Anda di halaman 1dari 14

ENSEFALOPATI HEPATIK AKIBAT SIROSIS HEPATIS

PADA PRIA BERUSIA 65 TAHUN


Hepatic Encephalopathy Et Causa Hepatic Cirrhosis in 65 Years Old Man

Gandhes Sahida Basserawy1, Suryo Aribowo Taroeno2


1
Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
2
Departemen Penyakit Dalam, RS PKU Muhammadiyah Surakarta
Korespondensi: Gandhes Sahida Basserawy. Alamat email:
ahlan.gandhi@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Manifestasi klinis seperti perubahan perilaku, gangguan intelektual, dan
penurunan kesadaran menjadi bagian dari sindrom neuropsikiatri yang dapat muncul pada
seseorang dengan ensefalopati hepatik. Kerusakan hepar yang memburuk meningkatkan resiko
terjadinya ensefalopati hepatik, hal ini menjadi pemicu berkembangnya tata cara diagnosis dan
terapi terhadap penyakit ini. Beragam studi terkait diagnosis, terapi dan pencegahan ensefalopati
hepatik menjadi topik hangat di dunia termasuk Indonesia. Seiring dengan peningkatan insidensi
penyakit hati, kejadian ensefalopati hepatik turut pula meningkat, hal ini menjadi masalah
kesehatan yang cukup serius di Indonesia. Prevalensi ensefalopati hepatik di Indonesia terjadi
sekitar 30-84% pada pasien sirosis hepatis. Tujuan: Mendiagnosis dan memberikan terapi pada
pasien dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Metode: Mengobservasi dan memantau
perkembangan penyakit pasien dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Ringkasan
Hasil: Seorang pria berusia 65 tahun datang dengan kehilangan kesadaran (GCS: 9), yang selama
sebulan terakhir ini mengeluhkan nyeri ulu hati. Keadaan umum pasien tampak delirium, tekanan
darah 129/60 mmHg, nadi 101x/menit, respirasi 24 kali/menit, dan suhu 36,4° C, diikuti dengan
gejala sirosis hepatis. Kesimpulan: Berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium pasien didiagnosis dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Tiga bulan
sebelumnya pasien berobat ke rumah sakit dengan keluhan serupa dan dinyatakan sembuh.

Kata Kunci: Ensefalopati Hepatik, Sirosis Hepatis.

ABSTRACT
Issues: Behavior changes, intellectual disorders, and unconsciousness are part of neuropsychiatric
syndromes that can occur in patient with hepatic encephalopathy (HE). Worse liver disease
increasing the risk of HE and became trigger for the development in diagnostic and management of
HE. Diverse studies regarding diagnostic, management, and prevention are the basis of
management of HE throughout the world, including Indonesia. The incidence of HE throughout liver
disease is also increasing so that it becomes the serious health problems in Indonesia. The
prevalence of HE in Indonesia is estimated 30% -84% in patients with hepatic cirrhosis. The
objectives: To diagnose and manage therapy of patient with enchepalopathy hepatic et causa
hepatic cirrhosis The methods: By observed the condition and therapy of patient with
enchepalopathy hepatic et causa cirrhosis hepatic. Result: A 65-year-old man with an
unconsciousness (GCS:9) and severe epigastric pain within a month ago. LOC was delirium, blood
pressure 129/60 mmHg, pulse 101x/minute, respiratory rate 24x/minute, temperature 36.4°C, with
clinical manifestation of hepatic cirrhosis. Conclusion: Based on history, physical and laboratory
examination, patients were diagnosed with hepatic encephalopathy et causa hepatic cirrhosis. 3
months ago the patient was treated in a hospital with similar complaints and was declared as cured.

Keywords: Hepatic Encephalopathy, Hepatic Cirrhosis.

