Kardiovaskular (Hipertensi) Gina Aulia
Kardiovaskular (Hipertensi) Gina Aulia
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Di negara industri hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama.
Di Indonesia hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
oleh dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer karena angka
prevalensinya yang tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkannya. Sampai
saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain
meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum
mendapatkan pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum
mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat
meningkatkan mortilitas dan morbiditas.
Menurut WHO (1978), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
140/90 mmHgdan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 dinyatakan sebagai
hipertensi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk
membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang
diketahui.
Menurut World Health Organiztion (WHO) pada tahun 2011 menunjukan satu
milyar orang di dunia menderita hipertensi, 2/3 penderita hipertensi berada di negara
berkembang. Prevalensi hipertensi akan terus meningkat dan diprediksi tahun 2025
sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi. Hipertensi telah
menyebabkan banyak kematian sekitar 8 juta orang setiap tahunnya, dan 1,5 juta
kematian terjadi di Asia Tenggara dengan 1/3 populasinya menderita hipertensi
(Kemenkes, 2017).
Hipertensi merupakan salah satu penyebab kerusakan berbagai organ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum
ditemui pada pasien hipertensi adalah hipertropi ventrikel kiri, angina atau infark
miokard, gagal jantung, stroke, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan
retinopati. Untuk itulah pentingnya diagnosis dini serta penatalaksanaan yang tepat
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang akan terjadi atau mencegah
kerusakan lebih lanjut yang sedang terjadi.
Strategi penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non farmakologi seperti
modifikasi gaya hidup dan diet dan terapi farmakologi untuk mencapai target terapi
hipertensi. Dalam penanganannya, diperlukan kerjasama antara tim medis, pasien,
serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarga tentang
penyakit dan komplikasi akan membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta
diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Hipertensi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHgpada pemeriksaan
yang berulang (Dipiro 9).
Klasifikasi Hipertensi :
Klasifikasi Tekanan Darah TD TD
Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stadium 2 >160 atau >100
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Manusia Menurut Dipiro 9
2.2 Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2000) penyebab hipertensi dibagi menjadi 2,
yaitu:
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial
(primer).Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor
genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan
hipertensi esensial.Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas
garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang
mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang
tidak sehat serta konsumsi alkohol dan merokok.
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,
anatara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjer tiroid
(hipertiroid), penyakit kelenjer adrenal (hiperaldosteronisme).
2.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh Angiostencin Converting Enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiostensinogen yang diprodoksi di hati. Selanjutnya oleh
hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiostensin I. Oleh
ACE yang terdapat di paru-paru, angiostensin I diubah menjadi angiostensin II.
Angiostensi II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama (Noviyanti, 2015).
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitary) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar tubuh (antidiuresis), sehingga
menjadi pekat dan tinggi osmolitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormone steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah.
2.4 Faktor Resiko
Terdapat dua faktor resiko hipertensi yaitu ;
b. Dapat diubah:
Faktor Risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi
antara lain :
1) Konsumsi garam yang berlebihan, garam menyebabkan penumpukan cairan
dalam tubuh karena menarik cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga
akan meningkatkan volume tekanan darah
2) Kolesterol, kandungan lemak yang berlebihan dalam darah menyebabkan
timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah
menyempit, pada akhirnya akan mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi.
3) Cafein, kandungan cafein terbukti meningkatkan tekanan darah. Setiap cangkir
kopi mengandung 75-200 mg kafein, yang berpotensi meningkatkan tekanan
darah 5-10 mmHg.
4) Alkohol, pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah dan
peningkatankekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah
5) Obesitas, berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkolerasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik dimana risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi untuk
menderita hipertensi dibandingkan dengan seorang yang badanya normal.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memilki berat
badan lebih
6) Kurang olahraga, kurang olahraga dan kurang gerak dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat. Olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah
tinggi namun tidak dianjurkan olahraga berat.
7) Psikososial dan Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam, rasa takut,
rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kuat, sehingga
tekanan darah meningkat)
8) Kebiasaan merokok, nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan
katekolamin, katekolamin yang meningkat dapat mengakibatkan iritabilitas
miokardial, peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan vasokonstriksi
yang kemudian meningkatkan tekanan darah.
9) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) melalui mekanisme renin-
aldosteron-mediate volume expansion, Penghentian penggunan kontrasepsi
hormonal, dapat mengembalikan tekanan darah menjadi normal kembali.
2.7 Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri
dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.Hipertensi
adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transientischemic
attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan
atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular
lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi
mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,
penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Depkes, 2006).
Beberapa Komplikasi Hipertensi Antara Lain:
1. Stroke
Akibat dari pecahnya pembuluh yang ada di dalam otak atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke bisa terjadi pada hipertensi kronis apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan
pembuluh darah sehingga aliran darah pada area tersebut berkurang. Arteri yang
mengalami aterosklerosis dapat melemah dan meningkatkan terbentuknya
aneurisma.
2. Infark Miokardium
Infark miokardium terjadi saat arteri koroner mengalami arterosklerotik tidak pada
menyuplai cukup oksigen ke miokardium apabila terbentuk thrombus yang dapat
menghambataliran darah melalui pembuluh tersebut. Karena terjadi hipertensi
kronik dan hipertrofi ventrikel maka kebutuhan okigen miokardioum tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
3. Gagal Ginjal
Kerusakan pada ginjal disebabkan oleh tingginya tekanan pada kapiler-kapiler
glomerulus. Rusaknya glomerulus membuat darah mengalir ke unti fungsionla
ginjal, neuron terganggu, dan berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Rusaknya
glomerulus menyebabkan protein keluar melalui urine dan terjadilah tekanan
osmotic koloid plasma berkurang sehingga terjadi edema pada penderita hipertensi
kronik.
4. Ensefalopati
Ensefalopati (kerusakan otak) terjadi pada hipertensi maligna (hipertensi yang
mengalami kenaikan darah dengan cepat). Tekanan yang tinggi disebabkan oleh
kelainan yang membuat peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke
dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Akibatnya neuro-neuro
disekitarnya terjadi koma dan kematian.
2.8 Penatalaksanaan Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk memodifikasi
gaya hidup, termasuk :
1. Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan
2. Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension)
3. Mengurangi aasupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari )6
g/hari NaCl)
4. Melakukan aktivitas fisik seperti aerobic
5. Mengurangi konsumsi alcohol
6. Berhenti merokok.
Modifikasi Rekomendasi Penurunan tekanan
darah sistolik kurang
lebih
Menurunkan berat badan Pelihara berat badan 5-20 mmHg untuk setiap
normal (BMI 18,5- penurunan 10 Kg BB
24,9)
Menjalankan menu Konsumsi makanan 8-14 mmHg
DASH ( dietary kaya buah, sayur, susu
approaches to stop rendah lemak dan
hypertention) rendah lemak jenuh
Mengurangi asupan Kurangi natrium 2-8 mmHg
garam/sodium sampai tidak lebih dari
2,4 d/hari atau NaCl 6
g/hari
Meningkatkan aktifitas Berolahraga aerobik 4-9 mmHg
fisik teratur seperti misalnya
berjalan kaki (30
menit/hari 4-5 hari
seminggu)
Kurangi konsumsi Batasi kondsumsi 2-4 mmHg
alkohol alkohol, jangan lebih
dari 2x/hari untuk pria
dan 1x/hari untuk
perempuan
Tabel 3. Modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan tekanan darah Terapi
b. Terapi Farmakologi
1. Diuretik
Diuretik tiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk
mengobati hipertensi.Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi
natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler.Akibat dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan
tekanan darah.Golongan diuretik efektif sebagai obat lini pertama dan bisa
dikombinasikan dengan CCB, ACE-I dan ARB.
Contoh : furosemid
b. Golongan Tiazid
Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari ginjal.Tiazid
dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau
dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil
diturunkan dengan diuretik saja.
Contoh ACE-I: enalapril 2,5-40 mg/hari, lisinopril 5-40 mg/hari, irbesartan 150-300
mg/hari, valsartan 80-32 mg/hari, telmisartan 40-80 mg/hari.
Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan, eprosartan,
telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).
7. Sentral atau Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.
Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2
adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan
medulla).Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer.
Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan
tekanan darah
8. Vasodilator.
Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap
arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi.Vasodilator digunakan
sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β adrenoreseptor dan
diuretik.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Penyakit angina pectoris merupakan suatu sindroma gangguan pada dada
berupa perasaan nyeri, terlebih saat sedang berjalan, mendaki, sebelum atau sesudah
makan. Angina (angina pektoris) adalah nyeri dada yang bersifat sementara, dapat
juga merupakan rasa tertekan pada dada, yang terjadi karena otot jantung mengalami
kekurangan oksigen akibat terganggunya aliran darah ke arteri yang mengalirkan
darah ke jantung. Penyumbatan atau penyempitan arteri jantung yang mengakibatkan
angina adalah jika penyumbatannya mencapai 70%.
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah
kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini sangat
ditakuti oleh seluruh masyarakat di dunia. Hal ini disebabkan karena tingginya angka
kematian pada penderita penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dan 31% dari seluruh penyebab
kematian di dunia. Diperkirakan 17,3 juta orang meninggal dunia karena penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012 dan 7,4 juta orang diantaranya disebabkan oleh
penyakit jantung koroner (PJK). Indonesia menempati posisi ke-32 dalam urutan
negara dengan angka kematian tertinggi oleh penyakit kardiovaskuler yaitu 371 per
100.000 populasi per tahun (WHO, 2016).
Penyakit jantung koroner yang disertai angina pektoris merupakan penyebab
utama kematian di Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3
juta kematian pada tahun 2030. Hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan
prevalensi PJK berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat pada
kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) serta menurun pada kelompok umur ≥ 75 tahun
(3,2%). Kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun
(1,3%). (Penelitian & Pengembangan, 2013) Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018
melaporkan prevalensi yang terdiagnosis Penyakit Jantung di Indonesia sebanyak 1,5
%, Bali juga termasuk provinsi yang memiliki prevalensi penyakit jantung yang
tinggi yaitu sebanyak 1,2% (Kementerian, 2018). Pada tahun 2013 Riskesdas
melaporkan prevalensi yang terdiagnosis penyakit di Bali yaitu 0,4% sedangkan yang
terdiagnosis atau gejala sebesar 1,3%. (Penelitian & Pengembangan, 2013).
Penyakit jantung koroner terutama angina pektoris akan berdampak pada
berbagai aspek kehidupan yaitu secara fisik penderita akan mengalami sesak, mudah
lelah, mengalami gangguan seksual, serta nyeri dada. Selain itu terdapat dampak
masalah psikososial seperti cemas dan depresi. Solusi yang dapat digunakan untuk
menanggulanginya yaitu dengan cara pencegahan seperti melakukan perubahan gaya
hidup yang lebih sehat, seperti dengan cara melakukan perubahan dalam pola diet,
kebiasaan merokok, pembatasan aktivitas, serta pengendalian stress dan kecemasan.
Berdasarkan uraian diatas, sangat penting untuk menanggulangi penyakit
jantung koroner terutama Angina Pektoris dengan Intoleransi Aktivitas di Indonesia.
Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan yakni apoteker diharapkan mampu mengerti
pengobatan yang tepat pada pasien berdasarkan etiologi atau faktor-faktor berkaitan
dengan penyakit tersebut.
III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Angina Pectoris
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Angina Pectoris
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Angina Pectoris
IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan
pembaca makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Angina pektoris adalah nyeri hebat yang terletak didada (toraks) yang
disebabkan oleh kekurangan pasokan darah (iskemia) pada otot
jantung/miokard. Hal ini ditandai oleh perasaan terdesak, sesak napas dan terasa
berat. Nyeri angina menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang atau ke
daerah abdomen.
Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan sakit pada
kekurangan oksigen, suatu gejala klinis yang disebabkan oleh iskemia miokard
yang sementara. Akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokard dan kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen
secukupnya untuk kontraksi miokard.
2.2 Etiologi
Angina pectoris biasanya berkaitan dengan pentakit jantung koroner
aterosklerotik, tapi dalam beberapa kasus dapat merupakan kelanjutan dari
stenosis aorta berat, insufiensi atau hipertrofi kardiomiopati tanpa atau disertai
obstruksi, aortitis sifilitika, peningkatan kebutuhan metabolik (seperti
hipertiroidisme atau pascapengobatan tiroid), anemia yang jelas, takikardia
paroksismal dengan frekuensi ventrikuler cepat, emboli, atau spasme koroner.
Penyabab utama angina pektoris adalah suatu tidak keseimbangan antara
kebutuhan oksigen jantung dengan jumlah oksigen yang dipasok ke jantug
melalui pembuluh darah koroner. Pada angina klasik, ketidakseimbangan terjadi
ketika kebutuhan oksigen miokardium meningkat, seperti dalam latihan, sedang
aliran darah koroner tidak ikut meningkat secara proporsional. Iskemia yang
terjadi biasanya menyebabkan rasa nyeri. Oleh karena itu angina klasik
merupakan “angina pada saat melakukan suatu usaha/aktivitas” (angina of
effort). Pada angina varian pengiriman oksigen menurun sebagai akibat dari
vasospasme koroner yang reversible.
2.3.1 Arterosklerosis
Aterosklerosis (atherosclerosis) adalah kondisi dimana material lemak
menumpuk pada dinding pembuluh darah arteri. Material lemak ini semakin
tebal dan semakin keras (membentuk deposit kalsium), dan akhirnya dapat
menyumbat arteri. Aterosklerosis merupakan salah satu jenis arteriosklerosis
(arteriosclerosis), walaupun kedua istilah tersebut seringkali disamakan
penggunaannya.
Penyebab Aterosklerosis adalah gangguan yang umum yang secara
spesifik menyerang arteri medium dan arteri besar. Aterosklerosis terjadi jika
lemak, kolesterol, dan bahan-bahan lainnya menumpuk di dinding arteri dan
membentuk struktur keras yang disebut plak (plaque).Akhirnya plak dapat
menjadikan arteri menyempit dan tidak lentur, sehingga darah susah untuk
mengalir. Hal ini dapat menyebabkan nyeri dada (stable angina), sesak nafas,
serangan jantung dan gejala-gejala lainnya. Kepingan-kepingan plak bisa
pecah dan berpindah melalui arteri yang terserang menuju pembuluh darah
yang lebih kecil, menyumbatnya dan menyebabkan kerusakan jaringan atau
kematian jaringan. Ini merupakan penyebab yang umum dari serangan jantung
dan stroke.
Penggumpalan atau pembekuan darah dapat terjadi di sekitar celah retakan
plak sehingga menyebabkan penyumbatan aliran darah. Jika gumpalan
berpindah dalam arteri di jantung, otak, atau paru-paru, sehingga dapat
menyebabkan, serangan jantung, stroke, atau penyumbatan paru-paru. Dalam
beberapa kasus, plak aterosklerosis berkaitan dengan melemahnya dinding
arteri sehingga menyebabkan pembengkakan pembuluh darah (aneurysm).
2.3. Patofisiologi
Angina pectoris merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh aliran
darah ke arteri miokard berkurang sehingga ketidakseimbangan terjadi antara
suplay O2 ke miokardium yang dapat menimbulkan iskemia, yang dapat
menimbulkan nyeri yang kemungkinan akibat dari perubahan metabolisme
aerobik menjadi anaerob yang menghasilkan asam laktat yang merangsang
timbulnya nyeri.
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak seimbangan
kebutuhan dan pasokan oksigen di miokard. Kebutuhan oksigen miokard dapat
meningkat ketika terjadi kenaikan denyut jantung, tekanan dinding jantung, dan
kontraktilitas ventrikel kiri. Sementara itu, ketersediaan oksigen miokard
ditentukan oleh aliran darah dan pasokan oksigen di arteri koroner.
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering
ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan
oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat
maka arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau
menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik
(kekurangan suplai darah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO
(NitratOksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif.
Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan
timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai
oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan
gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih
dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner
akan berkurang. Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk
memenuhi kebutuhan energy mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam
laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila
kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi
adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi.
Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam
laktat, maka nyeri angina pectoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris
merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Non Farmakologi
Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan
oksigen jantung antara lain :
1. pasien harus berhenti merokok, karena merokok mengakibatkan takikardia
dan naiknya tekanan darah, sehingga memaksa jantung bekerja keras.
2. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk mengurangi
kerja jantung.
3. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin yang dapat
menimbulkan vasokontriksi pembulu darah.
4. Pengontrolan gula darah.
5. Penggunaan kontra sepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif
atau ambisius.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Tujuan pemberian tatalaksana farmakologis pada pasien APS adalah untuk
memperbaiki gejala dan utuk mencegah kejadian kardiovaskular. Untuk
melegakan gejala angina, nitrogliserin kerja cepat dapat memberikan kelegaan
sementara dari gejala angina. Obat-obatan anti-iskemia dan modifikasi pola
hidup memberikan peran untuk meminimalisir eradikasi gejala dalam jangka
waktu panjang (pencegahan jangka panjang).
Tujuanfarmakoterapidanmodifikasipolahidupbertujuanuntuk :
1. Menurunkan progresi plak;
2. Menstabilkan plak dengan menurunkan inflamasi dan
3. Mencegah trombosis, ruptur plak, maupun erosi.
4. Obat – obatan Anti Iskemik.
Dipiro, 2015
Keterangan table :
ACE (angiotensin-converting enzyme), enzim pengubah angiotensin; ACS (acute
coronary syndrome), sindrom koroner akut; ARB (angiotensin receptor blocker),
penghambat reseptor angiotensin; CCBs, calcium channel blocker; CKD (chronic
kidney disease), penyakit ginjal kronis, DM, diabetes mellitus; EF (ejection fraction),
fraksi ejeksi; HF (heart failure), gagal jantung; HTN, hipertensi, LV (left
ventricular), ventrikelkiri; LVEF (left ventricular ejection fraction), fraksi ejeksi
ventrikel kiri; MI (myocardial infarction), infark miokard.
Kelas Rekomendasi:
I : Ketentuan dimana ada bukti atau kesepakatan umum bahwa suatu prosedur atau
pengobatan yang diberikan berguna dan efektif.
II : Kondisi dimana ada bukti yang saling bertentangan atau adanya perbedaan
pendapat tentang kegunaan/keefektifan prosedur atau perlakuan yang diberikan.
IIa : Bobot bukti/pendapat mendukung kegunaan atau khasiatnya.
IIb : Kegunaan/khasiat kurang mapan dengan bukti/pendapat.
III : Kondisi dimana ada bukti atau kesepakatan umum bahwa suatu prosedur
atau perlakuan yang diberikan tidak berguna/efektif dan dalam beberapa
kasus mungkin berbahaya.
Tingkat Bukti:
A = Data yang berasal dari beberapa percobaan klinis acak dengan sejumlah besar
pasien.
B = Data yang diperoleh dari sejumlah percobaan acak terbatas dengan sejumlah
kecil pasien, analisis cermat terhadap penelitian nonrandomized, atau pendaftar
observasional.
C = Konsensus pakar adalah dasar utama untuk rekomendasi tersebut.
a. Nitrat
Nitrat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, yang menjadi dasar
perbaikan gejala angina. Nitrat bekerja dengan komponen aktifnya NO, dan
dengan menurunkan preload. Nitrat yang tersedia ada 3 macam yaitu,
nitrogliserin (Gliseril TriNitrat), Isosorbid DiNitrat (ISDN) dan isosorbid
MonoNitrat (ISMN).
b. Isosorbid Dinitrat
Indikasi terapi & profilaksis angina pectoris. Kontra indikasi
Hipotensi/hipovalemia. Efek samping sakit kepala berdenyut, muka merah,
pusing. Interaksi obat alkohol meningkat efek hipontesi ortostatik secara
intensif. Simpatomimetik menurunt kanefek angina pektoris.
c. Beta Bloker
Mekanisme kerja: β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1,
yaitu:
1. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung
2. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II; dan
3. Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baro reseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan
pengikatan biosintesis prostasiklin.
b. DHP
Nifedipin kerja panjang merupakan vasodilator arteri kuat.
Pencegahan
Antiplatelet menurunkan agregasi platelet dan dapat mencegah pembentukan
trombus. Aspirin dosis rendah merupakan pilihan dan Clopidogrel (CPG) dapat
dipertimbangkan untuk beberapa pasien.
Aspirin tetap menjadi pengobatan pencegahan untuk trombosis arteri. Aspirin
bekerja dengan menghambat COX-1 (siklooksigenase) secara ireversibel sehingga
menurunkan produksi tromboksan dan mencegah agregasi platelet
Indikasi profilaksis penyakit serebrovaskuler atau infarkmiokard. Kontra
indikasi Asma, tukak peptik yang aktif, hemofilia, gangguan pendarahan lain, hamil,
menyusui. Peringatan riwayat menderita ulkus peptik, gangguan hati dan gangguan
saluran cerna. Efek samping bronko spasme, mual muntah, nyeri, ulserasi, dan
pendarahan saluran cerna. Interaksi Obat Aspirin akan meningkatkan efek warfarain
dan heparin, digoksin, sulfonilurea. Aspirin menghambat efek diuretik seperti
furosemid dan spirolakton, menghambat obat antihipertensi.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang. Meskipun telah
banyak kemajuan yang dicapai dalam hal diagnosis dan manajemennya, SKA
tetap menjadi salah satu masalah kesehatan utama karena menyebabkan angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan
penyebab utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ke tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
Sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang
bermakna (O'Gara, et al., 2012). Sindrom koroner akut merupakan salah satu
kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta adalah kasus
SKA, 0, 81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya angina
pektoris tidak stabil. Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis
yang paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada
IMA adalah 30% dengan separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit. Infark Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA
tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST elevasi
SKA merupakan kumpulan manifestasi klinis yang disebabkan oleh
kejadian iskemia miokard yang akut. SKA dapat diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina Pectoris (UAP) dan Infark Miokard Akut (IMA). IMA dibagi
menjadi Non ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST-Elevation
Myocardial Infarction (STEMI)(Sabatine dan Cannon, 2012). IMA merupakan
suatu kondisi nekrosis miokardial yang disebabkan oleh iskemia
berkepanjangan (Antman, 2012).Berdasarkan data dari 31,982 pasien di 25
negaradi dalam GRACE (The Global Registry in Acute Coronary
Events),diketahui bahwa frekuensi diagnosis STEMI adalah 30%, sedangkan
frekuensi diagnosis NSTEMI adalah 31% dari keseluruhan SKA. Kedua
kondisi klinis tersebut diketahui memiliki patogenesis yang sama(Goodman
dkk., 2009).
Morbiditas dan mortalitas pada penderita IMA berhubungan dengan
berbagai komplikasi yang disebabkan oleh IMA. Komplikasi dapat disebabkan
oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi disfungsi ventrikel,
aritmia, iskemik, inflamasi, dan kejadian embolik. Kejadian kardiovaskular
mayor merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan
tingkat harapan hidup pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma koroner akut adalah serangan jantung, berupa kumpulan gejala
yang berhubungan dengan cedera otot jantung akibat penyumbatan pembuluh
darah yang mengalir di jantung.
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan jantung yang terjadi
karena adanya ruptur atau erosi dari plak aterosklerosis yang memiliki
gambaran berupa angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris/UAP),
infark miokardium akut (IMA) baik dengan peningkatan segmen ST (ST
segmen elevation myocardial infarction/ STEMI) maupun tanpa peningkatan
segmen ST (non ST segmen elevation myocardial infarction/NSTEMI).
2.2 Etiologi
Etiologi primer dari sindroma koroner akut adalah aterosklerosis.
Aterosklerosis terjadi akibat inflamasi kronis pada pembuluh darah yang dipicu
akumulasi kolesterol pada kondisi kelainan metabolisme lemak yaitu tingginya
kadar kolesterol dalam darah. Plak aterosklerosis dapat ruptur dan memicu
pembentukan trombus sehingga terjadi oklusi pada arteri coroner.
2.6 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti sekitar 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain
nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses
hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien
SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis
2.7 Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut : nonkardiak, angina stabil, kemungkinan SKA, dan Definitif SKA
(Gambar I).
Gambar 1. Alogaritma evaluasi dan tatalaksana SKA
2.8 Komplikasi
Serangan jantung, Gagal jantung / henti jantung
Penyakti arteri perifer/ penyempitan pembuluh darah arteri
Stroke
Eneurisma
Emboli paru
2.9 Penatalaksanaan
a. Terapi Non Farmakoterapi
1. Untuk pasien dengan STEMI yang muncul dalam waktu 12 jam setelah
onset gejala, pengobatan reperfusi pilihan adalah reperfusi dini dengan
PCI (Intervensi koroner perkutan) primer dari arteri infark dalam waktu
90 menit sejak kontak medis pertama
2. Untuk pasien dengan NSTE ACS, pedoman praktik merekomendasikan
angiografi koroner dengan PCI ((Intervensi koroner perkutan) atau
revaskularisasi bedah bypass graft arteri koroner (CABG) sebagai
pengobatan dini untuk pasien beresiko tinggi, pendekatan seperti itu
juga dapat dipertimbangkan pasien tidak beresiko tinggi.
b. Farmakoterapi Awal untuk STE MI
3. aspirin,
atau enoxaparin.
Berikan inhibitor GP IIb / IIIa dengan UFH untuk pasien yang menjalani
setidaknya 1 mm STE di dua atau lebih lead EKG yang berdekatan dan
tidak dapat menjalani PCI primer dalam 120 menit setelahkontak medis.
fibrinolitik.
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik meliputi:
Pasien yang datang dalam waktu 30 menit dari waktu mereka datang ke unit
gawat darurat dan memenuhi syarat harus dirawat, harus di rawat dengan
Perdarahan intrakranial (ICH) dan perdarahan mayor adalah sisi yang paling
serius efek. Risiko ICH lebih tinggi dengan agen khusus fibrin dibandingkan
Aspirin
Berikan aspirin untuk semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam
kematian tambahan pada pasien dengan STEACS bila diberikan dengan terapi
fibrinolitik.
Pada pasien yang mengalami ACS, aspirin salut selaput non enterik, 160
timbulnya gejala atau segera setelah dibawa ke unit gawat darurat terlepas dari
enteric-coated.
Dosis pemeliharaan harian 75 sampai 162 mg dianjurkan setelahnya dan
yang menerima aspirin plus penghambat P2Y12, aspirin dosis rendah (81 mg
Efek samping aspirin yang paling sering adalah dispepsia dan mual.
platelet.
pasiendengan STE MI. Untuk pasien yang menjalani PCI primer, berikan
Durasi penghambat P2Y12 yang disarankan untuk pasien yang menjalani PCI
Clopidogrel: 300 mg dosis oral diikuti 75 mg oral setiap hari pada pasien yang
Ticagrelor: 180 mg dosis oral pada pasien yang menjalani PCI, diikuti oleh 90
Efek samping yang paling sering dari clopidogrel dan prasugrel termasuk
(4%),diare (3%), dispnea (14%), dan, jarang, jeda ventrikel dan bradiaritmia.
Pada pasien dengan STE MI yang menerima fibrinolisis, terapi awal dengan
mayor. Pada orang dewasa yang berusia kurang dari 75 tahun yang menerima
fibrinolitik, dosis pertama clopidogrel dapat berupa dosis awal 300 mg.Untuk
pasien dengan STE MI yang tidak menjalani terapi reperfusi baik dengan PCI
Pemblokir β-Adrenergik
• Jika tidak ada kontraindikasi, berikan β-blocker lebih awal (dalam 24 jam pertama)
dan
miokard
• Penyekat β mengurangi risiko iskemia rekuren, ukuran infark, infark ulang, dan
aritmia ventrikel.
• Dosis biasa dari β-blocker, dengan target denyut jantung istirahat 50 sampai 60
denyut / menit:
menit
untuk total dosis awal 15 mg. Jika rejimen konservatif diinginkan, kurangi inisial
dosis sampai 1 sampai 2 mg. Ikuti dalam 1 sampai 2 jam dengan 25 sampai 50 mg
dengan 40 sampai 80 mgsecara oral setiap 6 sampai 8 jam. Jika sesuai, terapi IV awal
dapat dihilangkan.
IV, lalu
50 sampai 100 mg secara oral sekali sehari mulai 1 sampai 2 jam setelah dosis IV.
• Efek samping paling serius pada awal ACS termasuk hipotensi, gagal jantung akut,
bradikardia, dan blok jantung. Pemberian awal akut β-blocker tidak tepatuntuk pasien
yang mengalami gagal jantung akut tetapi dapat dicoba pada kebanyakan pasien
• Lanjutkan penyekat β selama minimal 3 tahun pada pasien dengan fungsi ventrikel
kiri normal dantanpa batas pada pasien dengan disfungsi sistolik LV dan LVEF 40%
atau kurang.
Statin
untuk semua pasien sebelum PCI (terlepas dari terapi penurun lipid sebelumnya)
Nitrat
miokard. DiSelain itu, vasodilatasi arteri dapat menurunkan tekanan darah, sehingga
• Segera setelah presentasi, berikan satu tablet SL NTG (0,4 mg) setiap5 menit hingga
• NTG intravena diindikasikan untuk pasien dengan ACS yang tidak terkontrol dan
memiliki iskemia persisten, gagal jantung, atau tekanan darah tinggi yang tidak
menghilangkan gejala atau membatasi efek samping (misalnya sakit kepala atau
• Nitrat oral memainkan peran terbatas dalam SKA karena uji klinis gagal
menunjukkan a
manfaat mortalitas untuk IV diikuti dengan terapi nitrat oral pada MI akut.
• Efek samping nitrat yang paling signifikan termasuk takikardia, kemerahan, sakit
kepala, dan hipotensi. Nitrat merupakan kontraindikasi pada pasien yang telah
jam sebelumnya
menghilangkan iskemik
gejala pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap β-blocker. Ada sedikit
manfaat klinis selain meredakan gejala, jadi hindari CCB dalam manajemen akut
semua ACSkecuali jika ada kebutuhan gejala yang jelas atau kontraindikasi terhadap
β-blocker.
• CCB yang menurunkan denyut jantung (diltiazem atau verapamil) lebih disukai
kecuali pasien
mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri, bradikardia, atau blok jantung. Dalam
kasus tersebut, amlodipine atau felodipine lebih disukai. Hindari nifedipine karena
✓ Diltiazem: 120 sampai 360 mg pelepasan berkelanjutan secara oral sekali sehari
✓ Verapamil: 180 hingga 480 mg pelepasan berkelanjutan secara oral sekali sehari
• Farmakoterapi awal untuk NSTE ACS serupa dengan untuk STE ACS.
• Jika tidak ada kontraindikasi, obati semua pasien di unit gawat darurat
• Pasien berisiko tinggi harus melanjutkan ke angiografi dini dan mungkin menerima
GP IIb /
Penghambat IIIa (opsional dengan UFH atau enoxaparin tetapi harus dihindari
dengan
bivalirudin).
Aspirin
• Aspirin mengurangi risiko kematian atau MI sekitar 50% dibandingkan tanpa terapi
anti platelet pada pasien dengan NSTE ACS. Dosis aspirin sama dengan STEACS,
Antikoagulan
• Untuk pasien yang dirawat dengan pendekatan invasif awal dengan angiografi
koroner dini
• Jika strategi konservatif awal direncanakan (tidak ada angiografi koroner atau
• Lanjutkan terapi setidaknya selama 48 jam untuk UFH, sampai pasien keluar dari
rumah sakit
rumah sakit (atau 8 hari, mana yang lebih pendek) untuk enoxaparin atau
fondaparinux,
dan hingga akhir PCI atau prosedur angiografi (atau hingga 72 jam setelah PCI)
untuk bivalirudin.
