Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT (CVA) TROMBOSIS

OLEH :
ENY DWI OKTAVIANI
115070207111022
KELOMPOK 4A

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1. Definisi
Cerebrovascular accident (CVA) atau stroke merupakan kelainan fungsi otak
yang timbul mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak.
Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskular (Muttaqin, 2008).
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan
lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal,
sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini
menyebabkaniskemia. Stroke trombotik terjadi dari cedera pada dinding pembuluh
darah dan pembentukan bekuan darah. Lumen pembuluh darah menjadi menyempit
dan, jika itu menjadi tersumbat, infark terjadi. Trombosis mudah berkembang di mana
plak aterosklerotik telah menyempitkan pembuluh darah. Stroke trombotik, yang
merupakan hasil dari trombosis atau penyempitan pembuluh darah, adalah penyebab
paling umum dari stroke, terhitung sekitar 60% dari stroke. Dua pertiga dari stroke
trombotik berhubungan dengan hipertensi atau diabetes mellitus, yang keduanya
mempercepat aterosklerosis. Dalam 30% - 50% dari individu, stroke trombotik didahului
oleh TIA.
Luasnya stroke tergantung pada kecepatan onset, ukuran daerah yang rusak,
dan adanya sirkulasi kolateral. Kebanyakan pasien stroke iskemik tidak memiliki tingkat
penurunan Kesadaran dalam 24 jam pertama, kecuali itu adalah karena stroke batang
otak atau kondisi lain seperti kejang, peningkatan ICP, atau perdarahan. Gejala stroke
iskemik dapat berlanjut dalam 72 jam pertama sebagai infark dan peningkatan edema
serebral (Lewis dkk., 2013).

2. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga
di dunia setelah penyakit jantung dan kanker baik di Negara maju maupun berkembang.
Di Indonesia, menurut Riskesdas 2007, stroke juga merupakan penyebab kematian
pada semua kelompok umur tertinggi dengan proporsi 15,4%, sedangkan pada
kelompok umur 55-64 tahun mencapai 26,8% baik di perkotaan maupun pedesaan dan
kasus stroke termuda ditemukan pada kelompok umur 18-24 tahun. Prevalensi stroke di
Indonesia sebesar 8,3 per 1.000 penduduk dan yang telah didiagnosis oleh tenaga
kesehatan adalah 6 per 1.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Stroke trombotik
menyumbang sekitar 60 persen dari stroke iskemik akut. Dari mereka, sekitar 70 persen
adalah trombosis pembuluh darah besar.
3. Klasifikasi
Secara patologi, stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
 Stroke Iskemik (Stroke yang terjadi ketika pembuluh darah ke otak mengalami
penyumbatan).
Penyebab terjadinya penyumbatan dapat terjadi karena thrombus (bekuan darah di
arteri serebril. Misal: atherosklerosis) atau embolus (bekuan darah yang berjalan ke
otak dari tempat lain di tubuh).
Berdasarkan waktunya, stroke iskemik dibedakan menjadi :
a) Transient Ischaemic Attack (TIA)  Gangguan fungsi otak singkat yang
reversibel akibat hipoksia serebral.
Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit.
b) Reversible Ischaemic Neurogical Deficit (RIND)
Defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu.
Sedangkan, berdasarkan penyebabnya, stroke iskemik dibedakan menjadi :
a) Stroke Trombotik
Terjadi akibat oklusi aliran darah, biasanya karena atherosclerosis berat.
Seringkali, individu mengalami satu/lebih serangan iskemik sementara (TIA)
sebelum stroke trombotik yang sebenarnya terjadi. TIA mungkin terjadi ketika
pembuluh darah atherosklerotik mengalami spasme, atau saat kebutuhan O2 otak
meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi.
Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam. Selama periode
perkembangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke in evolution. Pada
akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami stroke lengkap (completed
stroke).
Ada dua jenis stroke trombotik :
1) Trombosis pembuluh darah besar (large vessel thrombosis), bentuk paling
umum dari stroke trombotik, terjadi di arteri besar otak (termasuk sistem arteri
karotis). Dampak dan kerusakan cenderung diperbesar karena semua
pembuluh darah kecil yang disuplai arteri telah dicabut dari darah. Dalam
kebanyakan kasus, trombosis pembuluh besar disebabkan oleh kombinasi
dari penumpukan plak jangka panjang (aterosklerosis) diikuti oleh
pembentukan gumpalan darah yang cepat. Kolesterol tinggi merupakan faktor
risiko umum untuk jenis stroke.
2) Trombosis pembuluh darah kecil (infark lacunar) terjadi ketika aliran darah
tersumbat untuk pembuluh darah arteri kecil (termasuk sirkulus Willisi dan
sirkulus posterior). Ini telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi)
dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
b) Stroke Embolik
Berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar otak.
Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke: jantung setelah infark
miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis
komunis atau aorta.

