Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Di negara industri hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama.
Di Indonesia hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
oleh dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer karena angka
prevalensinya yang tinggi dan akibat  jangka panjang yang ditimbulkannya. Sampai
saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain
meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum
mendapatkan pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum
mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat
meningkatkan mortilitas dan morbiditas.
Menurut WHO (1978), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
140/90 mmHgdan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 dinyatakan sebagai
hipertensi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk
membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang
diketahui.
Menurut World Health Organiztion (WHO) pada tahun 2011 menunjukan satu
milyar orang di dunia menderita hipertensi, 2/3 penderita hipertensi berada di negara
berkembang. Prevalensi hipertensi akan terus meningkat dan diprediksi tahun 2025
sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah
menyebabkan banyak kematian sekitar 8 juta orang setiap tahunnya, dan 1,5 juta
kematian terjadi di Asia Tenggara dengan 1/3 populasinya menderita hipertensi
(Kemenkes, 2017).
Hipertensi merupakan salah satu penyebab kerusakan berbagai organ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum
ditemui pada pasien hipertensi adalah hipertropi ventrikel kiri, angina atau infark
miokard, gagal jantung, stroke, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan
retinopati. Untuk itulah pentingnya diagnosis dini serta penatalaksanaan yang tepat
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang akan terjadi atau mencegah
kerusakan lebih lanjut yang sedang terjadi.
Strategi penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non farmakologi seperti
modifikasi gaya hidup dan diet dan terapi farmakologi untuk mencapai target terapi
hipertensi. Dalam penanganannya, diperlukan kerjasama antara tim medis, pasien,
serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarga tentang
penyakit dan komplikasi akan membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta
diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita

II. Rumusan Masalah


a. Definisi Hipertensi Esensial ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Hipertensi Esensial ?
c. Bagaimana penatalaksanaan Hipertensi Esensial ?

III. Tujuan dan Manfaat


Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pelayanan kefarmasian
makalah ini dibuat untuk memberikan uraian atau gambaran tentang penyakit
hipertensi esensial atau yang biasa disebut hipertensi primer ini bagaimana jalan
penyakitnya, gejala-gejala klinisnya bahkan komplikasi yang mungkin terjadi serta
pengobatan yang bisa dilakukan pada penaykit hipertensi esensial ini. Semoga
bermanfaat bagi para pembaca.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Hipertensi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHgpada pemeriksaan
yang berulang (Dipiro 9).
Klasifikasi Hipertensi :
Klasifikasi Tekanan Darah TD TD
Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stadium 2 >160 atau >100
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Manusia Menurut Dipiro 9

- Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang


menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan
reaktivitas vaskular dan tekanan darah
- Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskular,
fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskular perifer.

 Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah srebrovaskular, kardiovaskular,


dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian premature ada pada korelasinya dengan
meningkatnya tekanan darah.

2.2 Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2000) penyebab hipertensi dibagi menjadi 2,
yaitu:
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial
(primer).Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor
genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan
hipertensi esensial.Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas
garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang
mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang
tidak sehat serta konsumsi alkohol dan merokok.

b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,
anatara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjer tiroid
(hipertiroid), penyakit kelenjer adrenal (hiperaldosteronisme).

Tabel 2.Penyebab sekunder hipertensi (Depkes, 2006).

2.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh Angiostencin Converting Enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiostensinogen yang diprodoksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiostensin I. Oleh
ACE yang terdapat di paru-paru, angiostensin I diubah menjadi angiostensin II.
Angiostensi II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama (Noviyanti, 2015).
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitary) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga
menjadi pekat dan tinggi osmolitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormone steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah.
2.4 Faktor Resiko
Terdapat dua faktor resiko hipertensi yaitu ;

a. Tidak dapat diubah:


Faktor Risiko yang melekat pada penderita hipertensi dan tidak dapat
diubah,antara lain :
1) Genetik
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
meningkatkan risiko hipertensi, terutama hipertensi primer (essensial). Faktor
genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel.
2) Umur, faktor ini tidak bisa diubah. Semakin bertambahnya umur semakin besar
pula resiko untuk menderita tekanan darah tinggi. Hal ini juga berhubungan
dengan regulasi hormon yang berbeda dan disebabkan juga oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar.
3) Jenis Kelamin
Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pria mempunyai
risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik dibandingkan dengan perempuan, karena pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung meningkatkan tekanan darah. Namun setelah memasuki
menopause, prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat

b. Dapat diubah:
Faktor Risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi
antara lain :
1) Konsumsi garam yang berlebihan, garam menyebabkan penumpukan cairan
dalam tubuh karena menarik cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga
akan meningkatkan volume tekanan darah
2) Kolesterol, kandungan lemak yang berlebihan dalam darah menyebabkan
timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah
menyempit, pada akhirnya akan mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi.
3) Cafein, kandungan cafein terbukti meningkatkan tekanan darah. Setiap cangkir
kopi mengandung 75-200 mg kafein, yang berpotensi meningkatkan tekanan
darah 5-10 mmHg.
4) Alkohol, pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah dan
peningkatankekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah
5) Obesitas, berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkolerasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik dimana risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi untuk
menderita hipertensi dibandingkan dengan seorang yang badanya normal.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memilki berat
badan lebih
6) Kurang olahraga, kurang olahraga dan kurang gerak dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat. Olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah
tinggi namun tidak dianjurkan olahraga berat.
7) Psikososial dan Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam, rasa takut,
rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kuat, sehingga
tekanan darah meningkat)
8) Kebiasaan merokok, nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan
katekolamin, katekolamin yang meningkat dapat mengakibatkan iritabilitas
miokardial, peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan vasokonstriksi
yang kemudian meningkatkan tekanan darah.
9) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) melalui mekanisme renin-
aldosteron-mediate volume expansion, Penghentian penggunan kontrasepsi
hormonal, dapat mengembalikan tekanan darah menjadi normal kembali.

2.5 Manifestasi Klinik


 Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai
gejala
 Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit.
Penderita feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,
berkeringat, takikardia, palpitasi dan hipotensi ortostatik. Pada
aldosteronemia primer yang mungkin terjadi adalah gejala hypokalemia
keram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada sindrom
Cushing dapat terjadi peningkatan berat badan, polyuria, edema, irregular
menstruasi, jerawat atau kelelahan otot.

2.6 Diagnosis Hipertensi


Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan,
serta ketepatan waktu pengukuran. Pengukuran tekanan darah dianjurkandilakukan
pada posisi duduk setelah beristirahat 5 menit dan 30 menit bebas rokok dan kafein.
Hipertensi seringkali disebut silent kiler karena pasien dengan hipertensi
biasanya tidak ada gejala (asimptomatik).Penemuan fisik yang utama adalah
meningkatnya tekanan darah.Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu
dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi.Di pelayanan kesehatan
primer/Puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan oleh dokter, setelah mendapatkan
peningkatan tekanan darah dalam dua kali pengukuran dengan jarak satu
minggu.Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥140/90 mmHg, bila
salah satu baik sistolik maupun diastolik meningkat sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis hipertensi.

2.7 Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri
dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.Hipertensi
adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transientischemic
attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan
atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular
lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi
mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,
penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Depkes, 2006).
Beberapa Komplikasi Hipertensi Antara Lain:

1. Stroke
Akibat dari pecahnya pembuluh yang ada di dalam otak atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke bisa terjadi pada hipertensi kronis apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan
pembuluh darah sehingga aliran darah pada area tersebut berkurang. Arteri yang
mengalami aterosklerosis dapat melemah dan meningkatkan terbentuknya
aneurisma.
2. Infark Miokardium
Infark miokardium terjadi saat arteri koroner mengalami arterosklerotik tidak pada
menyuplai cukup oksigen ke miokardium apabila terbentuk thrombus yang dapat
menghambataliran darah melalui pembuluh tersebut. Karena terjadi hipertensi
kronik dan hipertrofi ventrikel maka kebutuhan okigen miokardioum tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
3. Gagal Ginjal
Kerusakan pada ginjal disebabkan oleh tingginya tekanan pada kapiler-kapiler
glomerulus. Rusaknya glomerulus membuat darah mengalir ke unti fungsionla
ginjal, neuron terganggu, dan berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Rusaknya
glomerulus menyebabkan protein keluar melalui urine dan terjadilah tekanan
osmotic koloid plasma berkurang sehingga terjadi edema pada penderita hipertensi
kronik.
4. Ensefalopati
Ensefalopati (kerusakan otak) terjadi pada hipertensi maligna (hipertensi yang
mengalami kenaikan darah dengan cepat). Tekanan yang tinggi disebabkan oleh
kelainan yang membuat peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke
dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Akibatnya neuro-neuro
disekitarnya terjadi koma dan kematian.
2.8 Penatalaksanaan Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
 Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk memodifikasi
gaya hidup, termasuk :
1. Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan
2. Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension)
3. Mengurangi aasupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari )6
g/hari NaCl)
4. Melakukan aktivitas fisik seperti aerobic
5. Mengurangi konsumsi alcohol
6. Berhenti merokok.
Modifikasi Rekomendasi Penurunan tekanan
darah sistolik kurang
lebih
Menurunkan berat badan Pelihara berat badan 5-20 mmHg untuk setiap
normal (BMI 18,5- penurunan 10 Kg BB
24,9)
Menjalankan menu Konsumsi makanan 8-14 mmHg
DASH ( dietary kaya buah, sayur, susu
approaches to stop rendah lemak dan
hypertention) rendah lemak jenuh
Mengurangi asupan Kurangi natrium 2-8 mmHg
garam/sodium sampai tidak lebih dari
2,4 d/hari atau NaCl 6
g/hari
Meningkatkan aktifitas Berolahraga aerobik 4-9 mmHg
fisik teratur seperti misalnya
berjalan kaki (30
menit/hari 4-5 hari
seminggu)
Kurangi konsumsi Batasi kondsumsi 2-4 mmHg
alkohol alkohol, jangan lebih
dari 2x/hari untuk pria
dan 1x/hari untuk
perempuan
Tabel 3. Modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan tekanan darah Terapi

b. Terapi Farmakologi

Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas), kematian


(mortalitas), dan menurunkan tekanan darah.Komplikasi hipertensi dapat mengenai
berbagai organ target, seperti jantung, otak, ginjal, mata dan arteri perifer.Kerusakan
organ tersebut bergantung pada seberapa tinggi tekanan darah dan seberapa lama
tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati.
 Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan
keberadaan compelling indications.
 Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 terapi diawali dengan diuretic thiazide.
Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi, salah
saatu obatnya diuretic thiazide kecuali terdapat kontraindikasi.
 Ada enam compelling indications yang spesifik dengan obat antihipertensi serta
memberikan keuntungan yang unik.
 Diuretik, β blocker, inhibitor Angiotensin-Converting Enzym (ACE), Angiotensin
II Reseptor Blocker (ARB) dan Calcium Channel Blocher (CCB) merupakan agen
primer pada data kerusakan organ target atau morbiditas dan kematian
kardiovaskular.
 α Blocker, α2 agonis sentral, inhibitor adrenergic, dan vasodilator merupakan
alternative yang dapat digunakan untuk penderita setelah mendapatkan obat
pilihan pertama.

Algoritma Terapi Hipertensi


Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan berikut adalah algoritme tatalaksana hipertensi
menurut beberapa literature :

Gambar 2. Algoritma Penanganan Hipertensi


Berikut merupakan tabel obat-obat hipertensi :
Obat-obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi
beberapa kelas, yaitu :

1. Diuretik
Diuretik tiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk
mengobati hipertensi.Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi
natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler.Akibat dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan
tekanan darah.Golongan diuretik efektif sebagai obat lini pertama dan bisa
dikombinasikan dengan CCB, ACE-I dan ARB.

Contoh : Hidroklorotiazid 12,5-25 mg/hari, klorrtalidon 12,5-50 mg/hari.

Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:

a. Diuretik kuat (Loop diuretic)


Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+, memperbanyak
pengeluaran K+ dan air. Efek samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium
darah.

Contoh : furosemid

b. Golongan Tiazid
Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari ginjal.Tiazid
dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau
dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil
diturunkan dengan diuretik saja.

Contoh : hidroklorotiazid, indapamide.

c. Diuretik hemat kalium


Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang
diperlukan oleh tubuh.

Contoh : sprinolakton, triamterene

2. Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)


Beta blocker bekerja dengan menghambat secara kompetitif pengikatan
katekolamin ke reseptor adrenergik.Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan
jalan menempati secara bersaing reseptor β adrenergik.Blokade reseptor ini
mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin
(NA). Reseptor-β terdapat dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007 : 546) :

a. Penghambat beta selektif


Menghambat reseptor β-1 yang terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal.
Blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif),
penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan
penyaluran impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).
Contoh : atenolol, betaxolol, bisoprolol

b. Penghambat beta nonselektif


Menghambat reseptor reseptor β-1 dan -2 terdapat di bronchia, dinding
pembuluh darah, usus. Blokade reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan
vasokonstriksi perifer agak ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu),
mengganggu mekanisme homeostatis untuk memelihara kadar glukosa dalam darah
(efek hipoglikemia).

