Tanah Batak pada tahun 1861 sangat berbeda dengan keadaan saat ini. Yang dimaksud
dengan “tanah Batak”, yaitu tanah tradisional yang dihuni orang Batak di Sumatera
Utara yang sekarang. Sebelum tahun 1861 keadaan alam tidak memungkinkan adanya
komunikasi yang lancar antara orang Batak yang di perantauan. Pada tahun 1861 satu
gejala baru telah nampak dalam sejarah orang Batak, yaitu semakin besarnya jurang
pemisah antara tanah Batak pedalaman dan tanah Batak yang berbatasan dengan
pesisir. Daerah pesisir sudah menjadi daerah para sultan yang mempunyai daya
ekonomi dan tata pemerintahan yang lebih maju. Terlebih lagi setelah ekspedisi
seorang ahli pertanian Belanda di tanah Deli, yang waktu singkat telah merobah hutan-
hutan di Sumatera Utara menjadi daerah perkebunan ( Karet, Teh, Tebu dan
Tembakau)
dalam situasi yang demikian agama Kristen mulai diperkenalkan di tanah Batak yang
belum dikuasai Belanda dan belum berada dalam pengaruh agama Islam. Memang,
sebelum tahun 1861 sudah adausaha beberapa orang Barat memasuki Tanah Batak
melalui pintua masuk dari pelabuhan Padang dan Sibolga yaitu sejak tahun 1824 –
1834. Dua orang Missionaris Inggeris sempat sampai di Tanah Batak, yakni di Silindung.
Naum kedua missionar tersebut tidak didukung oleh sarana dan pendukung yang
memadai, sehingga usaha yang mereka rintis tidak berkelanjutan. Pada tahun 1834,
dua orang missionar dari Amerika, pada waktu itu Belanda sudah mulai memasuki
tanah Batak, namun usaha mereka juga tidak membuahkan hasil.
Agama Kristen dan gereja yang tumbuh di Tanah Batak berasal dari karya pewartaan
Injil oleh para missionaris jerman sejak tahun 1861. Dengan melihat cara kedatangan
mereka yang tidak ingin mendirikan suatu perusahaan dagang atau niat untuk
menjajah, maka para para pengetua desa dan raja mengijinkan mereka tinggal di
tengah-tengah mereka, memberikan pertapakan tempat membangun rumah
peribadatan yang baru. Rumah ibadat pada mulanya dipakai sekaligus menjadi
ruangan belajar membaca dan berhitung. Mereka yang sakit diberikan pengobatan
sekaligus penyuluhan bagaimana mencegah penyakit seperti kolrea dan disentri yang
mewabah pada saat itu. Gerakan ini mulai nampak berhasil seperti di daerah Silindung.
Raja Pontas Lumbantobing melihat kesempatan ini untuk mengeluarkan bangsa Batak
dari kegelapan dan ketertinggalan. Dalam tempo 20 tahun, daerah Silindung sudah
menjadi daerah Kristen
Agama Kristen yang sedang bertumbuh itu, tidak pernah dianggap sebagai “Agama
Belanda” atau agama bangsa Penjajah sebagaimana terjadi di daerah-daerah lainnya.
Malahan. para missionaris Jerman dianggap harus tunduk di bawah peraturan dan adat
Batak. Tanah Batak yang masih bebas dari tata pemerintahan Belanda telah menjadi
tanah yang subur bagi gereja tanpa ada bantuan politis dari pemerintah Belanda.
Apabila di daerah yang dikuasai Belanda sesudah tahun 1878 – 1908 terjadi kekerasan
dari pihak Belanda seperti terbunuhnya Raja Sisingamangaraja XII pada tahun 1907,
tindakan itu dianggap oleh penduduk setempat sebagai tindakan yang berada di luar
usaha pewartaan Injil.
Desa Batak pada waktu itu identik dengan desa satu marga tertentu, sehingga jalur
desa atau marga menjadi jalur yang efektip untuk penyampaian Injil.