 Stroke Hemoragik (Stroke yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
menuju ke otak).
o Perdarahan Intraserebral (pada jaringan otak)
a) Primer (80-85%)  karena hipertensi tak terkendali.
b) Sekunder (15-20%)  karena kelainan pembuluh darah (aneurisma atau
malformasi arteriovenosa), penggunaan anti koagulan, penyakit hati, dan
penyakit sistem darah (Leukimia).
o Perdarahan Subarachnoid (di bawah jaringan pembungkus otak)
(Corwin, 2009; Dewanto dkk., 2009; Muttaqin, 2008; Pinzon & Asanti, 2010)
4. Etiologi dan Faktor Risiko
Aterosklerosis adalah fitur patologis yang paling umum dari obstruksi vaskular
yang mengakibatkan stroke trombotik. Plak aterosklerotik dapat mengalami perubahan
patologis seperti ulserasi, trombosis, kalsifikasi, dan perdarahan intra-plak. Kerentanan
plak untuk mengganggu, fraktur atau mengganggu atau memborok tergantung pada
struktur plak, dan komposisi dan konsistensi. Gangguan endotelium yang dapat terjadi
dalam pengaturan dari setiap perubahan patologis memulai proses rumit yang
mengaktifkan banyak enzim vasoaktif destruktif.
Selain aterosklerosis, kondisi patologis lainnya yang menyebabkan oklusi
trombotik dari pembuluh darah termasuk pembentukan bekuan karena hiperkoagulasi,
displasia fibromuskular, arteritis (Giant cell dan Takayasu), dan diseksi dari dinding
pembuluh darah. Berbeda dengan oklusi pembuluh aterosklerosis besar, infark lakunar
terjadi sebagai akibat dari oklusi arteri yang menembus jauh 100-400 mm dan berasal
untuk arteri serebral. The putamen dan pallidum, diikuti oleh pons, thalamus, caudate
nucleus, dan kapsul internal situs yang paling sering terpengaruh. Ukuran infark lacunar
hanya sekitar 20 mm. Insiden infark lacunar adalah 10% sampai 30% dari semua stroke
tergantung pada ras dan sudah ada sebelumnya hipertensi dan diabetes mellitus.
Arteriol kecil, paling sering sebagai akibat dari hipertensi kronis memperpanjang,
menjadi berliku-liku dan mengembangkan pembedahan subintimal dan mikro-aneurisma
rendering arteriol rentan terhadap oklusi dari mikro-trombus. Deposisi fibrin sehingga
lipohyalinosis dianggap mekanisme patologis yang mendasari (Shah, 2000).
Faktor risiko

a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


 Umur
Usia >55 tahun, risiko stroke meningkat 2 kali lipat.
 Jenis kelamin
Tingkat insiden stroke 1,25 kali lebih besar pada pria, tapi karena wanita
cenderung hidup lebih lama daripada pria, lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki meninggal karena stroke setiap tahun.
 Herediter (keturunan)
 Ras
Kulit hitam dua kali lebih beresiko untuk meninggal karena stroke dibandingkan
kulit putih. Antara usia 45 dan 55, angka kematian empat sampai lima kali lebih
besar untuk Afrika-Amerika daripada kulit putih; perbedaan menurun dengan
bertambahnya usia. Namun, beberapa risiko ras terkait untuk stroke mungkin
terkait dengan faktor lingkungan atau faktor risiko keturunan.

