Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

.1 Tuberkulosis Paru
2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau diberbagai organ tubuh yang lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga
mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrane selnya
sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini
tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi
pada malam hari. (Rab, 2013)
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit tuberkulosis ini
biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian
tubuh termasuk meningeal, ginjal, tulang, kelenjar limfe. (Kemenkes RI,
2014)

.1.2 Etiologi
Tuberkulosis atau yang lebih dikenal dengan singkatan TBC adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis, biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru).
Mycobacteria ini termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk
dalam ordo Actinomycetes. Mycobacterium tuberculosis ini meliputi M.
tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari

7
8

beberapa jenis bakteri tersebut, M. Tuberculosis merupakan paling sering


dijumpai. Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi juga
mengenai organ tubuh lainnya (Permenkes RI, 2016)

Gambar 2.1 Bakteri Mycobacterium Tuberculosis

Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara


lain: (Permenkes RI, 2016)
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini
diakibatkan karena masih kurangnya komitmen pelaksana
pelayanan, pengambil kebijakan, dan pendanaan untuk
operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang
belum menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman
nasional dan ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku,
paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan,
tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor
dalam penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB
khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan,
9

pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat seperti pondok


pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik
dalam penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan
pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh
terhadap risiko terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk,
diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan
penurunan daya tahan tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang
akan meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan,
sandang dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada
tingginya risiko masyarakat terjangkit TB

.1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
penanggulangan TB telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun
1995. Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan
9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah
perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus
adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV
positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah
perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian
190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB
Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun. (Permenkes,
2016)
10

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun


2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per
100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per
100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif
(25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification
Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000
penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya
314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV
diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO
diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB- RO
dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan
pengobatan ulang. (Permenkes, 2016)
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika
dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun
1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 menjadi
647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s untuk TB di
Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang sudah
tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi supaya
Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan
datang. (Permenkes, 2016)

2.1.4 Faktor Risiko


Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan
risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
(Kemenkes, 2014 dan Depkes, 2011)
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
11

Tuberculosis (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB


selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. Berarti sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. (Kemenkes, 2014 dan Depkes,
2011)
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Maka diantara 100.000
penduduk rata-rata menjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100
orang) akan menjadi sakit TB (BTA positif) setiap tahun. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi.
(Kemenkes, 2014 dan Depkes, 2011)
Beberapa faktor resiko yang menyebabkan tuberkulosis paru: Teori
John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan
lingkungan (environment). (Kemenkes, 2014 dan Depkes, 2011)

2.1.5 Cara Penularan


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman tuberkulosis. Sumber penularan adalah pasien TB BTA
positif. Pasien ini disebut BTA positif bila pada tiga kali pemeriksaan
sputum dengan pewarnaan asam, menghasilkan sedikitnya dua sediaan
yang terlihat BTAnya. (Kemenkes, 2014 dan Depkes, 2011)
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Jumlah nuclei dapat
mencapai 3000 buah tiap kali batuk, dengan jumlah basil dapat mencapai
100.000 kuman/ml sputum. Droplet yang besar segera jatuh ke tanah,
basil yang ada dapat berpindah ke debu rumah, tetapi secara umum tidak
dianggap sebagai sumber penularan. Droplet berukuran medium bila
12

diinhalasi akan terjebak dalam saluran pernafasan atas, dan akan


dibersihkan tanpa menyebabkan infeksi. Droplet kecil dengan diameter
kurang dari 25 mikron, langsung menguap, meninggalkan intinya yang
disebut droplet nucleus yang berisi basil. Droplet nucleus yang berukuran
1-5 mikron ini bila diinhalasi akan melewati atau menembus system
mukosilier saluran nafas, sehingga dapat mencapai dan bersarang
dibronkiolus dan alveolus, dimana satu organisme saja dapat
menyebabkan infeksi. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. (Kemenkes, 2014 dan Depkes, 2011).

.1.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis TB paru semua suspek diperiksa 3 spesimen
dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis
TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis
TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja, foto toraks tidak
selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu
menunjukkan aktivitas penyakit (Permenkes RI, 2016)
Dewasa ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan
diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah
terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis karena tingginya
prevalensi TB, suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa
13

yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium tuberculosis.


Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat menunjukkan hasil yang negatif
meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita
HIV/AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan morbili (Zulkoni A, 2010)
Berikut ini merupakan bagan alur diagnosis TB paru (Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2013) yaitu :

Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru


14

.1.7 Penatalaksanaan Kasus TB Dewasa


Definisi kasus TB orang dewasa yang dimaksud disini adalah kasus TB
yang belum ada resistensi OAT (Permenkes RI, 2016)
Pengobatan TB
a. Tujuan Pengobatan TB adalah:
1. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta
kualitas hidup.
2. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
3. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
4. Menurunkan risiko penularan TB.
5. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

b. Prinsip Pengobatan TB:


Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang
adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam
dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan
yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.
(Permenkes RI, 2016)
15

c. Tahapan Pengobatan TB:


Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud:
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh
dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada
umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan
(Permenkes RI, 2016)

d. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Tabel 2.1 OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan saraf tepi),
(H) psikosis toksik, gangguan fungsi hati,
kejang.
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome(gejala influenza berat),
(R) gangguan gastrointestinal, urine berwarna
merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
16

Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan


(Z) fungsi hati, gout arthritis.
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
(S) keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
(E) neuritis perifer (Gangguan saraf tepi).