• Untuk NSTE ACS, dosis UFH adalah 60 U / kg IV bolus (maksimum 4000 unit),
P2Y12 Inhibitor
• Ketika strategi invasif awal dipilih, ada dua opsi awal untuk gandaterapi antiplatelet
1. Aspirin plus penggunaan awal clopidogrel atau ticagrelor (di unit gawat darurat)
2. Aspirin plus eptifibatide dosis bolus ganda ditambah infus eptifibatide atau
tirofiban bolus dosis tinggi plus infus yang diberikan pada saat PCI.
eptifibatide, atau larangan tirofi dosis tinggi) dapat ditambahkan, dan kemudian
• Untuk pasien yang menjalani PCI yang awalnya diobati dengan opsi 2, clopidogrel,
prasugrel, atauticagrelor dapat dimulai dalam 1 jam setelah PCI dan penghambat
P2Y12 dilanjutkan
dengan aspirin dosis rendah. Setelah PCI, lanjutkan terapi antiplatelet oral ganda
untuk di
setidaknya 12 bulan.
• Untuk pasien yang menerima strategi konservatif awal, baik clopidogrel atau
ticagrelor
setidaknya 12 bulan.
peningkatan iskemik
risiko pendarahan. Oleh karena itu, dua pilihan terapi awal antiplatelet dijelaskan
dalam
untuk
Nitrat
• Berikan SL NTG diikuti dengan IV NTG untuk pasien dengan NSTE ACS dan
sedang mengalami iskemia, gagal jantung, atau tekanan darah tinggi yang tidak
β-Blocker
• Jika tidak ada kontraindikasi, berikan β-blocker oral untuk semua pasien
denganNSTE ACS dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit. Manfaatnya
• Lanjutkan penyekat β tanpa batas waktu pada pasien dengan LVEF 40% atau
kurang dan setidaknya3 tahun pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal.
• Seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk STE ACS, CCB tidak boleh diberikan
I. Latar Belakang
Menurut World Heart Organisation atau WHO (2012) definisi stroke adalah
suatu kondisi penyakit yang disebabkan oleh terhentinya aliran darah yang mensuplai
otak secara tiba-tiba, baik karena adanya sumbatan maupun rupturnya pembuluh
darah. Kondisi ini menyebabkan jaringan otak yang tidak terkena aliran darah
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga sel otak mengalami kerusakan (Wijaya &
Putri, s2013). Setiap tahun, di Amerika Serikat sekitar 795.000 orang mengalami
stroke baru (stroke iskemik) dan berulang (stroke hemoragik). Sekitar 610.000
( 76,73 %) di antaranya adalah serangan pertama, dan 185.000 (23,27%) adalah
serangan berulang (hemoragik) (AHA, 2015).
Pudiastuti (2011) menyatakan stroke dibagi menjadi dua kategori yaitu stroke
hemoragik dan stroke iskemik atau stroke non hemoragik. Stroke hemoragik adalah
stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak dan merusaknya. Stroke non
hemoragik adalah suatu gangguan peredaran darah otak akibat tersumbatnya
pembuluh darah tanpa terjadi suatu perdarahan, hampir sebagian besar pasien atau
83% mengalami stroke non hemoragik (Wiwit, 2010). Stroke telah menjadi penyebab
kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia, yakni 14,5% Dengan
populasi sekitar 250 juta jiwa, berarti terdapat sekitar 3,6 juta penderita stroke di
Indonesia, stroke non hemoragik 2,8 juta jiwa (77,8%) dan sisanya adalah stroke
hemoragik (Pratama, 2016).
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka kejadian stroke
iskemik adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetik,
dan riwayat Transient Ischemic Attack sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan oral
kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia. Berdasarkan peneitian di rawat inap
Neurologi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou sebagian besar pasien stroke iskemik
memiliki hipertensi yaitu sebanyak 40 pasien (65,4%), prehipertensi sebanyak 13
pasien (23%), dan yang normal sebanyak 7 pasien (11,6%) (Kabi, et al, 2015).
Selama ini pemberian terapi standar untuk stroke dan rehabilitasi lebih
ditujukan untuk memperbaiki kemampuan fungsional penderita stroke yang
mengalami defisit neurologik dan dapat mengurangi kerugian akibat perawatan yang
terlalu lama. Pemberian obat penenang pada pasien cemas, seperti antidepresan,
antihistamin, benzodiazepin memiliki efek samping yaitu ketergantungan dan
gangguan saraf apabila diberikan dalam jangka waktu yang lama.
II. Rumusan Masalah
a. Apa itu Stroke Iskhemik ?
b. Apa saja etiologi dan patofisiologi dari Strok Iskhemik?
c. Bagaimana penatalaksanaan Stroke Iskhemik ?
III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Stroke Iskhemik
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Stroke Iskhemik
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Stroke Iskhemik
IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca
makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan dapat dihindari adalah:
Darah tinggi
Diabetes
Penyakit jantung (atrial fibrilasi, penyakit katup jantung, gagal jantung,
pembesaran atrium dan ventrikel, dan sebagainya)
Hiperkolesterolemia
Transient ischemic attack
Stenosis arteri karotid
Obesitas
Penggunaan kontrasepsi oral atau terapi hormon post-menopause
gaya hidup: konsumsi alkohol berlebih, merokok, gaya hidup tidak aktif, dan
sebagainya, dan lain-lain
2.3 Patofisiologi
Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (thrombus, emboli,
perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia karena
gangguan paru dan jantung). Arterosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting
trhadap otak. Thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan oedema dan
nekrosis diikuti thrombosis dan hypertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral
yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan
penyakit cerebrovaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang
cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat revensibel untuk jangka
waktu 4-6 menit. Perubahan irreversible dapat anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebtal dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi, salah satunya cardiac
arrest.
2.4 Klasifikasi Stroke
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah arteri ke otak tersumbat. Arteri
bertanggung jawab untuk mengalirkan darah segar dari jantung dan paru-paru
yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak. Jika arteri diblokir, sel-sel otak
(neuron) tidak dapat membuat energi yang cukup dan akhirnya akan berhenti
bekerja. Jika arteri tetap diblokir selama lebih dari beberapa menit, sel-sel otak
bisa mati (Anonim, 2015).
Stroke iskemik dibagi menjadi :
a. Trombosis
Ketika berusia muda, seseorang memiliki arteri yang luas dan fleksibel, namun
seiring bertambahnya usia dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur.
Sebuah kondisi yang disebut aterosklerosis kemudian dapat berkembang dimana
menggambarkan pengerasan dan penebalan arteri besar dalam tubuh akibat
deposito lemak, atau patch yang disebut 'ateroma' pada dinding bagian dalam
arteri. Mereka dapat menjadi lebih tebal dan menyebabkan penyempitan dan
mengurangi aliran darah yang melewati pembuluh darah tersebut sehingga
akhirnya terjadi penyumbatan. (Stroke Association, 2012).
b. Emboli
Emboli pada umumnya disebabkan oleh bekuan darah yang terbentuk dilokasi
lain dalam sistem peredaran darah seperti jantung dan arteri besar dada bagian atas
dan leher. Kondisi jantung dan kelainan darah seperti denyut jantung yang tidak
teratur atau Fibrilasi Atrium dapat menyebabkan penumpukkan darah dijantung
dan meningkatkan resiko pembentukan gumpalan darah dibilik jantung. Sebagian
bekuan darah tersebut lepas dan berjalan memasuki pembuluh darah otak hingga
mencapai pembuluh darah otak kecil dan menyebabkan penghambatan aliran
darah (National Institute of Health, 2016).
c. Aterosklerosis
Salah satu penyakit yang paling umum yang mempengaruhi arteri adalah
aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh adanya endapan plak lemak pada dinding
arteri. Sementara pembentukan lesi aterosklerosis dapat mempengaruhi arteri
terutama arteri koroner jantung yang paling sering terkena. Manifestasi
aterosklerosis ialah terjadi iskemia karena berkurangnya aliran darah, aneurisma
atau perdarahan akibat mengecilnya dinding pembuluh darah dan adanya plak
aterosklerotik sehingga membentuk emboli yang dapat berjalan jauh ke seluruh
pembuluh (Martin M.Z, 2003).
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan subarachnoid (SAH),
perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. SAH mungkin akibat dari
trauma atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation intrakranial
(AVM). Perdarahan intraserebral terjadi bila pembuluh darah pecahdi dalam otak
menyebabkan hematoma. hematoma subdural biasanya disebabkan oleh trauma.
