Anda di halaman 1dari 140

Daftar Isi

Bab Halaman

Lembar Pengesahan ............................... i


Kata Pengantar ............................... ii
Daftar Isi ............................... iii
I. TINJAUAN MATAKULIAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
II. PERKULIAHAN KE : 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
PERKULIAHAN KE : 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
III. PERKULIAHAN KE : 3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
IV. PERKULIAHAN KE : 4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
PERKULIAHAN KE : 5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
V. PERKULIAHAN KE : 6 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57
VI. PERKULIAHAN KE : 7 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 69
PERKULIAHAN KE : 8 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 74
VII. PERKULIAHAN KE : 9 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 84
VIII. PERKULIAHAN KE : 10 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89
IX. PERKULIAHAN KE : 11 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 101
PERKULIAHAN KE : 12 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 114
PERKULIAHAN KE : 13 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123
IX. PERKULIAHAN KE : 14 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127

/conversion/tmp/scratch/517738687.doc

BAB I
TINJAUAN MATAKULIAH

Tujuan Instruksional Umum (TIU) mata kuliah Perencanaan Geometrik Jalan adalah:

PADA AKHIR KULIAH MAHASISWA MAMPU MENDESAIN


GEOMETRIK JALAN RAYA iii
Kemampuan mendesain geometrik jalan akan dibuktikan dan dinilai dengan
keberhasilan mahasiswa, mampu menyelesaikan “TUGAS PERENCANAAN
GEOMETRIK JALAN”, sehingga “selesai tugas” menjadi syarat lulus matakuliah
ini. Jumlah pertemuan (kuliah) direncanakan sebanyak 14 kali, dimana pada 13 kali
pertemuan awal, akan lebih banyak menjelaskan materi yang berhubungan dengan isi
tugas sedangkan 1 kali pertemuan terakhir, akan diperkenalkan mengenai bentuk
geometrik dari intersection (persimpangan) dan interchange (persilangan).
Perencanaan geometrik jalan, merupakan bagian dari kegiatan perencanaan jalan raya
secara keseluruhan, dimana mencakup perencanaan tebal perkerasan (flexible
pavement atau rigid pavement), drainase (surface dan sub-soil drainage) , slope
stability, bangunan struktur penahan tanah, jembatan, persimpangan, lampu jalan,
traffic light, parkir, marka dan rambu lalulintas, dan bangunan pelengkap lainnya..
Tugas perencanaan geometrik, paling lambat sudah harus selesai dan dilaporkan
kepada koordinator tugas sehari sebelum ujian semester dimulai. Assisten Tugas
adalah dosen pengajar mata kuliah sesuai dengan kelas yang diikuti. Selama masa
ujian semester tidak ada lagi pelayanan (assistensi) tugas karena sangat mengganggu
mahasiswa dalam persiapannya menghadapi ujian semester.
Pengambilan peta dan formulir tugas yang disiapan oleh koordinator tugas, sudah
harus sesegera dilakukan pada awal perkuliahan. Isi tugas selain dari perhitungan dan
penggambaran elemen-elemen alinemen horizontal dan vertikal jalan, juga
perhitungan galian dan timbunan dan gambar diagram massa. Isi tugas akan dianggap
lengkap bila disertai dengan perencanaan drainase saluran samping (side ditch).

BAB II

PERKULIAHAN KE : 1

iv
PENDAHULUAN :
1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pendahuluan ini akan memperkenalkan mahasiswa tentang tahapan
kegiatan pekerjaan perencanaan jalan, dimana didalamnya termasuk kegiatan
perencanaan geometrik jalan dan mahasiswa perlu mengenal elemen-elemen
penampang melintang jalan sebelum masuk pada materi perkuliahan selanjutnya.
2. TIK :
 Mahasiswa dapat menguraikan tahapan kegiatan pekerjaan
perencanaan geometrik jalan.
 Mahasiswa dapat mejelaskan penampang melintang jalan antar
kota dan jalan dalam kota dalam bentuk gambar tipikal
3. Pokok Bahasan :
 Kegiatan pekerjaan perencanaan jalan
 Potongan melintang jalan

4. Referensi :
a) AASHTO (2001), A Policy on Geometric Design of Highways and Streets,
Washington DC.
b) Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Manual Kapasitas Jalan Indonesia,
Sweroad – PT. Bina Karya.
c) Direktorat Jenderal Bina Marga (1997), Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota.
d) Direktorat Jenderal Bina Marga (1992), Standar Perencanaan Geometrik
untuk Jalan Perkotaan.
e) Hickerson, Thomas F. (1964), Route Location and Design, 5th edition,
McGraw-Hill Company.

PENYAJIAN :

KEGIATAN PERENCANAAN JALAN

Plannig and design process biasanya terdiri dari beberapa urutan tahapan atau phase.
Kebutuhan akan suatu rute jalan (jalan baru) ditetapkan, dan gambaran awal dari link
ditentukan seperti terminal points, titik kontrol, kelas fungsi dan kelas medan jalan,

v
volume lalulintas dan kecepatan rencana. Terminal points adalah titik awal dan titik
akhir perencanaan, sedangkan yang dimaksud dengan titik kontrol adalah daerah atau
lokasi yang layak atau tidak layak untuk dilintasi. Titik kontrol bisa berupa suatu
lokasi tertentu (misalnya lokasi jembatan) atau areal tataguna-lahan tertentu bahkan
bisa berupa suatu kota. Titik kontrol juga bisa berupa areal dengan struktur mekanika
tanah, struktur geologi yang layak dilintasi jalan. Tahapan berikutnya adalah
menetapkan lokasi dari rute jalan. Lokasi rute biasanya dipilih dari beberapa
alternatif dalam koridor dengan memperhatikan titik-titik kontrol dan pertimbangan-
pertimbangan lain yang dianggap perlu.
Setelah pemilihan preliminary lokasi rute, jalan sudah bisa didesain. Hal ini
umumnya mencakup perencanaan alinemen horizontal dan vertikal yang specify (
secara iteratif), perhitungan cut and fill, perencanaan struktur dan mutu material,
slope stability, drainase, perhitungan kuantitas dan biaya. Laporan akhir biasanya
berupa gambar desain dan spesifikasi.

Tahapan Kegiatan Perencanaan


Tahapan kegiataan perencanaa jalan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Reconnaissance survey
2. Survey dan Investigasi Lapangan
3. Perhitungan Perencanaan
4. Staking out dan Final Design

Gambar 1.1 memperlihatkan diagram alir tahapan kegiatan perencanaan.


Pemetaan dilakukan dengan bantuan alat ukur atau dengan bantuan photo udara. Peta
topografi dengan skala 1:5000 dengan garis kontur interval 5 meter merupakan peta
dasar untuk kegaitan roconaissance survey (survey pendahuluan) dan untuk seleksi
preliminary dan final lokasi rute jalan. Penetapan lokasi rute jalan adalah bagian yang
sangat penting dalam proses desain. Keputusan ini tidak hanya menentukan biaya dan
operasional yang effisien, tapi juga pengaruh negatif pada komunitas dan linkungan
disekitarnya. Keterlibatan specialis dalam bidang ekonomi, social, lingkungan dan
ekologi seringkali menjadi persyaratan untuk ikut berperan dalam team perencana.
Alternatif-alternatif alinemen diplot pada peta dasar ini. Penggunaan photogrammetry
dan operasi komputer sangat menghemat biaya dan waktu perencanaan terutama pada
proyek-proyek yang berskala besar. Untuk final design, penambahan peta diperlukan.
vi
Preliminary alignment pada peta dasar merupakan petunjuk untuk strip area yang
akan dipetakan kembali. Peta dengan skala 1:1000 atau 1:2000 dengan interval garis
kontur 1 meter umunya digunakan. pada perencanaan geometrik jalan.
Pemetaan lebih rinci diinginkan untuk lokasi tertentu seperti lokasi jembatan, gorong-
gorong, intersection, interchange, penahan tanah, dan bangunan strukur lainnya.

Lingkup Pekerjaan Perencanaan Geometrik


Pekerjaan perencanaan geometrik umumnya mencakup tahapan sebagai berikut :
1. Pengadaan peta dasar skala 1 : 5000
2. Identifikasi lokasi rute jalan
3. Penetapan kriteria perencanaan
4. Penetapan alinemen horizontal dan vertikal yang optimal
5. Pengadaan peta topografi (strip-area) interval kontur 1 meter skala
1:1000 atau 1:2000
6. Perhitungan detail alinemen horizontal dan gambar denah (plan)
7. Perhitungan detail alinemen vertikal dan gambar profil
8. Penggambaran penampang melintang skala 1:100 atau 1: 200
9. Perhitungan galian dan timbunan dan gambar diagram massa.
10. Penyusunan laporan akhir.
Perhitungan dan penggambaran akhir-akhir ini dilakukan dengan menggunakan
bantuan program komputer, sehingga perhitungan akan semakin teliti dan semakin
cepat (AutoCad).

vii
Pengukuran
Topografi &
Penggambaran

Reconnaissance Survey dan Survey Hidrologi Perhitungan Perhitungan Staking out


survey Investigasi & Drainase Perencanaan, Volume & Biaya Centreline dan
Lapanangan Gambar & Spec Laporan FED

Survey Tanah &


Material

Gambar 3-1. Diagram Alir Kegiatan Perencaanaan Jalan

8
POTONGAN MELINTANG

Potongan melintang (Gambar 1.2) umumnya terdiri dari:


1. Jalur lalulintas (traveled way/carriage way)
2. Lajur lalulintas (lane)
3. Bahu (shoulder)
4. Badan Jalan (roadway)
5. Saluran samping (side ditch)
6. Daerah milik jalan (Right of way)

Pada kondisi tertentu potongan melintang bisa terdapat:


1. Trotoar (side walk)
2. Kerb (curb)
3. Median
4. Jalur tepian (marginal strip)
5. Lajur henti/ Parkir
6. Jalur samping (frontage road)
7. Pemisah luar (Outer separator)
8. Jalur sepeda (bike way)
9. Jalur hijau (planted strip)
10. Pagar pengaman (guardrail)
11. Lajur pendakian (climbing lane)
12. Lereng (slope)

Jalur Lalulintas
Jalur lalulintas (travaled way) bisa terdiri dari satu atau beberapa lajur lalulintas.
Lebar lajur (lane) umumnya ditetapkan berdasarkan kecepatan rencana yaitu
berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan perjalanan, sedangkan lebar jalur
(traveled way) atau jumlah lajur didasarkan pada volume lalulintas. Untuk kecepatan
rencana 60-100 km/jam lebar lajur adalah 3,50 meter. Untuk kecepatan rencana 40-50
km/jam dan kecepatan rencana ≤ 30 km/jam berturut-turut adalah 3,25 meter dan 3,00

9
meter. Pada jalan dengan kecepatan dan volume lalulintas yang tinggi umumnya lebih
dikehendaki lebar lajur sebesar 3,75 meter.
Badan Jalan
Badan jalan (roadway) adalah bagian dari jalur lalulintas termasuk bahu. Pada jalan-
jalan dalam kota, lebar jalur bervariasi terutama menurut volume lalulintas yang
dilayani dan kelasifikasi fungsi. Lebar jalur lalulintas jalan lokal pada daerah
perdagangan bervariasi antara 9 sampai 10,5 meter cukup untuk memberikan
pergerakan yang aman untuk lalulintas satu lajur satu arah, dimana diharapkan
muncul areal parkir kendaraan disisi jalan. Tabel I.1 sampai dengan Tabel I.4
memperlihatkan lebar lajur dan jalur berdasarkan kriteria desain yang diinginkan
sebagaimana juga lebar bahu.

Bahu
Bahu jalan adalah diperlukan untuk memberikan keamanan operasi pengendara dan
memberikan tambahan ruang gerak effektif ketika pengendara berjalan dipinggir
perkerasan jalan. Bahu haruslah cukup lebar untuk mengizinkan kendaraan keluar
dari perkerasan (jalur jalan) dan berhenti atau pada lalulintas semakin padat bahu
dapat digunakan untuk lalulintas sebagai tindakan darurat. Dalam hal ini bahu selebar
2,50 sampai 3,25 m adalah diinginkan. Pada medan dimana guardrails dipasang,
penambahan lebar bahu perlu untuk dipertimbangkan. Umumnya guardrail dipasang
sebagai tanda bahaya pada daerah timbunan yang tingginya lebih besar dari 2,50 m.

Lereng (Slope)
Lereng yang turun dari tepi bahu ke saluran samping disebut sideslope atau sering
juga disebut foreslope sedangkan lereng dari tepi saluran naik keatas disebut back-
slope. Foreslope dan backslope bisa bervariasi sepanjang jalan. Foreslope dengan
kemiringan 1 : 6 (1 vertikal : 6 horizontal) atau lebih datar lagi dapat dikatakan aman
bagi kendaraan dan sebaiknya disediakan dimana praktisnya. Slope dengan
kemiringan 1 : 6 pada daerah timbunan dengan sedikit ekstra mahal umunya bisa
disediakan sampai pada ketinggian 4,50 meter. Pada daerah timbunan yang tinggi ( >
6 meter ) slope yang lebih tajam digunakan. Alternatif kemiringan adalah 1 : 4 , atau
kemiringan lebih tajam lagi sampai 1 : 1,5 digunakan untuk alasan ekonomis.

10
Kemiringan back-slope daerah galian bisa bervariasi dari 6 : 1 pada daerah batuan
cadas sampai dengan 1 : 1,5 pada tanah normal.
BM 1992, Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, (Tabel 5.3
halaman 14), menentukan lebar lajur lalulintas berdasarkan kelas perencanaan dan
diperlihatkan pada Tabel I.1. Pada tabel ini dilengkapi dengan lebar minimum
median.
MKJI 1997, (halaman 6-26) mendefinisikan tipe penampang melintang yang
digunakan untuk maksud perhitungan kapasitas dan kinerja lalulintas jalan antar kota,
seperti terlihat pada Tabel 1.2.

BM 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, (Tabel 1I.7 halaman
16) menentukan lebar jalur (traveled way) berdasarkan kelas fungsi jalan dan volume
LHR (Lalulintas Harian Rata-rata). Tabel 1.3 memperlihatkan lebar jalur pada kondisi
ideal dan kondisi minimum.

BM 1992, Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan (Tabel 5.6


halaman 16) memberikan standar lebar bahu luar pada jalan dengan trotoir atau tanpa
trotoir dan lebar bahu berdasarkan kelas perencanaan jalan (Tabel 1.4).

MKJI 1997 (halaman 6-26), untuk maksud perhitungan kapasitas dan kinerja jalan,
mendefinisikan lebar bahu luar pada jalan antar kota pada type jalan tidak terbagi
(UD) adalah sebesar 1,50 meter untuk medan datar dan bukit dan 1,00 meter untuk
medan gunung. Dan pada jalan terbagi (D) lebar bahu luar adalah sebesar 1,75 meter
untuk medan datar dan bukit 1,25 meter untuk medan gunung. Khusus untuk jalan
terbagi (4/2 D dan 6/2 D ) lebar bahu dalam adalah sebesar 0,25 meter. (Tabel 1.2).

Pada jalan dalam kota, MKJI 1997 (halaman 5-26) mendefinisikan lebar bahu luar
pada jalan tidak terbagi maupun terbagi adalah sebesar 1,50 meter dan khusus untuk
jalan terbagi (4/2 D dan 6/2 D) lebar bahu dalam adalah sebesar 0,50 meter.

BM 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, (halaman 16)
menetapkan lebar bahu berdasarkan kelas fungsi jalan dan berdasarkan volume LHR

11
(Lalulintas Harian Rata-rata). Tabel 1.3 memperlihatkan lebar bahu pada kondisi
ideal dan kondisi minimum.
Tabel 1.1 Lebar Lajur Lalulintas dan Lebar Median

Lebar Lajur Lebar Minimum Median (m)


Kelas Perencanaan
Lalulintas (m) Standar Khusus
Tipe I Kelas 1 3,50 2,50 2,50
Kelas 2 3,50 2,00 2,00
Tipe II Kelas 1 3,50 2,00 1,00
Kelas 2 3,25 2,00 1,00
Kelas 3 3,25 , 3,00 1,50 1,00
Sumber Bina Marga 1992 – halaman 14.

Tabel 1.2 Definisi Penampang Melintang Jalan Antar Kota MKJI 1997

Lebar Bahu (m)


Tipe Jalan Kelas Jarak Lebar
Luar Dalam
Pandang Jalur
Datar Bukit Gunung
(m)
2/2 UD-5 B 5,0 1,50 1,50 1,00
2/2 UD-6 B 6,0 1,50 1,50 1,00
2/2 UD-7 B 7,0 1,50 1,50 1,00
2/2 UD-10 B 10,0 1,50 1,50 1,00
4/2 UD-12 B 12,0 1,50 1,50 1,00
4/2 UD-14 B 14,0 1,50 1,50 1,00
4/2 D-12 A 12,0 1,75 1,75 1,25 0,25
4/2 D-14 A 14,0 1,75 1,75 1,25 0,25
6/2 D-21 A 21,0 1,75 1,75 1,25 0,25
Sumber MKJI 1997 - halaman 6-26.

12
Tabel 1.3. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan (Jalan Antar Kota)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL


LHR
(Tot 2 arah) Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

smp/hari Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
jalur bahu jalur (m) bahu jalur (m) bahu jalur bahu jalur bahu jalur bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)

< 3000 6,0 1,5 4,5 1,5 6,0 1,5 4,5 1,5 6,0 1,0 4,5 1,0

3000 7,0 2,0 6,0 2,0 7,0 2,0 6,0 2,0 7,0 1,5 6,0 1,0
-10000

10000- 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -


25000

>25000 2n x 3,5 *) 2,5 2 x 7,0 *) 2,0 2n x 3,5 2,5 **) **) - - - -

Sumber Bina Marga 1997 – halaman 16

Keterangan :
**) = Mengacu pada persyaratan ideal
*) = 2 jalur terbagi, masing-masing nx3,5, dimana n = jumlah lajur per jalur
- = Tidak ditentukan

13
14
Tabel 1.4. Lebar Minimum Bahu Jalan (Jalan Dalam Kota)

Lebar bahu Kiri/Luar (m)


Tidak ada Trotoar
Lebar bahu
Kelasifikasi
Standar Pengecualian Lebar yang Kanan/Dalam
Ada Totoar
Perencanaan
Minimum Minimum Diinginkan (m)
Tipe I Kelas 1 2,00 1,75 3.25 1,00
Kelas 2 2,00 1,75 2.50 0,75
Tipe II Kelas 1 2,00 1,50 2.50 0.50 0,50
Kelas 2 2,00 1,50 2.50 0.50 0,50
Kelas 3 2,00 1,50 2.50 0.50 0,50
Kelas 4 0.50 0.50 0.50 0.50 0,50
Sumber Bina Marga 1992 – halaman 16

15
ROW 40.00

5.00 15.00 15.00 5.00

CL

ROW
0.60
ROW

2.50 3.50 3.50 2.50

0.15 0.15 0.15 pe


Fore s lope
s lo
1:4 ck
Ba
1:4
Ba hu La jur La jur Ba hu
S a lura n Sa mping
J a lur

Gambar 3-2. Tipikal Penampang Jalan Antar Kota (2/2 UD-7)

16
0.50 2.00 0.50

2.00 2.50 2.00 2 x 3.50 2 x 3.50 2.00 2.50 2.00

Ke rb Ke rb

Ba hu Da la m Ba hu Da la m
Trotoa r

Trotoa r
J a lur J a lur
Hija u Ba hu J a lur La lulinta s Me dia n J a lur La lulinta s Ba hu Hija u

Gambar 3-3. Tipikal Penampang Jalan Perkotaan (4/2 D-14)

17
PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Data apa yang diperlukan untuk menentukan lebar lajur?
2. Data apa yang diperlukan untuk menentukan jumlah lajur?

o Tugas 1
Gambarkan penampang tipikal untuk jalan antar kota 2/2 UD-7 dan 4/2 D-12
Gambarkan penampang tipikal untuk jalan dalam kota 2/2 UD-7 dan 4/2 D-12
Tugas 1 dimasukkan minggu depan pada kuliah ke-2

18
PERKULIAHAN KE : 2

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Kuliah pada pertemuan ke 2 ini akan membahas mengenai kelasifikasi jalan dan
karakteriktik lalulintas sebagai kriteria untuk optimasi pada perencanaan geometrik
jalan yaitu kecepatan rencana, volume lalulintas dan kendaraan rencana.

