A. Etika Profesi
1. Etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos", yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Sebagai suatu subyek, etika berkaitan
dengan konsep yang dimiliki individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan
yang telah dikerjakan salah atau benar, buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari apa
yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kepentingan orang atau kelompok profesi itu sendiri.
Etika bermula saat manusia merefleksikan unsur etis dalam menyampaikan pendapat
spontan. Kebutuhan refleksi itu dirasakan, karena pendapat etis seseorang tidak jarang
berbeda dengan pendapat orang lain. Karenanya diperlukan etika, dengan tujuan mencari
tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia
terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988) merumuskan pengertian etika
dalam tiga arti, yaitu sebagai berikut :
a) Ilmu tentang baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam bermasyarakat bahkan dalam berprofesi sekalipun.
b) Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, atau pribadi seseorang.
c) Nilai yang mengenal benar dan salah yang dianut masyarakat.
2. Profesi
Profesi sendiri berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan
dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang
dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan
norma-norma sosial dengan baik.
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan
yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit
dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan
keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan
ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan
hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok
anggota yang menyandang profesi tersebut.
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki
berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu
profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
3. Etika Profesi
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam
menjalankan kehidupan sebagai pengembang profesi. Etika profesi adalah cabang filsafat
yang mempelajari penerapan prinsip-prinsip moral dasar atau norma-norma etis umum
pada bidang-bidang khusus (profesi) kehidupan manusia.
Etika Profesi adalah konsep etika yang ditetapkan atau disepakati pada tatanan profesi
atau lingkup kerja tertentu, contoh : pers dan jurnalistik, engineering (rekayasa), science,
medis/dokter, dan sebagainya.
Etika profesi Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang
sehingga sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap
konsumen (klien atau objek).
Etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka
kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang
membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, (Anang Usman, SH., MSi.)
Prinsip dasar di dalam etika profesi :
Tanggung jawab
- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat
pada umumnya.
Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya.
Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri
kebebasan dalam menjalankan profesinya.
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang
saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling
kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut,
suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi
landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya
maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini
sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan
tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan
para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilakuperilaku sebagian
para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah
disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi
kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut.
Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan,
demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah
mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
B. ETOS KERJA
1. Pengertian etos kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga
oleh kelompok bahkan masyarakat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas.
Digunakan dalam tiga pengertian berbeda yaitu:
Suatu aturan umum atau cara hidup.
Suatu tatanan aturan perilaku.
Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku.
Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atau
berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita cita yang positif.
Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau
karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang
disertai dengan semangat yang tinggi, guna mewujudkan sesuatu cita-cita.
Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada dasarnya
juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang
berdimensi transenden.
Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha
yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual
maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja
berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah
karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam
bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.
Ciri-ciri Etos kerja orang Indonesia menurut Yansen Sinamo, terbagi atas 8 macam:
1. Sebagai pedoman bagi seluruh anggota suatu profesi dengan memperhatikan prinsip-prinsip
profesi yang telah ditetapkan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat umum terhadap suatu profesi tertentu.
3. Sebagai sarana untuk mencegah campur tangan pihak lain di luar organisasi terkait
hubungan etnis dalam keanggotaan suatu profesi.
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh organisasi suatu perkumpulan atau perserikatan suatu
profesi untuk para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres
organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang
secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang – orang yang diutus untuk dan atas
nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut, sehingga orang – orang yang bukan atau
tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat ditundukkan padanya.
Berikut adalah kemungkinan sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran kode etik :
Mendapat peringatan
Pada tahap ini, si pelaku akan mendapatkan peringatan halus, misal jika seseorang menyebutkan
suatu instansi terkait (namun belum parah tingkatannya) bisa saja ia akan menerima email yang
berisi peringatan, jika tidak diklarifikasi kemungkinan untuk berlanjut ke tingkat selanjutnya,
seperti peringatan keras ataupun lainnya.