Darah di kerusakan parenkim otak jaringan di sekitarnya melalui massa efek dan
neurotoksisitas komponen darah dan produk degradasi mereka (Dipiro, 2015).
a. Pendarahan Intraserebral
Pendarahan intraserebral (ICH) hasil dari pecahnya pembuluh intraserebral
mengarah ke pengembangan dari hematoma dalam substansi otak (Acharya,
2011). Pendarahan intraserebral adalah jenis pendarahan yang sangat sering
dikaitkan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol. Sekitar 30% pendarahan
intraserebral akan terus membesar selama 24 jam pertama, paling sering dalam
waktu 4 jam, dan lokasi dan volume gumpalan adalah indikator yang paling
penting. Sebagian besar kematian dini stroke hemoragik disebabkan oleh
peningkatan mendadak tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi
dan kematian. Ada juga bukti untuk mendukung bahwa edema memperburuk
kondisi pasien setelah perdarahan intraserebral. (Fagan, 2008).
b. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan subarachnoid merupakan tanda-tanda disfungsi neurologis
yang cepat berkembang dengan tanda sakit kepala karena perdarahan ruang
subarachnoid (ruang antara membran arachnoid dan pia mater dari otak atau
sumsum tulang belakang). Dampak dari (SAH) adalah terjadinya cedera
permanen pada (SSP) sistem saraf pusat (Sacco et al., 2013). Jenis perdarahan
sangat sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan
efek samping terapi antitrombotik atau trombolitik (Silva et al., 2011)
c. Hematoma subdural
Hematoma subdural mengacu pada penumpukan darah di bawah dura
(bagian yang menutupi otak), dan disebabkan paling sering oleh trauma. Stroke
hemoragik secara signifikan lebih mematikan dibanding stroke iskemik, dengan
30 hari kasus kematian yang dua sampai enam kali lebih tinggi (Dipiro, 2012).
2.6 Diagnosa
Tes laboratorium untuk keadaan hiperkoagulasi harus dilakukan hanya ketika
penyebabnya tidak dapat ditentukan berdasarkan adanya faktor risiko. Protein
C, protein S, dan antitrombin III paling baik diukur pada kondisi mapan
daripada pada tahap akut. Antibodi antifosfolipid adalah hasil yang lebih tinggi
tetapi harus disediakan untuk pasien yang lebih muda dari 50 tahun dan mereka
yang memiliki beberapa kejadian trombotik vena atau arteri atau livedo
reticularis.
Pemindaian tomografi terkomputasi (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) dapat mengungkapkan area perdarahan dan infark.
Carotid Doppler (CD), electrocardiogram (ECG), transthoracic echocardiogram
(TTE), dan studi transcranial Doppler (TCD) masing-masing dapat memberikan
informasi diagnostik yang berharga.
2.7 Penatalaksanaan
a. Terapi Non-Farmakologi
Stroke iskemik akut
Trombektomi endovaskular dengan stent retriever (dilakukan dalam 6 jam
onset gejala dan setelah IV tPA) meningkatkan hasil pada pasien tertentu
dengan arteri besar proksimal dalam 48 jam onset stroke pada pasien kurang
dari usia 60) kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial. Pendekatan tim interprofesional yang mendorong rehabilitasi dini
dapat mengurangi kecacatan jangka panjang. Dalam pencegahan sekunder,
endarterektomi karotid dan stenting mungkin efektif dalam mengurangi
kejadian stroke dan kekambuhan pada pasien yang tepat. cclusion dan geable
ssue pada pencitraan. dekompresi mendesak (dilakukan
Stroke hemoragik
Pada SAH akibat ruptur aneurisma intrakranial atau malformasi arteri,
intervensi bedah untuk memotong atau mengaburkan kelainan vaskular
mengurangi mortalitasdari rebleeding. Setelah perdarahan intraserebral primer,
evakuasi bedah mungkin bermanfaat dalam beberapa situasi, tetapi ini masih
dalam penyelidikan. Penyisipan drainase ventrikel eksternal dengan
pemantauan tekanan intrakranial umumnya dilakukan pada pasien ini.
b. Terapi Farmakologi
Rekomendasi berbasis bukti untuk farmakoterapi stroke iskemik diberikan
pada Tabel ,
- Alteplase (t-PA, aktivator plasminogen jaringan) yang dimulai dalam
waktu 4,5 jam setelah onset gejala mengurangi kecacatan dari stroke
iskemik. Ketaatan pada protokol ketat sangat penting untuk mencapai hasil
positif: (1) mengaktifkan tim stroke; (2) obati sedini mungkin dalam waktu
4,5 jam setelah onset; (3) dapatkan CT scan untuk menyingkirkan
perdarahan; (4) memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada
pengecualian (Tabel 13–2); (5) berikan alteplase 0,9 mg / kg (maksimum
90 mg) infus IV selama 1 jam, dengan 10% diberikan sebagai bolus awal
selama 1 menit; (6) hindari terapi antikoagulan dan antiplatelet selama 24
jam; dan (7) memantau pasien dengan cermat untuk peningkatan TD,
respons, dan perdarahan. Aspirin 160 hingga 325 mg / hari dimulai antara
24 dan 48 jam setelah selesainya alteplase juga mengurangi kematian dan
kecacatan jangka panjang.
- Pencegahan sekunder stroke iskemik: O / Gunakan terapi antiplatelet pada
stroke non-kardioembolik. Aspirin, clopidogrel, dan dipyridamole plus-
rilis yang diperpanjang semuanya adalah agen lini pertama (lihat Tabel 13-
1). Batasi kombinasi clopidogrel dan ASA untuk memilih pasien dengan
riwayat MI baru-baru ini atau stenosis intrakranial dan hanya dengan ASA
dosis ultra rendah untuk meminimalkan risiko perdarahan. Ov Untuk
pasien dengan fibrilasi atrium dan sumber emboli jantung yang diduga,
antikoagulasi oral dengan antagonis vitamin K (warfarin), apixaban,
dabigatran, atau rivaroxaban direkomendasikan.
- Pengobatan peningkatan TD setelah stroke iskemik mengurangi risiko
kekambuhan stroke. Pedoman pengobatan merekomendasikan
pengurangan BP lebih besar dari 140/90 mm Hg pada pasien dengan stroke
atau TIA setelah periode akut (7 hari pertama).
- Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan penyakit
arteri koroner dan peningkatan lipid plasma. Pasien yang mengalami
stroke iskemik yang diduga berasal dari aterosklerotik yang memiliki
kolesterol low-density lipoprotein (LDL) di atas 100 mg / dL harus diobati
dengan terapi statin intensitas tinggi untuk pencegahan stroke sekunder.
- Heparin berat molekul rendah atau heparin tak terfraksi subkutan dosis
rendah (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan untuk pencegahan
trombosis vena dalam pada pasien rawat inap dengan mobilitas menurun
akibat stroke dan harus digunakan pada semua kecuali stroke yang paling
kecil.
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Hiperlipidemia merupakan abnormal metabolisme lipid yang ditandai
adanya tingginya kadar lipid (Kolesterol total, LDL, Trigliserida) ataupun
penurunan kadar lipid (HDL) dalam darah. Hiperlipidemia merupakan salah
satu penyebab penyakit jantung koroner (PJK) (Arsana dkk, 2015). Penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan kelainan pada jantung yang di sebabkan oleh
aterosklerosis, dimana terjadinya akumulasi lipid pada dinding pembuluh darah
(Webster dkk, 2010). Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab
kematian pertama di negara maju ataupun berkembang. Negara berkembang,
salah satu faktor penyebab berbagai penyakit yang berhubungan dengan
kolesterol yaitu perubahan pola makanan dimana masyarakat terbiasa
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan rendahnya konsumsi makanan
mengandung serat, merokok dan kurangnya aktivitas fisik (Arianti dan
Swastini, 2010).
Lipid merupakan senyawa yang memiliki peranan penting dalam struktur
dan fungsi sel. Lipid plasma yang utama terdiri atas kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak bebas. Lipid yang bersifat hidrofobik ini dalam
sirkulasi berada dalam bentuk kompleks lipid – protein atau lipoprotein.
Lipoprotein plasma terdiri atas : Kilomikron,Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), LDL, dan High Density Lipoprotein (HDL). Komposisi dan fungsi
dari tiap lipoprotein ini berbeda-beda (Guyton & Hall, 2008).
