Perempuan Mesir (Revolutionar Alliance of Eqyptian Woman) mengatakan bahwa

pihak berwenang Mesir mengancam melakukan pemerkosaan untuk memaksa

perempuan dan keluarga mereka agar mengakui kejahatan palsu yang tidak

mereka lakukan, seperti tercatat bahwa empat perempuan dan anak-anak

gadis dinyatakan masih hilang setelah tindakan ancaman dan paksaan dijalankan,

dilansir oleh Middle East Monitor. Situs yang mempunyai motto “Suara

Kebenaran Lawan Kebatilan” ini juga mengatakan bahwa Pihak Aliansi

mengklaim bahwa pihak berwenang Mesir menahan perempuan-perempuan

Mesir itu atas tuduhan “politik”, sementara pihak pemerintahan Mesir

menganggap tuduhan yang sama atas mereka menjadi ”kriminal”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ketertindasan perempuan, secara antropologis, dipandang oleh Sherry

Ortner (dalam Moore, 1998:30) disebabkan oleh sebuah sistem nilai yang

diberikan makna tertentu secara kultural. Ortner menempatkan ketertinggalan

perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Dalam budaya

universal, ketertindasan perempuan, menurut Ortner merupakan manifestasi dari

pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi

laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan

memberikan pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Pembedaan

tersebut tergambar dari kutipan berikut.

Tahun-tahun akan terus berlalu dan mungkin akan mengubah sejarah,


hukum dan tradisi. Kehidupan pun akan menemukan cara yang bersih
dan indah bagi para gadis kecil untuk menjadi dewasa dan matang.
Tubuh manusia akan tumbuh, menjadi lebih ringan dan dapat terbang.
Ilmu pengetahuan akan menemukan rahasia protoplasma kehidupan.
Iring-iringan kehidupan akan bergerak terus dan setiap hari akan
menemukan sesuatu yang baru. Mengapa bagiku waktu ini terasa
berjalan begitu lambat, roda penggeraknya merobek bagian-bagian
hidupku pada waktu roda itu bergerak maju? Mengapa pula kehidupan
ini menyeretku dengan bergegas lalu melemparkan diriku jauh ke atas
sehingga aku mencapai puncak yang tinggi hanya untuk dicekam oleh
kesepian yang dingin membeku? (MSDP, hal 89-90)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa kebudayaan berupaya

mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan untuk

berbagai kepentingan. Pernyataan tahun-tahun akan terus berlalu dan mungkin

akan mengubah sejarah, hukum dan tradisi. Kehidupan pun akan menemukan cara

yang bersih dan indah bagi para gadis kecil untuk menjadi dewasa dan matang.

Tubuh manusia akan tumbuh, menjadi lebih ringan dan dapat terbang yang

diungkapkan oleh aku menunjukkan bahwa kebudayaan berada pada posisi

superior dan alam dipihak inferior. Kebudayaan diciptakan untuk menguasai,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan

kehidupan masyarakat. Begitupun yang dirasakan oleh Aku dalam novel Memoar

Seorang Dokter Perempuan dan Firdaus dalam novel Perempuan Di Titik Nol.

Sehingga ia hanya menunggu waktu yang akan merubah segalanya. Dalam

hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, maka perempuan selalu

diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan. Oleh

karenanya merupakan suatu hal yang alami jika perempuan berada pada posisi

yang dikontrol, dikendalikan dan dikuasai.

Mansour Fakih mengatakan “bahwa sampai sekarang belum ada negara

dimana kaum perempuan dan laki-laki menikmati kesetaraan hak dan

kesempatan”. Namun jangan hal ini menjadi kelesuan semangat kita dalam upaya

keadilan gender diberbagai wilayah peran dengan proses sharing power sehingga

tidak ada satu jenis kelamin yang mendominasi atau tertindas jenis kelamin

lainnya.

Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai

rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan

haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden

perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup

tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan

kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa

berpartisipasi dalam politik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Nawal El Saadawi berusaha menggambarkan betapa sulitnya keadaan

seorang perempuan yang ingin berusaha memperjuangkan haknya. Ia juga ingin

mengatakan bahwa ketidakberanian perempuan memperjuangkan haknya hanya

akan membuat perempuan menyesal di kemudian hari.

5.3 Diskusi

5.3.1 Pengantar Diskusi

Dalam diskusi ini, hal-hal penting yang peneliti uraikan yaitu hasil

penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab rumusan masalah kedua dalam

dua novel karya Nawal El Saadawi yang berjudul Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol.

5.3.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Citra perempuan dalam novel MSDP banyak menampilkan citra perempuan

dalam aspek budaya. Segala tingkah laku tokoh dalam masyarakat ditentukan

adanya budaya yang dimiliki oleh masyarakat itu. Sedangkan Citra perempuan

dalam novel PDTN banyak menampilkan citra perempuan dalam aspek sosial.

Anggapan laki-laki lebih berkuasa dan dominan dalam masyarakat di banyak

bidang sangat merugikan kaum perempuan.

Budaya dalam masyarakat menempatkan derajat perempuan dibawah derajat

lelaki. Pendidikan dan pemikiran perempuan tidaklah penting, kerena pengabdian

perempuan dalam hidupnya hanya untuk laki-laki. Sejak kecil, perempuan dididik

sedemikian rupa, dipersiapkan segala sesuatunya seperti fisiknya untuk kemudian

memuaskan laki-laki.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Adat istiadat mengajarkan bahwa perempuan seharusnya bergantung pada

lelaki, karena perempuan merupakan makhluk lemah, dan sebaliknya lelakilah

yang berkuasa. Perempuan tidak dibenarkan meninggalkan suaminya dan hidup

mandiri, sehingga perempuan yang seperti itu akan mendapat cemoohan dari

masyarakat.

Realitas ini sesungguhnya secara moral menunjukkan bahwa laki-laki

menguasai dan mengontrol perempuan. Pada kondisi ini perempuan berada pada

posisi teralienasi, oleh karena seluruh aktivitas hidupnya hanya merupakan

kelengkapan bagi orang lain. Sebelum menikah perempuan lebih banyak diatur

oleh orang tuanya dan ketika menikah diserahkan orang tuanya pada suaminya.

Perempuan lalu menjadi milik suaminya, mengurusi suami, rumah tangganya, dan

ketika ia menjadi seorang ibu, ia pun menjadi pelayan anaknya. Perempuan

menjadi teralienasi, oleh karena hidupnya senantiasa diperuntukkan untuk

kepentingan orang lain, menjadi bagian dari orang lain, sehingga ia kehilangan jati

dirinya.

Sebuah artikel yang diliput oleh liputan6.com diunggah pada 24 Maret

2015 menguak sebuah kebenaran tentang penyamaran seorang wanita menjadi

seorang laki-laki demi menghidupi keluarganya. Wanita yang bernama Sisa Abu

Daooh ini bekerja sebagai pengangkat batu bata dan kantong semen serta

membersihkan sepatu di jalan-jalan untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan

anak-anaknya. Budaya setempat menganggap tabu apabila ada perempuan yang

bekerja terutama didaerah-daerah yang membutuhkan tenaga kerja. Jadi, untuk

melindungi diri dari laki-laki dan menjadi target dari mereka, Sisa memutuskan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


untuk menjadi seorang pria. Mengenakan pakaian dan bekerja bersama mereka di

desa-desa lain dimana tidak ada yang mengenal Sisa. Selama 43 tahun Sisa selalu

menyamar menjadi pria dan mengenakan jubah longgar tradisional dengan lengan

lebar yaitu pakaian khas orang-orang pedesaan Mesir.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan perempuan di tengah-tengah laki-

laki dalam suatu pekerjaan, perempuan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak

menunjukkan keprofesionalannya. Ada keraguan di antara mereka tentang

kemampuan yang dimiliki perempuan. Kemampuan perempuan dianggap tidak

sepadan dengan laki-laki sehingga dalam suatu lembaga sulit ditemukan

perempuan sebagai pemegang kendali atau pimpinan tertinggi di lembaga

tersebut. Kalaupun ada perempuan yang memegang jabatan tertinggi, hal itu tidak

terlepas dari bayang-bayang laki-laki di sekitarnya.

Dalam aspek sosial masyarakat menganggap bahwa perempuan memiliki

harkat dan martabat yang tidak sama dengan laki laki. Secara jenis kelamin

memang berbeda, tetapi hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial tidak ada

bedanya. Kaum perempuan harus diberikan peluang yang sama dengan laki-laki

dalam kehidupan sosial. Perempuan tidak selalu terpimpin, sebaliknya perempuan

juga dapat menjadi pemimpin. Hal itu sejalan dengan pendapat Saptandari

(2010:34) bahwa kalau ingin memperbaiki posisi perempuan maka dibutuhkan

suatu upaya untuk meningkatkan kekuasaannya untuk tawar-menawar dan untuk

mengubah sendiri nasibnya. Artinya, keterlibatan kaum perempuan tidak saja

sebagai objek, tetapi juga sebagai pelaku aktif, sebagai orang yang ikut

merumuskan sendiri apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan mereka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pergolakan jiwa yang dihidangkan Saadawi dalam kedua novel ini tidak

terlepas dari jiwanya yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya

sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam dua novel ini menampilkan

perlawanan-perlawanan yang ditujukan pada kaum laki-laki. Hal ini juga

menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra

terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Saadawi telah menciptakan jiwa-jiwa

pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang

membangkitkan emosi para pembaca.

Masih banyak pendapat dan pandangan yang memarginalkan peran

perempuan. Pernyataan-pernyataan atau sikap-sikap yang merugikan kaum

perempuan seakan menjadi alur yang tidak berkesudahan. Harkat dan martabat

perempuan walaupun telah dihargai, tetap menyisakan pandangan-pandangan

negatif yang merendahkan kaum perempuan. Banyaknya kasus perkosaan,

pelecehan seksual, kekerasan suami terhadap isteri merupakan contoh terjadinya

ketidakadilan terhadap perempuan. Ada sebuah kesadaran bahwa dalam

masyarakat patriarkhi, perempuan seolah-olah bukan bagian dari masyarakat

sehingga kehadiran, pengalaman, pikiran, tubuh, dan keterlibatannya kurang

diakui (Heroepoetri & Valentina 2004:vi). Dikatakan bahwa atas nama

objektivitas dan generalisasi, masyarakat patriarkhi mendefinisikan dan mengatur

tata kehidupannya yang menindas dan meniadakan perempuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Setelah melakukan analisis terhadap novel Memoar Seorang Dokter

Perempuan dan Perempuan Di Titik Nol dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh perempuan dalam novel

MSDP dan PDTN terjadi dalam 5 bentuk yaitu 1) Marginalisasi terhadap

perempuan. Hal ini tergambar dari tokoh aku dalam novel MSDP yang

merasa bahwa perempuan tidak ada tempat di wilayah publik, sedangkan

dalam novel PDTN tergambar dari tokoh Firdaus yang tidak diberikan

kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. 2) Subordinasi terhadap

perempuan. Subordinasi dalam novel MSDP berpandangan bahwa

perempuan tidak diberikan kesempatan dalam pengambilan keputusan

,sedangkan dalam novel PDTN perempuan tidak perlu sekolah dan cukup

menjadi isteri yang mengurus segala keperluan rumah tangga. 3)

Stereotipe terhadap perempuan. Dalam hal ini perempuan mendapatkan

pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak pantas

hidup sendiri, dan tidak bisa menjadi majikan. 4)Violence (kekerasan)

yang terjadi pada perempuan. Dalam hal ini kekerasan yang sering terjadi

pada perempuan adalah kekerasan fisik, dan seksual. 5) Beban kerja

terhadap perempuan. Beban kerja yang rus diterima oleh perempuan dalam

novel MSDP dan PDTN dibebankan denganpekerjaan di sektor domestik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam menciptakan suatu wacana menganenai ketidakdilan gender,

perubahan makna yang digunakan oleh pengarang yaitu makna disefemia.