Contoh : carvedilol, timolol, propanolol

3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I


menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan mengurangi sekresi
aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi ekskresi air dan natrium,
sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia
terutama pada gangguan fungsi ginjal. Obat-obat golongan ini dapat digunakan
sebagai obat lini pertama atau dikombinasikan dengan diuretik atau CCB.

Contoh ACE-I: enalapril 2,5-40 mg/hari, lisinopril 5-40 mg/hari, irbesartan 150-300
mg/hari, valsartan 80-32 mg/hari, telmisartan 40-80 mg/hari.

4.Penghambat adrenoseptor alfa (Alfa blocker)

Mekanisme kerja zat-zat ini memblok reseptor penghambat adrenoseptor alfa


yang terdapat di otot polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa.

Penghambat adrenoseptor alfa dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (Tjay dan


Rahardja, 2007 : 545):

a. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif: fentolamin yang hanya digunakan


intravena pada krisis hipertensi.
b. Penghambat adrenoseptor alfa-1 selektif: derivate quinazolin (prazosin, terazosin,
dan tamsulosin) serta uradipil yang digunakan sebagai obat hipertensi dan pada
hiperplasia prostat.
c. Penghambat adrenoseptor alfa-2 selektif: yohimbin yang digunakan sebagai obat
perangsang syahwat (aphrodisiacum).
5. Antagonis kalsium (CCB)

Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion


kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler
menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008 : 865).

Contoh : nifedipine, amlodipine, nicardipine, verapamil, diltiazem.

6. Penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor bloker, ARB)


Penghambat reseptor angiotensin II menduduki reseptor angiotensin II yang
terdapat di dalam tubuh, antara lain: miokard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,
ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti peningkatan
tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain dari penekanan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan produksi aldosteron,
yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya
ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai digunakan untuk lebih
efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).

Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah tanpa


mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
darah.

Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan, eprosartan,
telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).
7. Sentral atau Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.
Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2
adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan
medulla).Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer.
Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan
tekanan darah

Contoh : klonidin hidroklorida, metildopa

8. Vasodilator.
Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap
arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi.Vasodilator digunakan
sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β adrenoreseptor dan
diuretik.

Contoh: hydralazine, minoxidil, sodium nitroprusside.


BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Penyakit angina pectoris merupakan suatu sindroma gangguan pada dada
berupa perasaan nyeri, terlebih saat sedang berjalan, mendaki, sebelum atau sesudah
makan. Angina (angina pektoris) adalah nyeri dada yang bersifat sementara, dapat
juga merupakan rasa tertekan pada dada, yang terjadi karena otot jantung mengalami
kekurangan oksigen akibat terganggunya aliran darah ke arteri yang mengalirkan
darah ke jantung. Penyumbatan atau penyempitan arteri jantung yang mengakibatkan
angina adalah jika penyumbatannya mencapai 70%.
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah
kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini sangat
ditakuti oleh seluruh masyarakat di dunia. Hal ini disebabkan karena tingginya angka
kematian pada penderita penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dan 31% dari seluruh penyebab
kematian di dunia. Diperkirakan 17,3 juta orang meninggal dunia karena penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012 dan 7,4 juta orang diantaranya disebabkan oleh
penyakit jantung koroner (PJK). Indonesia menempati posisi ke-32 dalam urutan
negara dengan angka kematian tertinggi oleh penyakit kardiovaskuler yaitu 371 per
100.000 populasi per tahun (WHO, 2016).
Penyakit jantung koroner yang disertai angina pektoris merupakan penyebab
utama kematian di Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3
juta kematian pada tahun 2030. Hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan
prevalensi PJK berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat pada
kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) serta menurun pada kelompok umur ≥ 75 tahun
(3,2%). Kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun
(1,3%). (Penelitian & Pengembangan, 2013) Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018
melaporkan prevalensi yang terdiagnosis Penyakit Jantung di Indonesia sebanyak 1,5
%, Bali juga termasuk provinsi yang memiliki prevalensi penyakit jantung yang
tinggi yaitu sebanyak 1,2% (Kementerian, 2018). Pada tahun 2013 Riskesdas
melaporkan prevalensi yang terdiagnosis penyakit di Bali yaitu 0,4% sedangkan yang
terdiagnosis atau gejala sebesar 1,3%. (Penelitian & Pengembangan, 2013).
Penyakit jantung koroner terutama angina pektoris akan berdampak pada
berbagai aspek kehidupan yaitu secara fisik penderita akan mengalami sesak, mudah
lelah, mengalami gangguan seksual, serta nyeri dada. Selain itu terdapat dampak
masalah psikososial seperti cemas dan depresi. Solusi yang dapat digunakan untuk
menanggulanginya yaitu dengan cara pencegahan seperti melakukan perubahan gaya
hidup yang lebih sehat, seperti dengan cara melakukan perubahan dalam pola diet,
kebiasaan merokok, pembatasan aktivitas, serta pengendalian stress dan kecemasan.
Berdasarkan uraian diatas, sangat penting untuk menanggulangi penyakit
jantung koroner terutama Angina Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Indonesia.
Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan yakni apoteker diharapkan mampu mengerti
pengobatan yang tepat pada pasien berdasarkan etiologi atau faktor-faktor berkaitan
dengan penyakit tersebut.

II. Rumusan Masalah


a. Apa itu Angina Pectoris ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Angina Pectoris?
c. Bagaimana penatalaksanaan Angina Pectoris ?

III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Angina Pectoris
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Angina Pectoris
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Angina Pectoris

IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan
pembaca makalah ini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Angina pektoris adalah nyeri hebat yang terletak didada (toraks) yang
disebabkan oleh kekurangan pasokan darah (iskemia) pada otot
jantung/miokard. Hal ini ditandai oleh perasaan terdesak, sesak napas dan terasa
berat. Nyeri angina menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang atau ke
daerah abdomen.
Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan sakit pada
kekurangan oksigen, suatu gejala klinis yang disebabkan oleh iskemia miokard
yang sementara. Akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokard dan kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen
secukupnya untuk kontraksi miokard.

2.2 Etiologi
Angina pectoris biasanya berkaitan dengan pentakit jantung koroner
aterosklerotik, tapi dalam beberapa kasus dapat merupakan kelanjutan dari
stenosis aorta berat, insufiensi atau hipertrofi kardiomiopati tanpa atau disertai
obstruksi, aortitis sifilitika, peningkatan kebutuhan metabolik (seperti
hipertiroidisme atau pascapengobatan tiroid), anemia yang jelas, takikardia
paroksismal dengan frekuensi ventrikuler cepat, emboli, atau spasme koroner.
Penyabab utama angina pektoris adalah suatu tidak keseimbangan antara
kebutuhan oksigen jantung dengan jumlah oksigen yang dipasok ke jantug
melalui pembuluh darah koroner. Pada angina klasik, ketidakseimbangan terjadi
ketika kebutuhan oksigen miokardium meningkat, seperti dalam latihan, sedang
aliran darah koroner tidak ikut meningkat secara proporsional. Iskemia yang
terjadi biasanya menyebabkan rasa nyeri. Oleh karena itu angina klasik
merupakan “angina pada saat melakukan suatu usaha/aktivitas” (angina of
effort). Pada angina varian pengiriman oksigen menurun sebagai akibat dari
vasospasme koroner yang reversible.

2.3.1 Arterosklerosis
Aterosklerosis (atherosclerosis) adalah kondisi dimana material lemak
menumpuk pada dinding pembuluh darah arteri. Material lemak ini semakin
tebal dan semakin keras (membentuk deposit kalsium), dan akhirnya dapat
menyumbat arteri. Aterosklerosis merupakan salah satu jenis arteriosklerosis
(arteriosclerosis), walaupun kedua istilah tersebut seringkali disamakan
penggunaannya.
Penyebab Aterosklerosis adalah gangguan yang umum yang secara
spesifik menyerang arteri medium dan arteri besar. Aterosklerosis terjadi jika
lemak, kolesterol, dan bahan-bahan lainnya menumpuk di dinding arteri dan
membentuk struktur keras yang disebut plak (plaque).Akhirnya plak dapat
menjadikan arteri menyempit dan tidak lentur, sehingga darah susah untuk
mengalir. Hal ini dapat menyebabkan nyeri dada (stable angina), sesak nafas,
serangan jantung dan gejala-gejala lainnya. Kepingan-kepingan plak bisa
pecah dan berpindah melalui arteri yang terserang menuju pembuluh darah
yang lebih kecil, menyumbatnya dan menyebabkan kerusakan jaringan atau
kematian jaringan. Ini merupakan penyebab yang umum dari serangan jantung
dan stroke.
Penggumpalan atau pembekuan darah dapat terjadi di sekitar celah retakan
plak sehingga menyebabkan penyumbatan aliran darah. Jika gumpalan
berpindah dalam arteri di jantung, otak, atau paru-paru, sehingga dapat
menyebabkan, serangan jantung, stroke, atau penyumbatan paru-paru. Dalam
beberapa kasus, plak aterosklerosis berkaitan dengan melemahnya dinding
arteri sehingga menyebabkan pembengkakan pembuluh darah (aneurysm).
2.3. Patofisiologi
Angina pectoris merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh aliran
darah ke arteri miokard berkurang sehingga ketidakseimbangan terjadi antara
suplay O2 ke miokardium yang dapat menimbulkan iskemia, yang dapat
menimbulkan nyeri yang kemungkinan akibat dari perubahan metabolisme
aerobik menjadi anaerob yang menghasilkan asam laktat yang merangsang
timbulnya nyeri.
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak seimbangan
kebutuhan dan pasokan oksigen di miokard. Kebutuhan oksigen miokard dapat
meningkat ketika terjadi kenaikan denyut jantung, tekanan dinding jantung, dan
kontraktilitas ventrikel kiri. Sementara itu, ketersediaan oksigen miokard
ditentukan oleh aliran darah dan pasokan oksigen di arteri koroner.
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering
ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan
oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat
maka arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau
menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik
(kekurangan suplai darah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO
(NitratOksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif.
Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan
timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai
oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan
gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih
dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner
akan berkurang. Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk
memenuhi kebutuhan energy mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam
laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila
kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi
adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi.
Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam
laktat, maka nyeri angina pectoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris
merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.

2.4 Klasifikasi Angina Pektoris


1. Angina Pektoris Stabil/Stable Angina
Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada
keadaan ini, obstruksi koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik
seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila kebutuhan aliran darah melebihi
jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi iskemik dan
timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang
dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan atatus inotropik
jantung sehingga kebutuhan O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik,

udara dingin dan makan yang banyak.


- Sakit dada timbul setelah melakukan aktivitas.
- Lamanya serangan biasanya kurang dari 10 menit
- Bersifat stabil tidak ada perubahan serangan dalam angina selama 30 hari.
- Pada phisical assessment tidak selalu membantu dalam menegakkan
diagnosa.

2. Angina Pektoris Tidak Stabil/Unstable Angina Pectoris


Sindroma klinis nyeri dada yang sebagian besar disebabkan oleh
disrupsi plak ateroskelrotik dan diikuti kaskade proses patologis yang
menurunkan aliran darah koroner, ditandai dengan peningkatan frekuensi,
intensitas atau lama nyeri, Angina timbul pada saat melakukan aktivitas
ringan atau istirahat, tanpa terbukti adanya nekrosis Miokard.
a. Terjadi saat istirahat (dengan tenaga minimal) biasanya berlangsung >10
menit. Angina ini didefinisikan sebagai Angina Pektoris atau
ketidaknyamanan iskemik setara dengan setidaknya satu dari tiga fitur
b. Sudah parah dan onset baru (dalam 4-6 minggu sebelumnya), dan
c. Terjadi dengan pola crescendo (jelas lebih berat, berkepanjangan, atau
sering dari sebelumnya).
d. EKG: Deviasi segment ST depresi atau elevasi.
3. Angina Varian Prinzmetal
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat
penurunan suplai O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru

menunjukkan terjadinya obsruksi yang dinamis akibat spasme koroner baik


pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan obstruksi koroner
yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai
penurunan aliran darah arteri koroner.
Angina yang terjadi spontan umumnya waktu istirahat dan pada waktu
aktifitasringan. Biasanya terjadi karena spasme arteri koroner EKG deviasi
segment ST depresi atau elevasi yang timbul pada waktu serangan yang
kemudian normal setelah serangan selesai.