Menurut Badan Kesehatan Dunia, 60% dari seluruh penyebab kematian
akibat penyakit jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK) (Delima et al,
2009). Pada penelitian Multinational Monitoring of
Trends Determinants in Cardiovascular Disease(MONICA) I di Indonesia
menunjukkan angka kejadian hiperlipidemia sebesar 13,4% untuk wanita dan
11,4% untuk pria. Pada MONICA II (1994) meningkat menjadi 16,2% untuk
wanita dan 14% untuk pria (Anwar, 2004). Angka kematian penyakit
kardiovaskular di Indonesia cenderung meningkat terlihat dari hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 angka kematian penyakit
kardiovaskular hanya sebesar 2,8%, mengalami peningkatan menjadi 3% pada
SKRT 1995. Hasil Sensus Kesehatan Masyarakat tahun 2001 menunjukkan
bahwa kematian karena penyakit kardiovaskular adalah sebesar 14,9% (Depkes
RI, 2006).
Selama ini, pilihan terapi yang sering digunakan adalah obat-obatan
golongan statin, antara lain atorvastatin, fluvastatin, lovastatin, dan sebagainya.
Akan tetapi, penggunaan obat-obatan tersebut sering menimbulkan efek
samping yaitu rhabdomiolisis, pada penggunaan jangka panjang juga dapat
terjadi gangguan hati dan ginjal, serta neuropati perifer (Sullivan, 2007)
III. Tujuan
a. Mengetahui definisi dari Angina Pectoris
b. Mengetahui etiologi dan patofisiologi dari Angina Pectoris
c. Mengetahui pentalaksanaan dari Angina Pectoris
IV. Manfaat
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis dan
pembaca makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tipe I
Hiperlipidemia tipe I memperlihatkan hiperkilomikronemia pada waktu puasa
bahkan dengan diet lemak normal dan biasanya disebabkan oleh kekurang
lipoprotein lipase yang dibutuhkan untuk metabolisme kilomikron dan
defisiensi apoprotein CII. Hiperlipidemia tipe I akan muncul sebelm pasien
berumur 10 tahun dengan gejala seperti kolik, nyeri perut berulang, xantoma,
dan hepatosplenomegali. Pada orang dewasa gejala nyeri yang mirip dengan
akut abdomen sering disertai dengan demam, leukositosis, anoreksia, dan
muntah. Komplikasi dari hiperlipidemia tipe I adalah pendarahan akibat
pankreatitis akut, akan tetapi tipe Iini tidak terkait dengan aterosklerosis
jantung prematur..
2. Tipe 2
Terjadi peningkatan LDL dan apoprotein B dengan VLDL kadar normal (tipe
IIa) dan kadar VLDL sedikit meningkat (tipe Iib). Ada individu homozigot
gejala timbul sejak masa anak-anak, sedangkan individu heterozigot gejala
kliniknya tidak muncul sebelum umur 20 tahun. Kelainan homozigot dan
heterozigot mudah didiagnosa pada anak dengan mengukur kadar kolesterol
LDL. Pada tipe II terjadi hiperlipidemia diduga disebabkan karena penurunan
jumlah reseptor LDL berafinitas tinggi. Pasien homozigot akan terjadi
penyakit iskemia jantung sebelum umur 20 tahun, sedangkan pria yang
heterozigot juga akan terjadi dengan persentase kejadian 60% (terjadi di usia
50 tahun), jadi diagnosa dini sangat penting.
3. Tipe III
Dikenal dengan familia disbetalpoproteinemia, ditandai dengan tingginya
kadar kilomikron dan IDL. Pada tipe ini akan terjadi penimbunan IDL yang
disebabkan oleh blokade parsial dalam metabolisme VLDL menjadi LDL,
peningkatan produksi apoprotein B atau apoprotein E total. Pada pasien
dengan tipe III ini ambilan sisa VLDL dan sisa kilomikron oleh hati dihambat
sehingga terjadi akumulasi di darah dan jaringan. Pada kelainan ini kadar
kolesterol serum dan trigliserida meningkat (350-800 mg/dL), dan gejala klini
baru akan muncul pada masa dewasa muda berupa xantoma pada telapak
tangan dan kaki, dan kelainan tuberoeruptif di siku, lutut, atau bokong.
Penyakit kororner, kardiovaskuler, dan pembuluh dararh tepi terjadi lebih
cepat yaitu pada usia 40-50 tahun, dan intoleransi glukosa dapat terjadi.
4. Tipe IV
Hiperlipidemia tipe IV terjadi peningkatan kadar VLDL dengan
hipertrigliseridemia, dan merupakan penyakit terbanyak di jumpai di negara
barat. Gejala klinik akan timbul pada usia pertengahan, separuh dari pasien ini
terjadi peningkatan kadar trigliserida pada umur 25 tahun, gejala klinik
xantoma biasanya tidak terjadi. Mekanisme kelainan ini belum diketahui akan
tetapi penyebab penyakit ini biasanya karena penyakit lain, seperti
alkoholisme berat, diet kaya karbohidrat, dan biasanya pasien obesitas.
Penyakit iskemia jantung dapat terjadi namun jarang terjadi (lebih jarang dari
tipe II), biasanya terjadi pada usia 40 tahunan, dan pasien menunjukkan
intoleransi glukosa.
5. Tipe V
Hiperlipidemia tipe V memperlihatkan terjadinya akumulasi VLDL dan
kilomikron, mungkin disebabkan karena gangguan katabolisme trigliserida
endogen dan eksogen. Karena semua lipoprotein mengandung kolesterol
sehingga pada kadar kolesterol dapat meningkat jika kadar trigliserida terlalu
tinggi. Pasien dengan tipe ini menunjukkan intoleransi terhadap karbohidrat
dan lemak.
2.3 Etiologi
1. Etiologi
a. Hiperlipidemia Primer
Adalah hiperlipidemia akibat kelainan genetik. Disebabkan oleh
hiperkolesterolemia poligenik dan kombinasi familial. Dislipidemia berat
umumnya karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemiaremnan, dan
hipertrigliseridemia primer (Perkeni, 2019).
b. Hiperlipidemia sekunder
Terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme,
sindromanefrotik, diabetes melitus, dan sindromametabolik (tabel3).
Pengelolaan penyakit primer akan memperbaiki hiperlipidemia yang ada.
Dalam hal ini pengobatan penyakit primer yang diutamakan.
Tabel 3. Penyebab hiperlipidemia sekunder (Perkeni, 2019).
Kelainan
Kondisi Penyakit
Lipid
Peningkatan Hipotiroid
K-Total Sindroma nefrotik
dan LDL Disgammaglobulinemia (Lupus, multiple myeloma)
Progestin atau terapi steroid anabolic
Sirosis hati
Terapi inhibitor proatease (infeksi HIV)
Penurunan TG GGK
dan VLDL
DM tipe 2
Konsumsi alkohol tinggi
Obesitas
Obat antihipertensi (Thiazid dan BB)
Terapi Kortikosteroid
Kontrasepsi oral, estrogen atau kondisi hamil
Terapi inhibitor proatease (infeksi HIV)
2.4 Patofisiologi
2.8 Komplikasi
1. Penyakit jantung
2. Stroke
2.9 Penalataksaan
1. Non Farmakologi
Ada beberapa pola perubahan gaya hidup yang diterapkan untuk
mengendalikan kadar kolesterol dan trigliserida, diantaranya (Arsana dkk,
2015):
a. Aktivitas fisik
Aktifitas fisik yang disarankan meliputi program latihan yang
mencakup setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang
(menurunkan 4-7kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu, dengan pengeluaran
minimal 200 kkal/hari. Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat,
bersepeda statis, ataupun berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat
dipenuhi dalam satu sesi atau beberapa sesi sepanjang rangkaian dalam sehari
(minimal 10 menit). Bagi beberapa pasien, beristirahat selama beberapa saat
di sela-sela aktivitas dapat meningkatkan kepatuhan terhadap program
aktivitas fisik. Selain aerobik, aktivitas penguatan otot dianjurkan dilakukan
minimal 2 hari seminggu (Arsana dkk, 2015).
b. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko kuat, terutama untuk penyakit
jantung koroner, penyakit vaskular perifer, dan stroke. Merokok mempercepat
pembentukan plak pada koroner dan dapat menyebabkan ruptur plak sehingga
sangat berbahaya bagi orang dengan aterosklerosis koroner yang luas.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa merokok memiliki efek negatif yang
besar pada kadar K-HDL dan rasio K-LDL/K-HDL. Berhenti merokok
minimal dalam 30 hari dapat meningkatkan K-HDL secara signifikan (Arsana
dkk, 2015).
c. Diet
Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet
asam lemak tidak jenuh seperti MUFA dan PUFA karena faktor diet yang
paling berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol LDL adalah
asam lemak jenuh. Kebiasaan mengonsumsi ikan (mengandung PUFA
omega-3) berhubungan dengan reduksi risiko kardiovaskular independen
terhadap efek pada lipid plasma (Erwinanto dkk, 2013). Bagi orang dewasa,
disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah kalori yang terdiri dari
buah-buahan dan sayuran (≥5 porsi / hari), biji-bijian (≥6 porsi / hari), ikan,
dan daging tanpa lemak. Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol
harus dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus
mencakup tanaman stanol/sterol (2 g/hari) dan serat larut air (10-25 g/hari)
(Arsana dkk, 2015).
d. Penurunan berat badan
Indeks Masa Tubuh (IMT) dan lingkar pinggang dipakai sebagai
ukuran untuk menilai obesitas umum dan obesitas abdominal. Baik obesitas
umum maupun obesitas abdominal berhubungan dengan risiko kematian.
Konsep obesitas terutama dihubungkan dengan konsep sindrom metabolik.
Untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan hendaknya diusahakan
untuk mengurangi 10% berat badan. Walaupun ukuran antropometri lain
seperti lingkar pinggang atau rasio pinggul terhadap pinggang dapat
menambah informasi, IMT sendiri adalah prediktor kuat untuk mortalitas
secara keseluruhan. Lingkar pinggang normal untuk Asia adalah <90 cm
untuk pria dan <80 cm untuk wanita. Bertambahnya mortalitas secara
progresif akibat peningkatan IMT terutama berhubungan dengan mortalitas
penyakit vaskular. Kesepakatan klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) untuk
populasi Asia dapat dilihat pada tabel berikut (Erwinanto dkk, 2013).
2. Farmakologi
Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk hiperlipidemia baik pada
ATP III maupun ESC/EAS 2016, AACE/ACE 2017 serta ACC/AHA 2018
adalah untuk menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Pilihan
terapi farmakologi dapat dilihat pada table 6 :
Tabel 6. Terapi farmakologi hiperlipidemia (ATP II NCEP, 2001;
Perkeni, 2019)
Golongan Efek terhadap Lipid Efek Samping Kontra Indikasi
Obat
Statin LDL ↓ 18-55% Miopati. Absolut: penyakit
HDL ↑ 5-15% hati akut atau
TG ↓ 7-30% kronik.
Relatif:
penggunaan
bersama obat
tertentu
Resin asam LDL ↓ 15-30% Gangguan Absolut: tipe III
empedu HDL ↑ 3-5% pencernaan. TG >400 mg/dl.
Relatif: TG >200
mg/dl.
Asam LDL ↓ 5-25% Flushing, gout, Absolut: penyakit
nikotinat HDL ↑ 15-35% hiperglikemia, hati kronik, gout
TG ↓ 20-50% gangguan berat.
pencernaan, Relatif: diabetes,
hepatoksisitas. hiperurisemia,
ulkus peptikum.
Fibrat LDL ↓ 5-20% Dispepsia, batu Absolut: GGK
HDL ↑ 10-20% empedu, miopati. dan liver.
TG ↓ 20-50%
Ezetimibe LDL ↓ 10-18% Pada umumnya Penyakit hati
Apo B↓ 11-16% dapat ditoleransi
oleh pasien
Inhibitor LDL ↓ 48-71% Faringitis, Belum ada data
PCK9 non-HDL↓49-58% influenza, ISK, penggunaan obat
K-tot ↓36-42%, diare, ini untuk jangka
Apo B ↓42-55% bronkitis,mialgia, panjang (>3
gatal-gatal pada tahun)
daerah suntikan
Asam lemak TG ↓ 27-45% Peningkatan Terapi anti-
omega-3 non-HDL↓8-14% LDL, koagulan,
K-tot ↓7-10%, pemanjangan gangguan pungsi
Apo B ↓4% waktu hati
VLDL ↓ 20-42% pendarahan,
peningkatan
enzim hati,
gangguan saluran
cerna.
1. Statin
Mekanisme kerja Statin adalah mengurangi pembentukan kolesterol di
hati dengan menghambat secara kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA
reduktase. Pengurangan konsentrasi kolesterol intraseluler meningkatkan
ekspresi reseptor LDL pada permukaan hepatosit yang berakibat
meningkatnya pengeluaran K-LDL dari darah dan penurunan konsentrasi dari
K-LDL dan lipoprotein apo-B lainnya termasuk trigliserid. Golongan statin
pada umumnya diminum sekali sehari pada waktu malam hari. Sediaan statin
yang saat ini tersedia dipasaran adalah: simvastatin 5-80 mg, atorvastatin 10-
80 mg, rosuvastatin 5-40 mg, pravastatin 10-80 mg, fluvastatin 20-40 mg (80
mg extended release), lovastatin 10-40 mg (10-60 mg extended release) dan
pitavastatin 1-4 mg.
5. Ezetimibe
Obat golongan ezetimibe ini bekerja dengan menghambat absorbsi
kolesterol oleh usus halus. Kemampuannya moderate didalam menurunkan
kolesterol LDL (15-25%). Pertimbangan penggunaan ezetimibe adalah untuk
menurunkan kadar LDL, terutama pada pasien yang tidak tahan terhadap
pemberian statin. Pertimbangan lainnya adalah penggunaannya sebagai
kombinasi dengan statin untuk mencapai penurunan kadar LDL yang lebih
banyak.
6. Inhibitor PCSK9
Obat ini adalah golongan obat baru yang disetujui penggunaannya oleh
FDA pada tahun 2015 dengan target utama menurunkan K-LDL. Merupakan
antibodi monoklonal yang berfungsi untuk menginaktivasi Proprotein
Convertase Subtilsin-kexin Type 9 (PCSK9). PCSK9 sendiri berperan dalam
proses degradasi dari reseptor LDL (LDLR), sehingga bila dihambat maka
akan meningkatkan ekspresi dari LDLR pada hepatosit yang pada akhirnya
menurunkan kadar K-LDL. Obat golongan ini diberika nmelalui suntikan
secara subkutan. Terdapat dua jenis obat inhibitor PCSK9 yang sudah
dipasarkan yaitu alirocumab dengan dosis 75 mg setiap dua minggu sekali atau
300 mg setiap 4 minggu sekali dan evolocumab dengan dosis 140 mg setiap 2
minggu sekali atau 420 mg sekali sebulan.
8. Golonganobat terbaru.
Beberapa jenis obat baru saat ini sudah mulai diperkenalkan sebagai
salah satu modalitas terapi dislipidemia, diantaranya masih ada yang
sementara dalam tahap penelitian. Golongan obat tersebut diantaranya:
inhibitor microsomal transfer protein (MTP), thyroid hormone mimetic, apo B
antisense oligonucleotide (mipomersen) dan LDL apheresis.
DAFTAR PUSTAKA
Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : Penerbit Buku EGC.
2009
Chobanian, A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, Jr,
J.L., Jones, DW., Materason Bj, Oparil S, Wrightr JT, Rocella EJ. . 2003.
The National High Blood Pressure Education Program Coordinating
Committe., seventh report of The Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure.JNC 7-complete version.Hypertension. 42: 1206-1252.
Darmojo, B. 2001. Mengamati perjalanan epidemiologi hipertensi di Indonesia.
Jakarta: Medika. 7: 442448.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Sumatera Barat. Tahun
2016. Padang: DKK Prov Sumbar; 2017
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Sumatera Barat. Tahun
2014. Padang; 2015
Dipiro C.V.,2015. Pharmacotherapy Handbook 9th edition, McGraw-Hill Companies,
USA.
Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1.Edisi 10.Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi.Edisi 10. Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi
Pertama. Jakarta : PERKI