Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rosella
1. Mengenal Rosella
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa) tidak diketahui pasti berasal dari
daerah mana, namun ada yang mengatakan rosella berasal dari India namun ada
pula yang menyebut asalnya dari Afrika Barat. Rosella merupakan herba tahunan
yang bisa mencapai ketinggian 0,5–3 meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu dan
berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari,
ujung tumpul, tepi bergerigi, pangkal berlekuk. Panjang daun 6–15 cm dan
lebarnya 5–8 cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau, dengan panjang 4–7 cm.
Bunga rosella yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya
pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8–11 helai
kelopak yang berbulu, panjangnya satu cm, pangkalnya saling berlekatan dan
berwarna merah (Maryani dan Kristiana, 2005).
Kelopak bunga rosella sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat.
Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman.
Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari lima helaian, panjangnya 3–5 cm.
tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran
pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. putiknya
berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak
kerucut, berambut, terbagi menjadi lima ruang, berwarna merah. Bentuk biji
menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih
muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu–abu (Maryani dan
Kristiana, 2005).

2. Keunggulan Rosella
Rosella memiliki kandungan vitamin C yang tinggi. Rosella juga memiliki
rasa yang sangat asam sehingga menjadikan keunggulan jika dibandingkan
dengan produk lain yaitu tidak harus menambahkan pengasam karena pH pada
rosella memang sudah asam. Rasa masam pada kelopak rosella yang
menyegarkan karena memiliki dua komponen senyawa asam yang dominan yaitu
asam sitrat dan asam malat (Mardiah, 2009).
Keunggulan lain dari rosella selain kandungan vitamin C yang tinggi juga
berkhasiat untuk pengobatan, diantaranya untuk antikanker, antihipertensi,
antidiabetes, antikolesterol, menurunkan berat badan, terapi gangguan liver dan
asam urat, dan masih banyak lagi manfaat lainnya (Maryani dan Kristiana, 2005).

3. Produk Rosella dan Produk Jam pada Umumnya


Kelopak segar bunga rosella di India Barat dan daerah atau tempat–tempat
yang beriklim tropis dimanfaatkan sebagai pewarna dan perasa dalam membuat
anggur rosella, jeli, sirup, gelatin, minuman segar, pudding dan cake. Kelopak
kering biasa dimanfaatkan untuk membuat teh, jeli, jam, es krim, serbat,
mentega, pai, saus, tart dan makanan pencuci mulut lainnya. Pada pembuatan jeli
rosella, tidak perlu ditambahkan pektin untuk memperbaiki tekstur, karena
kelopak sudah mengandung 3,19%. Bahkan di Pakistan, rosella direkomendasikan
sebagai sumber pektin untuk industri pengawetan buah (Maryani dan Kristiana,
2005).
Jam rosella merupakan jam yang terbuat dari kelopak bunga rosella.
Menurut Buckle (1987) produk jam adalah suatu produk yang diolah menjadi
suatu struktur seperti gel. Sifat–sifat yang penting dari produk jam dan serta
beberapa produk yang serupa termasuk kestabilannya terhadap mikroorganisme
dan struktur fisiknya adalah dikendalikan oleh sejumlah faktor yaitu (1) Kadar
gula yang tinggi biasanya dalam kisaran padatan terlarut antara 65-68%. (2) pH
rendah, biasanya dalam kisaran antara 3,2-3,4 tergantung pada tipe pektin dan
konsentrasi. (3) Aw biasanya dalam kisaran antara 0,75-0,83. (4) Suhu tinggi
selama pendidihan atau pemasakan (105-1060 C) kecuali jika diuapkan secara
vakum dan dikemas pada suhu rendah. (5) Tegangan oksigen rendah selama
penyimpanan (misalnya jika diisikan ke dalam wadah-wadah hermatik dalam
keadaan panas).
Menurut Lies (2005), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi atau ikut
menentukan mutu produk akhir jam antara lain penampilan Produk. Penampilan
produk pada dasarnya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu warna yang diberikan pada
produk pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan penampilan produk,
pewarnaan dilakukan berdasarkan bahan baku yang digunakan. Untuk bahan baku
yang berwarna putih atau masih mentah perlu dilakukan pewarnaan sehingga
warnanya yang kurang menarik menjadi lebih menarik. Namun apabila yang
digunakan buah–buahan yang masih mengkal yang telah memiliki sedikit warna,
maka proses pewarnaan dapat dilakuakan ataupun tidak tergantung selera dan
kebutuhan, sedangkan jam dari rosella tidak memerlukan pewarnaan karena
rosella sudah memiliki warna merah yang cukup menarik. Kedua adalah kemasan.
Produk yang dikemas tampak lebih menarik dan terkesan mahal. Dengan
dikemas, produk dapat dipasarkan melalui toko–toko besar, supermarket dan
pasar–pasar swalayan. Pada umumnya, konsumen lebih menyukai produk yang
dikemas karena terkesan higienis.