2. TIK : Mahasiswa dapat menjelaskan batasan-batasan dan


kriteria perencanaan
3. Pokok Bahasan :
 Batasan-batasan perencanaan
 Kriteria desain
 Klasifikasi jalan
 Kecepatan rencna
 Klasifikasi medan
 Volume dan kapasitas jalan
 Kendaraan rencana

19
PENYAJIAN :

BATASAN BATASAN PERENCANAAN

Perencanaan geometrik jalan raya sangat dipengaruhi oleh berbagai batasan-batasan


sebagai kontrol dan kriteria perencanaan. Batasan-batasan tersebut mencakup :

o Kelasifikasi Jalan yang akan direncanakan


o Volume dan komposisi lalulintas
o Karakteristik kendaraan
o Kecepatan Rencana
o Topografi
o Biaya dan tersedianya dana
o Sifat-sifat pemakai jalan (pengedara, pejalan kaki)
o Pertimbangan keamanan
o Dampak sosial dan lingkungan

Batasan-batasan ini saling berkaitan. Kelasifikasi fungsi suatu jalan sangat ditentukan
oleh volume dan komposisi lalulintas yang dilayani. Pemilihan kecepatan rencana
suatu jalan terutama dipengaruhi oleh bentuk topografi, dan kelas fungsi jalan
sementara biaya harus diperhitungakan dengan dana yang tersedia serta dampak
sosial dan lingkungan. Sekali kecepatan rencana dipilih, maka elemen-elemen desain
bisa ditetapkan berdasarkan kemampuan pemakai jalan dan karakteristik kendaraan.
Pada prinsipnya kriteria perencanaan jalan adalah kecepatan rencana, volume
lalulintas, karakteristik phisik kendaraan yang akan menggunakan jalan tersebut. Pada
pertemuan pendahuluan ini akan dijelaskan secara umum mengenai kriteria desain:

o Kelasifikasi Jalan
o Kecepatan Rencana
o Volume lalulintas
o Kendaraan rencana

20
KELASIFIKASI JALAN

Kelasifikasi jalan raya dibedakan menurut lokasi (kawasan), fungsi, sistem


pembebanan, perencanaan geometrik, pengaturan jalan masuk (acces control),
wewenang pembinaan jalan, sebenarnya hal ini adalah untuk mempermudah
komunikasi antar perencana, pembina, pelaksana jalan dan masyarakat umum.
Kelasifikasi-klasifiksi ini digunakan saling berkaitan untuk maksud tertentu baik di
daerah perkotaan (urban area) maupun daerah luar/antar kota (rural area).

o Kelasifikasi menurut kawasan terbagi atas:


a. Jalan Dalam Kota / Jalan Perkotaan (Urban Roads) --- Jalan Sekunder
b. Jalan Antar Kota (Rural Roads / Inter Urban Roads) --- Jalan Primer
c. Jalan Khusus

Jalan khusus adalah jalan di areal khusus seperti areal pertambangan, pertanian atau
industri dimana biasanya beroperasi kendaraan-kendaraan khusus. Jalan toll
(motorways) juga diklasifikan sebagai jalan khusus, dimana kendaraan tertentu
seperti sepeda motor, kendaraan beroda tiga dan kendaraan tidak bermotor tidak
diizinkan menggunakan jalan ini. Jalan toll dikhususkan untuk kendaraan dengan
kecepatan tinggi dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.

o Kelasifikasi menurut fungsi terbagi atas:


a) Jalan Arteri (Arterial Highway)
b) Jalan Kolektor (Collector Road)
c) Jalan Lokal (Local Road)

Kelasifikasi fungsi didasarkan pada sifat pelayanan yang diberikan bagi lalulintas
yang menggunakan jalan tersebut. Jalan arteri adalah jalan dengan standard tinggi
dalam melayani lalulintas dengan kecepatan rata-rata tinggi dengan ciri-ciri
perjalanan jauh. Jalan kolektor adalah jalan yang melayani lalulintas dengan
kecepatan rata-rata sedang dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, dan jalan lokal

21
adalah jalan yang melayani lalulintas dengan kecepatan rata-rata rendah dengan ciri-
ciri perjalanan jarak dekat.

o Kelasifikasi menurut sistem pengaturan jalan masuk


Berdasarkan sistem pengaturan jalan masuk, jalan dibagi menjadi dua tipe yaitu :
Tipe I : Pengaturan jalan masuk secara penuh (full acces control)
Tipe II : Sebagian antau tanpa pengaturan jalan masuk (partial acces control)

o Kelasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Kelasifikasi menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No. 26/1985 adalah :
a) Jalan Nasional
b) Jalan Propinsi
c) Jalan Kabupaten/Kotamadya (Kota)
d) Jalan Desa
e) Jalan Khusus.
Pengaturan jalan secara penuh artinya pilihan fasilitas diberikan kepada lalulintas
menerus (through traffic) secara penuh, dengan menyediakan jalan masuk (ramps)
untuk kendaraan tertentu (misalnya tidak untuk kendaraan roda-dua, roda-tiga,
kendaraan tidak bermotor) dan tidak boleh ada persimpangan sebidang.
Pengaturan jalan masuk secara sebagian artinya, pilihan fasilitas diberikan kepada
lalulintas menerus secara sebagian. Jalan masuk bisa dengan persimpangan sebidang
atau dengan tidak sebidang (grade separation). Tabel 2-1 memperlihatkan kaitan
antara sistem pengaturan jalan masuk dan kawasan.

Tabel 2-1. Kelasifikasi Jalan Menurut Sistem Pengaturan Jalan Masuk


Tipe Pengatruran Jalan Masuk Antar Kota Perkotaan
I Penuh Jalan Bebas Hambatan Jalan Bebas Hambatan
II Sebagian atau Tanpa Jalan Antar Kota Jalan Perkotaan

o Kelasifikasi menurut Kelas Perencanaan Jalan


Kelasifikasi perencanaan berhubungan erat dengan kelasifikasi fungsi dimana
kriteria-kriteria perencanaan ditetapkan. Bina Marga 1992 (Standar Perencanaan

22
Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, Dirjen Bina Marga 1992), menguraikan kelas
perencanaan jalan seperti Tabel 2-2 dibawah ini.

Tabel 2-2. Kelasifikasi Jalan Menurut Kelas Perencanaan

Tipe Kelas Acces Lalulintas Kec Rencana Volume Jlh Lajur


(km/jam)
1 Penuh Antar Kota 100, 80 Tinggi 4 atau lebih

I 2 Penuh Antar/Dalam Tinggi/ 2, 4 atau lebih


80, 60
Kota Sedang
1 Sebagaian Antar/Dalam Tinggi 4 atau lebih
60
Kota
2 Sebagian/ Antar/Dalam 60, 50 Tinggi/ 2, 4 atau lebih
II
Tanpa Kota Sedang
3 Tanpa Dalam Kawasan 40, 30 Sedang 2 atau lebih
4 Tanpa Acces Ke Lahan 30, 20 Rendah 1
Sumber : Bina Marga 1992 (Halaman 11 dan 71)

KELASIFIKASI MEDAN DAN TIPE ALINEMEN

Kelasifikasi medan sehubungan dengan topografi atau area sepanjang yang dilalui
rute jalan didefinisikan sebagai kemiringan medan tegak lurus garis kontur.
Kelasifikasi medan seperti yang terlihat pada Tabel 2-3 berikut ini :

Tabel 2-3. Kelasifikasi Medan

Tipe Medan Kemiringan ( % )

Datar <10

Bukit 10-25

Gunung > 25

Sumber : MKJI 1997- halaman 6-9

Penjelasan mengenai sifat alinemen sepanjang area jalur jalan didefinisikan sebagai
total tanjakan dan turunan (rise plus fall, m/km) dan total ketajaman tikungan
(horizontal curvature, rad/km) untuk suatu segmen jalan. MKJI 1997 mendefinisikan
istilah tipe alinemen, untuk maksud analisa kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan
antar kota, seperti yang tertera pada Tabel 2-4.

23
Tabel 2-4. Tipe Alinemen
Lengkung Vertikal Lengkung Horizontal
Tipe Alinemen
rise + fall (m/km) (rad/km)

Datar < 10 < 1,0

Bukit 10 -30 1,0 - 2,5

Gunung > 30 > 2,5

Sumber : MKJI 1997

KECEPATAN RENCANA
Kecepatan rencana (Vd), pada suatu ruas jalan adalah kecepatan aman maksimum
yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik. Kecepatan ini dapat dipertahankan
untuk kendaraan yang memasuki tikungan pada kondisi cuaca cerah, lalulintas
lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti dan pada kondisi permukaan
jalan yang baik. Kecepatan rencana umunya ditentukan dengan interval selisih 10
km/jam yaitu 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100, 110 dan 120 km/jam. Kecepatan
rencana biasanya ditetapkan berdasarkan kelas fungsi jalan dan kelas medan jalan.
Sekali menetapkan kecepatan rencana, maka semua elemen jalan harus direncanakan
sesuai dengan kecepatan rencana yang sudah ditetapkan. Tabel 2-5 memperlihatkan
hubungan antara kecepatan rencana, kelas fungsi jalan dan tipe medan.

Tabel 2-5. Penetapan Kecepatan Rencana


Kecepatan Rencana V d (km/jam)
Kelas fungsi
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 -120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 - 50
Lokal 40 – 70 30 - 50 20 - 30

Sumber : BM 1997

VOLUME LALULINTAS

Lalulintas Harian Rata-rata (LHR)

24
Volume lalulintas harian rata-rata tahunan (AADT) didefinisikan sebagai rata-rata
jumlah kendaraan per hari dalam satu tahun.

Jumlah kendaraan selama satu tahun


LHR =
365

Studi volume lalulintas untuk memperkirakan LHR untuk maksud analisa lalulintas
biasanya dilakukan dengan cara yang bisa diterima yaitu dalam waktu selama satu
minggu selama 24 jam tiap bulan selama 1 tahun atau waktu yang lebih pendek lagi
dengan mempertimbangkan variasi volume lalulintas seperti variasi bulanan,
mingguan, harian, tiap jam atau variasi musiman.

Volume Jam Rencana


Pemahaman mengenai LHR adalah penting untuk banyak maksud, tapi belum bisa
secara langsung digunakan dalam perencanaan geometrik jalan karena tidak
memperhitungkan mengenai variasi lalulintas yaitu variasi musiman dalam tahun, hari
dalam minggu, dan jam dalam hari. Perencana biasanya mengambil volume kendaraan
per jam untuk perencanaan. Dalam memilih volume jam rencana ini biasanya diambil
volume jam sibuk yang ke 30. Volume jam rencana untuk tiap arah (DDHV)
umumnya dinyatakan dalam lalulintas harian rata-rata tahunan (AADT), dalam satuan
mobil penumpang (smp) dengan menggunakan persamaan:

DDHV = AADT x K x D ................... (2.1)

Dimana, K = Faktor, persen AADT yang terjadi pada jam sibuk, biasanya berkisar
0,08 – 0,12 untuk jalan perkotaan dan 0,12 - 0,18 untuk jalan antar kota.
D = Faktor distribusi arah hasil pengamatan lapangan. Bila tidak ada data
lapangan bisa digunakan D = 60%.
MKJI 1997 mengambil nilai K sebesar 0,09 sebagai nilai default untuk jalan dalam
kota dan nilai K sebesar 0,11 untuk jalan antar kota dan jalan toll (motorways)
Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Faktor ekivalen mobil penumpang adalah faktor untuk mengkonversi/merubah suatu
arus lalulintas dari bermacam-macam tipe kendaraan kedalam satu arus kendaraan
ekivalen terhadap mobil penumpang. Besarnya faktor ekivalen mobil penumpang

25
(emp) ini sangat tergantung pada lokasi (daerah perkotaan atau dalam kota), tipe
jalan, kondisi medan dan besarnya volume lalulintas. Tabel 2-6 dibawah ini
memperlihatkan nilai emp untuk jalan antar kota, jalan 4 lajur 2 arah (MKJI 1997
halaman 6-44).

Tabel 2-6. Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Jalan Antar Kota (4/2)
Volume Lalulintas emp
Tipe Jalan Jalan Tak
Alinemen Terbagi per Terbagi MHV LB LT MC
arah (kpj) (kpj)
0 0 1,1 1,2 1,6 0,5
Datar 1000 1700 1,4 1,4 2,0 0,6
1800 3250 1,6 1,7 2,5 0,8
≥ 2150 ≥ 3950 1,3 1,5 2,0 0,5
0 0 1,8 1,6 4,8 0,4
Bukit 750 1350 2,0 2,0 4,6 0,5
1400 2500 2,2 2,3 4,3 0,7
≥ 1750 ≥ 3150 1,8 1,9 3,5 0,4
0 0 1,1 5,5 0,3
Gunung 550 1000 1,4 1,4 5,1 0,4
1100 2000 1,6 1,7 4,8 0,6
≥ 1500 ≥ 2700 1,3 1,5 3,8 0,3

Sumber : MKJI 1997

MHV = Medium Heavy Vehicle, (Kanvas, Truk Kecil, Bus Kecil).


LB = Large Bus, (Bus 2 atau 3 as dengan jarak as 5 – 6 meter).
LT = Large Truck, (Truk 3 as dan Truk Kombinasi).
MC = Motor Cycle, (kendaraan roda dua atau roda tiga).

Pada jalan antar kota 2/2 UD nilai emp untuk MC selain dipengaruhi oleh tipe
alinemen dan volume lalulintas, juga dipegaruhi oleh lebar jalur jalan (MKJI 1997-
Passenger car equivalent (pce) for 2/2 UD – page 6-44).

Kapasitas
Kapasitas (C) adalah maksimum jumlah kendaraan yang melintasi suatu penampang
jalan selama waktu tertentu pada kondisi yang berlaku (kondisi geometrik, lalulintas,
ganguan samping, kebebasan samping dll). Waktu tertentu tersebut umunya untuk

26
maksud analisa kapasitas diambil selama 15 menit, yang kemudian dikonversikan
kedalam 1 jam. Untuk jalan dua lajur kapasitas dihitung untuk total dua arah
sedangkan untuk jalan berlajur ganda (multi-lane roads), arus lalulintas dipisahkan
per jurusan dan kapasitas dihitung per lajur (lane). Persamaan dasar untuk
menghitung kapasitas adalah sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ................... (2.2)

Dimana:
C = Kapasitas aktual, Co = Kapasitas dasar
FCw, FCsp, FCsf, FCcs = Faktor penyesuaian terhadap lebar jalan, distribusi arah,
gangguan samping dan ukuran kota.
Kapasitas dasar (C o) adalah kapasitas jalan pada kondisi ideal dimana kondisi
geometrik, lingkungan dan lalulintas ditetapkan terlebih dahulu. Misalnya, untuk
jalan antar kota 2/2 UD adalah sebagai berikut (MKJI 1997 - halaman 6-23):
o Lebar lajur 3,50 meter
o Lebar bahu effektif 1,50 meter (tidak diperkeras)
o Tidak ada median
o Pembagian jurusan (arah) lalulintas 50/50
o Tipe alinemen : datar
o Tataguna lahan : tidak ada pengembangan di sisi jalan
o Kelasifikasi fungsi jalan : Jalan Arteri
o Kelas hambatan/pengaruh samping : Rendah (Low)
o Kelas jarak pandangan : A

Pada kondisi ideal ini dianggap hanya dilalui kendaraan mobil penumpang saja.
Tabel 2-7 sampai dengan Tabel 2-9 memperlihatkan nilai kapasitas dasar untuk jalan
antar kota dan jalan perkotaan.
Tabel 2-7. Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota Empat Lajur Dua Arah
Tipe jalan / Tipe ainemen Kapasitas dasar (smp/jam/lajur)
Empat lajur terbagi (4/2 D)
- Datar 1900

27
- Bukit 1850
- Gunung 1800
Empat lajur tidak terbagi (4/2 UD)
- Datar 1700
- Bukit 1650
- Gunung 1600

Sumber : MKJI 1997

Tabel 2-8. Kapasitas Dasar Jalan Antar Kota Dua Lajur dua Arah Tidak
Terbagi
Kapasitas dasar
Tipe jalan / Tipe ainemen
Total dua arah (smp/jam/lajur)
Dua lajur tidak terbagi (2/2 UD)
- Datar 3100
- Bukit 3000
- Gunung 2900

Sumber : MKJI 1997

Tabel 2-9. Kapasitas Dasar Jalan Dalam Kota

Tipe Jalan Kapasitas Dasar (smp/Jam) Keterangan

Empat lajur terbagi atau 1650 Per lajur


Jalan satu arah

Empat lajur tidak terbagi 1500 Per lajur

Dua lajur tidak terbagi 2900 Total dua arah

Sumber : MKJI 1997

Menurut Bina Marga 1992, besarnya kapasitas dasar adalah, 2500 kendaraan/jam/dua
arah untuk jalan dua lajur dan 2200 kendaraan /jam/lajur untuk jalan lajur ganda.
Kapasitas Yang Mungkin = Kapasitas Dasar x R1 x R2 x R3
Dimana R1, R2, dan R3 adalah koefisien penyesuaian untuk lebar lajur, kebebasan
samping dan gangguan samping.
KENDARAAN RENCANA
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi, berat dan karakteristik operasinya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. AASHTO 2001 ( A Policy on

28
Geometric Design for Highways and Streets) membagi kendaraan rencana dalam
empat kelas yaitu:
1. Kendaraan Penumpang (passanger-cars) ; termasuk didalamnya adalah sedan,
kijang, jeep, mikrolet, mini-bus, vans dan pickup.
2. Bus ; termasuk didalamnya adalah semua bus-besar seperti bus antar kota, bus
kota.
3. Truk ; termasuk didalamnya adalah truk (singel unit truck), truck-semi-trailer.
4. Kendaraan Rekreasi (Recreatioanal vehicles); kendaraan ini belum banyak
dikenal di Indonesia.
Dimensi dan radius putar kendaraan rencana untuk mobil penumpang, bus dan truk
diperlihatkan pada Tabel 1-5. Batas jejak-jejak putar dari tiap-tiap kendaraan rencana
untuk putaran tertajam ditetapkan berdasarkan jejak tonjolon depan sebelah luar dan
jejak dari roda belakang sebelah dalam. Perputaran ini mengasumsi jejak roda depan
sebelah luar berupa lintasan busur lingkaran yang kemudian akan menentukan
besarnya radius putar as jalan untuk setiap kendaraan rencana (Centerline Turning
Radius, CTR).

Tabel 2-10. Dimensi dan R min Kendaraan Rencana AASHTO 2001


Tipe Dimensi (meter) Tonjolan (meter) Rmin R as jalan Rmin sisi
kendaraan Simbol desain (CTR) dalam
rencana Tinggi Lebar Pjg Depan Belkg (m) (m) (m)

Ps-car P 1.3 2.1 5.8 0.9 1.5 7.3 6.4 4.4


Buses
Bus-12 3.7 2.6 12.2 1.8 1.9 13.7 12.4 8.4
Bus-14 3.2 2.6 13.7 1.8 2.6 13.7 12.4 7.8
City-Bus 3.2 2.6 12.2 2.1 2.4 12.8 11.5 7.5
Trucks
SU 3.4-4.1 2.4 9.2 1.2 1.8 12.6 11.6 8.6
WB-15 4.1 2.6 16.8 0.9 0.6 13.7 12.5 5.2
WB-19 4.1 2.6 20.9 1.2 0.8 13.7 12.5 2.4
WB-20 4.1 2.6 22.4 1.2 1.4-0.8 13.7 12.5 5.9

Sumber AASHTO 2001

Tabel 2-11. Dimensi dan R min Kendaraan Rencana Bina Marga 1997

29
Dimensi (meter) Tonjolan (meter) Radius Putar Rmin sisi
Tipe kendaraan
dalam
rencana
Tinggi Lebar Panjang Depan Belkg Minmum Maksimum (m)

Kendaraan Kecil 1.3 2.1 5.8 0.9 1.5 7.3 7.8 4.2
Kendaraan Sedang 4.1 2.6 12.1 2.1 2.4 12.8 14.1 7.4
Kendaraan Besar 3.7 2.6 21.0 1.8 1.9 13.7 14.0 2.9

Sumber Bina Marga 1997

Menurut Bina Marga 1997 (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Dirjen Bina Marga 1997), kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam tiga kategori :

1. Kendaraan kecil, diwakili oleh kendaraan penumpang.


2. Kendaraan sedang, diwakili truk 3 as tanden atau bus besar 2 as.
3. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.

Dimensi dan radius putar diperlihatkan pada Tabel 1-7 dan Gambar 1-9 sampai
dengan Gambar 1-11. Sedangkan, menurut Bina Marga 1992 (Standar Perencanaan
Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Dirjen Bina Marga 1992), kendaraan rencana
dikelompokkan :

1. Kendaraan penumpang.
2. Truk/bus tanpa gandengan.
3. Kombinasi.

Tabel 2-12. Dimensi dan R min Kendaraan Rencana Bina Marga 1992

Dimensi (m) Tonjolan (m) Radius


Jenis Kendaraan Jarak Gandar Putar min
Tinngi Lebar Panjg Depan Belkg (m)
(m)
Kend Penumpang 2.0 1.7 4.7 0.8 1.2 2.7 6
Truk/Bus tanpa 4.5 2.5 12.0 1.5 4.0 6.5 12
gandar
Kombinasi 4.0 2.5 16.5 1.3 2.2 4.0 (depan) 12
9.0 (belkng)
Sumber Bina Marga 1992

30
Gambar 2. 1. Lintasan Jari-jari Minimum Kendaraan Rencana Truk Single Unit
(SU)

31
Gambar 2. 2. Lintasan Jari-jari Minimum Kendaraan Rencana Truk Semitrailer
(WB-15)

32
PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Mengapa perlu ada pembagian kelasifikasi jalan menurut kawasan?
2. Mengapa juga ada kelasifikasi perencanaan jalan?

o Tugas 2
Buatlah suatu peta topografi interval kontur 1 meter skala 1:5000 dikertas
folio (21,59 x 35,56) dimana terdapat dua bukit. Tentukanlah kelasifikasi
medan pada peta tersebut dan perkiraan suatu rute jalan dengan dua tikungan
berbentuk lingkaran penuh (full circle). Tentukan juga arah sumbu X dan Y
serta sebarang koordinat (0,0)
Tugas 2 dibawa dan diperiksa langsung oleh dosen pengajar pada kuliah
berikut (minggu depan)

Mengumpul tugas 1 yang diberikan pada kuliah 1:


(Gambarkan penampang tipikal untuk jalan antar kota 2/2 UD-7; 4/2 D-12)
(Gambarkan penampang tipikal untuk jalan dalam kota 2/2 UD-7; 4/2 D-12)

33
BAB III

PERKULIAHAN KE : 3

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Materi kuliah pada pertemuan ke 3 ini akan membahas mengenai tahapan–tahapan


awal pekerjaan perencanaan geometrik sehubungan dengan penyelesaian tugas
perencanaan geometrik.

