Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN ANTARA FASHION STYLE DENGAN PERILAKU CATCALLING

YANG DIALAMI OLEH MAHASISWI DI BANDA ACEH

MINI RISET

Sebagai Tugas Akhir Semester Mata Kuliah


Metodologi Penelitian

Oleh:

Intan Maulisa (1907101130029)


Mas Ulan Dyva (1907101130031)
Rahmatil Munazzilah (1907101130060)
Rizky Anisah Husna (1907101130063)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM
BANDA ACEH
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap makhluk hidup yang ada di bumi ini terlahir dengan adanya hak dan kewajiban
terkhususnya manusia, salah satu bagian dari hak manusia yaitu hak untuk hidup bebas dan
terhindar dari segala ancaman. Namun nyatanya beriringan dengan perkembangan zaman,
ancaman tersebut bisa datang dari siapapun, dimanapun, dan kapanpun, salah satu bentuk
ancaman yang paling sering mengintai manusia adalah pelecehan seksual yang beragam
jenisnya. Salah satu ancaman pelecehan seksual yang sering terjadi di lingkungan masyarakat
yaitu secara verbal yang biasa dikenal dengan istilah catcalling.

Menurut hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik dengan persentase sebanyak
64 persen dari 38.766 perempuan, 11 persen dari 23.403 laki-laki, dan 69 persen dari 45
gender lainnya pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Kebanyakan dari korban
mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan yang diterima secara verbal, yaitu
komentar atas tubuh sebanyak 60 persen, fisik seperti disentuh sebanyak 24 persen dan visual
seperti main mata sebanyak 15 persen. (Sumber: Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik).
Walaupun hasil survei tersebut sudah terbit, namun masih banyak masyarakat yang belum
aware mengenai isu ini. Hal ini dikarenakan adanya stereotip gender yang dibentuk oleh
patriarki sehingga menimbulkan makna ganda yaitu catcalling sebagai candaan dan
catcalling sebagai pelecehan seksual.

Aktivitas Catcalling dikampus-kampus kerap terjadi, banyak tindakan Pelecehan


seksual secara verbal yang terjadi karena keisengan belaka, kebanyakan para pelaku
melakukan tindak Catcalling ini kepada perempuan yang berpakaian ketat dan menonjolkan
lekuk tubuhnya,akan tetapi tidak jarang perempuan yang memakai pakaian tertutup pun tidak
lepas dari tindak Catcalling. selain itu pelaku tindak Catcalling juga melakukan nya bukan
hanya kepada orang lain, bahkan kepada teman nya sendiri. para korban Catcalling sering
mengabaikan tindakan seperti ini karena mereka beranggapan tindakan Catcalling ini
tindakan yang biasa saja, pedahal yang harus kaum perempuan ketahui, dampak dari tindak
Catcalling ini bisa menimbulkan trauma, rasa tidak aman, takut untuk bepergian atau keluar
rumah, tidak percaya diri dan timbul ingin berhenti sekolah/kuliah.
Kemudian dilingkungan pendidikan yaitu dikampus-kampus sangat jarang ada iklan
layanan masyarakat tentang pencegahan tindak Catcalling atau pelecehan seksual secara
verbal. Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan
atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa
jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun
(rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima
perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Jadi,
pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
dan (310-315 KUHP) tentang perbuatan tidak menyenangkan. Maka dari itu penting nya para
kaum perempuan tahu bahwa ada undang-undang yang melindungi mereka dari kejahatan
pelecehan seksual secara verbal. Tindakan Catcalling juga bisa berdampak ke berbagai jenis
pelecehan lain nya, seperti; pelecehan verbal fisik, menyentuh korban, memeluk dan
mencium, bahkan sampai melakukan pemerkosaan.

Menurut Chhun (2011) catcalling merupakan penggunaan kata-kata yang tidak


senonoh, ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya terjadi di
tempat publik, contohnya: di jalan raya, di trotoar, dan perhentian bus. Secara verbal,
catcalling biasanya dilakukan melalui siulan atau komentar mengenai penampilan dari
seorang wanita. Ekspresi nonverbal juga termasuk lirikan atau gestur fisik yang bertindak
untuk memberikan penilaian terhadap penampilan seorang wanita.

Catcalling merupakan hal-hal yang nyata dan dapat disaksikan menggunakan


pancaindra. Fenomena yang tergolong ke dalam catcalling yang sering terjadi di masyarakat
sebagai bentuk pelecehan di jalan, membuat komentar seksual pada orang yang sedang lewat,
mengikuti mereka dan mencoba untuk terlibat pada percakapan atau meneriaki penghinaan
rasial saat mereka di jalan. Tidak jarang perilaku ini meningkat menjadi berkedip, menguntit
atau lebih buruk. Hasil survei menjelaskan bahwa catcalling cenderung terjadi bagaimana
cara berpakaiannya dan Hal ini mempengaruhi kemana mereka akan pergi, kapan, dan
dengan siapa, Ini juga dapat mempengaruhi hobi dan kebiasaan korban, bahkan dapat
menyebabkan beberapa orang untuk pindah atau keluar dari pekerjaan karena pelecehan di
sekitarnya.