Perkembangannya sangat pesat, sehingga masing-masing desa ingin menjadi tempat
berdirinya jemaat Kristen. Panggilan Kristen sudah menemukan jalannya di tanah
Batak, sebab dikalangan orang Batak timbul suatu pemahaman bahkan keyakinan,
bahwa dengan berdirinya jemaat Kristen pasti akan tercipta pembangunan desa
melalui pendirian gedung-gedung sekolah dan pusat-pusat kesehatan. Dengan
demikian, desa atau marga mereka terangkat oleh jemaat Kristen ke tingkat yang lebih
tinggi dan terhormat.
Pada pihak lain, gereja yang tumbuh dengan menyerap ke dalam bentuk masyarakat
Batak tradisional dihadapkan kepada dilemma, bahwa gereja itu seolah-olah milik satu
marga atau desa. Bahasa Batak misalnya harus dipakai sebagai satu-satunya bahasa
dalam kebaktian gereja. Namun kebanggan marga yang memotivasi setiap pribadi
Batak dulu telah disentuh oleh kata-kata dan perbuatan para missionaris Jerman
sehingga perluasan kekristenan semakin melebar dari Silindung, Humbang ( 1878) ke
Toba (1881), Samosir ( 1893), Simalungun ( 1903), Pakpak Dairi ( 1908) dan daerah-
daerah lainnya. Dimana kebanggan marga itu paling tebal, disitu jemaat Kristen berdiri
dengan kuatnya. Menjadi Kristen, berarti menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh
ingin meningkatkan taraf hidup melalui pendidikan . Mereka ingin bebas dari kuasa
kebodohan dan kemiskinan melalui kehadiran gereja di tengah-tengah mereka.
Pada kurun waktu 50 tahun usia HKBP, telah berlangsung kegiatan-kegiatan pelayanan
di bidang sosial yaitu menolong orang-orang yang berpenyakit kusta, buta, lumpuh dan
pengobatan bagi umum. Kegiatan itu telah melembaga tahun 1900 yaitu dengan
berdirinya Rumah Sakit pertama di Tarutung dan Wisma Hutasalem di dekat Laguboti.
Pendidikan kebidanan telah dibuka tahun 1905. Pendidikan umum melalui sekolah-
sekolah dasar telah mencapai bentuknya setingkat dengan sekolah-sekolah dasar yang
berdiri di Pulau Jawa dan maluku. Pada tahun 1911 berdiri pertama sekali tingkat yang
lebih tinggi dari pendidikan umum yakni :”Hollands – Indlands – Schoiol” (HIS) di
Tarutung. HIS ini didirikan oleh gereja, bukan oleh pemerintah Belanda. Secara Historis
dapat dikatakan bahwa sesudah 50 tahun pewartaan Injil di tanah Batak, maka orang
Batak yang sebelumnya penganut agama pelbegu ( kafir) sudah banyak menjadi
penganut Kristen.
Konprensi para Pekabar Injil yang pertama dilaksanakan di Sipirok telah memberikan
bentuk kepemimpinan yang utuh bagi jemaat-jemaat. Dalam rapat konprensi tahunan,
mereka selalu melaporkan perkembangan pelayanan daerah masing-masing. Hingga
pada tahun 1911, jemaat-jemaat telah telah dibagi atas 5 distrik :
1. Distrik Angkola ( sekarang disebut Tapanuli Selatan )
2. Distrik Silindung
3. Distrik Humbang
5. Distrik Simalungun.
Setiap Distrik dipimpin oleh seorang Praeses yang dipilih pada rapat konprensi tahunan.
Pada tanggal 7 Oktober 1911 seluruh umat Kristen Batak merayakan hari jadi ke
kristenan pada tiap-tiap jemaat yang sudah berdiri pada waktu itu. Kesadaran untuk
mengenal hari jadi ke kristenan di tanah Batak telah dicanangkan beberapa tahun
sebelumnya, tepatnya pada tahun 1905 pada Rapat Konprensi para Pekabar Injil RMG
yang telah menentukan secara resmi hari jadi ke kristenan di tanah Batak yakni tanggal
7 Oktober 1861. Pada waktu itu, jumlah umat Kristen Batak sebanyak 103. 528 jiwa.
Dari satu dapat kita lihat betapa pesatnya perluasan dari gereja Batak.