2. TIK : a. Mahasiswa memahami tahapan-tahapan penyelesaian tugas


perencanaan geometrik.
b. Mahasiswa dapat menguraikan rumus-rumus pada lengkung
horizontal sederhana

3. Pokok Bahasan : Menentukan lokasi trase jalan

Tugas Perencanaan Geometrik Jalan


• Peta (Kontur, Skala, Koordinat (X,Y), Legenda)
• Trase jalan (Perhitungan  d)
• Contoh perhitungan (latihan)

34
PENYAJIAN :
PERENCANAAN GEOMETRIK

Pada dasarnya gambar desain suatu jalan raya harus disertai gambar lokasi dan
gambar potongan. Pada bidang horizontal, gambar denah (plan), lokasi dari titik-titik
dinyatakan dengan sistem koordinat (X,Y,Z) dimana sumbu Y arah positip adalah
Utara dan sumbu X arah positip adalah Timur. Titik-titik di sepanjang rute
diidentifikasi dengan station (STA), jarak dalam km dan meter dari suatu titik
referensi, biasanya dari titik awal proyek (STA 0+000). Suatu titik pada rute jalan
atau pada centerline jalan yang berjarak misalnya 4716 meter dari titik awal proyek
ini akan dinyatakan sebagai STA 4+716 artinya titik tersebut berjarak 4km + 716
meter dari titi awal proyek. Lokasi dari titik-titik dalam bidang vertikal (sumbu Z),
dinyatakan sebagai elevasi diatas muka air laut rata-rata (mean sea level). Garis-garis
yang menghubungkan ketinggian yang sama disebut garis kontur.

Gambar potongan memanjang memberi gambaran mengenai profil dari rute jalan
dimana tergambar muka tanah asli (MTA) dan muka tanah rencana (MTR). Muka
tanah rencana atau finished graded sebenarnya adalah permukaan perkeresan jalan
yang direncanakan. Pada gambar profil skala panjang disesuaikan dengan gambar
plan dan skala tinggi (elevasi) biasanya 1:100 atau 1:200. Gambar potongan
melintang (cross section) jalan biasanya digambar dengan potongan pada tiap-tiap 25
meter untuk keperluan perhitungan volume galian dan timbunan dan menjelaskan
mengenai dimensi lebar jalur, bahu, saluran samping dan lain-lain.

TUGAS PERENCANAAN GEOMETRIK

Untuk tugas perencanaan geometrik, akan disiapkan peta peta kontur dengan skala
1:2000 ukuran kertas A1 dengan maksud mahasiswa akan mendesain geometri jalan
sepanjang 1500 meter. Peta harus dilengkapi dengan garis kontur interval 1 (satu)
meter dan salah satu titik dengan koordinat (X,Y). Arah Utara adalah identik dengan

35
arah positif sumbu Y. Titik kontrol akan diberikan oleh Assisten Tugas yaitu lokasi
dan elevasi muka tanah rencana di titik awal (STA 0+000) dan titik lain bila
diperlukan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada formulir tugas. Setelah pengisian data
tugas perhitungan alinemen horizontal sudah bisa dimulai. Pada dasarnya tahapan
perhitungan adalah sebagai berikut :

o Alinemen Horizontal
1. Sketsa trase as jalan dengan memperhatikan; topografi (garis kontur) untuk
pertimbangan volume galian dan timbunan, serta titik-titik kontrol.
2. Tentukan titik-titik PI (Point of Intersection) berdasarkan trace jalan yang
dipilih.
3. Tentukan koordinat titik-titik PI (X,Y)
4. Hitung jarak antara titik PI , d n
5. Hitung sudut perubahan tangen,  n
6. Pilih tipe lengkung horizontal (Full-circle, Spiral-circle-spiral, spiral-spiral)
7. Rencanankan bagian-bagain lenkung horizontal dengan memperhatikan
kriteria desain (kecepatan rencana)
8. Gambar lengkung horizontal
9. Stationing.
10. Gambar diagram superelevasi.

o Alinemen Vertikal
1. Tentukan titik PVI dengan membuat garis kelandaian
2. Tentukan panjang lengkung vertikal, Lv
3. Hitung beda aljabar kelandian, A
4. Hitung nilai K, (K ≥ Kmin), dengan rumus Lv = A*K
5. Hitung Ev
6. Hitung elevasi dan STA titik PVI, PVC dan PVT
7. Gambar lengkung vertikal

o Gambar Potongan Melintang

36
o Hitung Volume Galian dan Timbunan

ALINEMEN HORIZONTAL
Alinmen horizontal terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung (tikungan),
merupakan rute jalan yang tergambar pada bidang horizontal (plan).

Jarak antara titik-titik PI dan Sudut Perubahan Tangen


Perhatikan Gambar 3.1 Titik PI-0 (titik awal) : koordinat (X 0,Y0)
Titik PI-1 : koordinat (X 1,Y1)
Titik PI-2 : koordinat (X 2,Y2)



d0 -(Y 2-Y1)

Y 1-Y0 d2
d1

X1 – X 0
X2 – X 1 

Gambar 3-4. Jarak d dan Sudut 

o Jarak antar titik PI:

d0  (X1  X 0 ) 2  (Y1  Y0 ) 2

d1  (X 2  X1 ) 2  (Y2  Y1 ) 2

37
Rumus umum : dn  (X n1  X n ) 2  (Yn1  Yn ) 2 ...................
(3.1)
o Sudut perubahan tangen:
  
    
Dimana,
 X1  X 0 
arctan
 Y1  Y0 
 X 2  X1   X 2  X1   X 2  X1 
arctan = arctan = arctan 
 Y1  Y2    Y2  Y1   Y2  Y1 
 X 2  X1 
  arctan

 Y2  Y1 

Rumus umum: n =  n - n-1 )| ................... (3.2)

 Xn  1  Xn 
narctan ................... (3.3)
 Yn  1  Yn 

o Contoh latihan :
Titik awal (STA 0+000) : koordinat (+3614,+2299) X0 = 3614 Y0 = 2299
Titik PI-1 : koordinat (+4003,+2583) X1 = 4003 Y1 =2583
Titik PI-2 : koordinat (+4553,+2203) X2 = 4553 Y2 = 2203
Titik akhir : koordinat (+4862,+2400) X3 = 4862 X3 = 2400

d0 = (X1  X 0 ) 2  (Y1  Y0 ) 2 =  4003  3614  2   2593  2299  2

=  389  2   284  2 = 481,640 m

d1 = (X 2  X 1 ) 2  (Y2  Y1 ) 2 = (4553 - 4003) 2


 ( 2203 - 2593) 2

=  550  2    380  2 = 668.506 m

38
d3 = (X 3  X 2 ) 2  (Y3  Y2 ) 2 = (4862 - 4553) 2  ( 2400 - 2203) 2

=  309  2  197  2 = 366,456 m

 X1  X 0  (389 )
 arctan = arctan = 53,867673 o
 Y1  Y0  (284 )

 X 2  X1   550 
 arctan = arctan
 Y2  Y1    380 
 550 
  arctan = 124,640947 o
 380 
 X3  X2  (309 )
 arctan = arctan = 57,480841 o
 Y3  Y2  (197 )

  124,640947 - 53,867673)| = 70,773274 o


  57,480841 - 124,640947)| = 67,160106 o

Lengkung Lingkaran
Lengkung lingkaran dikelasifikan sebagai, lingkaran sederhana (simple curve) atau
lingkaran penuh (full circle), lingkaran gabungan searah (compound curve) dan
linkaran gabungan balik (reverse curve). Untuk dua tipe lengkung terakhir akan
dijelaskan pada akhir-akhir kuliah.

PI
V
Ec
Tc Tc
C Lc

M
PC LC PT
A D B

Rc Rc
2 2

O
39
Gambar 3-5. Bagian-bagian Lengkung Lingkaran Penuh
Gambar 3-5 memperlihatkan bagian-bagian dari lenkung lingkaran sederhana dimana:
PI = Point of Intersection, titik potong perpanjangan tangen
PC = Point of Curvature, titik permulaan lengkung lingkaran (TC)
PT = Point of Tangency, titik akhir lengkung lingkaran (CT)
Tc = Tangent distance, jarak antara PI ke PC atau ke PT yaitu VA =VB
D = Intersection angle, sudut perpotongan atau perubahan arah tangen
LC = Long Chord, panjang tali busur AB
lc = Panjang busur lingkaran, panjang lengkung lingkaran
Ec = External distance, jarak antara titik PI ke tengah-tengah lingkaran
M = Middle ordinat, panjang ordinat, panjang dari tengah busur ke tengah tali busur
Rc = Radius, jari-jari lingkaran

o Rumus-rumus:

c
Tc = Rc tan ½  ................... (3.4)
Rc
Ec =  Rc ................... (3.5)
cos(1/2Δo

Ec = Tc tan ¼  ................... (3.6)


π
lc = Δc Rc x ................... (3.7)
180
LC = 2 Rc sin ½  ................... (3.8)
M = Rc (1 – cos ½ ) ................... (3.9)

Dalam proses perhitungan, nilai  biasanya sudah dihitung terlebih dahulu dan
dianggap salah satu data yang sudah diketahui. Dalam menyelesaikan persamaan-
persamaan diatas diperlukan satu data lagi. Data dapat dipilih satu diantara Tc, Rc,
Ec, Lc, LC atau M. Batasan kriteria yang harus dipenuhi adalah besarnya Rc harus
memenuhi persyaratan minimum Rc untuk lengkung full circle yaitu Rc yang

40
menghasilkan kemiringan jalan e (superelevasi) ≤ 3 % sesuai dengan kecepatan
rencana dan e maksimum yang dipilih. (Lihat Tabel Perencanaan Geometrik)
o Contoh Perhitungan:
Diberikan  = 60o 30’20’’, Rc = 250 m. Hitung bagian-bagian dari lengkung FC.

Jawab:
 = 60 + (30/60) + (20/3600) = 60,505556 o

Tc = Rc tan ½  tan (½ (60,505556)) = 80,039 m


Ec = Tc tan ¼  tan (¼ (60,505556)) 12,500 m
lc = c Rc (/180) = (60,505556) (250) x (/180) = 154,922 m
LC = 2 Rc sin ½  sin (¼ (60,505556)) = 152,455 m
M = Rc (1– cos ½ ) = (250) (1- cos ½ (60,505556) = 11,905 m

o Batasan perencanaan
Pada contoh perhitungan diatas belum diberikan data untuk kecepatan rencanan
kendaraan. Belum ada kontrol terhadap besarnya jari-jari Rc min yang dipakai.
Perencanaan lengkung FC dengan batasan kecepatan rencana (design speed), memberi
kriteria mengenai jari-jari minimum dimana tikungan bisa menggunakan lengkung FC
yaitu jari-jari yang memberikan kemiringan melintang e < 3%. Bila pada kecepatan
rencana tertentu, besarnya jari-jari memberikan e ≥ 3% , maka untuk memasuki
lengkung FC ini diharuskan menggunakan lengkung peralihan lebih dahulu. Hal ini
untuk alasan keamanan, dimana kendaraan bisa keluar dari lajur jalan. Tipe lengkung
yang terakhir ini disebut lengkung spiral-circle-spiral (SCS). Hubungan antara jari-
jari dan kemiringan jalan untuk jalan dengan kecepatan rencana tertentu akan
diberikan pada kuliah-kuliah mendatang.

41
Derajat Kelengkungan
D = Derajat kelengkungan, Degree of Curve, didefinisikan sebagai sudut pusat
lingkaran yang mempunyai panjang busur (lenkung lingkaran) sebesar 25 meter.

25

P Q
D
_
2

Rc
D

Gambar 3-6. Definisi Derajat Kelengkungan (D)

Perhatikan Gambar 3-3 :

25
D= (D dalam radian) ................... (3.10)
R
Atau,
25 180 4500
D= x = (D dalam derajat) ................... (3.11)
R π πR

 SPQ = D/2 Garis SP adalah searah dengan tangen.

42
Pematokan lengkung lingkaran di lapangan dapat dilakukan dengan jarak-jarak 25
meter, perhatikan Gambar 3-4. (Deflection method)

PI
V

Tc Tc
2 3

1 4

PC PT

A B
D
D D

d d

Gambar 3-7. Metode Defleksi

o Metode Defleksi
Dengan asumsi bahwa lenkung lingkaran sudah mempunyai data jari-jari (R), , maka
bisa dihitung besarnya derajat kelengkungan D. Besarnya sudut  dapat ditulis
sebagai berikut:
=nD+2d ................... (3.12)
Dimana, n = bilangan bulat dan d = sudut tambahan
Teodolit diletakkan di titik PC dengan pembacaan 0 o pada initial tangen AV, dan titik
1, 2, 3 dan 4 akan diletakkan pada lengkung lingkaran. Putar teleskop sampai
menunjukkan pembacaan sudut VA1 = d/2. Kemudian jarak A1 diukur dengan sesuai
dengan panjang tali-busur berimpit dengan garis pandang (A1 = 2 Rc sin ½ d ), patok
titik 1 kini terpasang sudah. Kemudian, putar teleskop dengan penambahan
pembacaan sebesar ½ D. Jarak A2 dipasang sesuai dengan panjang tali busurnya, titik
2 kini terpasang. Dengan cara yang sama titik-lainnya bisa diletakkan di lapangan.

43
PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Berapa panjang jalan yang bisa digambar pada kertas ukuran kertas A3
(297 x 420) dengan skala 1 : 2000?
2. Data apa yang diperlukan untuk menghitung lengkung full circle.

o Tugas 3
Pada tugas minggu lalu (tugas 2) rencanakan trase jalan dengan dua tikungan
full circle. Hitung panjang jarak antara titik PI dan sudut perpindahan arah.
Tugas dimasukkan pada kuliah berikut (minggu depan).

44
BAB IV

PERKULIAHAN KE : 4

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat :
Materi kuliah pada pertemuan ke 4 ini akan membahas mengenai lengkung peralihan,
panjang pencapaian kemiringan jalan, dan diagram superelevasi

2. Pokok Bahasan :
 Penurunan rumus ls = 2 s Rc
 Penurunan rumus p*, k*, x* dan y*
 Rumus-rumus pada elemen lengkung SCS

3. TIK :
 Mahasiswa memahami manfaat penggunaan lengkung peralihan
 Mahasiswa memahami persyaratan panjang minimum lengkung peralihan
 Mahasiswa dapat menguraikan rumus-rumus pada lengkung peralihan
 Mahasiswa dapat menggambar lengkung SCS

45
Mahasiswa dapat menjelaskan penggunaan lengkung peralihan dan panjang
pencapaian kemiringan serta dapat menggambar diagram superelevasi

PENYAJIAN :
LENGKUNG PERALIHAN

Pada saat kendaraan berjalan dengan kecepatan V (km/jam) pada jalan lurus dan
memasuki tikungan, kemudi roda kendaraan akan diputar dengan suatu sudut tertentu
dan tergantung dari besarnya jari-jari R (m) tikungan. Perubahan ini tidak bisa terjadi
dengan seketika tapi dalam suatu interval waktu t tertentu, jadi membutuhkan
lengkung peralihan yang panjangnya samadengan kecepatan x waktu t.
Lengkung peralihan umumnya digunakan adalah lengkung spiral adalah lengkung
dengan perubahan semakin tajam, mulai dari bagian lurus sampai pada bagian
lingkaran. Maksud penggunaan lengkung peralihan adalah untuk menambah faktor
keamanan, yaitu mengurangi kecendrungan kendaraan untuk keluar dari lajur
jalannya pada saat memasuki tikungan.
s
x
A
TS 0
p 0s
P
k y
R
d0

C
SC

Spiral
0s Rc

O
(a)
x
A
l
y dx
P dy
TS

dl
0
d0
R=

46
(b)
Gambar 4. 1. Bagian-bagian Spiral

Gambar 3-5 memperlihatkan bagian-bagian spiral dimana:


TS = Titik perubahan dari Tangen ke Spiral
SC = Titik perubahan dari Spiral ke Circle
l = Panjang lengkung spiral dari titk TS ke sebarang titik pada lengkung spiral
ls = Panjang lengkung spiral dari titik TS ke titik SC
 = Sudut dalam lengkung spiral dengan panjang l
s = Sudut dalam lengkung spiral dengan panjang ls
p = jarak pergeseran tangen (offset) ke garis singgung lengkung lingkaran
k = jarak pergerseran absis titik PC (atau TC) diukur dari titik TS
Ts = Jarak dari titik TS ke titik PI atau dari titik ST ke titik PI
Es = Jarak eksternal
R = Jari-jari spiral pada titik sebarang P dengan panjang spiral l
Rc = Jari-jari spiral pada titk SC dengan panjang spiral ls = jari-jari lingkaran

o Rumus-rumus
K
R= ...................
l
(a)
Dimana, K = konstanta
K
Dengan demikian, Rc = ................... (b)
lc
Hilangkan nilai K dengan membagi kedua persamaan diatas, (a)/(b) dan ditulis
Rc ls
R= ................... (4.1)
l
Dari bagian differensial pada titik P, d = dl/R . Substitusi pada persamaan (4.1)
memberikan:
l
dθ  dl
Rc ls

47
l2
Integrasi, θ ...................
2 Rc ls
(4.1a)

ls2 ls
Untuk  = s dan l = ls menjadi, θs  = ................... (4.1b)
2 Rc ls 2 Rc

ls = 2 s Rc (s dalam radian) ................... (4.2a)



ls = 2 s Rc x (s dalam derajat) ................... (4.2b)
180

Membagi persamaan (4.1a) dengan (4.1b), didapat  : s = l2 : ls 2 , atau

2
 l 
θ    θs ................... (4.3)
 ls 

Persamaan (4.3) memberikan nilai  pada setiap titik sepanjang lengkung spiral ls.
Dari segitiga differential di titik P dengan skala diperbesar pada Gambar 3-5 didapat:
dx = dl cos  ................... (c)
dy = dl sin  ................... (d)
dimana fungsi sinus dan cosinus:
sin =  - 3/3! + 5/5! - 7/7! +  9/9! - . . . . ................... (4.4)
cos  = 1 - 2/2! + 4/4! -  6/6! + 8/8! - . . . . . ................... (4.5)
Dengan subtitusi persamaan (4.4) dan (4.5), integrasi maka didapat :

θ2 θ4 θ6 θ8
x = l ( 1-  -  ) ................... (4.6)
10 216 9360 685440
θ θ3 θ5 θ7 θ9
y=l( -  -  ) ................... (4.7)
3 42 1320 75600 6894720

Dimana dalam satuan radian dan untuk perhitungan pendekatan dan dianggap cukup
akurat persamaan (4.6) dan (4.7) ditulis sebagai berikut:
θ2 θ4
x = l ( 1-  ) ................... (4.8)
10 216
θ
y=l ( ) ................... (4.9)
3

48
Untuk  dalam satuan derajat, nilai diganti dengan x /180 dan didapat;

x = l ( 1 – 0,3046 (10) -4  -9   ................... (4.8a)


y = l (0,0058  ................... (4.9a)

Dengan persamaan (4.9) dan (4.3) didapat :


1 l2 l3
y=l ( x ) = ................... (4.10)
3 2 Rc ls 2 6 Rc ls 2

dan untuk  = s dan l = ls , dengan persamaan (4.10) didapat :

ls 2
Ys = ................... (4.11)
6 Rc

Perhatikan kembali Gambar 3-5.


p = ys – Rc (1 – cos s) ................... (4.12)
k = xs – Rc sin s ................... (4.13)

Dengan menggunakan persamaan (4.12) dan (4.13) , substitusi Rc = ½ ls/s dan


gunakan juga persamaan (4.4) dan (4.5) untuk sin s dan cos s, maka didapat :

3 5 7
θ s θs θs θs
p = ls ( -  - ) ...................
12 336 15840 1209600
(4.14)
2 4 6
1 θ θ θs
k = ls ( - s  s - ) .................. (4.15)
2 60 2160 131040

Dimana s dalam radian dan bila dalam s satuan derajat maka :

p = ls (0,00145444 s – 1,582315 s3 (10)-8 + 1,022426 s5 (10)-12 - . . ) .... (4.14a)


k = ls (0,5 – 5,076957 s2 (10)-6 + 4,295915 s4 (10)-11 - . . . ) ........ (4.15a)

49
Bila l atau ls pada persamaan (4.6), (4.7), (4.14) dan (4.15) sama dengan 1 satuan
panjang, maka dapat ditulis:
Xs = x* .ls
Ys = y*. ls
p = p* . ls
k = k* . ls
dimana,

s dalam radian
2 4
θ θ
x* = ( 1 - s  s ) .................. (4.15)
10 216
3
θs θs θ5
y* = ( -  ) .................. (4.16)
3 42 1320
3 5
θs θs θs
p* = ( -  ) .................. (4.17)
12 336 15840
2 4
1 θ θ
k* = ( - s  s ) .................. (4.18)
2 60 2160

o Contoh Perhitungan
Bila suatu lengkung spiral diketahui ls = 60 m dan s = 30o, hitunglah Xs, Ys, p, k.
Jawab : s = (30) * (180) = 94.247780 radian
Gunakan persamaan (4.15) sampai dengan persamaan (4.18)
2 4
θs θs
x* = ( 1-  ) = 
10 216
3
θs θs θ5
y* = ( -  ) = 0,171145
3 42 1320
2 4
1 θs θ
p* = ( -  s ) = 0
2 60 2160

50
2 4
1 θs θ
k* = ( -  s ) = 0,495465
2 60 2160

Xs = x* ls = (m
Ys = x* ls = (0,171145) (60) = 10,269 m
p = p* ls = (m
k = k* ls = (0,495465) (60) = 29,728 m
Lengkung Spiral Circle Spiral

Ts

xs

H PI
TS p Le ngkung Lingka ra n
k F ls ys
SC
Es 
M
lc
Rc Rc

CS

c ls
s

s Rc

Rc F´
O
k

ST

Gambar 4. 2. Spiral-Circle-Spiral

Gambar 4.2 meperlihatkan perubahan lengkung FC menjadi SCS , dilakukan dengan


menggeser sejajar lengkung lingkaran jari-jari Rc dengan jarak p.

o Rumus-rumus

51
c =  – 2s .................. (4.19)
Ts = k + (Rc + p) tan ½  .................. (4.20)
(Rc  p)
Es = - Rc .................. (4.21)
Cos 1/2 Δ
π
lc = c Rc x .................. (4.22)
180
π
ls = 2 s Rc x .................. (4.23)
180
o Contoh Perhitungan
Diberikan  = 40o 20’25’’, Rc = 150 m ,ls = 75 m. Hitung Xs, Ys, p, k, Ts, Es dan l .
Jawab :

20 25
 = 40o 25’20’’ = 40 +  = 40,340278 o
60 3600
ls 180 75 180
s = x = (2) (150) x π = 14,323940 o
2 Rc π

c =  – 2s = 40,340278 – 2 (14.323940) = 11,692398 (OK) , tanda positif



π
s = 14,323940 x radian
180
2 4
θ θ
x* = ( 1 - s  s ) = 0,993768
10 216
3
θs θs θ5
y* = ( -  ) = 0,082962
3 42 1320
3 5
θs θs θs
p* = ( -  ) = 0,020787
12 336 15840
2 4
1 θs θ
k* = ( -  s ) = 0,498960
2 60 2160

Xs = x* ls = (0,993768) (75) = 74,533 m


Ys = y* ls = (0,082962) (75) = 6,222 m
p = p* ls = (0,020787) (75) = 1,560 m
k = k* ls = (0,498960) (75) = 37,422 m

52
Ts = k + (Rc + p) tan ½ tan ½ 40,340278) = 93,095 m

(Rc  p) (150  1,560)


Es = - Rc = - 150 = 11,461 m
Cos 1/2 Δ Cos ((1/2) (40,340278 ))

π π
lc = c Rc x = (11,692398) (150) ( ) = 30,611 m
180 180
l = 2ls + lc = (2) (75) + (30,611) = 180,611 m

o Be berapa cara penyelesaian perhitungan lengkung SCS


Perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus dapat diselesaikan dengan beberapa
cara sebagai berikut ( selalu dianggap data yang sudah dihitung lebih dahulu):
ls 180
1. Dikertahui ls dan Rc. Hitunglah dahulu s, (s = x ). Kemudian
2 Rc π

hitung c , (c =  – 2s). Kontrol c > 0. Bila c < 0, ls harus diperkecil


atau Rc harus diperbesar. Selanjutnya dengan nilai s dihitung p* , k*, x*,
y*, p, k, dan kemudian Ts, Es, Xs dan Ys.
lc 180
2. Diketahui lc dan Rc. Hitung c, (c = x ). Kemudian hitung s, (s
Rc π

π
= ( – c)/2), dan ls, (ls = 2 s Rc x ). Selanjutnya dengan nilai s
180
hitung p* , k*, x*, y*, p, k, dan Ts, Es, Xs dan Ys.
3. Diketahui Ts dan ls. Perhitungan dilakukan dengan cara coba-coba. Coba s,

π
hitung p*,k*, p, k. Kemudian hitung Rc dari persamaan ls = 2 s Rc x .
180

Hitung Ts, (Ts = k + (Rc + p) tan ½ Bandingkan hasil Ts yang didapat


dari hasil coba-coba dengan data Ts yang diketahui. Coba s yang lain
sehingga perbedaan Ts coba-coba dengan Ts data lebih kecil dari 0,01 m.
4. Diketahui Ts dan lc. Sama seperti pada point 3. Coba s, hitung p* dan k*.
Hitung c, (c = s) dan Rc dari persamaan lc = c Rc x () dan
kemudian hitung ls, Hitung p dan k. Ts coba-caba kini sudah bisa dihitung
dan bandingkan sampai selisih lebih kecil dari 0,01 m.