164 | ISSN: 2721-2882


PENDAHULUAN pada pemeriksaan laboratorium yang

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan menjadi perhatian khusus adalah adanya

gangguan pada sistem saraf pusat sebagai peningkatan yang ekstrim dari amonia,

akibat insufisiensi hepar dengan sindrom meskipun kadar amonia tidak menjadi

atau kelainan neuropsikiatri pada pasien tolak ukur dari tingkat keparahan HE

dengan disfungsi hepar. Ensefalopati (Iskandar et al, 2014).

hepatik ditandai dengan perubahan Menurut kriteria West Haven, terdapat

kepribadian, gangguan intelektual, dan 4 tahap dari Ensefalopati hepatik

penurunan tingkat kesadaran (Poh dan  Grade 1

Chang, 2012) Perubahan perilaku dengan penurunan

Di Indonesia, prevalensi EH minimal kesadaran yang minimal.

(grade 0) tidak diketahui dengan pasti  Grade 2

karena sulitnya penegakan diagnosis, Perilaku yang menyimpang, dan

namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% disorientasi, mengantuk, terdapat

pasien sirosis hepatis (Zubir, 2014). Data asterixis.

pada tahun 1999 mencatat prevalensi HE  Grade 3

stadium 2 hingga stadium 4 sebesar 14,9%. Kebingungan, bicara melantur, mudah

Pada pasien yang tidak menjalani tertidur namun masih peka terhadap

transplantasi hati prevalensi meningkat rangsangan suara,

menjadi 42% (Iris dan Liou, 2014).  Grade 4


Pada pemeriksaan fisik awalnya Koma, tidak respon terhadap rangsangan

ditemukan tremor distal, namun ciri khas nyeri (Araminta dan Hasan, 2009).

HE adalah adanya asterixis, sedangkan

165 | ISSN: 2721-2882


Berdasarkan kelainan hati yang terbagi lagi menjadi HE episodik (terjadi

mendasarinya, HE dibagi menjadi 3 tipe, dalam waktu singkat dengan tingkat

antara lain: keparahan yang befluktuasi) dan HE

 Tipe A persisten (terjadi secara progresif dengan

Merupakan gagal hati akut yang gejala neurologis yang kian memberat)

ditemukan pada hepatitis fulminan, (Lesmana et al, 2014).

 Tipe B METODE

Berhubungan dengan jalur pintas Mengobservasi dan memantau

portal dan sistemik tanpa adanya perkembangan penyakit pasien dengan

kelainan intrinsik jaringan hati. ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis

 Tipe C selama rawat inap di rumah sakit.

Berhubungan dengan sirosis dan Observasi dilakukan dengan cara

hipertensi portal serta paling sering mengumpulkan data dari pengamatan

ditemukan pada pasien dengan secara langsung pada objek penelitian yaitu

gangguan fungsi hati (Ratomo, pasien dengan ensefalopati hepatik akibat

2016). sirosis hepatis. Data yang dikumpulkan

Klasifikasi HE berdasarkan gejalanya didapat dengan melakukan anamnesis,

dibagi menjadi HE minimal (HEM) dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

HE overt. Dikatakan HEM apabila terdapat penunjang.

defisit kognitif seperti perubahan HASIL DAN PEMBAHASAN

kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif Seorang pria berusia 65 tahun datang

melalui pemeriksaan psikometrik atau diantar keluarganya ke IGD RS PKU Solo

elektrofisiologi, sedangkan HE overt dengan keluhan penurunan kesadaran dan

166 | ISSN: 2721-2882


gangguan berbicara sejak beberapa jam keluhan serupa disertai dengan keluhan

yang lalu. Saat di IGD pasien hanya dapat perut yang makin lama makin membesar

mengedipkan mata, tidak menjawab dan dan teraba keras, penurunan nafsu makan

hanya mengangguk bila ditanya. Tidak ada serta lekas merasa kenyang.