B. Vitamin C
Kelopak bunga rosella sangat banyak mengandung vitamin C. Vitamin C
merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C
cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan
dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan
kehadiran tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup
stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil (Almatsier,
2003).
1. Struktur Kimia Vitamin C
Vitamin yang tergolong larut dalam air adalah vitamin C dan
vitamin-vitamin B kompleks. Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam
L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat; keduanya mempunyai keaktifan
sebagai vitamin C. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara
reversibel menjadi asam L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat
secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut
menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi.
Vitamin C disintesis secara alami baik dalam tanaman maupun hewan, mudah
dibuat secara sintetis dari gula dengan biaya yang sangat rendah (Winarno,
2004).

Gambar 1. Struktur Vitamin C

Gambar 2. Reaksi Metabolisme Vitamin C


2. Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Kadar Vitamin C
Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari pengolahan, khususnya pengawetan dan pengemasan bahan
pangan. Pada penyimpanan berbagai aspek perlu dipertimbangkan mulai dari aspek
karakteristik bahan, pengontrolan kodisi lingkungan, perhitungan teoritis untuk
memilih jenis kemasan dan perkiraan lama penyimpanan serta aspek ekonomi
(Desrosier, 2008).
Menurut Winarno (2004) Penyimpanan suatu produk akan mengalami
penurunan nilai gizi khususnya vitamin C karena sifatnya mudah rusak. Produk-
produk yang mengandung kadar vitamin C tinggi selama penyimpanan
akan mengalami penurunan kadar vitamin C yang disebabkan karena
terjadinya proses oksidasi.
Penurunan kadar vitamin C selama penyimpanan juga dapat disebabkan
karena reaksi pencoklatan non enzimatik, yang merupakan tahap awal dari
berlangsungnya reaksi maillard karena asam askorbat merupakan reduktor dan juga
berfungsi sebagai pembentuk warna coklat non enzimatis. Dengan
demikian pencoklatan akibat vitamin C akan menurunkan kadar vitamin C,
gula, dan protein (Syarief, 1988).
Perubahan cita rasa, perubahan warna, kehilangan zat gizi dan kehilangan
tekstur relative lebih cepat terjadi diatas suhu 150 F (dibandingkan dengan suhu
00 F atau lebih rendah). Semakin rendah suhunya semakin lambat laju
kehilangan asam askorbat, dengan adanya fruktuasi suhu maka beberapa
produk lebih cepat menjadi rusak. Selama dalam tahap - tahap pengolahan dapat
terjadi kehilangan-kehilangan zat gizi. Kehilangan vitamin-vitamin berlangsung
terus sepanjang pelaksanaan pengolahan, misalnya selama blansing dan pencucian,
pemotongan dan penggilingan. Terkenanya jaringan-jaringan oleh udara akan
menyebabkan hilangnya vitamin C karena oksidasi. Umumnya kehilangan vitamin C
terjadi bilamana jaringan dirusak dan terkena udara. Selama penyimpanan dalam
keadaan dingin kehilangan vitamin C akan berlangsung terus. Makin tinggi suhu
penyimpanan makin besar terjadinya kerusakan zat gizi. Dalam bahan pangan yang
disimpan dingin kehilangan yang lebih besar dijumpai terutama pada vitamin C dari
pada vitamin yang lain. Blansing untuk menginaktifkan enzim adalah penting
untuk melindungi, tidak hanya vitamin-vitamin akan tetapi juga kualitas bahan
pangan dingin pada umumnya (Desrosier, 2008).