53
o Batasan perencanaan
Contoh perhitungan diatas belum diberikan data kecepatan rencana (design speed).
Perencanaan lengkung SCS memberi batasan mengenai jari-jari minimum (Rc min)
sehubungan dengan kecepatan rencana, dan kemiringan melitang maksimum, emaks.
Penggunaan lengkung peralihan yaitu pada jari-jari tikungan yang memberikan
kemiringan melintang (superelevasi), e ≥ 3%. Penjelasan lebih mendatail akan
diberikan pada kuliah-kuliah kemudian.

PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Apa yang dimaksud dengan 1 radian?
2. Apa arti π dan π radian?
3. Data apa yang diperlukan untuk perhitungan lengkung SCS?

o Tugas 4
Gambar sketsa lengkung spiral circle spiral dan buktikan rumus-rumus yang ada pada
lengkung SCS ini. Yaitu, harga Ts, Es.

54
PERKULIAHAN KE : 5

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Kuliah pada pertemuan ke 5 ini akan membahas mengenai pencapin kemiringan jalan
dan panjang lengkung peralihan minimum sebagai kriteria untuk optimasi pada
perencanaan geometrik jalan.

2. TIK : Mahasiswa dapat menjelaskan panjang pencapaian


kemiringan melintang jalan serta dapat menggambar
diagram superelevasi.

3. Pokok Bahasan :
 Panjang minimum lengkung peralihan
 Diagram superelevasi
 Tangent run out
 Run off
 Penampang normal (NC)
 Penampang putar (RC)

55
 Landai relatif

PENYAJIAN :

PENCAPAIAN KEMIRINGAN MELINTANG


Pencapaian kemiringan melintang (superelevation runoff) adalah suatu istilah yang
menyatakan panjang yang dibutuhkan untuk mengadakan perubahan kemiringan
melintang jalan dari penampang putar datar sampai penampang dengan kemiringan
penuh (superelevasi desain) atau sebaliknya. Pencapaian kemiringan di tangen
(tangent runout) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan panjang yang
dibutuhkan untuk mengadakan perubahan kemiringan melintang dari penampang
normal sampai penampang putar datar. Untuk memenuhi keamanan dan kenyamanan,
pencapaian kemiringan melintang harus dilakukan secara perlahan-lahan dan teratur
sepanjang jarak yang cukup untuk operasi kecepatan kendaraan. Supaya penampilan
bagus, jangan sampai tepi perkerasan kelihatan patah-patah oleh pengendara.

off B
Run

C
D

A
ut
uno
gent R 4
Tan 3

56
Gambar 5.1. Tangent Runout dan Superelevation Runoff

Panjang pencapaian kemiringan melintang Ls , dapat ditentukan dengan


memperhatikan segitiga ABC dan segitiga BCD pada Gambar 5.1.

Ls = bme (5.1)
Dimana, b = lebar lajur
e = superelevasi desain
1 : m = landai relatif maksimum
AASHTO 2001 menganjurkan nilai maksimum landai relatif sebesar 0,50 % atau
1:200 pada kecepatan 80 km/jam (50 mph). Dan juga menetapkan nilai landai relatif
sebesar 0,80 dan 0,35 sebagai nilai landai relatif maksimum untuk kecepatan rencana
20 km/jam dan 130 km/jam. Interpolasi diantara kedua nilai tersebut diambil sebagai
nilai desain dan disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan di bagian kanan tergambar kurva
garis patah penyebaran landai relatif maksimum terhadap kecepatan rencana disertai
dengan persamaannya.

Tabel 5.1. Landai Relatif Maksimum

Kecepatan Landai Relatif Equivalen Landai 0,9


Rencana Maksimum Relatif Maksimum
0,8
(km/jam) m (%) (1:m) y = -0,005x + 0,9
0,7
Landai Relatif Maksimum

20 0,80 1 : 125
0,6
30 0,75 1 : 133
40 0,70 1 : 143 0,5

50 0,65 1 : 154 0,4


y = -0,003x + 0,74
60 0,60 1 : 167
0,3
70 0,55 1 : 182
80 0,50 1 : 200 0,2

90 0,47 1 : 213 0,1


100 0,44 1 : 227
0
110 0,41 1 : 244 0 20 40 60 80 100 120 140
120 0,38 1 : 263 Kecepatan Rencana (km/jam)
130 0,35 1 : 286

Pada persamaan (5.1), 1 : m adalah nilai maksimum dari landai relatif maka Ls adalah
panjang runoff minimum. Persamaan ini bila dipakai pada jalan empat lajur, akan
menghasilkan panjang runoff sebesar duakali (double) panjang runoff untuk jalan dua

57
lajur; dan pada jalan enam lajur tidak terbagi akan tigakali (triple). Seringkali
panjamg seperti diatas sukar dilaksanakan dan tidak praktis. Didasarkan semata-mata
pada empiris, disarankan untuk menggunakan faktor penyesuaian, (Tabel 5.2), untuk
mengurangi panjang yang berlebihan pada jalan berlajur banyak (multilane
roadways). Persamaan (5.1) menjadi :

Ls = (b.n) (m).e .(fa) …………(5.2)

Ls = panjang minimum superelevation runoff


b = lebar lajur lalu lintas (tipikal = 3,5 meter)
1 : m = landai relatif maksimum
n = jumlah lajur yang diputar
e = design superelevation
fa = faktor penyesuain

Tabel 5.2. Faktor Penyesuaian dan Jumlah Lajur yang Diputar


Jumlah Lajur Faktor Penambahan Panjang Relatif
yang Diputar Penyesuaian Terhadap Satu Lajur yang Diputar
1 1,00 1,00
1,5 0,83 1,25
2 0,75 1,50
2,5 0,70 1,75
3 0,67 2,00
3,5 0,64 1,25

Satu Lajur Diputar Dua Lajur Diputar Tiga Lajur Diputar

Penampang Normal Penampang Normal Penampang Normal

Bagian yang Diputar Bagian yang Diputar Bagian yang Diputar

Lokasi Panjang Superelevation Runoff pada Lengkung Horizontal


Pada lengkung full-circle banyak perencana mengambil proporsi 2/3 panjang runoff
diletakkan pada jalan lurus. AASHTO 2001, berdasarkan pertimbangan teoritis untuk

58
meminimalkan lateral acceleration, menetapkan proporsi panjang runoff seperti
tertera pada Tabel 5.3. Diagram superelevasi diperlihatkan pada Gambar 5.2.

Tabel 5.3. Porsi Panjang Runoff AASHTO 2001

Porsi Panjang Runoff pada Tangen


Tabel 2-1. Kecepatan
Jumlah Laju yang Diputar
Rencana
(km/jam) 1 2 3 4

20 s/d 70 0,80 0,85 0,90 0,90


80 s/d 130 0,70 0,75 0,80 0,85

Full - Circle PI

Lc
TC CT

Ls Ls
0,75 Ls 0,75 Ls
Tepi luar ( Kiri )

ed
C TC CT
L
en ed en
Lt Tepi dalam ( Kanan )
Lt

-A-

Gambar 5.2. Diagram Superelevasi lengkung full circle

Pada perencanaan lengkung horizontal spiral-circle-spiral, superelevation runoff


sangat tepat bila diletakkan pada lengkung peralihan. Panjang superelevation runoff
adalah sama dengan panjang spiral yaitu dari titik tangent-to-spiral (TS) sampai ke
titik spiral-to-curve (SC). Perubahan superelevasi jalan dimulai dari penampang putar
datar pada titik (TS) sampai kemiringan penuh (seperelevasi desain) pada titik (SC).
Spiral - Circle - Spiral PI
Superelevasi penuh seluruhnya diletakkan sepanjang lingkaran L c yaitu dari titik
Ls Ls
Lc
spiral-to-curve (SC) sampai pada
SC titik curve-to-spiral
CS (CS) (Gambar 4.10).
TS ST

Ls Lc Ls
Tepi luar ( Kiri )

ed
C TS SC CS ST
L
en ed en

Lt Tepi dalam ( Kanan ) 59

-B-
Gambar 5.3. Diagram Superelevasi lengkung full circle

Panjang Lengkung Spiral


Umumnya, spiral Euler, digunakan untuk desain lengkung transisi spiral, yang juga
sering disebut clothoid. Jari-jari lengkung bervariasi dari infinity pada tangen dan
berakhir pada jari-jari yang sama dengan lengkung lingkaran penuh. Per definisi, jari-
jari lengkung pada lengkung spiral Euler, bervariasi berbanding terbalik dengan
panjang spiral. Persamaan yang pernah dikembangkan oleh Shortt di tahun 1909
untuk secara bertahap menahan gaya lateral pada desain lengkung jalan kereta api,
dan menjadi dasar yang banyak digunakan pada perhitungan panjang lengkung
peralihan pada jalan raya dengan formula :

0.0214 V 3
Ls  …………(5.3)
RC

Dimana : Ls = panjang spiral minimum, m


V = kecepatan, km/jam
R = jari-jari lingkaran
C = laju percepatan lateral, m/det 3

Faktor C adalah nilai empiris menyatakan tingkat kenyamanan dan keamanan pada
lengkung spiral. Nilai C = 0.3 m/det 3 umumnya digunakan untuk desain rel kereta api,
dan nilai 0.3 sampai 0.9 m/det 3 telah digunakan untuk desain jalan raya. Tapi, pada

60
praktisnya, panjang lengkung spiral harus dikontrol terhadap panjang yang
dibutuhkan untuk superelevation runoff.

Jari-jari maksimum lengkung spiral.


Banyak instansi (agency) jalan raya, menetapkan pembatasan jari-jari berdasarkan
minimum percepatan lateral, untuk maksud keamanan dan ekonomis dari penggunaan
lengkung peralihan dengan spiral. Minimum percepatan lateral sebesar 1.3 m/det 2
memberikan nilai jari-jari maksimum pada lengkung spiral. Jari-jari yang tertera pada
Tabel 5.4 dikutip dari AASHTO sebagai anjuran dari beberapa instansi jalan raya
tersebut bagi mereka yang berminat menggunakan spiral sebagai lengkung peralihan.

Tabel 5.4. Jari-jari Maksimum pada Lengkung Peralihan Spiral


Kecepatan Rencana Jari-jari Maksimum
(km/jam) (meter)
20 24
30 54
40 95
50 148
60 213
70 290
80 379
90 480
200 592
110 716
120 852
130 1000
Sumber AASHTO 2001 – halaman 181

Panjang lengkung spiral minimum.


Panjang lengkung spiral minimum didefinisikan berdasarkan pertimbangan
kenyamanan pengemudi dan pergeseran posisi kendaraan arah lateral pada saat
kendaraan memasuki tikungan. Jadi kedua persamaan ini harus bersama-sama
digunakan.

Ls min  24( p min)R atau …………(5.4)

61
0.0214 V 3
Ls min  …………(5.5)
RC

Dimana: Ls min= panjang spiral minimum, m


p min = minimum lateral offset antara tangen dan lengkung lingkaran
= (0.20 m)
R = jari-jari lengkung lingkaran, m
V = kecepatan rencana, km/jam
C = maksimum laju percepatan lateral (1.2 m/det 3)

Panjang lengkung spiral maksimum.


Lengkung spiral yang terlalu panjang (relative terhadap panjang lengkung lingkaran),
bisa menyesatkan pengemudi terhadap ketajaman lengkung yang semakin tajam di
depannya. Untuk meminimisasi kemungkinan tersebut, dipertimbangkan untuk
menggunakan panjang lengkung spiral maksimum, dan dihitung sebagai:

Ls maks  24( p maks )R …………(5.6)

Dimana: Ls maks = panjang spiral maksimum, m


p maks = maksimum lateral offset antara tangen dan lengkung
lingkaran (1.00 m)
R = jari-jari lengkung lingkaran, m

Nilai p = 1.00 m adalah nilai rekomendasi untuk p maks . Nilai ini konsisten dengan
pergeseran lateral maksimum yang terjadi secara alami pada banyak pengendara.
Juga, memberikan keseimbangan yang layak antara panjang lengkung spiral dan jari-
jari lingkaran.

Panjang lengkung Spiral yang diinginkan


Penelitian akhir-akhir ini menyatakan bahwa panjang lengkung spiral merupakan
kontrol desain yang sangat penting. Khususnya, yang sangat diinginkan adalah
panjang lengkung spiral yang sama atau mendekati sama dengan jejak kendaraan

62
secara alami yang diambil oleh pengendara. Berdasarkan pertimbangan ini, panjang
lengkung peralihan spiral diperlihatkan pada Tabel 5.5. Panjang ini sehubungan
dengan waktu perjalanan selama 2.0 detik pada kecepatan rencana di jalan raya.
Waktu perjalanan ini telah dinyatakan representative dengan jejak spiral secara
natural oleh banyak pengendara di lapangan.

Tabel 5.5. Panjang Spiral yang Diinginkan pada lengkung Peralihan


Kecepatan Rencana Jari-jari Maksimum
(km/jam) (meter)
20 11
30 17
40 22
50 28
60 33
70 39
80 44
90 50
200 56
110 61
120 67
130 72
Sumber AASHTO 2001 – halaman 181

Lengkung spiral lebih panjang dari yang tertera pada Tabel 5.5 diperlukan pada
turning roadway terminal (jalan berputar), untuk mencukupi keperluan superelevasi.
Khususnya, pada penggunaan lengkung spiral-spiral, pada situasi ini, nilai yang
tertera pada Tabel 5.5 sangatlah diperlukan.
Apabila panjang lengkung spiral yang diinginkan seperti yang tertera pad Tabel 5.5
lebih pendek dari perhitungan Ls min pada persamaan (5.4) dan (5.5), maka panjang
maka panjang Ls min seharusnya digunakan.

Panjang superelevation runoff


Pada perencanaan lengkung peralihan dengan menggunakan spiral, dianjurkan untuk
mengadakan pencapaian kemirangan jalan, (superelevation runoff), secara
menyeluruh pada lengkung spiral. Perubahan pada penampang melintang, dimulai
dari tangent runout untuk menghilangkan pengaruh negative kemiringan penampang.
PENUTUP

63
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Bagaimana gambar diagram superelevasi pada jalan lurus?
2. Apa akibatnya bila pada pencapaian keringan jalan tidak ada tangent
run-out?
3. Berapa panjang tangent runout?
4. Berapa jarak yang ditempuh pengendara dengan kecepatan 100 km/jam,
menggerakan kemudi, selama 2 detik masuk pada tikungan jalan?

o Tugas
Gambar diagram superelevasi pada lengkung SCS dan FC tanpa ada perubahan
kemiringan di tangen. Tugas dimasukkan pada kuliah minggu depan.

BAB V

64
PERKULIAHAN KE : 6

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Materi kuliah pada pertemuan ke 6 ini akan membahas mengenai rumus-rumus dasar
yang akan dikembangkan menjadi kriterai desain pada perencanaan alinemen
horizontal

2. TIK :
 Mahsiswa dapat menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada
kendaraan yang berjalan pada tikungan jalan.
 Mahasiswa dapat menjelaskan distribusi superelevasi dan gesekan
melintang pada tikungan jalan.

3. Pokok Bahasan :
 Rumus-rumus dasar
 e maks
 fmaks
 Rmin
 Kecepatan jalan rata-rata
 Distribusi superelevasi dan gesekan melintang

PENYAJIAN :

65
RUMUS DASAR

2
mV
gR
B
W sin


F
N


C A

W co
s

Gambar 6.1. Gaya -Gaya pada Kendaraan yang Memasuki Tikungan.

Gambar 6.1. memperlihatkan kendaraan dengan berat W, pada penampang jalan


dengan jari-jari R dan kemiringan jalan dengan sudut α , melaju dengan kecepatan V.
Kendaraan akan mengalami gaya centifrugal sebesar mV 2/R .Apabila α adalah sudut
yang dibentuk oleh permukaan AB dengan bidang horizontal, dan e = tg α =
kemiringan jalan (superelevasi), maka keseimbangan gaya sejajar garis AB adalah:

mV 2
W sin α + F = cos α . . . . . . . . . . . (6.1)
R
Dimana,
W
m = massa kendaran = g

g = gravitasi = 9,8 m/det 2


F = gaya gesekan samping yang akan mempunyai harga maksimum sebesar :

F=f.N . . . . . . . . . . . (6.2)

f = koefisien gesekan melintang.


N = gaya normal.

66
Dengan mengambil gaya-gaya tegak lurus garis AB, yaitu :

WV 2
N= sins α + W cos α . . . . . . . . . . . (6.3)
gR

Subtitusi persamaan (6.2) dan (6.3) kedalam persamaan (6.1) maka :

WV 2 WV 2
W sin α + f ( sin α + W cos α) = cos α . . . . . . . . . . . .(6.4)
gR gR

Dengan membagi ruas kiri dan ruas kanan dengan W serta nilai α yang kecil yang
bisa dianggap, sin α = tg α = e, cos α = 1 maka persamaan (6.4) bisa ditulis :

V2 V2
e+f( e  1) 
gR gR

V2
e+f = ( 1 - ef )
gR

e  f V2
 . . . . . . . . . . . (6.5)
1 - ef gR

Harga hasil perkalian ef dalam persamaan diatas adalah selalu kecil, sehingga nilai ef
dianggap = 0, dan persamaan (6.5) menjadi :

V2
e  f  . . . . . . . . . . . (6.6)
gR

Dengan mengambil harga g = 9,8 m/ det2 , V = kecepatn kendaraan (km/jam), R =


jari-jari tikungan (m) persamaan (6.6) bisa ditulis :

V2 (1000/3600) 2 V2
e  f  ( ) 
gR 9,8 127,008R

V2
e  f  . . . . . . . . . (6.7)
127R
Koefisien Gesekan Melintang Maksimum
AASHTO 2001, menggunakan koefisien gesekan melintang maksimum fm dalam
perencanaan alinemen horisontal harus sesuai dengan garis patah, yang mempunyai

67
harga 0,17 pada kecepatan 32 km/jam (20 mph) , 0,14 pada kecepatan 80 km/jam (50
mph) dan 0,08 pada kecepatan 128 km/jam (80 mph) dan dapat dinyatakan dengan
persamaan :

V
f1 = 0.19 - ( V ≤ 80 km/jam ) . . . . . . . . . . (6.8)
1600
V
f2 = 0.24 - ( V ≥ 80 km/jam ) . . . . . . . . . . (6.9)
800

HRB 1940 Moye r & Be ny


K o e fis ie n G e s e k a n M e lin ta n g (f)

Meyer 1949

HRB 1936 Bamett

Arizona

Assumed Value for Design

HRB 1940
Stonex & Noble

Kecepatan (km/jam)

Sumber : AASHTO 2001

Gambar 6.2. Koefisien Gesekan Melintang Maksimum.