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


 Hipertensi
 Penyakit jantung : Atrial Fibrilasi (AF).
 Diabetes dan metabolisme glukosa
Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral
melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri
koronari, arteri karotid atau dengan efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
 Hiperkolesterolemia
 Merokok
Merokok meningkatkan resiko stroke 2 kali lipat.
 Penyalahgunaan obat
Penyalahgunaan obat adalah masalah sosial utama, dengan kokain zat yang
paling sering dikaitkan dengan stroke. Obat lain yang terkait dengan stroke
meliputi heroin, amfetamin, LSD, PCP, "T dan Blues," dan ganja. Laporan
kasus juga telah dikaitkan counter sympathomimetic decongestants, obat flu,
dan alat bantu diet (misalnya fenilpropanolamin), efedrin, pseudoefedrin dan
dengan hemoragik dan, lebih jarang, stroke iskemik.
 Faktor gaya hidup (obesitas, aktivitas fisik, diet)
Obesitas dikaitkan dengan tingginya tekanan darah, gula darah, dan serum
lipid aterogenik. Aktivitas fisik memberikan pengaruh positif pada faktor risiko
penyakit aterosklerosis dengan mengurangi tekanan darah, berat badan, dan
denyut nadi; meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL;
menurunnya agregasi platelet; meningkatkan sensitivitas insulin dan
meningkatkan toleransi glukosa; dan mempromosikan gaya hidup yang
kondusif untuk mengubah pola makan dan menghentikan merokok. Studi
mengenai hubungan stroke dan diet telah meyakinkan. Peningkatan konsumsi
ikan, teh hijau, dan susu yang dapat mencegah stroke, sedangkan diet tinggi
lemak dan kolesterol bisa meningkatkan resiko stroke.
(Sacco dkk., 1997; Setyopranoto, 2011)

5. Patofisiologi
(Terlampir)

6. Manifestasi Klinis
Berikut adalah gejala penyakit stroke :
 Rasa lemas secara tiba-tiba pada wajah, lengan, atau kaki, seringkali terjadi pada
salah satu sisi tubuh.
 Mati rasa pada wajah, lengan atau kaki, terutama pada satu sisi tubuh.
 Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan.
 Kesulitan melihat dengan satu mata atau kedua mata.
 Kesulitan berjalan, pusing, hilang keseimbangan.
 Sakit kepala parah tanpa penyebab jelas, dan hilang kesadaran atau pingsan.
(Kemenkes RI, 2014)

Berikut adalah tabel perbedaan stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik (Muttaqin,
2008) :
7. Pemeriksaan Diagnostik
 Angiografi serebri : Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
 Lumbal pungsi
 Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan
adanya hemoragik pada subarakhnoid atau perdarahan pada intrakranial.
Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Pemeriksaan
likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang massif, sedangkan
perdarahan kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari
pertama.
 CT scan : Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark/iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau
menyebar ke permukaan otak.
 MRI (Magnetic Imaging Resonance) : Menentukan posisi serta besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari hemoragik.
 USG Doppler : Mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah system
karotis).
 EEG : Melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
 Pemeriksaan darah rutin
 Pemeriksaan kimia darah : Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah
dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali.
 Pemeriksaan darah lengkap : Mencari kelainan pada darah.
(Muttaqin, 2008)

 Pemeriksaan Fisik Neurologis


Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Neurologis
1. Refleks hammer
2. Garputala
3. Kapas dan lidi
4. Penlight atau senter kecil
5. Opthalmoskop
6. Jarum steril
7. Spatel tongue
8. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
9. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
10. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
11. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka
12. Baju periksa
13. Sarung tangan

A. Pemeriksaan Saraf Kranial


1. Fungsi saraf kranial I (N. Olfaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
2. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
a. Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak
baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
b. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100
cm, minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup
sebelah mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien.
Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,
mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi
pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa
derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan
opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
3. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
a. Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
b. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
c. Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
4. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
a. Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien
mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
b. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
c. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
d. Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan
garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi
dan minta klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
e. Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah
mata dan lihat refleks menutup mata.
f. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.

5. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)


a. Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk
gula dan asam
b. Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua alis berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien
memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula
klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
6. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
a. cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
b. Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien
berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi
adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi,
lihat apakah klien dapat mempertahankan posisi
7. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
a. Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila
uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
b. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
c. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit,
observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita
suara saat klien berbicara.
8. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
a. Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
b. Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang
pergerakan sendi
c. Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien
dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
d. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong
9. Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
a. Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah ke kiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
b. Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi
dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong
kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain

B. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,
impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal
medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada
berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara
berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga
yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan
tonus otot.
a. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot
disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan
tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis.
Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang
dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
b. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji
tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi
pergelangan tangan.
c. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif
menahan tenaga yang ditemukan oleh pemeriksa. Otot yang diuji biasanya
dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan
skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan
atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
C. Pemeriksaan Fungsi Sensorik
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan
yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan
karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap
beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis
stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai
perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning),
rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak
jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai
untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya),
untuk pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

D. Pemeriksaan Fungsi Refleks


Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih
300. Tendon patella (di tengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul
dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
2. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran
gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar
keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks Achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan/disilangkan di atas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
5. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen di atas dan di bawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah
yang digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi
bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan
dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi
plantar semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput
otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala
klien dan tangan lain didada klien untuk
mencegah badan tidak terangkat. Kemudian
kepala klien difleksikan kedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah
akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan
lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba
meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.
Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut
1350 terhadap tungkai atas.
Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang m. ischiadicus.

Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :


a. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Tampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar
kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi
dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.
8. Penatalaksanaan Medis
STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan
tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak
tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan
kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia
darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di
Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta
memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.

STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga
dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk
membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu,
menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan
pasien yang dapat dilakukan keluarga.
Stroke Iskemik
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30o, kepala dan dada pada satu bidang
b. Ubah posisi tidur setiap 2 jam
c. Mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
d. Bebaskan jalan napas
e. Beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi.
f. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya.
g. Jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
h. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonic.
i. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang
nasogastrik.
j. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150
mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia
(kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
k. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai
gejala.
l. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220
mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg
(pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark
miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid,
penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi
hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9%
250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan
darah sistolik ≥ 110 mmHg.
m. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
n. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5
hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau
pirasetam (jika didapatkan afasia).

Stroke Hemoragik
Terapi umum
a. Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk.
b. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila
tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume
hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg
(pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6
jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
c. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30 o,
posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke
iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
d. Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi
dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi
saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum
luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau
tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya
adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).

STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan
bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang,
dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan
kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer
dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
b. Penatalaksanaan komplikasi.
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara,
terapi kognitif, dan terapi okupasi.
d. Prevensi sekunder.
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning.
(Setyopranoto, 2011)