4. Infark Miokard Akut/Acute Myocardial Infarction


Nekrosis Miokard Akut akibat gangguan aliran darah arteri koronaria
yang bermakna, sebagai akibat oklusi arteri koronaria karena trombus atau
spasme hebat yang berlangsung lama.
Infark Miokard terbagi 2 :
• Non ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI)
• ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI)

2.5 Faktor-faktor Resiko


Faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan penyakit jantung koroner, di
antaranya:
 Kadar kolesterol tidak sehat
 Tekanan darah tinggi
 Merokok
 Diabetes
 Kegemukan atau obesitas
 Sindrom metabolik
 Tidak aktif
 Diet yang tidak sehat
 Usia yang lebih tua (Risiko meningkat untuk pria setelah berusia 45
tahun dan wanita setelah berusia 55 tahun)
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung dini

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Non Farmakologi
Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan
oksigen jantung antara lain :
1. pasien harus berhenti merokok, karena merokok mengakibatkan takikardia
dan naiknya tekanan darah, sehingga memaksa jantung bekerja keras.
2. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk mengurangi
kerja jantung.
3. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin yang dapat
menimbulkan vasokontriksi pembulu darah.
4. Pengontrolan gula darah.
5. Penggunaan kontra sepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif
atau ambisius.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Tujuan pemberian tatalaksana farmakologis pada pasien APS adalah untuk
memperbaiki gejala dan utuk mencegah kejadian kardiovaskular. Untuk
melegakan gejala angina, nitrogliserin kerja cepat dapat memberikan kelegaan
sementara dari gejala angina. Obat-obatan anti-iskemia dan modifikasi pola
hidup memberikan peran untuk meminimalisir eradikasi gejala dalam jangka
waktu panjang (pencegahan jangka panjang).
Tujuanfarmakoterapidanmodifikasipolahidupbertujuanuntuk :
1. Menurunkan progresi plak;
2. Menstabilkan plak dengan menurunkan inflamasi dan
3. Mencegah trombosis, ruptur plak, maupun erosi.
4. Obat – obatan Anti Iskemik.
Dipiro, 2015

Pengobatan Angina pectoris stabil


Rekomendasi KelasRekomendasi
Modifikasi Faktor Risiko
 Terapi statin dosis sedang atau dosis tinggi tanpa adanya Class I, level A
kontra indikasi atau efek samping, selain perubahan gaya
hidup.
 Bagi pasien yang tidak mentolerir statin, asam empedu, Class IIa, level B
niacin
 Jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih tinggi, terapi Class I, level A
obat atau setelah modifikasi gaya hidup.
Class IIb, level A
 Bagi penderita DM, farmakoterapi untuk mencapai target
A1C.
Terapi Medis untuk Mencegah MI danKematian
 Aspirin 75-162 mg / hari sehari terus berlanjut tanpa Class I, level A
adanya kontra indikasi.
 Clopidogrel adalah alternative apabila aspirin dikontra Class I, level B
indikasikan.
 Terapi B-Blocker dimulai dan dilanjutkan selama 3 tahun Class I, level B
pada pasien dengan fungsi LV normal setelah MI atau
ACS.
 β-Blocker (carvedilol, metoprolol suksinat, atau bisoprolol) Class I, level A
pada pasien dengan disfungsi sistolik LV (LVEF ≤ 40%)
dengan HF atau MI, kecuali kontraindikasi.
 ACE inhibitor pada pasien dengan HTN, DM, LVEF Class I, level A
≤40%, atau CKD, kecuali kontraindikasi. ARB
direkomendasikan jika tidak toleran terhadap ACE
inhibitor
TerapiMedisuntuk Relief Gejala
 Sublingual nitrogliserin atau semprotan nitrogliserin untuk Class I, level B
bantuan segera untuk angina.
 Β-Blocker sebagai terapi awal untuk menghilangkan Class I, level B
gejala.
 CCBs atau nitrat long-acting untuk menghilangkan gejala
Class I, level B
ketika beta bloker dikontra indikasikan atau menyebabkan
efek samping yang tidak dapat diterima.
Class I, level B
 CCB atau nitrat long-acting, dikombinasikan dengan β-
blocker, apabila dengan β-blocker tidak berhasil.
Class IIa, level B
 Antagonis kalsium nondihydropyridine jangka panjang
(verapamil, diltiazem) dan bukan β-blocker sebagai terapi
awal untuk menghilangkan gejala yang wajar pada SIHD
Class IIa, level B
 Ranolazine dapat berguna sebagai pengganti β-blocker jika
perlakuan awal dengan β-blocker menyebabkan efek
samping yang tidak dapat diterima atau tidak efektif atau
kontraindikasi.
 Ranolazine dalam kombinasi dengan β-blocker dapat
digunakan untuk menghilangkan gejala saat terapi awal Class IIa, level B
dengan β-blocker tidak berhasil pada SIHD.

Keterangan table :
ACE (angiotensin-converting enzyme), enzim pengubah angiotensin; ACS (acute
coronary syndrome), sindrom koroner akut; ARB (angiotensin receptor blocker),
penghambat reseptor angiotensin; CCBs, calcium channel blocker; CKD (chronic
kidney disease), penyakit ginjal kronis, DM, diabetes mellitus; EF (ejection fraction),
fraksi ejeksi; HF (heart failure), gagal jantung; HTN, hipertensi, LV (left
ventricular), ventrikelkiri; LVEF (left ventricular ejection fraction), fraksi ejeksi
ventrikel kiri; MI (myocardial infarction), infark miokard.

Kelas Rekomendasi:
I : Ketentuan dimana ada bukti atau kesepakatan umum bahwa suatu prosedur atau
pengobatan yang diberikan berguna dan efektif.
II : Kondisi dimana ada bukti yang saling bertentangan atau adanya perbedaan
pendapat tentang kegunaan/keefektifan prosedur atau perlakuan yang diberikan.
IIa : Bobot bukti/pendapat mendukung kegunaan atau khasiatnya.
IIb : Kegunaan/khasiat kurang mapan dengan bukti/pendapat.
III : Kondisi dimana ada bukti atau kesepakatan umum bahwa suatu prosedur
atau perlakuan yang diberikan tidak berguna/efektif dan dalam beberapa
kasus mungkin berbahaya.

Tingkat Bukti:
A = Data yang berasal dari beberapa percobaan klinis acak dengan sejumlah besar
pasien.
B = Data yang diperoleh dari sejumlah percobaan acak terbatas dengan sejumlah
kecil pasien, analisis cermat terhadap penelitian nonrandomized, atau pendaftar
observasional.
C = Konsensus pakar adalah dasar utama untuk rekomendasi tersebut.

a. Nitrat
Nitrat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, yang menjadi dasar
perbaikan gejala angina. Nitrat bekerja dengan komponen aktifnya NO, dan
dengan menurunkan preload. Nitrat yang tersedia ada 3 macam yaitu,
nitrogliserin (Gliseril TriNitrat), Isosorbid DiNitrat (ISDN) dan isosorbid
MonoNitrat (ISMN).

b. Isosorbid Dinitrat
Indikasi terapi & profilaksis angina pectoris. Kontra indikasi
Hipotensi/hipovalemia. Efek samping sakit kepala berdenyut, muka merah,
pusing. Interaksi obat alkohol meningkat efek hipontesi ortostatik secara
intensif. Simpatomimetik menurunt kanefek angina pektoris.
c. Beta Bloker
Mekanisme kerja: β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1,
yaitu:
1. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung
2. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II; dan
3. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baro reseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan
pengikatan biosintesis prostasiklin.

d. Penyekat kanal kalsium (CCB)


CCB bekerja sebagai vasodilator dan untuk menurunkan resistensi vaskular
perifer. CCB diklasifikasikan menjadi CCB dihidropiridin (DHP) dan non-
dihidropiridin (non-DHP). CCB secara selektif menghambat pembukaan kanal-L
pada sel otot polos dan pada miokard. Perbedaan DHP dan non-DHP adalah pada
lokasi ikatannya dengan poruskanal kalsium dan selektivitas pada pembuluh
darah lebih besar pada DHP (amlodipine, nifedipine, felodipine). Non-DHP
menghambat nodus dan cenderung menurunkan laju jantung dan sebagai
antiangina
a. Non DHP
Verapamil dapat digunakan untuk berbagai jenis angina (angina diinduksi
aktivitas, vasospastik, dan angina tidakstabil), takikardi supraventrikel, dan
hipertensi.

b. DHP
Nifedipin kerja panjang merupakan vasodilator arteri kuat.

Pencegahan
Antiplatelet menurunkan agregasi platelet dan dapat mencegah pembentukan
trombus. Aspirin dosis rendah merupakan pilihan dan Clopidogrel (CPG) dapat
dipertimbangkan untuk beberapa pasien.
Aspirin tetap menjadi pengobatan pencegahan untuk trombosis arteri. Aspirin
bekerja dengan menghambat COX-1 (siklooksigenase) secara ireversibel sehingga
menurunkan produksi tromboksan dan mencegah agregasi platelet
Indikasi profilaksis penyakit serebrovaskuler atau infarkmiokard. Kontra
indikasi Asma, tukak peptik yang aktif, hemofilia, gangguan pendarahan lain, hamil,
menyusui. Peringatan riwayat menderita ulkus peptik, gangguan hati dan gangguan
saluran cerna. Efek samping bronko spasme, mual muntah, nyeri, ulserasi, dan
pendarahan saluran cerna. Interaksi Obat Aspirin akan meningkatkan efek warfarain
dan heparin, digoksin, sulfonilurea. Aspirin menghambat efek diuretik seperti
furosemid dan spirolakton, menghambat obat antihipertensi.

Pilihan terapi obat untuk Angina


BAB I
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang. Meskipun telah
banyak kemajuan yang dicapai dalam hal diagnosis dan manajemennya, SKA
tetap menjadi salah satu masalah kesehatan utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan
penyebab utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ke tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
Sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang
bermakna (O'Gara, et al., 2012). Sindrom koroner akut merupakan salah satu
kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta adalah kasus
SKA, 0, 81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya angina
pektoris tidak stabil. Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis
yang paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada
IMA adalah 30% dengan separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit. Infark Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA
tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST elevasi
SKA merupakan kumpulan manifestasi klinis yang disebabkan oleh
kejadian iskemia miokard yang akut. SKA dapat diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina Pectoris (UAP) dan Infark Miokard Akut (IMA). IMA dibagi
menjadi Non ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST-Elevation
Myocardial Infarction (STEMI)(Sabatine dan Cannon, 2012). IMA merupakan
suatu kondisi nekrosis miokardial yang disebabkan oleh iskemia
berkepanjangan (Antman, 2012).Berdasarkan data dari 31,982 pasien di 25
negaradi dalam GRACE (The Global Registry in Acute Coronary
Events),diketahui bahwa frekuensi diagnosis STEMI adalah 30%, sedangkan
frekuensi diagnosis NSTEMI adalah 31% dari keseluruhan SKA. Kedua
kondisi klinis tersebut diketahui memiliki patogenesis yang sama(Goodman
dkk., 2009).
Morbiditas dan mortalitas pada penderita IMA berhubungan dengan
berbagai komplikasi yang disebabkan oleh IMA. Komplikasi dapat disebabkan
oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi disfungsi ventrikel,
aritmia, iskemik, inflamasi, dan kejadian embolik. Kejadian kardiovaskular
mayor merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan
tingkat harapan hidup pasien.

II. Rumusan Masalah


a. Apa itu Sindrome Koroner Akut ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Sindrome Koroner Akut ?
c. Bagaimana penatalaksanaan Sindrome Koroner Akut ?

III. Tujuan dan Manfaat


Selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pelayanan
kefarmasian makalah ini dibuat untuk memberikan uraian atau gambaran
tentang penyakit Sindrome Koroner Akut dan bagaimana jalan penyakitnya,
gejala-gejala klinisnya bahkan komplikasi yang mungkin terjadi serta
pengobatan yang bisa dilakukan pada penaykit Sindrome Koroner Akut ini.
Semoga bermanfaat bagi para pembaca.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindroma koroner akut adalah serangan jantung, berupa kumpulan gejala
yang berhubungan dengan cedera otot jantung akibat penyumbatan pembuluh
darah yang mengalir di jantung.
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan jantung yang terjadi
karena adanya ruptur atau erosi dari plak aterosklerosis yang memiliki
gambaran berupa angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris/UAP),
infark miokardium akut (IMA) baik dengan peningkatan segmen ST (ST
segmen elevation myocardial infarction/ STEMI) maupun tanpa peningkatan
segmen ST (non ST segmen elevation myocardial infarction/NSTEMI).

2.2 Etiologi
Etiologi primer dari sindroma koroner akut adalah aterosklerosis.
Aterosklerosis terjadi akibat inflamasi kronis pada pembuluh darah yang dipicu
akumulasi kolesterol pada kondisi kelainan metabolisme lemak yaitu tingginya
kadar kolesterol dalam darah. Plak aterosklerosis dapat ruptur dan memicu
pembentukan trombus sehingga terjadi oklusi pada arteri coroner.

2.3 Faktor Resiko


Faktor resiko SKA terbagi dua, faktor resiko yang tidak dapat
dikendalikan dan faktor risiko yang dapat dikendalikan.
 Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah usia, jenis kelamin dan
riwayat keluarga.
 Faktor yang dapat dikendalikan adalah dislipidemia, obesitas, hipertensi,
merokok, stress diabetes melitus dan kurang olahraga.

2.4 Klasifikasi Sindrome Koroner Akut


Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
a) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
b) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
c) Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: unstable angina pektoris).

2.5 Gejala Klinis Sindrome Koroner Akut


1. Gambaran Klinis Angina Tak Stabil
a. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau
keluhan angina yang bertambah dari biasa.
b. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal.
c. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin.
d. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.

2. Gejala Klinis Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST


(NSTEMI)
a. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di
epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan
terbakar.
b. Nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI.
c. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka
yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi
memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri
pada waktu istirahat.
d. Gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah
diketahui dengan baik.
e. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
3. Gambaran Klinis Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)
a. Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.
b. Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.