Tabel 2.2 Pengelompokan OAT Lini Kedua


Grou Golongan Jenis Obat
p
A Florokuinolon  Levofloksasin (Lfx)
 Moksifloksasin (Mfx)
 Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik lini  Kanamisin (Km)
kedua  Amikasin (Am)*
 Kapreomisin (Cm)
 Streptomisin (S)**
C OAT oral lini  Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*
Kedua  Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
 Clofazimin (Cfz)
 Linezolid (Lzd)
D D1 OAT lini  Pirazinamid (Z)
pertama  Etambutol (E)
 Isoniazid (H) dosis tinggi
D2 OAT baru  Bedaquiline (Bdq)
 Delamanid (Dlm)*
 Pretonamid (PA-824)*
D3 OAT  Asam para
tambahan aminosalisilat (PAS)
 Imipenem-silastatin
(Ipm)*
 Meropenem(Mpm)*
 Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
17

 Thioasetazon (T)*

e. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya


Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di
Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis
intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis
terapi yang telah direkomendasikan (Permenkes RI, 2016) :
Tabel 2.3 Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa
Obat Dosis Rekomendasi
Harian 3 kali per minggu
Dosis (mg/ Maksimum Dosis (mg/ Maksimum
kgBB) (mg) kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600


(R)
Pirazinamid 25 (20-30) 35 (30-40)
(Z)
Etambutol 15 (15-20) 30 (25-35)
(E)
Streptomisi 15 (12-18) 15 (12-18)
n (S)*

1) Kategori-1:
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))
Tabel 2.4 Dosis Harian Kategori 1
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari Setiap hari
Berat Badan
Selama 56 hari Selama 16
minggu
30-37kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet
18

38-54kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet


55-70kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet
≥ 71 Kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet

b. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan


(2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)
Tahap Intensif Tahap
Setiap hari Lanjutan 3 kali
RHZE seminggu RH
Berat Badan
(150/75/400/275) (150/150)
Selama 56 hari Selama 16
minggu
30-37kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT
38-54kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT
55-70kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT
≥ 71 Kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

2) Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
1. Pasien kambuh.
2. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya.
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up).
A. Dosis harian{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Tabel 2.6 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Berat Tahap Intensif setiap hari Tahap Lanjutan
Badan RHZE (150/75/400/275) + S setiap hari RHE
19

(150/75/275)
Selama 56 Selama 28 Selama 20 minggu
Hari Hari
30-37Kg 2 tab 4KDT + 2 Tablet 2 Tablet
500 mg 4KDT
Streptomisin
Inj
38-54kg 3 tab 4KDT + 3 Tablet 3 Tablet
750 mg 4KDT
Streptomisin
Inj
55-70kg 4 tab 4KDT + 4 Tablet 4 Tablet
1000 mg 4KDT
Streptomisin
Inj
≥ 71 Kg 5 tab 4KDT + 5 Tablet 5 Tablet
1000 mg 4KDT
Streptomisin
Inj

B. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan


{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}
Tabel 2.7 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}
Berat Tahap Intensif setiap hari Tahap Lanjutan 3
Badan RHZE (150/75/400/275) + S kali seminggu RH
(150/150) + E (400)
Selama 56 Selama 28 Selama 20 minggu
Hari Hari
30-37Kg 2 tab 4KDT + 2 Tablet 2 Tablet KDT + 2 tab
500 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin
Inj
20

38-54kg 3 tab 4KDT + 3 Tablet 3 Tablet + 3 tab


750 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin
Inj
55-70kg 4 tab 4KDT + 4 Tablet 4 Tablet + 4 tab
1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin
Inj
≥ 71 Kg 5 tab 4KDT + 5 Tablet 5 Tablet + 5 tab
1000 mg 4KDT Etambutol
Streptomisin
Inj

.1.8 Penanggulangan TB di Indonesia


Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi:
(Permenkes RI, 2016)
a. perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
b. menggunakan pedoman standar nasional sebagai kerangka
dasar dan memperhatikan kebijakan global untuk
PenanggulanganTB.
c. Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB
dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) yang meliputi Puskesmas, Klinik, dan Dokter
Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL) yang meliputi: Rumah Sakit Pemerintah, non
pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP),Balai
21

Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM).


d. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB
disediakan oleh pemerintah dan diberikan secara cuma- cuma.
e. Keberpihakan kepada masyarakat dan pasien TB. Pasien TB
tidakdipisahkan dari keluarga, masyarakat dan
pekerjaannya. Pasien memiliki hak dan kewajiban
sebagaimana individu yang menjadi subyek dalam
penanggulangan TB
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan
kerjasama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non
pemerintah, swasta dan masyarakat melalui Forum
Koordinasi TB.
g. Penguatan manajemen program penanggulangan TB
ditujukan memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem
kesehatan nasional.
h. Pelaksanaan program menerapkan prinsip dan nilai inklusif,
proaktif, efektif, responsif, profesional dan akuntabel
i. Penguatan Kepemimpinan Program ditujukan untuk
meningkatkan komitmen pemerintah daerah dan pusat terhadap
keberlangsungan program dan pencapaian target strategi global
penanggulangan TB yaitu eliminasi TB tahun 2035.

.1.9 Indikator Program TB


Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kinerja dan kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai
kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan
beberapa indikator yaitu indikator dampak, indikator utama dan indikator
operasional. (Permenkes RI, 2016)
22

a. Indikator Dampak
Merupakan indikator yang menggambarkan keseluruhan dampak atau
manfaat kegiatan penanggulangan TB. Indikator ini akan diukur
dan di analisis di tingkat pusat secara berkala. Yang termasuk
indikator dampak adalah:
1) Angka Prevalensi TB
2) Angka Insidensi TB
3) Angka Mortalitas TB

b. Indikator Utama
Indikator utama digunakan untuk menilai pencapaian strategi
nasional penanggulangan TB di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi,
dan Pusat. Adapun indikatornya adalah:
1) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection
rate/CDR) yang diobati
2) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification
rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk
3) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
4) Cakupan penemuan kasus resistan obat
5) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
6) Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas,
juga harus memantau indikator yang dicapai oleh Kabupaten/Kota
yaitu:
1) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR
2) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR
3) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
23

4) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator


cakupan penemuan kasus TB resistan obat
5) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
6) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator
persentase pasien TB yang mengetahui status HIV

1. Indikator Utama
a) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection
rate/CDR) yang diobati
Adalah jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di
antara perkiraan jumlah semua kasus TB (insiden).
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan
x 100% Perkiraan jumlah semua kasus TB
Perkiraan jumlah semua kasus TB merupakan insiden dalam
per 100.000 penduduk dibagi dengan 100.000 dikali
dengan jumlah penduduk

Misalnya:
Perkiraan insiden di suatu wilayah adalah 200 per
100.000 penduduk dan jumlah penduduk sebesar
1.000.000 orang maka perkiraan jumlah semua kasus TB
adalah (200:100.000) x 1.000.000 = 2.000 kasus. CDR
menggambarkan seberapa banyak kasus TB yang terjangkau
oleh program.

b) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification


24

rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk Adalah jumlah


semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000
penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu.
Rumus:

Jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan x 100.000

Jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah penduduk tertentu

Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan


kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan
kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah.