Sehubungan dengan pengaruh gerakan nasionalisme Indonesia yang telah lahir di pulau
Jawa dengan berdirinya Budi Utomo ( 1908 ), maka pada tahun 1917 berdirilah satu
organisasi masyarakat Kristen yang pertama sekali yaitu : “Hatopan Kristen Batak”
atas prakarsa M.H. Manullang. Organisasi ini menjadi pendukung utama penduduk
desa yang ingin mempertahankan tanah tradisionil mereka dari usaha konsessi
pemerintah dengan pengusaha asing yang hendak membuka perkebunan di Tapanuli,
namun mereka tidak melibatkan jemaat atau Gereja sekalipun mereka adalah warga
gereja. Hal ini untuk menghindarkan gereja dari aksi-aksi sosial-politik yang mungkin
mempunyai aliran politik yang berbeda-beda ( bd. mengapa sekarang ini gereja tidak
mau melibatkan diri dengan politik praktis).
Pergi ke gereja setiap hari minggu dan perayaan gereja lainnya, ternyata sudah
mendarah daging bagi setiap umat Kristen Batak. Kebiasaan ini tidak dapat dilupakan
oleh anggota jemaat yang pindah dari daerah tradisionil mereka. Dimana ada dua- tiga
orang anggota jemaat yang bertemu di tempat pemukiman baru, disana mereka
berusaha untuk berkumpul pada hari Minggu untuk membaca Alkitab, bernyanyi dan
berdoa. Di dorong oleh rasa butuh untuk berkumpul pada hari Minggu, maka sejak
tahun 1912 berdirilah jemaat-jemaat di pemukiman-pemukiman baru seperti : Medan (
1912), Pangkalan Berandan ( 1918), Batavia ( 1919), Padang ( 1922). Namun, pola pikir
desa, atau marga sentris menjadi benturan dan rawan perpecahan terlebih dalam
menentukan kepengurusan dalam jemaat. Dan itu terjadi, sehingga pada tahun 1927
perpecahan itu terjadi di Medan, Pematang Siantar dan Jakarta dan merembes ke
Tapanuli. Akibatnya berdirilah “Huria Christen Batak” ( HChB) yang kemudian menjadi
“Huria Kristen Indonesia” (HKI), berdiri juga “Punguan Kristen Batak” (PKB) dan
“Mission Batak”.
1920 : Majelis jemaat di bentuk di tiap-tiap jemaat yang anggotanya terdiri dari 3
golongan : a. Pendeta, Guru dan Evanglis b. para Penatua ( Sintua), c.
Kasbestur, yaitu beberapa anggota jemaat yang khusus bertugas mengelola
keuangan jemaat.
1922 : Sinode pertama diadakan buat seluruh jemaat yang terhimpun dalam gereja
Batak ( sebelumnya hanya berbentuk musyawarah selesai konpresni tahunan
para missionaris RMG)
1925 : Nama Gereja Batak dalam Sinode Agung 1925 diresmikan menjadi :”Huria
Kristen Batak”.
2. Tata Gereja baru disahkan, yakni : Ephorus adalah pimpinan tertinggi di HKBP
dengan struktur organisasi : Pusat – Distrik – Ressort – Jemaat. Tata gereja itu
berlaku mulai tahun 1930 dan akan diperbaharui setiap 10 tahun.
3. Majelis pusat yang pertama dipilih dalam masa pelayanan 4 tahun. Ini
kemudian diperpanjang menjadi 6 tahun.
HKBP menyatakan hari lahirnya pada tanggal 7 Oktober 1961, maka pada tahun 1936
HKBP telah berusia 75 tahun. Maka diadakanlah Pesta Jubileum 75 tahun HKBP yang
dipusatkan di jemaat yang tertua, yakni di Sipirok, dimana para missionaris Jerman dan
Belanda sepakat memulai pewartaan Injil di tengah-tengah orang Batak. Dalam
Perayaan Jubileum ini dinaikkan ucapan syukur kepada Allah yang memberikan
anugerahNya yang berlimpah-limpah kepada umat Kristen Batak, yang telah terhimpun
dalam gereja HKBP. Sebagai tanda dari dari peringatan ini, didirkan sebuah tuga di
Sipirok yang diterima oleh Kepala Negerinya yang kebetulan beragama Islam.