Yaitu makna yang digunakan untuk menunjukkan kejengkelan ataupun

marah.

2. Citra perempuan yang tergambar dalam novel MSDP dan PDTN terdiri

dari 4 aspek yaitu, 1) Aspek fisis. Dalam aspek fisis tokoh aku dalam

novel MSDP tergambar citra perempuan yang cantik, dan dewasa. Begitu

pula yang tergambar pada tokoh Firdaus dalam novel PDTN. Firdaus

tercitrakan sebagai perempuan yang cantik dan dewasa. 2) Aspek psikis.

Dalam aspek psikis tokoh aku dalam novel MSDP mampu mencitrakan

dirinya sebagai wanita yang cerdas, pantang menyerah, kritis terhadap

permasalahan hidup, pemberontak, pemberani, dan mandiri. Sedangkan

tokoh Firdaus dalam novel PDTN tergambar citra perempuan sebagai

sosok yang pintar dan pemberani. 3) Aspek sosial. Citra perempuan dalam

kedudukan tokoh perempuan meliputi status sosial yang di dalamnya

terdapat pendidikan, karier, dan status perempuan. Kedudukan perempuan

dalam masyarakat juga meliputi dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan

keluarga, sikap rela berkorban, mandiri, dan memiliki harga diri. Dalam

aspek sosial citra perempuan yang tergambar dalam aspek sosial tokoh aku

dalam novel MSDP adalah seorang anak, seorang istri, dan seorang dokter.

Sedangkan citra perempuan dalam aspek sosial yang tergambar dari tokoh

Firdaus adalah seorang anak, istri, pelacur, dan pegawai sebuah

perusahaan. 4) Aspek budaya. Citra perempuan yang tergambar dari tokoh

aku dalam novel MSDP yaitu anak perempuan mengalami diskriminasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam bidang pendidikan, dan istri sepenuhnya milik suami, dan tokoh

Firdaus dalam novel PDTN yaitu anak perempuan mengalami diskriminasi

dalam bidang pendidikan, dalam bidang publik, dan dalam bidang hukum.

perempuan sebagai objek kekerasan fisik maupun seksual. Dalam

menciptakan suatu wacana yang menggambarkan citra perempuan, seperti

halnya menggambarkan ketidakadilan gender, pengarang menggunakan

perubahan makna disefemia.

6.2 Saran

Peneliti lain dapat meneruskan analisis citra perempuan, dengan teori

feminisme dan sosiologi sastra. Dengan mengkaji novel-novel Arab dapat

diketahui dengan lebih jelas bagaimana penerapan budaya Arab dalam kehidupan

bermasyarakat. Dengan mengkaji masalah-masalah kehidupan bermasyarakat dari

sudut pandang feminisme, diharapkan pembaca dapat mengubah pemikiran dan

sikap terhadap perempuan yang selama ini dianggap menjadi manusia yang

infreoritas.

Peneliti selanjutnya dapat mencoba konsep yang sesuai untuk sastra Arab dan

persoalan realitas sosial budaya masyarakat. Hasil kajian tersebut diharapkan

menghasilkan konsep yang dapat diterima oleh berbagai aktivis sastra di

Indonesia. Konsep-konsep baru perlu dipelajari untuk mengetahui dampak positif

dan negatifnya agar dapat dipahami dan diterima sesuai dengan keperluannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik.


Yogyakarta : Rineka Cipta.

Akita, M. Edward. 2010. Hegemony, Patriarchy and Human Rights : The


Representation of Ghanaian Woman in Politics. Ohio State University.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Trans dan Ed. Tim
Kunci Cultural Studies Center. Yogyakarta : Bentang.

Basuki, Sulistyo. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Bhasin dan Khan. 1995. Feminisme Dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Bungin. Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Bungin. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Budianta, Melani. 1990. Pendekatan Feminis Terhadap Wacana dalam Analisis


Wacana.Ed. Kris Budiman. Yogyakarta: Penerbit Kamal.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka


Cipta.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang: Magister Ilmu
Susastra UNDIP.
Effendi, Chairil dkk.1995. Citra Perempuan dalam Sastra Nusantara di
Kalimantan Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ellizabeth, Tom Burns. 1973. Sosiology of Literature and Drama. London

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Centre


for Academic Publishing Centre.

Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosialis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Ganelli. Aries Eva, dkk. 2010. Kepribadian Perempuan Aceh yang Tangguh
Kemarin-Sekarang dan Esok. Medan: USU Press.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.
Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Hellwig, Tineke. 2003. In The Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra
Indonesia. Trans. Farikha dan Rika Iffanti. Jakarta: Pesantara.

Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

Heroepoetri, Arimbi dan Valentina, R. 2004. Percakapan Tentang Feminisme VS


Neoliberalisme. Jakarta : Debwatch Indonesia.

Jane C, Ollenburger, dan Moore Helen A. 1996.Sosiologi Wanita. Trans. Budi


Sucahyono dan Yan Sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta.

Miles, Matthew B.A, dan Michael Huberman, Saldana. 2014. Analisis Data
Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender. Buku Pertama dan Buku Kedua.
Magelang: Indonesiatera.

Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan dalam Timbangan Islam.


Jakarta : Gema Insani Press. Cet. I.

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto Bagong. 2004. Sosiologi : Teks Pengantar Dan
Terapan. Jakarta: Kencana.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengurus Utamanya di Indonesia.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Patel, Ismail Adam. 2005. Perempuan Feminisme dan Islam.Trans. Abu Faiz.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rokhman, Muh. Arif, et.al. 2003. Sastra Interdisipliner : Menyandingkan Sastra


dan Disiplin Ilmu Sosial. Ed. Sirojuddin Arif. Yogyakarta: CV. Qalam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Saadawi, Nawal El. 1988. Memoar Seorang Dokter Perempuan. Tans. Kustiniyati
Mochtar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Memoirs of a
Woman Doctor.

Saadawi, Nawal El. 1989. Perempuan Di Titik Nol. Trans. Amir Sutarga. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Women at Point Zero.

Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Seldan, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Trans.
Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

Sugihastuti dan Soeharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tong, Rosemarie. 1998. Feminist Thought: A More Comperhensive Introduction.


Trans. Aquarini Priyatna Prabasmo. Yogyakarta: Jalasutra.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace, dan World.

Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra
Darwati.

Jurnal dan Artikel Online

Amertawengrum, Indiyah Prama. 2012. Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan


: Tinjauan Psikologi Tokoh. (Magistra 80): 83-90. download.portalgaruda.org.
[Diunduh tanggal 20 okt 2015]

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Citra Perempuan dalam Politik. Jurnal Gender
danAnak.http://pensa-sb.info/wp-content/uploads/2011/02/CitraPerempuan.pdf
. [Diunduh tanggal 9 Agustus 2016]

Bolatito, A.L. 2003. Feminism in the postmodernist age. The Journal of Social,
Political and Economic Studies.
Kasmiati, Elmustian dan Hadi Rumadi. Citra Perempuan Dalam Novel Habibie
Dan Ainun Karya Bacharuddin Jusuf Habibie. FKIP Universitas Riau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pekanbaru.http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4440/
86.Kasmiati.pdf?sequence=1 [Diunduh tanggal 27 Agustus 2016]

Latif, Muh Nur.2006. Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El-Sa’dawi.
Bahasa dan Seni.1: 44-55. unhas.ac.id. [Diunduh tanggal 20 okt 2015].

Pramuditha, Maria Theresia Ratih. 2014. Kehidupan Perempuan Mesir yang


Digambarkan dalam Novel Perempuan di Titik nol Karya Nawal El-Saadawi.
Tesis. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. Fisip.unsoed.ac.id.
[Diunduh tanggal 20 okt 2015].

Prestiyono, Cinta Raga Suci. 2013. Ketidakadilan Gender Novel Perempuan Di


Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi. Jurnal. Jember: Universitas Jember,
Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. repository.unej.ac.id. [Diunduh
tanggal 19 Okt 2015].

Qudsiah, Esti Rohana, dkk. 2012. Pencitraan Wanita dalam Novel Imro’ah Inda
Nuqhtah Ash-Shifr Karya Nawal El-Saadawi (Kritik Sastra Feminis). jurnal-
online.um.ac.id. [Diunduh tanggal 20 Oktober 2015].

Rohana, Esti dkk. 2012. Pencitraan Wanita Dalam Novel “Imro’ah Inda
Nuqthah Ash-Shifr” Karya Nawal El-Sa’dawi (Kritik Sastra Feminis. Jurnal
UNM. [diunduh tanggal 13 Oktober 2016]

Saptandari, P. 2010. Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan. Jurnal Masyarakat


dan Kebudayaan Politik, Tahun 12, Nomor 2: 33-38. journal.unair.ac.id
[Diunduh tanggal 16 Desember 2016]

Sulaiman. Tahun 2011. Perempuan dalam Perspektif Sosial dan Keluarga:


Kajian terhadap Novel Mutakhir Perempuan Indonesia, Volume 24, Nomor 1
Hal: 61-67, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo,
Madura. 8 [Diunduh tanggal 6 Juli 20116]

Sulistyorini, Dwi. 2010. Pelecehan Seksual Terhadap Tokoh perempuan Dalam


Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi dan The Colour
Purple Karya Alice Walker. sastra.um.ac.id. Bahasa dan Seni. 2: 181-191.
[Diunduh tanggal 20 okt 2015].

Ummah, Miyatul. 2009. “Kritik Sastra Feminis dalam Novel Imra‟ah Indha
Nuqhtah Al-Shifr Karya Nawal El-Saadawi.” Tesis. Jakarta: Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Negeri Syarif Hidayatullah. repository.uinjkt.ac.id.
[Diunduh tanggal 19 Okt 2015].

