Anda di halaman 1dari 6

1

SIALAN!!!

Terdengar teriakan seorang pemuda dari lantai atas bangunan di sudut jalan. Dan
alasan auman di pagi hari itu adalah karena ia bangun kesiangan. Yohan yang semalam
begadang mengerjakan tugas matematika 750 soal yang harus dikumpulkan esok hari malah
berakhir terbangun terlambat. Rasa kantuk yang menyerangnya berhasil menghentikan
pemuda itu menjamah 105 soal terakhir. Entah apa yang akan dikatakan guru matematikanya
nanti. Mengesampingkan hal itu, Yohan melesat menuju kamar mandi hanya untuk
membasuh muka dan menggosok giginya. Ia buru-buru mengenakan seragam dan mengambil
sepotong roti. Dan sekarang ia harus bergegas jika tidak ingin terlambat masuk sekolah.

“Pak! Tunggu pak! Yohan mau masuk,” teriak Yohan kepada penjaga sekolah dari
jarak yang terbilang jauh. Walaupun penampakan sosok Yohan sudah terlihat dari kejauhan
tetapi tubuh Yohan belum berada di depan pintu gerbang. Seakan sebuah alasan yang tidak
disertai bukti fisik.

Gerbang sudah tertutup saat Yohan sampai di depannya. Ah sial, ia mengumpat dalam
hati. Anak-anak yang terlambat dikumpulkan di halaman sekolah. Petugas piket hari ini yang
bertugas untuk mencatat nama bocah-bocah malas yang beralasan kesiangan itu kebetulan
adalah guru BP yang terkenal kejam, ganas dan bringas. Dan kebetulan lagi Yohan belum
memotong rambutnya yang sudah cukup panjang untuk bisa dijambak.

“Kamu! Yang rambutnya botak, sini!” ucap (?) sambil menunjuk Yohan. Perkataan
dan perbuatannya tidak sesuai. Yohan yakin ada yang salah dengan saraf pemilihan kosa kata
di otak (?).

“Saya, pak?” Tanya Yohan tidak yakin.

“Iya, kamu! Siapa memang yang bapak tunjuk?”

Yohan maju berjalan ke arah (?) dengan ragu. Dirabalah rambut Yohan dengan
lembut, ah tidak. (?) mencengkram rambut Yohan cukup kuat hingga membuatnya meringis
kesakitan. “Kata-kata adalah doa, nak. Biar bapak kabulkan doa bapak tadi,” tukas (?) sambil
memainkan rambut Yohan.

***

Di bangku kedua dari belakang terlihat Yohan sedang melongok keluar jendela. Hari
ini tidak ada yang spesial. Hanya seperti hari-hari biasa, kelas yang membosankan, dan hal
yang sama setiap harinya. Hanya saja hari ini Ia terlihat memakai peci putih di kelas sejarah.
Pemandangan itu cukup janggal mengingat Yohan adalah keturunan tionghoa.
Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena potongan asal-asalan (?) yang membuat
rambut Yohan groak di bagian tengah. Paling tidak sekarang ia terlihat sedikit lebih pintar
dengan potongan rambut ala Einstein.

Bel pulang sekolah berbunyi. Pelajaran selesai. Guru keluar dari ruangan kelas. Saat
guru sudah benar-benar keluar dari ruangan, teman-temannya kembali heboh. Mereka masih
saja menertawakan rambut yang didapat Yohan pagi tadi.

“Parah sih, gue masih speechless sama potongan baru lo, man. Udah mirip Einstein,”
sindir Edwin.

“Lain kali kalo lo mau potong lagi ajak gue juga, lah. Jangan potong sendiri aja.
Hahaha!” ujar anak lain.

“Kampret lo pada. Karma berlaku, man,” balas Yohan kepada teman-temannya.

Di tengah itu ada seseorang yang berdiri di depan pintu. Mata mereka berpapasan.
Yohan menyadari bahwa pacarnya, Rainia sedang menunggunya di sana.

“Gue cabut duluan, guys. Pacar gue nunggu di depan,” ucap Yohan pamit ke teman-
temannya.

“Ye, bucin mulu lo!”

“Kapan putus? Ahaha!”

“Dasar jomblo. Sirik aja lo!”

Yohan berjalan menyamperi pintu kelas dengan bahagia. Yohan bahkan melompat
kecil dalam setiap langkahnya. Seakan melupakan kejadian yang menimpanya pagi tadi.
Melihat wajah pacar memang selalu membuat suasana hati menjadi lebih baik. Tetapi entah
kenapa raut wajah Rainia terlihat tidak terlalu senang sekarang.

“Tumben nyamperin, yang, ada apa?” tanya Yohan dengan senyum sumringah

“Ada yang mau aku sampein ke kamu, berdua aja. Tapi ngobrolnya jangan disini. Kita
cari tempat yang sepi.” Sambil menggandeng tangan Yohan, Rainia menyeretnya menuju
taman di belakang sekolah. “Kamu kenapa gak bisa dihubungin, sih?” Raina memulai
interogasi.

