Bab Halaman
/conversion/tmp/scratch/517738687.doc
BAB I
TINJAUAN MATAKULIAH
Tujuan Instruksional Umum (TIU) mata kuliah Perencanaan Geometrik Jalan adalah:
BAB II
PERKULIAHAN KE : 1
iv
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pendahuluan ini akan memperkenalkan mahasiswa tentang tahapan
kegiatan pekerjaan perencanaan jalan, dimana didalamnya termasuk kegiatan
perencanaan geometrik jalan dan mahasiswa perlu mengenal elemen-elemen
penampang melintang jalan sebelum masuk pada materi perkuliahan selanjutnya.
2. TIK :
Mahasiswa dapat menguraikan tahapan kegiatan pekerjaan
perencanaan geometrik jalan.
Mahasiswa dapat mejelaskan penampang melintang jalan antar
kota dan jalan dalam kota dalam bentuk gambar tipikal
3. Pokok Bahasan :
Kegiatan pekerjaan perencanaan jalan
Potongan melintang jalan
4. Referensi :
a) AASHTO (2001), A Policy on Geometric Design of Highways and Streets,
Washington DC.
b) Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Manual Kapasitas Jalan Indonesia,
Sweroad – PT. Bina Karya.
c) Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota.
d) Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Standar Perencanaan Geometrik
untuk Jalan Perkotaan.
e) Hickerson, Thomas F. (1964), Route Location and Design, 5th edition,
McGraw-Hill Company.
PENYAJIAN :
Plannig and design process biasanya terdiri dari beberapa urutan tahapan atau phase.
Kebutuhan akan suatu rute jalan (jalan baru) ditetapkan, dan gambaran awal dari link
ditentukan seperti terminal points, titik kontrol, kelas fungsi dan kelas medan jalan,
v
volume lalulintas dan kecepatan rencana. Terminal points adalah titik awal dan titik
akhir perencanaan, sedangkan yang dimaksud dengan titik kontrol adalah daerah atau
lokasi yang layak atau tidak layak untuk dilintasi. Titik kontrol bisa berupa suatu
lokasi tertentu (misalnya lokasi jembatan) atau areal tataguna-lahan tertentu bahkan
bisa berupa suatu kota. Titik kontrol juga bisa berupa areal dengan struktur mekanika
tanah, struktur geologi yang layak dilintasi jalan. Tahapan berikutnya adalah
menetapkan lokasi dari rute jalan. Lokasi rute biasanya dipilih dari beberapa
alternatif dalam koridor dengan memperhatikan titik-titik kontrol dan pertimbangan-
pertimbangan lain yang dianggap perlu.
Setelah pemilihan preliminary lokasi rute, jalan sudah bisa didesain. Hal ini
umumnya mencakup perencanaan alinemen horizontal dan vertikal yang specify (
secara iteratif), perhitungan cut and fill, perencanaan struktur dan mutu material,
slope stability, drainase, perhitungan kuantitas dan biaya. Laporan akhir biasanya
berupa gambar desain dan spesifikasi.
vii
Pengukuran
Topografi &
Penggambaran
8
POTONGAN MELINTANG
Jalur Lalulintas
Jalur lalulintas (travaled way) bisa terdiri dari satu atau beberapa lajur lalulintas.
Lebar lajur (lane) umumnya ditetapkan berdasarkan kecepatan rencana yaitu
berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan perjalanan, sedangkan lebar jalur
(traveled way) atau jumlah lajur didasarkan pada volume lalulintas. Untuk kecepatan
rencana 60-100 km/jam lebar lajur adalah 3,50 meter. Untuk kecepatan rencana 40-50
km/jam dan kecepatan rencana ≤ 30 km/jam berturut-turut adalah 3,25 meter dan 3,00
9
meter. Pada jalan dengan kecepatan dan volume lalulintas yang tinggi umumnya lebih
dikehendaki lebar lajur sebesar 3,75 meter.
Badan Jalan
Badan jalan (roadway) adalah bagian dari jalur lalulintas termasuk bahu. Pada jalan-
jalan dalam kota, lebar jalur bervariasi terutama menurut volume lalulintas yang
dilayani dan kelasifikasi fungsi. Lebar jalur lalulintas jalan lokal pada daerah
perdagangan bervariasi antara 9 sampai 10,5 meter cukup untuk memberikan
pergerakan yang aman untuk lalulintas satu lajur satu arah, dimana diharapkan
muncul areal parkir kendaraan disisi jalan. Tabel I.1 sampai dengan Tabel I.4
memperlihatkan lebar lajur dan jalur berdasarkan kriteria desain yang diinginkan
sebagaimana juga lebar bahu.
Bahu
Bahu jalan adalah diperlukan untuk memberikan keamanan operasi pengendara dan
memberikan tambahan ruang gerak effektif ketika pengendara berjalan dipinggir
perkerasan jalan. Bahu haruslah cukup lebar untuk mengizinkan kendaraan keluar
dari perkerasan (jalur jalan) dan berhenti atau pada lalulintas semakin padat bahu
dapat digunakan untuk lalulintas sebagai tindakan darurat. Dalam hal ini bahu selebar
2,50 sampai 3,25 m adalah diinginkan. Pada medan dimana guardrails dipasang,
penambahan lebar bahu perlu untuk dipertimbangkan. Umumnya guardrail dipasang
sebagai tanda bahaya pada daerah timbunan yang tingginya lebih besar dari 2,50 m.
Lereng (Slope)
Lereng yang turun dari tepi bahu ke saluran samping disebut sideslope atau sering
juga disebut foreslope sedangkan lereng dari tepi saluran naik keatas disebut back-
slope. Foreslope dan backslope bisa bervariasi sepanjang jalan. Foreslope dengan
kemiringan 1 : 6 (1 vertikal : 6 horizontal) atau lebih datar lagi dapat dikatakan aman
bagi kendaraan dan sebaiknya disediakan dimana praktisnya. Slope dengan
kemiringan 1 : 6 pada daerah timbunan dengan sedikit ekstra mahal umunya bisa
disediakan sampai pada ketinggian 4,50 meter. Pada daerah timbunan yang tinggi ( >
6 meter ) slope yang lebih tajam digunakan. Alternatif kemiringan adalah 1 : 4 , atau
kemiringan lebih tajam lagi sampai 1 : 1,5 digunakan untuk alasan ekonomis.
10
Kemiringan back-slope daerah galian bisa bervariasi dari 6 : 1 pada daerah batuan
cadas sampai dengan 1 : 1,5 pada tanah normal.
BM 1992, Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, (Tabel 5.3
halaman 14), menentukan lebar lajur lalulintas berdasarkan kelas perencanaan dan
diperlihatkan pada Tabel I.1. Pada tabel ini dilengkapi dengan lebar minimum
median.
MKJI 1997, (halaman 6-26) mendefinisikan tipe penampang melintang yang
digunakan untuk maksud perhitungan kapasitas dan kinerja lalulintas jalan antar kota,
seperti terlihat pada Tabel 1.2.
BM 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, (Tabel 1I.7 halaman
16) menentukan lebar jalur (traveled way) berdasarkan kelas fungsi jalan dan volume
LHR (Lalulintas Harian Rata-rata). Tabel 1.3 memperlihatkan lebar jalur pada kondisi
ideal dan kondisi minimum.
MKJI 1997 (halaman 6-26), untuk maksud perhitungan kapasitas dan kinerja jalan,
mendefinisikan lebar bahu luar pada jalan antar kota pada type jalan tidak terbagi
(UD) adalah sebesar 1,50 meter untuk medan datar dan bukit dan 1,00 meter untuk
medan gunung. Dan pada jalan terbagi (D) lebar bahu luar adalah sebesar 1,75 meter
untuk medan datar dan bukit 1,25 meter untuk medan gunung. Khusus untuk jalan
terbagi (4/2 D dan 6/2 D ) lebar bahu dalam adalah sebesar 0,25 meter. (Tabel 1.2).
Pada jalan dalam kota, MKJI 1997 (halaman 5-26) mendefinisikan lebar bahu luar
pada jalan tidak terbagi maupun terbagi adalah sebesar 1,50 meter dan khusus untuk
jalan terbagi (4/2 D dan 6/2 D) lebar bahu dalam adalah sebesar 0,50 meter.
BM 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, (halaman 16)
menetapkan lebar bahu berdasarkan kelas fungsi jalan dan berdasarkan volume LHR
11
(Lalulintas Harian Rata-rata). Tabel 1.3 memperlihatkan lebar bahu pada kondisi
ideal dan kondisi minimum.
Tabel 1.1 Lebar Lajur Lalulintas dan Lebar Median
Tabel 1.2 Definisi Penampang Melintang Jalan Antar Kota MKJI 1997
12
Tabel 1.3. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan (Jalan Antar Kota)
smp/hari Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
jalur bahu jalur (m) bahu jalur (m) bahu jalur bahu jalur bahu jalur bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
< 3000 6,0 1,5 4,5 1,5 6,0 1,5 4,5 1,5 6,0 1,0 4,5 1,0
3000 7,0 2,0 6,0 2,0 7,0 2,0 6,0 2,0 7,0 1,5 6,0 1,0
-10000
Keterangan :
**) = Mengacu pada persyaratan ideal
*) = 2 jalur terbagi, masing-masing nx3,5, dimana n = jumlah lajur per jalur
- = Tidak ditentukan
13
14
Tabel 1.4. Lebar Minimum Bahu Jalan (Jalan Dalam Kota)
15
ROW 40.00
CL
ROW
0.60
ROW
16
0.50 2.00 0.50
Ke rb Ke rb
Ba hu Da la m Ba hu Da la m
Trotoa r
Trotoa r
J a lur J a lur
Hija u Ba hu J a lur La lulinta s Me dia n J a lur La lulinta s Ba hu Hija u
17
PENUTUP
o Tes formatif
1. Data apa yang diperlukan untuk menentukan lebar lajur?
2. Data apa yang diperlukan untuk menentukan jumlah lajur?
o Tugas 1
Gambarkan penampang tipikal untuk jalan antar kota 2/2 UD-7 dan 4/2 D-12
Gambarkan penampang tipikal untuk jalan dalam kota 2/2 UD-7 dan 4/2 D-12
Tugas 1 dimasukkan minggu depan pada kuliah ke-2
18
PERKULIAHAN KE : 2
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pada pertemuan ke 2 ini akan membahas mengenai kelasifikasi jalan dan
karakteriktik lalulintas sebagai kriteria untuk optimasi pada perencanaan geometrik
jalan yaitu kecepatan rencana, volume lalulintas dan kendaraan rencana.
19
PENYAJIAN :
Batasan-batasan ini saling berkaitan. Kelasifikasi fungsi suatu jalan sangat ditentukan
oleh volume dan komposisi lalulintas yang dilayani. Pemilihan kecepatan rencana
suatu jalan terutama dipengaruhi oleh bentuk topografi, dan kelas fungsi jalan
sementara biaya harus diperhitungakan dengan dana yang tersedia serta dampak
sosial dan lingkungan. Sekali kecepatan rencana dipilih, maka elemen-elemen desain
bisa ditetapkan berdasarkan kemampuan pemakai jalan dan karakteristik kendaraan.
Pada prinsipnya kriteria perencanaan jalan adalah kecepatan rencana, volume
lalulintas, karakteristik phisik kendaraan yang akan menggunakan jalan tersebut. Pada
pertemuan pendahuluan ini akan dijelaskan secara umum mengenai kriteria desain:
o Kelasifikasi Jalan
o Kecepatan Rencana
o Volume lalulintas
o Kendaraan rencana
20
KELASIFIKASI JALAN
Jalan khusus adalah jalan di areal khusus seperti areal pertambangan, pertanian atau
industri dimana biasanya beroperasi kendaraan-kendaraan khusus. Jalan toll
(motorways) juga diklasifikan sebagai jalan khusus, dimana kendaraan tertentu
seperti sepeda motor, kendaraan beroda tiga dan kendaraan tidak bermotor tidak
diizinkan menggunakan jalan ini. Jalan toll dikhususkan untuk kendaraan dengan
kecepatan tinggi dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.
Kelasifikasi fungsi didasarkan pada sifat pelayanan yang diberikan bagi lalulintas
yang menggunakan jalan tersebut. Jalan arteri adalah jalan dengan standard tinggi
dalam melayani lalulintas dengan kecepatan rata-rata tinggi dengan ciri-ciri
perjalanan jauh. Jalan kolektor adalah jalan yang melayani lalulintas dengan
kecepatan rata-rata sedang dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, dan jalan lokal
21
adalah jalan yang melayani lalulintas dengan kecepatan rata-rata rendah dengan ciri-
ciri perjalanan jarak dekat.
22
Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, Dirjen Bina Marga 1992), menguraikan kelas
perencanaan jalan seperti Tabel 2-2 dibawah ini.
Kelasifikasi medan sehubungan dengan topografi atau area sepanjang yang dilalui
rute jalan didefinisikan sebagai kemiringan medan tegak lurus garis kontur.