9. Komplikasi
Sebuah stroke kadang-kadang dapat menyebabkan cacat sementara atau permanen,
tergantung pada berapa lama otak kekurangan aliran darah dan bagian mana yang
terpengaruh. Komplikasi dapat mencakup :
a. Kelumpuhan atau hilangnya gerakan otot
Penderita mungkin menjadi lumpuh di satu sisi tubuh, atau kehilangan kontrol otot
tertentu, seperti yang di satu sisi wajah atau satu lengan. Terapi fisik dapat
membantu penderita kembali ke aktivitas yang terhambat oleh kelumpuhan, seperti
berjalan, makan dan berpakaian.
b. Kesulitan berbicara atau menelan
Stroke dapat menyebabkan penderita memiliki sedikit kontrol atas kerja otot mulut
dan tenggorokan untuk bergerak, sehingga sulit untuk berbicara dengan jelas
(dysarthria), menelan atau makan (disfagia). Penderita juga mungkin mengalami
kesulitan dengan bahasa (aphasia), termasuk berbicara, membaca atau menulis.
Terapi dengan bicara dan bahasa patolog dapat membantu.
c. Kehilangan memori atau kesulitan berpikir
Banyak orang yang telah mengalami stroke mengalami beberapa kehilangan
memori. Mungkin memiliki kesulitan dalam berpikir, membuat penilaian, penalaran
dan konsep pemahaman.
d. Masalah emosional
Orang-orang yang telah mengalami stroke mungkin memiliki lebih banyak kesulitan
mengendalikan emosi mereka, atau mungkin depresi meningkat.
e. Rasa sakit
Orang yang mengalami stroke mungkin memiliki rasa sakit, mati rasa atau sensasi
aneh lainnya di bagian tubuh mereka yang terkena stroke. Sebagai contoh, jika
stroke menyebabkan kehilangan rasa di lengan kiri, penderita dapat merasa
kesemutan di lengan itu.
f. Penderita mungkin juga sensitif terhadap perubahan suhu, terutama dingin yang
ekstrim setelah stroke. Komplikasi ini dikenal sebagai nyeri stroke yang pusat atau
sindrom nyeri sentral. Kondisi ini umumnya berkembang beberapa minggu setelah
stroke, dan mungkin meningkat dari waktu ke waktu. Tetapi karena rasa sakit yang
disebabkan oleh masalah di otak, daripada luka fisik, ada beberapa perawatan.
g. Perubahan perilaku dan kemampuan perawatan diri
Orang-orang yang telah mengalami stroke mungkin menjadi lebih menarik diri dan
kurang sosial atau lebih impulsif. Mereka mungkin memerlukan bantuan dengan
perawatan dan tugas sehari-hari.
(Mayo Clinic, 2015)
10. Asuhan Keperawatan
 Pengkajian
a. Anamnesis
 Identitas klien
Nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta bantuan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
 Riwayat penyakit sekarang
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak
sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak
yang lain.
 Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riawayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang
lama, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan
alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral.
 Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus
atau adnya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
 Pengkajian psikososiokultural
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat ganggguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri yang didapatkan, klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, tidak kooperatif. Pola penanggulangan stress, klien biasanya
mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses
berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Pola tata nilai dan kepercayaan, klien
biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak
stabil, kelemahan ataua kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
b. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadarn, kadang mengalami gangguan
bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan pada tanda-tanda
vital : tekanan darah meningkat dan denyut nadi bervariasi.
 B1 (Breathing)
- Inspeksi : Klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
- Auskultasi : Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
- Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien dengan
kesadaran composmentis.
 B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan
dan dapat terjadi hipertensi massif (TD >200 mmHg).
 B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak
yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
- Pengkajian tingkat kesadaran  GCS.
- Pengkajian fungsi serebri
a. Status mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b. Fungsi intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung
dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage
yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tid
begitu nyata.
c. Kemampuan bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat
memahami bahasa lisan atau tertulis. Sedangkan lesi pada bagian
posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia
ekspresif, yiatu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab
dengan tepat dan bicaranya tidak lancer. Disartria (kesulitan bicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otat yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil sisir
dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
d. Lobus frontal
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika
kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi
ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan
klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi
mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons
alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis
lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
e. Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
Pada stroke hemisfer kiri mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah
kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.
- Pengkajian saraf kranial
a. Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
b. Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik
primer diantara      mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam
area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien
mungkin tidak dapat memakai pakaian ke bagian tubuh.
c. Saraf III, IV, dan VI. Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis
sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi
gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral
dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus daneksternus.
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik kebagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
h. Saraf XI. Tidak ada atrofi sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat devisiasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
- Pengkajian sistem motorik dan sensorik
- Pengkajian refleks
 B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan
kontrol mototrik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
 B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
 B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunteer terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas
melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan
dengan otak.