Menurut Fakih (1996), perempuan berdandan dengan tujuan untuk membuat lawan
jenisnya yaitu laki-laki merasa tertarik terhadapnya. Menurut Supanto, keberadaan suatu
hukum, khususnya hukum pidana, berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan keamanan
masyarakat, serta menimbulkan daya preventif untuk tidak dilakukan kejahatan. terkait
dengan tindakan catcalling ini sebaiknya hukum hadir untuk memberikan batasan terhadap
perilaku tersebut dan juga sebagai suatu tindakan preventif. Hadirnya suatu aturan mengenai
catcalling dirasa tepat karena melihat berbagai gerakan anti catcalling yang ada di
masyarakat, yang selama ini membantu menyebarkan kesadaran terhadap publik dan
mengedukasi pentingnya rasa aman di ruang publik.

MacMillan et al. (2000) membuktikan bahwa tempat-tempat umum merupakan


tempat dimana pelecehan oleh orang asing sering terjadi. Karena pelecehan yang dilakukan
oleh orang asing, tempat-tempat seperti taman dan angkutan umum dirasakan kurang aman
bagi wanita yang sering mengalami catcalls (Eastwood, 2015).

Rumusan masalah penelitian :

1. Sejauh mana pemahaman korban catcalling terhadap catcalling itu sendiri?


2. Bagaimana tingkat perilaku catcalling pada mahasiswa di unsyiah ?
3. Bagaimana hubungan antara fashion style terhadap perilaku catcalling ?
4. Bagaimana sikap korban dan pelaku terhadap perilaku catcalling ?

B. Tujuan Penelitian :

1. Untuk memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat mengenai fenomena


catcalling
2. Untuk mengetahui bagaimana tingkat perilaku catcalling pada mahasiswa di unsyiah
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara fashion style terhadap perilaku
catcalling
4. Untuk mengetahui Bagaimana sikap korban terhadap perilaku catcalling

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi para
mahasiswa secara umum dan mahasiswi secara khusus agar tidak menganggap masalah kecil
terhadap tindakan Catcalling dan berani melawan kemudian melaporkan jika menjadi korban
Catcalling karena ada undang-undang yang melindungi kaum perempuan dari tindak
Catcalling. Sehingga membuat pelaku tindak Catcalling jera.
Hasil penelitian ini nantinya juga bisa dipakai oleh peneliti selanjutnya sebagai acuan
dan referensi untuk peneitian mereka, sehingga dapat memberikan manfaat tidak hanya
kepada masyarakat umum akan tetapi kepada para peneliti kedepannya.

D. Keaslian Penelitian.

Penelitian senada yang berjudul “Catcalling as a “Double Edge Sword”: Midwestern


Women, Their Experinces, and the Implications of Mens’s Catcalling Behasviours”, diteliti
oleh Coleen O’Leary, pada tahun 2016 yang meneliti mengenai sudut pandang perempuan-
perempuan Midwestern’s USA terhadap catcalling melalui interview mendalam mengenai
pengalaman dan persepsinya mengenai catcalling. Kesimpulan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa perempuanperempuan tersebut tidak pernah menganggap bahwa
catcalling sebagai suatu pujian, sebaliknya para pria menganggap bahwa komentar yang
mereka berikan merupakan pujian. Berdasarkan data yang diperoleh, perempuanperempuan
ini merasa bahwa pengalaman dan persepsi mereka mengenai catcalling diabaikan oleh laki-
laki dan masyarakat karena catcalling masih dianggap sebagai suatu pujian.

Penelitian sebelumnya tentang catcalling ini juga pernah dilakukan, akan tetapi
berfokus kepada dasar hukum serta sanksi hukum yang menanti kepada para pelaku
catcalling ini. Untuk penelitian yang kami lakukan, kami lebih berfokus kepada para korban
catcalling dan juga kami ingin mengetahui apakah ada kaitan antara gaya berpakaian pada
perempuan dengan perilaku catcalling yang mereka alami.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas Catcalling masih terdengar awam ditelinga masyarakat saat ini, Catcalling
sering kali diabaikan oleh kaum perempuan, para perempuan yang pernah mengalami tindak
pelecehan seksual secara verbal ini tidak bertindak apa-apa karena masih minimnya
pengetahuan remaja terhadap catcalling yang merupakan salah satu pelecehan secara verbal.