Kelasifikasi medan seperti yang terlihat pada Tabel 2-3 berikut ini :
Datar <10
Bukit 10-25
Gunung > 25
Penjelasan mengenai sifat alinemen sepanjang area jalur jalan didefinisikan sebagai
total tanjakan dan turunan (rise plus fall, m/km) dan total ketajaman tikungan
(horizontal curvature, rad/km) untuk suatu segmen jalan. MKJI 1997 mendefinisikan
istilah tipe alinemen, untuk maksud analisa kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan
antar kota, seperti yang tertera pada Tabel 2-4.
23
Tabel 2-4. Tipe Alinemen
Lengkung Vertikal Lengkung Horizontal
Tipe Alinemen
rise + fall (m/km) (rad/km)
KECEPATAN RENCANA
Kecepatan rencana (Vd), pada suatu ruas jalan adalah kecepatan aman maksimum
yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik. Kecepatan ini dapat dipertahankan
untuk kendaraan yang memasuki tikungan pada kondisi cuaca cerah, lalulintas
lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti dan pada kondisi permukaan
jalan yang baik. Kecepatan rencana umunya ditentukan dengan interval selisih 10
km/jam yaitu 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100, 110 dan 120 km/jam. Kecepatan
rencana biasanya ditetapkan berdasarkan kelas fungsi jalan dan kelas medan jalan.
Sekali menetapkan kecepatan rencana, maka semua elemen jalan harus direncanakan
sesuai dengan kecepatan rencana yang sudah ditetapkan. Tabel 2-5 memperlihatkan
hubungan antara kecepatan rencana, kelas fungsi jalan dan tipe medan.
Sumber : BM 1997
VOLUME LALULINTAS
24
Volume lalulintas harian rata-rata tahunan (AADT) didefinisikan sebagai rata-rata
jumlah kendaraan per hari dalam satu tahun.
Studi volume lalulintas untuk memperkirakan LHR untuk maksud analisa lalulintas
biasanya dilakukan dengan cara yang bisa diterima yaitu dalam waktu selama satu
minggu selama 24 jam tiap bulan selama 1 tahun atau waktu yang lebih pendek lagi
dengan mempertimbangkan variasi volume lalulintas seperti variasi bulanan,
mingguan, harian, tiap jam atau variasi musiman.
Dimana, K = Faktor, persen AADT yang terjadi pada jam sibuk, biasanya berkisar
0,08 – 0,12 untuk jalan perkotaan dan 0,12 - 0,18 untuk jalan antar kota.
D = Faktor distribusi arah hasil pengamatan lapangan. Bila tidak ada data
lapangan bisa digunakan D = 60%.
MKJI 1997 mengambil nilai K sebesar 0,09 sebagai nilai default untuk jalan dalam
kota dan nilai K sebesar 0,11 untuk jalan antar kota dan jalan toll (motorways)
Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Faktor ekivalen mobil penumpang adalah faktor untuk mengkonversi/merubah suatu
arus lalulintas dari bermacam-macam tipe kendaraan kedalam satu arus kendaraan
ekivalen terhadap mobil penumpang. Besarnya faktor ekivalen mobil penumpang
25
(emp) ini sangat tergantung pada lokasi (daerah perkotaan atau dalam kota), tipe
jalan, kondisi medan dan besarnya volume lalulintas. Tabel 2-6 dibawah ini
memperlihatkan nilai emp untuk jalan antar kota, jalan 4 lajur 2 arah (MKJI 1997
halaman 6-44).
Tabel 2-6. Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Jalan Antar Kota (4/2)
Volume Lalulintas emp
Tipe Jalan Jalan Tak
Alinemen Terbagi per Terbagi MHV LB LT MC
arah (kpj) (kpj)
0 0 1,1 1,2 1,6 0,5
Datar 1000 1700 1,4 1,4 2,0 0,6
1800 3250 1,6 1,7 2,5 0,8
≥ 2150 ≥ 3950 1,3 1,5 2,0 0,5
0 0 1,8 1,6 4,8 0,4
Bukit 750 1350 2,0 2,0 4,6 0,5
1400 2500 2,2 2,3 4,3 0,7
≥ 1750 ≥ 3150 1,8 1,9 3,5 0,4
0 0 1,1 5,5 0,3
Gunung 550 1000 1,4 1,4 5,1 0,4
1100 2000 1,6 1,7 4,8 0,6
≥ 1500 ≥ 2700 1,3 1,5 3,8 0,3
Pada jalan antar kota 2/2 UD nilai emp untuk MC selain dipengaruhi oleh tipe
alinemen dan volume lalulintas, juga dipegaruhi oleh lebar jalur jalan (MKJI 1997-
Passenger car equivalent (pce) for 2/2 UD – page 6-44).
Kapasitas
Kapasitas (C) adalah maksimum jumlah kendaraan yang melintasi suatu penampang
jalan selama waktu tertentu pada kondisi yang berlaku (kondisi geometrik, lalulintas,
ganguan samping, kebebasan samping dll). Waktu tertentu tersebut umunya untuk
26
maksud analisa kapasitas diambil selama 15 menit, yang kemudian dikonversikan
kedalam 1 jam. Untuk jalan dua lajur kapasitas dihitung untuk total dua arah
sedangkan untuk jalan berlajur ganda (multi-lane roads), arus lalulintas dipisahkan
per jurusan dan kapasitas dihitung per lajur (lane). Persamaan dasar untuk
menghitung kapasitas adalah sebagai berikut:
Dimana:
C = Kapasitas aktual, Co = Kapasitas dasar
FCw, FCsp, FCsf, FCcs = Faktor penyesuaian terhadap lebar jalan, distribusi arah,
gangguan samping dan ukuran kota.
Kapasitas dasar (C o) adalah kapasitas jalan pada kondisi ideal dimana kondisi
geometrik, lingkungan dan lalulintas ditetapkan terlebih dahulu. Misalnya, untuk
jalan antar kota 2/2 UD adalah sebagai berikut (MKJI 1997 - halaman 6-23):
o Lebar lajur 3,50 meter
o Lebar bahu effektif 1,50 meter (tidak diperkeras)
o Tidak ada median
o Pembagian jurusan (arah) lalulintas 50/50
o Tipe alinemen : datar
o Tataguna lahan : tidak ada pengembangan di sisi jalan
o Kelasifikasi fungsi jalan : Jalan Arteri
o Kelas hambatan/pengaruh samping : Rendah (Low)
o Kelas jarak pandangan : A
Pada kondisi ideal ini dianggap hanya dilalui kendaraan mobil penumpang saja.
Tabel 2-7 sampai dengan Tabel 2-9 memperlihatkan nilai kapasitas dasar untuk jalan
antar kota dan jalan perkotaan.
Tabel 2-7. Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota Empat Lajur Dua Arah
Tipe jalan / Tipe ainemen Kapasitas dasar (smp/jam/lajur)
Empat lajur terbagi (4/2 D)
- Datar 1900
27
- Bukit 1850
- Gunung 1800
Empat lajur tidak terbagi (4/2 UD)
- Datar 1700
- Bukit 1650
- Gunung 1600
Tabel 2-8. Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota Dua Lajur dua Arah Tidak
Terbagi
Kapasitas dasar
Tipe jalan / Tipe ainemen
Total dua arah (smp/jam/lajur)
Dua lajur tidak terbagi (2/2 UD)
- Datar 3100
- Bukit 3000
- Gunung 2900
Menurut Bina Marga 1992, besarnya kapasitas dasar adalah, 2500 kendaraan/jam/dua
arah untuk jalan dua lajur dan 2200 kendaraan /jam/lajur untuk jalan lajur ganda.
Kapasitas Yang Mungkin = Kapasitas Dasar x R1 x R2 x R3
Dimana R1, R2, dan R3 adalah koefisien penyesuaian untuk lebar lajur, kebebasan
samping dan gangguan samping.
KENDARAAN RENCANA
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi, berat dan karakteristik operasinya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. AASHTO 2001 ( A Policy on
28
Geometric Design for Highways and Streets) membagi kendaraan rencana dalam
empat kelas yaitu:
1. Kendaraan Penumpang (passanger-cars) ; termasuk didalamnya adalah sedan,
kijang, jeep, mikrolet, mini-bus, vans dan pickup.
2. Bus ; termasuk didalamnya adalah semua bus-besar seperti bus antar kota, bus
kota.
3. Truk ; termasuk didalamnya adalah truk (singel unit truck), truck-semi-trailer.
4. Kendaraan Rekreasi (Recreatioanal vehicles); kendaraan ini belum banyak
dikenal di Indonesia.
Dimensi dan radius putar kendaraan rencana untuk mobil penumpang, bus dan truk
diperlihatkan pada Tabel 1-5. Batas jejak-jejak putar dari tiap-tiap kendaraan rencana
untuk putaran tertajam ditetapkan berdasarkan jejak tonjolon depan sebelah luar dan
jejak dari roda belakang sebelah dalam. Perputaran ini mengasumsi jejak roda depan
sebelah luar berupa lintasan busur lingkaran yang kemudian akan menentukan
besarnya radius putar as jalan untuk setiap kendaraan rencana (Centerline Turning
Radius, CTR).
Tabel 2-11. Dimensi dan R min Kendaraan Rencana Bina Marga 1997
29
Dimensi (meter) Tonjolan (meter) Radius Putar Rmin sisi
Tipe kendaraan
dalam
rencana
Tinggi Lebar Panjang Depan Belkg Minmum Maksimum (m)
Kendaraan Kecil 1.3 2.1 5.8 0.9 1.5 7.3 7.8 4.2
Kendaraan Sedang 4.1 2.6 12.1 2.1 2.4 12.8 14.1 7.4
Kendaraan Besar 3.7 2.6 21.0 1.8 1.9 13.7 14.0 2.9
Menurut Bina Marga 1997 (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Dirjen Bina Marga 1997), kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam tiga kategori :
Dimensi dan radius putar diperlihatkan pada Tabel 1-7 dan Gambar 1-9 sampai
dengan Gambar 1-11. Sedangkan, menurut Bina Marga 1992 (Standar Perencanaan
Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Dirjen Bina Marga 1992), kendaraan rencana
dikelompokkan :
1. Kendaraan penumpang.
2. Truk/bus tanpa gandengan.
3. Kombinasi.
Tabel 2-12. Dimensi dan R min Kendaraan Rencana Bina Marga 1992
30
Gambar 2. 1. Lintasan Jari-jari Minimum Kendaraan Rencana Truk Single Unit
(SU)
31
Gambar 2. 2. Lintasan Jari-jari Minimum Kendaraan Rencana Truk Semitrailer
(WB-15)
32
PENUTUP
o Tes formatif
1. Mengapa perlu ada pembagian kelasifikasi jalan menurut kawasan?
2. Mengapa juga ada kelasifikasi perencanaan jalan?
o Tugas 2
Buatlah suatu peta topografi interval kontur 1 meter skala 1:5000 dikertas
folio (21,59 x 35,56) dimana terdapat dua bukit. Tentukanlah kelasifikasi
medan pada peta tersebut dan perkiraan suatu rute jalan dengan dua tikungan
berbentuk lingkaran penuh (full circle). Tentukan juga arah sumbu X dan Y
serta sebarang koordinat (0,0)
Tugas 2 dibawa dan diperiksa langsung oleh dosen pengajar pada kuliah
berikut (minggu depan)
33
BAB III
PERKULIAHAN KE : 3
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
34
PENYAJIAN :
PERENCANAAN GEOMETRIK
Pada dasarnya gambar desain suatu jalan raya harus disertai gambar lokasi dan
gambar potongan. Pada bidang horizontal, gambar denah (plan), lokasi dari titik-titik
dinyatakan dengan sistem koordinat (X,Y,Z) dimana sumbu Y arah positip adalah
Utara dan sumbu X arah positip adalah Timur. Titik-titik di sepanjang rute
diidentifikasi dengan station (STA), jarak dalam km dan meter dari suatu titik
referensi, biasanya dari titik awal proyek (STA 0+000). Suatu titik pada rute jalan
atau pada centerline jalan yang berjarak misalnya 4716 meter dari titik awal proyek
ini akan dinyatakan sebagai STA 4+716 artinya titik tersebut berjarak 4km + 716
meter dari titi awal proyek. Lokasi dari titik-titik dalam bidang vertikal (sumbu Z),
dinyatakan sebagai elevasi diatas muka air laut rata-rata (mean sea level). Garis-garis
yang menghubungkan ketinggian yang sama disebut garis kontur.
Gambar potongan memanjang memberi gambaran mengenai profil dari rute jalan
dimana tergambar muka tanah asli (MTA) dan muka tanah rencana (MTR). Muka
tanah rencana atau finished graded sebenarnya adalah permukaan perkeresan jalan
yang direncanakan. Pada gambar profil skala panjang disesuaikan dengan gambar
plan dan skala tinggi (elevasi) biasanya 1:100 atau 1:200. Gambar potongan
melintang (cross section) jalan biasanya digambar dengan potongan pada tiap-tiap 25
meter untuk keperluan perhitungan volume galian dan timbunan dan menjelaskan
mengenai dimensi lebar jalur, bahu, saluran samping dan lain-lain.