C. Pengemasan
Kemasan telah dikenal oleh manusia sejak zaman dahulu kala. Sekitar tahun
8.000 SM kemasan dari bahan-bahan sederhana, seperti kulit binatang ataupun
keranjang rumput, telah digunakan sebagai wadah buah-buahan yang dipungut dari
hutan. Bangsa Cina menggunakan keramik sebagai wadah, balk untuk benda padat
maupun cair. Sedangkan bangsa Indonesia menggunakan wadah bambu (bumbung)
untuk menyimpan benda cair.

1. Fungsi Kemasan
Menurut Buckle (1987), pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan
lima fungsi - fungsi utama yaitu : (1) Dapat mempertahankan produk agar bersih
dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya. (2)
Memberi perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen
dan sinar. (3) Berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses
pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan. Hal
ini berarti bahan pengemas harus sudah dirancang untuk siap pakai. (4)
Mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut rancangan, di
mana bukan saja memberi kemudahan pada konsumen misalnya kemudahan
dalam membuka atau menutup kembali wadah tersebut, tetapi juga harus
dapat mempermudah pada tahap selanjutnya selama pengelolaan di gudang
dan selama pengangkutan untuk distribusi. Terutama harus dipertimbangkan
dalam ukuran, bentuk dan berat dari unit pengepakan. (5) Memberi
pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan. Unit-unit pengepakan yang
dijual harus dapat menjual apa yang dilindunginya dan melindungi apa yang
dijual.

2. Jenis Kemasan
Berdasarkan urutan dan jaraknya dengan produk, kemasan dapat dibedakan
atas kemasan primer, sekunder dan tersier. Kemasan primer adalah kemasan yang
langsung bersentuhan dengan makanan, sehingga bisa saja terjadi migrasi
komponen bahan kemasan ke makanan yang berpengaruh terhadap rasa, bau dan
warna. Kemasan sekunder adalah kemasan lapis kedua setelah kemasan primer,
dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan kepada produk. Kemasan
tersier adalah kemasan lapis ketiga setelah kemasan sekunder, dengan tujuan
untuk memudahkan proses transportasi agar lebih praktis dan efisien. Kemasan
tersier bisa berupa kotak karton atau peti kayu (Astawan, 2008).
Sebelum abad ke-18, gelas merupakan andalan kemasan yang utama.
Karakteristik gelas yang istimewa adalah kekuatannya. Kegunaan gelas adalah
mampu melindungi isi dari kontaminasi lingkungan luar. Gelas tidak berkarat atau
bocor, dan dapat diisi dengan sesuatu yang bersuhu tinggi.
Untuk beberapa produk, seperti anggur dan kosmetik, kemasan berbahan gelas
memiliki citra lebih eksklusif dan berkualitas dibandingkan kemasan berbahan
lain. Gelas juga tahan panas tinggi dan dapat langsung dipanaskan di oven
microwave. Gelas dapat diwarnai dan didekorasi sesuai keinginan. Namun biaya
pembuatan yang mahal membuat gelas sempat tergeser PET (kemasan plastik)
yang relatif lebih murah. Selain itu gelas juga lebih berat dibanding bahan lain.
Akan tetapi dengan kemajuan teknologi, kualitas gelas ini terus menerus
ditingkatkan menjadi lebih ringan, tetapi memiliki ketahanan lebih terhadap panas
maupun terhadap benturan. Salah satu karakteristik kemasan gelas yang harus
dipahami adalah sifatnya yang tembus pandang. Gelas mungkin cocok untuk
beberapa produk yang perlu menunjukkan isi, tetapi bagi beberapa produk lain
mungkin gelas bukan pilihan yang tepat (Astawan, 2008).
Tipe-tipe plastik yang biasa digunakan untuk kemasan diantaranya PET
(polyethylene terephthalate) banyak digunakan pada minuman berakohol,
kemasan air siap minum dan barang kosmetik. Kemasan plastik tidak dapat
berkarat. Bahan lain adalah PVC (polyvinylchloride) yang dapat dibentuk menjadi
tabung, botol dan lain-lain. Kemasan PVC dapat retak dan terbelah jika terjatuh.
Karena itu proses penguatan ekstra perlu dilakukan untuk penggunaan PVC.
Intensitas penggunaan plastik sebagai kemasan pangan makin meningkat, hal ini
disebabkan oleh banyaknya keunggulan plastik dibandingkan bahan kemasan
yang lain. Plastik jauh lebih ringan dibandingkan gelas atau logam dan tidak
mudah pecah. Bahan ini bisa dibentuk lembaran sehingga dapat dibuat kantong
atau dibuat kaku sehingga bisa dibentuk sesuai desain dan ukuran yang diinginkan
(Astawan, 2008).