Tanpa dipungkiri di sekitar lingkungan pendidikan juga dapat terjadinya fenomena


catcall, dimana mahasiswi yang menjadi objeknya sedangkan pelakunya ialah masyarakat
sekitar kampus ataupun mahasiswa. tertentu saja yaitu, kasur, dapur dan rumah. Budaya
patriarki memarginalkan perempuan yang begitu terbatas. Tubuh wanita diartikan sebagai
sebuah kecantikan. Ukuran kecantikan seorang wanita diukur dari bentuk tubuh dan cara
berpakaiannya sedangkan akhlak hal yang sekian.

Aktivitas Catcalling dikampus-kampus kerap terjadi, karena keisengan belaka,


kebanyakan para pelaku melakukan tindak Catcalling ini kepada perempuan yang berpakaian
ketat dan menonjolkan lekuk tubuhnya. Sehingga dampak dari tindakan Catcalling ini bisa
menimbulkan rasa tidak aman, trauma, keterbatasan perempuan dalam beraktivitas, dan
timbulnya keinginan remaja untuk berhenti sekolah/kuliah.

A. Variabel Terikat
Catcalling secara sederhana diartikan sebagai godaan, siulan, teriakan, komentar,
bahkan tatapan mata yang bersifat seksual yang biasanya dialami oleh perempuan dan
dilakukan oleh laki-laki yang lewat di jalan atau biasa disebut street harassment. Benard dan
Schlaffer (1981) menyatakan bahwa ketika perempuan di jalan sering mengalami pelecehan
dan tidak memandang umur, pakaian, atau ras sekalipun.
Pelaku biasanya melakukan catcalling dengan spontan dan menganggap hal tersebut
adalah hal yang wajar, sepele, dan hanya bercanda untuk mendapatkan perhatian dari si
korban. Bahkan tak banyak dari pelaku yang menganggap perbuatan tersebut adalah pujian.
Sedangkan menurut Lystianingati, M.Psi, 2018 Catcalling adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau bergerombol orang yang dapat membentuk siulan,sapaan atau
bahkan komentar yang bersifat menggoda atau menurunkan martabat dan harkat perempuan
bisa juga disebut pelecehan seksual secara verbal.
Dalam kamus oxford, catcalling diterjemahkan sebagai siulan, panggilan, dan
komentar yang bersifat seksual. Terkadang dibarengi pula dengan tatapan yang bersifat
melecehkan yang membuat perempuan menjadi tidak nyaman. Definisi ini juga senada
dengan yang diungkapkan oleh Chun bahwa: “catcalling as the “use of crude language,
verbal expression, and non verbal expression that takes place in public areas such as
streets, sidewalks, or bus stops. Verbal expressions of catcalling tend to involve wolfwhistles
or comment that evaluate a woman’s appearance. Nonverbal expressions often include leers
as well as physical gestures that act as a means to rate a woman’s physical appearance.”
Definisi Chhun ini menjelaskan bahwa catcallling sebagai penggunaan bahasa kasar,
ekspresi verbal maupun nonverbal yang terjadi di tempat umum. Kajian penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya :
 Fiana Dwiyanti (2014) yang berjudul Pelecehan Seksual Pada Perempuan di
Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta). Kajian
penelitian ini difokuskan pada bentuk kekerasan yang terjadi kantor Satpol PP
DKI Jakarta dan perlawanan dari para korban pelecehan seksual di kantor. Alur
pemikiran penelitian ini terfokus pada tiga hal yang saling berhubungan dalam
adanya pelecehan seksual yaitu, (1) faktor-faktor penyebab, (2) bentuk-bentuk
pelecehan seksual, (3) resistensi korban dalam menanggapi pelecehan seksual itu
sendiri. Karyawan perempuan yang berkerja di kantor dan juga lapangan
seringkali mengalami pelecehan seksual, yang disadari maupun yang tidak sadar.
Pelecehan seksual yang terjadi di Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta memiliki
beberapa bentuk, diantaranya: (1) permintaan secara verbal; (2) komentar lisan;
(3) tampilan non-verbal. Adapun tiga faktor utama penyebab terjadinya pelecehan
seksual di Kantor Satpol PP DKI Jakarta yang terdiri dari: (a) budaya lingkungan
kerja yang di dominasi oleh laki-laki dan bersifat maskulin; (b) karakteristik
korban; dan (c) karakteristik pelaku. Studi dalam penelitian ini menggunakan
kriminologi feminis. Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu tempat terjadinya
peristiwa dan fokus utama masalah penelitian. Fokus utama penelitian yang
dilakukan peneliti yaitu untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
fashion style dengan perilaku catcalling yang dialami mahasiswi di universitas
syiah kuala.
 Hidayat, A. & Setyano, Y. (2019) yang berjudul Fenomena Catcalling sebagai
Bentuk Pelecehan Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Kajian
penelitian ini difokuskan pada makna dari pelecehan seksual secara verbal untuk
menginformasikan kepada masyarakat bahwa catcalling tersebut adalah
pelecehan seksual terhadap perempuan yang menjatuhkan martabat wanita.
Adapun faktor utama terjadinya pelecehan seksual secara verbal terhadap
perempuan di Jakarta yaitu komunikasi 1) budaya patriarki dan 2) feminism.
Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu tempat terjadinya peristiwa dan fokus
utama masalah penelitian. Fokus utama penelitian yang dilakukan peneliti yaitu
hubungan antara fashion style dengan perilaku catcalling yang dialami mahasiswi
di universitas syiah kuala.