Pada tahun 1936 Perang Dunia II telah diambang pintu bagi negara-negara di Eropa.
Karena benua Eropa dan Amerika merupakan pusat politik dan ekonomi dunia pada saat
itu, sedangkan benua Afrika, Asia dan Amerika Latin merupakan daerah kekuasaan dari
bangsa-bangsa Barat tersebut. Pecahnya Perang Dunia II sangat terasa di Indonesia
sebagai daerah jajahan bangsa Belanda. Dengan takluknya pasukan Nazi yang dipimpin
oleh Hitler ( Jerman ), maka para missionaris orang Jerman yang ada di Indonesia
ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Anggota jemaat dan para
pendeta Batak tidak mengetahui penangkapan tersebut. Saat itulah gereja HKBP diuji
ketahanannya untuk keluar dari kemelut yang tidak didugaduga sebelumnya. Maka para
Majelis Pusat HKBP dan para pendeta Batak serta beberapa orang pendeta Belanda
mengambil jalan keluar dengan mengadakan Sinode Godang Istimewa pada tanggal 10 –
11 Juli 1940. Pemilihan diadakan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pucuk
pimpinan HKBP, maka terpilihlah seorang Pendeta Batak yaitu Pdt. K. Sirait.
Namun di lain pihak, pemerintah Belanda melalui konsul Zending di Jakarta telah
membentuk suatu organisasi yakni : Batak Nias Zending ( BNZ ) tanpa perundingan
dengan HKBP dan kepada badan inilah diserahkan segala milik dan tuga Lembaga
Pekabaran Injil Jerman RMG ( Reinische Mission Gesellschaft ). Kejadian ini
mengakibatkan kekacauan di HKBP dan sampai berakhirnya pendudukan Belanda di
Indonesia ( tahun 1942 ), kemelut pertikaian di HKBP dengan BNZ belum terselesaikan,
namunpun demikian tidak menimbulkan perpecahan di HKBP.
Pendudukan Jepang di Tapanuli terjadi pada pertengahan tahun 1942. Jepang segera
mengambil alih pemerintahan Belanda di Tapanuli. Orang Belanda termasuk para
pendeta ditangkap, gereja di intimidasi untuk tidak membicarakan politik disaat-saat
berkumpul. Di tengah-tengah ketakutan yang melanda penduduk, HKBP juga terpaksa
menerima tindakan-tindakan Jepang yang sudah berlawanan dengan dasar gereja yakni :
a. Semua sekolah dan Rumah Sakit dikuasai oleh pemerintah militer Jepang
c. Kebaktian gereja pada hari Minggu dipaksa menjadi sarana propaganda mensukseskan
perang Asia Timur Raya.
d. Beberapa pendeta ditangkap dan dipenjarakan karena kotbahnya yang tidak sesuai
dengan keinginan pemerintah Jepang.
e. Ribuan pemuda Kristen Batak dijadikan tentera dan banyak yang tidak diketahui ke
mana rimbanya.
f. Penghasilan rakyat seperti padi dan ternak, dikumpulkan ke gudang tentera Jepang,
sehingga rakyat hanya diperbolehkan memakan ubi kayu.
Dalam pendudukan militer Jepang di di Tapanuli, gereja belajar untuk lebih dekat kepada
Tuhan dan dididik untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri.
Dalam tempo tiga tahun ( 1942-1945) Jepang telah berhasil menanamkan pendidikan ala
Jepang termasuk bahasa Jepang di kalangan anak-anak yang belajar di sekolah.
HKBP sebagai gereja yang memang berdiri sebagai suatu organisasi, tetap dalam
pengamatan pemerintah militer Jepang. Untuk mengurangi kecurigaan mereka, pimpinan
HKBP berusaha secepat mungkin memperkenalkan diri sebagai gereja yang memang
berdiri bukan sebagai organisasi politik, tetapi sebagai lembaga keagamaan. Dari antara
orang Jepang itu ada yang beragama Kristen dan mau beribadah di kebaktian HKBP.