pergerakan pada tangan dan kaki meski Dokter di RS tersebut menyebutkan

sudah diberi rangsangan nyeri. berdasarkan pemeriksaan penunjang,

Sebelum mengalami penurunan terdapat gangguan pada fungsi hepar akibat

kesadaran, istri pasien mengatakan bahwa virus (Hepatits B). Setelah 8 hari di

pasien mengeluhkan nyeri ulu hati (senep) opname dan mendapatkan pengobatan

sejak sebulan yang lalu. Nyeri dirasakan serta transfusi darah sebanyak 2 kolf

hilang timbul dan menganggu aktivitas, dikarenakan kadar hemoglobin pasien yang

keluhan timbul mendadak, dan menghilang menurun, pasien diperbolehkan pulang.

bila pasien beristirahat dan makan. Selain Tidak ada keluhan serupa yang dialami

itu terdapat perubahan warna kulit menjadi oleh keluarga pasien. Keluarga

kekuningan, urin berwarna seperti teh dan menyangkal adanya riwayat penyakit

BAB hitam. Tidak ada keluhan mual atau hipertensi, diabetes dan stroke pada pasien.

muntah darah, batuk, pilek, dan demam. Namun, setelah dilakukan monitoring

Seminggu sebelumnya pasien sudah kadar gula darah pasien secara rutin,

berobat jalan di suatu klinik dan ternyata pasien memiliki kadar gula darah

mendapatkan obat sirup Episan, namun yang tidak terkontrol dan cenderung sangat

keluhan hanya hilang sementara dan tetap tinggi hingga mencapai 346 mg/dl. Pasien

kambuh-kambuhan. Sekitar 3 bulan yang baru mengetahui bahwa ia memiliki

lalu pasien pernah dirawat di RS dengan riwayat DM setelah diperiksa di RS,

167 | ISSN: 2721-2882


sehingga kadar gula darah pasien tidak Pada pemeriksaan fisik saat di IGD

terkontrol dan belum terobati sebelumnya. didapatkan kesadaran somnolen dengan

Karena keadaan pasien yang tak Glasgow Coma Scale (GCS): 9 E3M5V1,

kunjung membaik, pasien dipindahkan ke tekanan darah 120/96mmHg, frekuensi

ruang ICCU guna mendapatkan perawatan nadi 101x/menit reguler, frekuensi

yang lebih intensif. Sehari kemudian pernapasan 24 x/menit, dan suhu 36,4 °C.

kesadaran pasien kembali normal dan Pada kepala tak tampak kelainan. Pada

mampu berbicara seperti semula walaupun wajah tampak jaundice, sklera dan lidah

sedikit terbata-bata dan sesak. Pasien terlihat ikterik, konjungtiva anemis, dan

dipindahkan ke bangsal karena kondisi mata cekung serta bibir pecah-pecah dan

pasien yang telah mengalami perbaikan. pucat, serta terdapat atrofi musculus

Pasien dulu bekerja sebagai tukang temporalis. Sementara itu pada telinga,

becak, namun karena daya tahan tubuh dan hidung, dan leher pasien tidak ditemukan

kemampuan kerja yang kian menurun, kelainan.

pasien tidak mampu melanjutkan Pada pemeriksaan rontgen thoraks

pekerjaanya. Sebagai gantinya istri pasien tampak kesuraman di kedua lapang paru

berkerja menjadi buruh pabrik untuk yang mengarah pada kesan

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bronkopneumonia namun ukuran cor

hal ini menjadi masalah tersendiri bagi dalam batas normal. Hasil pemeriksaan

kelangsungan ekonomi keluarga pasien. fisik abdomen bising usus normal, palpasi

Hubungan dengan lingkungan sekitarnya dinding perut tegang (ascites), dan juga

baik dan tidak pernah mengkonsumsi hepar teraba, namun lien tidak teraba. Pada

alkohol atau merokok. ekstremitas superior ditemukan eritema

168 | ISSN: 2721-2882


palmaris minimal dan sedikit bercak-

bercak hiperpigmented pada telapak

tangan, pada pemeriksaan ekstremitas

inferior teraba akral dingin dan pulsasi A.

dorsalis pedis teraba kuat.