2.6 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti sekitar 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain
nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses
hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien
SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis

2.7 Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut : nonkardiak, angina stabil, kemungkinan SKA, dan Definitif SKA
(Gambar I).
Gambar 1. Alogaritma evaluasi dan tatalaksana SKA

2.8 Komplikasi
 Serangan jantung, Gagal jantung / henti jantung
 Penyakti arteri perifer/ penyempitan pembuluh darah arteri
 Stroke
 Eneurisma
 Emboli paru

2.9 Penatalaksanaan
a. Terapi Non Farmakoterapi
1. Untuk pasien dengan STEMI yang muncul dalam waktu 12 jam setelah
onset gejala, pengobatan reperfusi pilihan adalah reperfusi dini dengan
PCI (Intervensi koroner perkutan) primer dari arteri infark dalam waktu
90 menit sejak kontak medis pertama
2. Untuk pasien dengan NSTE ACS, pedoman praktik merekomendasikan
angiografi koroner dengan PCI ((Intervensi koroner perkutan) atau
revaskularisasi bedah bypass graft arteri koroner (CABG) sebagai
pengobatan dini untuk pasien beresiko tinggi, pendekatan seperti itu
juga dapat dipertimbangkan pasien tidak beresiko tinggi.
b. Farmakoterapi Awal untuk STE MI

 Selain terapi reperfusi, American College of Cardiology Foundation

/Pedoman American Heart Association (ACCF / AHA)

merekomendasikan semua pasiendengan STE MI dan tanpa

kontraindikasi harus diterima dalam hari pertamarawat inap dan

sebaiknya di unit gawat darurat :

1. oksigen intranasal(jika saturasi oksigen rendah),

2. sublingual (SL) nitrogliserin (NTG),

3. aspirin,

4. inhibitor platelet P2Y12,

5. dan antikoagulasi dengan bivalirudin, tidak terpecahheparin (UFH),

atau enoxaparin.

 Berikan inhibitor GP IIb / IIIa dengan UFH untuk pasien yang menjalani

PCI primer.Berikan IV β-blocker dan IV NTG untuk memilih pasien.

Mulailah penyekat β oral pada hari pertamapada pasien tanpa syok

kardiogenik. Berikan morfin pada pasien dengan angina refraktori

sebagai analgesik dan venodilator yang menurunkan preload. Mulai

penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) dalam 24 jam pada

pasien yang mengalaminya. MI dinding anterior atau LVEF 40% atau

kurang dan tidak ada kontraindikasi.


Terapi Fibrinolitik

 Agen fibrinolitik diindikasikan pada pasien dengan STE MI yang muncul

dalam waktu 12 jamawal ketidaknyamanan dada yang memiliki

setidaknya 1 mm STE di dua atau lebih lead EKG yang berdekatan dan

tidak dapat menjalani PCI primer dalam 120 menit setelahkontak medis.

Batasi penggunaan fibrinolitik antara 12 dan 24 jam setelah gejalaonset ke

pasien dengan iskemia yang sedang berlangsung.

 Tidak perlu mendapatkan hasil penanda biokimia sebelum memulaiterapi

fibrinolitik.
 Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik meliputi:

1. riwayat hemoragikstroke (setiap saat),

2. stroke iskemik dalam 3 bulan,

3. perdarahan internal aktif,

4. neoplasma intrakranial yang diketahui,

5. lesi serebrovaskular struktural yang diketahui,

6. dicurigai diseksi aorta, dan

7. trauma kepala atau wajah tertutup yang signifikan dalam 3bulan.

PCI primer lebih dipilihdalam situasi ini.


Farmakoterapi awal untuk miokard elevasi segmen STinfark

 Agen spesifik fibrin (alteplase, reteplase, atau tenecteplase) lebih dipilih

daripada agen streptokinase non-fibrin-spesifik.

 Pasien yang datang dalam waktu 30 menit dari waktu mereka datang ke unit

gawat darurat dan memenuhi syarat harus dirawat, harus di rawat dengan

salah satu rejimen berikut :

 Alteplase: bolus 15 mg IV diikuti dengan 0,75 mg / kg infus

(maksimum 50 mg) 30 menit, diikuti dengan infus 0,5 mg / kg

(maksimum 35 mg) selama 60 menit (dosis maksimum 100 mg) ✓


Reteplase: 10 unit IV selama 2 menit, diikuti 30 menit kemudian

dengan yang lain 10 unit IV selama 2 menit

 Tenecteplase: Dosis bolus IV tunggal diberikan selama 5 detik

berdasarkan pasien berat: 30 mg jika kurang dari 60 kg; 35 mg jika 60

sampai 69.9 kg; 40 mg jika 70 hingga 79,9 kg; 45 mg jika 80 sampai

89.9 kg; dan 50 mg jika 90 kg atau lebih

 Streptokinase: 1,5 juta unit dalam 50 mL saline normal atau dekstrosa

5% dalam air IV selama 60 menit •

 Perdarahan intrakranial (ICH) dan perdarahan mayor adalah sisi yang paling

serius efek. Risiko ICH lebih tinggi dengan agen khusus fibrin dibandingkan

dengan streptokinase. Namun, risiko perdarahan sistemik selain ICH lebih

tinggi dengan streptokinase dibandingkan dengan agen khusus fibrin.

Aspirin

 Berikan aspirin untuk semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam

sebelumnyaatau setelah kedatangan di rumah sakit. Ini memberikan manfaat

kematian tambahan pada pasien dengan STEACS bila diberikan dengan terapi

fibrinolitik.

 Pada pasien yang mengalami ACS, aspirin salut selaput non enterik, 160

sampai 325 mg, harusdikunyah dan ditelan sesegera mungkin setelah

timbulnya gejala atau segera setelah dibawa ke unit gawat darurat terlepas dari

reperfusistrategi sedang dipertimbangkan. Pasien yang menjalani PCI

sebelumnya tidak mengonsumsi aspirinharus menerima 325 mg aspirin non-

enteric-coated.
 Dosis pemeliharaan harian 75 sampai 162 mg dianjurkan setelahnya dan

harusberlanjut tanpa batas. Karena peningkatan risiko perdarahan pada pasien

yang menerima aspirin plus penghambat P2Y12, aspirin dosis rendah (81 mg

setiap hari) lebih disukai setelah PCI.

 Hentikan obat antiinflamasi nonsteroid lainnya (NSAID) dan siklooksigenase-

2(COX-2) penghambat selektif pada saat STE MI karena peningkatan risiko

kematian,reinfarction, gagal jantung, dan ruptur miokard.

 Efek samping aspirin yang paling sering adalah dispepsia dan mual.

Memberitahupasien tentang risiko perdarahan GI.

Penghambat Platelet P2Y12

 Clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor memblokir subtipe reseptor ADP

(P2Y12reseptor) pada trombosit, mencegah pengikatan ADP ke reseptor dan

selanjutnyekspresi reseptor platelet GP IIb / IIIa, mengurangi agregasi

platelet.

 Penghambat reseptor P2Y12 selain aspirin direkomendasikan untuk semua

pasiendengan STE MI. Untuk pasien yang menjalani PCI primer, berikan

clopidogrel, prasugrel, atauticagrelor, selain aspirin, untuk mencegah

trombosis stent subakut dan kejadian CV jangka panjang.

 Durasi penghambat P2Y12 yang disarankan untuk pasien yang menjalani PCI

(jugaSTE MI atau NSTE ACS) setidaknya 12 bulan untuk pasien yang

menerima logam kosongatau stent penghilang obat.


 Jika direncanakan operasi CABG, tahan clopidogrel dan ticagrelor selama 5

hari, danprasugrel minimal 7 hari, untuk mengurangi risiko perdarahan pasca

operasi, kecuali j jika diperlukanrevaskularisasi melebihi risiko perdarahan.

 Clopidogrel: 300 mg dosis oral diikuti 75 mg oral setiap hari pada pasien yang

mendapat fibrinolitik atau yang tidak menerima terapi reperfusi. Hindari

memasukkan dosis ke dalampasien berusia 75 tahun atau lebih. Dosis

pemuatan oral 600 mg direkomendasikan sebelum PCI primer, kecuali bahwa

300 mg harus diberikan jika dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik.

 Prasugrel: 60 mg dosis oral loading diikuti 10 mg oral sekali sehari untuk

pasiendengan berat 60 kg (132 lb) atau lebih.

 Ticagrelor: 180 mg dosis oral pada pasien yang menjalani PCI, diikuti oleh 90

mgsecara oral dua kali sehari.

 Efek samping yang paling sering dari clopidogrel dan prasugrel termasuk

mual, muntah,dan diare, (2% -5% pasien). Purpura trombositopenik trombotik

(TTP)jarang dilaporkan dengan clopidogrel. Ticagrelor dikaitkan dengan mual

(4%),diare (3%), dispnea (14%), dan, jarang, jeda ventrikel dan bradiaritmia.

 Pada pasien dengan STE MI yang menerima fibrinolisis, terapi awal dengan

clopidogrel 75 mgsekali sehari selama rawat inap dan hingga 28 hari

mengurangi mortalitas dan infark ulang tanpa meningkatkan risiko perdarahan

mayor. Pada orang dewasa yang berusia kurang dari 75 tahun yang menerima

fibrinolitik, dosis pertama clopidogrel dapat berupa dosis awal 300 mg.Untuk

pasien dengan STE MI yang tidak menjalani terapi reperfusi baik dengan PCI

primer atau fibrinolisis, clopidogrel adalah inhibitor P2Y12 pilihan yang


ditambahkan ke aspirindan harus dilanjutkan setidaknya selama 14 hari (dan

hingga 1 tahun). Ticagrelor mungkin jugamenjadi pilihan pada pasien dengan

ACS yang dikelola secara medis.

Pemblokir β-Adrenergik

• Jika tidak ada kontraindikasi, berikan β-blocker lebih awal (dalam 24 jam pertama)

dan

lanjutkan tanpa batas.

• Manfaat hasil dari blokade reseptor β1 di miokardium, yang berkurangdenyut

jantung,kontraktilitas miokard, dan tekanan darah, sehingga menurunkan oksigen

miokard

permintaan. Penurunan detak jantung meningkatkan waktu diastolik, sehingga

meningkatkan pengisian ventrikel dan perfusi arteri koroner.

• Penyekat β mengurangi risiko iskemia rekuren, ukuran infark, infark ulang, dan

aritmia ventrikel.

• Dosis biasa dari β-blocker, dengan target denyut jantung istirahat 50 sampai 60

denyut / menit:

✓ Metoprolol: 5 mg secara lambat (selama 1-2 menit) IV bolus, diulang setiap 5

menit

untuk total dosis awal 15 mg. Jika rejimen konservatif diinginkan, kurangi inisial

dosis sampai 1 sampai 2 mg. Ikuti dalam 1 sampai 2 jam dengan 25 sampai 50 mg

secara oral setiap 6 jam. Jikasesuai, terapi IV awal dapat dihilangkan.


✓ Propranolol: 0,5 sampai 1 mg IV dorong lambat, diikuti dalam 1 sampai 2 jam

dengan 40 sampai 80 mgsecara oral setiap 6 sampai 8 jam. Jika sesuai, terapi IV awal

dapat dihilangkan.

✓ Atenolol: dosis 5 mg IV, dilanjutkan 5 menit kemudian dengan dosis kedua 5 mg

IV, lalu

50 sampai 100 mg secara oral sekali sehari mulai 1 sampai 2 jam setelah dosis IV.

InisialTerapi IV dapat dihilangkan.

• Efek samping paling serius pada awal ACS termasuk hipotensi, gagal jantung akut,

bradikardia, dan blok jantung. Pemberian awal akut β-blocker tidak tepatuntuk pasien

yang mengalami gagal jantung akut tetapi dapat dicoba pada kebanyakan pasien

sebelumnyakeluar setelah pengobatan gagal jantung akut.

• Lanjutkan penyekat β selama minimal 3 tahun pada pasien dengan fungsi ventrikel

kiri normal dantanpa batas pada pasien dengan disfungsi sistolik LV dan LVEF 40%

atau kurang.

Statin

• Berikan statin intensitas tinggi, baik atorvastatin 80 mg atau rosuvastatin 40 mg,

untuk semua pasien sebelum PCI (terlepas dari terapi penurun lipid sebelumnya)

untuk mengurangifrekuensi MI periprosedural setelah PCI.

Nitrat

• NTG menyebabkan venodilatasi, yang menurunkan kebutuhan preload dan oksigen

miokard. DiSelain itu, vasodilatasi arteri dapat menurunkan tekanan darah, sehingga

mengurangi oksigen miokardpermintaan. Pelebaran arteri juga mengurangi

vasospasme arteri koroner dan membaik


aliran darah miokard dan oksigenasi.

• Segera setelah presentasi, berikan satu tablet SL NTG (0,4 mg) setiap5 menit hingga

tiga dosis untuk meredakan nyeri dada dan iskemia miokard.

• NTG intravena diindikasikan untuk pasien dengan ACS yang tidak terkontrol dan

memiliki iskemia persisten, gagal jantung, atau tekanan darah tinggi yang tidak

terkontrol. BiasaDosis adalah 5 sampai 10 mcg / menit dengan infus kontinyu,

dititrasi hingga 100 mcg / menit sampai

menghilangkan gejala atau membatasi efek samping (misalnya sakit kepala atau

hipotensi). Teruspengobatan selama kurang lebih 24 jam setelah iskemia mereda.