Untuk tugas perencanaan geometrik, akan disiapkan peta peta kontur dengan skala
1:2000 ukuran kertas A1 dengan maksud mahasiswa akan mendesain geometri jalan
sepanjang 1500 meter. Peta harus dilengkapi dengan garis kontur interval 1 (satu)
meter dan salah satu titik dengan koordinat (X,Y). Arah Utara adalah identik dengan
35
arah positif sumbu Y. Titik kontrol akan diberikan oleh Assisten Tugas yaitu lokasi
dan elevasi muka tanah rencana di titik awal (STA 0+000) dan titik lain bila
diperlukan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada formulir tugas. Setelah pengisian data
tugas perhitungan alinemen horizontal sudah bisa dimulai. Pada dasarnya tahapan
perhitungan adalah sebagai berikut :
o Alinemen Horizontal
1. Sketsa trase as jalan dengan memperhatikan; topografi (garis kontur) untuk
pertimbangan volume galian dan timbunan, serta titik-titik kontrol.
2. Tentukan titik-titik PI (Point of Intersection) berdasarkan trace jalan yang
dipilih.
3. Tentukan koordinat titik-titik PI (X,Y)
4. Hitung jarak antara titik PI , d n
5. Hitung sudut perubahan tangen, n
6. Pilih tipe lengkung horizontal (Full-circle, Spiral-circle-spiral, spiral-spiral)
7. Rencanankan bagian-bagain lenkung horizontal dengan memperhatikan
kriteria desain (kecepatan rencana)
8. Gambar lengkung horizontal
9. Stationing.
10. Gambar diagram superelevasi.
o Alinemen Vertikal
1. Tentukan titik PVI dengan membuat garis kelandaian
2. Tentukan panjang lengkung vertikal, Lv
3. Hitung beda aljabar kelandian, A
4. Hitung nilai K, (K ≥ Kmin), dengan rumus Lv = A*K
5. Hitung Ev
6. Hitung elevasi dan STA titik PVI, PVC dan PVT
7. Gambar lengkung vertikal
36
o Hitung Volume Galian dan Timbunan
ALINEMEN HORIZONTAL
Alinmen horizontal terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung (tikungan),
merupakan rute jalan yang tergambar pada bidang horizontal (plan).
d0 -(Y 2-Y1)
Y 1-Y0 d2
d1
X1 – X 0
X2 – X 1
d0 (X1 X 0 ) 2 (Y1 Y0 ) 2
d1 (X 2 X1 ) 2 (Y2 Y1 ) 2
37
Rumus umum : dn (X n1 X n ) 2 (Yn1 Yn ) 2 ...................
(3.1)
o Sudut perubahan tangen:
Dimana,
X1 X 0
arctan
Y1 Y0
X 2 X1 X 2 X1 X 2 X1
arctan = arctan = arctan
Y1 Y2 Y2 Y1 Y2 Y1
X 2 X1
arctan
Y2 Y1
Xn 1 Xn
narctan ................... (3.3)
Yn 1 Yn
o Contoh latihan :
Titik awal (STA 0+000) : koordinat (+3614,+2299) X0 = 3614 Y0 = 2299
Titik PI-1 : koordinat (+4003,+2583) X1 = 4003 Y1 =2583
Titik PI-2 : koordinat (+4553,+2203) X2 = 4553 Y2 = 2203
Titik akhir : koordinat (+4862,+2400) X3 = 4862 X3 = 2400
38
d3 = (X 3 X 2 ) 2 (Y3 Y2 ) 2 = (4862 - 4553) 2 ( 2400 - 2203) 2
X1 X 0 (389 )
arctan = arctan = 53,867673 o
Y1 Y0 (284 )
X 2 X1 550
arctan = arctan
Y2 Y1 380
550
arctan = 124,640947 o
380
X3 X2 (309 )
arctan = arctan = 57,480841 o
Y3 Y2 (197 )
Lengkung Lingkaran
Lengkung lingkaran dikelasifikan sebagai, lingkaran sederhana (simple curve) atau
lingkaran penuh (full circle), lingkaran gabungan searah (compound curve) dan
linkaran gabungan balik (reverse curve). Untuk dua tipe lengkung terakhir akan
dijelaskan pada akhir-akhir kuliah.
PI
V
Ec
Tc Tc
C Lc
M
PC LC PT
A D B
Rc Rc
2 2
O
39
Gambar 3-5. Bagian-bagian Lengkung Lingkaran Penuh
Gambar 3-5 memperlihatkan bagian-bagian dari lenkung lingkaran sederhana dimana:
PI = Point of Intersection, titik potong perpanjangan tangen
PC = Point of Curvature, titik permulaan lengkung lingkaran (TC)
PT = Point of Tangency, titik akhir lengkung lingkaran (CT)
Tc = Tangent distance, jarak antara PI ke PC atau ke PT yaitu VA =VB
D = Intersection angle, sudut perpotongan atau perubahan arah tangen
LC = Long Chord, panjang tali busur AB
lc = Panjang busur lingkaran, panjang lengkung lingkaran
Ec = External distance, jarak antara titik PI ke tengah-tengah lingkaran
M = Middle ordinat, panjang ordinat, panjang dari tengah busur ke tengah tali busur
Rc = Radius, jari-jari lingkaran
o Rumus-rumus:
c
Tc = Rc tan ½ ................... (3.4)
Rc
Ec = Rc ................... (3.5)
cos(1/2Δo
Dalam proses perhitungan, nilai biasanya sudah dihitung terlebih dahulu dan
dianggap salah satu data yang sudah diketahui. Dalam menyelesaikan persamaan-
persamaan diatas diperlukan satu data lagi. Data dapat dipilih satu diantara Tc, Rc,
Ec, Lc, LC atau M. Batasan kriteria yang harus dipenuhi adalah besarnya Rc harus
memenuhi persyaratan minimum Rc untuk lengkung full circle yaitu Rc yang
40
menghasilkan kemiringan jalan e (superelevasi) ≤ 3 % sesuai dengan kecepatan
rencana dan e maksimum yang dipilih. (Lihat Tabel Perencanaan Geometrik)
o Contoh Perhitungan:
Diberikan = 60o 30’20’’, Rc = 250 m. Hitung bagian-bagian dari lengkung FC.
Jawab:
= 60 + (30/60) + (20/3600) = 60,505556 o
o Batasan perencanaan
Pada contoh perhitungan diatas belum diberikan data untuk kecepatan rencanan
kendaraan. Belum ada kontrol terhadap besarnya jari-jari Rc min yang dipakai.
Perencanaan lengkung FC dengan batasan kecepatan rencana (design speed), memberi
kriteria mengenai jari-jari minimum dimana tikungan bisa menggunakan lengkung FC
yaitu jari-jari yang memberikan kemiringan melintang e < 3%. Bila pada kecepatan
rencana tertentu, besarnya jari-jari memberikan e ≥ 3% , maka untuk memasuki
lengkung FC ini diharuskan menggunakan lengkung peralihan lebih dahulu. Hal ini
untuk alasan keamanan, dimana kendaraan bisa keluar dari lajur jalan. Tipe lengkung
yang terakhir ini disebut lengkung spiral-circle-spiral (SCS). Hubungan antara jari-
jari dan kemiringan jalan untuk jalan dengan kecepatan rencana tertentu akan
diberikan pada kuliah-kuliah mendatang.
41
Derajat Kelengkungan
D = Derajat kelengkungan, Degree of Curve, didefinisikan sebagai sudut pusat
lingkaran yang mempunyai panjang busur (lenkung lingkaran) sebesar 25 meter.
25
P Q
D
_
2
Rc
D
25
D= (D dalam radian) ................... (3.10)
R
Atau,
25 180 4500
D= x = (D dalam derajat) ................... (3.11)
R π πR
42
Pematokan lengkung lingkaran di lapangan dapat dilakukan dengan jarak-jarak 25
meter, perhatikan Gambar 3-4. (Deflection method)
PI
V
Tc Tc
2 3
1 4
PC PT
A B
D
D D
d d
o Metode Defleksi
Dengan asumsi bahwa lenkung lingkaran sudah mempunyai data jari-jari (R), , maka
bisa dihitung besarnya derajat kelengkungan D. Besarnya sudut dapat ditulis
sebagai berikut:
=nD+2d ................... (3.12)
Dimana, n = bilangan bulat dan d = sudut tambahan
Teodolit diletakkan di titik PC dengan pembacaan 0 o pada initial tangen AV, dan titik
1, 2, 3 dan 4 akan diletakkan pada lengkung lingkaran. Putar teleskop sampai
menunjukkan pembacaan sudut VA1 = d/2. Kemudian jarak A1 diukur dengan sesuai
dengan panjang tali-busur berimpit dengan garis pandang (A1 = 2 Rc sin ½ d ), patok
titik 1 kini terpasang sudah. Kemudian, putar teleskop dengan penambahan
pembacaan sebesar ½ D. Jarak A2 dipasang sesuai dengan panjang tali busurnya, titik
2 kini terpasang. Dengan cara yang sama titik-lainnya bisa diletakkan di lapangan.
43
PENUTUP
o Tes formatif
1. Berapa panjang jalan yang bisa digambar pada kertas ukuran kertas A3
(297 x 420) dengan skala 1 : 2000?
2. Data apa yang diperlukan untuk menghitung lengkung full circle.
o Tugas 3
Pada tugas minggu lalu (tugas 2) rencanakan trase jalan dengan dua tikungan
full circle. Hitung panjang jarak antara titik PI dan sudut perpindahan arah.
Tugas dimasukkan pada kuliah berikut (minggu depan).
44
BAB IV
PERKULIAHAN KE : 4
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat :
Materi kuliah pada pertemuan ke 4 ini akan membahas mengenai lengkung peralihan,
panjang pencapaian kemiringan jalan, dan diagram superelevasi
2. Pokok Bahasan :
Penurunan rumus ls = 2 s Rc
Penurunan rumus p*, k*, x* dan y*
Rumus-rumus pada elemen lengkung SCS
3. TIK :
Mahasiswa memahami manfaat penggunaan lengkung peralihan
Mahasiswa memahami persyaratan panjang minimum lengkung peralihan
Mahasiswa dapat menguraikan rumus-rumus pada lengkung peralihan
Mahasiswa dapat menggambar lengkung SCS
45
Mahasiswa dapat menjelaskan penggunaan lengkung peralihan dan panjang
pencapaian kemiringan serta dapat menggambar diagram superelevasi
PENYAJIAN :
LENGKUNG PERALIHAN
Pada saat kendaraan berjalan dengan kecepatan V (km/jam) pada jalan lurus dan
memasuki tikungan, kemudi roda kendaraan akan diputar dengan suatu sudut tertentu
dan tergantung dari besarnya jari-jari R (m) tikungan. Perubahan ini tidak bisa terjadi
dengan seketika tapi dalam suatu interval waktu t tertentu, jadi membutuhkan
lengkung peralihan yang panjangnya samadengan kecepatan x waktu t.
Lengkung peralihan umumnya digunakan adalah lengkung spiral adalah lengkung
dengan perubahan semakin tajam, mulai dari bagian lurus sampai pada bagian
lingkaran. Maksud penggunaan lengkung peralihan adalah untuk menambah faktor
keamanan, yaitu mengurangi kecendrungan kendaraan untuk keluar dari lajur
jalannya pada saat memasuki tikungan.
s
x
A
TS 0
p 0s
P
k y
R
d0
C
SC
Spiral
0s Rc
O
(a)
x
A
l
y dx
P dy
TS
dl
0
d0
R=
46
(b)
Gambar 4. 1. Bagian-bagian Spiral
o Rumus-rumus
K
R= ...................
l
(a)
Dimana, K = konstanta
K
Dengan demikian, Rc = ................... (b)
lc
Hilangkan nilai K dengan membagi kedua persamaan diatas, (a)/(b) dan ditulis
Rc ls
R= ................... (4.1)
l
Dari bagian differensial pada titik P, d = dl/R . Substitusi pada persamaan (4.1)
memberikan:
l
dθ dl
Rc ls
47
l2
Integrasi, θ ...................
2 Rc ls
(4.1a)
ls2 ls
Untuk = s dan l = ls menjadi, θs = ................... (4.1b)
2 Rc ls 2 Rc
2
l
θ θs ................... (4.3)
ls
Persamaan (4.3) memberikan nilai pada setiap titik sepanjang lengkung spiral ls.