Gambar 3. Pasien dengan palmar eritem


dan hiperpigmented palmar minimal.

Hasil evaluasi urin dari kateter

menunjukan perubahan warna urin seperti

teh. Pada pemeriksaan urine lengkap


Gambar 1. Pasien dengan sklera ikterik,
konjungtiva anemis, mata cekung, atrofi didapati warna urine keruh kekuningan,
musculus temporalis, dan wajah tampak
jaundice. glukosa (+2), bilirubin (+1), keton (-),

protein (-), darah trace (+/-) berat jenis

1,015, PH urin 7,5, protein (-), nitrit (-),

urobilinogen 66 Umol/L. Pada sedimen

didapati peningkatan eritrosit 5-10.

Pemeriksaan elektrolit: natrium 118,9

Gambar 2. Pasien dengan lidah berwarna mmol/L, kalium 5,56 mmol/L, kalsium
kekuningan dan bibir kering pucat.
8,50 mg/dl. Pada pemeriksaan hematologi

rutin 3 diff: eritrosit 3,25 jt/ul, hemoglobin

11,1 g/dl, hematokrit 33,7%, MCV 103,7

fl, MCH 34,1 pg. Hasil pemeriksaan kimia

klinik: GDS 346,0 mg/dl, SGOT 102 U/L,

169 | ISSN: 2721-2882


SGPT 66 U/L. Pemeriksaan HbsAg reaktif komplikasi dan prognosis yang jauh lebih

dari RS sebelumnya. buruk.

Pasien telah mendapatkan pengobatan Ensefalopati hepatik merupakan

berupa inf. RL 12 tpm dan inj. Omeprazole kelainan neuropsikiatri pada pasien dengan

1 amp saat di IGD. Setelah keadaan pasien disfungsi hati setelah menyingkirkan

membaik dan dipindahkan ke bangsal, kelainan otak lainnya. Ensefalopati hepatik

pasien mendapatkan pengobatan berupa ditandai dengan perubahan kepribadian,

Inf. Aminoleban NRT 12 tpm IV, gangguan intelektual, dan berbagai tingkat

Omeprazole ekstra 1 vial/12 jam IV, penurunan kesadaran. Adanya pengalihan

Lefofloxacin IV 500mg/hari, Lactulosa darah portal ke sirkulasi sistemik melalui

3x10ml PO, Episan sirup 4x10ml PO, dan pembuluh kolateral portosistemik

Novorapid Ekstra 20 unit IV dan SC 4 ul merupakan sebuah syarat penting dari

SC. ensefalopati hepatik, namun ensefalopati

Kasus ini menggambarkan presentasi hepatik juga dijumpai pada pasien tanpa

klinis pada pasien dengan ensefalopati sirosis seperti adanya shunt portosistemik

hepatik pada sirosis hepatis. Beberapa baik spontan atau akibat tindakan

tantangan yang muncul dalam kasus ini pembedahan (Rahto, 2015).

adalah penegakan diagnosis dan Beberapa peneliti berpendapat bahwa

tatalaksana. Diagnosis ensefalopati hepatik ensefalopati hepatik diakibatkan karena

harus ditegakkan dengan bukti gangguan fungsi astrosit. Volume astrosit

pemeriksaan akurat dan standar sehingga memainkan peran dalam regulasi sawar

dapat memberikan tatalaksana kasus yang darah otak. Amstrosit mempertahankan

lebih optimal agar terhindar dari homeostasis elektrolit dan dalam

170 | ISSN: 2721-2882


menyediakan nutrisi bagi prekursor Hal ini dapat mengganggu metabolisme

neotransmitter untuk neuron (Rahto, 2015). asam amino dan pemanfaatan energi di

Hal ini juga berperan dalam otak. Salah satu keberatan terhadap

detoksifikasi sejumlah bahan kimia hipotesis amonia adalah ternyata sekitar

termasuk amonia. Zat neurotoksik 10% pasien dengan ensefalopati memiliki

termasuk amonia dan mangan diduga dapat tingkat amonia serum yang normal. Selain

masuk ke otak zat-zat ini dapat itu banyak pasien sirosis memiliki

berkontribusi pada perubahan morfologi peningkatan kadar amonia tanpa bukti

astrosit. Ensefalopati hepatik juga dapat terjadinya ensefalopati hepatic (Zhan,

dianggap sebagai gangguan yang 2012).