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Internet

Alamsyah, Emrald Ichsan. 2013. Mesir Negeri Terburuk Bagi Wanita.


http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/11/13/mw6b1n-mesir-
negeri-terburuk-bagi-wanita [Diakses tanggal 29 September 2016]

Khofifi, Muhammad. 2009. https://khofif.wordpress.com/2009/01/16/biografi-


dan-idiologi-nawal-sadawi/ [Diakses pada tanggal 9 Agustus 2016]

Marketeers Editor. 2011. Supremasi Perempuan Makin Kuat.


http://marketeers.com/supremasi-perempuan-makin-kuat/ [Diakses pada
tanggal 7 Desember 2016]

Marsinahfm. 2012. Perempuan pelita edisi 19: nawal el saadawi, setia pada jalan
perjuangan pembebasan perempuan. 9 /11/01/perempuan-pelita-edisi-19-nawal-
el-saadawi-setia-pada-jalan perjuangan-pembebasan-perempuan/ [Diakses
tanggal 9 agustus 2016]

Miller, Joe. 2016. Seorang Perempuan Yang Berupaya Mengubah arab Saudi.
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2011/06/110620_egyptwomen.shtml
[Diakses tanggal 29 September 2016]

Panjimas. 2015. 2.000Perempuan Mesir ditangkap dan 20 Lainnya Diperkosa Saat


Rezim As-Sisi Berkuasa. http://www.panjimas.com/muslimah/2015/12/03/2-
000-perempuan-mesir-ditangkap-dan-20-lainnya-diperkosa-saat-rezim-as-sisi-
berkuasa/ [Diakses Tanggal 29 September 2016]

Purwaningsih. 2012. Tamparan Terhadap Hak Perempuan Mesir.


http://www.dw.com/id/tamparan-terhadap-hak-perempuan-mesir/[Diakses
tanggal 29 september 2016]

Rahayu, Rizqi. 2012. http://rizqi-rahayu.blog.ugm.ac.id/2012/06/19/novel-sastra-


terjemahan-matinya-seorang-mantan-menteri-nawal-el-saadawi/ [Diakses pada
tanggal 20 Agustus 2016]

Redaksi. 2016. Kisah-Kisah Menarik Tentang 4 Orang Supir Perempuan di Mesir.


http://www.srikandipp.com/kisah-kisah-menarik-tentang-4-orang-supir-
perempuan-di-mesir/. [Diakses tanggal 29 September 2016]
Sari, Ririn. 2015. Demi Menghidupi Keluarga, Wanita Ini Menyamar Jadi Pria
Selama 43 Tahun. http://citizen6.liputan6.com/read/2195735/demi-keluarga-
wanita-ini-menyamar-jadi-pria-selama-43-tahun [Diakses tanggal 29
September 2016]

Sativa, Lillahi Rahma. 2012. Setiap Hari Wanita Mesir Mengalami Pelecehan
Seksual. http://health.detik.com/read/2012/09/05/122509/2008525/763/setiap-
hari-wanita-mesir-mengalami-pelecehan-seksual [Diakses Tanggal 29
September 2016]

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tahawy, El Randa. 2012. Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0
[Diakses tanggal 29 September 2016]

Yulianingsih. 2015. Pertama Kali, 900 Wanita Saudi Berebut Kursi Pemerintahan.
http://global.liputan6.com/read/2378488/pertama-kali-900-wanita-saudi-
berebut-kursi-pemerintahan. [Diakses tanggal 29 September 2016]

Zohney, Sally. 2011. Perempuan Mesir Teruskan Perjuangan.


http://www.commongroundnews.org/article.php?id=30724&lan=ba&sp=0
[Diakses tanggal 29 September 2016]

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 1

Sinopsis

1.1. Sinopsis Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

Sejak kecil aku tumbuh dalam sebuah keluarga yang selalu menjejalinya

dengan pemikiran-pemikiran bahwa wanita merupakan makhluk yang derajatnya

dibawah lelaki. Dia diperlakukan berbeda dengan kakak laki-lakinya. Hidupnya

selalu diatur oleh sebuah tradisi turun temurun yang ada dalam masyarakat

tempatnya tinggal. Sebuah tradisi yang mengatur bahwa hidup seorang wanita

adalah untuk mengabdikan diri di dapur dan memuaskan lelaki diatas ranjang.

sebaliknya dengan lelaki, lelaki selalu dianggap benar dan mulia ibarat nabi.

Lelaki yaitu seorang makhluk yang keinginannya harus selalu terpenuhi, yang

kemarahannya serupa dengan murka yang sangat mengerikan. Tekanan-tekanan

dan sejumlah aturan yang diterimanya sejak kecil menjadikannya membenci

kodratnya sebagai perempuan sakaligus membulatkan tekadnya untuk

mensejajarkan diri dengan lelaki.

Seiring bertambahnya usia, aku semakin menunjukkan pemberontakannya

melawan tradisi dari keluarga maupun masyarakat. Setelah lulus dari sekolah, dia

meneruskan pendidikannya ke fakultas kedokteran dan menjadikannya satu-

satunya mahasiswa perempuan dalam kelas yang seharusnya terdiri dari

mahasiswa laki-laki saja. Tekanan-tekanan serta gunjingan maupun pandangan-

pandangan yang memandangnya sebelah mata tak menjadikannya mundur.

Keterlibatannya dengan mahasiswa lain, demikian pula dengan mayat laki-laki

maupun perempuan di ruang outopsi semakin mengintensifkan pencarian identitas

dirinya. Dia semakin menyadari bahwa kaum lelaki bukanlah nabi seperti yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


selalu diajarkan ibunya. Dia semakin mendalami ilmu pengetahuan, dan

menemukan banyak hal yang sebelumnya tak diketahuinya. Semakin lama

bergumul dengan ilmu pengetahuan menjadikannya menyadari bahwa ilmu

pengetahuan merupakan dewa yang penuh dengan kekuasaan. Namun

perjalananya menjalankan profesinya sebagai dokter, kemudian ia menyadari ada

beberapa hal yang tak mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan salah satunya

adalah kematian. Menyadari akan hal ini, ia mengalami dilema. Dia menyadari

bahwa selama hidupnya dia selalu melancarkan serangan sengit dengan

mengorbakan kewanitaannya, mengorbankan masa belianya untuk ilmu

pengetahuan yang ternyata bukanlah dewa sebagaimana anggapannya

sebelumnya. Dia menyadari bahwa yang selama ini dia lakukan hanyalah

melawan dirinya sendiri, kewanitaannya, kemanusiaannya dan melawan

kodratnya sendiri yang seharusnya dapat ia terima sebagai anugerah dari Tuhan.

Pengalamanya dalam menjalani kehidupan yang banyak menyadarkannya akan

hakikat kemanusiaan. Tidak hanya sisi kemanusiaan dirinya namun juga pada

orang lain yang menderita dan tidak memiliki apa-apa. Hal inilah yang kemudian

mencairkan kebekuan hatinya dan mengatarkannya pada sebuah sentuhan yang

disebut kasih dan iba.

Pelajaran demi pelajaran hidup terus diteguknya, aku yang kini telah

tumbuh menjadi wanita dewasa itu mulai menjalani kehidupannya semula. Ia telah

menjadi manusia yang telah berubah mendasar, dari seorang dokter yang ahli

dalam profesi dengan status dan peran menjadi seorang anak dan saudara yang

kembali dapat menghayati kasih serta kehangatan keluarga. Ia meneguk cinta dan

kasih lingkungan, namun ada yang masih dicari olehnya yaitu cinta dari seorang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lelaki idaman. Namun nasibnya buruk. Pada saat ia mulai mendambakan dan

bermimpikan cinta, ia justru dipertemukan dengan seorang lelaki yang ternyata

lemah. Lelaki yang kehilangan ibunya, dan mengharapkan suatu keibuan yang

dapat dimiliknya secara sempurna. Ia masuk dalam perangkap melalui akad nikah.

Bahkan praktekanya pun harus dihentikan, tak ada penghargaan sebagai pribadi

mandiri dengan perkerjaan bermakna, seakan-akan perempuan nilainya hanya

pada pengabdian dan pemilikan. Lelaki ini merasa unggul ditopang pemilikan dan

pengabdian seorang perempuan. Lelaki yang lemah itu tiba-tiba mau berkuasa.

Keadaan ini menjadikannya tidak betah berlama-lama menjalin kehidupan rumah

tangga hal ini tergambar dari gambaran pengarang, "sosok tubuh kokoh dan kekar

yang menempati lebih separuh tempat tidurku. Dan sebuah mulut besar yang tidak

pernah berhenti makan. Dua kaki yang membuat kotor kaus kaki serta tempat

tidur. Dan satu hidung besar yang membuatku tak bisa tidur sepanjang malam

karena suara mendengkur dan mendesis". Ia sudah mencapai tahap kritis dan

muak terhadap suaminya yang ingin menguasai dirinya. Ia membebaskan dirinya

dan kembali pada kebebasan dan kemandiriannya sebelumnya.

Selepas bercerai dari suaminya, aku hidup sendiri sebagai seorang wanita yang

mandiri. Karena kesendiriannya itu ia kembali mendapat tekanan dari masyarakat.

Dalam masyarakat tempatnya tinggal tidaklah lazim jika seorang wanita hidup

sendirian. Lazimnya seorang wanita itu hidup bersama laki-laki, hidup dibawah

naungan ketiak laki-laki. Melihat kondisi yang seperti itu, ia kembali mendalami

profesinya untuk meraih ketenaran. Selama mendalami profesinya sebagai

seorang dokter, ia bertemu dengan seorang rekan seprofesi yang mungkin bisa

memahaminya. Iapun menjalani hubungan kencan dengan rekan tersebut untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menilainya. Namun untuk kedua kalinya ia mengalami kekecewaan. Karena lelaki

itu tak seperti harapannya. Lelaki itu takut pada pemikiran perempuan.

Kekecewaan itu mengantarkannya kembali menekuni profesinya yang kemudian

menjadikannya kaya raya sekaligus tenar. Namun meskipun begitu, ia mengalami

kesunyian yang amat sangat, dan kesendirian yang begitu kejam. Iapun kembali

mencari apa yang belum didapatkannya dalam hidup.

Kemudian dia kembali dipertemukan dengan seorang lelaki yang

berprofesi sebagai seniman. Lelaki ini menganggap bahwa kedokteran juga

merupakan sebuah seni. Mereka saling menemukan kepuasan dalam pekerjaan,

dalam kejujuran, tak perlu kepura-puraan. Lelaki itupun menyukai perempuan

yang jujur dan terbuka. Pertemuan mereka adalah pertemuan dua pribadi yang

saling mengagumi dan berakhir dengan bahagia.

1.2 Sinopsis Novel Perempuan di Titik Nol

Firdaus adalah anak dari seorang petani, hidupnya sangatlah rumit dan

penuh konflik. Sejak kecil Firdaus sudah menjalani penganiayaan dari segi fisik

maupun mental oleh seorang lelaki yang dikenalnya sebagai ayah. Sesungguhnya

tak cuma Firdaus yang mendapat perlakuan dari sosok ayahnya itu, tapi ibunya

pun tidak pernah mempunyai nasib yang lebih baik dari Firdaus.

Ketika ayah dan ibu Firdaus meninggal, Firdaus di asuh oleh pamannya.

Meski pamannya itu bersikap lebih baik dan lemah lembut daripada ayahnya, tapi

sosok paman yang lemah lembut itu sama seperti lelaki lain. Pamannya pun tidak

melewatkan kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual kepadanya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Seringkali pamannya meraba-raba paha Firdaus sambil membacakan buku

kepadanya sebelum atau sesudah Firdaus tinggal bersamanya.

Dalam masa ini, Firdaus disekolahkan di sekolah menengah pertama.

Disitulah ia dapat merasakan bergaul dengan sebayanya, namun ketika itu juga ia

hampir mengenal cinta tetapi tidak dari lawan jenis, melainkan dari seorang guru

perempuan. Lulus dari sekolah menengah dengan nilai terbaik, lalu pamannya

menikah dengan seorang gadis anak dari guru sewaktu ia sekolah di Al Ezhar.

Waktu pun terus belalu, lama-kelamaan sang bibi tersebut kurang suka

dengan keberadaan Firdaus di rurmahnya. Jadi ia berencana untuk mengenalkan

Firdaus pada seorang laki-laki yang bernama Syekh Mahmoud, orang tua yang

berumur 60 tahun yang kaya raya dan sangat pelit disertai dengan adanya bisul

disekitar wajahnya.