Pada tahun 1942 Pdt. Justin Sihombing, terpilih menjadi Pimpinan HKBP dalam Sinode
Agung yang disebut :”voorzitter” yang kemudian berobah sebutannya
menjadi :”Ephorus”. Pada akhir tahun 1942, jumlah jemaat HKBP diperkirakan 475.000
jiwa dengan gedung gereja tempat ibadah diperkirakan 800 buah.
a. Aliran Pinkster, yaitu aliran yang bertentangan dengan dogma dan ajaran HKBP.
Banyak anggota jemaat HKBP yang beralih memasuki aliran ini.
b. Aliran si Raja Batak, yakni aliran yang menonjolkan kepercayaan nenek moyang orang
Batak, bahkan ada pemimpinnya yang menyebut dirinya “Kristus” yang lahir dari seorang
anak dara.
Untuk menenangkan warga jemaat HKBP untuk tidak terpengaruh oleh goncanga-
goncangan tersebut, Pucuk Pimpinan HKBP melakukan upaya melalui :
a. Mengirimkan surat “Penggembalaan” kepada semua jemaat HKBP untuk menghibur
mereka dan menghimbau untuk tetap bertekun dalam iman; juga agar warga jemaat
menjauhkan segala tindakan yang tidak berperi kemanusiaan.
b. Mengirimkan surat kepada semua pendeta HKBP yang bertujuan untuk menjelaskan
sikap positip dari HKBP terhadap kemerdekaan RI. Selain itu Ephorus HKBP Ds.Dr. Justin
Sihombing mengadakan perkunjungan ke daerah-daerah pada bulan September s/d
Oktober 1949.
Pada tahun 1949 HKBP telah memastikan sikapnya terhadap Lembaga Injil dan gereja-
gereja ataupun dewan gereja dari luar negeri. Pada bulan Agustus 1948, HKBP mendapat
kunjungan dari luar negeri sekaligus untuk mengundang HKBP masuk menjadi anggota
Dewan Gereja-gereja Lutheran se dunia (LWF= Lutheran World Federation). Kemudian
pada tanggal 1 Oktober 1948 HKBP menerima Surat Keputusan dari RMG di Barmen,
Jerman yakni : menyerahkan seluruh harta milik ( tanah dan gedung yang dibangun
dengan biaya RMG) menjadi milik HKBP. HKBP telah menjadi anggota Dewan gereja-
gereja se Dunia pada tahun 1948, saat berdirinya Dewan tersebut.
Penduduk Tapanuli memasuki tahun 1950 dalam keadaan aman. HKBP sebagai bagian
dari masyarakat memperoleh bantuan sebanyak Rp. 20.000,- sebagai pengganti kerugian
yang di derita pada perang-perang gerilia waktu di Tapanuli. Bagi HKBP keterlibatan di di
bidang masyarakat dianggap sesuatu tugas yang baru yang memerlukan dasar pemikiran
teologis dan Alkitabiah. HKBP juga mempelajari Undang-Undang Perkawinan yang
berlaku bagi warga negara Indonesia.
Pada tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum yang pertama di Indonesia ini. Umat Kristen
yang berhak memilih anggota DPR di Sumatera Utara da sekitar 400.000 orang dan dari
antara mereka ada yang memilih Parta Kristen Indonesia ( Parkindo) sebanyak 294.000
orang. Partai Komunis Indonesia (PKI ) oleh kebanyakan warga saat itu belum dapat
melihat bahayanya. Namun HKBP selaku satu gereja yang mendukung azas Ketuhanan
Yang Maha Esa telah memberikan peringatan bagi warganya akan bahaya PKI sebagai
partai yang anti agama. HKBP menyadari keterbatasan kedudukannya sebagai satu
lembaga agama terhadap warga gereja yang bebas memilih partai-partai yang waktu itu
legal berdiri. Tetapi dari sudut iman Kristen HKBP merasa bertanggung jawab atas
kekeliruan ideologi kumunis, sehingga HKBP harus menunjukkan sikap tegas terhadap
idiologi tersebut. Maka dalam pesan khusus dari SG HKBP 1956, HKBP menghimbau agar
seluruh warga jemaatnya terutama para pelayan untuk menjauhkan diri dari ajaran
komunisme.