merupakan hasil akhir dari akumulasi zat Diagnosis ensefalopati hepatikum

neurotoksik dalam otak (Zhan, 2012). ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

Terdapat dua faktor yang berkontribusi neurofisiologis yang lengkap sebagai

terhadap hiperamonemia pada sirosis. metode terbaik untuk menilai apakah

Pertama adanya penurunan hepatosit yang penderita mengalami gangguan kognitif

berfungsi, sehingga berkurangnya amonia dari hubungannya dengan pola hidup

yang akan di detoksifikasi di hati menjadi sehari-hari. Tes umum neurofisiologis

urea oleh siklus kreb. Kedua adanya yang digunakan adalah tes koneksi nomor,

shunting atau pirai portosistemik yang tes simbol digital, uji desain blog dan lain-

mengalirkan darah mengandung amonia lain (Rahto, 2015).

dari hati ke sirkulasi sistemik amonia Alternatif lain adalah teks yang

memiliki beberapa efek neurotoksik (Zhan, menggunakan komputerisasi. Tes waktu

2012). reaksi terhadap cahaya atau suara disebut

171 | ISSN: 2721-2882


critical flicker frequency test. Pasien sirosis EEG dapat menunjukkan penurunan

dengan nilai CFF kurang dari 38 HZ frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik otak

memiliki risiko tinggi untuk terjadinya yang terjadi pada ensefalopati hepatik,

ensefalopati hepatik (Rahto, 2015). perubahan EEG klasik yang terkait dengan

Tingkat amonia darah yang tinggi ensefalopati hepatik adalah amplitudo

merupakan kelainan klasik yang gelombang frekuensi rendah dan

dilaporkan pada pasien dengan gelombang trifasik. Walaupun temuan ini

ensefalopati hepatik, temuan ini dapat tidak spesifik untuk ensefalopati hepatik

membantu dalam mendiagnosis secara tapi dapat membantu dalam pemeriksaan

tepat pasien sirosis dengan status mental awal pasien dengan sirosis dan perubahan

yang berubah, hanya saja spesimen darah status mental (Rahto, 2015).

vena harus diperiksa secara teliti (Zhan, Computed tomography (CT) dan MRI

2012). otak mungkin penting dalam

Ketika memeriksa tingkat amonia darah menyingkirkan kemungkinan lesi

yang diambil dari ekstremitas yang telah intrakranial bila diagnosis ensefalopati

terpasang torniket dapat memberikan hepatik meragukan. MRI memiliki

tingkat amonia tinggi palsu, untuk keuntungan tambahan yang mampu

mendapatkan hasil terbaik spesimen harus menunjukkan hiperintensitas dari globus

diambil tanpa memprovokasi aliran darah pallidus, yaitu sebuah temuan yang

dan dibutuhkan media es saat mengirim ke umumnya dijumpai pada EH. Temuan ini

laboratorium serta segera diperiksa dalam mungkin berkolerasi dengan peningkatan

waktu 30 menit setelah diambil (Zhan, deposisi mangan di globus pallidus otak

2012). (Rahto, 2015).