Pemblokiran
Misal, sebuah akun pribadi sosial yang dengan sengaja membentuk grup yang melecehkan
agama, dan ada pihak lain yang merasa tersinggung karenanya, ada kemungkinan akun tersebut
akan dideactivated oleh server. Atau dalam web/blog yang terdapat konten porno yang
mengakibatkan pemblokiran web/blog tersebut
Hukum Pidana/Perdata
“Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena
penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan
pembatalan Nama Domain dimaksud” (Pasal 23 ayat 3).
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun
yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik
menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya” (Pasal 33).
Berikut ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelanggaran kode etik, terdiri atas:
Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata
tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang
profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam
penelitian Sumardi dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu :
Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai
acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal
sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran
profesi.
Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa
seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak
lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan
(intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara
profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk
membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari
kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa
yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan
“orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan
menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan
pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari
pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas
ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari
pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial
(social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang
diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap
profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang
mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur
tersebut secara sempurna.
Watak Profesionalisme
Tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "Jasa Profesi"
ialah :
1. Bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi
tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan
atau mengharapkan imbalan upah materiil;
2. Bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas
tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan
berat;
3. Bahwa kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral -harus
menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan
dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
a. Kewajiban ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia bekerja disitu.
Namun tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan oleh
atasannya.
Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh
dia melakukan sesuattu yang tidak bermoral.
Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar,
walaupun dari segi etika tidak ada keberatan.
Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan
perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di
perusahaan itu.
b. Kewajiban konfidensialitas
Dalam konteks perusahaan juga konfidensialitas bisa memegang peranan penting. Karena
seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses kepada informasi
rahasia. Adalah sangat tidak etis jika seseorang pindah kerja sambil membawa rahasia
perusahaan ke perusahaan baru supaya mendapat gaji lebih tinggi. Karena ada kerahasiaan ini,
industrial espionage pun harus dianggap tidak etis.
Alasan utama etika yang mendasari kewajiban ini adalah bahwa perusahaan menjadi
pemilik informasi rahasia itu. Membuka informasi rahasia sama dengan mencuri. Alasan lain
adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas – mampu
mengganggu kompetisi bisnis yang fair.
c. Kewajiban loyalitas
Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah ettis seperti menerima komisi atau
hadiah selaku karyawan perusahaan. Sebab dapat ditanyakan apakah dengan praktek itu
karyawan tidak merugikan perusahaan.
Dimulai dengan masalah komisi. Tingkat jeleknya komisi tentu dipengaruhi oleh besar
kecilnya, karena terutama faktor inilah yang menentukan kerugian bagi perusahaan. Masalah
komisi berkaitan erat dengan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Dalam konteks kewajiban loyalitas ini muncul pertanyaan lagi tentang hubungannya
dengan kesetiaan. Jika karyawan pindah kerja karena alasan mencari gaji lebih tinggi, apakah
perbuatan itu bisa dilihat sebagai pelanggaran kewajiban loyalitas? Kewajiban loyalitas tidak
meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja. Di sini tidak ada masalah etika.
Dalam etika bisnis berbahasa inggris masalah ini dikenal sebagai whistle blowing. Sering
digunakan dalam arti kiasan: membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak.Dalam
etika whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi yakni menarik perhatian dunia luar dengan
melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi tempat ia bekerja. Pelaporan bisa
dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut ini terpenuhi:
Jika kesalahan perusahaan kecil saja, misalnya hanya membayar pajak sedikit kurang dari
kewajibannya, hal itu tidak pantas dilaporkan. Norman Bowie dan Ronald Duska menyebut tiga
kemungkinan:
1. Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan kerugian yang tidak perlu untuk
pihak ketiga (selain perusahaan dan si pelapor)
2. Kesalahan bisa dianggap besar juga, bila terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.
3. Kesalahan dinilai besar, bila dilakuukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan
perusahaan.
Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan betul oleh si pelapor.
Tidak boleh terjadi, orang yang melaporkan sesuatu yang secara faktual kurang jelas atau kurang
dikuasai betul oleh si pelapor. Laporan berupa “saya mempunyai kesan…” atau “kalau tidak
salah…” tidak dapat diterima. Syarat kedua ini bisa terpenuhi apabila orang tersebut benar-benar
menguasai masalahnya.
c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, bukan karena motif lain.
Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi kenyataan (syarat pertama)
, melainkan juga motif untuk melaporkan kesalahan. Tidak etis, bila orang melapor karena motif
yang tidak murni, walaupun kesalahannya memang besar.
Jika karyawan merasa bertanggung jawab, ia harus berusaha dulu untuk menyelesaikan
masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal itu juga sesuai dengan
kewajibann loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara internal itu gagal, ia boleh
memikirkan whistle blowing.
e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan mennghasilkan apa-
apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja, sebelum berlangsung tidak pernah ada kepastian
bahwa pelaporan akan mencapai sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak
ketiga.
Whistle Blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang
tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawa banyak kerugian, secara material maupun
moral. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat berharga bagi setiap perusahaan. Untuk si
pelapor juga, whistle blowing adalah langkah yang diambil dengan berat hati. Ia melakukannya
semata-mata terdorong oleh hati nuraninya dan sebetulnya sangat ingin menyesalkan akibat
negatif bagi perusahaan.
Dalam konteks Indonesia, diskriminasi terutama timbul berhubungan dengan status asli
atau tidak asli, pribumi atau non-pribumi, dari para warga negara. Jika ditambah dengan negara
lain Diskriminasi dilakukan karena alasan agama, jenis kelamin, ras, dan warna kulit.
Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja itu
aman, kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau
bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat.
Tempat kerja dianggap sehat bila bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit
sebagai akibat kondisi kurang baik di tempat kerja.
Ada aneka macam kecelakaan kerja. Yang minta banyak korban adalah kecelakaan
industri di pabrik-pabrik atau tempat industri lain. Seandainya dilaksanakan peraturan
keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk pengaman, helm pengaman, atau setiap ruang
kerja mempunyai pintu atau tangga darurat, banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan.
Kalau kecelakaan kerja hampir selalu terjadi secara mendadak dan langsung
mengakibatkan kerugian, maka penyakit akibat pekerjaan baru tampak sesudah si karyawan
bekerja cukup lama. Selalu sudah diketahui bahwa beberapa macam pekerjaan mempunyai faktor
risiko khusus untuk kesehatan si karyawan.
b. Pertimbangan etika
Yang menjadi dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi keselamatan dan
kesehatan para pekerja:
Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau belum meyakinkan,
kita bisa merujuk lagi kepada hak setiap manusia untuk tidak dirugikan dan akhirnya hak
untuk hidup.
Dalam deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia selalu harus
diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.
Sesuai argumentasi utilitarisme, bisa diperlihatkan bahwa tempat kerja yang aman dan
sehat paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri, khususnya bai ekonomi negara.
a. Kematian atau kerugian pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh tindakan
pimpinan perusahaan
Bahwa perusahaan atau pimpinan perusahaan tidak boleh dianggap sebagai penyebab
langsung dari kecelakaan di tempat kerja. Karena pertama, kecelakaan kerja pada umumnya
disebabkan oleh banyak faktor sekaligus, termasuk juga perbuatan para pekerja itu sendiri.
Kedua, bahwa kemungkinan terjadinya kerugian untuk pekerja kadang-kadang tidak bisa
dihindarkan.
Argumen ini menekankan bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi dengan sukarela
menerima risiko. Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan
berisiko. Syarat yang harus dipenuhi:
Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat memilih pekerjaan lain tanpa
risiko khusus, walaupun barangkali dengan pembayaran lebih rendah.
Supaya pekerja dapat mengambil keputusan bebas, ia harus diberi informasi tentang
risiko yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Perusahaan selalu wajib berupaya agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin
Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan kepada kepentingan
ekonomis. Risiko memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus selalu dibatasi sampai
seminimal mungkin, walaupun upaya itu biisa mengakibatkan biaya produksi bertambah. Selain
itu si pekerja harus menerima risiko ini dengan bebas, setelah lebih dahulu ia diinformasikan
secukupnya. Pekerja harus diberi imbalan ekstra untuk mengimbangi risiko, baik dalam segi gaji
langsung maupun dengan asuransi khusus. Akhirnya pekerjaan berisiko itu hanya bisa ditolerir,
jika menghasilkan produk yang bermanfaat untuk masyarakat. Dengan cara iseng saja
membiarkan risiko kerja harus dinilai tidak etis.