22. HKBP di dalam masyarakat dan bangsa yang mengisi kemerdekaan :Jawaban terhadap
tantangan berbagai aliran rohani dan idiologi:
Pada tahun 1950 an, berbagai aliran kerohanian dan idiologi telah melanda kehidupan
umat Kristen Batak. HKBP Berusaha agar anggotanya jangan sampai terpengaruh
olehnya. Usaha itu tidak selalu berhasil sempurna, sebab ternyata beberapa anggota
jemaat HKBP telah memasuki aliran-aliran dan gereja seperti : Pentakosta, Adven,
Parsubang mudar ( golongan yang pantang makan darah ) dan Gereja Roma Katolik. Dari
antara aliran gereja yang paling membahayakan iman anggota jemaat HKBP adalah
b. Aliran kerohanian dari pihak golongan berlatar belakang agama kafir Batak banyak juga
mengganggu kerohanian anggota jemaat pada tahun 1950 an. Golongan ini menonjolkan
keahlian mereka di bidang penyembuhan penyakit.
c. Golongan agama Malim dan Siraja Batak berusaha memburukkan nama HKBP dengan
cara penafsiran yang salah tentang sumbangan bulanan ( iuran bulanan) anggota jemaat
HKBP yang ditafsirkan sebagai pajak ( upeti).
Tahun 1950 an bagi HKBP disebut sebagai tahun-tahun penjajakan menjalin hubungan
baik dengan gereja-gereja tetangga seperti : Huria Kristen Indonesia (HKI ), Punguan
Kristen Batak (PKB) dan Mission Batak. Gereja-gereja itu dulunya muncul akibat
perpecahan dalam tubuh Geeja Batak (HKBP ). Pada umumnya perpecahan itu
dimengerti pada waktu itu sebagai reaksi terhadap kepemimpinan RMG yang terlalu
menumpuk kekuasaan pada Pekabar Injil yang berasal dari Eropa, seperti jabatan
Ephorus, Praeses, Pendeta Ressort. Pendeta pribumi hanya berfungsi sebagai pendeta
pembantu.
b. Sesudah Indonesia merdeka tahun 1945 telah muncul hasrat dari umat Kristen Batak
untuk saling mendekati bahkan untuk bersatu kembali. Namun setelah dimulai
menjejakinya, ternyata dalam proses perkembangan gereja-gereja itu telah terjadi
praktek-praktek kegerejaan yang berbeda-beda, terutama dalam peneguhan
perkawinan, sidi dan babtisan. Kemudian gereja-gereja itu sudah mengembangkan ajaran
gereja yang tidak sepaham dengan HKBP.
c. HKBP sejak tahun 1951 telah terikat dengan Konfessinya dan kesatuan dengan gereja-
gereja Batak lainnya sebaiknya berdasarkan pada Konfessi tersebut. Hasil penjajakan
selama enam tahun ( 1950-1956) nampaknya mengarah pada tujuan yang jelas, yaitu
saling mengenal di bidang ajaran, siasat gereja dan Tata Gereja.
d. Sebelum mandiri tahun 1940, HKBP telah mengalami hidup bertetangga dengan gereja-
gereja yang bertumbuh di Sumatera Utara seperti : Gereja Methodis Indonesia ( GMI )
dan Gereja Greformeerd. HKBP berkenalan dengan kedua gereja tersebut melalui warga
jemaatnya yang berada dalam kawasan yang sama, sehingga ketiga gereja itu didorong
mencari jalan bersama untuk melayani umat Kristen yang adalah anggota mereka. GMI
banyak tumbuh di daerah Asahan dan Labuhan Batu, yang awalnya menjaring anggota
jemaatnya dari etnis Tionghoa. Maka pada tahun 1951 HKBP dan GMI membuat
deklarasi, apabila ada warga HKBP ada yang merantau di daerah pelayan GMI, maka
mereka akan melayaninya, demikian sebaliknya. Namun deklarasi itu di kemudian hari
tidak begitu tangguh untuk mengatasi masalah antara kedua gereja, sehingga akhirnya
warga HKBP mendorong untuk berdirinya HKBP di basis pelayan GMI; GMI pun kemudian
melakukan hal yang sama di daerah Tapanuli.