Untuk membalas budi sang paman, Firdaus pun menerima pinangan dari

Syekh Mahmoud tersebut dan umurnya waktu itu adalah 18 tahun. Apa boleh buat

Firdaus pun harus melayani lelaki dengan wajahnya yang penuh bisul itu walau

dengan setengah hati. Namun lama-kelamaan Firdaus pun tak tahan dan kemudian

melarikan diri. Hal itu disebabkan Firdaus seringkali mendapatkan perlakuan yang

menyakiti fisiknya. Ia pun terus berlari, dan saking kencangnya ia berlari akhirnya

tibalah pada suatu keindahan pemandangan sungai Nil. Di situlah awal mulanya

Firdaus beremu dengan lelaki yang bernama Bayoumi. Awalnya ia mengira lelaki

yang bernama Bayoumi adalah seorang laki-laki yang baik, namun ternyata tidak

demikian. Bayoumi lalu mengajak Firdaus untuk tinggal satu rumah. Bayoumi

pun tidak ketinggalan untuk merasakan nikmatnya tubuh Firdaus bersama teman-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


temannya. Bayoumi lah yang membawa Firdaus pada suatu profesi yang disebut

pelacur. Karena tidak tahan dengan perlakuan Bayoumi Firdaus melarikan diri.

Kemudian ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama

Sharifa yang ternyata tak lebih dari seorang germo. Namun, berkat perempuan itu

Firdaus lebih mengenal lagi tentang dunia pelacuran dan mengetahui bahwa ia

memiliki tubuh dengan harga diri yang tinggi, disitu Firdaus merasakan

kenikmatan dunia. Karena adanya konflik antara Firdaus dan Fawzi (pacar

Sharifa) yang ingin memperistri Sharifa. Maka atas sikap Sharifa Firdaus yang

penuh rasa hormat kepada siapapun yang di temuinya, Firdaus pun kembali

melarikan diri. Di jalan ia di ajak oleh seseorang untuk masuk kedalam mobil dan

dibawa ke hotel. Setelah melakukan persetubuhan Firdaus di beri uang sebesar 10

pon.

Jalan hidup membawa Firdaus menjadi seorang pelacur mandiri dan

berharga. Ia bisa membeli apapun yang ia inginkan, ia bisa berdandan cantik, dan

yang paling penting ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur. Akan tetapi nasib

baik belum juga bersahabat dengannya. Ketika itu Firdaus sedang merasakan

frustasi karena ia tidak merasa nyaman dan tenang saat ia menekuni sebagai

seorang pelacur. Lalu ia sempat beralih profesi menjadi pegawai kantoran. Disana

dia bertemu dan bisa merasakan rasanya jatuh cinta pada teman kerjanya, tetapi

tetap saja lelaki itu hanya menyukai dan menginginkan kenikmatan tubuh

perempuan. Bahkan perempuan adalah pelacur dalam hidup seorang lelaki, karena

setelah menjadi istri pun wanita masih menjadi pelacur. Hal yang

membedakannya adalah ketika sudah berumah tangga wanita merasa pasrah, tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dibayar, dan memakai cinta dalam persetubuhannya. Sedangkan pelacur jalanan

dibayar dan tidak memakai cinta dalam hubungannya.

Akhirnya Firdaus pun menekuni profesinya kembali sebagai seorang

pelacur, sehingga seorang germo memaksa Firdaus bekerja untuknya. Ternyata

dari pengalamannya selama ini, Firdaus pun sadar dan menjadi perempuan yang

tak mau lagi di injak-injak harga dirinya oleh kaum pria. Namun karena sang

germo memaksa dan mengancamnya, Firdaus pun memegang sebilah pisau dan

menghujamkan beberapa tusukan, sehingga akhirnya ia membunuh sang germo.

Setelah peristiwa itu, ia segera menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya

masuk penjara.

Firdaus pun di vonis hukuman mati. Firdaus menolak menerima grasi yang

telah diusulkan oleh seorang dokter penjaranya kepada presiden. Firdaus

menggunakan kepasifan sebagai senjata perlawanan untuk mempertahankan harga

dirinya, termasuk kepasifan menerima hukuman mati. Menurut Firdaus, vonis itu

justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Firdaus lebih

memilih mati karena kejahatan yang dilakukannya daripada mati karena kejahatan

yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya.

Lampiran 2

Biografi Nawal El Saadawi

Nawal El Saadawi adalah seorang tokoh perempuan Mesir terkemuka,

sosiolog, dokter dan penulis militan yang konsisten berbicara dalam isu-isu

masalah wanita Arab atau kita lebih mengenalnya dengan sebutan feminis. Beliau

seorang penulis produktif terkenal di dunia dan sudah banyak tulisan beliau yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menjadi inspirasi baik di timur maupun dibarat. Ia lebih suka menulis dalam

bahasa Arab dan tinggal di Mesir. lebih dari empat puluh buku fiksi dan non fiksi

telah ia tulis. Ia merupakan salah satu penulis yang karyanya paling banyak

diterjemahkan kedalam dua belas bahasa dunia. Novel dan buku-bukunya tentang

perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi

secara berturut-turut baik perempuan muda dan laki-laki selama lima dekade

terakhir.

Nawal El Saadawi lahir pada 27 0ktober 1931 di Kafr Tahla, sebuah desa

kecil di luar Kairo. El Sa‟adawi dibesarkan dalam keluarga besar dengan delapan

bersaudara. Keluarganya relatif tradisional, religius, dan hidup berkembang

dalam kondisi negara yang berada dalam tekanan kolonial. Saat umurnya

menginjak usia enam tahun ia "disunat", namun agak progresif dan menolak.

Ayahnya seorang serjana perguruaan tinggi, terdidik dan sangat menghargai

pendidikan sehingga tidak aneh kalau Ayah El Sa‟adawi bersikeras dalam

mendidik semua anak-anaknya meskipun Sa‟adawi sering berdebat mengapa

saudara lelakinya harus memiliki pendidikan lebih tinggi dari padanya. pada tahun

1937 ayahnya menjabat sebagai pengawas umum pendidikan untuk provinsi

Minufia di daerah Delta, wilayah yang terletak disebelah utara Kota Kairo.

Tidak hanya Ayahnya, Ibu El Saadawi juga sorang perempuaan yang

terdidik. Ia menggambarkan sosok Ibunya sebagai "seorang revolusioner potensial

dalam sejarah hidupnya." Ibunya meninggal ketika ia berumur 25 tahun, dan tak

lama setelah itu Ayahnya menyusul ibunya, keduanya tidak dapat menyaksikan

prestasi yang luar biasa putri mereka sebagai pahlawan perempuan Arab.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Semasa kecilnya El Saadawi menyelesaikan pendidikannya pada sekolah

dasar, sekolah menengah dan sekolah tingginya di negeri kelahirannya Mesir. Ia

berbeda dengan sastrawan ataupun intelektual Mesir lain yang sezamannya,

kebanyakan dari mereka menghabiskan masa studinya di luar negeri. Setelah

temat di sekolah menengah, Nawal El Saadawi memilih Fakultas Kedokteran

Kairo, sebuah Fakultas yang hanya diambil oleh kaum lelaki tetapi justru itu yang

di hendaki El Saadawi. tampaknya jiwa kritis Nawal sudah dimulai sejak ia

tumbuh dalam kehidupan bekeluarganya waktu itu.

Meskipun pembatasan yang dikenakan oleh patriarki tradisi kebudayaan

arab dan penguasa kolonial pada perempuan pedesaan, El Saadawi masih bisa

menempuh studi di Universitas Kairo dan lulus pada tahun 1955 dengan gelar

dokter dalam psikiatri. Ia menjadi lulusan terbaik dari 50 orang perempuan

diantara ratusan mahasiswa lelaki pada tahun kelulusannya. Setelah

menyelesaikan pendidikannya, El Saadawi membuka praktek psikiatri mengabdi

pada negara dan akhirnya naik menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir. El

Saadawi bertemu suaminya Sheriff Hetata yang sama-sama berprofesi seorang

dokter, saat bekerja di Departemen Kesehatan di mana keduanya berbagi kantor

bersama-sama. Mereka menikah pada tahun 1964 dan memiliki seorang putra dan

seorang putri. Hetata bersama El Saadawi dipenjara selama 13 tahun atas

partisipasinya dalam partai oposisi sayap kiri.

Sebagai seorang intelektual sekaligus pejuang hak-hak perempuaan, El

Saadawi beberapa kali mengadakan kegiatan ilmiah, antara lain; penelitiaan dan

observasi sosial tentang perempuaan, terutama masalah tentang bias gender

ataupun ketidakadilan gender. Pada tahun 1969 ia melakukan observasi dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perjalanan ilmiah ke Sudan. perjalanannya kesudan ini dalam rangka melihat lebih

dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang dilakukan secara

tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap keselamatan bagi

perempuaan itu sendiri.

Ia mulai menulis lebih dari 25 tahun yang lalu saat ia melakukan praktek

medisnya sebagai seorang dokter dan disana banyak mengamati masalah

perempuan fisik, psikologis lalu menghubungkan mereka dengan praktek-praktek

budaya yang menindas, penindasan patriarkal, penindasan kelas dan penindasan

imperialis , karya buku El Saadawi ini (27 di semua) telah berkonsentrasi pada

perempuan, terutama perempuan Arab, seksualitas dan status hukum mereka.

Sejak awal, tulisan-tulisannya dianggap kontroversial dan berbahaya bagi

masyarakat, dan dilarang di Mesir. konsekuensinyanya, El Saadawi terpaksa

untuk menerbitkan karya-karyanya di Beirut, Lebanon.

Pada tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, Perempuan

dan Masalah Seks sebagai judulnya. Semua karyanya saat itu terkait dengan

subjek yang sangat tabu; yakni tentang feminisme, gender, perempuan dan

seksualitas, dan juga subyek sensitif, patriarki budaya, politik dan agama. Nawal

El Sa‟dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang

sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku al-Mar‟ah wa al-Jins tadi

(Perempuan dan Masalah Sex), El Saadawi memberikan potret sosial bangsa Arab

yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex.

Publikasi ini membangkitkan kemarahan otoritas politik dan teologis saat itu, dan

Departemen Kesehatan memaksanya untuk memundurkan diri dan memecatnya.

Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis

di Mesir.

Dari tahun 1973 sampai 1976 ia menjadi sorang peneliti perempuan dan

neurosis di Fakultas Ain Syams University of Medicine. Hasil penelitiaanya

dipublikasikan Perempuan dan Neurosis di Mesir Pada tahun 1976 dengan judul

Perempuaan dan Neeurosis, termasuk memasukan 20 study penelitiaan yang

mendalam tentang kasus perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit.

Penelitian ini juga memberinya inspirasi untuk menulis novelnya yang terkenal

yakni novelnya Perempuan di Titik Nol, yang didasarkan pada perempuan

terpidana mati yang dihukum karena membunuh suaminya bahwa dia bertemu

ketika melakukan penelitian tersebut.

Pada tahun 1977, ia menerbitkan karya yang paling terkenal, The Hidden

Face Hawa, yang meliputi sejumlah topik relatif terhadap wanita Arab seperti

agresi terhadap anak-anak perempuan dan pemotongan alat kelamin perempuan,

prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme

Islam. Dari 1979-180 El Saadawi menjabat sebagai penasehat PBB untuk

Program Perempuan di Afrika (ECA) dan Timur Tengah (ECWA).

Kemudian pada tahun 1980, sebagai puncak dari perang lama ia berjuang

untuk kemerdekaan perempuan Mesir dalam segala aspek, terutama dalam aspek

sosial dan intelektual. semua kegiatan/ekspresi perempuaan telah ditutup,

perempuan tidak mempunyai hak dan peranannya dalam membangun negara

karena tempatnya hanya dirumah untuk menjadi ibu rumah tangga, perempuaan

dipenjarakan di bawah rezim Sadat, atas tuduhan kejahatan terhadap negara.