Tabel 6-1. Koefisien Gesekan Melintang Maksimum, fm

V (km/jam) AASHTO 2001 BM 1992 BM 1997


fm (Rumus) fm (dibulatkan) fm
20 0,178 0,18 0,15

68
30 0,171 0,17 0,15
40 0,165 0,17 0,15
50 0,159 0,16 0,14
60 0,153 0,15 0,13 0,14 – 0,24
70 0,146 0,14 -
80 0,140 0,14 0,12
90 0,128 0,13 -
100 0,115 0,12 0,11
110 0,103 0,11 -
120 0,090 0,09 0.10
130 0,078 0,08 -

Pada Tabel 6-1 dicantumkan nilai fm yang ditetapkan BM 1992 (halaman 96).
Sedangkan BM 1997 (hal 28) memberikan nilai tersebut untuk perkerasan aspal fm =
0,14 – 0,24. Nilai fm ini akan memberikan perhitungan dan penetapan standard Rmin.

Superelevasi Maksimum
AASHTO 2001, menggunakan 5 superelevasi maksimum yaitu 4, 6, 8, 10 dan 12 %.
Superelevasi maksimum dipakai secara umum untuk jalan raya antar kota adalah
sebesar 10%. Superelevasi maksimum 4 dan 6 % digunakan pada jalan didaerah
perkotaan dengan sedikit atau tanpa kemacetan. Pada persimpangan-persimpangan
dimana kendaraan cendrung berjalan lambat karena akan membelok atau memotong,
superelevasi maksimum lebih rendah lagi atau tanpa superelevasi maksimum
digunakan. Pada daerah ini seringkali akan sulit apabila tidak disediakan superelevasi
negatif untuk kepentingan drainase. Superelevasi maksimum 8% digunakan pada
daerah yang dipengaruhi oleh salju dan es sedangkan superelevasi > 8% pada daerah
tidak dipengaruhi oleh salju dan es. Superelevasi maksimum 12 % adalah khusus
untuk daerah tertentu dimana tidak dipengaruhi oleh salju atau es dan untuk jalan
tanpa permukaan aspal (jalan kerikil/tanah) untuk memfasilitasi drainase permukaan
jalan dan cross drainage.
BM 1992, (Standar Perencanaan untuk Jalan Perkotaan), menggunakan superelevasi
maksimum 10% untuk jalan Bebas Hambatan dan jalan Antar Kota dan superelevasi
maksimum 6% untuk jalan Perkotaan.

69
BM 1997, (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), menetapakan nilai
superelevasi maksimum adalah 10%.

Jari-Jari Minimum
Jari-jari minimum adalah batas minimum jari-jari tikungan jalan untuk suatu
kecepatan rencana (design speed) tertentu, dimana gesekan melintang dan
superelevasi sudah mencapai harga maksimum. Jari-jari minimum suatu lengkung ,
Rmin dapat
NILAIdihitung
FAKTOR dengan rumus :MELINTANG DAN JARI-JARI MINIMUM
GESEKAN

Faktor gesekan melintang (f) V2


R min  . . . . . . . . . . (6.10)
127  e maks  f maks 
f1 = 0,19 - V/1600
f2 = 0,24 - V/800 AASHTO 2001

Menggunakan berturut-turut harga e maks0,200= 4, 6, 8, 10, 12% dan f maks pada Tabel 6-1,
V f (RUMUS) f (Tabel 3-14)
jari-jari
(km/jam)minimum, R min untuk
AASHTO 2001 AASHTO 2001 kecepatan
0,180 rencana 20 km/jam sampai dengan 130
Faktor gesekan melintang, f

20 dapat0,178
km/jam dihitung, 0,18
dibulatkan dan
0,160 menjadi standard Rmin. Gambar 3-9 dan

30 0,171 0,17
Gambar
40 3-10 0,165
berturut-turut
0,17menunjukkan 0,140 hasil perhitungan Rmin berdasarkan emaks

10%50 0,159
dan 6% berdasarkan 0,16
nilai koefisien0,120gesekan melintang masing-masing metode.
60 0,153 0,15
70 0,146 0,14 0,100

Pada80Gambar0,140 0,14
6-4 diperlihatkan secara
0,080 grafis kurva desain koefisien gesekan
90 0,128 0,13
melintang
100 untuk
0,115metode 0,12
AASHTO 2001 0,060
dan BM 1992. Nilai Rmin dengan kode (*)
110 0,103 0,11 0 20 40 60 80 100 120 140
adalah
120 nilai hasil
0,090 interpolasi
0,09 atau ekstrapolasi yang dibulatkan dimana nilai tersebut
Kecepatan V (km/jam)

tidak130 0,078
tercantum 0,08
pada referensi.

Rmin =(V^2)/((127)*(emaks +fmaks))


Vd Rmin Rmin Vd Rmin Rmin
emaks emaks
km/jam dihitung dibulatkan km/jam dihitung dibulatkan
20 0,10 11,25 10 20 0,06 13,12 15
30 0,10 26,25 25 30 0,06 30,81 30
40 0,10 46,66 45 40 0,06 54,78 55
50 0,10 75,71 75 50 0,06 89,48 90
60 0,10 113,39 115 60 0,06 134,98 135
70 0,10 160,76 160 70 0,06 192,91 195
80 0,10 209,97 210 80 0,06 251,97 250
90 0,10 277,30 275 90 0,06 335,68 335
100 0,10 357,91 360 100 0,06 437,45 435
110 0,10 453,69 455 110 0,06 560,44 560
120 0,10 596,77 595 120 0,06 755,91 755
130 0,10 739,28 740 130 0,06 950,51 950

Catatan : AASHTO 2001


70
e maks = 12 % untuk jalan khusus
e maks = 10 % untuk jalan raya secara umum
e maks = 8 % untuk daerah bersalju dan es
e maks = 4 dan 6 % untuk Daerah Kota
NILAI FAKTOR GESEKAN MELINTANG DAN JARI-JARI MINIMUM

Faktor gesekan melintang (f)


AASHTO 2001 dan BM 1992

f (RUMUS) f (Tabel 0.20


V
AASHTO A.7.4)
(km/jam)
Faktor gesekan m elintang, f

0.18
2001 BM 1992
20 0.18 0.15 0.16
AASHTO 2001
30 0.17 0.15
40 0.17 0.15 0.14

BM 1992
50 0.16 0.14 0.12
60 0.15 0.13
70 0.15 * 0.125 0.10

80 0.14 0.12
0.08
90 0.13 * 0.115
100 0.12 0.11 0.06
0 20 40 60 80 100 120 140
110 0.10 * 0.105
120 0.09 0.1 Kecepatan V (km/jam)
130 0.08 * 0.095

Rmin =(V^2)/((127)*(emaks +fmaks))


Vd Rmin Rmin Vd Rmin Rmin
emaks emaks
km/jam dihitung dibulatkan km/jam dihitung dibulatkan
20 0.10 12.60 13 20 0.06 15.00 15
30 0.10 28.35 28 30 0.06 33.75 34
40 0.10 50.39 50 40 0.06 59.99 60
Gambar0.10
50 6.3. Koefisien
82.02 Gesekan
82 Melintang
50 Maksimum98.43
0.06 dan Jari-Jari
98
60 0.10 123.25 Minimum
123 AASHTO 2001
60 0.06 149.19 149
70 0.10 171.48 171 70 0.06 208.56 209
80 0.10 229.06 229 80 0.06 279.97 280
90 0.10 296.65 297 90 0.06 364.45 364
100 0.10 374.95 375 100 0.06 463.18 463
110 0.10 464.76 465 110 0.06 577.43 577
120 0.10 566.93 567 120 0.06 708.66 709
130 0.10 682.41 682 130 0.06 858.52 859

Catatan:
BM 92
e maks = 10% untuk jalan Antar Kota dan jalan Bebas Hamatan 71
e maks = 6% untuk jalan Perkotaan

* = hasil interpolasi atau extrapolasi


Gambar 6.4. Koefisien Gesekan Melintang Maksimum dan Jari-Jari
Minimum BM 1992

72
73
Sumber BM 1992

74
Kecepatan jalan rata-rata (Va)
Menurut pengamatan pada tikungan, bahwa kecepatan jalan rata-rata (averarage
running speed) akan lebih rendah dari design speed dan beda rata-rata spot speed
dengan design speed yaitu makin kecil kalau lengkung semakin besar. Juga dapat
dilihat bahwa sebagian besar pengemudi menjalankan kendaraan dekat dengan
kecepatan rencana pada jalan dengan kecepatan rencana rendah dari pada jalan
dengan kecepatan rencana tinggi. AASHTO 2001 menetapkan kecepatan jalan rata-
rata seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6-2. Pada tabel ini juga diperlihatkan
pembanding untuk nilai kecepatan jalan rata-rata yang ditetapkan BM 1992.
Hubungan ini didasarkan pada anggapan bahwa kendaraan yang akan memasuki
tikungan dengan kecepata desain 30 mph (48 km/jam) akan mengurangi kecepatan
menjadi 90 % kecepatan desain dan pada kecepatan

Tabel 6-2. Kecepatan Jalan Rata Rata Va (Average Running Speed)

Kecepatan Jalan Rata- Kecepatan Jalan Rata-


Kecepatan Kecepatan
Rata (V a) (km/jam) Rata (V a) (km/jam)
Rencana (V D ) Rencana (V D )
AASHTO BM 1992 AASHTO BM 1992
(km/jam) (km/jam)
20 20 19 80 70 64
30 30 28 90 77 -
40 40 37 100 85 74
50 47 45 110 91 -
60 55 52 120 99 -
70 63 - 130 102 -

Vd (kmpj) 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130


AASHTO 20 30 40 47 55 63 70 77 85 91 99 102

Va BM 92 19 28 37 45 52 - 64 - 74

PENUTUP

75
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Mengapa dalam perencanaan geometric jalan ada emaks yang berbeda-
beda?
2. Bagaimana menentukan Rmin dalam pembuatan standard perencanaan?

o Tugas 6

1. Buktikan Rumus dasar:

2. Pada kecepatan rencana Vd = 80 km/jam, berapakah Rmin untuk metode


AASHTO 2001 dan untuk metode BM bila :
(a). emaks = 10%
(b). emaks = 6%

3. Kumpul tugas minggu lalu, tugas 5.

BAB VI

76
PERKULIAHAN KE : 7

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Materi kuliah pada pertemuan ke 7 ini akan membahas mengenai pengembangan


rumus-rumus dasar dan menjadi kriterai desain pada perencanaan alinemen
horizontal.

2. TIK : Mahasiswa dapat mejelaskan hubungan antara e dan R


untuk tiap kecepatan rencana, V.

3. Pokok Bahasan :
 Metode Distribusi Superelevasi dan
Gesekan Melintang (AASHTO).
 Metode Distribusi Superelevasi BM

PENYAJIAN :

77
DISTRIBUSI SUPERELEVSI DAN GESEKAN MELINTANG

o Metode AASHTO 2001


V2
Rumus dasar: e  f 
127R

Menurut AASHTO, ada lima metode untuk menahan gaya centrifugal yang timbul
pada kendaraan yang bergerak dengan kecepatan V pada lengkung dengan jari-jari R,
yaitu dengan menggunakan e atau f atau kedua-duanya. Metode ini diperlihatkan pada
Gambar 3-4 .A sampai Gambar 3-4.C. adalah sebagai berikut:

1. Superelevasi dan gesekan melintang berbanding lurus dengan 1/R, yaitu


garis lurus antara 1/R = 0 dan 1/R = 1/R min .
2. Koefisien gesekan melintang f adalah sedemikian rupa sehingga lansung
mengimbangi seluruh gaya centrifugal pada kendaraan yang berjalan dengan
kecepatan rencana sampai pada f = f maks . Selanjutnya untuk lengkung yang
lebih tajam f tetap sama dengan f maks namun superelevasi e, dibutuhkan untuk
dapat menahan gaya centrifugal sampai e mencapai e maks . Pada metode ini
mula-mula f kemudian e meningkat sebanding dengan meningkatnya nilai 1/R
dari lengkung.
3. Superelevasi e adalah sedemikian rupa sehingga mengimbangi seluruh gaya
centrifugal pada kendaraan yang berjalan dengan kecepatan rencana (Vd)
sampai e mencapai e maks . Selanjutnya untuk lengkung yang lebih tajam e tetap
pada emaks ditambah dengan f dengan proporsi yang berbanding lurus sampai f
mencapai f maks . Pada metode ini mula-mula e kemudian f meningkat sebanding
dengan meningkatnya nilai 1/R dari lengkung.
4. Metode yang keempat sama dengan metode yang ketiga, kecuali didasarkan
pada kecepatan jalan rata-rata (Va) menggantikan kecepatan rencana.
5. Superelevasi dan gesekan melintang berhubungan secara curvilinear dengan
1/R diantara metode 1 dan 4.

78
Superelevation rate, e
3 4 A
Maximum
4
1
3
Distribution of
2 Superelevation

0 2
0
1/R 1/R min

2 B
Maximum
Side friction factor, f

Corresponding f
2 4 at design speed
1
3

0 3
0
1/R 1/R min
Side friction factor, f

2
C

1 Corresponding f
2 at running speed
4
3
0 4
0
3
1/R 1/R min

Sumber : AASHTO 2001

Gambar 7.1. Metode Distribusi Superelevasi dan Gesekan Melintang


(AASHTO)

o Metode Bina Marga 1992

79
V2
Rumus dasar: e  f 
127R

Menurut BM ada 4 metode untuk menghitung alinemen gaya centrifugal pada suatu
lengkung dengan mengambil salah satu faktor e atau f atau kedua-duanya. Lihat
Gambar 3-12.
Superelevation rate, e

2 3
Maximum
3 4
1
2
Distribution of
Superelevation

0
0
Lengkungan 1/R 1/R min

Sumber : BM 1992

Gambar 7.2. Metode Distribusi Superelevasi dan Gesekan Melintang


(Bina Marga)

Seperti pada metode AASHTO, distribusi superelevasi diambil mengikuti metode 4


dan pada lengkung yang semakin tajam akan menuju ke metode 1 dengan bentuk
lengkung parabola seperti yang digambarkan pada metode 4.
Persamaan lengkung parabola yang dikembangkan dengan dasar metode ini tidak
memperhatikan distribusi gesekan melintang sepanjang lengkung.

PENUTUP

80
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Bagaimanakah pengaruh faktor keamanan sehubungan penetapan nilai
koefisien gesekan yang berbeda antara metode AASHTO dan BM ?
2. Dasar apakah BM 1992 menetapkan desain koefisien gesekan
melintang?
3. Adakah pengaruh nilai koefisien gesekan melintang pada prosedur
perhitungan distribusi superelevasi metode Bina Marga?

o Tugas
Tiap mahasiswa diharuskan memahami hubungan antara e dan 1/R pada
kecepatan rencana V tertentu. Untuk itu tiap mahasiswa harus dapat
mempresentasekan di depan kelas bagaimana membaca persamaan:

V2
e  f 
127R

Yaitu, dengan menjelaskan metode distribusi superelevasi baik cara


AASHTO, maupun Bina Marga seperti yang diperlihatkan pada Gambar
7-1 dan Gambar 7-2.
Akan ditunjuk secara acak seorang mahasiswa untuk presentase di depan
kelas pada awal kuliah minggu depan dengan waktu paling lama 10
menit.

81
PERKULIAHAN KE : 8

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 8 ini akan membahas lanjutan mengenai
pengembangan rumus-rumus dasar dan menjadi kriterai desain pada perencanaan
alinemen horizontal.

2. TIK :
 Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan matematis
hubungn antara koefisien gesekan melintang dengan jari-jari
tikungan.
 Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan matematis
hubungan antara superelevasi dengan jari-fari tikungan

3. Pokok Bahasan :

 Prosedur perhitungan distribusi superelevasi metode AASHTO


 Distribusi koefisien gesekan melintang
 Distribusi superelevasi
 Kontrol desain

82
PENYAJIAN :

Prosedur Perhitungan Distribusi Superelevasi (AASHTO)

(e + f ) design speed

(e + f ) running speed

f max
e or f or (e + f)

f distribution

h PI
emax

2
finalized e distribution

MO
PI
1
h PI

1/R PI 1/R min

L1 L2

Sumber : AASHTO 2001

Gambar 8.1. Metode 5 Prosedur Perhitungan Distribusi


Superelevasi

VD = V = kecepatan rencana (design speed), km/jam


emaks = e = maksimum
fmaks = f = maksimum
Rmin = R = jari-jari minimum, meter
RPI = R = jari-jari pada titik perpotongan PI, dari kurva (1) dan (2) dari
lengkung parabola distribusi f
VR = V = kecepatan jalan (running speed), km/jam

VD2
Maka , R min  . . . . . . . . . . (8.1)
127  e maks  f maks 

83
VR2
R PI  . . . . . . . . . . (8.2)
127  e maks 

2
Y atau f

S2

MO
Y
PI
S1 h PI
X atau 1/R

x 1/R PI 1/R min

L1 L2

Gambar 8.2. Lengkung Parabola Tidak Simetris

Persamaan untuk ordinat tengah (MO) pada Gambar 8.2 diturunkan dari persamaan
lengkung parabola tidak symetris (unsymmetrical parabolic curve) sebagai berikut:

L1 L 2 (S 2 - S1 )
MO = . . . . . . . . . . (8.3) . . . . . (17)
2 (L1  L 2 )

Karena L 1 = (1/R PI ) , dan L 2 = (1/R min - 1/R PI ) maka,

1/R PI (1/R min - 1/R PI ) (S2 - S1 )


MO =
2 (1/R min )

1  1 1   S 2 - S1 
MO =      R min . . . . . . . . . . (8.4)
R PI  R min R PI  2 
. . . . . . . . . . (18)

84
Rangkuman :
VD2
1. R min 
127  e maks  f maks 

VR2
2. R PI 
127  e maks 

  
 e maks . VD2

3. hPI = 
   
VR2
- e maks

4. S1 = (h PI ) (RPI )

f maks - h PI
5. S2 = 1 - 1
R min R PI

1  1 1   S 2 - S1 
6. MO =      R min
R PI  R min R PI  2 

( e maks  f maks ) R min


7. (e + f) D =
R

2
R 
8. f1 = MO  PI  + S1/R
 R 
2
 1/R min - 1/R 
9. f2 = MO  
 + S 2 ( 1/R - 1/R PI ) + h PI
 1/R min - 1/R PI 1 

2
( e maks  f maks ) R min  R PI 
10. e 1 = - MO   - S 1/R
R  R 

2
(e  f maks ) R min  1/R min - 1/R 
11. e 2 = maks - MO   - S2 (1/R - 1/R PI )-hPI

R  1/R min - 1/R PI 1 

( e maks  f maks ) R min


12. e PI = - (h PI + MO)
R

85
Persamaan lengkung distribusi superelevasi persamaan dapat ditulis kembali
sebagai berikut:

Untuk R ≤ R PI
2
( e maks  f maks ) R min R 
e1 = - MO  PI  - S1/R
R  R 
e1 = - ((MO)(R PI)2) (1/R) 2 + ((emaks + fmaks )Rmin - S 1) (1/R)

A B
e1 = R 2  R  C1
1 1
Atau, . . . . . . . . . . (26)

Dimana, A1 = - ((MO)(R PI)2)


B1 = ((e maks + fmaks)Rmin + S1) ; C1 = 0

Untuk R ≥ R PI
2
(e  f maks ) R min  1/R min - 1/R 
e2 = maks - MO   - S2 (1/R - 1/R PI )-hPI

R  1/R min - 1/R PI1 
 - MO  1  2 MO 1
e2 =      e maks  f maks  R min  - S2 
R  R
 1/R min - 1/R PI  1/R min - 1/R PI  R min
2 2 2
  

 - MO S 2 
+  - h 
 1/R min - 1/R PI  R min R PI 
2 2 PI

A 2 B2
Atau, e2 =   C2 . . . . . . . . . . (27)
R2 R
 - MO 
Dimana, A2 =  

 1/R min - 1/R PI 
2

 2 MO 
B2 =   e maks  f maks  R min  - S2 
 1/R min - 1/R PI  R min
2

 - MO S 2 
C2 =  - h 
 1/R min - 1/R PI  R min R PI 
2 2 PI

86
Tabel 8.1. Konstanta A, B dan C Persamaan Lengkung Superelevasi e maks = 10 %.
VD R ≥ RPI R ≤ RPI
km/ja RPI
A1 B1 C1 A2 B2 C2
m
20 31,496 -31,8858 3,1496 0 -9,8413 1,7498 0,0222
30 70,866 -158,1003 7,0866 0 -54,7060 4,1686 0,0206
125,98 12,598
40 -499,6751 0 -172,8979 7,4108 0,0206
4 4
173,93 17,393
50 -854,2509 0 -507,5332 13,4070 0,0115
7 7
238,18 - 23,818
60 0 -1226,8279 21,6399 0,0046
9 1486,3367 9
312,52 - 31,252 -
70 0 -2661,0713 33,1059
0 2371,3764 0 0,0030
385,82 - 38,582 -
80 0 -4836,6266 46,0689
7 3392,4401 7 0,0097
466,85 - 46,685 -
90 0 -9469,6782 68,2986
0 4424,5303 0 0,0231
568,89 - 56,889 -
100 0 -17270,0631 96,5051
8 6001,5239 8 0,0348
652,04 - 65,204 149,142 -
110 0 -33832,4081
7 6466,8075 7 2 0,0644
756,22 - 75,622 283,022 -
120 0 -84449,3247
0 6029,0798 0 5 0,1371
819,21 - 81,921 - 757,699 -
130 0
3 3273,9835 3 280077,1790 9 0,4125
e 1 = A 1/R 2 +B1/R +C1 e2 = A 2/R2 +B2/R +C2

Tabel 8.1 memperlihakan nilai A1, B1, A2, B2 dan C2 pada persamaan lengkung
distribusi superelevasi untuk setiap kecepatan rencana pada e maksimum 10%

o Contoh Perhitungan:
Hitung e d bila : R = 1250 meter
V D = 120 km/jam
e maks = 10%
Nilai superelevasi desain bisa diperoleh dengan 2 cara:
1. Dari Tabel 8-3 dengan cara interpolasi dihitung :

87
R = 1225 m berada diantara 1200 dan 1300 meter, maka e d akan berada
diantara 5,5 dan 5,9 %
( 5,9 - e d ) ( 1300 - 1250 )

( 5,9 - 5,5 ) ( 1300 - 1200 )

e d = 5,9 – (0,50) (0,4) = 5,7 %


2. Dari Tabel 3-12 dengan persamaan lengkung superelevasi :
R < R PI = 756,220 meter
ed = (-6029,0798)/(1250) 2 + (75,6220)/1250 + 0
ed = 0,0566 = 5,7%

o Kontrol desain

AASHTO menetapkan untuk nilai e hasil perhitungan ≤ 1,5 % menunjukkan lengkung


yang sedemikian tumpul (flat curve), sehingga tidak perlu menghilangkan kemiringan
negatifnya, dan disini penampang normal (PN) , normal crown, digunakakan.
Sedangkan nilai e diantara 1,5 % sampai dengan 2 % , menunjukkan lengkung dimana
cukup menghilangkan kemiringan negatifnya dengan memberikan kemiringan seluruh
penampang jalan pada kemiringan normal, disini istilah penampang putar (PP) ,
remove adverse crown, digunakan.