Distrik Simalungun yang berdiri sejak tahun 1940 telah ditingkatkan menjadi HKBP
Simalungun pada tahun 1952. Pembentukan HKBP Simalungun didasarai pada
pergumulan teologis praktis oleh beberapa tokoh berlatar belakang Simalungun yang
melihat, bahwa pemberitaan injil di Simalungun akan lebih berhasil apabila secara
strategi dan metode diatur oleh mereka yang berlatar belakang Simalungun. Sinode
Agung HKBP 1953 telah menerima pemberitahuan berdirinya HKBP Simalungun sejak
tanggal 5 Oktober 1952. Dengan demikian, organisasi HKBPS sebagai bagian dari HKBP di
daerah-daerah yang berbahasa Simalungun dapat lebih cepat tergerak . Diperkirakan,
tahun 1956 jumlah penduduk Simalungun sekitar 250.000 jiwa dan yang sudah masuk
menjadi Kristen sebanyak 34.000 orang yang dilayani 13 orang pendeta dan 8 orang
Evangelis. Akhirnya, sejak 1 September 1963 HKBPS yang kemudian berganti nama
dengan Gereja Kristen Protestan Simalungun ( GKPS ) membentuk sejarahnya sendiri
terpisah dari HKBP.
Perayaan Pesta Jubileum 100 tahun HKBP dilaksanakan pada tanggal 07 – 08 Oktober
1961 di Tarutung. Tujuan utama pesta ini, untuk mengucapkan syukur dan terima kasih
kepada Tuhan atas keselamatan dan berkat yang dianugerahkan kepada bangsa Batak
melalui Injil yang diwartakan sejak 100 tahun yang lalu. Dalam hal ini gereja Batak HKBP
sadar bahwa keselamatan dan berkat dalam Kristus adalah gambaran “Tahun Jubel”
( Tahun Keselamatan ) dari orang Israel sebagaimana terdapat dalam Perjanjian Lama.
Dalam hal ini, gereja Batak harus bersukacita dan mengucapkan syukur dalam Kristus
melalui pesta Jubileum 100 tahun HKBP.
Penyusunan suatu Tata Gereja yang baru sebagai pengganti Tata Gereja yang lama yang
masa berlakunya menjelang berakhir ( 1940 – 1950) telah dikerjakan secara cermat
dengan konseptornya yaitu Sekretaris Jenderal HKBP Ds. T.S. Sihombing. Setelah dibahas
mulai dari tingkat jemaat, ressort dan distrik; maka Tata Gereja ini disahkan pada Sinode
Agung HKBP tahun 1962. Satu hal yang menjadi terobosan dalam Tata Gereja ini yaitu
dengan memberdayakan anggota jemaat dari golongan yang terkemuka dengan sebutan
“kasbestur” telah dirobah namanya menjadi “penatua”. Selain mengurus yang berkaitan
dengan keuangan, mereka juga turut dalam tugas pelayanan.
Pada tahun 1960 an muncul golongan opposisi di HKBP yang berseberangan dengan
Pimpinan HKBP. Konflik ini semakin memuncak dengan mulainya muncul perpecahan di
tengah-tengah jemaat, bahkan sudah ada jemaat yang mengadakan kebaktian yang
bergilir. Maka pada tanggal 30 Agustus 1964 pada kebaktian Minggu oleh Dewan
Koordinasi Patotahon HKBP yang berlangsung di Pematangsiantar yang kemudian
dilanjutkan dengan acara rapat yang sekaligus menetapkan berdirinya Gereja Kristen
Protestan Indonesia (GKPI ). Tidak seluruhnya golongan opposisi terhimpun menjadi
anggota GKPI, karena pada tanggal 25 September 1965 berdiri pula gereja yang baru
dengan nama : Gereja Kristen Lutheran Indonesia ( GKLI ) di Lumban Siagian, Tarutung.