 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan adanya peningkatan volume
intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral.
2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan perdarahan intraserebral,
oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, dan
perubahan tingkat kesadaran.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kelemahan neuromuscular pada ekstremitas.
5. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan luas lapang pandang,
penurunan sensasi rasa (panas, dingin).
6. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
7. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi
ditandai oleh kelemahan untuk ADL.
8. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada
area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
9. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
10. Ansietas berhubungan dengan parahnya kondisi.
11. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan persepsi.
12. Ketidakpatuhan berhubungan dengan kurangnya informasi, perubahan status
kognitif.
(Muttaqin, 2008)
 Intervensi
(Lewis dkk., 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Christensen & Kockrow. 2011. Adult Health Nursing. Ed. 6. Missouri : Mosby Elsevier.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dewanto, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC.
Kemenkes RI. 2013. Pedoman Pengendalian Stroke. Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular.
Kemenkes RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Pusat Data dan Informasi.
Lewis, dkk. 2013. Medical-Surgical Nursing :Assesment and Management of Clinical
Problems. Ed. 9. Missouri : Mosby Elsevier.
Mayo Clinic. 2015. Stroke. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/stroke/symptoms-
causes/dxc-20117265. Diakses tanggal 14 November 2015 pukul 20.16 WIB.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pinzon, Rizaldy & L. Asanti. 2010. AWAS STROKE! Pengertian, Gejala, Tindakan,
Perawatan dan Pencegahan. Yogyakarta: Andi.
Sacco, dkk. 1997. Stroke : Risk Factors. http://stroke.ahajournals.org/content/28/7/1507.full.
Diakses tanggal 15 November 2015 pukul 13.23 WIB.
Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke : Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185, 38 (4) : 247 –
250.
Shah, Sid. 2000. Stroke Pathophysiology.
https://www.uic.edu/com/ferne/pdf/pathophys0501.pdf. Diakses tanggal 15 November
2015 pukul 12.29 WIB.
Patofisiologi Stroke
Faktor-Faktor
Risiko Stroke

Katup jantung rusak,


Atherosklerosis, Aneurisma, malformasi,
miokard infark, fibrilasi,
hiperkoagulasi, artesis arteriovenous
endokarditis

Trombosis serebral Penyumbatan pembuluh Perdarahan


darah otak oleh bekuan intraserebral
darah, lemak dan udara
Pembuluh darah oklusi Perembesan darah ke
↓ dalam parenkim otak
Iskemik jaringan otak Emboli serebral

↓ Penekanan jaringan
Edema & kongesti Stroke otak
jaringan sekitar (Cerebrovascular ↓
accident) Infark otak, edema, dan
herniasi otak

Defisit neurologis

Infark Kehilangan Risiko PTIK Kerusakan terjadi Disfungsi bahasa


serebral kontrol pada lobus frontal dan komunikasi
volunter kapasitas, memori,
atau fungsi
intelektual kortikal
Disartria,
Risiko Hemiplegia
disfasia/afasia,
ketidakefektifan dan
Herniasi Kerusakan fungsi apraksia
perfusi jaringan hemiparesis
serebral falks serebri kognitif dan efek
dan ke psikologis
foramen Hambatan
Hambatan magnum komunikasi
mobilitas ↓ Lapang perhatian verbal
fisik Kompresi terbatas, kesulitan
batang otak dalam
pemahaman, lupa,
dan kurang
motivasi, frustasi,
Depresi saraf labilitas
kardiovaskular emosional,
Koma
dan bermusuhan,
pernapasan dendam, dan
kurang kerja
sama, penurunan
gairah seksual
Intake Kelemahan Kegagalan Ketidakefektifan
nutrisi tidak fisik umum kardiovaskular koping
adekuat dan
pernapasan
Kemampuan Disfungsi
Ketidakseimbangan batuk kandung
nutrisi: Kurang dari menurun, kemih dan
Kematian
kebutuhan tubuh kurang saluran
mobilitas fisik, pencernaan
dan produksi
sekret
Penurunan Disfungsi Gangguan
tingkat persepsi visual eliminasi
Ketidakefektifan urine
kesadaran spasial dan
bersihan jalan
kehilangan
napas
sensorik
Risiko
cedera

Penekanan Kerusakan
jaringan integritas
setempat kulit
(Muttaqin, 2008)

Anda mungkin juga menyukai