• Nitrat oral memainkan peran terbatas dalam SKA karena uji klinis gagal

menunjukkan a

manfaat mortalitas untuk IV diikuti dengan terapi nitrat oral pada MI akut.

• Efek samping nitrat yang paling signifikan termasuk takikardia, kemerahan, sakit

kepala, dan hipotensi. Nitrat merupakan kontraindikasi pada pasien yang telah

menggunakanoral phosphodiesterase-5 inhibitors sildenafil atau vardenafil dalam 24

jam sebelumnya

atau tadalafil dalam 48 jam sebelumnya.

Pemblokir Saluran Kalsium (CCB)

• Setelah STE MI, penghambat saluran kalsium (CCB) digunakan untuk

menghilangkan iskemik

gejala pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap β-blocker. Ada sedikit

manfaat klinis selain meredakan gejala, jadi hindari CCB dalam manajemen akut
semua ACSkecuali jika ada kebutuhan gejala yang jelas atau kontraindikasi terhadap

β-blocker.

• CCB yang menurunkan denyut jantung (diltiazem atau verapamil) lebih disukai

kecuali pasien

mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri, bradikardia, atau blok jantung. Dalam

kasus tersebut, amlodipine atau felodipine lebih disukai. Hindari nifedipine karena

menyebabkan aktivasi gejala refleks, takikardia, dan memperburuk iskemia miokard.

✓ Diltiazem: 120 sampai 360 mg pelepasan berkelanjutan secara oral sekali sehari

✓ Verapamil: 180 hingga 480 mg pelepasan berkelanjutan secara oral sekali sehari

✓ Amlodipine: 5 sampai 10 mg per oral sekali sehari.

FARMAKOTERAPI AWAL UNTUK NSTE ACS

• Farmakoterapi awal untuk NSTE ACS serupa dengan untuk STE ACS.

• Jika tidak ada kontraindikasi, obati semua pasien di unit gawat darurat

denganoksigen intranasal (jika saturasi oksigen rendah), SL NTG, aspirin, dan

anticoagu lant (UFH, enoxaparin, fondaparinux, atau bivalirudin).

• Pasien berisiko tinggi harus melanjutkan ke angiografi dini dan mungkin menerima

GP IIb /

Penghambat IIIa (opsional dengan UFH atau enoxaparin tetapi harus dihindari

dengan

bivalirudin).

• Berikan inhibitor P2Y12 untuk semua pasien.

• Berikan penyekat β IV dan NTG IV untuk memilih pasien.


• Mulai β-blocker oral dalam 24 jam pertama pada pasien tanpa syok kardiogenik.

• Berikan morfin pada pasien angina refrakter, seperti dijelaskan sebelumnya.

• Terapi fibrinolitik tidak pernah diberikan pada NSTE ACS.

Aspirin

• Aspirin mengurangi risiko kematian atau MI sekitar 50% dibandingkan tanpa terapi

anti platelet pada pasien dengan NSTE ACS. Dosis aspirin sama dengan STEACS,

dan aspirin dilanjutkan tanpa batas waktu.

Antikoagulan

• Untuk pasien yang dirawat dengan pendekatan invasif awal dengan angiografi

koroner dini

dan PCI, berikan UFH, enoxaparin, atau bivalirudin.

• Jika strategi konservatif awal direncanakan (tidak ada angiografi koroner atau

revaskuler), enoxaparin, UFH, atau fondaparinux dosis rendah direkomendasikan.

• Lanjutkan terapi setidaknya selama 48 jam untuk UFH, sampai pasien keluar dari

rumah sakit

rumah sakit (atau 8 hari, mana yang lebih pendek) untuk enoxaparin atau

fondaparinux,

dan hingga akhir PCI atau prosedur angiografi (atau hingga 72 jam setelah PCI)

untuk bivalirudin.
• Untuk NSTE ACS, dosis UFH adalah 60 U / kg IV bolus (maksimum 4000 unit),

dilanjutkan dengan infus IV kontinyu 12 U / kg / jam (maksimum 1000 U / jam).

Titrasidosis untuk mempertahankan aPTT antara 1,5 dan 2 kali kontrol.

P2Y12 Inhibitor

• Ketika strategi invasif awal dipilih, ada dua opsi awal untuk gandaterapi antiplatelet

tergantung pada pilihan inhibitor P2Y12:

1. Aspirin plus penggunaan awal clopidogrel atau ticagrelor (di unit gawat darurat)

2. Aspirin plus eptifibatide dosis bolus ganda ditambah infus eptifibatide atau

tirofiban bolus dosis tinggi plus infus yang diberikan pada saat PCI.

Gambar Farmakoterapi awal untuk elevasi ACS segmen non-ST


• Untuk terapi antiplatelet selanjutnya pada pasien yang menjalani PCI yang

awalnya diobati denganregimen 1 di atas, penghambat GP IIb / IIIa (abciximab,

eptifibatide, atau larangan tirofi dosis tinggi) dapat ditambahkan, dan kemudian

clopidogrel dilanjutkan dengan ASA dosis rendah.

• Untuk pasien yang menjalani PCI yang awalnya diobati dengan opsi 2, clopidogrel,

prasugrel, atauticagrelor dapat dimulai dalam 1 jam setelah PCI dan penghambat

P2Y12 dilanjutkan

dengan aspirin dosis rendah. Setelah PCI, lanjutkan terapi antiplatelet oral ganda

untuk di

setidaknya 12 bulan.

• Untuk pasien yang menerima strategi konservatif awal, baik clopidogrel atau

ticagrelor

dapat diberikan selain aspirin. Lanjutkan terapi antiplatelet ganda untuk di

setidaknya 12 bulan.

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb / IIIa

• Peran penghambat GP IIb / IIIa di NSTE ACS berkurang karena penghambat

P2Y12digunakan lebih awal, dan bivalirudin sering dipilih sebagai antikoagulan.

• Pemberian eptifibatide secara rutin (ditambahkan ke aspirin dan clopidogrel)

sebelumangiografi dan PCI di NSTE ACS tidak mengurangi kejadian dan

peningkatan iskemik

risiko pendarahan. Oleh karena itu, dua pilihan terapi awal antiplatelet dijelaskan

dalam

bagian sebelumnya lebih disukai.


• Untuk pasien risiko rendah dan strategi manajemen konservatif, tidak ada peran

untuk

penghambat GP IIb / IIIa rutin karena risiko perdarahan melebihi manfaatnya.

Nitrat

• Berikan SL NTG diikuti dengan IV NTG untuk pasien dengan NSTE ACS dan

sedang mengalami iskemia, gagal jantung, atau tekanan darah tinggi yang tidak

terkontrol. Lanjutkan IV NTG kira-kira24 jam setelah bantuan iskemia.

β-Blocker

• Jika tidak ada kontraindikasi, berikan β-blocker oral untuk semua pasien

denganNSTE ACS dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit. Manfaatnya

diasumsikan serupauntuk yang terlihat pada pasien dengan STE MI.

• Lanjutkan penyekat β tanpa batas waktu pada pasien dengan LVEF 40% atau

kurang dan setidaknya3 tahun pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal.

Pemblokir Saluran Kalsium (CCB)

• Seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk STE ACS, CCB tidak boleh diberikan

padakebanyakan orangpasien dengan ACS.


BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Menurut World Heart Organisation atau WHO (2012) definisi stroke adalah
suatu kondisi penyakit yang disebabkan oleh terhentinya aliran darah yang mensuplai
otak secara tiba-tiba, baik karena adanya sumbatan maupun rupturnya pembuluh
darah. Kondisi ini menyebabkan jaringan otak yang tidak terkena aliran darah
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga sel otak mengalami kerusakan (Wijaya &
Putri, s2013). Setiap tahun, di Amerika Serikat sekitar 795.000 orang mengalami
stroke baru (stroke iskemik) dan berulang (stroke hemoragik). Sekitar 610.000
( 76,73 %) di antaranya adalah serangan pertama, dan 185.000 (23,27%) adalah
serangan berulang (hemoragik) (AHA, 2015).
Pudiastuti (2011) menyatakan stroke dibagi menjadi dua kategori yaitu stroke
hemoragik dan stroke iskemik atau stroke non hemoragik. Stroke hemoragik adalah
stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya. Stroke non
hemoragik adalah suatu gangguan peredaran darah otak akibat tersumbatnya
pembuluh darah tanpa terjadi suatu perdarahan, hampir sebagian besar pasien atau
83% mengalami stroke non hemoragik (Wiwit, 2010). Stroke telah menjadi penyebab
kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia, yakni 14,5% Dengan
populasi sekitar 250 juta jiwa, berarti terdapat sekitar 3,6 juta penderita stroke di
Indonesia, stroke non hemoragik 2,8 juta jiwa (77,8%) dan sisanya adalah stroke
hemoragik (Pratama, 2016).
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka kejadian stroke
iskemik adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetik,
dan riwayat Transient Ischemic Attack sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan oral
kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia. Berdasarkan peneitian di rawat inap
Neurologi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou sebagian besar pasien stroke iskemik
memiliki hipertensi yaitu sebanyak 40 pasien (65,4%), prehipertensi sebanyak 13
pasien (23%), dan yang normal sebanyak 7 pasien (11,6%) (Kabi, et al, 2015).
Selama ini pemberian terapi standar untuk stroke dan rehabilitasi lebih
ditujukan untuk memperbaiki kemampuan fungsional penderita stroke yang
mengalami defisit neurologik dan dapat mengurangi kerugian akibat perawatan yang
terlalu lama. Pemberian obat penenang pada pasien cemas, seperti antidepresan,
antihistamin, benzodiazepin memiliki efek samping yaitu ketergantungan dan
gangguan saraf apabila diberikan dalam jangka waktu yang lama.
II. Rumusan Masalah
a. Apa itu Stroke Iskhemik ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Strok Iskhemik?
c. Bagaimana penatalaksanaan Stroke Iskhemik ?

III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Stroke Iskhemik
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Stroke Iskhemik
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Stroke Iskhemik

IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca
makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke Iskemik


Stroke iskemik merupakan salah satu jenis stroke yang ditandai dengan
kehilangan suplai darah dari sirkulasi secara tiba-tiba pada suatu area di otak. Hal
tersebut menimbulkan kehilangan fungsi neurologis pada area otak tersebut.
Suplai darah ke otak penting untuk memberikan oksigen dan nutrisi bagi sel
saraf, dan membuang karbon dioksida dan sisa metabolisme. Jika suplai darah
berkurang atau hilang, sel saraf otak akan kesulitan menghasilkan energi dan bahkan
bisa mati dalam hitungan menit.
Stroke iskemik merupakan jenis stroke yang paling umum, terjadi dalam kurang
lebih 88 persen dari semua kasus stroke. Selain stroke iskemik, terdapat jenis stroke
lainnya yaitu stroke hemoragik.

2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Stroke Iskemik


Terdapat dua jenis stroke iskemik berdasarkan penyebabnya, yaitu:
 Trombotik stroke. Stroke ini disebabkan adanya thrombus (bekuan darah)
pada pembuluh darah arteri dalam otak atau menuju otak yang menyumbat
aliran darah. Keadaan ini bisa ditemukan dalam pembuluh darah besar maupun
kecil.
 Embolik stroke. Kondisi ini disebabkan clot (bekuan) yang terbentuk pada
bagian tubuh lainnya, yang kemudian mengikuti aliran darah hingga akhirnya
menyumbat pembuluh darah pada otak.
 Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak)
 Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara
atau permanen gerakan, berpikir, memori , bicara atau sensasi (Smeltzer C.
Suzann, 2002)
Terdapat dua jenis faktor risiko yang membuat seseorang rentan terkena stroke,
yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
a. Tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi berkaitan dengan usia, jenis
kelamin, suku dan etnis, riwayat keluarga yang terkena stroke, riwayat memiliki
sakit kepala migrain dan penyakit fibromuscular dysplasia.

b. Dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan dapat dihindari adalah:

 Darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung (atrial fibrilasi, penyakit katup jantung, gagal jantung,
pembesaran atrium dan ventrikel, dan sebagainya)
 Hiperkolesterolemia
 Transient ischemic attack
 Stenosis arteri karotid
 Obesitas
 Penggunaan kontrasepsi oral atau terapi hormon post-menopause
gaya hidup: konsumsi alkohol berlebih, merokok, gaya hidup tidak aktif, dan
sebagainya, dan lain-lain

2.3 Patofisiologi
Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (thrombus, emboli,
perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia karena
gangguan paru dan jantung). Arterosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting
trhadap otak. Thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan oedema dan
nekrosis diikuti thrombosis dan hypertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral
yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan
penyakit cerebrovaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang
cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat revensibel untuk jangka
waktu 4-6 menit. Perubahan irreversible dapat anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebtal dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi, salah satunya cardiac
arrest.
2.4 Klasifikasi Stroke
1. Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah arteri ke otak tersumbat. Arteri
bertanggung jawab untuk mengalirkan darah segar dari jantung dan paru-paru
yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak. Jika arteri diblokir, sel-sel otak
(neuron) tidak dapat membuat energi yang cukup dan akhirnya akan berhenti
bekerja. Jika arteri tetap diblokir selama lebih dari beberapa menit, sel-sel otak
bisa mati (Anonim, 2015).
Stroke iskemik dibagi menjadi :
a. Trombosis
Ketika berusia muda, seseorang memiliki arteri yang luas dan fleksibel, namun
seiring bertambahnya usia dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur.
Sebuah kondisi yang disebut aterosklerosis kemudian dapat berkembang dimana
menggambarkan pengerasan dan penebalan arteri besar dalam tubuh akibat
deposito lemak, atau patch yang disebut 'ateroma' pada dinding bagian dalam
arteri. Mereka dapat menjadi lebih tebal dan menyebabkan penyempitan dan
mengurangi aliran darah yang melewati pembuluh darah tersebut sehingga
akhirnya terjadi penyumbatan. (Stroke Association, 2012).