Pertama, apakah pekerja boleh menolak perintah atasan untuk melaksanakan suatu tugas
yang dianggap terlalu berbahaya? Disini kita harus mengacu pada apakah suatu perintah untuk
mengerjakan tugas berbahaya bisa dianggap wajar atau tidak.
Kedua, segi etis dari risiko reproduktif atau risiko untuk keturunan si pekerja. Kerugian
kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja bagi dirinya sendiri, melainkan bagi
keturunannya. Seperti pada industri kimia, para pekerja wanita bisa mengalami keguguran,
kelahiran dini, atau melahirkan bayi cacat.
Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih
luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus seperti kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain
harus dipandang juga sebagai sebagian dari imbalan kerja. Dan lebih penting lagi adalah asuransi
kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun, dsb. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi juga,
asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.
6 kriteria yang perlu dipertimbangan agar gaji atau upah itu adil atau fair :
Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji. Maksudnya orang yang bekerja lebih
lama pada suatu perusahaan atau instansi mendapat gaji yang lebih tinggi. Pertimbangannya
adalah bahwa gaji lebih tinggi berdasarkan senioritas itu merupakan semacam penghargaan bagi
kesetiaan si karyawan terhadap perusahaan atau profesinya.
Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek pembayaran khusus atau kenaikan
gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Bagi para manajer, cara ini mudah untuk
dilaksanakan karena fleksibilitasnya. Tapi efektifitasnya diragukan, karena kenaikan gaji atau
bonus dimaksudkan sebagai stimulans bagi semua karyawan. Menjadi tidak fair, kalau orang
tidak diberitahukan dengan jelas tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat kenaikan gaji
atau bonus.
Menurut Garret dan Klonoski, ada 3 kewajiban majikan dalam memberhentikan karyawan :
Dalam hal ini peraturan hukum harus dipegang dengan seksama. Di samping itu
perusahaan besar sebaiknya mempunyai aturan-aturan internal yang menjamin prosedur
pemberhentian yang jelas dan terbuka.
Dari perusahaan kecil tidak bisa diharapkan bahwa mereka memiliki aturan-aturan yang
rinci tentang pemberhentian karyawan yang bersalah. Pimpinan perusahaan harus berpegang
pada kearifan pribadi, selain pada peraturan hukum atau peraturan organisasi majikan, atau
sebagainya.
a. Tuduhan terhadap karyawan harus dirumuskan dengan jelas dan didukung oleh
pembuktian yang meyankinkan
b. Karyawan harus diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan orang yang
menuduhnya, untuk membantah tuduhan dan memperlihatkan bahwa pembuktiannya
tidak tahan uji, kalau ia memang tidak bersalah.
c. Harus tersedia kemungkinan untuk naik banding dalam salah satu bentuk, sehingga
keputusan terakhir diambil oleh orang atau instansi yang tidak secaara langsung
berhubungan dengan karyawan bersangkutan.
3. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin
C. Beberapa Kasus
Perusahaan farmasi PT. Cepat Sembuh berkembang pesat. Mereka membutuhkan salesman baru.
Setelah dipasang iklan dalam koran, diterima 15 orang, diantaranya Narto, keponakan dari
manajer personalia. Tujuh orang yang mempunyai prestasi paling baik akan ditawari training di
luar negeri. Sesudah 3 bulan bekerja, prestasi Narto sedang-sedang saja. Dianatara salesman baru
itu, Narto menduduki ranking 10, tetapi manajer personalia memilih keponakannya untuk
diberangkatkan ke luar negeri. Prestasi kerja dari mereka semua hanya diketahui oleh manajer
personalia.
Dari segi etika, kasus ini kami nilai tidak boleh dilakukan, karena dengan secara sengaja manajer
melakukan kecurangan dan melanggar peraturan yang telah dibuat dan tentunya
menimbulkan pandangan diskriminasi antar karyawan karena lebih mengutamakan
keluarganya daripada kemampuan yang lebih kompeten berdasarkan hasil ranking tersebut,