.1.10 Program TB paru


Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang
dikelola dengan menggunakan strategi DOTS.
Trategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: (Junaidi, 2005 dan
Firdaufan, 2011)
1) Komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tata laksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.
25

Saat ini Pengendalian TB melalui Gerakan Terpadu Nasional


mengacu pada STOP TB Partnership yang merupakan gerakan global
sejak tahun 2000, untuk mempercepat aksi sosial dan politik dalam
rangka menghentikan penyebaran TB di seluruh dunia. Salah satu
kekuatan utama dari kemitraan adalah kolaborasi antara komunitas
penelitian TB dengan para pelaksana program TB di lapangan, yang
terwujud dalam beberapa kelompok kerja utamanya dengan saling
mengkoordinasikan. (Notoatmojo, S, 2005)
The Partnership telah mengembangkan Rencana Global
Pengendalian TB Tahun 2006–2010 yang ditujukan untuk
menselaraskan agenda global dan mencapai target dalam Millenium
Development Goals (MDGs). (Junaidi, 2005)
Tujuan penanggulangan TB Paru, antara lain:
a. Jangka Panjang .
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang
diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai
penularan, sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
b. Jangka Pendek.
1. Tercapainya angka kesembuhan minimal 85 % dari semua
penderita baru BTA positif yang ditemukan.
2. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap
sehingga pada tahun 2006 dapat mencapai 70 % dari perkiraan
semua penderita baru BTA positif

1. Penemuan Pasien TB (Arfimelda, 2010)


Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien
26

merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan


TB.
a. Strategi penemuan
1) Kegiatan pada program penanggulangan TB Paru yaitu kegiatan
pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup
kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan
monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan
tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus
menerus selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang
ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus
dianggap suspek tuberkulosis. Atau tersangka TB Paru dengan
passive promotif case finding (penemuan penderita secara pasif
dengan promosi yang aktif).
2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang
BTA positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
b. Pemeriksaan dahak mikroskopis (Kemenkes, 2014 dan
Arfimelda, 2010)
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi- (SP).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.

.1.11 Koordinasi, Jejaring dan Kemitraan


27

Penyelenggaraan Penangggulangan TB perlu didukung dengan upaya


mengembangkan dan memperkuat mekanisme koordinasi, serta
kemitraan antara pengelola program TB dengan instansi pemerintah
lintas sektor dan lintas program, para pemangku kepentingan, penyedia
layanan, organisasi kemasyarakatan, asuransi kesehatan, baik di pusat,
provinsi maupun kabupaten/kota
Kegiatan memperkuat koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan, harus
mencakup semua aspek penanggulangan TB termasuk:
a. advokasi;
b. penemuan kasus;
c. penanggulangan TB;
d. pengendalian faktor risiko;
e. peningkatan KIE
f. meningkatkan kemampuan kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan
penanggulangan TB;
g. integrasi penanggulangan TB;
h. sistem rujukan;
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju
akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas dengan upaya
kegiatan Temukan Obati Sampai Sembuh (TOSS) untuk semua pasien
TB yang sistematis dengan pelibatan secara aktif seluruh penyedia
layanan kesehatan melalui pendekatan Public Private Mix/PPM (bauran
layanan pemerintah-swasta).
Public Private Mix/PPM adalah pelibatan semua fasilitas layanan
kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan
program penanggulangan TB secara komprehensif di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kab/Kota.
Mekanisme Pendekatan PPM (Public Private Mix) dapat dilaksanakan,
28

sebagai berikut:
a. Hubungan kerjasama/bauran pemerintah-swasta, seperti: kerja
sama program penanggulangan TB dengan faskes milik swasta,
kerja sama dengan sector industri/perusahaan/tempat kerja, kerja
sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
b. Hubungan kerjasama/bauran pemerintah-pemerintah, seperti:
kerja sama program penanggulangan TB dengan institusi
pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerja sama dengan
faskes milik pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI,
POLRI dan lapas/rutan.
c. Hubungan kerjasama/bauran swasta - swasta, seperti: kerja
sama antara organisasi profesi dengan LSM, kerja sama RS swasta
dengan DPM, kerja sama DPM dengan laboratorium swasta
dan apotik swasta.
Tujuan Pendekatan PPM adalah menjamin ketersediaan akses
layanan TB yang merata, bermutu dan berkesinambungan
bagi masyarakat terdampak TB (Akses universal) untuk menjamin
kesembuhan pasien TB dalam rangka menuju eliminasi TB. Dalam
melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai
berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan
saling menguntungkan. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-
besarnya untuk kebaikan pasien dengan menerapkan Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
b. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang
dikoordinir oleh program penanggulangan TB di setiap tingkat.

A. Jejaring Kerja PPM


29

Jejaring PPM untuk menuju Akses Universal dan “TOSS TB”,


meliputi:
 Jejaring kasus;
a. Penemuan dan diagnosis terduga TB, investigasi kontak.
b. Kesinambungan pengobatan pasien TB : rujukan/pindah,
pelacakan pasien mangkir.
 Jejaring Mutu Laboratorium
Jejaring Mutu Laboratorium di Fasyankes dilakukandengan metode
LQAS oleh Balai Laboratorium Kesehatan atau Rujukan Uji Silang
I/II (RUS I/II).
 Jejaring Logistik,
a. distribusi dari Instalasi Farmasi ke Fasyankesbaik FKTP
maupun FKRTL dengan koordinasi dari dinkes kab/Kota).
b. Dokter Praktik Mandiri/Klinik Pratama melakukan jejaring
logistik dengan Puskesmas setempat.
 Jejaring Pencatatan dan Pelaporan TB
Jejaring Pencatatan dan Pelaporan TB di fasyankes dilakukan secara
manual/elektronik dalam Sistem Informasi Terpadu TB.
 Jejaring Pembinaan
Jejaring pembinaan dilakukan oleh dinkes kab/kota seperti supervisi,
pertemuan monitoring dan evaluasi yang melibatkan seluruh
fasyankes pemerintah dan swasta. Jejaring PPM di Kabupaten/kota
dapat dilihat pada Bagan 3 di bawah ini. (Dalam Jejaring Kasus).