Penyumbatan yang terjadi dapat membuat dinding permukaan arteri menjadi


rapuh dan mudah patah sehingga dapat menyebabkan pendarahan fokal dan
terbentuk trombus. Trombus yang terbentuk dapat pecah dan mengalir ke
pembuluh darah yang lain, sehinnga terjadi penyumbatan didaerah lain (Joao
Gomes, 2013).

b. Emboli

Emboli pada umumnya disebabkan oleh bekuan darah yang terbentuk dilokasi
lain dalam sistem peredaran darah seperti jantung dan arteri besar dada bagian atas
dan leher. Kondisi jantung dan kelainan darah seperti denyut jantung yang tidak
teratur atau Fibrilasi Atrium dapat menyebabkan penumpukkan darah dijantung
dan meningkatkan resiko pembentukan gumpalan darah dibilik jantung. Sebagian
bekuan darah tersebut lepas dan berjalan memasuki pembuluh darah otak hingga
mencapai pembuluh darah otak kecil dan menyebabkan penghambatan aliran
darah (National Institute of Health, 2016).
c. Aterosklerosis

Salah satu penyakit yang paling umum yang mempengaruhi arteri adalah
aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh adanya endapan plak lemak pada dinding
arteri. Sementara pembentukan lesi aterosklerosis dapat mempengaruhi arteri
terutama arteri koroner jantung yang paling sering terkena. Manifestasi
aterosklerosis ialah terjadi iskemia karena berkurangnya aliran darah, aneurisma
atau perdarahan akibat mengecilnya dinding pembuluh darah dan adanya plak
aterosklerotik sehingga membentuk emboli yang dapat berjalan jauh ke seluruh
pembuluh (Martin M.Z, 2003).

2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan subarachnoid (SAH),
perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. SAH mungkin akibat dari
trauma atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation intrakranial
(AVM). Perdarahan intraserebral terjadi bila pembuluh darah pecahdi dalam otak
menyebabkan hematoma. hematoma subdural biasanya disebabkan oleh trauma.
Darah di kerusakan parenkim otak jaringan di sekitarnya melalui massa efek dan
neurotoksisitas komponen darah dan produk degradasi mereka (Dipiro, 2015).
a. Pendarahan Intraserebral
Pendarahan intraserebral (ICH) hasil dari pecahnya pembuluh intraserebral
mengarah ke pengembangan dari hematoma dalam substansi otak (Acharya,
2011). Pendarahan intraserebral adalah jenis pendarahan yang sangat sering
dikaitkan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol. Sekitar 30% pendarahan
intraserebral akan terus membesar selama 24 jam pertama, paling sering dalam
waktu 4 jam, dan lokasi dan volume gumpalan adalah indikator yang paling
penting. Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik disebabkan oleh
peningkatan mendadak tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi
dan kematian. Ada juga bukti untuk mendukung bahwa edema memperburuk
kondisi pasien setelah perdarahan intraserebral. (Fagan, 2008).
b. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan subarachnoid merupakan tanda-tanda disfungsi neurologis
yang cepat berkembang dengan tanda sakit kepala karena perdarahan ruang
subarachnoid (ruang antara membran arachnoid dan pia mater dari otak atau
sumsum tulang belakang). Dampak dari (SAH) adalah terjadinya cedera
permanen pada (SSP) sistem saraf pusat (Sacco et al., 2013). Jenis perdarahan
sangat sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan
efek samping terapi antitrombotik atau trombolitik (Silva et al., 2011)
c. Hematoma subdural
Hematoma subdural mengacu pada penumpukan darah di bawah dura
(bagian yang menutupi otak), dan disebabkan paling sering oleh trauma. Stroke
hemoragik secara signifikan lebih mematikan dibanding stroke iskemik, dengan
30 hari kasus kematian yang dua sampai enam kali lebih tinggi (Dipiro, 2012).

2.5 Gejala Stroke Iskemik


The American Stroke Association membuat singkatan FAST untuk membantu
mengenai gejala stroke, yaitu:
 Face drooping, saat wajah seseorang lebih ‘turun’ atau terasa mati rasa pada
satu sisi. Gejala ini juga bisa tampak saat tersenyum (senyum tampak asimetris)
atau menjulurkan lidah (lidah miring ke satu sisi saat dijulurkan).
 Arm weakness, kelemahan pada salah satu tangan ditandai dengan rasa lemas,
kesulitan mengangkat tangan, ataupun mati rasa.
 Speech problems, masalah bicara –misalnya pelo atau tidak bisa bicara dengan
jelas.
 Time to call 911, segera hubungi fasilitas kesehatan terdekat atau bawa
penderita ke rumah sakit.

Geja la lain yang juga mungkin dirasakan:


 Kelemahan tubuh satu sisi
 Kesulitan berjalan, merasa pusing, atau jatuh tanpa sebab yang jelas
 Kebingungan dan sulit memahami pembicaraan
 Gangguan penglihatan
 Sakit kepala hebat tanpa sebab yang jelas

2.6 Diagnosa
 Tes laboratorium untuk keadaan hiperkoagulasi harus dilakukan hanya ketika
penyebabnya tidak dapat ditentukan berdasarkan adanya faktor risiko. Protein
C, protein S, dan antitrombin III paling baik diukur pada kondisi mapan
daripada pada tahap akut. Antibodi antifosfolipid adalah hasil yang lebih tinggi
tetapi harus disediakan untuk pasien yang lebih muda dari 50 tahun dan mereka
yang memiliki beberapa kejadian trombotik vena atau arteri atau livedo
reticularis.
 Pemindaian tomografi terkomputasi (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) dapat mengungkapkan area perdarahan dan infark.
 Carotid Doppler (CD), electrocardiogram (ECG), transthoracic echocardiogram
(TTE), dan studi transcranial Doppler (TCD) masing-masing dapat memberikan
informasi diagnostik yang berharga.

2.7 Penatalaksanaan
a. Terapi Non-Farmakologi
 Stroke iskemik akut
Trombektomi endovaskular dengan stent retriever (dilakukan dalam 6 jam
onset gejala dan setelah IV tPA) meningkatkan hasil pada pasien tertentu
dengan arteri besar proksimal dalam 48 jam onset stroke pada pasien kurang
dari usia 60) kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial. Pendekatan tim interprofesional yang mendorong rehabilitasi dini
dapat mengurangi kecacatan jangka panjang. Dalam pencegahan sekunder,
endarterektomi karotid dan stenting mungkin efektif dalam mengurangi
kejadian stroke dan kekambuhan pada pasien yang tepat. cclusion dan geable
ssue pada pencitraan. dekompresi mendesak (dilakukan
 Stroke hemoragik
Pada SAH akibat ruptur aneurisma intrakranial atau malformasi arteri,
intervensi bedah untuk memotong atau mengaburkan kelainan vaskular
mengurangi mortalitasdari rebleeding. Setelah perdarahan intraserebral primer,
evakuasi bedah mungkin bermanfaat dalam beberapa situasi, tetapi ini masih
dalam penyelidikan. Penyisipan drainase ventrikel eksternal dengan
pemantauan tekanan intrakranial umumnya dilakukan pada pasien ini.

b. Terapi Farmakologi
Rekomendasi berbasis bukti untuk farmakoterapi stroke iskemik diberikan
pada Tabel ,
- Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan) yang dimulai dalam
waktu 4,5 jam setelah onset gejala mengurangi kecacatan dari stroke
iskemik. Ketaatan pada protokol ketat sangat penting untuk mencapai hasil
positif: (1) mengaktifkan tim stroke; (2) obati sedini mungkin dalam waktu
4,5 jam setelah onset; (3) dapatkan CT scan untuk menyingkirkan
perdarahan; (4) memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada
pengecualian (Tabel 13–2); (5) berikan alteplase 0,9 mg / kg (maksimum
90 mg) infus IV selama 1 jam, dengan 10% diberikan sebagai bolus awal
selama 1 menit; (6) hindari terapi antikoagulan dan antiplatelet selama 24
jam; dan (7) memantau pasien dengan cermat untuk peningkatan TD,
respons, dan perdarahan. Aspirin 160 hingga 325 mg / hari dimulai antara
24 dan 48 jam setelah selesainya alteplase juga mengurangi kematian dan
kecacatan jangka panjang.
- Pencegahan sekunder stroke iskemik: O / Gunakan terapi antiplatelet pada
stroke non-kardioembolik. Aspirin, clopidogrel, dan dipyridamole plus-
rilis yang diperpanjang semuanya adalah agen lini pertama (lihat Tabel 13-
1). Batasi kombinasi clopidogrel dan ASA untuk memilih pasien dengan
riwayat MI baru-baru ini atau stenosis intrakranial dan hanya dengan ASA
dosis ultra rendah untuk meminimalkan risiko perdarahan. Ov Untuk
pasien dengan fibrilasi atrium dan sumber emboli jantung yang diduga,
antikoagulasi oral dengan antagonis vitamin K (warfarin), apixaban,
dabigatran, atau rivaroxaban direkomendasikan.
- Pengobatan peningkatan TD setelah stroke iskemik mengurangi risiko
kekambuhan stroke. Pedoman pengobatan merekomendasikan
pengurangan BP lebih besar dari 140/90 mm Hg pada pasien dengan stroke
atau TIA setelah periode akut (7 hari pertama).
- Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan penyakit
arteri koroner dan peningkatan lipid plasma. Pasien yang mengalami
stroke iskemik yang diduga berasal dari aterosklerotik yang memiliki
kolesterol low-density lipoprotein (LDL) di atas 100 mg / dL harus diobati
dengan terapi statin intensitas tinggi untuk pencegahan stroke sekunder.
- Heparin berat molekul rendah atau heparin tak terfraksi subkutan dosis
rendah (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan untuk pencegahan
trombosis vena dalam pada pasien rawat inap dengan mobilitas menurun
akibat stroke dan harus digunakan pada semua kecuali stroke yang paling
kecil.
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Hiperlipidemia merupakan abnormal metabolisme lipid yang ditandai
adanya tingginya kadar lipid (Kolesterol total, LDL, Trigliserida) ataupun
penurunan kadar lipid (HDL) dalam darah. Hiperlipidemia merupakan salah
satu penyebab penyakit jantung koroner (PJK) (Arsana dkk, 2015). Penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan kelainan pada jantung yang di sebabkan oleh
aterosklerosis, dimana terjadinya akumulasi lipid pada dinding pembuluh darah
(Webster dkk, 2010). Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab
kematian pertama di negara maju ataupun berkembang. Negara berkembang,
salah satu faktor penyebab berbagai penyakit yang berhubungan dengan
kolesterol yaitu perubahan pola makanan dimana masyarakat terbiasa
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan rendahnya konsumsi makanan
mengandung serat, merokok dan kurangnya aktivitas fisik (Arianti dan
Swastini, 2010).
Lipid merupakan senyawa yang memiliki peranan penting dalam struktur
dan fungsi sel. Lipid plasma yang utama terdiri atas kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak bebas. Lipid yang bersifat hidrofobik ini dalam
sirkulasi berada dalam bentuk kompleks lipid – protein atau lipoprotein.
Lipoprotein plasma terdiri atas : Kilomikron,Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), LDL, dan High Density Lipoprotein (HDL). Komposisi dan fungsi
dari tiap lipoprotein ini berbeda-beda (Guyton & Hall, 2008).
Menurut Badan Kesehatan Dunia, 60% dari seluruh penyebab kematian
akibat penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK) (Delima et al,
2009). Pada penelitian Multinational Monitoring of
Trends Determinants in Cardiovascular Disease(MONICA) I di Indonesia
menunjukkan angka kejadian hiperlipidemia sebesar 13,4% untuk wanita dan
11,4% untuk pria. Pada MONICA II (1994) meningkat menjadi 16,2% untuk
wanita dan 14% untuk pria (Anwar, 2004). Angka kematian penyakit
kardiovaskular di Indonesia cenderung meningkat terlihat dari hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 angka kematian penyakit
kardiovaskular hanya sebesar 2,8%, mengalami peningkatan menjadi 3% pada
SKRT 1995. Hasil Sensus Kesehatan Masyarakat tahun 2001 menunjukkan
bahwa kematian karena penyakit kardiovaskular adalah sebesar 14,9% (Depkes
RI, 2006).
Selama ini, pilihan terapi yang sering digunakan adalah obat-obatan
golongan statin, antara lain atorvastatin, fluvastatin, lovastatin, dan sebagainya.
Akan tetapi, penggunaan obat-obatan tersebut sering menimbulkan efek
samping yaitu rhabdomiolisis, pada penggunaan jangka panjang juga dapat
terjadi gangguan hati dan ginjal, serta neuropati perifer (Sullivan, 2007)

II. Rumusan Masalah


a. Apa itu Hiperlipidemia ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Hiperlipidemia ?
c. Bagaimana penatalaksanaan Hiperlipidemia ?