Dari segitiga differential di titik P dengan skala diperbesar pada Gambar 3-5 didapat:
dx = dl cos ................... (c)
dy = dl sin ................... (d)
dimana fungsi sinus dan cosinus:
sin = - 3/3! + 5/5! - 7/7! + 9/9! - . . . . ................... (4.4)
cos = 1 - 2/2! + 4/4! - 6/6! + 8/8! - . . . . . ................... (4.5)
Dengan subtitusi persamaan (4.4) dan (4.5), integrasi maka didapat :
θ2 θ4 θ6 θ8
x = l ( 1- - ) ................... (4.6)
10 216 9360 685440
θ θ3 θ5 θ7 θ9
y=l( - - ) ................... (4.7)
3 42 1320 75600 6894720
Dimana dalam satuan radian dan untuk perhitungan pendekatan dan dianggap cukup
akurat persamaan (4.6) dan (4.7) ditulis sebagai berikut:
θ2 θ4
x = l ( 1- ) ................... (4.8)
10 216
θ
y=l ( ) ................... (4.9)
3
48
Untuk dalam satuan derajat, nilai diganti dengan x /180 dan didapat;
ls 2
Ys = ................... (4.11)
6 Rc
3 5 7
θ s θs θs θs
p = ls ( - - ) ...................
12 336 15840 1209600
(4.14)
2 4 6
1 θ θ θs
k = ls ( - s s - ) .................. (4.15)
2 60 2160 131040
49
Bila l atau ls pada persamaan (4.6), (4.7), (4.14) dan (4.15) sama dengan 1 satuan
panjang, maka dapat ditulis:
Xs = x* .ls
Ys = y*. ls
p = p* . ls
k = k* . ls
dimana,
s dalam radian
2 4
θ θ
x* = ( 1 - s s ) .................. (4.15)
10 216
3
θs θs θ5
y* = ( - ) .................. (4.16)
3 42 1320
3 5
θs θs θs
p* = ( - ) .................. (4.17)
12 336 15840
2 4
1 θ θ
k* = ( - s s ) .................. (4.18)
2 60 2160
o Contoh Perhitungan
Bila suatu lengkung spiral diketahui ls = 60 m dan s = 30o, hitunglah Xs, Ys, p, k.
Jawab : s = (30) * (180) = 94.247780 radian
Gunakan persamaan (4.15) sampai dengan persamaan (4.18)
2 4
θs θs
x* = ( 1- ) =
10 216
3
θs θs θ5
y* = ( - ) = 0,171145
3 42 1320
2 4
1 θs θ
p* = ( - s ) = 0
2 60 2160
50
2 4
1 θs θ
k* = ( - s ) = 0,495465
2 60 2160
Xs = x* ls = (m
Ys = x* ls = (0,171145) (60) = 10,269 m
p = p* ls = (m
k = k* ls = (0,495465) (60) = 29,728 m
Lengkung Spiral Circle Spiral
Ts
xs
H PI
TS p Le ngkung Lingka ra n
k F ls ys
SC
Es
M
lc
Rc Rc
CS
c ls
s
s Rc
H´
Rc F´
O
k
ST
Gambar 4. 2. Spiral-Circle-Spiral
o Rumus-rumus
51
c = – 2s .................. (4.19)
Ts = k + (Rc + p) tan ½ .................. (4.20)
(Rc p)
Es = - Rc .................. (4.21)
Cos 1/2 Δ
π
lc = c Rc x .................. (4.22)
180
π
ls = 2 s Rc x .................. (4.23)
180
o Contoh Perhitungan
Diberikan = 40o 20’25’’, Rc = 150 m ,ls = 75 m. Hitung Xs, Ys, p, k, Ts, Es dan l .
Jawab :
20 25
= 40o 25’20’’ = 40 + = 40,340278 o
60 3600
ls 180 75 180
s = x = (2) (150) x π = 14,323940 o
2 Rc π
52
Ts = k + (Rc + p) tan ½ tan ½ 40,340278) = 93,095 m
π π
lc = c Rc x = (11,692398) (150) ( ) = 30,611 m
180 180
l = 2ls + lc = (2) (75) + (30,611) = 180,611 m
π
= ( – c)/2), dan ls, (ls = 2 s Rc x ). Selanjutnya dengan nilai s
180
hitung p* , k*, x*, y*, p, k, dan Ts, Es, Xs dan Ys.
3. Diketahui Ts dan ls. Perhitungan dilakukan dengan cara coba-coba. Coba s,
π
hitung p*,k*, p, k. Kemudian hitung Rc dari persamaan ls = 2 s Rc x .
180
53
o Batasan perencanaan
Contoh perhitungan diatas belum diberikan data kecepatan rencana (design speed).
Perencanaan lengkung SCS memberi batasan mengenai jari-jari minimum (Rc min)
sehubungan dengan kecepatan rencana, dan kemiringan melitang maksimum, emaks.
Penggunaan lengkung peralihan yaitu pada jari-jari tikungan yang memberikan
kemiringan melintang (superelevasi), e ≥ 3%. Penjelasan lebih mendatail akan
diberikan pada kuliah-kuliah kemudian.
PENUTUP
o Tes formatif
1. Apa yang dimaksud dengan 1 radian?
2. Apa arti π dan π radian?
3. Data apa yang diperlukan untuk perhitungan lengkung SCS?
o Tugas 4
Gambar sketsa lengkung spiral circle spiral dan buktikan rumus-rumus yang ada pada
lengkung SCS ini. Yaitu, harga Ts, Es.
54
PERKULIAHAN KE : 5
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pada pertemuan ke 5 ini akan membahas mengenai pencapin kemiringan jalan
dan panjang lengkung peralihan minimum sebagai kriteria untuk optimasi pada
perencanaan geometrik jalan.
3. Pokok Bahasan :
Panjang minimum lengkung peralihan
Diagram superelevasi
Tangent run out
Run off
Penampang normal (NC)
Penampang putar (RC)
55
Landai relatif
PENYAJIAN :
off B
Run
C
D
A
ut
uno
gent R 4
Tan 3
56
Gambar 5.1. Tangent Runout dan Superelevation Runoff
Ls = bme (5.1)
Dimana, b = lebar lajur
e = superelevasi desain
1 : m = landai relatif maksimum
AASHTO 2001 menganjurkan nilai maksimum landai relatif sebesar 0,50 % atau
1:200 pada kecepatan 80 km/jam (50 mph). Dan juga menetapkan nilai landai relatif
sebesar 0,80 dan 0,35 sebagai nilai landai relatif maksimum untuk kecepatan rencana
20 km/jam dan 130 km/jam. Interpolasi diantara kedua nilai tersebut diambil sebagai
nilai desain dan disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan di bagian kanan tergambar kurva
garis patah penyebaran landai relatif maksimum terhadap kecepatan rencana disertai
dengan persamaannya.
20 0,80 1 : 125
0,6
30 0,75 1 : 133
40 0,70 1 : 143 0,5
Pada persamaan (5.1), 1 : m adalah nilai maksimum dari landai relatif maka Ls adalah
panjang runoff minimum. Persamaan ini bila dipakai pada jalan empat lajur, akan
menghasilkan panjang runoff sebesar duakali (double) panjang runoff untuk jalan dua
57
lajur; dan pada jalan enam lajur tidak terbagi akan tigakali (triple). Seringkali
panjamg seperti diatas sukar dilaksanakan dan tidak praktis. Didasarkan semata-mata
pada empiris, disarankan untuk menggunakan faktor penyesuaian, (Tabel 5.2), untuk
mengurangi panjang yang berlebihan pada jalan berlajur banyak (multilane
roadways). Persamaan (5.1) menjadi :
58
meminimalkan lateral acceleration, menetapkan proporsi panjang runoff seperti
tertera pada Tabel 5.3. Diagram superelevasi diperlihatkan pada Gambar 5.2.
Full - Circle PI
Lc
TC CT
Ls Ls
0,75 Ls 0,75 Ls
Tepi luar ( Kiri )
ed
C TC CT
L
en ed en
Lt Tepi dalam ( Kanan )
Lt
-A-
Ls Lc Ls
Tepi luar ( Kiri )
ed
C TS SC CS ST
L
en ed en
-B-
Gambar 5.3. Diagram Superelevasi lengkung full circle
0.0214 V 3
Ls …………(5.3)
RC
Faktor C adalah nilai empiris menyatakan tingkat kenyamanan dan keamanan pada
lengkung spiral. Nilai C = 0.3 m/det 3 umumnya digunakan untuk desain rel kereta api,
dan nilai 0.3 sampai 0.9 m/det 3 telah digunakan untuk desain jalan raya. Tapi, pada
60
praktisnya, panjang lengkung spiral harus dikontrol terhadap panjang yang
dibutuhkan untuk superelevation runoff.
61
0.0214 V 3
Ls min …………(5.5)
RC
Nilai p = 1.00 m adalah nilai rekomendasi untuk p maks . Nilai ini konsisten dengan
pergeseran lateral maksimum yang terjadi secara alami pada banyak pengendara.
Juga, memberikan keseimbangan yang layak antara panjang lengkung spiral dan jari-
jari lingkaran.
62
secara alami yang diambil oleh pengendara. Berdasarkan pertimbangan ini, panjang
lengkung peralihan spiral diperlihatkan pada Tabel 5.5. Panjang ini sehubungan
dengan waktu perjalanan selama 2.0 detik pada kecepatan rencana di jalan raya.
Waktu perjalanan ini telah dinyatakan representative dengan jejak spiral secara
natural oleh banyak pengendara di lapangan.
Lengkung spiral lebih panjang dari yang tertera pada Tabel 5.5 diperlukan pada
turning roadway terminal (jalan berputar), untuk mencukupi keperluan superelevasi.
Khususnya, pada penggunaan lengkung spiral-spiral, pada situasi ini, nilai yang
tertera pada Tabel 5.5 sangatlah diperlukan.
Apabila panjang lengkung spiral yang diinginkan seperti yang tertera pad Tabel 5.5
lebih pendek dari perhitungan Ls min pada persamaan (5.4) dan (5.5), maka panjang
maka panjang Ls min seharusnya digunakan.
63
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif
1. Bagaimana gambar diagram superelevasi pada jalan lurus?
2. Apa akibatnya bila pada pencapaian keringan jalan tidak ada tangent
run-out?
3. Berapa panjang tangent runout?
4. Berapa jarak yang ditempuh pengendara dengan kecepatan 100 km/jam,
menggerakan kemudi, selama 2 detik masuk pada tikungan jalan?
o Tugas
Gambar diagram superelevasi pada lengkung SCS dan FC tanpa ada perubahan
kemiringan di tangen. Tugas dimasukkan pada kuliah minggu depan.
BAB V
64
PERKULIAHAN KE : 6
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 6 ini akan membahas mengenai rumus-rumus dasar
yang akan dikembangkan menjadi kriterai desain pada perencanaan alinemen
horizontal
2. TIK :
Mahsiswa dapat menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada
kendaraan yang berjalan pada tikungan jalan.
Mahasiswa dapat menjelaskan distribusi superelevasi dan gesekan
melintang pada tikungan jalan.
3. Pokok Bahasan :
Rumus-rumus dasar
e maks
fmaks
Rmin
Kecepatan jalan rata-rata
Distribusi superelevasi dan gesekan melintang
PENYAJIAN :
65
RUMUS DASAR
2
mV
gR
B
W sin
F
N
C A
W co
s
mV 2
W sin α + F = cos α . . . . . . . . . . . (6.1)
R
Dimana,
W
m = massa kendaran = g
F=f.N . . . . . . . . . . . (6.2)
66
Dengan mengambil gaya-gaya tegak lurus garis AB, yaitu :
WV 2
N= sins α + W cos α . . . . . . . . . . . (6.3)
gR
WV 2 WV 2
W sin α + f ( sin α + W cos α) = cos α . . . . . . . . . . . .(6.4)
gR gR
Dengan membagi ruas kiri dan ruas kanan dengan W serta nilai α yang kecil yang
bisa dianggap, sin α = tg α = e, cos α = 1 maka persamaan (6.4) bisa ditulis :
V2 V2
e+f( e 1)
gR gR
V2
e+f = ( 1 - ef )
gR
e f V2
. . . . . . . . . . . (6.5)
1 - ef gR
Harga hasil perkalian ef dalam persamaan diatas adalah selalu kecil, sehingga nilai ef
dianggap = 0, dan persamaan (6.5) menjadi :
V2
e f . . . . . . . . . . . (6.6)
gR
V2 (1000/3600) 2 V2
e f ( )
gR 9,8 127,008R
V2
e f . . . . . . . . . (6.7)
127R
Koefisien Gesekan Melintang Maksimum
AASHTO 2001, menggunakan koefisien gesekan melintang maksimum fm dalam
perencanaan alinemen horisontal harus sesuai dengan garis patah, yang mempunyai
67
harga 0,17 pada kecepatan 32 km/jam (20 mph) , 0,14 pada kecepatan 80 km/jam (50
mph) dan 0,08 pada kecepatan 128 km/jam (80 mph) dan dapat dinyatakan dengan
persamaan :
V
f1 = 0.19 - ( V ≤ 80 km/jam ) . . . . . . . . . . (6.8)
1600
V
f2 = 0.24 - ( V ≥ 80 km/jam ) . . . . . . . . . . (6.9)
800
Meyer 1949
Arizona
HRB 1940
Stonex & Noble
Kecepatan (km/jam)
68
30 0,171 0,17 0,15
40 0,165 0,17 0,15
50 0,159 0,16 0,14
60 0,153 0,15 0,13 0,14 – 0,24
70 0,146 0,14 -
80 0,140 0,14 0,12
90 0,128 0,13 -
100 0,115 0,12 0,11
110 0,103 0,11 -
120 0,090 0,09 0.10
130 0,078 0,08 -
Pada Tabel 6-1 dicantumkan nilai fm yang ditetapkan BM 1992 (halaman 96).