Saadawi menyatakan "Saya ditangkap karena saya percaya Sadat Dia mengatakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ada demokrasi dan kami memiliki sistem multi-partai dan Anda bisa mengkritik.

Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya dan saya mendarat di penjara."

Meskipun dalam penjara, Saadawi terus melawan penindasan.

Pada tahun 1981 El Saadawi membentuk AWSA (Solidaritas Perempuan

Arab Association). Para AWSA (Arabic Women's Solidarity Association) adalah

hukum pertama, organisasi feminis independen di Mesir. Organisasi memiliki 500

anggota lokal dan lebih dari 2.000 anggota secara internasional. Asosiasi ini

menyelenggarakan konferensi internasional dan seminar, menerbitkan majalah

dan telah mulai menghasilkan pendapatan proyek untuk perempuan di daerah

pedesaan. Para AWSA dilarang pada tahun 1991 setelah mengkritik keterlibatan

AS dalam Perang Teluk. El Saadawi merasa konflik irak dan libanon (perang

teluk) seharusnya diselesaikan di antara orang Arab. tujuaan dari didirikannya

organisasi ini adalah untuk mengupayakan kekuatan politik yang

memperjuangkan kepentingan dan apresiasi kaum perempuaan. pada tahun 1985

organisasi AWSA telah mendapatkan pengakuaan resmi dari Dewan Ekonomi

dan Sosial PBB sebagi organisasi non Pemerintahan (NGO) Arab.

Meskipun ia menyangkal pena dan kertas, El Saadawi terus menulis di

penjara, menggunakan "pensil alis pendek hitam" dan "gulungan kecil kertas toilet

tua dan compang-camping." Dia dirilis bebas pada tahun 1982, dan pada tahun

1983 ia menerbitkan Memoirs dari Penjara Wanita, di mana ia melanjutkan

serangan kritiknyanya pada pemerintah Mesir represif. Dalam kata penutup

memoarnya, dia mencatat banyak sifat korup pemerintah negaranya, bahaya

penerbitan dalam kondisi otoriter seperti itu dan tekadnya untuk terus menulis

kebenaran.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bahkan setelah dia dibebaskan dari penjara, kehidupan El Saadawi itu

terancam oleh orang-orang yang menentang pekerjaannya, terutama kaum Islam

fundamentalis, dan penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza

selama beberapa tahun sampai dia meninggalkan negara untuk menjadi profesor

tamu di universitas di Amerika Utara . El Saadawi adalah penulis di tinggal di

Asia dan Afrika Departemen Bahasa Duke University dari 1993-1996. Dia juga

mengajar di Washington State University di Seattle.

Judul-judul Novel Karya Nawal El Saadawi

Berikut ini adalah daftar lengkap karya-karyanya ditulis. Semua asli di Arsip.

Banyak telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol,

Portugis, Turki Swedia, Norwegia, Denmark, Italia, Belanda, Finlandia, Indonesia,

Jepang, Iran,, Urdu, dan lainnya 30 bahasa.

Novel (dalam bahasa Arab):

1. Memoar Seorang Dokter Perempuan (Kairo, 1958)

2. Satu Absen (Kairo, 1969)

3. Dua Wanita dalam Satu (Kairo, 1971)

4. Perempuan di Titik Nol (Beirut, 1973)

5. Kematian Manusia Hanya di Bumi (Beirut, 1975)

6. The Children ‘s Mengelilingi lagu (Beirut, 1976)

7. Kejatuhan Imam (Kairo, 1987),

8. Ganat dan Iblis (Beirut, 1991)

9. Kasih dalam Kerajaan Minyak (Kairo, 1993)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Cerita Pendek Koleksi (dalam bahasa Arab):

1. Saya Learnt Cinta (Kairo, 1957)

2. A Moment of Truth (Kairo, 1959)

3. Sedikit Kelembutan (Kairo, 1960)

4. Thread dan Wall (Kairo, 1972)

5. Ain El Hayat (Beirut, 1976)

6. Dia adalah lemah (Beirut, 1977)

7. Kematian seorang mantan menteri (Beirut, 1978)

8. Adab Am Kellet Abad (Kairo, 2000)

NON FIKSI: memoar (dalam bahasa Arab):

1. Memoar di Penjara seorang Wanita (Kairo, 1983)

2. Saya Perjalanan Seluruh Dunia (Kairo, 1986)

3. Memoirs of a Child Called SOAD (Kairo, 1990)

4. My Life, Bagian I, Autobiography (Kairo, 1996)

5. My Life, Bagian II, Autobiography (Kairo, 1998)

6. My Life, Bagian III, (Kairo, 2001)

7. Perempuan dan Seks (Kairo, 1969)

8. Wanita adalah Origin (Kairo, 1971)

9. Pria dan Seks (Kairo, 1973)

10. Wajah Telanjang Perempuan Arab (Kairo, 1974)

11. Perempuan dan Neurosis (Kairo, 1975)

12. Tentang Perempuan (Kairo, 1986)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13. Sebuah Pertempuran Baru di Pembebasan Perempuan Arab (Kairo, 1992)

14. Pengumpulan Esai (Kairo, 1998)

15. Pengumpulan Esai (Kairo, 2001)

16. Breaking Down Hambatan (Kairo, 2004)

Lampiran 3

3.1 Ketidakadilan Gender Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan


Karya Nawal El Saadawi

No. Marginalisasi Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

1. “Tutuplah praktekmu itu,” ia terus mendesak.


“Lalu bagaimana dngan pasien-pasienku dan semua orang yang tak akan
mendapat pelayanan dariku?‟
“masih banyak dokter lain kecuali kamu.”
“lalu masa depanku sendiri, dan ilmu pengentahuan yang telah kutekuni
separuh hidupku ini?”
“Aku adalah kehidupanmu.”
“Apa arti kata-katamu dulu yang pernah kamu ucapkan?”
“Dulu aku tak membayangkan bagaimana kenyataannya.” (MSDP, hal
66)
2. Memang, lelaki didukung oleh seluruh dunia, dan dialah yang memegang
tongkat lambing kekuasaan kehidupan di tangannya, lelakilah yang
memiliki hari kemarin, hari ini dan hari esok. Kehormatan, respek dan
moralitas, semua adalah miliknya. Merupakan penghargaan yang
diperolehnya setelah berlaga melawan kaum perempuan. Dia memiliki
kekuasaan spiritual dan material yang ada di dunia. Bahkan dialah yang
memiliki tetesan air mani yang dituangkan dalam diri perempuan pada
akhir perjuangan mereka. Dan lelaki dapat pula mempertimbangkan
apakah ia akan mengakui bibit yang ditanamnya itu lalu memberikan
namanya serta tempat terhormat dalam kehidupan, membiarkannya hidup
atau membinasakannya. (MSDP, hal 79)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Perempuan sebaliknya hanya berdiri di depan sang lelaki, dengan
kebebasannya, kehormatannya, namanya, harga dirinya, watak aslinya,
dan kemauannya, semuanya terampas habis! Seluruh kekuasaan spiritual
dan material si perempuan telah dirampas dari dirinya, sampai-sampai
kekuasaan atas benih kecil yang diciptakannya dari darah dagingnya
sendiri dan sel serta atom dari otak dan hatinya. (MSDP, hal 79)
No. Subordinasi Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

1. Karena kaum laki-laki, yang memegang kendali dan kedudukan penting


dalam kehidupan, tak menginginkan para wanita tumbuh menjadi pribadi
lain kecuali sebagai hewan-hewan yang cantik tapi tolol, tetapi dapat
memenuhi keinginan mereka bila mereka menghendaki. Lelaki tidak
menghendaki perempuan sebagai makhluk sesama atau mitra sejajar,
mereka menghendaki mereka sebagai bawahan mereka dan melayani
mereka. (MSDP, hal 57)
2. Sesungguhnya tindakanku menandatangani dokumen tadi, ternyata sama
dengan menandatangani hukuman mati untuk diriku sendiri. Namaku,
kata pertama yang kukenal dan di dalam ataupun di luar bawah sadarku,
yang dikaitkan dengan keberadaanku dan kepribadianku, menjadi hilang
dan tak berlaku lagi. Lelaki itu melengketkan namanya pada diriku secara
lahiriah. Aku duduk di sampingnya, sementara orang memanggilku
dengan namaku yang baru. Aku suka memandang kepadanya dan kepada
diriku sendiri dengan terpana, seakan-akan orang-orang itu tak benar-
benar menyapa diriku. Rasanya seperti aku sendiri telah meninggal dunia,
lalu jiwaku masuk ke tubuh perempuan lain yang wajahnya mirip aku
tetapi kini menyandang. (MSDP, hal 64)
No. Streotipe Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

1. Saudara lelakiku bebas bermain, berlompat-lompatan, jungkir balik


sekehendaknya, sementara aku hanya boleh duduk dan tetap waspada
jangan sampai gaunku tersingkap barang satu sentimeter pun ke atas paha.
Bila itu sampai terjadi, ibuku akan memandang padaku dengan pandangan
seekor binatang yang hendak melumpuhkan mangsanya, dan tentu saja
aku lalu buru-buru akan menutupi bagian-bagian tubuhku yang sangat
memalukan itu. (MSDP, hal 2)
2. Aku ingin menunjukkan pada ibuku bahwa aku lebih pandai daripada
saudara laki-lakiku, daripada lelaki yang menyebabkan ibu berharap agar
aku sudi mengenakan baju berwarna krem. Pendek kata, aku harus lebih
pandai dari laki-laki mana pun dan bahwa aku dapat melakukan setiap
tindakan yang dikerjakan oleh ayahku, bahkan masih banyak lagi.
(MSDP, hal 18)
3. Aku berdiri di halaman Fakultas Kedokteran, melihat sekelilingku.
Ratusan pasang mata diarahkan kepadaku, mengandung tatapan tajam
penuh pertanyaan. Aku hampir tak melihat kembali kepada mereka. Buat
apa aku harus mengalihkan pandangan bila mereka memandang
kepadaku, kenapa aku harus menundukkan kepala sementara mereka
mengangkat wajah mereka, berjalan terhuyung-huyung apabila mereka
melangkah dengan mantap dan penuh percaya diri? Aku toh sama dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mereka, bahkan lebih baik, lebih pandai. Maka, kutegakkan diriku tegap-
tegap. Telah kulupakan ke dua belah payudaraku dan beratnya menekan
dada pun terasa lenyap. Aku merasa diriku ringan, seolah aku mampu
bergerak dengan mudah dan bebas sebagaimana kuinginkan. Telah
kurencanakan jalan hidupku dengan jelas, yaitu melalui jalan kerja otak.
Aku juga telah menjatuhkan “hukuman mati” terhadap tubuhku, sehingga
aku tak lagi merasakan keberadaannya. (MSDP, hal 20-21)
4. Dan mengapa pula masyarakat sekelilingku selalu mencoba meyakinkan
bahwa kelaki-lakian adalah unggul dan merupakan kehormatan,
sementara kewanitaan berarti kelemahan dan sesuatu yang memalukan?
(MSDP, hal 22)
5. Lalu, masyarakat itu sendiri, siapakah mereka? Bukankah mereka terdiri
dari kaum lelaki seperti kakakku, yang sedari kecil dididik untuk
menganggap dirinya seperti dewa, dan melihat makhluk lemah dan tak
berdaya seperti ibuku sebagai perempuan? Orang-orang seperti itu
tentunya sulit percaya bahwa ada seorang perempuan yang tak tahu apa-
apa tentang lelaki kecuali bahwa ia tak lain hanya sekumpulan urat,
pembuluh nadi, jaringan syaraf dan tulang-tulang belaka? (MSDP, hal 22)
6. Aku tersenyum, kemudian tertawa terbahak-bahak sampai dapat kudengar
tawaku sendiri. Ibuku selalu mengatakan, seorang gadis sebaiknya jangan
tertawa demikian keras sampai terdengar oleh orang lain sehingga
senyumkuhanya sebatas bibir saja tanpa diiringi gelak tawa. (MSDP, hal
43)
7. Kalau begitu akan kuterangkan kepada Anda: karena sejak kecil seorang
gadis dibesarkan berdasarkan keyakinan bahwa dirinya hanyalah sesosok
tubuh, tak lebih dari itu. Jadi, untuk selanjutnya pikirannya bagaimana
mengurus tubuhnya itu dan ia tak menyadari bahwa ia pun memiliki
kemampuan otak yang harus dijaga dan terus didorong agar berkembang.
(MSDP, hal 56)
8. Ia balik memandangku dengan sikap sangat tak setuju, berani amat
seorang perempuan bicara di depan lelaki! (MSDP, hal 62)
9. Mulut orang-orang menganga karena heran dan tak setuju. Bagaimana ia
dapat meninggalkannya dan mengapa? (MSDP, hal 69)
10. Mengapa orang-orang-orang suka memandang kepadaku dengan
keheranan? Bukankah aku terlalu banyak membuang-buang waktu dalam
hidupku hanya untuk memuaskan kehendak mereka? Apakah mereka
ingin agar aku duduk diam di rumah, bertopang dagu sambil menunggu
datangnya lelaki yang membeli diriku layaknya ia membeli seekor
lembu? Apakah aku tak mempunyai hak yang wajar untuk memilih
jodohku? (MSDP, hal 74)
11. Dapatkah seorang lelaki memahami bahwa perempuan dapat
memandanginya, menilainya, lalu menolaknya? Tentu ia tak dapat,
karena biasanya dialah satu-satunya makhluk yang empunyai hak untuk
menjajagi dan menjatuhkan pilihan, sementara perempuan hanya dapat
menerima dan menyerahkan diri pada siapa pun yang memilihnya.
(MSDP, hal 82)
12. Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja
dengan anak lelaki, atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra? Mengapa masyarakat tak
mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan
menggunakan baik otak maupun tubuhnya? (MSDP, hal 83)
13. Masyarakat, binatang mengerikan yang menarik batang leher perempuan,
lalu melemparkannya ke dapur, ke tempat pemotongn daging, ke kuburan
atau kubangan lumpur yang kotor. (MSDP, hal 87)
No. Kekerasan Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