III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Angina Pectoris
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Angina Pectoris
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Angina Pectoris

IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan
pembaca makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hiperlipidemia


Hiperpilidemia adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan
trigliserida serta penurunan kolesterol HDL. Hiperlipidemia berhubungan
dengan peningkatan resiko penyakit jantung koroner dan serebrovaskular,
dimana LDL menjadi target utama (Dipiro, 2008).
Lipid adalah substansi lemak, agar dapat larut dalam darah, molekul lipid
harus terikat pada molekul protein (yang dikenal dengan nama apolipoprotein,
yang sering disingkat dengan nama apo. Senyawa lipid dengan apolipoprotein
dikenal sebagai lipoprotein. Tergantung dari kandungan lipid dan jenis
apolipoprotein yang terkandung maka dikenal lima jenis liporotein yaitu
kilomikron, very low-density lipoprotein (VLDL),intermediate density lipo
protein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein
(HDL) (Perkeni, 2019).
Tabel 1. Jenis lipoprotein, apoprotein, dan kandungan lipid (Perkeni, 2019).
Jenis Kandungan Lipid (%)
Jenis Lp Lokasi Sintesis
Apo TG Kol Fosfolipid
Kilomikron B-48 Usus 80-95 2-7 3-9
VLDL B-100 Hati 55-80 5-15 10-20
Hasil katabolisme
IDL B-100 20-50 20-40 15-25
VLDL
Hasil katabolisme
LDL B-100 5-15 40-50 20-25
VLDL
A-I, Usus, hati, dan
HDL 5-10 15-25 20-30
A-II plasma
2.2 KlasifikasiHiperlipidemia
Klasifikasi hiperlipidemia yang dikenal adalah klasifikasi Frederickson
yang membagi hiperlipidemia berdasarkan fenotip plasma. Klasifikasi ini
merupakan alat bantu yang penting karena meliputi berbagai keadaan
metabolisme.
Tabel 2. Tipe hiperlipidemia (WH0, Fredrickson’s Classification)
Tipe
Keterangan
I Hiperkilomikronemia
IIa Kenaikan LDL serum (Familial hiperkolesterolemia)
Iib Kenaikan LDL dan VLDL (Familial kombinasi hiperkolesterolemia)
III Familial disbetalipoproteinemia
IV Kenaikan VLDL dan serum TG ( Familial hipertrigliseridemia
V Kenaikan kilomikron dan VLDL (Mixed hiperlipidemia)

1. Tipe I
Hiperlipidemia tipe I memperlihatkan hiperkilomikronemia pada waktu puasa
bahkan dengan diet lemak normal dan biasanya disebabkan oleh kekurang
lipoprotein lipase yang dibutuhkan untuk metabolisme kilomikron dan
defisiensi apoprotein CII. Hiperlipidemia tipe I akan muncul sebelm pasien
berumur 10 tahun dengan gejala seperti kolik, nyeri perut berulang, xantoma,
dan hepatosplenomegali. Pada orang dewasa gejala nyeri yang mirip dengan
akut abdomen sering disertai dengan demam, leukositosis, anoreksia, dan
muntah. Komplikasi dari hiperlipidemia tipe I adalah pendarahan akibat
pankreatitis akut, akan tetapi tipe Iini tidak terkait dengan aterosklerosis
jantung prematur..
2. Tipe 2
Terjadi peningkatan LDL dan apoprotein B dengan VLDL kadar normal (tipe
IIa) dan kadar VLDL sedikit meningkat (tipe Iib). Ada individu homozigot
gejala timbul sejak masa anak-anak, sedangkan individu heterozigot gejala
kliniknya tidak muncul sebelum umur 20 tahun. Kelainan homozigot dan
heterozigot mudah didiagnosa pada anak dengan mengukur kadar kolesterol
LDL. Pada tipe II terjadi hiperlipidemia diduga disebabkan karena penurunan
jumlah reseptor LDL berafinitas tinggi. Pasien homozigot akan terjadi
penyakit iskemia jantung sebelum umur 20 tahun, sedangkan pria yang
heterozigot juga akan terjadi dengan persentase kejadian 60% (terjadi di usia
50 tahun), jadi diagnosa dini sangat penting.
3. Tipe III
Dikenal dengan familia disbetalpoproteinemia, ditandai dengan tingginya
kadar kilomikron dan IDL. Pada tipe ini akan terjadi penimbunan IDL yang
disebabkan oleh blokade parsial dalam metabolisme VLDL menjadi LDL,
peningkatan produksi apoprotein B atau apoprotein E total. Pada pasien
dengan tipe III ini ambilan sisa VLDL dan sisa kilomikron oleh hati dihambat
sehingga terjadi akumulasi di darah dan jaringan. Pada kelainan ini kadar
kolesterol serum dan trigliserida meningkat (350-800 mg/dL), dan gejala klini
baru akan muncul pada masa dewasa muda berupa xantoma pada telapak
tangan dan kaki, dan kelainan tuberoeruptif di siku, lutut, atau bokong.
Penyakit kororner, kardiovaskuler, dan pembuluh dararh tepi terjadi lebih
cepat yaitu pada usia 40-50 tahun, dan intoleransi glukosa dapat terjadi.
4. Tipe IV
Hiperlipidemia tipe IV terjadi peningkatan kadar VLDL dengan
hipertrigliseridemia, dan merupakan penyakit terbanyak di jumpai di negara
barat. Gejala klinik akan timbul pada usia pertengahan, separuh dari pasien ini
terjadi peningkatan kadar trigliserida pada umur 25 tahun, gejala klinik
xantoma biasanya tidak terjadi. Mekanisme kelainan ini belum diketahui akan
tetapi penyebab penyakit ini biasanya karena penyakit lain, seperti
alkoholisme berat, diet kaya karbohidrat, dan biasanya pasien obesitas.
Penyakit iskemia jantung dapat terjadi namun jarang terjadi (lebih jarang dari
tipe II), biasanya terjadi pada usia 40 tahunan, dan pasien menunjukkan
intoleransi glukosa.
5. Tipe V
Hiperlipidemia tipe V memperlihatkan terjadinya akumulasi VLDL dan
kilomikron, mungkin disebabkan karena gangguan katabolisme trigliserida
endogen dan eksogen. Karena semua lipoprotein mengandung kolesterol
sehingga pada kadar kolesterol dapat meningkat jika kadar trigliserida terlalu
tinggi. Pasien dengan tipe ini menunjukkan intoleransi terhadap karbohidrat
dan lemak.

2.3 Etiologi
1. Etiologi
a. Hiperlipidemia Primer
Adalah hiperlipidemia akibat kelainan genetik. Disebabkan oleh
hiperkolesterolemia poligenik dan kombinasi familial. Dislipidemia berat
umumnya karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemiaremnan, dan
hipertrigliseridemia primer (Perkeni, 2019).
b. Hiperlipidemia sekunder
Terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme,
sindromanefrotik, diabetes melitus, dan sindromametabolik (tabel3).
Pengelolaan penyakit primer akan memperbaiki hiperlipidemia yang ada.
Dalam hal ini pengobatan penyakit primer yang diutamakan.
Tabel 3. Penyebab hiperlipidemia sekunder (Perkeni, 2019).
Kelainan
Kondisi Penyakit
Lipid
Peningkatan  Hipotiroid
K-Total  Sindroma nefrotik
dan LDL  Disgammaglobulinemia (Lupus, multiple myeloma)
 Progestin atau terapi steroid anabolic
 Sirosis hati
 Terapi inhibitor proatease (infeksi HIV)

Penurunan TG  GGK
dan VLDL
 DM tipe 2
 Konsumsi alkohol tinggi
 Obesitas
 Obat antihipertensi (Thiazid dan BB)
 Terapi Kortikosteroid
 Kontrasepsi oral, estrogen atau kondisi hamil
 Terapi inhibitor proatease (infeksi HIV)

2.4 Patofisiologi

 Kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid diangkut dalam darah sebagai


komplekslipid dan protein (lipoprotein). Total kolesterol LDL dan
kolesterol tinggi dan berkurang. Kolesterol HDL dikaitkan dengan
pengembangan penyakit jantung koroner (PJK).
 Faktor risiko seperti LDL teroksidasi, cedera mekanis menjadi endotelium,
dan berlebihanhomocysteine dapat menyebabkan disfungsi endotel dan
interaksi seluler yang memuncakpada aterosklerosis. Hasil klinis akhirnya
mungkin termasuk angina, miokardinfark (MI), aritmia, stroke, penyakit
arteri perifer, aorta abdominalaneurisma, dan kematian mendadak.
 Lesi aterosklerotik timbul dari transportasi dan retensi LDL plasma
melaluilapisan sel endotel ke dalam matriks ekstraseluler dari ruang
subendotel. Sekalidi dinding arteri, LDL dimodifikasi secara kimia
melalui oksidasi dan nonenzimatikglikasi. LDL teroksidasi ringan
merekrut monosit ke dinding arteri, yang berubahke dalam makrofag yang
mempercepat oksidasi LDL. LDL teroksidasi memprovokasirespons
inflamasi yang dimediasi oleh kemoattractan dan sitokin.
 Cedera berulang dan perbaikan dalam plak aterosklerotik akhirnya
menyebabkan atopi berserat melindungi inti lipid, kolagen, kalsium, dan
inflamasi yang mendasarinyasel. Pemeliharaan plak fibrosa sangat penting
untuk mencegah pecahnya plakdan trombosis koroner.
 Gangguan lipoprotein primer atau genetik diklasifikasikan ke dalam enam
kategori: I (kilomikron),IIa (LDL), Iib (LDL + lipoprotein densitas sangat
rendah [VLDL]), III (intermediatedensitylipoprotein), IV (VLDL), dan V
(VLDL + kilomikron). Bentuk sekunder daridislipidemia juga ada, dan
beberapa kelas obat dapat mempengaruhi kadar lipid (misalnya,
progestin,diuretik thiazide, glukokortikoid, β-blocker, isotretinoin,
protease inhibitor, siklosporin,mirtazapine, dan sirolimus).
 Cacat utama pada hiperkolesterolemia keluarga adalah ketidakmampuan
untuk mengikat LDL keReseptor LDL (LDL-R). Hal ini menyebabkan
kurangnya degradasi LDL oleh sel dan tidak diatur
biosintesis kolesterol.
2.5 Faktor Resiko
Tabel 4. Faktor resiko utama peningkatan LDL (Dipiro, 2008)
Faktor Resiko Keterangan
Umur Laki-laki ≥ 45 tahun
Perempuan ≥ 55 tahun (menopause tanpa terapi
estrogen)
Riwayat keluarga Riwayat CHD
Merokok
Hipertensi ≥ 140/90 mmHg atau konsumsi obat HT
Kadar HDL >40 mg/dl

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinik dan keluhan hiperlipidemia pada umumnya tidak ada.
Manifestasi klinik yang timbul biasanya merupakan komplikasi dari dislipidemia
itu sendiri seperti PJK dan stroke. Kadar trigliserida yang sangat tinggi dapat
menyebabkan pankreatitis akut, hepatosplenomegali, parastesia, perasaan sesak
napas dan gangguan kesadaran, juga dapat merubah warna pembuluh darah retina
menjadi krem (lipemia retinalis) serta merubah warna plasma darah menjadi
seperti susu. Pada pasien dengan kadar LDL yang sangat tinggi
(hiperkolesterolemia familial) dapat timbul arkuskornea, xantelasma pada kelopak
mata dan xantoma pada daerah tendon archiles, siku dan lutut (Perkeni, 2019).
2.7 Diagnosa
Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 5. Klasifikasi kadar kolesterol (ATP NCEP III, 2001)

Kadar Kolesterol (mg/dl) Klasifikasi


LDL
<100 Optimal
100-129 Near optimal
130-159 Borderline high
160-189 High
≥190 Very high
Total Kolesterol
<200 Desirable
200-239 Borderline high
≥240 High
HDL
<40 Low
≥60 High

2.8 Komplikasi
1. Penyakit jantung
2. Stroke

2.9 Penalataksaan
1. Non Farmakologi
Ada beberapa pola perubahan gaya hidup yang diterapkan untuk
mengendalikan kadar kolesterol dan trigliserida, diantaranya (Arsana dkk,
2015):
a. Aktivitas fisik
Aktifitas fisik yang disarankan meliputi program latihan yang
mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang
(menurunkan 4-7kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu, dengan pengeluaran
minimal 200 kkal/hari. Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat,
bersepeda statis, ataupun berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat
dipenuhi dalam satu sesi atau beberapa sesi sepanjang rangkaian dalam sehari
(minimal 10 menit). Bagi beberapa pasien, beristirahat selama beberapa saat
di sela-sela aktivitas dapat meningkatkan kepatuhan terhadap program
aktivitas fisik. Selain aerobik, aktivitas penguatan otot dianjurkan dilakukan
minimal 2 hari seminggu (Arsana dkk, 2015).
b. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko kuat, terutama untuk penyakit
jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke. Merokok mempercepat
pembentukan plak pada koroner dan dapat menyebabkan ruptur plak sehingga
sangat berbahaya bagi orang dengan aterosklerosis koroner yang luas.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa merokok memiliki efek negatif yang
besar pada kadar K-HDL dan rasio K-LDL/K-HDL. Berhenti merokok
minimal dalam 30 hari dapat meningkatkan K-HDL secara signifikan (Arsana
dkk, 2015).
c. Diet
Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet
asam lemak tidak jenuh seperti MUFA dan PUFA karena faktor diet yang
paling berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol LDL adalah
asam lemak jenuh. Kebiasaan mengonsumsi ikan (mengandung PUFA
omega-3) berhubungan dengan reduksi risiko kardiovaskular independen
terhadap efek pada lipid plasma (Erwinanto dkk, 2013). Bagi orang dewasa,
disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah kalori yang terdiri dari
buah-buahan dan sayuran (≥5 porsi / hari), biji-bijian (≥6 porsi / hari), ikan,
dan daging tanpa lemak. Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol
harus dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus
mencakup tanaman stanol/sterol (2 g/hari) dan serat larut air (10-25 g/hari)
(Arsana dkk, 2015).
d. Penurunan berat badan
Indeks Masa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang dipakai sebagai
ukuran untuk menilai obesitas umum dan obesitas abdominal. Baik obesitas
umum maupun obesitas abdominal berhubungan dengan risiko kematian.
Konsep obesitas terutama dihubungkan dengan konsep sindrom metabolik.
Untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan hendaknya diusahakan
untuk mengurangi 10% berat badan. Walaupun ukuran antropometri lain
seperti lingkar pinggang atau rasio pinggul terhadap pinggang dapat
menambah informasi, IMT sendiri adalah prediktor kuat untuk mortalitas
secara keseluruhan. Lingkar pinggang normal untuk Asia adalah <90 cm
untuk pria dan <80 cm untuk wanita. Bertambahnya mortalitas secara
progresif akibat peningkatan IMT terutama berhubungan dengan mortalitas
penyakit vaskular. Kesepakatan klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) untuk
populasi Asia dapat dilihat pada tabel berikut (Erwinanto dkk, 2013).