Sedangkan BM 1997 (hal 28) memberikan nilai tersebut untuk perkerasan aspal fm =
0,14 – 0,24. Nilai fm ini akan memberikan perhitungan dan penetapan standard Rmin.
Superelevasi Maksimum
AASHTO 2001, menggunakan 5 superelevasi maksimum yaitu 4, 6, 8, 10 dan 12 %.
Superelevasi maksimum dipakai secara umum untuk jalan raya antar kota adalah
sebesar 10%. Superelevasi maksimum 4 dan 6 % digunakan pada jalan didaerah
perkotaan dengan sedikit atau tanpa kemacetan. Pada persimpangan-persimpangan
dimana kendaraan cendrung berjalan lambat karena akan membelok atau memotong,
superelevasi maksimum lebih rendah lagi atau tanpa superelevasi maksimum
digunakan. Pada daerah ini seringkali akan sulit apabila tidak disediakan superelevasi
negatif untuk kepentingan drainase. Superelevasi maksimum 8% digunakan pada
daerah yang dipengaruhi oleh salju dan es sedangkan superelevasi > 8% pada daerah
tidak dipengaruhi oleh salju dan es. Superelevasi maksimum 12 % adalah khusus
untuk daerah tertentu dimana tidak dipengaruhi oleh salju atau es dan untuk jalan
tanpa permukaan aspal (jalan kerikil/tanah) untuk memfasilitasi drainase permukaan
jalan dan cross drainage.
BM 1992, (Standar Perencanaan untuk Jalan Perkotaan), menggunakan superelevasi
maksimum 10% untuk jalan Bebas Hambatan dan jalan Antar Kota dan superelevasi
maksimum 6% untuk jalan Perkotaan.
69
BM 1997, (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), menetapakan nilai
superelevasi maksimum adalah 10%.
Jari-Jari Minimum
Jari-jari minimum adalah batas minimum jari-jari tikungan jalan untuk suatu
kecepatan rencana (design speed) tertentu, dimana gesekan melintang dan
superelevasi sudah mencapai harga maksimum. Jari-jari minimum suatu lengkung ,
Rmin dapat
NILAIdihitung
FAKTOR dengan rumus :MELINTANG DAN JARI-JARI MINIMUM
GESEKAN
Menggunakan berturut-turut harga e maks0,200= 4, 6, 8, 10, 12% dan f maks pada Tabel 6-1,
V f (RUMUS) f (Tabel 3-14)
jari-jari
(km/jam)minimum, R min untuk
AASHTO 2001 AASHTO 2001 kecepatan
0,180 rencana 20 km/jam sampai dengan 130
Faktor gesekan melintang, f
20 dapat0,178
km/jam dihitung, 0,18
dibulatkan dan
0,160 menjadi standard Rmin. Gambar 3-9 dan
30 0,171 0,17
Gambar
40 3-10 0,165
berturut-turut
0,17menunjukkan 0,140 hasil perhitungan Rmin berdasarkan emaks
10%50 0,159
dan 6% berdasarkan 0,16
nilai koefisien0,120gesekan melintang masing-masing metode.
60 0,153 0,15
70 0,146 0,14 0,100
Pada80Gambar0,140 0,14
6-4 diperlihatkan secara
0,080 grafis kurva desain koefisien gesekan
90 0,128 0,13
melintang
100 untuk
0,115metode 0,12
AASHTO 2001 0,060
dan BM 1992. Nilai Rmin dengan kode (*)
110 0,103 0,11 0 20 40 60 80 100 120 140
adalah
120 nilai hasil
0,090 interpolasi
0,09 atau ekstrapolasi yang dibulatkan dimana nilai tersebut
Kecepatan V (km/jam)
tidak130 0,078
tercantum 0,08
pada referensi.
0.18
2001 BM 1992
20 0.18 0.15 0.16
AASHTO 2001
30 0.17 0.15
40 0.17 0.15 0.14
BM 1992
50 0.16 0.14 0.12
60 0.15 0.13
70 0.15 * 0.125 0.10
80 0.14 0.12
0.08
90 0.13 * 0.115
100 0.12 0.11 0.06
0 20 40 60 80 100 120 140
110 0.10 * 0.105
120 0.09 0.1 Kecepatan V (km/jam)
130 0.08 * 0.095
Catatan:
BM 92
e maks = 10% untuk jalan Antar Kota dan jalan Bebas Hamatan 71
e maks = 6% untuk jalan Perkotaan
72
73
Sumber BM 1992
74
Kecepatan jalan rata-rata (Va)
Menurut pengamatan pada tikungan, bahwa kecepatan jalan rata-rata (averarage
running speed) akan lebih rendah dari design speed dan beda rata-rata spot speed
dengan design speed yaitu makin kecil kalau lengkung semakin besar. Juga dapat
dilihat bahwa sebagian besar pengemudi menjalankan kendaraan dekat dengan
kecepatan rencana pada jalan dengan kecepatan rencana rendah dari pada jalan
dengan kecepatan rencana tinggi. AASHTO 2001 menetapkan kecepatan jalan rata-
rata seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6-2. Pada tabel ini juga diperlihatkan
pembanding untuk nilai kecepatan jalan rata-rata yang ditetapkan BM 1992.
Hubungan ini didasarkan pada anggapan bahwa kendaraan yang akan memasuki
tikungan dengan kecepata desain 30 mph (48 km/jam) akan mengurangi kecepatan
menjadi 90 % kecepatan desain dan pada kecepatan
Va BM 92 19 28 37 45 52 - 64 - 74
PENUTUP
75
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif
1. Mengapa dalam perencanaan geometric jalan ada emaks yang berbeda-
beda?
2. Bagaimana menentukan Rmin dalam pembuatan standard perencanaan?
o Tugas 6
BAB VI
76
PERKULIAHAN KE : 7
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
3. Pokok Bahasan :
Metode Distribusi Superelevasi dan
Gesekan Melintang (AASHTO).
Metode Distribusi Superelevasi BM
PENYAJIAN :
77
DISTRIBUSI SUPERELEVSI DAN GESEKAN MELINTANG
Menurut AASHTO, ada lima metode untuk menahan gaya centrifugal yang timbul
pada kendaraan yang bergerak dengan kecepatan V pada lengkung dengan jari-jari R,
yaitu dengan menggunakan e atau f atau kedua-duanya. Metode ini diperlihatkan pada
Gambar 3-4 .A sampai Gambar 3-4.C. adalah sebagai berikut:
78
Superelevation rate, e
3 4 A
Maximum
4
1
3
Distribution of
2 Superelevation
0 2
0
1/R 1/R min
2 B
Maximum
Side friction factor, f
Corresponding f
2 4 at design speed
1
3
0 3
0
1/R 1/R min
Side friction factor, f
2
C
1 Corresponding f
2 at running speed
4
3
0 4
0
3
1/R 1/R min
79
V2
Rumus dasar: e f
127R
Menurut BM ada 4 metode untuk menghitung alinemen gaya centrifugal pada suatu
lengkung dengan mengambil salah satu faktor e atau f atau kedua-duanya. Lihat
Gambar 3-12.
Superelevation rate, e
2 3
Maximum
3 4
1
2
Distribution of
Superelevation
0
0
Lengkungan 1/R 1/R min
Sumber : BM 1992
PENUTUP
80
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif
1. Bagaimanakah pengaruh faktor keamanan sehubungan penetapan nilai
koefisien gesekan yang berbeda antara metode AASHTO dan BM ?
2. Dasar apakah BM 1992 menetapkan desain koefisien gesekan
melintang?
3. Adakah pengaruh nilai koefisien gesekan melintang pada prosedur
perhitungan distribusi superelevasi metode Bina Marga?
o Tugas
Tiap mahasiswa diharuskan memahami hubungan antara e dan 1/R pada
kecepatan rencana V tertentu. Untuk itu tiap mahasiswa harus dapat
mempresentasekan di depan kelas bagaimana membaca persamaan:
V2
e f
127R
81
PERKULIAHAN KE : 8
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 8 ini akan membahas lanjutan mengenai
pengembangan rumus-rumus dasar dan menjadi kriterai desain pada perencanaan
alinemen horizontal.
2. TIK :
Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan matematis
hubungn antara koefisien gesekan melintang dengan jari-jari
tikungan.
Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan matematis
hubungan antara superelevasi dengan jari-fari tikungan
3. Pokok Bahasan :
82
PENYAJIAN :
(e + f ) design speed
(e + f ) running speed
f max
e or f or (e + f)
f distribution
h PI
emax
2
finalized e distribution
MO
PI
1
h PI
L1 L2
VD2
Maka , R min . . . . . . . . . . (8.1)
127 e maks f maks
83
VR2
R PI . . . . . . . . . . (8.2)
127 e maks
2
Y atau f
S2
MO
Y
PI
S1 h PI
X atau 1/R
L1 L2
Persamaan untuk ordinat tengah (MO) pada Gambar 8.2 diturunkan dari persamaan
lengkung parabola tidak symetris (unsymmetrical parabolic curve) sebagai berikut:
L1 L 2 (S 2 - S1 )
MO = . . . . . . . . . . (8.3) . . . . . (17)
2 (L1 L 2 )
1 1 1 S 2 - S1
MO = R min . . . . . . . . . . (8.4)
R PI R min R PI 2
. . . . . . . . . . (18)
84
Rangkuman :
VD2
1. R min
127 e maks f maks
VR2
2. R PI
127 e maks
e maks . VD2
3. hPI =
VR2
- e maks
4. S1 = (h PI ) (RPI )
f maks - h PI
5. S2 = 1 - 1
R min R PI
1 1 1 S 2 - S1
6. MO = R min
R PI R min R PI 2
2
R
8. f1 = MO PI + S1/R
R
2
1/R min - 1/R
9. f2 = MO
+ S 2 ( 1/R - 1/R PI ) + h PI
1/R min - 1/R PI 1
2
( e maks f maks ) R min R PI
10. e 1 = - MO - S 1/R
R R
2
(e f maks ) R min 1/R min - 1/R
11. e 2 = maks - MO - S2 (1/R - 1/R PI )-hPI
R 1/R min - 1/R PI 1
85
Persamaan lengkung distribusi superelevasi persamaan dapat ditulis kembali
sebagai berikut:
Untuk R ≤ R PI
2
( e maks f maks ) R min R
e1 = - MO PI - S1/R
R R
e1 = - ((MO)(R PI)2) (1/R) 2 + ((emaks + fmaks )Rmin - S 1) (1/R)
A B
e1 = R 2 R C1
1 1
Atau, . . . . . . . . . . (26)
Untuk R ≥ R PI
2
(e f maks ) R min 1/R min - 1/R
e2 = maks - MO - S2 (1/R - 1/R PI )-hPI
R 1/R min - 1/R PI1
- MO 1 2 MO 1
e2 = e maks f maks R min - S2
R R
1/R min - 1/R PI 1/R min - 1/R PI R min
2 2 2
- MO S 2
+ - h
1/R min - 1/R PI R min R PI
2 2 PI
A 2 B2
Atau, e2 = C2 . . . . . . . . . . (27)
R2 R
- MO
Dimana, A2 =
1/R min - 1/R PI
2
2 MO
B2 = e maks f maks R min - S2
1/R min - 1/R PI R min
2
- MO S 2
C2 = - h
1/R min - 1/R PI R min R PI
2 2 PI
86
Tabel 8.1. Konstanta A, B dan C Persamaan Lengkung Superelevasi e maks = 10 %.