1. Tetapi, tiba-tiba kurasakan jemarinya yang kasar mengelus-elus pahaku


lalu menelusur ke atas di balik pakaianku. aku meloncat ketakutan dan
berlari meninggalkannya. (MSDP, hal 7)
2. Ibuku menjerit dengan suara melengking dan menampar wajahku dengan
keras! Setelah itu, sekali lagi ia menamparku sementara aku hanya berdiri
saja di sana seakan-akan terpaku di tempat itu. Tindakanku yang
menantang kekuasaan ini seolah-olah telah mengubah diriku menjadi
suatu kekuatan yang tak tergoyahkan, kemenanganku atas ibuku
menjelmakan diriku menjadi suatu permukaan yang kokoh, tak
terpengaruh sedikit pun oleh serangan. Tangan ibuku menampar wajahku
dengan keras, dan setiap kali ia menarik tangannya kembali rasanya
hanya ibarat tangannya meukul sebuah batu granit saja. (MSDP, hal 12)

No. Beban Kerja Dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan

1. Aku sungguh membenci kewanitaanku, menyesalkan ciri diriku


sementara aku tak tahu apa-apa tentang tubuhku. Apa yang dapat
kulakukan adalah: menolak, menantang dan menantang! Aku hendak
menolak kewanitaanku, menantang cirri pembawaanku, menantang
semua keinginan-keinginan tubuhku. Aku ingin membuktikan kepada ibu
dan nenekku, bahwa aku bukanlah perempuan seperti mereka, bahwa aku
tak bermaksud menghabiskan kehidupanku dengan berkurung di dapur,
mengupas kentang, bawang merah dan bawang putih, membuang hari-
hari berharga demikian rupa, agar suamiku dapat menikmati makan dan
terus makan. (MSDP, hal 17)
2. Perkataan “kawin” itu seolah-olah bergedebuk dalam kepalaku, mengusir
pikiran-pikiran yang lain ke belakang. Apa arti perkataan ini ketika aku
masih kecil? Seorang lelaki berperut buncit! Dalam pikiranku bau dapur
berarti bau perkawinan. Aku benci sekali perkataan itu dan aku benci bau
makanan. Tanpa kusadari apa yang kuperbuat, aku bertanya kepadanya,
“Kamu suka makan?”
Terheran-heran ia bertanya, “Makanan?”
“Ya.”
“Alangkah anehnya pertanyaanmu kali ini!”
“Lelaki kawin karena ingin makan.”
“Siapa yang bilang gitu padamu?”
“Semua orang.”
“Itu tidak benar.”
“Kenapa kamu tak berpikir untuk kawin saja ketika kamu tinggal bersama
ibumu?”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


“Ibuku tak hanya memasak untukku. Ia memberikan apa yang
kuinginkan.”
“Kalau begitu kamu ingin kawin agar ada orang lain yang dapat
memberikan segala sesuatu padamu?”
“Tidak,” katanya, namun kesannya seolah-olah ia berkata, “Ya" (MSDP,
hal 60)

3.2 Ketidakadilan Gender Dalam Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal
El Saadawi

No. Marginalisasi Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

1. Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan
malamnya, Ibu akan membasuh kakinya dan kemudian dia kan pergi
tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak
laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan
diri untuk tidur. (PDTN, hal 26)
2. “Dia dapat tinggal bersama kita sampai saya mendapatkan pekerjaan
baginya.”
“itu dapat makan waktu bertahun-tahun. Rumah ini kecil dan kehidupan
mahal. Dia makan dua kali sebanyak anak-anak kita.”
“dia membantumu dan anak-anak di rumah.”
“kita punya gadis pembantu, dan saya masak sendiri. Kita tidak
memerlukannya.” (PDTN, hal 51)
3. “Apa yang akan kita perbuat dengannya?”
“Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana
dia dapat tinggal di asrama puteri”.
“Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan
dengan lelaki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini
akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang
laki-laki? (PDTN, hal 52)
4. Saya bermaksud untuk minta mas kawin yang besar darinya.
“Berapa banyaknya?”
“Seratus pon, atau barangkali malahan dua ratus jika ia punya uang.”
“Jika ia membayar seratus pon, maka Allah benar-benar telah bermurah
hati kepada kita, dan saya tidak berlaku serakah untuk meminta yang
lebih banyak.”
“Aku akan mulai dengan dua ratus. Anda tahu dia adalah seorang lelaki
yang dapat bertengkar berjam-jam mengenai lima kelip, dan akan bunuh
iri demi uang satu piaster.” (PDTN, hal 53)
5. “Saya tak dapat terus tinggal dirumahmu, “kata saya dengan gagap. “Saya
perempuan, dan kau laki-laki, dan orang membicarakan kita. Di samping
itu, kau telah berjanji akan mencarikan pekerjaan bagi saya.”
Dengan marah dia menjawab pedas, “Apa yang dapat kuperbuat, minta
bantuan pada langit?” (PDTN, hal 109)
6. “Kau seorang pelacur, dan menjadi tugasku untuk menangkap kamu dan
lain-lain yang sejenis denganmu. Untuk membersihkan negeri ini, dan
melindungi kaum keluarga yang terhormat dari jenis kalian. Tetapi saya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak suka menggunakan kekerasan. Barangkali kita dengan diam-diam
dapat mufakat tanpa pertengkaran. Aku akan memberimu satu pon, satu
pon penuh. Apa jawabmu?” (PDTN, hal 89)
No. Subordinasi Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

1. Saya tak tahu harus menjawab apa. Sebelum pembantu mulai meletakkan
makan siang di atas meja, Paman telah mengantarkan saya kembali ke
rumah suami saya. (PDTN, hal 63)
2. “Pamanku, Syekh Mahmoud adalah seseorang yang terhormat. Dia punya
pensiun yang besar dan tak punya anak-anak, dan ia masih hidup
sendirian sejak isterinya meninggal tahun yang lalu. Bila ia menikah
dengan Firdaus, Firdaus akan memperoleh kehidupan yang baik
bersamanya, dan ia akan mendapatkan pada diri Firdaus seorang isteri
yang penurut, yang akan melayaninya dan akan meringankan
kesunyiannya. Firdaus telah bertambah besar yang mulia, dan harus
dikawinkan. Terlalu banyak risikonya bagi Firdaus bila terus-terusan tak
bersuami. Dia adalah seorang gadis yang baik, tetapi dunia ini sudah
penuh dengan bergajul. (PDTN, hal 52)
3. Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu, saya menyadari bahwa
sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih hormat, dan dihargai
lebih tinggi daripada semua karyawan perempuan, termasuk saya. Pada
masa itu saya tinggal di sebuah rumah dengan kamar mandi pribadi.
(PDTN, hal 109)
No. Streotipe Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

1. Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum


pria saja. (PDTN, hal 22)
2. “Bagaimana kau dapat menjadi salah seorang majikan? Seorang
perempuan yang hidup sendiri tidak bisa menjadi majikan, apalagi
seorang perempuan yang menjadi pelacur. Tidakkah kau sadari kau
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin?” (PDTN, hal 139)
3. “Apakah hidup mengajarimu untuk membunuh?‟ “Ya, tentu saja.”
“Dan apakah kau telah membunuh seseorang?”
“Ya, pernah.”
Ia memandang saya untuk sesaat, tertawa dan kemudian berkata, “Saya
tak dapat percaya bahwa orang macam kau ini dapat membunuh.”
“Mengapa tidak?”
“Karena kau terlalu lembut.” (PDTN, hal 145)