Gambar 8.3. Penamapang Normal dan Penampang Putar

Nilai e hasil perhitungan ≤ 3 % tidak dianjurkan menggunakan lengkung peralihan


dan untuk e > 3% disyaratkan menggunakan lengkung peralihan.

˜˜
Hasil perhitungan distribusi superelevasi untuk e maks = 10% disajikan pada
Tabel 8.2 dan Tabel 8.3.

88
89
Tabel 8.2. Perencanaan Geometrik Jalan Raya (AASHTO)
TABEL PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA (AASHTO 2001)
)
Vd = 30 km /jam Vd = 40 km /jam Vd = 50 km /jam Vd = 60 km/jam Vd =70 km /jam
L (meter) L (meter) L (meter) L (meter) L (meter)
R e 2 4 e 2 4 e 2 4 e 2 4 e 2 4 .
(meter) % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur
7000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
5000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
3000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
2500 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
2000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
1500 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 RC 13 19
1400 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,1 13 20
1300 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,3 14 22
1200 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 RC 12 18 2,4 16 23
1100 NC 0 0 NC 0 0 RC 0 0 RC 12 18 2,6 17 25
1000 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,2 13 20 2,9 18 28
900 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,5 14 22 3,2 20 30
800 NC 0 0 NC 0 0 RC 11 16 2,7 16 24 3,5 23 34
700 NC 0 0 RC 10 15 2,3 13 19 3,1 18 27 4,0 25 38
600 NC 0 0 RC 10 15 2,7 14 22 3,6 21 31 4,5 29 43
500 NC 0 0 2,3 12 17 3,1 17 26 4,2 24 37 5,3 34 51
400 RC 9 14 2,8 14 21 3,8 21 31 5,0 29 44 6,3 40 60
300 2,2 10 15 3,6 18 27 4,8 26 39 6,3 37 55 7,8 49 74
250 2,6 12 18 4,2 21 32 5,6 30 45 7,1 42 63 8,7 55 83
200 3,1 15 22 5,0 25 38 6,6 36 53 8,2 48 72 9,6 61 92
175 3,5 16 25 5,6 28 42 7,1 39 58 8,8 51 77 9,9 63 95
150 4,0 19 28 6,2 31 46 7,8 42 64 9,4 55 83 Rm in = 160 m eter
140 4,3 20 30 6,4 32 48 8,1 44 66 9,6 56 85
130 4,5 21 32 6,7 34 50 8,4 46 69 9,8 57 86
120 4,8 22 34 7,0 35 53 8,8 48 71 10,0 58 87
110 5,1 24 36 7,4 37 55 9,1 50 74 Rm in = 115 m eter
100 5,5 26 38 7,7 39 58 9,5 51 77
90 5,9 28 41 8,1 41 61 9,8 53 79
80 6,4 30 45 8,6 43 65 10,0 54 81
70 6,9 32 48 9,1 46 68 Rm in = 75 m eter
60 7,5 35 52 9,6 48 72
50 8,2 38 57 10,0 50 75
40 9,0 42 63 Rm in = 45 meter
30 9,9 46 69
Rmin = 25 m eter
90
Tabel 8.3. Perencanaan Geometrik Jalan Raya (AASHTO)
TABEL PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA (AASHTO 2001)

Vd = 80 km /jam Vd = 90 km /jam Vd = 100 km /jam Vd =110 km /jam Vd =120 km /jam


L (meter) L (meter) L (meter) L (meter) e L (meter)
R e 2 4 e 2 4 e 2 4 e 2 4 % 2 4
(meter) % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur % lajur lajur lajur lajur
7000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
5000 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0 NC 0 0
3000 NC 0 0 NC 0 0 RC 16 24 2,1 18 27 2,4 23 34
2500 NC 0 0 RC 15 22 2,2 17 26 2,5 21 32 2,9 27 40
2000 RC 14 21 2,2 17 25 2,7 21 32 3,1 26 40 3,6 33 50
1500 2,4 17 25 2,9 22 33 3,5 28 42 4,1 35 52 4,8 44 66
1400 2,6 18 27 3,1 23 35 3,8 30 45 4,3 37 55 5,1 47 70
1300 2,8 19 29 3,3 25 37 4,0 32 48 4,6 40 59 5,5 50 75
1200 3,0 21 31 3,6 27 40 4,3 34 51 5,0 43 64 5,9 54 81
1100 3,2 23 34 3,9 29 43 4,7 37 56 5,4 46 69 6,4 59 88
1000 3,5 25 37 4,2 31 47 5,1 40 61 5,9 50 75 6,9 64 96
900 3,9 27 41 4,6 35 52 5,6 44 66 6,4 55 82 7,6 70 106
800 4,3 30 45 5,1 38 57 6,2 49 73 7,1 61 91 8,5 78 117
700 4,8 34 51 5,8 43 64 6,9 55 82 8,0 68 102 9,5 87 131
600 5,5 38 58 6,5 49 73 7,8 62 93 9,0 77 115 10,0 92 138
500 6,4 44 67 7,6 56 84 8,9 71 106 9,8 84 126 Rm in = 595 m eter
400 7,5 53 79 8,8 66 99 9,8 78 117 Rm in = 455 m eter
300 9,0 63 94 9,9 74 111 Rm in = 360 m eter
250 9,7 68 102 Rm in = 275 m eter
Rm in = 210 m eter

emax = 10 %
R= Jari-jari lingkaran
Vd = Kecepatan Rencana
e= superelevasi
L= Panjang minmum lengkung pencapaian kemiringan superelevasi
(tidak termasuk pencapain kemiringan di tangen,
dan berdasarkan lebar lajur w = 3,5 meter)
(AASHTO 2001 mengambil w = 3.6 meter untuk satuan metric)
NC = Normal Crow n (Penampang Normal)
RC = Remove adverse Crow n (Penampang Putar)

Catatan : Tabel Perencanaan ini dibuat berdasarkan standard AASHTO 2001(A Policy on Geometric Design of Highw ays and Streets)
: Ir. M. J. Paransa MT.
91
PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Dengan bantuan table pada emkas = 10 %, kecepatan rencana 40
km/jam. Berapakah nilai
(a) . Rmin (R = 45 m)
(b) . R dimana lengkung peralihan dibutuhkan (R = 130 m)
(c) . R dimana e = e normal (R ≥ 800 m)
(d) . R dimana e = 2%. (R = 600 – 700 m)

o Tugas 8

Pada tugas 4 dengan pemahaman distribusi supereevasi ini berapakah


kecepatan rencana yang boleh diterapkan? Dan berapakah nilai superelevasi untuk
lengkung tersebut. Tugas dimasukkan pada kuliah minggu depan.

92
BAB VII

PERKULIAHAN KE : 9

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 9 ini akan membahas mengenai pengembangan
rumus-rumus dasar dan menjadi kriterai desain pada perencanaan alinemen horizontal
metode Bina Marga.

2. TIK :
 Mahasiswa dapat menguraikan persamaan lengkung parabola yang
menjadi dasar distribusi superelevasi..

3. Pokok Bahasan :

 Koefisien gesekan melintang untuk menghitung Rmin


 Persamaan lengkung parabola.

93
PENYAJIAN :
Prosedur Perhitungan Distribusi Superelevasi Bina Marga

E C g3 D
g2

y A
y2

g1 y1

1
Ra = 127
Va²
e
1
Rmin
O
x
x1
x2

Gambar 9.1. Metode Perhitungan Distribusi Superelevasi (Bina Marga)

Pada Gambar 3-14 distribusi superelevasi digambarkan pada sumbu y dan 1/R pada
sumbu x. Hubungan ini digambarkan oleh lengkung parabola-ganda yaitu OB dan
BD. dimana:
y2 y2
g1 = , g2 = , g3 = 0
x1 x2

1 127.e
x1 =  , Va = Kecepatan jalan rata-rata
Ra Va2
1 emaks fmaks
x2 =  , Vd = Kecepatan rencana.
R min Vd2

Dengan menggunakan batasan-batasan lengkung parabola :

d2y dy 1
C,  Cx  C1 , dan y  Cx 2  C1 x  C 2
dx 2 dx 2

94
Untuk x ≤ x 1 :
dy y2
x=0 ,  g1 , C1 = g1 , C1 =
dx x1

dy g 2  g1 y2 1 1
x = x1 ,  g2 , C= , C=( )(x x )
dx x1 x1 2 1

x=0 , y=0 , C2 = 0

1 y2 1 1 y2
y= ( ) ( x  x ) x2 + x . . . . . . . . . .(1)
2 x1 2 1 x1

Untuk x 1 ≤ x ≤ x 2 :
dy dy
x = x1 ,  g2 ,  Cx  C1 , g2 = Cx1 + C1
dx dx
dy dy
x = x2 ,  0 ,  Cx  C1 , 0 = C x2 + C1
dx dx
y2 1
g2 = C (x 1 – x2) , C=( ) ( x x )
x2 1 2

y2
C1 = - Cx 2 , C1 = - ( )
x1  x 2

1 1
x = x1 , y Cx 2  C1 x  C 2 , y1 = Cx12 + C1 x1 + C2
2 2

1 y2 1 y2
y1 = ( ) ( x  x )x12 – ( )x1 + C2
2 x2 1 2 x1  x 2

1 y2 1 y2
C2 = y1 - ( ) ( x  x )x12 + ( )x1
2 x2 1 2 x1  x 2

Jadi :

1 y2 1 y2 1 y 2 x2
y= ( ) ( x  x ) x2 - ( ) x + (y2 + ( )) . . . . . . . . (2)
2 x2 1 2 x1  x 2 2 x1  x 2

95
Dengan persamaan (1) dan (2) dibuat perhitungan hubungan antara e dan R untuk y 2 =
emaks (10% dan 8%) untuk setiap Kecepatan Rencana V d. Hasil perhitungan untuk
emaks = 10 % , dengan fm menurut ASSHTO 2001, diperlihatkan pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1. Distribusi Superelevasi Untuk e maks = 10% Cara Bina Marga
Vd 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Va 30 40 47 55 63 70 77 85 91 98 102
fm 0.171 0.165 0.159 0.153 0.146 0.140 0.128 0.115 0.103 0.090 0.078
Rmin 25 50 75 110 155 210 280 365 470 595 745
Ra 70.87 125.98 173.94 238.19 312.52 385.83 466.85 568.90 652.05 756.22 819.21
x1 0.0141 0.0079 0.0057 0.0042 0.0032 0.0026 0.0021 0.0018 0.0015 0.0013 0.0012
x2 0.0400 0.0200 0.0133 0.0091 0.0065 0.0048 0.0036 0.0027 0.0021 0.0017 0.0013
BINA MARGA
V
= V = 30 V = 40 V = 50 V = 60 V = 70 V = 80 V = 90 V = 100 V = 110 V = 120 V = 130
R (meter)
2 km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h km/h
0
7000 PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN
5000 PN PN PN PN PN PN PN PN PN PN PP
3000 PN PN PN PN PN PN PN PP PP PP 0.027
2500 PN PN PN PN PN PN PP 0.022 0.025 0.029 0.032
2000 PN PN PN PN PN PP 0.022 0.027 0.031 0.036 0.040
1500 PN PN PN PN 0.020 0.024 0.029 0.035 0.041 0.048 0.053
1400 PN PN PN PP 0.021 0.026 0.031 0.038 0.044 0.051 0.057
1300 PN PN PN PP 0.023 0.028 0.033 0.040 0.047 0.055 0.061
1200 PN PN PN PP 0.024 0.030 0.036 0.043 0.050 0.059 0.066
1100 PN PN PN 0.020 0.026 0.032 0.039 0.047 0.054 0.064 0.072
1000 PN PN PP 0.022 0.029 0.035 0.042 0.051 0.059 0.070 0.079
900 PN PN PP 0.025 0.032 0.039 0.046 0.056 0.065 0.076 0.087
800 PN PN 0.020 0.027 0.035 0.043 0.052 0.062 0.072 0.085 0.097
745 PN PP 0.022 0.029 0.038 0.046 0.055 0.066 0.077 0.090 0.100
700 PN PP 0.023 0.031 0.040 0.048 0.058 0.069 0.081 0.095
600 PN 0.020 0.027 0.035 0.045 0.055 0.066 0.079 0.092 0.100
500 PN 0.023 0.031 0.042 0.053 0.064 0.076 0.090 0.099
470 PN 0.025 0.033 0.044 0.055 0.067 0.080 0.093 0.100
400 PP 0.029 0.038 0.050 0.063 0.075 0.089 0.099
365 PP 0.031 0.041 0.054 0.067 0.080 0.093 0.100
350 PP 0.032 0.043 0.056 0.069 0.082 0.095
300 0.022 0.037 0.048 0.062 0.077 0.090 0.099
280 0.023 0.039 0.051 0.066 0.080 0.093 0.100
250 0.026 0.043 0.056 0.071 0.086 0.097
210 0.030 0.049 0.063 0.079 0.093 0.100
200 0.031 0.051 0.065 0.081 0.095
175 0.035 0.056 0.071 0.087 0.099
155 0.039 0.061 0.077 0.092 0.100
150 0.040 0.063 0.078 0.093
140 0.042 0.066 0.081 0.096 emaks = 10%
130 0.045 0.069 0.084 0.098
120 0.048 0.072 0.088 0.099 PN = Penampang Normal
115 0.049 0.074 0.089 0.100 PP = Penampang Putar
110 0.051 0.075 0.091 0.100
100 0.055 0.079 0.095
90 0.059 0.084 0.098
80 0.063 0.088 0.100
75 0.066 0.091 0.100
70 0.068 0.093
60 0.074 0.098
50 0.081 0.100
40 0.089
30 0.098
25 0.100

96
PENUTUP

o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi


perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Dasar apakah BM 1992 menetapkan desain koefisien gesekan
melintang?
2. Pentingkah nilai koefisien gesekan melintang digunakan dalam
penentuan kriteria desain untuk distribusi superelevasi?

o Tugas
Pada emaks = 10%, tentukan harga Rmin berdasarkan Metode Bina
Marga dan Metode ASSTHO untuk setiap kecepatan rencana.

97
BAB VIII

PERKULIAHAN KE : 10

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:
Materi kuliah pada pertemuan ke 10 ini akan membahas mengenai jarak pandangan
henti dan jarak pandangan menyiap.

2. TIK :
 Mahsiswa dapat menjelaskan elemen-elemen jarak pandangan henti.
 Mahasiswa dapat menjelaskan elemen-elemen jarak pandangan
menyiap.

3. Pokok Bahasan :

 Perhitungan jarak pandangan henti berdasarkan kecepatan rencana


 Perhitungan jarak pandangan menyiap berdasarkan kisaran kecepatan
menyiap rata-rata.
 Pengaruh perhitungan jarak pandangan pada kelandaian.
 Jarak pandangan pada lengkung horizontal

98
PENYAJIAN :

JARAK PANDANGAN

 Umum
Kemampuan pengendara untuk melihat bebas kedepan sepenuhnya sangat penting
untuk keamanan dan efisiensi operasi kendaraan pada jalan raya. Untuk keamanan di
jalan raya, jarak pandangan yang cukup haruslah tersedia supaya pengendara dapat
mengontrol operasi kendaraannya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
pada lajur jalannya. Pada jalan dua-lajur, misalnya, haruslah tersedia cukup jarak
pandangan yang memungkinkan pengendara menempati lajur berlawanan arah untuk
melakukan penyiapan kendaraan tanpa terjadi risiko tabrakan. Pada jalan dua-lajur
antar kota, haruslah tersedia jarak pandangan menyiap pada interval-interval tertentu
secara proporsional sehubungan dengan panjang jalan.

 Jarak Pandangan Henti


Tersedianya jarak pandangan henti pada jalan raya haruslah cukup panjang untuk
kendaraan dapat berjalan pada atau dekat kecepatan rencana mengerem dan berhenti
sebelum mencapai suatu objek. Jarak pandangan henti adalah penjumlahan dari 2
(dua) jarak : (1) jarak yang dilalui kendaraan saat melihat suatu objek dan kemudian
mengambil keputusan untuk seketika menginjak rem dilakukan, (brake reaction
time); dan (2) jarak yang dibutuhkan sejak menginjak rem dilakukan sampai
kendaraan berhenti.
V2
d  0.278 Vt  0.039
a

Dimana, t = brake reaction time, 2.5 detik


V = kecepatan rencana km/jam
a = perlambatan, 3.4 m/det 2

perhitungan jarak pandangan henti diperlihatkan pada Tabel dibawah ini.

99
Jarak pandangan henti ini, Tabel 10.1, dipergunakan sebagai kontrol dalam
menghitung panjang lengkung vertikal dimana tinggi mata pengemudi diperkirakan
1,080 m (3.5 ft) dan tinggi objek adalah 60 cm (2.0 ft).

Tabel 10.1. Jarak Pandangan Henti


Kecepatan Jarak Megerem Jarak Pandangan Henti
Jarak Waktu
Rencana pada Medan Datar Dihitung Dibulatkan
Reaksi (km/jam)
(km/jam) (m) (m) (m)
20 13,9 4,6 18,5 20,0
30 20,9 10,3 31,2 35,0
40 27,8 18,4 46,2 50,0
50 34,8 28,7 63,5 65,0
60 41,7 41,3 83,0 85,0
70 48,7 56,2 104,9 105,0
80 55,6 73,4 129,0 130,0
90 62,6 92,9 155,5 160,0
100 69,5 114,7 184,2 185,0
110 76,5 138,8 215,3 220,0
120 83,4 165,2 248,6 250,0
130 90,4 193,8 284,2 285,0
Note: Jarak waktu reaksi diprediksi dengan waktu 2,5 detik; perlambatan 3,4 m/det 2

 Pengaruh Kelandaian
Apabila suatu jalan berada pada kelandaian, persamaan jarak pandangan haruslah
dimodifikasi sebagai berikut :
V2
d2 
 a  
254     G 
  9.81  

Dalam persamaan ini, G adalah kelandaian dalam percent dibagi 100. Jarak
pandangan henti ini lebih pendek pada jalan mendaki dibandingkan dengan jalan
datar dan lebih panjang pada jalan menurun.

 Jarak Pandangan Menyiap


Hampir semua jalan dua-lajur melewatkan lalulintas pada dua arah yang berlawanan.
Dalam hal menyiap kendaraan yang lebih pelan, diperlukan untuk menggunakan lajur
kanan, lajur lalulintas berlawanan arah.

100
Penyiapan dapat dilakukan dengan aman apabila pengendara dapat melihat jalan
cukup jauh kedepan pada lajur berlawanan arah dan mengizinkan pengendara dengan
waktu yang cukup untuk melakukan penyiapan dan kembali ke lajurnya tanpa
menyenggol kendaraan yang disiap dan tidak terjadi tabrakan atau hal lain yang tidak
diinginkan pada kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Jarak yang dibutuhkan
untuk melakukan maneuver ini adalah jarak pandangan menyiap. Jarak pandangan
menyiap minimum untuk perencanaan jalan dua-lajur ditentukan dengan
menjumlahkan beberapa jarak seperti terlihat pada Gambar 10.1 :

d1 = Jarak yang dilalui selama waktu persepsi dan reaksi dan percepatan awal
untuk pindah kelajur berlawanan arah.
d2 = jarak yang dilalui kendaraan yang melakukan penyiapan selama kendaraan
tersebut menempati lajur berlawanan.
d3 = jarak kendaraan yang melakukan penyiapan, pada akhir melakukan
maneuver penyiapan, dan jarak kendaraan yang mendatang pada lajur
berlawanan arah.
d4 = jarak yang dilalui kendaraan yang mendatang dari lajur berlawanan.