VD R ≥ RPI R ≤ RPI
km/ja RPI
A1 B1 C1 A2 B2 C2
m
20 31,496 -31,8858 3,1496 0 -9,8413 1,7498 0,0222
30 70,866 -158,1003 7,0866 0 -54,7060 4,1686 0,0206
125,98 12,598
40 -499,6751 0 -172,8979 7,4108 0,0206
4 4
173,93 17,393
50 -854,2509 0 -507,5332 13,4070 0,0115
7 7
238,18 - 23,818
60 0 -1226,8279 21,6399 0,0046
9 1486,3367 9
312,52 - 31,252 -
70 0 -2661,0713 33,1059
0 2371,3764 0 0,0030
385,82 - 38,582 -
80 0 -4836,6266 46,0689
7 3392,4401 7 0,0097
466,85 - 46,685 -
90 0 -9469,6782 68,2986
0 4424,5303 0 0,0231
568,89 - 56,889 -
100 0 -17270,0631 96,5051
8 6001,5239 8 0,0348
652,04 - 65,204 149,142 -
110 0 -33832,4081
7 6466,8075 7 2 0,0644
756,22 - 75,622 283,022 -
120 0 -84449,3247
0 6029,0798 0 5 0,1371
819,21 - 81,921 - 757,699 -
130 0
3 3273,9835 3 280077,1790 9 0,4125
e 1 = A 1/R 2 +B1/R +C1 e2 = A 2/R2 +B2/R +C2
Tabel 8.1 memperlihakan nilai A1, B1, A2, B2 dan C2 pada persamaan lengkung
distribusi superelevasi untuk setiap kecepatan rencana pada e maksimum 10%
o Contoh Perhitungan:
Hitung e d bila : R = 1250 meter
V D = 120 km/jam
e maks = 10%
Nilai superelevasi desain bisa diperoleh dengan 2 cara:
1. Dari Tabel 8-3 dengan cara interpolasi dihitung :
87
R = 1225 m berada diantara 1200 dan 1300 meter, maka e d akan berada
diantara 5,5 dan 5,9 %
( 5,9 - e d ) ( 1300 - 1250 )
( 5,9 - 5,5 ) ( 1300 - 1200 )
o Kontrol desain
˜˜
Hasil perhitungan distribusi superelevasi untuk e maks = 10% disajikan pada
Tabel 8.2 dan Tabel 8.3.
88
89
Tabel 8.2. Perencanaan Geometrik Jalan Raya (AASHTO)
TABEL PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA (AASHTO 2001)
)
Vd = 30 km /jam Vd = 40 km /jam Vd = 50 km /jam Vd = 60 km/jam Vd =70 km /jam
L (meter) L (meter) L (meter) L (meter) L (meter)
R e 2 4 e 2 4 e 2 4 e 2 4 e 2 4 .
(meter) % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur
7000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
5000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
3000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
2500 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
2000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
1500 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 RC 13 19
1400 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,1 13 20
1300 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,3 14 22
1200 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,4 16 23
1100 NC 0 0 NC 0 0 RC 0 0 RC 12 18 2,6 17 25
1000 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,2 13 20 2,9 18 28
900 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,5 14 22 3,2 20 30
800 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,7 16 24 3,5 23 34
700 NC 0 0 RC 10 15 2,3 13 19 3,1 18 27 4,0 25 38
600 NC 0 0 RC 10 15 2,7 14 22 3,6 21 31 4,5 29 43
500 NC 0 0 2,3 12 17 3,1 17 26 4,2 24 37 5,3 34 51
400 RC 9 14 2,8 14 21 3,8 21 31 5,0 29 44 6,3 40 60
300 2,2 10 15 3,6 18 27 4,8 26 39 6,3 37 55 7,8 49 74
250 2,6 12 18 4,2 21 32 5,6 30 45 7,1 42 63 8,7 55 83
200 3,1 15 22 5,0 25 38 6,6 36 53 8,2 48 72 9,6 61 92
175 3,5 16 25 5,6 28 42 7,1 39 58 8,8 51 77 9,9 63 95
150 4,0 19 28 6,2 31 46 7,8 42 64 9,4 55 83 Rm in = 160 m eter
140 4,3 20 30 6,4 32 48 8,1 44 66 9,6 56 85
130 4,5 21 32 6,7 34 50 8,4 46 69 9,8 57 86
120 4,8 22 34 7,0 35 53 8,8 48 71 10,0 58 87
110 5,1 24 36 7,4 37 55 9,1 50 74 Rm in = 115 m eter
100 5,5 26 38 7,7 39 58 9,5 51 77
90 5,9 28 41 8,1 41 61 9,8 53 79
80 6,4 30 45 8,6 43 65 10,0 54 81
70 6,9 32 48 9,1 46 68 Rm in = 75 m eter
60 7,5 35 52 9,6 48 72
50 8,2 38 57 10,0 50 75
40 9,0 42 63 Rm in = 45 meter
30 9,9 46 69
Rmin = 25 m eter
90
Tabel 8.3. Perencanaan Geometrik Jalan Raya (AASHTO)
TABEL PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA (AASHTO 2001)
emax = 10 %
R= Jari-jari lingkaran
Vd = Kecepatan Rencana
e= superelevasi
L= Panjang minmum lengkung pencapaian kemiringan superelevasi
(tidak termasuk pencapain kemiringan di tangen,
dan berdasarkan lebar lajur w = 3,5 meter)
(AASHTO 2001 mengambil w = 3.6 meter untuk satuan metric)
NC = Normal Crow n (Penampang Normal)
RC = Remove adverse Crow n (Penampang Putar)
Catatan : Tabel Perencanaan ini dibuat berdasarkan standard AASHTO 2001(A Policy on Geometric Design of Highw ays and Streets)
: Ir. M. J. Paransa MT.
91
PENUTUP
o Tes formatif
1. Dengan bantuan table pada emkas = 10 %, kecepatan rencana 40
km/jam. Berapakah nilai
(a) . Rmin (R = 45 m)
(b) . R dimana lengkung peralihan dibutuhkan (R = 130 m)
(c) . R dimana e = e normal (R ≥ 800 m)
(d) . R dimana e = 2%. (R = 600 – 700 m)
o Tugas 8
92
BAB VII
PERKULIAHAN KE : 9
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 9 ini akan membahas mengenai pengembangan
rumus-rumus dasar dan menjadi kriterai desain pada perencanaan alinemen horizontal
metode Bina Marga.
2. TIK :
Mahasiswa dapat menguraikan persamaan lengkung parabola yang
menjadi dasar distribusi superelevasi..
3. Pokok Bahasan :
93
PENYAJIAN :
Prosedur Perhitungan Distribusi Superelevasi Bina Marga
E C g3 D
g2
y A
y2
g1 y1
1
Ra = 127
Va²
e
1
Rmin
O
x
x1
x2
Pada Gambar 3-14 distribusi superelevasi digambarkan pada sumbu y dan 1/R pada
sumbu x. Hubungan ini digambarkan oleh lengkung parabola-ganda yaitu OB dan
BD. dimana:
y2 y2
g1 = , g2 = , g3 = 0
x1 x2
1 127.e
x1 = , Va = Kecepatan jalan rata-rata
Ra Va2
1 emaks fmaks
x2 = , Vd = Kecepatan rencana.
R min Vd2
d2y dy 1
C, Cx C1 , dan y Cx 2 C1 x C 2
dx 2 dx 2
94
Untuk x ≤ x 1 :
dy y2
x=0 , g1 , C1 = g1 , C1 =
dx x1
dy g 2 g1 y2 1 1
x = x1 , g2 , C= , C=( )(x x )
dx x1 x1 2 1
x=0 , y=0 , C2 = 0
1 y2 1 1 y2
y= ( ) ( x x ) x2 + x . . . . . . . . . .(1)
2 x1 2 1 x1
Untuk x 1 ≤ x ≤ x 2 :
dy dy
x = x1 , g2 , Cx C1 , g2 = Cx1 + C1
dx dx
dy dy
x = x2 , 0 , Cx C1 , 0 = C x2 + C1
dx dx
y2 1
g2 = C (x 1 – x2) , C=( ) ( x x )
x2 1 2
y2
C1 = - Cx 2 , C1 = - ( )
x1 x 2
1 1
x = x1 , y Cx 2 C1 x C 2 , y1 = Cx12 + C1 x1 + C2
2 2
1 y2 1 y2
y1 = ( ) ( x x )x12 – ( )x1 + C2
2 x2 1 2 x1 x 2
1 y2 1 y2
C2 = y1 - ( ) ( x x )x12 + ( )x1
2 x2 1 2 x1 x 2
Jadi :
1 y2 1 y2 1 y 2 x2
y= ( ) ( x x ) x2 - ( ) x + (y2 + ( )) . . . . . . . . (2)
2 x2 1 2 x1 x 2 2 x1 x 2
95
Dengan persamaan (1) dan (2) dibuat perhitungan hubungan antara e dan R untuk y 2 =
emaks (10% dan 8%) untuk setiap Kecepatan Rencana V d. Hasil perhitungan untuk
emaks = 10 % , dengan fm menurut ASSHTO 2001, diperlihatkan pada Tabel 9.1.
Tabel 9.1. Distribusi Superelevasi Untuk e maks = 10% Cara Bina Marga
Vd 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Va 30 40 47 55 63 70 77 85 91 98 102
fm 0.171 0.165 0.159 0.153 0.146 0.140 0.128 0.115 0.103 0.090 0.078
Rmin 25 50 75 110 155 210 280 365 470 595 745
Ra 70.87 125.98 173.94 238.19 312.52 385.83 466.85 568.90 652.05 756.22 819.21
x1 0.0141 0.0079 0.0057 0.0042 0.0032 0.0026 0.0021 0.0018 0.0015 0.0013 0.0012
x2 0.0400 0.0200 0.0133 0.0091 0.0065 0.0048 0.0036 0.0027 0.0021 0.0017 0.0013
BINA MARGA
V
= V = 30 V = 40 V = 50 V = 60 V = 70 V = 80 V = 90 V = 100 V = 110 V = 120 V = 130
R (meter)
2 km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h
0
7000 PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN
5000 PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN PP
3000 PN PN PN PN PN PN PN PP PP PP 0.027
2500 PN PN PN PN PN PN PP 0.022 0.025 0.029 0.032
2000 PN PN PN PN PN PP 0.022 0.027 0.031 0.036 0.040
1500 PN PN PN PN 0.020 0.024 0.029 0.035 0.041 0.048 0.053
1400 PN PN PN PP 0.021 0.026 0.031 0.038 0.044 0.051 0.057
1300 PN PN PN PP 0.023 0.028 0.033 0.040 0.047 0.055 0.061
1200 PN PN PN PP 0.024 0.030 0.036 0.043 0.050 0.059 0.066
1100 PN PN PN 0.020 0.026 0.032 0.039 0.047 0.054 0.064 0.072
1000 PN PN PP 0.022 0.029 0.035 0.042 0.051 0.059 0.070 0.079
900 PN PN PP 0.025 0.032 0.039 0.046 0.056 0.065 0.076 0.087
800 PN PN 0.020 0.027 0.035 0.043 0.052 0.062 0.072 0.085 0.097
745 PN PP 0.022 0.029 0.038 0.046 0.055 0.066 0.077 0.090 0.100
700 PN PP 0.023 0.031 0.040 0.048 0.058 0.069 0.081 0.095
600 PN 0.020 0.027 0.035 0.045 0.055 0.066 0.079 0.092 0.100
500 PN 0.023 0.031 0.042 0.053 0.064 0.076 0.090 0.099
470 PN 0.025 0.033 0.044 0.055 0.067 0.080 0.093 0.100
400 PP 0.029 0.038 0.050 0.063 0.075 0.089 0.099
365 PP 0.031 0.041 0.054 0.067 0.080 0.093 0.100
350 PP 0.032 0.043 0.056 0.069 0.082 0.095
300 0.022 0.037 0.048 0.062 0.077 0.090 0.099
280 0.023 0.039 0.051 0.066 0.080 0.093 0.100
250 0.026 0.043 0.056 0.071 0.086 0.097
210 0.030 0.049 0.063 0.079 0.093 0.100
200 0.031 0.051 0.065 0.081 0.095
175 0.035 0.056 0.071 0.087 0.099
155 0.039 0.061 0.077 0.092 0.100
150 0.040 0.063 0.078 0.093
140 0.042 0.066 0.081 0.096 emaks = 10%
130 0.045 0.069 0.084 0.098
120 0.048 0.072 0.088 0.099 PN = Penampang Normal
115 0.049 0.074 0.089 0.100 PP = Penampang Putar
110 0.051 0.075 0.091 0.100
100 0.055 0.079 0.095
90 0.059 0.084 0.098
80 0.063 0.088 0.100
75 0.066 0.091 0.100
70 0.068 0.093
60 0.074 0.098
50 0.081 0.100
40 0.089
30 0.098
25 0.100
96
PENUTUP
o Tes formatif
1. Dasar apakah BM 1992 menetapkan desain koefisien gesekan
melintang?
2. Pentingkah nilai koefisien gesekan melintang digunakan dalam
penentuan kriteria desain untuk distribusi superelevasi?
o Tugas
Pada emaks = 10%, tentukan harga Rmin berdasarkan Metode Bina
Marga dan Metode ASSTHO untuk setiap kecepatan rencana.
97
BAB VIII
PERKULIAHAN KE : 10
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 10 ini akan membahas mengenai jarak pandangan
henti dan jarak pandangan menyiap.
2. TIK :
Mahsiswa dapat menjelaskan elemen-elemen jarak pandangan henti.
Mahasiswa dapat menjelaskan elemen-elemen jarak pandangan
menyiap.