No. Kekerasan Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

1. Mula-mula ia memukul saya. Kemudian ia membawa seorang wanita


yang membawa sebilah pisau kecil atau barangkali pisau cukur. Mereka
memotong secuil daging di antara kedua paha saya. (PDTN, hal 18)
2. Galabeya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi
tidak saya perhatikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan paman
saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh
kaki saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat
berhati-hati. (PDTN, hal 20)
3. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan kea
rah piringnya, tetapi ia memberikan sebuah pukulan yang keras pada
punggung dan jari-jari saya. (PDTN, hal 26)
4. Gemetar sekujur tubuh saya, dicekam oleh sebuah perasaan yang tak
dapat saya jelaskan, bahwa jemari Paman yang besar dan panjang-
panjang itu bergerak ke arah saya tak lama kemudian, dan secara hati-hati
mengangkat selimut di atas tubuh saya. Kemudian bibirnya menyentuh
muka dan menekan mulut saya, dan jari-jarinya yang gemetar akan
menelusur perlahan-lahan ke atas sepanjang paha saya. (PDTN, hal 31)
5. Pada waktu malam dia akan melingkarkan kaki dan lengannya memeluk
tubuh saya, dan lengannya yang berkenyal-kenyal dan sudah tua itu
menggerayangi seluruh tubuh saya, seperti kuku-kuku seorang lelaki yang
hampir mati kelaparan karena tidak memperoleh makanan selama
bertahun-tahun dan menghabiskan semangkuk makanan, tanpa
meninggalkan sebutir pun sisa makanan. (PDTN, hal 61)
6. Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya.
Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. (PDTN, hal 63)
7. Dia melompat kearah saya bagaikan seekor anjing gila. Lubang pada
bisulnya sedang mengeluarkan tetesan nanah yang baunya bukan
kepalang. Saya tidak memalingkan muka atau hidung saya kali ini. Saya
menyerahkan muka saya ke mukanya dan tubuh saya kepada tubuhnya,
pasif tanpa perlawanan, tanpa suatu gerakan, seperti telah tidak bernyawa,
seperti batang kayu mati atau seperti meubel tua yang sudah tidak
dihiraukan, tertinggal di tempatnya berdiri, atau seperti sepasang sepatu
yang terlupakan di bawah sebuah kursi. (PDTN, hal 64)
8. Suatu hari dia memukul saya dengan tongkatnya yang berat sampai darah
keluar dari hidung dan telinga saya. (PDTN, hal 64)
9. Tangannya besar dan kuat, dan itu adalah tamparan yang paling keras
yang pernah saya terima di muka saya. (PDTN, hal 71)
10. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya,
menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya
dengan seluruh berat badannya. (PDTN, hal 72)
11. Dia menggigit daging bahu saya dan menggigit buah dada saya beberapa
kali, kemudian perut saya. Sambil mengigit berulang-ulang. (PDTN, hal
72)
12. Pelacur, perempuan jalang. Kemudian dia menghina ibu saya dengan
kata-kata yang tak sanggup saya ikuti. (PDTN, hal 72)
13. Ibu suatu ketika, telah memukul saya karena menghilangkan satu piaster
di pasar, dan kembali ke rumah tanpa membawanya. (PDTN, hal 96)
No. Beban Kerja Dalam Novel Perempuan di Titik Nol

1. Di atas kepala, saya menjunjung sebuah kendi tembikar yang berat penuh
berisi air. Karena beratnya, kadang-kadang leher saya tersentak ke
belakang, ke kiri atau ke kanan. Saya harus mengerahkan tenaga saya
untuk tetap menjaga keseimbangan di tas kepala saya, dan menjaga agar
jangan jatuh. (PDTN, hal 18)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu
ditangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan
air. Sekarang saya telah menggantikan Ibu dan melakukan pekerjaan
yang biasa dilakukannya. (PDTN, hal 25)
3. Begitu kembali pulang, saya akan menyapu bersih rumah, mencuci
pakaian saya, membereskan tempat tidur dan menyusun buku-buku
Paman. Ia membelikkan seterikaan yang berat yang dapat saya panasi di
atas tungku minyak tanah, dan menyeterika baju kaftan serta sorbannya.
(PDTN, hal 29)
4. Saya berangkat sekolah setiap hari. Begitu kembali ke rumah, saya
menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian. Isteri paman
hanya memasak, dan meninggalkan periuk panci untuk saya cuci dan
bersihkan. (PDTN, hal 34)
5. Saatnya pun tiba ketika saya berangkat meninggalkan rumah Paman dan
hidup bersama Syekh Mhmoud. Sekrang saya tidur di atas tempat tidur
yang leih menyenangkan daripada dipan kayu. Tetapi belum lama saya
membaringkan tubuh di atasnya untuk istirahat karena lelah sesudah
memasak, mencuci serta membersihkan rumah yang besar itu dengan
ruangan-ruangan yang penuh meubel, maka Syekh Mahmoud akan
muncul di samping saya.

Lampiran 4
4.1 Citra Perempuan dalam Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan
Karya Nawal El Saadawi
No. Citra Perempuan dalam Aspek Fisis

1. Rambut saudara lelakiku dipotong pendek, lepas begitu saja dan


seringkali tak disisir pula, sementara rambutku dibiarkan tumbuh semakin
panjang dan ibuku suka menyisirku dua kali sehari, menjalinnya menjadi
kepang yang pada ujungnya diikat dengan tali karet serta pita. (MSDP, hal
1-2)
2. Aku sungguh tak dapat memahami ini semua. Kusangka aku telah
dihinggapi oleh suatu penyakit yang mengerikan. Dengan
diliputi rasa takut yang amat sangat sambil gemetaran, kutemui ibuku
untuk bertanya. Pada saat itulah tiba-tiba wajah ibuku berseri-seri penuh
kebahagiaan. Betapa heran aku bahwa ibu menanggapi keadaan yang
mengerikan ini dengan senyuman lebar! Lalu, melihat kekagetan dan
kebingunganku, ibu memegang tanganku dan dibimbingnya aku ke
kamarku. Di sinilah ia menceritakan tentang kondisi pendarahan bulanan
bagi kaum wanita. (MSDP, hal 4)
3. Aku bangun dari tempat tidur, memaksa diriku berdiri di depan kaca dan
memandangi dua bukit kecil yang tumbuh di dadaku. (MSDP, hal 5)
4. Aku sungguh sedih dengan tubuhku yang semakin tinggi dan langsing,
karena itu aku suka bersedekap, menentangkan lengan di atas dadaku, dan
dengan hati pilu kupandangi saudara lelakiku beserta teman-temannya
apabila mereka bermain-main. (MSDP, hal 5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Kedua gundukan daging di dadaku tumbuh makin besar saja. Payudaraku
ini bergoyang perlahan-lahan jika aku bergerak dan berjalan. (MSDP, hal
5)
6. Rambutku yang tebal dan panjang di kepalaku, setiap pagi merupakan
hambatan bagiku, sangat mengganggu bila aku mandi, dan di musim
panas selalu membuat leherku sebelah belakang terasa panas. (MSDP, hal
10)
7. Untuk pertama kali dalam hidupku, suatu ketika kutinggalkan flat tanpa
minta izin pada ibuku. (MSDP, hal 11)
8. Suatu perasaan rindu yang amat dahsyat menguasai diriku, jiwa maupun
ragaku. Kerinduan suatu jiwa haus akan yang baru saja dibebaskan dari
pertimbangan akal sehat, dan kegairahan tubuh yang masih perawan yang
baru saja dilepaskan dari balik terali besi. Aku ingin tahu, bagaimana
kiranya, jika seorang lelaki dan perempuan bertemu dalam cinta. (MSDP,
hal 49)

No. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

1. Dialah yang terpandai dalam angkatannya di sekolah dasar tahun ini,


“demikian ayahku menerangkan. (MSDP, hal 8)
2. Di akhir tahun pelajaran di sekolah menengah atas, aku tenyata berhasil
meraih predikat terbaik dari kelompokku. (MSDP, hal 17)
3. Hampir saja aku membalikkan tubuh dan lari meninggalkan tempat itu,
tetapi tidak, tak akan kulakukan itu! (MSDP, hal 21)
4. Ah. Aku akan mati! Aku meloncat ketakutan..Tidak! Aku tak akan mati!
Aku tak mau ikut terbujur seperti jenazah-jenazah yang bergeletakan di
meja-meja di depanku ini! (MSDP, hal 25)
5. Aku tenang kembali. Kehidupan berjalan terus dan aku pun masih hidup!
Mulutku kubuka lebar-lebar, kuhirup udara untuk mengisi penuh paru-
paru dan mengambil napas dalam-dalam. Kugerakkan lengan dan kakiku,
aku berjalan di tengah-tengah kesibukan manusia. Ah, betapa sederhana
kehidupan itu bila kita dapat menerimanya seperti apa adanya. (MSDP,
hal 25)
6. Duniaku sendiri, kamar tidurku, tak lagi milikku seorang, yang
sebelumnya tak pernah kubagi dengan orang lain, menjadi tempat
tidurnya juga. Setiap kali aku bergerak atau membalikkan tubuh,
tanganku menyentuh kepalanya dengan rambutnya yang kusut, atau
terkna lengan atau kakinya, yang lembab karena keringat. (MSDP, hal 64)
7. Ibuku telah merusak masa kanak-kanakku, belajar keras telah menghapus
masa remajaku dan masa dewasa awalku, dan sisa-sisa masa mudaku
hanya tinggal sebentar, dapat dihitung dengan jari pada satu tangan saja.
(MSDP, hal 70)
8. Aku duduk agak jauh dari dia, berusaha menyembunyikan perasaan aneh
yang berkecamuk dalam diriku, mencoba menekan rasa girang di hati
yang tak biasa kukenal, juga berusaha mengabaikan gemetarnya jiwaku
dengan begitu hebat. (MSDP, hal 99)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


No. Citra Perempuan dalam Aspek Sosial

1. Aku telah terbiasa menemui sebagian besar tamu ayahku, menghidangkan


kopi kepada mereka. (MSDP, hal 9)
2. Kusuntik dia, matanya memudar di balik tirai oleh bius sambil berkata,
“Aku tidak tahu. Kita belum tahu apakah anakmu nanti laki-laki ataukah
perempuan.” (MSDP, hal 36)
3. Pesawat telepon di sebelah tempat tidurku bordering keras dan dengan
mata setengah terbuka aku melihat jam. Ternyata jam dua pagi. Dengan
lamban kuangkat gagang telepon, dan segera kudengar suara bernada
mendesak, “Dokter! Ibuku sakit keras! Tolonglah datang kemari,
selamatkan dia!” (MSDP, hal 51)
4. Suamiku! Kata-kata ini tak pernah kuucapkan sebelumnya. Apakah
artinya ini untukku? Sesosok tubuh kokoh dan kekar, yang menempati
lebih separuh tempat tidurku. (MSDP, hal 68)
5. Aku tidak berusaha memakai berbagai cara dengan bercumbu rayu atau
mencoba mengelak-ngelak seperti yang dilakukan perempuan. Aku juga
tak berpura-pura bahwa aku menelepon dia sekedar untuk menanyakan
sesuatu. Aku tidak berbuat seakan-akan menutup muka dan member
isyarat dari balik pintu, atau berbuat polos ataupun bodoh. Dengan jujur
aku berkata, “aku ingin bertemu denganmu.” (MSDP, hal 98)
6. Kubenamkan wajahku di dadanya, mencari perlindungannya, berpegang
erat kepadanya. Aku merasa sepertinya kehidupanku yang lalu terlepas
dari diriku, sehingga aku kembali menjadi anak kecil yang baru belajar
jalan. Aku mulai memerlukan uluran tangan yang dapat membantuku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, urasakan bahwa aku butuh kehadiran
orang lain, sesuatu yang belum pernah kurasakan, terhadap ibuku sendiri
sekalipun! (MSDP, hal 108)
No. Citra Perempuan Dalam Aspek Budaya

1. Saudara lelakiku boleh saja keluar ke jalan untuk bermain-main tanpa


harus meminta izin terlebih dulu kepada orangtuaku, lalu boleh pulang
kapan saja ia mau, sementara aku hanya boleh bepergian jika diizinkan
orangtuaku. (MSDP, hal 2)
2. Demikianlah, saudara lelakiku boleh mengambil potongan daging lebih
besar daripada aku lalu menyantapnya dengan sangat lahap, ia menelan
supnya keras-keras dan ibu pun tak berkata apa-apa. (MSDP, hal 2)
3. Saudara lelakiku bebas bermain, berlompat-lompatan, jungkir balik
sekehendaknya, sementara aku hanya boleh duduk dan tetap waspada
jangan sampai gaunku tersingkap barang satu sentimeter pun ke atas paha.
(MSDP, hal 2)
4. Mengapa sebenarnya, ibuku selalu mengadakan pembedaan-pembedaan
tajam antara kakak lelakiku dan aku, menggambarkan seorang laki-laki
seperti seorang dewa, yang harus kulayani di dapur selama hidupku?
(MSDP, hal 22)
5. “Berapa banyak Bapak ingin bayar di muka dan berapakah kira-kira saldo
pembayarannya?”
Apa arti istilah-istilah menyedihkan yang keluar dari bibir kering seperti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini? Pembayaran di muka? Saldo? Apakah lelaki yang tak punya apa-apa
ini membayarkan sesuatu agar ia dapat kawin denganku? Tetapi lelaki
bertutup kepala turban ini tentu tak mungkin mengetahui, siapa di antara
kami yang memiliki sesuatu untuk membayar. Yang dilihat olehnya
hanyalah seorang lelaki dan perempuan, dan sejauh apa yang ia ketahui,
tentu si lelakilah yang memiliki harta.
Maka kupandangi si ulama ini dengan ekspresi yang angkuh sambil
berkata, “tulis saja, tak sepeser pun!”
Ia balik memandangku dengan sikap tak setuju, berani amat seorang
perempuan bicara di depan lelaki!
“kalau gitu kontrak ini tidak sah!” katanya dengan nada resmi.
“kenapa?”
“demikianlah ketentuan hukumnya.”
“kalau begitu Anda tak tahu hukum.” (MSDP, hal 61)
6. Namaku, kata pertama yang kukenal dan di dalam atupun di luar bawah
sadarku yang dikaitkan dengan keberadaanku dan kepribadianku, menjadi
hilang dan tak berlaku lagi. Lelaki itu melengketkan namanya pada diriku
secara lahiriah. (MSDP, hal 63)
7. “Aku tak mau kamu pergi keluar setiap hari,” katanya lagi.