FASE PERTAMA

A
Kendaraan datang dari arah
1
d1 3 d2 berlawanan terlihat ketika
kendaraan yang akan menyiap
sampai di titik A
FASE KEDUA

1 2
3 d2 3 d2

d1 d2 d3 d4

Gambar 10.1. Elemen Jarak Pandangan Menyiap Jalan Dua-Lajur

101
 at 
d 1  0.278 t 1  v - m  1  .............
 2 

d 2  0.278 Vt 2

Dimana :
t1 = waktu initial maneuver, detik
a = rata-rata percepatan, km/jam/detik
v = rata-rata kecepatan kendaraan menyiap, km/jam
m = perbedaan kecepatan kendaraan menyiap dan kendaraan
yang disiap, km/jam
t2 = waktu menempuh lajur kanan, detik

Panjang bebas (clearance length) d 3, antara kendaraan yang melakukan penyiapan dan
kendaraan dari depan, diperoleh dari hasil studi, adalah berkisar 30 sampai 75 meter
dan secara praktis diperhitungkan seperti yang tertera pada Tabel 10.2.
Kendaraan yang mendatang dari arah berlawanan dianggap berjalan dengan kecepatan
yang sama dengan kendaraan yang melakukan penyiapan yaitu sebesar:

d 4  2/3 d 2

Tabel 10.2. Jarak Pandangan Menyiap Minimum pada Jalan Dua-lajur


Kisaran Kecepatan (km/jam)
Komponen Maneuver 55 - 65 66 - 80 81 - 95 96 - 110
Penyiapan Rata-rata Kecepatan Menyiap (km/jam)
56,2 70 84,5 99,8
Initial maneuver
a (km/jam/detik) 2,25 2,3 2,37 2,41
t1 (detik) 3,6 4 4,3 4,5
d1 (meter) 45 66 89 113
Menempati lajur kanan
t2 (detik) 9,3 10 10,7 11,3
d2 (meter) 145 195 251 314
Panjang bebas
d3 (meter) 30 55 75 90
Kendaraan dari depan
d4 = 2/3 d2 (meter) 97 130 168 209
Total d = d1 + d2 +d3 +d4 317 446 583 725
Sumber : AASHTO 2001

102
 Nilai Desain
Kurva “Total” seperti terlihat pada Gambar 10.2 ditentukan dengan menjumlahkan
elemen d1 sampai d4. Tiap titik pada kurva memberi indikasi panjang jarak
pandangan menyiap minimum untuk kendaraan yang menyiap kendaraan lain, yang
berjalan dengan kecepatan lebih rendah 15 km/jam, dan berhadapan dengan
kendaraan dari depan dengan kecepatan yang sama. Kisaran kecepatan kendaraan
menyiap dan kendaraan disiap dipengaruhi oleh besarnya volume lalulintas. Diwaktu
volume lalulintas rendah, hanya sedikit jumlah kendaraan yang perlu disiap, tetapi
begitu volume lalulintas meningkat, apabila ada, hanya sedikit kesempatan untuk bisa
melakukan penyiapan. Dan untuk menentukan hubungan rata-rata kecepatan menyiap
dengan kecepatan desain pada desain jalan raya, kurva jarak pandangan ini digunakan
untuk menyatakan maksud tersebut. Asumsi kecepatan untuk kendaraan yang
melakukan penyiapan pada Tabel 10.2 mewakili kecepatan-kecepatan kendaraan pada
jalan dua-lajur dan pada kolom terakhir Tabel 10.2 adalah nilai desain untuk jarak
pandangan menyiap minimum.

1200

1000
Jarak Pandangan Menyiap (m)

800
Total d = d1 + d2 +d3 + d4

600

400

d2
d4
200
d1

d3

0
20 40 60 80 100 120 140

Rata-rata Kecepatan - Kendaraan Menyiap (kmpj)

Gambar 10.2. Total Jarak Pandangan Menyiap – Jalan Dua-Lajur

103
Tabel 10.3. Jarak Pandangan Menyiap untuk Desain Jalan Dua-Lajur
Kecepatan Asumsi Kecepatan (km/jam) Jarak Kendaraan Menyiap
rencana Kendaraan Kendaraan Dari Dibulatkan
(km/jam) Disiap Menyiap Gambar 3-2 utk desain
30 29 44 202 200
40 36 51 268 270
50 44 59 343 345
60 51 66 409 410
70 59 74 484 485
80 65 80 540 540
90 73 88 615 615
100 79 94 671 670
110 85 100 727 730
120 90 105 774 775
130 94 109 812 815

Untuk perhingan jarak pandangan menyiap, kendaraan standard yang dipakai adalah
mobil penumpang dengan tinggi mata pengemudi dipertimbangkan sebesar 1,08 meter
(3,5 feet) diatas permukaan jalan dan tinggi objek adalah juga 1,08 meter.

 Pengaruh Kelandaian pada Jarak Pandangan Menyiap


Kelandaian yang appreciable mempengaruhi kebutuhan jarak pandangan menyiap.
Penyiapan (passing) akan mudah dilakukan pada kendaraan yang meluncur turun
karena kendaraan yang menurun dapat mempercepat kendaraan lebih cepat
dibandingkan dengan jalan datar, juga akan menurunkan waktu penyiapan.
Jarak pandangan dibutuhkan untuk bisa mengizinkan terjadinya penyiapan secara
aman pada kendaraan yang mendaki akan lebih besar dibandingkan dengan jalan datar
karena kehilangan percepatan pada kendaraan yang menyiap dan akan
memperpanjang waktu penyiapan, sedangkan kendaraan yang dari depan menurun
dengan kecepatan yang semakin tinggi. Apabila maneuver penyiapan dilakukan pada
pendakian dan atas asumsi-asumsi diatas, jarak pandangan menyiap seharusnya lebih
besar dari nilai-nilai desain yang telah diturunkan. Koreksi secara spesific untuk
desain tidaklah tersedia, tetapi perencana haruslah mengambil nilai desain yang lebih
besar dari nilai desain yang tertera pada Tabel 10.3.

 Jarak Pandangan pada Jalan Berlajur-Banyak (Multilane Highway)

104
Tidak perlu mempertimbangkan jarak pandangan pada jalan yang mempunyai dua-
lajur atau lebih dalam tiap arahnya. Maneuver penyiapan pada jalan multilane
diperkirakan akan terjadi dalam batas lajur-lajur arah perjalanan kendaraan
pengendara. Jadi dilarang menyiap melintasi centerline dari jalan empat-lajur tidak
terbagi atau melintasi median jalan. Jalan multilane harus mempunyai jarak
pandangan henti yang cukup secara continous, dan diinginkan lebih besar dari jarak
pandangan henti minimum yang disyaratkan.

 Skala dan Data Jarak Pandangan pada Gambar Rencana


Jarak pandangan sudah harus diperhitungkan diwaktu tahap perencanaan awal
(preliminary stages) lengkung horizontal dan lengkung vertikal dilaksanakan. Dengan
menentukan jarak pandangan yang tersedia secara grafis diatas gambar denah ataupun
profil memanjang dan mencatat frekuensi intervalnya, perencana seperlunya dapat
melakukan pembetulan-pembetulan (adjustments). Plot jarak pandangan pada gambar
plan dan profile diperlihatkan pada Gambar 3-3 . Jarak pandangan pada lajur sebelah
dalam lengkung horisontal biasanya dibatasi oleh halangan pandangan seperti
bangunan gedung atau rumah, pagar, pohon-pohon, bukit tanah atau bentuk topografi
lainnya. Pada kondisi seprti ini umunya jarak pandangan diplot pada gambar rencana.
Jarak pandangan horizontal diukur dengan menggunakan penggaris-lurus. Potongan
sudut kemiringan halangan diperlihatkan dengan garis putus-putus (cut slope), seperti
terlihat pada bagian atas Gambar 10.3, setinggi 0,84 m diatas permukaan tanah, kira-
kira sekitar rata-rata 1,08 meter dan 0,60 meter untuk jarak pandangan henti dan kira-
kira 1,08 meter diatas permukaan tanah untuk jarak pandangan menyiap.
Jarak pandangan pada lengkung vertikal dapat juga diplot pada gambar profil dengan
cara sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 10.3, bagian tengah. Pada titk station
yang diinginkan diukur ketinggian 1,08 meter dan ditarik garis lurus sedemikian rupa
sehingga menyinggung lengkung vertikal, kemudian buatlah garis sejajar dengan
garis ini dengan jarak 1,08 meter dan 0,60 meter kearah bagian bawah. Jarak dari titik
ini sampai pada garis perpotongan dengan lengkung vertikal dengan jarak 0,60 meter
adalah jarak pandangan henti, sedangkan yang berpotongan dengan jarak 1,08 meter
adalah jarak pandangan menyiap. Demikian juga, dengan cara yang sama pada titik
tersebut diukur ketinggian 0,60 meter dan ditarik garis lurus menyinggung lengkug

105
vertikal. Dan, buatlah garis sejajar dengan garis singgung tadi kearah bawah dengan
jarak 0,60 meter dan 1,08 meter. Perpotongan garis dengan jarak 1,08 meter dengan
lengkung vertikal merupakan tinggi mata pengendara dengan arah berbalik terhadap
titik station yang ditinjau, sebagai titik dasar untuk penentuan panjang jarak
pandangan henti dan panjang jarak pandangan menyiap.

Pada Gambar 10.3 bagian bawah didata jarak pandangan henti dan jarak pandangan
menyiap berdasarkan arah pengukuran, yang ditandai dengan arah anak panah. Jarak
pandangan yang lebih besar dari suatu angka tertentu misalnya lebih besar dari 500
meter, bisa ditulis 500+, atau tidak perlu diukur dan dicatat lagi pada gambar profil
karena mata pengendara telah memandang kearah jalan lurus (tangent).

Gambar 10.3. Skala dan Jarak Pandangan pada Gambar Perencanaan


 Jarak pandangan pada lengkung horzontal
Pada lengkung horizontal dimana jarak pandangan terhalang karena adannya
bangunan, pagar, cut slope, dan penghalang lainnya, pada lengkung bagian dalam
lajur lalulintas, perlu adanya perbaikan desain pada cross section, atau perobahan

106
alinemen apabila tidak praktis memindahkan penghalang untuk menyediakan jarak
pandangan yang cukup. Umumnya pada perencanaan lengkung horizontal, garis
pandangan adalah tali busur pada lengkung, yang diukur dari titik ke titik lain pada
centerline lajur jalan sebelah dalam, dan jarak pandangan diukur sepanjang busur
lajur jalan pada bagian dalam. Ordinat-tengah M, diturunkan berdasarkan gambar
geometris seperti yang terlihat pada Gambar 10.4 dalam bentuk persamaan 10-1.
Persamaan ini hanya digunakan pada lengkung lingkaran yang panjang lengkungnya
lebih panjang dari jarak pandangan untuk kecepatan rencana yang diinginkan.

∆=S/R .......... ∆ ( dalam radian)


10000

M = R ( 1 - cos ( S /(2R))
M = R ( 1 - cos ( S/2R * 180/π))
 28.65 S 
M  R 1 - cos  . . . . . . ( 10 – 1 )
 R 

1000 R min pada


e = 12 %
Jari-jari R, Centerline Lajur-Dalam (m)

V = 130 km/jam
S = 285 m
V = 120 km/jam
S = 250 m
V = 110
km/jam
S = 220 m
V = 100
km/jam
S = 185 m
V = 90 km/jam
S = 160 m

V =80 km/jam
100 S = 130 m

V = 70 km/jam
S = 105 m

V = 60 km/jam
Gambar 10.4. Garis Pandang pada Lengkung Horizontal S = 85 m

V = 50 km/jam
V = 30 km/jam V = 40 km/jam S = 65 m
S = 35 m S = 50 m
V = 20 km/jam
S = 20m

10
0 5 10 15 20 25
Ordinat Tengah, M (m)

107
Gambar 10.5. Jarak Pandangan Henti pada Lengkung Horizontal.

Jarak pandang henti. Pada Gambar 10-5 diperlihatkan hubungan antara R, M dan V
untuk jarak pandang henti. Misalnya, dengan kecepatan rencana 80 km/jam pada
lingkaran dengan jari-jari 350 m, area bebas pandang dengan odinat tengah sebesar 6
meter, diukur dari tengah lajur sebelah dalam, dibutuhkan untuk jarak pandang henti.
PENUTUP

108
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Data apa yang diperlukan untuk menentukan jarak pandangan henti?
2. Pada desain yang bagaimanakah digunakan jarak pndangan menyiap?

o Tugas 10

Gambarkan batas garis pandang pada tikungan full circle dengan jari-jari Rc = 400 m.
Kecepatan rencana 60 km/jam, c = 77 o. Tugas dikumpulkan pada kuliah minggu
depan.

BAB IX

109
PERKULIAHAN KE : 11

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:
Kuliah pada pertemuan ke 11 ini akan membahas mengenai alinemen
vertikal.

2. TIK : Mahasiswa dapat menguraikan rumus-rumus pada


lengkung vertikal.

3. Pokok Bahasan :
 Kecepatan kendaraan truk pada landaian
 Landai maksimum
 Lengkung vertikal simetris
 Jarak pandang pada lengkung vertikal
cembung
 Jarak pandang pada lengkung vertikal
cekung

PENYAJIAN :

110
ALINEMEN VERTIKAL

KECEPATAN KENDARAAN TRUK PADA LANDAIAN


Pada tanjakan, kecepatan maksimum yang dapat dipertahankan oleh suatu kendaraan
truk akan tergantung pada panjang dan besarnya landai tanjakan dan ratio
weigt/power dari kendaraan truk, yaitu gross weight kendaraan dibagi dengan net
engine power. Faktor lain yang mempengaruhi rata-rata kcepatan kendaraan truk pada
landaian adalah kecepatan pada saat memasuki landaian, aerodynamic resistace, dan
skill dari pengemudi. Kecepatan kendaraan truk pada penurunan umumnya akan
bertambah sekitar 5% dan pada tanjakan akan berkurang sekitar 7%.
Hubungan penurunan kecepatan dan panjang landai tanjakan pada tipikal kendaraan
truk diperlihatkan pada Gambar 11.1. Dari gambar ini dapat ditentukan seberapa jauh
kendaraan truk, saat memasuki tanjakan dengan setiap kecepatan sampai kecepatan
110 km/jam, pada berbagai landaian atau kombinasi landaian sebelum mencapai
kecepatan tertentu atau kecepatan yang tetap (uniform).

Gambar 11.1 . Kurva penurunan kecepatan - jarak untuk truk 120 kg/kW pada
tanjakan

111
Tabel 11.1 Kecepatan Rencana dan Landai Maksimum pada Jalan Arteri Antar-
Kota.
Type medan Landai maksimum (%) untuk kecepatan rencana (km/jam)
60 70 80 90 100 110 120 130
Datar 5 5 4 4 3 3 3 3
Bukit 6 6 5 5 4 4 4 4
Gunung 8 7 7 6 6 5 5 5
Sumber : AASHTO 2001

Sumber : BM 1992
Tabel 11.2 Landai Maksimum
V (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Landai maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber : BM 1997

Tabel 11.3 Panjang kritis (m)


Kecepatan pada Kelandaian (%)
awal tanjakan 4 5 6 7 8 9 10
80 km/jam 630 460 360 270 230 230 200
60 km/jam 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : BM 1997
LENGKUNG VERTIKAL
Lengkung vertikal dipergunakan untuk merobah secara perlahan-lahan antara dua
kelandaian dan bisa berupa lengkung cekung ataupun lengkung cembung. Lengkung

112
vertikal harus sederhana (simple) untuk diaplikasikan dan memberikan keamanan dan
kenyamanan, indah penampilannya dan cukup baik untuk melewatkan air (dra inage).
Kontrol utama untuk keamanan dari lengkung vertikal cembung adalah cukup
tersedianya jarak padangan sehubungan dengan kecepatan rencana. Dianjurkan untuk
setiap lengkung vertikal harus didesain mempunyai paling sedikit jarak pandangan
henti, seperti tertera pada Tabel 10.1. Drainage pada lengkung vertical cekung pada
Gambar 11.2. tipe 3, perlu didesain untuk tidak mempunyai kelandaian lebih kecil
dari 0.5% pada sisi luar lengkung. Lengkung parabola dengan ekivalen sumbu
vertical pada titik VPI (Vertical Point of Intersection) umumnya digunakan pada
perencanaan lengkung vertikal.

+g2

+g1

-g1
VPI
A
Ev
+g1 -g2
VPC -g2
VPT

1
L 1
2 L Tipe 2
2

Tipe 1

-g2

-g1
-g2
-g1
+g1

Tipe 3 Tipe 4 -g2

Gambar 11.2 . Tipe Lengkung Vertikal


 Lengkung Parabola Simetris (pada sumbu vertikal di titik VPI)

113
Lengkung parabola ini, bila diukur dari sumbu vertikal melalui titik VPI, akan
memberikan nilai yang sama dalam arah sumbu X dan nilai yang sama pula pada arah
sumbu Y terhadap garis tangen (g1 dan g2). Perhatikan Gambar 11.3. dibawah ini.

Y +g2
VPI
Ev
Y

+g1 y

O
x X
1 1
2 L 2 L

Gambar 11.3 . Lengkung Parabola

d2y
C , C = Constanta
dx 2
dy
 Cx  C1
dx
dy
Pada x = 0 →  g1
dx
g1  C.0  C1 → C 1  g1
dy
Pada x = L →  g2
dx
g 2  g1
g 2  C .L  g 1 → C
L

dy g 2  g1
Persamaan menjadi :  x  g1
dx L

g 2  g1 2
y x  g1 x  C 2
2L

114
}
Pada x=0
C2  0
y=0

Persamaan lengkung parabola menjadi :

g 2  g1 2
y x  g1 x
2L

Persamaan ini merupakan persamaan untuk menentukan elevasi dari permukaan


lengkung vertikal dengan mengambil sumbu X sebagai datum.
Nilai Y, pada Gambar 11.3, merupakan ordinat yang bisa digunakan di lapangan
untuk meletakkan elevasi permukaan dengan garis bidik searah dengan kemiringan g1.

Untuk x ≤ ½ L
Maka, Y  g1 x  y

g 1 g 2 2
Y  x
2L

Untuk x = ½ L , maka Y = Ev , yaitu jarak luar (External distance)


g 1 g 2
Ev  (1 / 2 L) 2
2L
g 1 g 2
Ev  (1 / 2 L) 2
2L
AL
Ev 
8

Dimana, A = perbedaan landai aljabar


A  g1  g 2

o Contoh Perhitungan
Diketahui kecepatan rencana V = 40 km/jam

115
g1 = -7.5%, g 2 = +4.3%
Lv = 80 m
Elevasi pada VPC (Vertical Point Curve) atau BVCE (Before Vertical Curve Elevasi)
= + 95.324 m.
Hitung dan gambar elevasi lengkung ini dengan jarak 10m sepanjang lengkung.
o Jawab:

 Lengkung Vertikal Cembung


Panjang minimum lengkung vertikal cembung yang didesain dengan didasarkan pada
kriteria jarak pandang henti umumnya telah memberikan tingkat keamanan dan

116
kenyamanan serta penampilan yang memuaskan. Panjang lengkung vertikal, L,
diturunkan dari persamaan dengan memperhatikan tinggi mata pengemudi h 1 = 1.080
m (3.5 ft), dan tinggi halangan h 2 = 0.600 m (2 ft) dengan jarak pandangan henti, S.

o Kondisi S < L
S = S1 + S2

Ev
h2
h1 -g2
s1 s2
+g1
1 1
2 L 2 L

Gambar 11.4 . Jarak Pandangan pada Kurva Vertikal dimana S < L

2
AL 2  L
h1 :  S1 :  
8 2
2
L
h1   * 8
2 2h1 L
S1  
AL A

Demikian juga :

2
L
h2   * 8
2 2h2 L
S2  
AL A
S  S1  S 2

2h1 L 2h2 L
S 
A A

2h1 L 2h2 L 4h1 h2 L2 2 L h1  h2  L


S2   2 2
 4 h1 h2
A A A A A

117
S2 
2L
A
 
h1  h2  2 h1 h2 
2L
A
 h1  h2  2

Bila S < L :
AS 2
L

2 h1  h2  2

Untuk harga h1 =1.08 m dan h2 = 0.60

AS 2
L
658

o Kondisi S > L

Gambar 11.5 . Jarak Pandangan pada Kurva Vertikal dimana S > L

Gambar 11.5. memperlihatkan situasi dimana S > L. Dalam hal ini garis pandangan
ad tidak sejajar dengan tali busur yang menghubungkan ujung-ujung akhir dari
lengkung parabola. Masalahnya adalah mencari kemiringan dari garis pandang yang
akan membuat jarak ad minimum. Misalkan, g adalah selisih antara gradient dari
garis pandangan dan gradient g1. Maka A-g adalah perbedaan antara garis pandangan
dengan gradient g2. Digunakan pula sifat berikut dari parabola; bila tangen pada
parabola ditarik diantara tangen-tangen utama, proyeksi horizontal dari bagian yang
dipotong dari tangen yang baru oleh tangen utama, sama dengan setengah dari
proyeksi horizontal dari tali busur dari parabola, yaitu proyeksi horizontal dari bc

118
sama dengan ½ L. Dari penjelasan diatas, S sama dengan jumlah dari proyeksi
horizontal dari jarak ab, bc, dan cd.

h1 L h2
S   (A)
g 2 A g

Untuk jarak pandangan menjadi minimum, dS/dg = 0, atau :

dS h1 h2
 2 0
dg g ( A  g)2

Ah1  A h1 h2
g (B)
h1  h2

Hasil subtitusi harga g dari persamaan B kedalam persamaan A dan memecahkan


untuk L maka hubungan persamaan menjadi seperti berikut:

Bila S < L,

L  2S 

2 h1  h2  2

Untuk harga h1 =1.08 m dan h2 = 0.60

658
L  2S 
A

Kurva desain – jarak pandangan henti. Perhitungan panjang minimum


lengkung vertikal cekung untuk variasi berbagai nilai A diperlihatkan pada
Tabel 11.4 dengan mengambil nilai K yang sudah dibulatkan, dimana L = A.K.
Panjang minimum lengkung vertikal pada nilai A yang kecil dinyatakan

119
sebagai Lmin = 0.6V, dimana V adalah kecepatan rencana dalam km/jam
(Gambar 11.6.).

Tabel 11.4 Desain Kontrol untuk Lengkung Vertikal Cembung


Design Controls for Crest Vertical Curves
Design Stopping Sight Rate of Vertical Curvature, K
Speed (km/h) Distance (m) Calculated Design
20 20 0.6 1
30 35 1.9 2
40 50 3.8 4
50 65 6.4 7
60 85 11.0 11
70 105 16.8 17
80 130 25.7 26
90 160 38.9 39
100 185 52.0 52
110 220 73.6 74
120 250 95.0 95
130 285 123.4 124
L=A.K

Sumber AASHTO 2001

Gambar 11.6 . Panjang Lengkung Vertikal Cembung Minimum


 Lengkung Vertikal Cekung
Sedikitnya ada empat kriteria yang berbeda untuk menetapkan panjang lengkung
vertikal yang mengemuka. Yaitu, berdasarkan (1) jarak sinar lampu depan (headlight
sight distance), (2) kenyamanan pengendara, (3) kontrol drainase, dan (4) penampilan

120
keseluruhan (general appearance). Jarak sinar lampu depan seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 11.7. Dengan mempelajari gambar-gambar ini, dapat diturunkan
hubungan praktis seperti dibawah ini.