B. Variabel Bebas

Variabel bebas atau independent variable pada penelitian yang berjudul ‘Hubungan
Antara Fashion Style dengan Perilaku Catcalling yang dialami oleh Mahasiswi di Banda
Aceh’ adalah fashion style.

Fashion berasal dari bahasa Latin, factio, yang artinya membuat atau melakukan.
Karena itu, arti kata asli fashion mengacu pada kegiatan; fashion merupakan sesuatu yang
dilakukan seseorang, tidak seperti dewasa ini, yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang
dikenakan seseorang. Arti asli fashion pun mengacu pada ide tentang fetish atau obyek fetish.
Kata ini mengungkapkan bahwa butir-butir fashion dan pakaian adalah komoditas yang
paling di-fetishkan, yang diproduksi dan dikonsumsi di masyarakat kapitalis. Polhemus dan
Procter (dalam Barnard, 2006) menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer Barat,
istilah fashion sering digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya dan busana.
Fashion sendiri bermula dari bahasa inggris yang berarti cara, kebiasaan atau mode.
Polhemus dan Procter menerangkan bahwa "pada masyarakat kontemporer barat, sebutan
fashion sering dipakai sebagai persamaan kata dari istilah dandanan, gaya dan busana"
(Malcolm Barnard, Fashion sebagai komunikasi).

Fashion memiliki beragam pengertian, tergantung pada fakta yang biasanya timbul.
Secara umum fashion dapat digolongkan berdasarkan sifatnya yang tidak tahan lama dan
perubahan gaya yang terjadi secara terus-menerus yang menurut beberapa orang didikte oleh
desainer dan industri (Newman, 2001: 29). Pakaian merupakan obyek yang oleh sebagian
besar orang diangap bisa menyampaikan sesuatu sebagaimana yang dikemukakan oleh
Barthes mengenai “the language of fashion”, bahwa setiap bentuk fashion pasti mengandung
pesan tertentu yang kemudian ingin disampaikan oleh pemakainya. Hal ini dianggap benar
dan diakui oleh sebagian besar orang. Fash-ion merupakan obyek yang dianggap bisa
menyampaikan makna dan maksud-maksud tertentu dari pemakainya. Oleh karena itu dengan
pakaian yang dikenakan diharapkan orang bisa menilai tanda-tanda yang ditampilkan dengan
pakaian yang dikenakannya.

Menurut Featherstone (2001), fashion kerap kali dimaknai sama dengan busana,
padahal arti dari fashion bisa mencakup sesuatu yang berhubungan dengan adornment
(perhiasan), style (gaya) dan dress (pakaian).

C. Hubungan/ Perbedaan antara Variabel Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan meninjau hubungan atau korelasi antara variabel
independen dan dependen yang diteliti, yaitu mengenai keterkaitan antara fashion style atau
gaya berpakaian mahasiswi di kota Banda Aceh dengan peristiwa catcalling yang dialami.

Pada penelitian ini peneliti mencari tahu mengenai hubungan yang memengaruhi
peristiwa catcalling yang dialami oleh mahasiswi dengan cara mereka berpakaian. Penelitian
catcalling ini sendiri telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya namun pada
penelitian yang dilakukan saat ini peneliti ingin melakukan peninjauan lebih lanjut mengenai
peristiwa catcalling yang sering kali tidak ditanggapi serius bahkan oleh korban sendiri
dengan gaya busana yang korban kenakan.

D. Hipotesis

Atas dasar latar belakang masalah, rumusan masalah dan kerangka pikiran yang
sebelumnya telah diterangkan oleh peneliti, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian
seperti berikut ini: “Tidak Adanya Hubungan Antara Fashion Style dengan Perilaku
Catcalling yang dialami oleh Mahasiswi di Banda Aceh.”

Anda mungkin juga menyukai