Gambar 2.3 Bagan Penemuan Aktif dengan Jejaring Layanan TB (PPM)


30

Keterangan :
• Mandatory Notification adalah kewajiban melapor setiap
Fasyankes di luar Puskesmas (DPM, Klinik, RS), yang dalam teknis
pelaporannya dapat dilakukan melalui Puskesmas maupun langsung
ke Dinas Kesehatan.
• Koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan perlu diperkuat agar
berjalan dengan baik,dengan menitik beratkan pada pembentukan
Tim PPM di tingkat kabupaten/kota dengan keanggotaan dan
perannya

.1.12 Perencanaan dan Penganggaran Program


A. Konsep perencanaan dan penganggaran Program TB
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
31

sistematis untuk menyusun rencana berdasarkan kajian rinci tentang


keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang akan muncul dimasa
mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti, untuk mencapai tujuan
secara lebih efektif dan efisien.
Tujuan dari perencanaan adalah tersusunnya rencana program,
tetapi proses ini tidak berhenti disini saja karena setiap pelaksanaan
program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan koreksi dan
dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan.
Proses perencanaan Program Penanggulangan TB dilaksanakan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis situasi untuk melihat kesenjangan dari capaian dan target
yang telah ditetapkan.
2. Identifikasi masalah dan menentukan prioritas
3. Menetapkan tujuan dan menentukan alternatif-alternatif untuk
mencapai tujuan
4. Melakukan analisis untuk memilih kegiatan prioritas
5. Menyusun rencana kegiatan atau operasional berdasarkan
hasil analisiskeadaan, masalah dan prioritas
6. Perencanaan dan penganggaran Penanggulangan TB
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang
situasi epidemiologis dan program TB.
b. Perencanaan Program Penanggulangan TB di susun setiap
tahun berdasarkan kebutuhan kegiatan di masing-masing
tingkatan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota).
c. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus
pada pencapaian target indikator kegiatan, sebagaimana
ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan,
32

Rencana Program Jangka Menengah Nasional


(RPJMN)/Rencana Program Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Strategi Nasional Penanggulangan TB, dan rencana
aksi di daerah.
d. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas, berbasis
kinerja dan terpadu/sinergi dan berorientasi luaran (output)
dan hasil (outcome)
e. Dokumen perencanaan harus disertai data pendukung yang
adekuat berupa kerangka acuan, data epidemiolog atau
kasus, analisis situasi, jumlah ketersediaan Logistik (OAT dan
Perbekalan Kesehatan bukan OAT), referensi harga, Rencana
Anggaran Biaya (RAB),SIMAK-BMN dan data pendukung
lain.
f. Alokasi dana baik ditingkat pusat maupun daerah harus
dilaksanakan melalui komitmen pembiayaan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Adanya dana pemerintah
daerah menunjukan bahwa pembiayaan program TB akan
lebih berkesinambungan.

B. Pembiayaan Kegiatan Program Penanggulangan TB


Kondisi saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan
penyumbang kasus TB terbanyak oleh karena itu diperlukan
pembiayaan yang optimal untuk menurunkan permasalahan TB di
Indonesia. Pembiayaan Program TB dapat diidentifikasi dari
berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah dan dari berbagai
sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat
dimobilisasi. Mobilisasi alokasi sumber dana secara tepat, baik di
tingkat pusat maupun daerah harus dilaksanakan melalui komitmen
pembiayaan pemerintah pusat dalam Anggaran Pendapatan dan
33

Belanja Nasional (APBN) dan peningkatan pemerintah daerah dalam


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)dan penerimaan
dana hibah.
Alokasi dana dalam anggaran nasional dan daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) bertujuan untuk membiayai pelaksanaan
kegiatan pemerintahan dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan sebagai upaya mendukung pencapaian target Eliminasi
TB Tahun 2035 dan SDG’S.
Pembiayaan kegiatan program TB, saat ini didapatkan dari
sumber pembiayaan melalui anggaran pemerintah, hibah dan
jaminan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai
pelaksanaan kegiatan program TB nasional, namun dalam upaya
meningkatkan kualitas program di daerah, Kementerian
Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan
kewenangan untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan
pemerintah daerah dengan mekanisme sebagai berikut
 Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat
(APBN) yang diberikankepada pemerintah daerah sebagai
instansi vertika yang digunakan sesuai dengan fungsi,
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah
melalui lintas program dan lintas sektor, meningkatkan
monitoring dan evaluasi program pengendalian TB
di kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan
kompetensi petugas TB melalui pelatihan
tatalaksana program TB.
 Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan adalah
34

dana perimbangan yang ditujukan untuk menciptakan


keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan
di Daerah. Dana ini diserahkan kepada daerah melalui
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan seperti Obat,
Perbekalan kesehatan dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di
kabupaten/kota termasuk gudang obat.
 Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) diserahkan kepada
fasilitas pelayanankesehatan untuk membiayai operasional
petugas, dan dapat digunakan sebagai transport petugas
fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus
yang mangkir TB, pencarian kontak TB.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai
pelaksanaan Kegiatanprogram TB di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok danfungsi dari
pemerintah daerah.
3. Dana Hibah
Disamping dana dari pemerintah kegiatan operasional
pengendalian TB terutama di pusat, provinsi dan kabupaten/kota
dibiayai oleh bantuan Hibah.
4. Asuransi kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan terutama untuk penatalaksanaan
pasien TB memerlukan dukungan sistem pendanaan dari Asuransi
Kesehatan berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS).
35

5. Swasta
Dalam upaya keberlanjutan pembiayaan penanggulangan TB,
perlu meningkatkan dana tambahan dari sumber lain seperti
sektor swasta melalui dukungan dari dana pertanggung jawaban
sosial perusahaan.