Gambar 11.7 . Jarak Pandangan pada Kurva Vertikal Cekung

AS 2
Bila S < L, S
400  3.5S

400  3.5S
Bila S > L, L  2S 
A

Dimana : L = panjang lengkung vertikal cekung, m


S = jarak sinar lampu depan, m
A = perbedaan landau aljabar, %
Kurva desain – jarak pandangan henti. Perhitungan panjang minimum lenkung
vertikal cekung dilakukan sesuai dengan rumus-rumus diatas, dimana S adalah jarak
pandangan henti, Tabel 11.5. memperlihatkan hasil perhitungan nilai K yang sudah

121
dibulatkan dan Gambar 11.8. memperlihatkan dalam bentuk grafik nilai K untuk
berbagai kecepatan rencana.

Tabel 11.5 Kontrol Desain untuk Lengkung vertikal Cekung


Design Controls for Sag Vertical Curves
Design Speed Stopping Sight Rate of Vertical Curvature, K
(km/h) Distance (m) Calculated Design
20 20 2.1 3
30 35 5.1 6
40 50 8.5 9
50 65 12.2 13
60 85 17.3 18
70 105 22.6 23
80 130 29.4 30
90 160 37.6 38
100 185 44.6 45
110 220 54.4 55
120 250 62.8 63
130 285 72.7 73
L=A.K

Gambar 11.8 . Panjang Lengkung Vertikal Cekung Minimum


Pada lengkung vertikal tipe 3, (lihat Gambar 11-2) dimana daerah kerb (curb)
digunakan, yaitu pada minimum grade 0.30% adalah pendekatan yang sama dengan
nilai K = 51 dan diplot pada kurva desain sebagai maksimum drainase.

122
Untuk penampilan yang baik, berdasarkan pengalaman biasanya diambil nilai K = 30,
dengan kecepatan rencana 80 km/jam.

 Kombinasi Alinemen Horizontal dan vertikal


Hal yang harus diperhatikan pada desain dimana ada kombinasi dari lengkung
horizontal dan lengkung vertikal adalah :
1. Adalah tidak esensial untuk memisahkan desain kurva-kurva horizontal dan
vertikal; pada umumnya, alinemen lebih alamiah (natural) dan enak untuk
dilihat bila dikombinasikan dengan batasan-batasan dalam item 2 dan 3.
2. Suatu perubahan dalam alinemen horizontal sebaiknya dibuat pada kurva
vertikal cekung dimana perubahan arah dapat langsung terlihat oleh
pengemudi. Tapi pada kurva horizontal harus datar untuk menghindari
penglihatan jelek karena terpotong penglihatan ke depan.
3. Kurva horizontal yang tajam jangan digunakan pada atau dekat puncak
lengkung vertikal cembung. Kondisi ini tidak diinginkan karena pengemudi
tidak dapat mempersepsikan perubahan arah alinemen, terutama dimalam hari.
Demikian juga pada titik terendah (low point) dari lengkung vertikal cekung
yang curam.
4. Pada jalan dua lajur, interval kebutuhan daerah penyiapan diadakan sesering
mungkin. Dalam hal ini daerah tangen yang panjang akan menjamin
tersedianya jarak pandang yang cukup.
5. Pada jalan terbagi (devided highway) variasi lebar median dan penggunaan
profile dan alinemen horizontal secara terpisah acap kali dibenarkan, untuk
menghindari penambahan biaya yang tidak diinginkan.
6. Alinemen selayaknya didesain dengan memperhatikan daya tarik terhadap
keindahan pemandangan alam, lingkungan pemandangan yang indah, seperti
sungai, formasi batuan, taman, demi kenyamanan perjalanan tanpa merusak
lingkungan.

PENUTUP

123
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif
1. Manakah yang lebih baik dipilih dalam perencanaan, lengkung vertikal
cembung yang panjang atau lengkung vertikal cembung yang minimum?
2. Pertanyaan yang sama bila lengkung vertikal cekung.

o Tugas 11
Rencanakan lengkung vertikal dengan data sesuai tugas besar yang diberikan pada
tiap mahasiswa.

BAB IX

124
PERKULIAHAN KE : 12

PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Kuliah pada pertemuan ke 12 akan membahas mengenai pekerjaann tanah


(earthwork). Pekerjaaan ini meliputi seluruh pekerjaan yang bertalian dengan
pekerjaan galian dan timbunan tanah pada pekerjaan konstruksi jalan. Pada mata
kuliah ini akan lebih dikhususkan pada perhitungan galian dan timbunan.

2. TIK : Mahasiswa dapat menghitung jumlah galian dan


timbunan tanah pada jalur jalan rencana
3. Pokok Bahasan :
 Lingkup pekerjaan
 Perhitungan luas penampang
 Perhitungan volume

PENYAJIAN :

125
GALIAN DAN TIMBUNAN

LINGKUP PEKERJAAN.

Pekerjaan tanah pada pekerjaan pembuatan/pembangunan jalan biasanya akan terdiri


dari pekerjaan persiapan, clearing and grubbing, removal of top soil, galian dan
timbunan, galian struktur dan timbunan kembali.

o Clearing and Grubbing

Pekerjaan clearing and grubbing terdiri dari pekerjaan pembersihan seluruh tanaman,
pengeluaran/pencabutan tunggul/akar pohon, bambu, dan termasuk pengupasan
permukaan tanah. Stripping pada clearing and grubbing adalah 15 cm dibawah muka
tanah asli. Pada daerah timbunan dengan ketinggian 3 meter atau lebih, akar pohon
lebih kecil dari diameter 50 cm tidak perlu untuk dicabut kecuali pada kasus khusus.

GALIAN DAN TIMBUNAN

Galian (excavation) diklasifikasikan sebagai, galian pada badan jalan (roadway


excavation), galian dari luar badan jalan (borrow excavation) dan galian yang dibuang
keluar dari badan jalan (wasted excavation).

Tiap jenis galian ini bisa terdiri dari galian biasa (common), galian berbatu (unsound
rock) dan galian batu/cadas (sound rock). Galian biasa termasuk didalamnya adalah
semua galian tanah, pasir dan boulder yang akan effektif digali dengan menggunakan
bulldozer. Galian berbatu adalah galian batu yang masih effektif dikeluarkan dengan
ripping bulldozer menggunakan hydraulic ripper sedangkan galian cadas, adalah
galian batu yang effektif dilakukan dengan menggunakan blasting. Penggunaan
blasting tidak boleh dilakukan tanpa izin dari Pengawas dan harus dilakukan oleh
personil yang berpengalaman tanpa merusak lingkungan, dan dengan penuh tanggung
jawab. Ukuran dari galian dan timbunan pada badan jalan dihitung dengan average
end area method. Dalam hal perhitungan galian tidak dapat dilakukan pada metode
diatas, maka volume galian yang ditempatkan pada timbunan, dapat dikonversikan
dengan voleme galian pada tanah asli. Sebagai contoh berikut dengan menggunakan
nilai C, S dan L pada Tabel 12.1.

126
Tabel 12.1. Nilai Konversi

Klasifikasi material C S L

Cadas 1.2 1.4 1.55

Berbatu 1.12 1.35 1.5

Tanah 0.90 1.10 1.25


Biasa
Lempung 0.97 1.15 1.43

1) Volume timbunan dikonversikan ke volume tanah asli

Volume Timbunan

C

2) Volume di tempat pembuangan dikonversikan ke volume tanah asli

Volume Timbunan

S

3) Volume di atas kendaraan dikonversikan ke volume tanah asli

Volume Timbunan

L

Nilai C, S dan L berhubungan dengan nilai bulk density dari material lepas tersebut,
karena perhitungan volume galian dan tibunan didasarkan pada gambar volume dan
galian pada tanah original sesuai gambar desain yang disetujui.

Tipe Penampang Melintang

Tipe penampang melintang bisa berada pada daerah galian, daerah timbunan dan pada
daerah galian timbunan seperti terlihat pada Gambar 12-1 A, B dan C.

127
Gambar 12-1. Gambar Penampang Melintang

Perhitungan Volume Tanah

Perhitungan volume tanah pada pekerjaan galian dan timbunan, biasa dilakukan

Dengan metode average end area method, yaitu dengan mengambil rata-rata
luaskedua ujung penampang dari STA 1 dan STA 2, kemudian dikalikan dengan
jarak.

Volume = (A1 + A2)/2 x d

Dimana, A1 = luas penampang di STA 1.

A2 = luas penampang di STA 2.

128
d = jarak STA 1 ke STA 2

Gambar 12-2. Luas Ujung Penampang

o Perhitungan Luas Penampang

Perhitungan secara manual umumnya digunakan methode koordinat sebagai berikut :

 y 0 y1 y 2 y 3 y y 
A = 1 / 2 , , , ,...... n , 0 
 x 0 x1 x 2 x3 xn x0 

A = 1 / 2  y 0 x1  y1 x 2  y 2 x` 3  .......y n x0    x0 y1  x1 y 2  x 2 y` 3  .......x n y 0  

Titik (x 0,y0), terletak pada garis sumbu tengah (centre line), harus pada Muka Tanah
Rencana. Arah putaran harus tertutup, misalnya dari titik (x 0,y0) kembali tertutup di
titik (x 0,y0). Arah putaran pada kuadran I mengikuti arah jarum jam yaitu ke kanan,
sedangkan pada kuadran IV adalah ke kiri. Nilai x dan y selalu positif. Perjanjian
tanda ini akan menghasilkan luas negative untuk timbunan dan positif untuk galian.

o Contoh Perhitungan Luas Penampang

129
Gambar 12-3. Gambar Penampang Melintang

Perhatikan Gambar 12-2. Penampang melintang ini pada daerah timbunan, koordinat
(0,0) yaitu pada titik 0, berada pada muka tanah rencana. Luas A1 pada kuadran I
diberi tanda putaran ke kanan dan Luas A2 pada kuadran ke IV arah putaran adalah
ke kiri. Satuan panjang adalah meter.

A = A1 + A2

A1 =½

= ½ [(0 + 0 + 156 + 0) – (0 + 120 + 243 +104)]

= ½ [ 156 – 467 ] = -155.5

A2 =½

= ½ [ (0 + 0 + 0 + 0) – ( 0 + 60 + 148)]

= ½ [ 0 – 208 ] = - 104

A = -155.5 – 104 = - 259.5 m 2 (tanda negative menyatakan timbunan.)

PENUTUP

130
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif :

1. Bagaimanakah kalau arah putaran perhitungan luas penampang dibalik?


2. Bagaimanakah bila koordinat (0,0) ada pada tanah asli.

o Tugas 12 :

Gambar dengan skala 1: 200 dan hitung luas penampang pada STA 0+000 dan luas
penampang di STA 0+050, data sesuai tugas besar yang diberikan pada tiap
mahasiswa. Tugas dikumpulkan minggu depan pada awal kuliah.

PERKULIAHAN KE : 13

131
PENDAHULUAN :

1. Deskripsi Singkat:

Kuliah pada pertemuan ke 13 ini akan membahas mengenai Diagram massa sebagai
alat untuk mengestimasi perhitungan biaya pekerjaan tanah.

2. TIK : Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana membuat


diagram massa, menentukan lokasi galian dan timbunan
serta menentukan alat yang paling effisien sebagai
peralatan konstruksi.

3. Pokok Bahasan :
 Tabel perhitungan volume Cut and Fill
 Diagram massa
 Penggunaan diagram massa
 Sifat-sifat diagram massa
 Pemindahan tanah (haul dan over haul)

PENYAJIAN :

DIAGRAM MASSA

132
Diagram massa adalah grafik yang akan menjelaskan volume pergerakan tanah atau
“haul” yang diplot pada penampang melintang, diatas atau dibawah profile
(penampang memanjang), dengan skala yang sama, dimana proyeksi STA diplot pada
sumbu X diagram massa. Sumbu menyatakan Volume. Galian (cut) dengan tanda
positif dan timbunan (fill) dengan tanda negative.

o Tabel perhitungan volume Cut and Fill

Perhitungan cut and fill diperlihatkan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 13.1.
Kolom terakhir menunjukkan kumulatif volume galian yang akan digunakan untuk
menggambar grafik diagram massa, seperti pada Gambar 13.1.

o Diagram massa

Diagram massa digunakan untuk:

LUAS PENAMPANG VOLUME


a) Menentukan
STATION volume, lokasi dan jarak angkut “haul” dan “overhaul”, yang
CUMMULATIVE
GALIAN TIMBUNAN GALIAN TIMBUNAN
menjadi acuan untuk perhitungan perkiraan biaya angkutan.
0+000 76 0 0 0
0+050
b) Merencanakan (plan) 120
biaya pekerjaan tanah4900 0
secara ekonomis, 4900
sehubungan
0+100 -84 3000 -2100 5800
dengan0+150
penempatan daerah timbunan,-123 lokasi dari
0 borrow dan
-5175 waste, batas-
625
batas free-haul.
0+200 -107 0 -5750 -5125
0+250 92 0 -375 -5500
0+300 64
c) Menentukan tipe peralatan yang paling efisien. 1600 2300 -1600
0+350 68 3300 0 1700
0+400 106 4350 0 6050
d) Membuat balance cut and fill dalam perencanaanalinemen vertikal. Kondisi
0+450 75 4525 0 10575
balance0+500
ini adalah sekunder
25 bila dibandingkan2500dengan hasil desain
0 akhir,13075
yang
merekomendasikan grade, alinemen, lebar jalan, dan lain-lain.
30000

25000

20000
Tabel 13.1. Tabel Diagram Massa Galian
15000
Galian Timbunan
10000

5000

0
133
-5000

-10000
0+000 0+100 0+200 0+300 0+400 0+500
Gambar 13.1 Diagram Massa
o Sifat-sifat diagram massa

a) Kurva menanjak menyatakan galian kurva menurun menyatakan timbunan.

b) Garis horizontal menunjukkan garis balance antara dua station pada garis
perpotongan tersebut, galian sama dengan timbunan.

c) Titik potong area galian dan area timbunan pada profile, merupakan titik
maksimum dan minimum pada diagram massa.
PENUTUP

134
o Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya mengenai materi
perkuliahan yang telah disampaikan.

o Tes formatif :

1. Apa arti ordinat terakhir pada grafik diagram massa


2. Bagaimana membaca borrow material pada diagram massa.

o Tugas 13 :

Berdasarkan basic price yang berlaku akhir-akhir ini buatlah analisa harga satuan
untuk pekerjaan galian tanah biasa dan timbunan pilihan pada proyek pekerjaan jalan

BAB X

135
PERKULIAHAN KE : 14

PENDAHULUAN :

4. Deskripsi Singkat:

Kuliah pada pertemuan ke 14 ini akan membahas mengenai Geometri Persimpangan


sebagai pengenalan bagi mahasiswa untuk mendesain persimpangan.

5. TIK : Mahasiswa dapat menjelaskan jenis-jenis simpang


sebidang dan simpang tidak sebidang.
6. Pokok Bahasan :
 Simpang sebidang (at grade)
 Simpang tidak sebidang/simpang susun
(grade separated).
 Bentuk-bentuk Kanal
 Bentuk-bentuk Persimpangan Sebidang
 Bentuk-bentuk Simpang Tidak Sebidang

PENYAJIAN :

136
GEOMETRIK PERSIMPANGAN

Persimpangan merupakan pertemuan dua atau lebih ruas jalan, bergabung,


berpotongan atau bersilangan. Berdasarkan posisi, persimpanngan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu :
 Simpang sebidang (at grade), dan
 Simpang tidak sebidang/simpang susun (grade separated).
Simpang tidak sebidang terbagi atas :
 Simpang susun tanpa ramp dan
 Simpang susun dengan ramp.

SIMPANG SEBIDANG

Pada simpang sebidang (intersection) penggunaan pulau (island) untuk peralihan


lalulintas akan membentuk kanal (channelizing). Kanal merupakan bagian yang
menyatu dengan persimpangan dan berfungsi sebagai (lihat Gambar 1-3):
o Memisahkan titik konflik, sehingga pengendara dapat secara cepat
mengambil keputusan, mengikuti arah mana yang diambil.
o Mengarahkan arus lalulintas, untuk mengurangi kecelakaan waktu
kendaraan berpapasan.
o Melindungi dan menampung (storage) kendaraan yang berputar.
o Melindungi pejalan kaki.
o Mengurangi kelebihan area perkerasan jalan.
o Lokasi pemasangan lampu lalulintas atau rambu lalulintas
Dalam hal kanal dipisahkan dari jalur lalulintas utama dengan pulau, diperlukan
daerah bebas 50 cm, disebelah kiri dan kanan kanal tersebut. Daerah bebas digunakan
untuk bahu jalan dan saluran samping. Bentuk dan jenis persimpangan dapat dilihat
pada Gambar14-1.

137
Bentuk-bentuk Kanal

Gambar 14-1. Bentuk-bentuk Persimpangan Sebidang

138
SIMPANG TIDAK SEBIDANG

Berbagai bentuk simpang tidak sebidang/simpang-susun, dapat dilihat pada Gambar


14-1. Bentuk “diamond” merupakan bentuk simpang susun paling sederhana. Paling
memadai digunakan pada suatu persimpangan jalan bebas hambatan dengan jalan
arteri. Keuntungan tipe ini adalah, semua kendaraan dapat keluar masuk dengan
kecepatan tinggi, walaupun mungkin akan terjadi kemacetan, pada titik-titik dimana
jalan arteri menerima limpaham lalulintas dari jalan bebas hambatan. Keuntungan lain
adalah penggunaan lahan yang relative efisien dan sedikit dibandingkan dengan tipe
lain.
Bentuk “semanggi” (cloverleaf) bisa berupa full cloverleaf atau partially cloverleaf.
Tipe ini cocok untuk jalan bebas hambatan dengan yang bertemu dengan jalan arteri,
atau pertemuan dua jalan arteri, seperti pada jembatan Semanggi Jakarta. Tipe ini
memerlukan pembebasan lahan yang luas, terutama pada tipe full cloverleaf, sehingga
sulit diterapkan pada pada lahan sempit dan terbatas. Tipe partially clover leaf
banyak digunakan pada pertemuan jalan arteri dengan jalan sekunder atau jalan local,
diman loop ramp digunakan untuk melayani jalan arteri, yang hendak berbelok; untuk
itu loop ramp harus ditempatkan di kwadran yang sesuai. Seperti juga pada tipe
diamond, tipe ini agar dapat berfungsi secara maksimal, memerlukan banyak rambu-
rambu lalulintas, untuk mengarahkan dan menuntun kendaraan. Gambar d berupa
simpang susun langsung, directional interchange, cocok untuk pertemuan dua jalan
bebas hambatan. Langsung diartikan, kendaraan yang akan membelok langsung
menuju kearah yang dikehendaki, lain dengan tipe full cloverleaf, kendaraan yang
ingin belok kiri, harus mengambil arah kekanan dahulu dan memutar 270 o baru bisa
kekiri; demikian pula tipe diamond, harus mengarah dulu kearah berlawanan dari
yang dituju, baru bisa kearah yang dimaksud.
Walau bagaimanapun, ini adalah bentuk pengaturan arah sesuai masing-masing tipe,
walaupun dapat saja dimodifikasi dengan tetap mengacu pada pola dasarnya.

139
Gambar 14-2. Bentuk-bentuk Simpang Tidak Sebidang

140
Kemampuan untuk mengakomodasikan volume lalulintas yang tinggi secara aman,
effisien sangat tergantung pada pengaturan yang ada pada pertemuan lalulintan yang
berpotongan. Dan yang paling effisien, aman serta dapat mencapai kapasitas adalah
penggunaan graded separated atau interchange. Interchange bervariasi dari single
ramps yang menghubungkan jalan lokal sampai pada komprehensif lay out yang
melibatkan dua atau lebih jalan raya.

Illustrasi yang lain dari simpang tak sebidang (interchange) adalah menurut referensi
AASHTO 2001, A Policy on Geoetric Design of Highway and Street. Dasar dari
konfigurasi interchange dapat dilihat pada Gambar 14-3. Setiap konfigurasi dapat
sangat berbeda dalam bentuk, lingkup dan banyak konfigurasi yang sulit untuk diberi
nama yang tepat.

Gambar 14-3A adalah trumpet interchange, sesusai dengan bentuknya yang seperti
terumpet. Gambar 14-3B adalah three-leg-interchange. Dengan ramps dalam satu
kuadran, pada Gambar 14-3C, adalah kurang cocok untuk system freeway, tapi sangat
praktis untuk interchange antara jalan utama dan parkway. Desain ini cocok untuk
parkways karena untuk kecepatan rencana rendah, tidak untuk large trucks, dan
mudah melakukan gerakan berputar. Tipe diamond interchange diilustrasikan pada
Gambar 14-3D. Diamond interchange memiliki banyak konfigurasi yang
menggabungkan frontage roads (jalan samping) dan jalan kolektor yang menerus.

Gambar 14-3E adalah single point urban interchange (SPUI). SPUI ini adalah bentuk
dari diamond interchange dengan single signalized intersection, dimana interchange
ini memanfaarkan all left turn. Sedangkan all right turns yang masuk atau keluar dari
ramp, umumnya adalah free flow. Gambar 14-3F memperlihatkan partial cloverleaf
loop dengan dua cloverleaf loops dan dua diagonal ramps. Gambar 14-3G
memperlihatkan full cloverleaf intercahange, dan Gambar 14-3H memperlihatkan
fully directional interchange.

141
Sumber AASHTO 2001

Gambar 14-3. Konfigurasi Interchange

142

Anda mungkin juga menyukai