3. Pokok Bahasan :
98
PENYAJIAN :
JARAK PANDANGAN
Umum
Kemampuan pengendara untuk melihat bebas kedepan sepenuhnya sangat penting
untuk keamanan dan efisiensi operasi kendaraan pada jalan raya. Untuk keamanan di
jalan raya, jarak pandangan yang cukup haruslah tersedia supaya pengendara dapat
mengontrol operasi kendaraannya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
pada lajur jalannya. Pada jalan dua-lajur, misalnya, haruslah tersedia cukup jarak
pandangan yang memungkinkan pengendara menempati lajur berlawanan arah untuk
melakukan penyiapan kendaraan tanpa terjadi risiko tabrakan. Pada jalan dua-lajur
antar kota, haruslah tersedia jarak pandangan menyiap pada interval-interval tertentu
secara proporsional sehubungan dengan panjang jalan.
99
Jarak pandangan henti ini, Tabel 10.1, dipergunakan sebagai kontrol dalam
menghitung panjang lengkung vertikal dimana tinggi mata pengemudi diperkirakan
1,080 m (3.5 ft) dan tinggi objek adalah 60 cm (2.0 ft).
Pengaruh Kelandaian
Apabila suatu jalan berada pada kelandaian, persamaan jarak pandangan haruslah
dimodifikasi sebagai berikut :
V2
d2
a
254 G
9.81
Dalam persamaan ini, G adalah kelandaian dalam percent dibagi 100. Jarak
pandangan henti ini lebih pendek pada jalan mendaki dibandingkan dengan jalan
datar dan lebih panjang pada jalan menurun.
100
Penyiapan dapat dilakukan dengan aman apabila pengendara dapat melihat jalan
cukup jauh kedepan pada lajur berlawanan arah dan mengizinkan pengendara dengan
waktu yang cukup untuk melakukan penyiapan dan kembali ke lajurnya tanpa
menyenggol kendaraan yang disiap dan tidak terjadi tabrakan atau hal lain yang tidak
diinginkan pada kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Jarak yang dibutuhkan
untuk melakukan maneuver ini adalah jarak pandangan menyiap. Jarak pandangan
menyiap minimum untuk perencanaan jalan dua-lajur ditentukan dengan
menjumlahkan beberapa jarak seperti terlihat pada Gambar 10.1 :
d1 = Jarak yang dilalui selama waktu persepsi dan reaksi dan percepatan awal
untuk pindah kelajur berlawanan arah.
d2 = jarak yang dilalui kendaraan yang melakukan penyiapan selama kendaraan
tersebut menempati lajur berlawanan.
d3 = jarak kendaraan yang melakukan penyiapan, pada akhir melakukan
maneuver penyiapan, dan jarak kendaraan yang mendatang pada lajur
berlawanan arah.
d4 = jarak yang dilalui kendaraan yang mendatang dari lajur berlawanan.
FASE PERTAMA
A
Kendaraan datang dari arah
1
d1 3 d2 berlawanan terlihat ketika
kendaraan yang akan menyiap
sampai di titik A
FASE KEDUA
1 2
3 d2 3 d2
d1 d2 d3 d4
101
at
d 1 0.278 t 1 v - m 1 .............
2
d 2 0.278 Vt 2
Dimana :
t1 = waktu initial maneuver, detik
a = rata-rata percepatan, km/jam/detik
v = rata-rata kecepatan kendaraan menyiap, km/jam
m = perbedaan kecepatan kendaraan menyiap dan kendaraan
yang disiap, km/jam
t2 = waktu menempuh lajur kanan, detik
Panjang bebas (clearance length) d 3, antara kendaraan yang melakukan penyiapan dan
kendaraan dari depan, diperoleh dari hasil studi, adalah berkisar 30 sampai 75 meter
dan secara praktis diperhitungkan seperti yang tertera pada Tabel 10.2.
Kendaraan yang mendatang dari arah berlawanan dianggap berjalan dengan kecepatan
yang sama dengan kendaraan yang melakukan penyiapan yaitu sebesar:
d 4 2/3 d 2
102
Nilai Desain
Kurva “Total” seperti terlihat pada Gambar 10.2 ditentukan dengan menjumlahkan
elemen d1 sampai d4. Tiap titik pada kurva memberi indikasi panjang jarak
pandangan menyiap minimum untuk kendaraan yang menyiap kendaraan lain, yang
berjalan dengan kecepatan lebih rendah 15 km/jam, dan berhadapan dengan
kendaraan dari depan dengan kecepatan yang sama. Kisaran kecepatan kendaraan
menyiap dan kendaraan disiap dipengaruhi oleh besarnya volume lalulintas. Diwaktu
volume lalulintas rendah, hanya sedikit jumlah kendaraan yang perlu disiap, tetapi
begitu volume lalulintas meningkat, apabila ada, hanya sedikit kesempatan untuk bisa
melakukan penyiapan. Dan untuk menentukan hubungan rata-rata kecepatan menyiap
dengan kecepatan desain pada desain jalan raya, kurva jarak pandangan ini digunakan
untuk menyatakan maksud tersebut. Asumsi kecepatan untuk kendaraan yang
melakukan penyiapan pada Tabel 10.2 mewakili kecepatan-kecepatan kendaraan pada
jalan dua-lajur dan pada kolom terakhir Tabel 10.2 adalah nilai desain untuk jarak
pandangan menyiap minimum.
1200
1000
Jarak Pandangan Menyiap (m)
800
Total d = d1 + d2 +d3 + d4
600
400
d2
d4
200
d1
d3
0
20 40 60 80 100 120 140
103
Tabel 10.3. Jarak Pandangan Menyiap untuk Desain Jalan Dua-Lajur
Kecepatan Asumsi Kecepatan (km/jam) Jarak Kendaraan Menyiap
rencana Kendaraan Kendaraan Dari Dibulatkan
(km/jam) Disiap Menyiap Gambar 3-2 utk desain
30 29 44 202 200
40 36 51 268 270
50 44 59 343 345
60 51 66 409 410
70 59 74 484 485
80 65 80 540 540
90 73 88 615 615
100 79 94 671 670
110 85 100 727 730
120 90 105 774 775
130 94 109 812 815
Untuk perhingan jarak pandangan menyiap, kendaraan standard yang dipakai adalah
mobil penumpang dengan tinggi mata pengemudi dipertimbangkan sebesar 1,08 meter
(3,5 feet) diatas permukaan jalan dan tinggi objek adalah juga 1,08 meter.
104
Tidak perlu mempertimbangkan jarak pandangan pada jalan yang mempunyai dua-
lajur atau lebih dalam tiap arahnya. Maneuver penyiapan pada jalan multilane
diperkirakan akan terjadi dalam batas lajur-lajur arah perjalanan kendaraan
pengendara. Jadi dilarang menyiap melintasi centerline dari jalan empat-lajur tidak
terbagi atau melintasi median jalan. Jalan multilane harus mempunyai jarak
pandangan henti yang cukup secara continous, dan diinginkan lebih besar dari jarak
pandangan henti minimum yang disyaratkan.
105
vertikal. Dan, buatlah garis sejajar dengan garis singgung tadi kearah bawah dengan
jarak 0,60 meter dan 1,08 meter. Perpotongan garis dengan jarak 1,08 meter dengan
lengkung vertikal merupakan tinggi mata pengendara dengan arah berbalik terhadap
titik station yang ditinjau, sebagai titik dasar untuk penentuan panjang jarak
pandangan henti dan panjang jarak pandangan menyiap.
Pada Gambar 10.3 bagian bawah didata jarak pandangan henti dan jarak pandangan
menyiap berdasarkan arah pengukuran, yang ditandai dengan arah anak panah. Jarak
pandangan yang lebih besar dari suatu angka tertentu misalnya lebih besar dari 500
meter, bisa ditulis 500+, atau tidak perlu diukur dan dicatat lagi pada gambar profil
karena mata pengendara telah memandang kearah jalan lurus (tangent).
106
alinemen apabila tidak praktis memindahkan penghalang untuk menyediakan jarak
pandangan yang cukup. Umumnya pada perencanaan lengkung horizontal, garis
pandangan adalah tali busur pada lengkung, yang diukur dari titik ke titik lain pada
centerline lajur jalan sebelah dalam, dan jarak pandangan diukur sepanjang busur
lajur jalan pada bagian dalam. Ordinat-tengah M, diturunkan berdasarkan gambar
geometris seperti yang terlihat pada Gambar 10.4 dalam bentuk persamaan 10-1.
Persamaan ini hanya digunakan pada lengkung lingkaran yang panjang lengkungnya
lebih panjang dari jarak pandangan untuk kecepatan rencana yang diinginkan.
M = R ( 1 - cos ( S /(2R))
M = R ( 1 - cos ( S/2R * 180/π))
28.65 S
M R 1 - cos . . . . . . ( 10 – 1 )
R
V = 130 km/jam
S = 285 m
V = 120 km/jam
S = 250 m
V = 110
km/jam
S = 220 m
V = 100
km/jam
S = 185 m
V = 90 km/jam
S = 160 m
V =80 km/jam
100 S = 130 m
V = 70 km/jam
S = 105 m
V = 60 km/jam
Gambar 10.4. Garis Pandang pada Lengkung Horizontal S = 85 m
V = 50 km/jam
V = 30 km/jam V = 40 km/jam S = 65 m
S = 35 m S = 50 m
V = 20 km/jam
S = 20m
10
0 5 10 15 20 25
Ordinat Tengah, M (m)
107
Gambar 10.5. Jarak Pandangan Henti pada Lengkung Horizontal.
Jarak pandang henti. Pada Gambar 10-5 diperlihatkan hubungan antara R, M dan V
untuk jarak pandang henti. Misalnya, dengan kecepatan rencana 80 km/jam pada
lingkaran dengan jari-jari 350 m, area bebas pandang dengan odinat tengah sebesar 6
meter, diukur dari tengah lajur sebelah dalam, dibutuhkan untuk jarak pandang henti.
PENUTUP
108
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif
1. Data apa yang diperlukan untuk menentukan jarak pandangan henti?
2. Pada desain yang bagaimanakah digunakan jarak pndangan menyiap?
o Tugas 10
Gambarkan batas garis pandang pada tikungan full circle dengan jari-jari Rc = 400 m.
Kecepatan rencana 60 km/jam, c = 77 o. Tugas dikumpulkan pada kuliah minggu
depan.
BAB IX
109
PERKULIAHAN KE : 11
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pada pertemuan ke 11 ini akan membahas mengenai alinemen
vertikal.
3. Pokok Bahasan :
Kecepatan kendaraan truk pada landaian
Landai maksimum
Lengkung vertikal simetris
Jarak pandang pada lengkung vertikal
cembung
Jarak pandang pada lengkung vertikal
cekung
PENYAJIAN :
110
ALINEMEN VERTIKAL
Gambar 11.1 . Kurva penurunan kecepatan - jarak untuk truk 120 kg/kW pada
tanjakan
111
Tabel 11.1 Kecepatan Rencana dan Landai Maksimum pada Jalan Arteri Antar-
Kota.
Type medan Landai maksimum (%) untuk kecepatan rencana (km/jam)
60 70 80 90 100 110 120 130
Datar 5 5 4 4 3 3 3 3
Bukit 6 6 5 5 4 4 4 4
Gunung 8 7 7 6 6 5 5 5
Sumber : AASHTO 2001
Sumber : BM 1992
Tabel 11.2 Landai Maksimum
V (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Landai maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber : BM 1997
112
vertikal harus sederhana (simple) untuk diaplikasikan dan memberikan keamanan dan
kenyamanan, indah penampilannya dan cukup baik untuk melewatkan air (dra inage).
Kontrol utama untuk keamanan dari lengkung vertikal cembung adalah cukup
tersedianya jarak padangan sehubungan dengan kecepatan rencana. Dianjurkan untuk
setiap lengkung vertikal harus didesain mempunyai paling sedikit jarak pandangan
henti, seperti tertera pada Tabel 10.1. Drainage pada lengkung vertical cekung pada
Gambar 11.2. tipe 3, perlu didesain untuk tidak mempunyai kelandaian lebih kecil
dari 0.5% pada sisi luar lengkung. Lengkung parabola dengan ekivalen sumbu
vertical pada titik VPI (Vertical Point of Intersection) umumnya digunakan pada
perencanaan lengkung vertikal.
+g2
+g1
-g1
VPI
A
Ev
+g1 -g2
VPC -g2
VPT
1
L 1
2 L Tipe 2
2
Tipe 1
-g2
-g1
-g2
-g1
+g1
113
Lengkung parabola ini, bila diukur dari sumbu vertikal melalui titik VPI, akan
memberikan nilai yang sama dalam arah sumbu X dan nilai yang sama pula pada arah
sumbu Y terhadap garis tangen (g1 dan g2). Perhatikan Gambar 11.3. dibawah ini.