C. Pembagian peran dan wewenang dalam penanggulangan TB.


Pelaksanaan pembagian peran dan wewenang antara pemerintah
pusat dan daerah, bertujuan untuk:
1. Meningkatkan komitmen dan kepemilikan program
antara pemerintah pusat dan daerah.
2. Meningkatkan koordinasi, keterpaduan dan
sikronisasi perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan penilaian
program.
3. Efisiensi, efektifas dan prioritas program sesuai
dengan kebutuhan.
4. Meningkatkan kontribusi pembiayaan program bersumber
dari dana pemerintah pusat dan daerah untuk pembiayaan
program secara memadai.
Pembagian peran dalam Penanggulangan TB adalah:
1. Tingkat pusat
a. Menetapkan kebijakan dan strategi program
penanggulangan TB.
b. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor
dan kemitraan untuk kegiatan Penanggulangan TB dengan
institusi terkait ditingkat nasional.
c. Memenuhi kebutuhan Obat Anti TB (OAT) lini1 dan
lini2 (TB- RO).
36

d. Memenuhi kebutuhan perbekalan kesehatan, reagensia


dan penunjang laboratorium lain untuk penegakan
diagnosis TB sebagai penyangga kegiatan atau buffer.
e. Pemantapan mutu obat dan laboratorium TB.
f. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis
kegiatan Penanggulangan TB.
g. Pendanaan kegiatan operasional Penanggulangan TB
yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi.
h. Pendanaan kegiatan peningkatan SDM
Penanggulangan TB terkait dengan tugas pokok dan
fungsi.
2. Tingkat Provinsi
a. Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi
program penanggulangan TB (NSPK).
b. Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan,
reagensia dan penunjang laboratorium lain untuk
penegakan diagnosis TB sebagai penyangga kegiatan
atau buffer.
c. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor
dan kemitraan untuk kegiatan Penanggulangan TB
dengan institusi terkait ditingkat provinsi.
d. Mendorong ketersediaan dan peningkatan
kemampuan tenaga kesehatan Penanggulangan TB.
e. Pemantauan dan pemantapan mutu atau quality
assurance untuk pemeriksaan laboratorium sebagai
penunjang diagnosis TB.
f. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis
kegiatan Penanggulangan TB, pemantapan
surveilans epidemiologi TB ditingkat kabupaten/kota.
37

g. Pendanaan kegiatan operasional Penanggulangan


TB yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi.
h. Pendanaan kegiatan peningkatan SDM
Penanggulangan TB

3. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi
program penanggulangan TB (NSPK).
b. Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan dan
bahan pendukung diagnosis.
c. Menyediakan kebutuhan pendanaan untuk
operasional program Penanggulangan TB.
d. Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor
serta jejaring kemitraan untuk kegiatan
Penanggulangan TB dengan institusi terkait ditingkat
kabupaten.
e. Menyediakan kebutuhan Pendanaan kegiatan
peningkatan SDM Penanggulangan TB di wilayah nya.
f. Menyediakan bahan untuk promosi TB.

.2 Petugas Program Tuberkulosis


Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangungjawab dan
mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi dalam program TB di Puskesmas dan didukung oleh tenaga kader
kesehatan.
Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di Puskesmas: (Permenkes
RI, 2016)
a. Menemukan Penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat umum
38

2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TB


3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form TB 06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan form TB 05
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7) Membuat klasifikasi penderita
8) Mengisi kartu penderita (TB 01) dan kartu identitas penderita (TB 02)
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TB yang
ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
c. Menetapkan jenis panduan obat

Tabel 2.8 Indikator Pencapaian Program TB 2010-2014

No Indikator Target

2010 2011 2012 2013 2014

1 Jumlah kasus TB per 235 231 228 226 224


100.000 penduduk

2 Persentase kasus baru TB 73 75 80 85 90


Paru (BTA positif yang
ditemukan)

3 Persentase kasus baru TB 85 86 87 87 88


Paru (BTA positif) yang
disembuhkan dan menda-
patkan pengobatan lengkap

.2.1 Pencatatan Dan Pelaporan TB (P2TB)


39

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat


penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Untuk itu
pencatatan dan pelaporan perlu dilakukan berdasar klasifikasi dan tipe
penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.
(Kemenkes, 2014)
Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan dalam
penanggulangan TB Nasional adalah: (Kemenkes, 2014)
1. TB 01. Kartu pengobatan TB
2. TB 02. Kartu identitas penderita
3. TB 03. Register TB kabupaten
4. TB 04. Register Laboratorium TB
5. TB 05. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak
6. TB 06. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
7. TB 07. Laporan triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
8. TB 08. Laporan triwulan Hasil Pengobatan Penderita TB Paru yang
terdaftar 12 -15 bulan lalu
9. TB 09. Formulir rujukan/pindah penderita
10. TB 10. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
11. TB 11. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Akhir Tahap
Intensif untuk penderita terdaftar 3-6 bulan lalu
12. TB 12. Formulir Pengiriman Sediaan Untuk Cross Check
13. TB 13. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di kabupaten
Disamping formulir tersebut diatas terdapat formulir sebagai
berikut:
1. Rekapitulasi TB 07 kabupaten / kota ( blok 1 & blok 2)
2. Rekapitulasi TB 08 kabupaten / kota (Penderita Baru BTA positif,
Penderita Kambuh, dan Penderita Baru BTA negatif Rontgen positif)
40

3. Rekapitulasi TB 12 kabupaten / kota dan propinsi


4. Rekapitulasi TB 11 per kabupaten / kota dan propinsi (Penderita Baru
BTA Positif, Penderita Kambuh, dan Gagal).
5. Rekapitulasi TB 13 propinsi.

A. Pencatatan Di Unit Pelayanan Kesehatan


UPK misalnya Puskesmas, Rumah Sakit,. BP4, klinik dan dokter
praktek swasta dalam melaksanakan pencatatan, dapat menggunakan
formulir sebagai berikut:
1. Kartu pengobatan TB (TB.01),
2. Kartu identitas penderita (TB.02),
3. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
(TB.05),
4. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
(TB.06),
5. Formulir rujukan/pindah penderita (TB 09)
6. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
(TB.10)
UPK diharuskan melakukan pencatatan semua kegiatan yang
dilaksanakan dan tidak diwajibkan membuat laporan. Petugas
kabupaten / kota akan mengambil data yang dibutuhkan dan mengisi
dalam buku Register TB Kabupaten (Form TB.03) sebagai bahan
laporan yang pelaksanaannya dilakukan secara rutin. UPK yang
banyak penderitanya, misalnya Rumah sakit, dapat menggunakan buku
pencatatan seperti Buku Register TB kabupaten (TB.03), tetapi untuk
nomor register diisi sesuai dengan nomor register yang diberikan oleh
kabupaten/kota.
41

B. Pencatatan Di Laboratorium PRM / PPM / RS / BP4


Laboratorium yang melakukan pewarnaan pembacaan sediaan dahak
BTA menggunakan formulir pencatatan: (Kemenkes, 2014)
1. Register Laboratorium TB (Formulir TB.04)
2. Formulir Permohonan Laboratorium TB Untuk Pemeriksaan Dahak
(TB.05) bagian bawah (mengisi hasil pemeriksaan).