“Ah, itu, jadi aku kemarin baru beli hape baru. Maaf aku gak sempet hubungin kamu
kemarin. Semua data belum sempet aku pindahin. Aku juga sibuk banget ngurusin tugas
matematika.”

“Tau gak sih berapa kali aku nyoba telepon kamu kemarin? Kamu udah gak peduliin
aku lagi?”
“Ngga, sayang. Maksud aku bukan gitu. Kemarin itu bener-bener aku sama sekali
ngga ada waktu. Bahkan aku ngga sempet buat makan malem, ah ngga, ke kamar mandi pun
gak sempet,” bela Yohan kepada dirinya.

“Hah.... Aku udah gak tahan lagi. Aku mau kita putus.”

“Ta, tapi yang...kenapa kamu tiba-tiba kayak gini sih? Oke aku salah, aku nggak
ngehubungin kamu tadi malem. Aku minta maaf. Pleaselah yang aku nggak mau putus.”

“Sorry, han. Gue udah gak bisa sama lo lagi.”

“Please, yang. Kasih gue kesempatan.”

“Ha... Aku nggak mau bilang kayak gini tapi, aku punya cowok lain. Jadi aku mau
kita putus!” Rainia berbalik pergi meninggalkan Yohan yang sekarang jatuh di tanah. Masih
belum bisa mempercayai apa yang didengarnya.

“HEUK! Tidak!!!” teriak Yohan seperti adegan-adegan mainstream di sinetron


Indonesia.

Jangan ditanya. Sepertinya hati Yohan sudah tidak dalam bentuk semula. Sakit hati.
Iya, Yohan juga manusia punya rasa punya hati. Sudah rambut meninggalkan kepalanya
sekarang ditambah Rainia meninggalkannya. Sungguh apes Yohan hari ini.

***

Bukan Yohannes Lim namanya kalau hal yang menimpanya di sekolah sudah
membuatnya meringkuk dan menangis di pojok kamar. Lihat siapa yang bicara! Bukankah ia
orang yang sama yang jatuh tersungkur di tanah tadi. Menangis tersedu-sedu bak putri
kerajaan yang ditinggal kawin lari oleh pangerannya. Tapi memang benar. Yohan tidak
terlalu memedulikan hal itu. Karena ia sudah dewasa. Sudah kelas 1 SMA. Ia harus bisa
merelakan hal-hal yang pasti akan datang dan pergi dalam hidupnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Yohan merasa ingin mandi. Hari yang
melelahkan memang setidaknya harus diakhiri dengan penyegaran. Yohan bangun dari
tempat tidurnya. Ia lalu mengambil handuk dan melangkah menuju ke kamar mandi.

Tidak butuh waktu lama bagi Yohan untuk menyelesaikan rutinitas sorenya. Hanya
perlu sekitar satu jam. Kalau ditanya, kenapa lama? Sebenarnya tidak banyak yang
dilakukannya di sana. Hanya mengadakan konser solo, melamun akan hal-hal yang
sebenarnya tidak penting, contohnya (?) , bermain sabun, buang air, dan yang paling aneh ia
pernah latihan lomba balap karung tapi tanpa karung. Setelah itu sisa waktunya benar-benar
ia gunakan untuk membersihkan tubuhnya.
Yohan membuka lemari pakaiannya dengan malas. Ingin rasanya ia bertelanjang bulat
dan berkeliaran ke kompleks sekitar. Sungguh, sebenarnya Yohan tidak cukup gila untuk
melakukan hal itu. Ia akhirnya memilih baju favoritnya. Kaos oblong berwarna kuning
dengan motif macan tutul dan celana pendek selutut yang sudah lusuh karena terlalu sering
dicuci.

Ah, benar. Yohan sekarang harus bersiap-siap untuk menemui seseorang. Tentunya
bukan Rainia, ia tidak berniat untuk balikan dengan cewek brengsek sepertinya. Sebenarnya
Yohan hari ini ada janji dengan pembeli. Ia menjual sepatu pantofel antik peninggalan
ayahnya. Ia terpaksa menjualnya karena bulan ini uang saku dari pamannya belum sampai
juga. Yohan sebenarnya adalah anak yatim piatu. Orang tuanya meninggal ketika ia berumur
8 tahun. Dan sekarang ia diasuh oleh pamannya yang sekarang tinggal di luar negeri. Ia
memilih untuk tetap tinggal di Indonesia agar ia dapat selalu mengenang mendiang ayah dan
ibunya. Walaupun begitu, Yohan sama sekali tidak mengingat masa-masa terakhir bersama
mereka. Terutama saat usianya 8 tahun. Seolah-olah pada masa itu ada kejadian yang tidak
seharusnya diingat oleh anak usia 8 tahun.

***

“Fuck!” umpat Yohan, “kurang diajar, bisa-bisanya mereka nipu gue. Mainnya
keroyokan lagi! Hidup gue selama sebulan ke depan gimana?!” Yohan meringis meratapi
nasibnya yang sungguh sial seharian ini.

Dilihat dari lagaknya sepertinya kali ini Yohan kena tipu. Tidak biasanya penjual
tertipu dengan klien mereka, kecuali mereka memang benar-benar bodoh. Dan sepertinya
juga si bodoh Yohan termasuk dalam daftar orang bodoh itu. Bahkan dia berada di peringkat
pertama. Bagaimana bisa dia tidak curiga dengan orang yang mengajak COD di jalanan
sunyi? Manalagi kliennya ini memakai foto profil cewek yang dalam hakikatnya cewek itu
tidak suka bertemu berdua dengan cowok apalagi yang tidak mereka kenal, takut diapa-apain!
Ini Yohan malah yakin kalau cewek itu sedang kabur dari rumah, makanya sekarang dia
sedang ada di jalan antah berantah.

Dengan kepolosan Yohan yang mendekati idiot, akhirnya mereka bertemu di jalan
yang sama sekali tidak terlihat orang berlalu lalang. Pada awalnya memang tidak ada yang
aneh. Seorang gadis berparas cantik menghampiri Yohan.

“Hai, kak! Kakak bener Yohannes, bukan?”

“Oh, iya. Kamu yang idnya Unicorn21, ya?”

“Iya, nih. Barangnya dibawa ‘kan, kak?”


“Bawa dong, masa lupa. Orang kita janjian mau jual beli barang masa ngga dibawa?”

“Hehe ... iya juga ya. Boleh lihat barangnya, kak?”

“Boleh, nih. Dilihat dulu, pastiin sesuai nggak sama yang digambar. Dijamin no lecet-
lecet,” ucap Yohan sambil menyodorkan paper bag tempat ia menaruh sepatu pantofel milik
ayahnya. “Gimana, masih bagus ‘kan? Ini sepatu antik bekas Ayah jadi udah pasti asli,
dong.”

“Hm, iya kak sepatunya masih dalam kondisi bagus. Modelnya retro banget aku
suka.”

“Oke, jadi minat, nih?” tanya Yohan kepada gadis itu. “Iya, kak. Aku ambil. Bentar
ya uangnya ada di mobil aku ke sana dulu.”

“Oh, iya-iya, gapapa.”

Gadis itu kembali dengan dompet di tangannya. Tapi dia tidak datang sendirian. Bak
pasukan paskibra, terlihat ada tiga pemuda berbaris di belakang gadis itu. Yohan kicep
melihat perawakan mereka yang lebih besar darinya. “A-ada apa nih? Kenapa jadi ada
banyak orang? Mba Unicorn tolong jelasin ke aku!” tanya Yohan dengan ketakutan.

“Ambil!” perintah gadis itu kepada salah satu pemuda di belakangnya. Langsung saja
pemuda itu merebut paper bag yang dibawa Yohan dengan paksa.

“Eh, balikin!” Yohan sudah pasti melawan itu harta berharga miliknya. Bayangkan
saja jika barangmu direbut paksa, tentu kalian tidak suka. Apalagi sekarang Yohan harus
berhadapan dengan tiga preman gadungan, bukan maksudnya tiga preman dan satu
perempuan gila! Sungguh, ada apa dengan hari ini!

Dua pemuda lainnya menahan badan Yohan yang lebih kecil dibandingkan dengan
mereka. Tentu saja Yohan kalah, tinggi badannya yang tidak seberapa hanya 174 cm, mana
mungkin bisa menang melawan mereka yang tingginya seperti tiang listrik. Walaupun begitu
Yohan berusaha sekuat tenaga. Dia berhasil melepaskan diri dari pegangan dua bocah tengik
yang menahannya. Yohan langsung berlari menghampiri gadis tersebut untuk mengambil
kembali sepatunya. Tapi belum juga sampai, Yohan terhempas. Badannya sekarang berada di
atas aspal. “Ah!” erang Yohan. Tentu sakit. Belum sempat menangani rasa sakit yang
dirasakannya. Begitu Yohan membuka matanya, tiba-tiba dia mendapat tonjokan mentah di
pipi kirinya. “Aw!” erang Yohan untuk yang kedua kalinya. Pukulan bertubi-tubi mendarat di
muka Yohan. Sekarang dia sudah hampir tidak sadarkan diri.

“Cukup! Udah cukup, entar dia mati!” Tidak disangka gadis gila itu masih punya rasa
kemanusiaan. Dia berjalan ke arah Yohan. Diamatinya sekujur tubuh Yohan. Dia mencari
keberadaan saku tempat Yohan menyimpan dompetnya. Dirabanya saku belakang Yohan dan
tepat di sanalah Yohan menyimpan dompetnya. Tapi di tempat itu juga Yohan menyimpan
ponsel baru miliknya. Dia mengambil dompet dan ponsel milik Yohan. “Jangan....” mohon
Yohan dengan suara parau.
“Hah! Dompet apaan ini? Kosong. Ngapain juga bawa dompet kalau gak ada isinya.”
Gadis itu langsung melempar dompetnya ke tanah, dibiarkannya begitu saja. “Dompet gak
guna, untung ada gantinya,” ucapnya sambil mencoba membuka ponsel Yohan yang tidak
terkunci.

“Makasih, ya, kak! Aku puas belanja di kakak,” ucapnya sebelum dia dan
rombongannya meninggalkan Yohan terkapar tidak berdaya di aspal yang panas sendirian.

Anda mungkin juga menyukai