3. Resiko Pengemasan
Pengemasan memiliki resiko–resiko tertentu yang berhubungan dengan
bahan–bahan pengemas, proses pengemasan dan sistem distribusi. Sebelum teknik
pengepakan dan bahan–bahan pengemas dapat dipergunakan secara efisien adalah
perlu untuk menentukan mutu standar yang baik bagi bahan maupun prosesnya.
Kondisi pengemasan harus sedemikian rupa sehingga dapat menekan
kemungkinan tercemar oleh mikroorganisme. Dalam beberapa hal sangat
diperlukan jaminan bahwa telah disterilkan sebelum digunakan atau sterilisasi
dilakukan setelah wadah diisi. Resiko lainnya termasuk kemungkinan masuknya
komponen beracun dari bahan pengemas kedalam bahan pangan atau pemindahan
bau dari bahan pengemas ke produk bahan pangan (Buckle, 1987).

4. Standar Mutu Bahan Pengemasan


Syarat mutu kemasan plastik menurut SNI adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Syarat Mutu Botol Plastik Wadah Obat, Makanan dan Kosmetik

No. jenis ujian Satuan Persyaratan


1. Fisik
a. tebal dinding dasar mm minimal 0,3
b. uji jatuh pada
ketinggian 120 cm - tidak boleh
penyok/bocor
b. efektifitas uliran
dan tutup - tidak boleh bocor
c. ketahanan retak
karena pengaruh
sekeliling - tidak retak
d. permeabelitas terhadap
uap air mg/hari mak. 25,0
e. permeabilitas
(permeability tes %) - mak. 0,5
g. kestabilan dimensi - bentuk tdk berubah
2. Kimiawi
a. kadar VCM,ppm - mak. 1,0
b. ketahanan terhadap
asam (%) - mak. 0,1
c. ketahanan terhadap
basa (%) - mak. 0, 1
d. kandungan logam
berbahaya
(Cu, Hg, Pb) dan As - negatif
3. Organoleptik
a. Bentuk, kenampakan dan keadaan tidak boleh cacat
yang berupa
mataikan,
penyok, retak lubang
dan benda asing
yang menempel
b. pengamatan terhadap warna, rasa dan bau
warna air minum
bau air minum
rasa air minum
Sumber : SNI lg-2946-1992
Pengaturan standar mutu dari pengemasan sangat penting seperti halnya
pengaturan standar mutu bahan pangan itu sendiri. Ada dua tahapan
pengembangan dari suatu standar mutu pengemasan untuk suatu produk pangan.
Pertama untuk membuktikan bahwa bahan pengemas cukup memadahi,
kemungkinan secara teknik laboratorium pada contoh pertama dan dilanjutkan
pada percobaan kecil dilapangan. Dalam fase ini, bahan pangan dikemas dan
disimpan dalam kondisi yang telah ditentukan untuk jangka waktu yang telah
ditentukan dan pengujian yang dibutuhkan, baik organoleptik maupun kimiawi,
dilakukan untuk menentukan keadaan bahan pangan dalam suatu selang waktu
(Buckle, 1987).

D. Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang digunakan pada analisa daya terima jam rosella adalah
uji hedonik. Uji organoleptik jam rosella bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar daya terima masyarakat terhadap jam rosella. Jam rosella yang berasa
masam tidak semua orang menyukainya. Uji organoleptik ini yang dinilai adalah
warna, aroma, rasa dan tekstur. Uji organoleptik ini menggunakan panelis agak
terlatih dengan menggunakan 20 orang sebagai panelis.
Bahan pangan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau
memberi kesan menyimpang dari warna yang seharusnya maka konsumen tidak
akan tertarik untuk membelinya. Selain itu warna dapat digunakan sebagai
indikator kesegaran dan kematangan. Warna merah dari jam rosella merupakan
warna asli dari kelopak bunga rosella sehingga jam rosella tidak harus
menggunakan pewarna untuk memperindah warna jam. Aroma merupakan sensasi
atau rangsangan senantiasa akan menimbulkan kelezatan, yang kemudian dapat
mempengaruhi tingkat atau daya terima panelis atau konsumen terhadap suatu
produk pangan tertentu.
Jam rosella merupakan produk yang berasa manis dan asam. Rasa manis
ditimbulkan dari penambahan gula dengan konsentrasi tinggi, sedangkan rasa
asam dikarenakan rosella mengandung asam sitrat dan asam malat dalam jumlah
tinggi sehingga rasa asam tersebut menjadi ciri khas produk rosella.
Menurut Winarno (2004), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan
mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Dari penelitian–
penelitian yang dilakukan bahwa perubahan tekstur dan viskositas bahan dapat
mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi rangsangan sel
reseptor olfaktori dan kelenjar air liur.

Tabel 2. Kriteria Mutu Organoleptik Jam

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan


1. Keadaan
a. Bau - normal
b. Rasa - normal
c. Warna - normal
d. Tekstur - normal
2. Padatan terlarut % b/b min.65
3. Identifikasi buah - sesuai label
(secara mikroskopis)
4. Bahan makanan tambahan
a. Pewarna tambahan Sesuai SNI-01-0222-1987
b. Pengawet Sesuai SNI-01-0222-1987
c. Pemanis buatan negatif
(sakarin, siklamat)
5. Cemaran logam
a. Timbal (Pb) mg/kg maks.1,5
b. Tembaga (Cu) mg/kg maks.10,0
c. Seng (Zn) mg/kg maks. 40,0
d. Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0
6. Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 1,0
7. Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total koloni/g maks. 5,102
b. Bakteri bentuk coli APM <3
c. kapang & khamir koloni maks. 50

Sumber : SNI 01-3746-1995

Jam kelopak bunga rosella merupakan produk baru sehingga proses


pembuatannya harus disesuaikan dengan prosedur–prosedur pembuatan jam pada
umumnya agar didapatkan produk jam yang sesuai dengan kriteria–kriteria mutu
organoleptik jam yang ada dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

E. Kerangka Konsep

Variabel terkendali

♦ Lama/waktu pengolahan
♦ Jenis rosella yang digunakan
♦ Jenis gula yang dipakai
♦ Suhu penyimpanan
♦ Suhu pengolahan

♦ Lama penyimpanan (0
hari sebagai control,
5 hari, 10 hari dan 15
hari) ♦ Kadar Vitamin C
♦ Jenis kemasan (gelas
Jam ♦ Organoleptik
rosella
jam dan cup plastik )
Variabel terpengaruh
Variabel pengaruh

Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesa
1. Ada pengaruh variasi kemasan terhadap kadar vitamin C dan daya terima jam
rosella.
2. Ada pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar vitamin C dan daya terima jam
rosella.

Anda mungkin juga menyukai