C. Pencatatan dan Pelaporan Di Kabupaten / Kota


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan
dan pelaporan sebagai berikut: (Kemenkes, 2014)
1. Register TB kabupaten (Formulir TB.03)
2. Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
(Formulir TB.07)
3. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (Formulir TB.08)
4. Laporan Triwulan Hasil Konversi (Kruk Akhir Tahap Intensif
(Formulir TB.11)
5. Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Cross Check (Formulir
TB.12)
6. Rekapitulasi TB.12 kabupaten (Analisis Hasil Cross Check
kabupaten)
7. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di daerah
Kabupaten/Kota (Formulir TB.13)

D. Pencatatan dan Pelaporan Di Propinsi


Propinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai
berikut: (Kemenkes, 2014)
1. Rekapitulasi TB.07 blok 1 per kabupaten/kota.
2. Rekapitulasi TB.07 blok 2 per kabupaten/kota.
42

3. Rekapitulasi TB.08 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita


per kabupaten/kota.
4. Rekapitulasi TB.11 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita
per kabupaten/kota.
5. Rekapitulasi TB.12 propinsi (Rekapitulasi Analisis Hasil Cross
Check propinsi) per kabupaten/kota.
Sistem pencatatan dan pelaporan program TB nasional dikembangkan
mengacu pedoman internasional dari WHO dengan TB03 sebagai register
utama yang dikelola oleh wasor kabupaten/kota sebagai penanggung
jawab. Meskipun pencatatan dan pelaporan dari tingkat fasilitas
pelayanan kesehatan ke pusat telah semakin membaik, rekapitulasi data
tahun 2009 masih menunjukkan beberapa permasalahan. Permasalahan
tersebut meliputi ketepatan waktu pelaporan, kelengkapan data, akurasi
data (misalnya tidak mengikuti kaidah dalam penutupan data, registrasi
ganda) serta kemampuan untuk memilah berdasarkan jenis fasilitas
pelayanan kesehatan. Masalah yang lebih spesifik dalam pencatatan
pelaporan antara lain format TB 12 dan TB 13 yang belum standar,
surveilans TB-HIV yang masih lemah, demikian pula surveilans rumah
sakit dan sektor swasta lainnya. Selain itu analisis data dan indikator
program di beberapa daerah juga masih lemah. Meskipun berbagai
perbaikan sistem telah mulai diujicoba, yaitu penyempurnaan TB
elektronik, pengisian dan distribusi data berbasis web, otomatisasi
software, akan tetapi inovasi ini masih membutuhkan investasi waktu,
tenaga dan biaya yang cukup besar sebelum dapat diterapkan secara
optimal. Pertemuan monitoring dan evaluasi yang diselenggarakan setiap
triwulan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota memberikan
kontribusi terhadap perbaikan manajemen data dan monitoring kinerja
program. 7
43

.3 Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan program (Marker of progress). Dalam menilai kemaujuan atau
keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator :
(Kemenkes, 2014)
- Angka notifikasi kasus TB (Case Notification Rate=CNR)dan
- Angka keberhasilan pengobatan TB (Treatment success Rate =TSR)

2.3.1 Indikator penemunan TB (Kemenkes, 2014)


- Proporsi pasien baru TB patuh terkonfirmasi bakteriologis diantara
terduga TB
- Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua
TB paru diobati
- Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati antara
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
- Proporsi Pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
- Angka penemuan kasus TB (CDR)
- Proporsi pasien TB yang di tes HIV
- Proporsi pasien TB yang di tes HIV dan hasilnya positif
- Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada
- Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua
- Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB
RR/MDR ditemukan

2.4 Case Detection Rate


Case detection rate (CDR) adalah presentase jumlah penderita baru BTA positif yang
ditemukan dibanding jumlah penderita baru BT positif yang diperkirakan ada dalam
44

wilayah tersebut. Case detection rate (CDR) menggambarkan cakupan penemuan


penderita baru BTA positif diwilayah tersebut. (Arfimelda, 2010 dan Mulyadi, 2011)
Rumus :

Jumlah penderita baru BTA positif yang dilaporkan


x 100 %
Perkiraan jumlah penderita baru BTA positif
Angka perkiraan nasional penderita baru BTA positif adalah 160/100.000
penduduk (100 – 200 per 100.000 penduduk)

.4.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi CDR TB Paru


Adapun beberapa fakto yang mempengarugi CDR TB paru yaitu:
(Pasaribu, 2005)
1. Ekonomi,
Literatur rnenyebutkan tentang adanya hubungan antara
kondisi kesehatan seseorang dengan status sosioekonominya.
Masyarakat yang rniskin punya resiko yang lebih tinggi
terhadap TB. Buruh, pengangguran dan orang-orang yang bekerja
tidak tetap dimana pendapatan tidak mencukupi kebutuhan sehari-
hari sehingga tidak dapat pergi berobat apalagi memeriksa
kesehatan
Blackburn menjelaskan bahwa kelemahan sosial,
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan faktor budaya
yang luas mempengaruhi faktor-faktor perilaku sehat seperti
persepsi tentang arti penyakit, pengetahuan tentang gejala, dan
kemampauan atau kemauan untuk mencari pertolongan. Perilaku
sehat yang dipengaruhi biasanya adalah self reporting illness dan
help-seeking behaviour. Suatu kutipan tentang kelas sosial dan
45