“Aku pergi toh bukan untuk bersenang-senang. Aku kerja.”

“Aku tak mau kamu memeriksa tubuh-tubuh lelaki dan melepaskan


bajunya.” (MSDP, hal 65)
8. Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya? Mengapa tak
terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan
keadilan? (MSDP, hal 83)
9. Keluarga dan para relasiku sendiri pun menyerang diriku. Bahkan kawan-
kawan terdekatku berlomba satu sama lain untuk membuang diriku jauh-
jauh. (MSDP, hal 83)
10. Sesungguhnya, sejak kecil aku telah terlibat dalam serangkaian
pertempuran tanpa akhir, dan disinilah kini aku menghadapi suatu
pertempuran baru melawan masyarakat seluruhnya; berjuta-juta manusia
dengan berjuta orang di depan dan di belakangku. Mengapa kehidupan
tak berjalan sebagaimana mestinya? Mengapa tak terdapat pemahaman
yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan? Mengapa para ibu tak
mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak lelaki, atau
mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang sederajat dan
sebagai mitra? mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang
perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan baik otak maupun
tubuhnya? (MSDP, hal 83)
11. Apa yang harus kulakukan sekarang? menerima akibat dari kesalahanku
ini sepanjang hidupku dan terus hidup bersamanya? Tetapi bagaimana aku
harus hidup bersamanya, bicara dengannya, memandang matanya,
menyerahkan bibirku dan merendahkan derajat jiwa dan ragaku
untuknya? Tidak, tidak! Kesalahan yang telah kulakukan tak mungkin
harus kubayar dengan menjalani hukuman seberat itu. Tidak demikian!!

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(MSDP, hal 69)

4.2 Citra Perempuan dalam Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El
Saadawi
No. Citra Perempuan dalam Aspek Fisis

1. Saya menemukan bahwa saya memiliki mata yang hitam, dengan


kerlingan yang menarik mata lainnya seperti besi berani, dan bahwa
hidung saya bukan besar, bukan pula bulat, tetapi penuh dan halus dengan
kepadatan perasaan yang dapat berubah menjadi nafsu. Tubuh saya
langsing, paha saya tegang, hidup dengan otot, siap untuk setiap saat
menjadi lebih tegang lagi. (PDTN, hal 78)
2. Kau cantik dan terpelajar.
”Terpelajar?” kata saya. ”Apa yang saya miliki hanyalah sebuah ijazah
sekolah menengah.”
”Kau meremehkan dirimu sendiri, Firdaus. Saya tidak lebih hanya
mendapatkan ijazah sekolah dasar.”
‟Dan anda mempunyai harga?‟ tanya saya hati-hati.
”Tentu saja. Tak seorang pun dapat menyentuh saya tanpa membayar
harga yang sangat tinggi. Kau lebih muda dari saya dan lebih terpelajar,
dan tak seorang pun mampu mendekatimu tanpa membayar dua kali lebih
banyak daripada yang dibayarkan kepada saya,” (PDTN, hal 79)
3. Salah seorang lelaki suatu ketika pernah berkata bahwa ia belum pernah
melihat jari-jari macam milik saya. Dia berkata jari-jari itu kuat dan
cerdas. (PDTN, hal 88)
4. Saya memandang matanya terus. Saya ulurkan tangan saya dan
memegang tangannya. Perasaan tangan-tangan kami yang bersentuhan
adalah aneh, mendadak. (PDTN, hal 114)
5. Saya berjalan-jalan keliling di jalanan. Mata saya tak dapat melihat
apapun juga, karena air mata terus mengalir, berhenti dan kering sebentar,
untuk mulai mengalir kembali. (PDTN, hal 122)
6. Saya belum pernah mengalami penderitaan seperti ini, belum pernah
merasa sakit yang lebih perih. Ketika saya menjual tubuh saya kepada
laki-laki sakitnya jauh lebih ringan. (PDTN, hal 124)
No. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

1. Saya mulai mencintai buku, karena setiap buku memberikan pelajaran


baru bagi saya. (PDTN, hal 38)
2. Ketika hasil ujian diumumkan, kepada saya diberitahukan, bahwa saya
berhasil memperoleh peringkat nomor dua di sekolah dan nomor tujuh di
seluruh negeri. (PDTN, hal 45)
3. Dia mengambil surat tanda tamat belajar, kemudian mencantumkan tanda
tangannya untuk menyatakan, bahwa dia pun telah menyerahkan kepada
saya surat keterangan prestasi luar biasa. (PDTN, hal 48)
4. Pada malam itu juga, ketika lonceng berbunyi sebagai tanda lampu harus
dipadamkan, saya tak dapat tidur dan pergi ke bawah menuju halaman
dan duduk sendirian di kegelapan. (PDTN, hal 48)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Saya mampu menggerakkan tubuh saya beberapa langkah menghindari
dari kedua mata itu, tetapi saya merasakannya pada punggung saya,
menembus tubuh saya dari belakang. (PDTN, hal 60)
No. Citra Perempuan dalam Aspek Sosial

1. Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di


tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan
air. (PDTN, hal 25)
2. Kali ini dia berkata, “kau minta satu piester, pagi hari ini? Pergilah dan
bersihkan dahulu kotoran ternak itu dan bebanilah keledai itu dan bawa
dia ke lading. Pada petang hari Ayah akan memberimu satu piaster.”
(PDTN, hal 92)
3. Saatnya pun tiba ketika saya berangkat meninggalkan rumah Paman dan
hidup bersama Syekh Mahmoud. (PDTN, hal 61)
4. Lalu saya pergi, tetapi kali ini tidak pergi ke rumah Paman. Saya berjalan-
jalan di jalan raya dengan mata yang bengkak, muka memar, tetapi tak
seorang pun yang memperhatikan saya. (PDTN, hal 64)
5. Saya tak pernah meninggalkan rumah itu. Sebenarnya, saya pun tak
pernah meninggalkan ruangan tidur. Siang dan malam saya terbaring di
tempat tidur, tersalib, dan setiap jam seorang lelaki akan memasukinya.
Begitu banyaknya mereka itu. Saya tidak mengerti dari mana saja mereka
itu datangnya. Karena mereka semua sudah kawin, semuanya
berpendidikan, semuanya membawa tas yang membengkak, dan dompet
kulit yang tebal di dalam kantung bagian dalam baju mereka. (PDTN, hal
82)
6. Dan akhirnya, berkat daya upaya itu, saya memperoleh suatu pekerjaan
pada salah satu perusahaan industry besar. (PDTN, hal 105)
7. Para karyawan menandatangani daftar itu bila mereka tiba di pagi hari
atau meninggalkan kantor di akhir hari kerja. Biasanya saya harus
membaca daftar yang panjang itu untuk menemukan nama saya dan
menulis tanda tangan saya di sebelahnya. (PDTN, hal 107)
8. Saya telah menjadi seorang pelacur yang sukses. Saya menerima bayaran
yang paling mahal, dan malahan orang-orang yang penting pun bersaing
untuk disenangi oleh saya. (PDTN, hal 130)
No. Citra Perempuan Dalam Aspek Budaya

1. Saya tahu perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya
merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya juga anak-anak lain
di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki.
(PDTN, hal 36)
2. Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua
perempuan adalah pelacur. Pekawinan adalah lembaga yang dibangun
atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita. (PDTN, hal 126)
3. Pada kesempatan yang ketiga kalinya, ia menjelaskan kepada saya bahwa
menolak seorang Kepala Negara dapat dipandang sebagai suatu
penghinaan pada tokoh yang penting dan dapat menjurus pada ketegangan
hubungan antara dua negara. Ditambahkannya, bahwa jika saya benar-
benar mencintai negara saya, jika saya seorang patriot, saya akan pergi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kepadanya. Lalu saya katakan kepada orang dari kepolisian itu bahwa saya
tak tahu apa-apa mengenai patriotisme, bahwa negeri saya bukan saja
tidak memberi apa-apa, tetapi juga telah mengambil segalanya yang
soyagyanya saya miliki, termasuk kehormatan dan martabat saya. Saya
heran ketika melihat bahwa orang dari kepolisian itu seakan-akan
kebanggan moralnya telah amat tersinggung oleh apa yang saya katakana
itu. Bagaimana mungkin seseorang sama sekali tidak ada perasaan
patriotik. (PDTN, hal 131-132)
4. Tidak sesaatpun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri
sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan
oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini
dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh
mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah
dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam
satu atau lain bentuk. Karena saya orang yang cerdas, saya lebih
menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang
isteri yang diperbudak. (PDTN, hal 133)
5. Saya pergi ke polisi, di sana saya hanya menemukan bahwa ia memiliki
hubungan lebih baik daripada saya sendiri. Kemudian saya mencari
pertolongan lewat prosedur hukum. Saya dapati bahwa undang-undang
menghukum perempuan macam saya, tetapi sebaliknya undang-undang
tidak menghukum apa yang dikerjakan lelaki. (PDTN, hal 135)
6. Mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan
membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke
dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya tahu
apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah satu-
satunya perempuan yang membuka kedok mereka dan memperlihatkan
muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati
bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki. Beribu-ribu orang
yang dibunuh tiap hari, tetapi karena mereka takut untuk membiarkan
saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup mereka tidak
akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti
kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin
hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan,
semakin banyak perampokan, perampasan yang tak terbatas. Saya telah
menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tidak
lagi mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi merasa takut mati.
Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya tak takut apa-apa. Karena
selama hidup itu adalah keinginan, harapan, ketakutan kita yang
memperbudak kita. Kebebasan yang saya nikmat membuat mereka
marah. Mereka ingin mengetahui, bahwa bagaimanapun juga ada sesuatu
yang saya inginkan, takutkan atau harapkan. Kemudian mereka akan tahu
bahwa mereka akan memperbudak saya lagi. (PDTN, hal 147)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai