279-Dokumen Artikel Utama-887-1-10-20181226
279-Dokumen Artikel Utama-887-1-10-20181226
peni.anggraeni@gmail.com
hadimahmudah@gmail.com
p-ISSN 2477-118X
e-ISSN 2615-7977
ABSTRAK
Dengan terungkapnya kasus korupsi yang banyak menjerat wakil
rakyat, penelitian ini termotivasi untuk mengeksplorasi kajian teoritis
tentang masifnya tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi dari
sudut pandang konsensus sosial. Menggunakan berbagai perspektif
teori (issue contingent model, theory of delinguency, dan teori fraud
triangle), tulisan ini menguraikan motivasi intrinsik pelaku dan
dukungan lingkungan yang semakin menambah intensitas terjadinya
suap dan gratifikasi. Secara teoritis, persepsi lingkungan atas
kelaziman suap dan gratifikasi sangat berpengaruh pada pengambilan
keputusan etis terutama saat individu mengalami dilema etika. Ketika
seseorang mengalami dilema etika, keputusan untuk menerima
hal yang tidak baik membutuhkan proses pengolahan kognisi,
sehingga yang bersangkutan dapat menetralisasi rasa bersalahnya
dan merasionalisasi keputusannya. Sesuai dengan teori yang ada,
kejahatan pada dasarnya tidak serta merta muncul dari pemikiran
internal, tetapi muncul dari pembelajaran yang didapat dari
ABSTRACT
Theoretical studies of the massive corruption of bribery and
gratification from the standpoint of social consensus. Using
various theoretical perspectives (issue-contingent models, theory of
delinquency, and the theory of fraud triangle), this paper outlines
the intrinsic motivation of actors and environmental support which
further increases the intensity of the occurrence of bribery and
gratification. Theoretically, the perception of the environment on the
prevalence of bribery and gratification is very influential in ethical
decision making, especially when individuals experience ethical
dilemmas. When someone encounters a moral dilemma, the decision
to accept things that are not good requires a process of processing
cognition, so that the person concerned can neutralize his guilt and
rationalize his decision. Under existing theories, crime does not
necessarily arise from internal self-thinking but arises from learning
obtained from the environment. This paper describes in detail the
scientific findings of the role of social consensus in fostering bribery
and gratification from various theoretical perspective. It is expected
to shed the light on the corruption literature in Indonesia.
Keywords: corruption in congregation, bribery, gratification,
social consensus.
A. PENDAHULUAN
Korupsi merupakan problem besar yang ingin diberantas
oleh Pemerintah. Meskipun pada tahun 2017 ini capaian growth
development index Indonesia meningkat, korupsi masih berada di
peringkat pertama penghambat iklim investasi (world wide forum,
2017). Kerugian negara tidak hanya tentang jumlah uang yang hilang,
tetapi juga inefisiensi, perlambatan pembangunan, kontraproduktif
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan memburuknya iklim investasi
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah sebagai berikut:
2. Tujuan Penelitian
Memetakan teori dan konsep konsensus sosial atas keberterimaan
suap dan gratifikasi.
a. Menjabarkan faktor tekanan yang mempersubur tindak
pidana gratifikasi/suap.
b. Menjabarkan faktor individu yang mendukung keberterimaan
suap/gratifikasi.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis implementatif dengan
pemetaan literatur akan teori yang dapat mendukung preposisi
bahwa konsensus sosial yang melazimkan gratifikasi akan semakin
mempersubur korupsi. Pertama, peneliti mencari informasi dari
berita dan surat kabar atas fenomena maraknya suap dan gratifikasi.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk meyakinkan bahwa masalah
terkait menyebarnya suap dan gratifikasi telah terjadi di Indonesia.
Tahap kedua, peneliti menggali sumber literatur dari jurnal-jurnal
ilmiah dan berita tentang tipologi kecurangan, motivasi kejahatan,
dan korupsi. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mencari penjelasan
atas alasan di balik terjadinya fenomena tersebut. Peneliti mencari
literatur dan teori klasik yang menjelaskan fenomena. Teori klasik ini
kemudian diadaptasikan dengan literatur terkini yang berasal dari
riset yang sudah dilakukan sebelumnya di bidang ini.
B. PEMBAHASAN
Menurut Pasal 2 Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindakan melawan hukum
yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada Pasal 3, ragam korupsi dijabarkan antara lain penyalahgunaan
wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan, kedudukan, atau sarana yang ada padanya. Definisi
korupsi setiap negara relatif hampir sama. Tindak pidana korupsi
C. PENUTUP
Monkey see monkey do. Kutipan Robinson & Leary-Kelly (1998)
sesuai dengan kajian teori penyebaran suap dan gratifikasi bahwa
ketika sebuah perilaku menyimpang dilakukan oleh beberapa
orang, maka propensitas perilaku itu akan ditiru dan berulang. Dari
kajian teoritis, sifat keserakahan manusia membuat variasi tekanan
menjadi lebih luas dan tidak melulu tekanan finansial saja. Mengapa
suap dan gratifikasi menjadi marak? Hal ini dapat dijelaskan
melalui mekanisme rasionalisasi yang terjabarkan dalam denial of
responsibity, denial of injury, dan denial of victim. Tiga hal tersebut
membantu pelaku mengubah area abu-abu menjadi dapat diterima.
Ketika sudah dianggap lazim, maka akan terbentuk ekspektasi yang
tersirat. Ekspektasi ini pun ditangkap oleh masyarakat, sehingga
masyarakat pun ikut mempersuburnya.
Pada ujungnya, akan terjadi social shifting yang menjelaskan
“Mengapa terjadi fenomena pergeseran sosial, sehingga suap dan
gratifikasi dapat dianggap lazim?” dengan kerangka budaya korupsi
dalam teori kejahatan. Pergeseran sosial menimbulkan penjangkaran
(anchoring) yang keliru ini dapat mengarahkan individu untuk secara
rasional menerima suap. Fenomena ini pun sejalan dengan asumsi
teori issue-contingent model yang menyatakan bahwa kesepakatan
sosial atas sebuah isu menentukan bagaiman isu tersebut dianggap
etis atau tak etis. Saat suap dan gratifikasi menuai kesepakatan bahwa
hal tersebut umum terjadi, maka masyarakat akan menilai bahwa
tindak tak etis tersebut menjadi etis.
Artikel ini memberikan landasan teoritis terhadap dugaan bahwa
lazimnya suap dan gratifikasi merupakan sebuah hadiah wajar dari
konsensus sosial yang mendukungnya. Akan tetapi, teori-teori ini
pun memerlukan pembuktian lebih. Akan sangat baik apabila ada
D. REFERENSI
Al Zadjali, M. K. S. (2010). The nature, causes, consequences,
and mitigation of corruption : a new paradigm and role for
accounting. Lincoln University.
Amernic, J. H., & Craig, R. J. (2010). Accounting as a Facilitator of
Extreme Narcissism, 79–93. http://doi.org/10.1007/s10551-010-
0450-0
Anand, V., Ashforth, B. E., & Joshi, M. (2005). Business as usual : The
acceptance and perpetuation of corruption in organizations, 19(4).
Bandura, A. (1969). Social learning theory on identificatory processes.
In Handbook of Socialization Theory and Research (pp. 213–
262). Rand McNally & Company.
Benson, M. L. (1985). Denying the Guilty Mind: Accounting for
Involvement in a White‐Collar Crime. Criminology, 23(4), 583–
607. http://doi.org/10.1111/j.1745-9125.1985.tb00365.x
Cressey, D. R. (1950). The Criminal Violation of Financial Trust.
American Sociological Review, 15(6), 738–743. Retrieved from
http://aaajournals.org/doi/10.2308/iace.2008.23.4.521
Dellaportas, S. (2013). Conversations with inmate accountants :
Motivation , opportunity and the fraud triangle. Accounting Forum,
37(1), 29–39. http://doi.org/10.1016/j.accfor.2012.09.003
Gault, D. A. (2017). Corruption as an organizational process :
Understanding the logic of the denormalization of corruption.
Contaduría y Administración, 62(3), 827–842. http://doi.
org/10.1016/j.cya.2016.01.008
Irwin, J., & Cressey, D. R. (1962). Thieves , Convicts and the Inmate
Culture. Social Problems, 10(2), 142–155.
Jones, T. M. (1991). Ethical Decision Making by Individuals in
Organizations : An Issue-Contingent Model. The Academy of
Management Review, 16(2), 366–395.