kesehatan manusia menjelaskan; "Kelas sosial adalah konsep


utama dalam studi tentang inequality dalam kesehatan untuk
menunjukkan bagaimana kondisi sosial dan eko- nomi
berhubungan dengan pengalaman kesehatan dan pengharapan
masing-masing
2. Lingkungan
Gaya hidup termasuk rnerokok dan minuman keras,
ketidakstabilan sosial dan tungkat pendidikan rendah.
3. Physical cost dan social cost.
Masyarakat tidak akan segera mengakui jika ia terlnfeksi
TBC karena takut akan disingkirkan dari kehidupan sosial dan
ekonomi mereka. Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa
mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh,
belum lagi kebosanan untuk memakan obat dalam pengobatan.
Kebanyakan pasien tidak mampu membayar pengobatan atau
tidak bisa meninggalkan pekerjaan karena pergi berobat. Takut
kehilangan pekerjaan dan tidak adanya tunjangan untuk berobat
adalah juga faktor yang disebutkan menyebabkan orang sakit
tidak pergi berobat atau menunda pengobatan.
4. Pengetahuan
Pengetahuan tentang TBC biasanya terbatas, Hal ini
menunjukkan kurangnya Promosi Kesehatan yang meluas kepada
masyarakat. Sedangkan petugas kesehatan mempunyai
pengetahuan yang baik tentang TBC karena mendapat pendidikan
tentang TBC, ada pertemuan yang rutin, dan pelatihan
penyegaran
Kepala Puskesmas dan petugas program TBC h a r u s sering
mengingatkan kader kesehatan untuk mendeteksi orang-orang
dengan gejala TBC.
46

5. Masih menerapkan pasive case detection


6. Beban kerja petugas kesehatan yang memiliki tanggung jawab
ganda sehinggga tertundanya beberapa tugas yang diprerioritaskan
7. Fasilitas untuk pemeriksaan sputum dilaboratorium tidak cukup dan
tidak canggih atau tidak bergungsi dengan semestinya
8. Petugas TB yang tidak bisa memotivasi dan memberikan semngat
kepada pasien untuk berobat rutin

Menurut WHO, 2012 dalam TB Case Detection, Intervensi yang


dilakukan dalam Identifikasi TB Case Detection:
1. Keterlibatan Rumah Sakit
Orang dengan TB sebagian besar datang ke Rumah Sakit .
bagaimanapun banyak kasus TB yang terlewatkan dikarenakan: tidak
adekuatnya screening untuk TB, perlunya hubungan yang lebih kuat
antara rumah sakit dan program nasional TB dan lemahnya ketaatan
terhadap diagnosis nasional dan protokol pengobatan
2. Identifikasi kasus TB pada pasien yang tinggal dengan HIV : Orang
yang tinggal dengan pasien HIV tidak selalu dilakukan screening
untuk TB dan kasus TB sering tidak teridentifikasi
3. Identifikasi kasus TB pada rumah tangga yang berkontak dengan
pasien TB : Peningkatan dan deteksi dini kasus TB, terutama pada
anak Screening sistemik pada pasien dengan Diabetes Melitus :
Diabetes meningkatkan risiko terkena TB

2.5 Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP)


2.5.1 Definisi Perencanaan
47

Perencanaan adalah suatu proses kerja yang terus menerus yang


meliputi pengambilan keputusan yang bersifat pokok dan penting dan
yang akan dilaksanakan secara sistematik, melakukan perkiraan dengan
menggunakan segala pengetahuan yang ada tentang masa depan,
mengorganisir secara sistematik segala upaya yang dipandang perlu untuk
melaksanakan segala keputusan yang telah ditetapkan, serta mengukur
keberhasilan dari pelaksanaan keputusan tersebut dengan
membandingkan hasil yang dicapai terhadap target yang ditetapkan
melalu pemanfaatan umpan balik yang diterima dan yang telah disusun
secara teratur dan baik (Aswar, A. 2010).

2.5.2 Ciri – Ciri Perencanaan


Perencanaan yang baik mempunyai beberapa ciri yang harus diperhatikan.
Ciri yang dimaksud secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut :
(Aswar, A. 2010)
1. Bagian dari system administrasi
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil
menempatkan pekerjaan perencanaan sebagai bagian dari system
administrasi secara keseluruhan. Sesungguhnya, perencanaan pada
dasarnya merupakan salah satu dari fungsi administrasi yang amat
penting. Pekerjaan administrasi yang tidak didukung oleh
perencanaan, bukan merupakan pekerjaan administrasi yang baik.
2. Dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukan secara
terus menerus dan berkesinambungan. Perencanaan yang dilakukan
hanya sekali bukanlah perencanaan yang dianjurkan. Ada hubungan
yang bekelanjutan antara perencanaan dengan berbagai fungsi
administrasi lain yang dikenal. Disebutkan perencanaan penting untuk
pelaksanaan, yang apabila hasilnya telah dinilai, dilanjutkan lagi
48

dengan perencanaan penting untuk pelaksanaan, yang apabila hasilnya


telah dinilai, dilanjutkan lagi dengan perencanaan.
3. Berorientasi pada masa depan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada
masa depan. Artinya, hasil dari pekerjaan perencanaan tersebut,
apabila dapat dilaksanakan, akan mendatangkan berbagai kebaikan
tidak hanya pada saat ini tapi pada masa yang akan datang
4. Mampu menyelesaikan masalah
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mampu
menyelesaikan berbagai masalah dan ataupun tantangan yang
dihadapi. Penyelesaian masalah dan ataupun tantangan yang
dimaksudkan disini tentu harus disesuaikan dengan kemampuan.
5. Mempunyai tujuan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan
yang dicantumkan secara jelas. Tujuan yang dimaksudkan disini
biasanya dibedakan atas dua macam, yakni tujuan umum yang
berisikan uraian secara garis besar, serta tujuan khusus yang berisikan
uraian lebih spesifik
6. Bersifat mampu kelola
Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu
kelola, dalam arti bersifat wajar, logis, objektif, jelas, runtun, fleksibel
serta telah disesuaikan dengan sumber daya. Perencanaan yang
disusun tidak logis serta tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai dengan
sumberdaya, bukanlah perencanaan yang baik.

2.5.3 Macam-macam Perencanaan


Perencanaan banyak macamnya. Untuk keberhasilan pekerjaan
perencanaan, perlulah dipahami berbagai macam perencaan tersebut.
Macam perencanaan yang dimaksud adalah (Aswar, A. 2010) :
49

1. Ditinjau dari jangka waktu berlakukanya rencana


A. Perencanaan jangka panjang
B. Perencanaan jangka menengah
C. Perencanaan jangka pendek
2. Ditinjau dari frekuensi penggunaan
A. Digunakan satu kali
B. Digunakan berulang kali
3. Ditinjau dari tingkatan rencana
A. Perencanaan induk
B. Perencanaan operasional
C. Perencanaan harian
4. Ditinjau dari filosofi perencanaan
A. Perencanaan memuaskan
B. Perencanaan optimal
C. Perencanaan adaptasi
5. Ditinjau dari orientasi waktu
A. Perencanaan berorientasi masa lalu-kini
B. Perencanaan berorientasi masa depan
C. Perencanaan kebijakan
6. Ditinjau dari ruang lingkup
A. Perencanaan strategic
B. Perencanaan taktis
C. Perencanaan menyeluruh
D. Perencanaan terpadu

2.5.4 Tujuan Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP)


a. Tujuan Umum
50

Untuk meningkatkan kemampuan manajemen di puskesmas dalam


menyusun perencanaan kegiatan tahunan berdasarkan fungsi dan azas
penyelenggaraannya (Depkes RI, 2006)

b. Tujuam Khusus (Depkes RI, 2006)


1. Tersusunnya rencana usulan kegiatan (RUK) puskesmas untuk tahun
berikurnya dalam upaya mengatasi masalah atau sebagian masalah
kesehatan masyarakat
2. Tersusunnya rencana pelaksanaan kegiatan (RPK) setelah
diterimanya alokasi sumber daya untuk kegiatan tahun berjalan dari
berbagai sumber

2.5.5 Manfaat Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) (Depkes RI, 2006)


1. Perencanaan dapat memberikan petunjuk untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan
yang telah ditetapkan
2. Perencanaan memudahkan pengawasan dan pertanggungjawaban
3. Perencanaan dapat mempertimbangkan hambatan, dukungan dan
potensi yang ada

2.5.6 Tahap Penyusunan Perencanaan Tingkat Puskesmas


A. Tahap Persiapan
Tahap ini mempersiapkan staf puskesmas yang terlibat dalam proses
penyusunan perencanaan tingkat puskesmas agar memperoleh
kesamaan pandangan dan pengetahuan untuk melaksanakan tahap-
tahap perencanaan. Tahap ini dilakukan dengan cara (Depkes RI,
2006) :
1. Kepala puskesmas membentuk tim penyusun perencanaan tingkat
puskesmas yang anggotanya terdiri dari staf puskesmas
51

2. Kepala puskesmas menjelaskan tentang pedoman perencanaan


tingkat puskesmas kepada tim agar dapat memahami pedoman
tersebut demi keberhasilan penyusunan perencanaan tingkat
puskesmas
3. Puskesmas mempelajari kebijakan dan pengarahan yang telah
ditetapkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan
propinsi dan departemen kesehatan

B. Tahap Analisis Situasi


Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh infomasi mengenai
keadaan dan permasalahan yang dihadapi puskesmas melalui proses
analisis terhadap data yang dikumpulkan. Tim yang telah disusun
oleh kepala puskesmas melakukan pengumpulan data. Ada dua
kelompok data yang perlu dikumpulkan yaitu data umum dan data
khusus (Depkes RI, 2006).
C. Tahap Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
1) Identifikasi Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Identifikasi masalah dilaksanakan dengan membuat daftar
masalah yang dikelompokan menurut jenis program, cakupan,
mutu, ketersediaan sumber daya (Depkes RI, 2006).
2) Prioritas Masalah
Telah disebutkan bahwa yang terpenting dalam
perencanaan adalah yang menyangkut proses perencanaan.
Adapun yang dimaksud dengan proses perencanaan disini ialah
langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyusun suatu
rencana. Untuk bidang kesehatan, langkah-langkah yang sering
dipergunakan adalah mengikuti prinsip lingkaran pemecahan
masalah. Sebagai langkah pertama dilakukanlah upaya
52

menetapkan prioritas masalah. Adapun yang dimaksudkan


dengan masalah disini ialah kesenjangan antara apa yang
ditemukan dengan apa yang semestinya (Aswar, A. 2010).
Mengingat adanya keterbatasan kemampuan mengatasi
masalah secara sekaligus, ketidaktersediaan teknologi atau
adanya keterkaitan satu masalah dengan masalah lainnya, maka
perlu dipilih prioritas dengan jalan kesepakatan tim. Bila tidak
dicapai kesepakatan dapat ditembuh dengan menggunakan
kriteria lain. Dalam penetapan prioritas masalah dapat
mempergunakan berbagai macam metode seperti kriteria
matriks, MCUA, Hanlon, Carl, dsb. Penetapan penggunaan
metode tersebut diserahkan kepada masing-masing puskesmas
(Depkes RI, 2006).
3) Merumuskan Masalah
Hal ini mencakup apa masalahnya, siapa yang terkena
masalahnya, berapa besar masalahnya, dimana masalah itu
terjadi dan bila mana masalah itu terjadi (What, who, when,
where dan how) (Depkes RI, 2006).
4) Mencari Akar Penyebab Masalah
Mencari akar masalah dapat dilakukan antara lain
dengan menggunakan metode (Depkes RI, 2006).:
1. Diagram sebab akibat dari Ishikawa (disebut juga diagram
tulang ikan karena digambarkan membentuk tulang ikan)
2. Pohon masalah (problem trees)
Kemungkinan penyebab masalahnya dapat berasal dari :
1. Input (sumber daya) : jenis dan jumlah alat, obat, tenaga
serta prosedur kerja manajemen alat, obat dan dana
2. Proses (Pelaksana kegiatan) : Frekwensi, kepatuhan
pelayanan medis dan non medis
53

3. Lingkungan
5) Pemecahan Masalah
Untuk menetapkan cara pemecahan masalah dapat
dilakukan dengan kesepakatan diantara anggota tim. Bila tidak
terjadi kesepakatan dapat digunakan kriteria matriks. Untuk itu
harus dicari alternative pemecahan masalahnya. (Depkes RI,
2006).

Anda mungkin juga menyukai