Y +g2
VPI
Ev
Y
+g1 y
O
x X
1 1
2 L 2 L
d2y
C , C = Constanta
dx 2
dy
Cx C1
dx
dy
Pada x = 0 → g1
dx
g1 C.0 C1 → C 1 g1
dy
Pada x = L → g2
dx
g 2 g1
g 2 C .L g 1 → C
L
dy g 2 g1
Persamaan menjadi : x g1
dx L
g 2 g1 2
y x g1 x C 2
2L
114
}
Pada x=0
C2 0
y=0
g 2 g1 2
y x g1 x
2L
Untuk x ≤ ½ L
Maka, Y g1 x y
g 1 g 2 2
Y x
2L
o Contoh Perhitungan
Diketahui kecepatan rencana V = 40 km/jam
115
g1 = -7.5%, g 2 = +4.3%
Lv = 80 m
Elevasi pada VPC (Vertical Point Curve) atau BVCE (Before Vertical Curve Elevasi)
= + 95.324 m.
Hitung dan gambar elevasi lengkung ini dengan jarak 10m sepanjang lengkung.
o Jawab:
116
kenyamanan serta penampilan yang memuaskan. Panjang lengkung vertikal, L,
diturunkan dari persamaan dengan memperhatikan tinggi mata pengemudi h 1 = 1.080
m (3.5 ft), dan tinggi halangan h 2 = 0.600 m (2 ft) dengan jarak pandangan henti, S.
o Kondisi S < L
S = S1 + S2
Ev
h2
h1 -g2
s1 s2
+g1
1 1
2 L 2 L
2
AL 2 L
h1 : S1 :
8 2
2
L
h1 * 8
2 2h1 L
S1
AL A
Demikian juga :
2
L
h2 * 8
2 2h2 L
S2
AL A
S S1 S 2
2h1 L 2h2 L
S
A A
117
S2
2L
A
h1 h2 2 h1 h2
2L
A
h1 h2 2
Bila S < L :
AS 2
L
2 h1 h2 2
AS 2
L
658
o Kondisi S > L
Gambar 11.5. memperlihatkan situasi dimana S > L. Dalam hal ini garis pandangan
ad tidak sejajar dengan tali busur yang menghubungkan ujung-ujung akhir dari
lengkung parabola. Masalahnya adalah mencari kemiringan dari garis pandang yang
akan membuat jarak ad minimum. Misalkan, g adalah selisih antara gradient dari
garis pandangan dan gradient g1. Maka A-g adalah perbedaan antara garis pandangan
dengan gradient g2. Digunakan pula sifat berikut dari parabola; bila tangen pada
parabola ditarik diantara tangen-tangen utama, proyeksi horizontal dari bagian yang
dipotong dari tangen yang baru oleh tangen utama, sama dengan setengah dari
proyeksi horizontal dari tali busur dari parabola, yaitu proyeksi horizontal dari bc
118
sama dengan ½ L. Dari penjelasan diatas, S sama dengan jumlah dari proyeksi
horizontal dari jarak ab, bc, dan cd.
h1 L h2
S (A)
g 2 A g
dS h1 h2
2 0
dg g ( A g)2
Ah1 A h1 h2
g (B)
h1 h2
Bila S < L,
L 2S
2 h1 h2 2
658
L 2S
A
119
sebagai Lmin = 0.6V, dimana V adalah kecepatan rencana dalam km/jam
(Gambar 11.6.).
120
keseluruhan (general appearance). Jarak sinar lampu depan seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 11.7. Dengan mempelajari gambar-gambar ini, dapat diturunkan
hubungan praktis seperti dibawah ini.
AS 2
Bila S < L, S
400 3.5S
400 3.5S
Bila S > L, L 2S
A
121
dibulatkan dan Gambar 11.8. memperlihatkan dalam bentuk grafik nilai K untuk
berbagai kecepatan rencana.
122
Untuk penampilan yang baik, berdasarkan pengalaman biasanya diambil nilai K = 30,
dengan kecepatan rencana 80 km/jam.
PENUTUP
123
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif
1. Manakah yang lebih baik dipilih dalam perencanaan, lengkung vertikal
cembung yang panjang atau lengkung vertikal cembung yang minimum?
2. Pertanyaan yang sama bila lengkung vertikal cekung.
o Tugas 11
Rencanakan lengkung vertikal dengan data sesuai tugas besar yang diberikan pada
tiap mahasiswa.
BAB IX
124
PERKULIAHAN KE : 12
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
PENYAJIAN :
125
GALIAN DAN TIMBUNAN
LINGKUP PEKERJAAN.
Pekerjaan clearing and grubbing terdiri dari pekerjaan pembersihan seluruh tanaman,
pengeluaran/pencabutan tunggul/akar pohon, bambu, dan termasuk pengupasan
permukaan tanah. Stripping pada clearing and grubbing adalah 15 cm dibawah muka
tanah asli. Pada daerah timbunan dengan ketinggian 3 meter atau lebih, akar pohon
lebih kecil dari diameter 50 cm tidak perlu untuk dicabut kecuali pada kasus khusus.
Tiap jenis galian ini bisa terdiri dari galian biasa (common), galian berbatu (unsound
rock) dan galian batu/cadas (sound rock). Galian biasa termasuk didalamnya adalah
semua galian tanah, pasir dan boulder yang akan effektif digali dengan menggunakan
bulldozer. Galian berbatu adalah galian batu yang masih effektif dikeluarkan dengan
ripping bulldozer menggunakan hydraulic ripper sedangkan galian cadas, adalah
galian batu yang effektif dilakukan dengan menggunakan blasting. Penggunaan
blasting tidak boleh dilakukan tanpa izin dari Pengawas dan harus dilakukan oleh
personil yang berpengalaman tanpa merusak lingkungan, dan dengan penuh tanggung
jawab. Ukuran dari galian dan timbunan pada badan jalan dihitung dengan average
end area method. Dalam hal perhitungan galian tidak dapat dilakukan pada metode
diatas, maka volume galian yang ditempatkan pada timbunan, dapat dikonversikan
dengan voleme galian pada tanah asli. Sebagai contoh berikut dengan menggunakan
nilai C, S dan L pada Tabel 12.1.
126
Tabel 12.1. Nilai Konversi
Klasifikasi material C S L
Volume Timbunan
C
Volume Timbunan
S
Volume Timbunan
L
Nilai C, S dan L berhubungan dengan nilai bulk density dari material lepas tersebut,
karena perhitungan volume galian dan tibunan didasarkan pada gambar volume dan
galian pada tanah original sesuai gambar desain yang disetujui.
Tipe penampang melintang bisa berada pada daerah galian, daerah timbunan dan pada
daerah galian timbunan seperti terlihat pada Gambar 12-1 A, B dan C.
127
Gambar 12-1. Gambar Penampang Melintang
Perhitungan volume tanah pada pekerjaan galian dan timbunan, biasa dilakukan
Dengan metode average end area method, yaitu dengan mengambil rata-rata
luaskedua ujung penampang dari STA 1 dan STA 2, kemudian dikalikan dengan
jarak.
128
d = jarak STA 1 ke STA 2
y 0 y1 y 2 y 3 y y
A = 1 / 2 , , , ,...... n , 0
x 0 x1 x 2 x3 xn x0
A = 1 / 2 y 0 x1 y1 x 2 y 2 x` 3 .......y n x0 x0 y1 x1 y 2 x 2 y` 3 .......x n y 0
Titik (x 0,y0), terletak pada garis sumbu tengah (centre line), harus pada Muka Tanah
Rencana. Arah putaran harus tertutup, misalnya dari titik (x 0,y0) kembali tertutup di
titik (x 0,y0). Arah putaran pada kuadran I mengikuti arah jarum jam yaitu ke kanan,
sedangkan pada kuadran IV adalah ke kiri. Nilai x dan y selalu positif. Perjanjian
tanda ini akan menghasilkan luas negative untuk timbunan dan positif untuk galian.
129
Gambar 12-3. Gambar Penampang Melintang
Perhatikan Gambar 12-2. Penampang melintang ini pada daerah timbunan, koordinat
(0,0) yaitu pada titik 0, berada pada muka tanah rencana. Luas A1 pada kuadran I
diberi tanda putaran ke kanan dan Luas A2 pada kuadran ke IV arah putaran adalah
ke kiri. Satuan panjang adalah meter.
A = A1 + A2
A1 =½
A2 =½
= ½ [ (0 + 0 + 0 + 0) – ( 0 + 60 + 148)]
= ½ [ 0 – 208 ] = - 104
PENUTUP
130
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif :
o Tugas 12 :
Gambar dengan skala 1: 200 dan hitung luas penampang pada STA 0+000 dan luas
penampang di STA 0+050, data sesuai tugas besar yang diberikan pada tiap
mahasiswa. Tugas dikumpulkan minggu depan pada awal kuliah.
PERKULIAHAN KE : 13
131
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pada pertemuan ke 13 ini akan membahas mengenai Diagram massa sebagai
alat untuk mengestimasi perhitungan biaya pekerjaan tanah.
3. Pokok Bahasan :
Tabel perhitungan volume Cut and Fill
Diagram massa
Penggunaan diagram massa
Sifat-sifat diagram massa
Pemindahan tanah (haul dan over haul)
PENYAJIAN :
DIAGRAM MASSA
132
Diagram massa adalah grafik yang akan menjelaskan volume pergerakan tanah atau
“haul” yang diplot pada penampang melintang, diatas atau dibawah profile
(penampang memanjang), dengan skala yang sama, dimana proyeksi STA diplot pada
sumbu X diagram massa. Sumbu menyatakan Volume. Galian (cut) dengan tanda
positif dan timbunan (fill) dengan tanda negative.
Perhitungan cut and fill diperlihatkan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 13.1.
Kolom terakhir menunjukkan kumulatif volume galian yang akan digunakan untuk
menggambar grafik diagram massa, seperti pada Gambar 13.1.
o Diagram massa
25000
20000
Tabel 13.1. Tabel Diagram Massa Galian
15000
Galian Timbunan
10000
5000
0
133
-5000
-10000
0+000 0+100 0+200 0+300 0+400 0+500
Gambar 13.1 Diagram Massa
o Sifat-sifat diagram massa
b) Garis horizontal menunjukkan garis balance antara dua station pada garis
perpotongan tersebut, galian sama dengan timbunan.
c) Titik potong area galian dan area timbunan pada profile, merupakan titik
maksimum dan minimum pada diagram massa.
PENUTUP
134
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.
o Tes formatif :
o Tugas 13 :
Berdasarkan basic price yang berlaku akhir-akhir ini buatlah analisa harga satuan
untuk pekerjaan galian tanah biasa dan timbunan pilihan pada proyek pekerjaan jalan
BAB X
135
PERKULIAHAN KE : 14
PENDAHULUAN :
4. Deskripsi Singkat:
PENYAJIAN :
136
GEOMETRIK PERSIMPANGAN
SIMPANG SEBIDANG
137
Bentuk-bentuk Kanal
138
SIMPANG TIDAK SEBIDANG
139
Gambar 14-2. Bentuk-bentuk Simpang Tidak Sebidang
140
Kemampuan untuk mengakomodasikan volume lalulintas yang tinggi secara aman,
effisien sangat tergantung pada pengaturan yang ada pada pertemuan lalulintan yang
berpotongan. Dan yang paling effisien, aman serta dapat mencapai kapasitas adalah
penggunaan graded separated atau interchange. Interchange bervariasi dari single
ramps yang menghubungkan jalan lokal sampai pada komprehensif lay out yang
melibatkan dua atau lebih jalan raya.
Illustrasi yang lain dari simpang tak sebidang (interchange) adalah menurut referensi
AASHTO 2001, A Policy on Geoetric Design of Highway and Street. Dasar dari
konfigurasi interchange dapat dilihat pada Gambar 14-3. Setiap konfigurasi dapat
sangat berbeda dalam bentuk, lingkup dan banyak konfigurasi yang sulit untuk diberi
nama yang tepat.
Gambar 14-3A adalah trumpet interchange, sesusai dengan bentuknya yang seperti
terumpet. Gambar 14-3B adalah three-leg-interchange. Dengan ramps dalam satu
kuadran, pada Gambar 14-3C, adalah kurang cocok untuk system freeway, tapi sangat
praktis untuk interchange antara jalan utama dan parkway. Desain ini cocok untuk
parkways karena untuk kecepatan rencana rendah, tidak untuk large trucks, dan
mudah melakukan gerakan berputar. Tipe diamond interchange diilustrasikan pada
Gambar 14-3D. Diamond interchange memiliki banyak konfigurasi yang
menggabungkan frontage roads (jalan samping) dan jalan kolektor yang menerus.
Gambar 14-3E adalah single point urban interchange (SPUI). SPUI ini adalah bentuk
dari diamond interchange dengan single signalized intersection, dimana interchange
ini memanfaarkan all left turn. Sedangkan all right turns yang masuk atau keluar dari
ramp, umumnya adalah free flow. Gambar 14-3F memperlihatkan partial cloverleaf
loop dengan dua cloverleaf loops dan dua diagonal ramps. Gambar 14-3G
memperlihatkan full cloverleaf intercahange, dan Gambar 14-3H memperlihatkan
fully directional interchange.
141
Sumber AASHTO 2001
142