2. Farmakologi
Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk hiperlipidemia baik pada
ATP III maupun ESC/EAS 2016, AACE/ACE 2017 serta ACC/AHA 2018
adalah untuk menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Pilihan
terapi farmakologi dapat dilihat pada table 6 :
Tabel 6. Terapi farmakologi hiperlipidemia (ATP II NCEP, 2001;
Perkeni, 2019)
Golongan Efek terhadap Lipid Efek Samping Kontra Indikasi
Obat
Statin LDL ↓ 18-55% Miopati. Absolut: penyakit
HDL ↑ 5-15% hati akut atau
TG ↓ 7-30% kronik.
Relatif:
penggunaan
bersama obat
tertentu
Resin asam LDL ↓ 15-30% Gangguan Absolut: tipe III
empedu HDL ↑ 3-5% pencernaan. TG >400 mg/dl.
Relatif: TG >200
mg/dl.
Asam LDL ↓ 5-25% Flushing, gout, Absolut: penyakit
nikotinat HDL ↑ 15-35% hiperglikemia, hati kronik, gout
TG ↓ 20-50% gangguan berat.
pencernaan, Relatif: diabetes,
hepatoksisitas. hiperurisemia,
ulkus peptikum.
Fibrat LDL ↓ 5-20% Dispepsia, batu Absolut: GGK
HDL ↑ 10-20% empedu, miopati. dan liver.
TG ↓ 20-50%
Ezetimibe LDL ↓ 10-18% Pada umumnya Penyakit hati
Apo B↓ 11-16% dapat ditoleransi
oleh pasien
Inhibitor LDL ↓ 48-71% Faringitis, Belum ada data
PCK9 non-HDL↓49-58% influenza, ISK, penggunaan obat
K-tot ↓36-42%, diare, ini untuk jangka
Apo B ↓42-55% bronkitis,mialgia, panjang (>3
gatal-gatal pada tahun)
daerah suntikan
Asam lemak TG ↓ 27-45% Peningkatan Terapi anti-
omega-3 non-HDL↓8-14% LDL, koagulan,
K-tot ↓7-10%, pemanjangan gangguan pungsi
Apo B ↓4% waktu hati
VLDL ↓ 20-42% pendarahan,
peningkatan
enzim hati,
gangguan saluran
cerna.
1. Statin
Mekanisme kerja Statin adalah mengurangi pembentukan kolesterol di
hati dengan menghambat secara kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA
reduktase. Pengurangan konsentrasi kolesterol intraseluler meningkatkan
ekspresi reseptor LDL pada permukaan hepatosit yang berakibat
meningkatnya pengeluaran K-LDL dari darah dan penurunan konsentrasi dari
K-LDL dan lipoprotein apo-B lainnya termasuk trigliserid. Golongan statin
pada umumnya diminum sekali sehari pada waktu malam hari. Sediaan statin
yang saat ini tersedia dipasaran adalah: simvastatin 5-80 mg, atorvastatin 10-
80 mg, rosuvastatin 5-40 mg, pravastatin 10-80 mg, fluvastatin 20-40 mg (80
mg extended release), lovastatin 10-40 mg (10-60 mg extended release) dan
pitavastatin 1-4 mg.

2. Bile Acid Sequestrants


Asam empedu disintesa oleh hati dari kolesterol. Asam empedu
selanjutnya disekresikan kedalam lumen usus, namun sebagian besar akan
dikembalikan kehati melalui absorbsi secara aktif pada daerah ileum
terminalis. Mekanisme kerja obat ini adalah menurunkan kolesterol melalui
hambatan terhadap abrosbsi asam empedu pada sirkulasi enterohepatik
dengan akibat sintesis asam empedu oleh hati sebagian besar akan berasal dari
cadangan kolesterol hati sendiri. Proses katabolisme kolesterol oleh hati
tersebut akan dikompensasi dengan peningkatan aktivitas reseptor LDL yang
pada akhirnya akan menurunkan K-LDL dalam sirkulasi darah.
Terdapat tiga jenis obat bile acid sequestrants yaitu cholestyramine,
colestipol dengan dosis 2 takar 2-3 kali sehari dan golongan terbaru adalah
colsevelam 625 mg 2 kali 3 tablet sehari (3,8 gram/hari). Obat-obatan tersebut
juga terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pasien
hiperglikemik, namun mekanisme kerja sebagai obat anti hiperglikemik dari
obat ini belum diketahui dengan pasti.
3. Asam Fibrat
Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat, dan
fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis
trigliserid di hati. Obat ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang
kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar trigliserid, obat ini
juga meningkatkan kadar kolesterol-HDL yang diduga melalui peningkatan
apoprotein A-I, dan A-I. Pada saat ini yang banyak dipasarkan di Indonesia
adalah gemfibrozil 600 mg 2 kali sehari dan fenofibrat dengan dosis 45-300
mg (tergantung pabrikan) dosis sekali sehari.

4. Asam Nikotinik (niacin)


Obat ini diduga bekerja menghambat enzim hormone sensitive lipase
di jaringan adiposa, dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak
bebas. Diketahui bahwa asam lemak bebas ada dalam darah sebagian akan
ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber pembentukkan VLD. Dengan
menurunnya sintesis VLDL di hati, akan mengakibatkan penurunan kadar
trigliserid, dan juga kolesterol-LDL di plasma. Pemberian asam nikotinik
ternyata juga meningkatkan kadar kolesterol-HDL. Efek samping yang paling
sering terjadi adalah flushing yaitu perasaan panas dan kemerahan pada
daerah wajah bahkan di badan.
Dosis niacin bervariasi antara 500-750 mg hingga 1-2 gram yang diberikan
pada malam hari dalam bentuk extendedrealise.

5. Ezetimibe
Obat golongan ezetimibe ini bekerja dengan menghambat absorbsi
kolesterol oleh usus halus. Kemampuannya moderate didalam menurunkan
kolesterol LDL (15-25%). Pertimbangan penggunaan ezetimibe adalah untuk
menurunkan kadar LDL, terutama pada pasien yang tidak tahan terhadap
pemberian statin. Pertimbangan lainnya adalah penggunaannya sebagai
kombinasi dengan statin untuk mencapai penurunan kadar LDL yang lebih
banyak.
6. Inhibitor PCSK9
Obat ini adalah golongan obat baru yang disetujui penggunaannya oleh
FDA pada tahun 2015 dengan target utama menurunkan K-LDL. Merupakan
antibodi monoklonal yang berfungsi untuk menginaktivasi Proprotein
Convertase Subtilsin-kexin Type 9 (PCSK9). PCSK9 sendiri berperan dalam
proses degradasi dari reseptor LDL (LDLR), sehingga bila dihambat maka
akan meningkatkan ekspresi dari LDLR pada hepatosit yang pada akhirnya
menurunkan kadar K-LDL. Obat golongan ini diberika nmelalui suntikan
secara subkutan. Terdapat dua jenis obat inhibitor PCSK9 yang sudah
dipasarkan yaitu alirocumab dengan dosis 75 mg setiap dua minggu sekali atau
300 mg setiap 4 minggu sekali dan evolocumab dengan dosis 140 mg setiap 2
minggu sekali atau 420 mg sekali sebulan.

7. Asam lemak Omega-3 (minyak ikan)


Golongan obat ini mempunyai efek utama menurunkan kadar
trigliserid, namun tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap K-LDL dan
K-HDL. Laporan dari penelitian-penelitian terbaru mendapatkan bahwa asam
lemak omega-3 tidak menyebakan penurunan risiko kardiovaskular pada
pasien sindroma metabolik maupun pada pasien diabetes mellitus.

8. Golonganobat terbaru.
Beberapa jenis obat baru saat ini sudah mulai diperkenalkan sebagai
salah satu modalitas terapi dislipidemia, diantaranya masih ada yang
sementara dalam tahap penelitian. Golongan obat tersebut diantaranya:
inhibitor microsomal transfer protein (MTP), thyroid hormone mimetic, apo B
antisense oligonucleotide (mipomersen) dan LDL apheresis.
DAFTAR PUSTAKA

Carleton, P.F., Boldt, M.A., 1995, Penyakit Aterosklerotik Koroner, dalam


Price,S.A., Wilson,L.M. (eds) Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Fredrickson,D.S., Lees,R.S., 1965, Editorial : A System for Phenotyping


Hyperlipoproteinemia, Circulation: Journal of American Heart
Association 1965, 31:321-327.
Suyatna, F.D., 2008, Farmakologi dan Terapi, edisi kelima, 374-385, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Sylvia, A, P. and Wilson, C., 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 6, Volume 1, 580, EGC, Jakarta.

Libby P. The Pathogenesis, Prevention, and Treatment of Atherosclerosis. In: Fauci


AS, Braunwald E, Kasper DL, editors. Harrison’s Pronciples of Internal
Medicine. 17th ed. Mc-Graw Hill; 2008. p. 1501–9

Sanchis-gomar F, Perez-quilis C, Leischik R, Lucia A. Epidemiology of coronary


heart disease and acute coronary syndrome. Ann Transl Med [Internet].
2016;4(13):1–12. Available from: http://dx.doi.org/10.21037/atm.2016.06.33

Garko, M. G. Coronary heart disease – Part I: The prevalence, incidence, mortality


and pathogenesis of the leading cause of death in the UnitedStates,2012.

Porter, R. S., Kaplan, J. L. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy.19thed.


New Jersey: Merck Sharp & Dohme, 2011.

Sayols-Baixeras,S.,Lluís-Ganella,C.,Lucas,G., Elosua, R. Pathogenesis of Coronary


Artery Disease: Focus on Genetic Risk Factors and Identification of Genetic
Variants, 2014. Dovepress. 7:15-32.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah,Edisi III. Jakarta:


Kedokteran Egc.
Charlene J.Reeves,Robin Lockhart. 2001. Medical Surgical Nursing. Jakarta:
Salemba Medika.
Dipiro,Joseph Dkk.2015. Pharmacotherapy.”A Pathophysiology Appronch: New
York Mc.Graw-Hill.
Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal : 361-72

Olson J. Belajar mudah farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku EGC. 2003

Patel PR. Lecturn notes radiologi. Edisi ke 2. Jakarta : 2006

Suyodo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.


Edisi ke- 5. Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal : 2196-206

Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : Penerbit Buku EGC.
2009

Chobanian, A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, Jr,
J.L., Jones, DW., Materason Bj, Oparil S, Wrightr JT, Rocella EJ. . 2003.
The National High Blood Pressure Education Program Coordinating
Committe., seventh report of The Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure.JNC 7-complete version.Hypertension. 42: 1206-1252.
Darmojo, B. 2001. Mengamati perjalanan epidemiologi hipertensi di Indonesia.
Jakarta: Medika. 7: 442448.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Sumatera Barat. Tahun
2016. Padang: DKK Prov Sumbar; 2017
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Sumatera Barat. Tahun
2014. Padang; 2015
Dipiro C.V.,2015. Pharmacotherapy Handbook 9th edition, McGraw-Hill Companies,
USA.
Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1.Edisi 10.Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi.Edisi 10. Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi
Pertama. Jakarta : PERKI

Soenarta A, Erwinanto, Mumpuni a, Barack R, Lukito A, Hersunarti N, Pratikto R.


2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular : Indonesia
Tjay, T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Cetakan Pertama.
Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Triyanto, E., 2017, Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara
Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai