Puja dan puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat dan bimbingan-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini
merupakan tugas mata kuliah Hukum Internasional dengan Judul : “Yuridiksi Hukum
Internasional”
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
A. Kesimpulan................................................................................................................16
B. Saran...........................................................................................................................17
REFERENSI...............................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
menegakkan hukum diwilayahnya. Oleh karena itu dalam penyelesaian kasus kejahatan
cyber, ada berbagai kendala yang sering kali ditemui oleh penegak hukum suatu negara untuk
menindak pelaku kejahatan yang berada di wilayah yurisdiksi negara lain.
Yurisdiksi Negara dalam hukum internasional jelas berperan sangat penting dalam
tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang
terjadi di wilayah atau teritorialnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara
tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi, persamaan derajat negara
dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi
(wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other), dan
prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip
tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”. Menurut Hans
Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian:
Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap
tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya.
Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat
mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian
internasional tersebut.
Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu
negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.
Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris
“Jurisdiction”.“Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas
dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan,
sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti:
a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum.
b. Hak menurut hukum.
c. Kekuasaan menurut hukum.
d. Kewenanagan menurut hukum.
Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti
apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan
“kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan
hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting
adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan,
apalagi berdasarkan kekuasaan.
Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International
Space Law”mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi Negara dengan menyatakan
sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara
untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya,
perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah
dalam negeri”. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam
unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :
a. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.
b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
c. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
d. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic
concern).
e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu:
1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah
atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara
terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi menyebabkan suatu negara
mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara
ataupun yang ada di luar negara tersebut.
Baik Masaki Hamano, Henry H.Perritt tetap mengajukan tiga jenis yurisdiksi tersebut
diatas untuk mendasari pemikiran dan pengembangan lebih lanjut dalam menanggulangi
kejahatan cyber. Alasan yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut,
karena dari berbagai kasus kejahatan internet , apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi,
akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan hukum dari
negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut, atau negara tempat ia melakukan
penyebarluasan situs pornografi anak .
Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus tentang penangkapan pelaku tindak pidana
pornografi anak di internet, antara lain :
Tanggal 22 April 2002, polisi di 9 negara di Eropa dan Amerika Serikat menangkap
25 orang sebagai tersangka pelaku tindak pidana pornografi anak. Lima dari sembilan
negara tersebut , yaitu: Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat
negara lain tidak disebutkan. Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang
menemukan seorang laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan
di Denmark, tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan.
Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan
lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap sepasang
suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark. Polisi menemukan banyak
foto anak perempuan , serta alamat dan daftar nama mereka yang juga melakukan hal
yang sama dengan pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark
karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman pidana selama
8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.
Tanggal 14 November 2001, polisi di 14 negara melakukan operasi besar-besaran
dalam menghadapi pornografi anak. Di Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang
dalam pemeriksaan dengan tuduhan memiliki dan menyebarluaskan pornografi anak,
dalam penggerebekan ditemukan pula jaringan komputer, video dan berbagai
dokumentasi sebagai barang bukti. Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan
pula di Switzerland, Austria, Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia,
Denmark,Luxemburg, Portugal, Irlandia, dan Amerika Serikat serta Canada.
Tanggal 9 November 2001, ditangkapnya seorang laki-laki oleh Polisi di East Rand,
Afrika Selatan. Ia menyimpan banyak foto, buku, video dan segala sesuatu sepanjang
tentang pornografi anak, bahkan juga film pornografi anak, yang kesemuanya disita
oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut dan sebagai barang bukti. Tersangka masih
dalam pemeriksaan dan akan diajukan ke pengadilan.
Pengadilan distrik Jerman menjatuhi pidana selama 2 tahun kepada seorang dokter di
Berlin ,dengan tuduhan mendistribusikan situs pornografi anak di internet, sebanyak
9.500 foto yang dilakukan antara bulan April sampai dengan Juni 1997 . Dokter
tersebut menyatakan bahwa hal tersebut di lakukannya murni dengan tujuan sosiologi
(sosiological reasons).
Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet , ditangkap dengan
tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual
terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang
berbau pornografi anak.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan
pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan Hukum pengadilan suau Negara terhadap
perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional),
maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus
tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan Hukum pengadilan suatu Negara
terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun
yang terdapat unsur asing di dalamnya.
Hukum Internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan
dengan kasus-kasus perdata internasional. Hukum internasional public lebih memfokuskan
diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional.
Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip atau asas yurisdiksi yang dikenal
dalam Hukum Internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya
memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu
dimulai dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus,
dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam.
Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang
ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia
juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan
kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari
wilayah Indonesia.
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan
kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang
membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi
klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki
kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan
tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi
korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka
Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip
(Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v
Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan
pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS
yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
6. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku
maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang
sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku
meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap
pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam Hukum internasional bertujuan untuk memproses
fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international
crime tanpa di bawah Hukum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke
suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa
dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri
menonjol sebagai berikut:
a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara”
mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara
aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan
oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa
bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk
melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan
dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan
titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku,
korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan
yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak
mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada
di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran Hukum internasional bila Negara
memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap
pelakuserious crime atau yang lazim disebut internastional crime.
7. Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang
melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius
yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta
kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi
perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency,
immigration and economic violation.
Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan
lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya
karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili
seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat
menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme.
Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum PIdananya bahwa
Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan
tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka akan
dikemukakan beberapa teori sebagai berikut:
Berdasarkan teori ini, teori uploader adalah pihak yang memasukkan informasi ke dalam
suatu lokasi dalam TIK, sedangkan downloader adalah pihak yang mengakses informasi.
Pada umumnya, yurisdiksi mengenai perbuatan-perbuatan perdata dan tindak pidana tidak
ada kesulitan. Suatu negara dapat melarang, dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan
downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingan negaranya.
Misalanya suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian
dalam wilayah negaranya dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading
kegiatan perjudian tersebut. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah menggunakan
teori ini, baik yurisidiksi untuk uploaders maupun downloaders di luar wilayah negara-negara
bagian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan
yurisdiksi ini. Jaksa agung Minnesota, Hubert Humprey III telah mengeluarkan suatu
memorandum yang menyatakan:
“Person outside of Minnesota who transmit information via the internet knowing that
information will be diseminated in Minnesota are subject to jurisdiction in Minnesota courts
for violations of state criminal and civil laws.”
Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah memperlakukan server dimana webpages
secara fisik berlokasi, yaitu dimana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini
sebuah webpage yang berlokasi di server pada Standford University tunduk pada hukum
California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam yurisdiksi
asing.
Dalam kaitan dengan teori ini, Menthe mengusulkan agar cyberspace menjadi the fourth
space dengan dasar analogi tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat
internasional yakni sovereignless quality. Dalam hukum internasional dikenal ruang dimensi
keempat, yaitu ruang angakasa. Kembali pada pembicaraan mengenai yurisdiksi territorial,
suatu negara dapat memperluas berlakunya yurisdiksi territorial berdasarkan subjective
territorial principle dan objective territorial principle.Menurut prinsip teritorial yang
subyektif, suatu negara dapat menerapkan hukum pidana nasioanalnya bila suatu tindak
pidana sudah dimulai dalam wilayah negaranya tetapi menimbulkan akibat diwilayah negara
lain. Sebaliknya, suatu negara dapat pula menerapkan hukum nasionalnya terhadap tindak
pidana yang menimbulkan akibat di negaranya padahal tindak pidana tersebut dimulai
diwilayah negara lain. Perluasan berlakunya yurisdiksi teritorial secara obyektif seringkali
disebut “the effect doctrine” yang melihat pada kenyataan bahwa telah terjadi kerugian di
dalam wilayah negaranya. Di dalam prakteknya berkembang prinsip extra-territorial
jurisdiction, terutama dalam masalah-masalah ekonomi, misalnya Amerika Serikat seringkali
menerakan ketentuan-ketentuan Antitrust and Securities Laws terhadap anak perusahaan
Amerika Serikat yang berada di luar negeri sehingga menimbulkan extra-territorial
effects.Masalah yang sama juga terjadi dengan diterapkannya regulations of the European
Community terhadap warganegara yang berada di luar Masyarakat Eropa. Isu kontroversial
sehubungan dengan sanksi ekonomi dengan menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial oleh
Amerika Serikat ditandai dengan diberlakukannya Cuban Liberty and Democratic Solidarity
(libertad) Act tahun 1996.
Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejahatan cyber yang
saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention on
Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya
dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk
diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya
mengatasi kejahatan Cyber. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of
Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan
menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty
Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh
minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara
anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan
mengandung kebijakan kriminal (criminal pglicy) yang bertujuan untuk meiindungi
masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin
meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari
teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan
tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai
berikut : Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk
melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan
data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam unsur-unsur
yurisdiksi negara adalah Hak, kekuasaan, dan kewenangan; Mengatur (legislatif, eksekutif,
dan yudikatif); Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda); Tidak semata-
mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern); Hukum
internasional (sebagai dasar/landasannya).
Dari beberapa kasus Yurisdiksi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dilihat hal-
hal tertentu, sebagai berikut :
Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet , ditangkap dengan
tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual
terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang
berbau pornografi anak.
B. Saran
Dari berbagai upaya yang dilakukan, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global
action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat
transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam
penanggulangan cybercrime adalah:
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Jurnal Ilmu Hukum Wacana Paramarta; Ahmad M Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem
Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004.
Henry H.Perrit, Jr, Jurisdiction and the Internet : Basic Anglo/America Perspective,
tersedia pada http://www.kentlaw.edu/cyberlaw/ diunduh Desember 2013.
Kedudukan Hukum Pidana Internasional Dalam Hukum Pidana Nasional Ditinjau Dari Asas
Teritorial oleh Ayib Rosidin, http://ajhieb.blogspot.com/2012/05/kedudukan-hukum-
pidana-internasional.html diunduh Desember 2013
http://fh.unpad.ac.id/repo/?tag=yurisdiksi-ekstrateritorial-dalam-pemanfaatan-ict diunduh
Desember 2013
John W.Yeargain & Zhu Jing, Jurisdiction in Cyberspace : Whose Law Controls?, tersedia
pada “jurisdiction in Cyberspace”, Southeastern Lousiana University.