172 | ISSN: 2721-2882


Berdasarkan gejala klinis pemeriksaan gejalanya. Stadium EH dibagi menjadi

fisik serta penunjang pada pasien ini grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1

diagnosis dari ensefalopati hepatik pada masuk dalam EH covert serta derajat 2-4

sirosis hepatis dapat dicurigai pada pasien masuk dalam EH overt (PDPI, 2016).

ini. Namun untuk menegakkan diagnosis Dalam kasus ini karena pasien mengalami

dari pada ensefalopati hepatik sebaiknya penurunan kesadaran dengan E3M5V1

pemeriksaan seperti pemeriksaan GCS 9 (Somnolen) maka pasien dapat

neurofisiologis yang lengkap atau alternatif dimasukkan dalam ensefalopati hepatik

lain seperti Critical Flicker Frequency Test derajat 3 berdasarkan kriteria West Haven.

dapat dilakukan untuk menegakkan Penatalaksanaan ensefalopati hepatik

diagnosis pada pasien ini. dalam EIMED PAPDI terdapat terapi non

Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat farmakologis dan juga farmakologis.

dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Terapi non farmakologi antara lain:

Peningkatan kadar amonia dalam darah (>  Diet protein sesuai fase ensefalopati

100 mg/100 ml darah) dapat menjadi hepatik (diet kaya asam amino rantai

parameter keparahan pasien dengan EH9. cabang). Pengobatan untuk

Pemeriksaan kadar amonia darah belum mengurangi produksi amonia dalam

menjadi pemeriksaan standar di Indonesia usus dapat dilakukan dengan diet

mengingat pemeriksaan ini belum dapat rendah protein untuk pasien dengan

dilakukan pada setiap rumah sakit di sirosis.

Indonesia (Zhan, 2012).  Menutup atau mengurangi shunt /

(Tabel 1) Kriteria West Haven pirai portosistemik (embolisasi).

membagi EH berdasarkan derajat

173 | ISSN: 2721-2882


 Kolektomi total untuk mengurangi namun pembatasan protein tidak

absorbsi kandungan nitrogen di usus. dibenarkan pada sirosis dan ensefalopati

 Transplantasi hati, indikasinya adalah hepatik persisten karena kekurangan gizi

ensefalopati hepatik yang mengalami merupakan masalah klinis yang lebih serius

serangan berulang-ulang, atau tidak daripada ensefalopati hepatik. Diet protein

memberikan respon pada pengobatan dimulai dengan 0,5mg/kgbb/hari dan

(PDPI, 2016). secara progresif ditingkatkan menjadi 1-2

gram/kg/bb.
Tabel 1. Stadium Ensefalopati Hepatik
Sesual Kriteria West Haven Pada pasien ini diberikan Inf.
Grade Kognitif & Fungsi Aminoleban NRT 12 tpm karena
Perilaku Neuromuskuler
0 Asimtomatik Tidak Ada aminoleban tidak dapat membentuk
1 Gangguan Suara Monoton,
Tidur, Tremor, ammonia sehingga mengurangi
Penurunan Penurunan
Konsentrasi, Kemampuan progresifitas ensefalopati hepatik.
Depresi, Menulis,
Ansietas, Apraxia Laktulosa merupakan suatu osmotik
Iritabilitas.
2 Letargi, Ataksia, laksatif yang dapat menghambat produksi
Disorientasi, Dysarthria,
Penurunan Asterixis amonia usus. Dosis awal laktulosa adalah
Daya Ingat.
3 Somnolen, Nistagmus, 30 ml secara oral 1-2 kali sehari. Dosis
Kebingungan Kekakuan Otot,
, Amnesia, Hipereflek/ dapat ditingkatkan bila ditoleransi dengan
Gangguan Hiporeflek
Emosi baik. Pasien dikatakan menggunakan
4 Koma Pupil Dilatasi,
Reflek Patologis lactulose cukup bila telah bab cair 2-4 kali
Dijumpai
(Sumber: Lesmana, 2014) perhari. Pada kasus ini pasien telah

diberikan laktulosa 3x10ml secara PO.


Pembatasan protein mungkin cocok

pada beberapa pasien setelah fase akut,

174 | ISSN: 2721-2882


Hingga saat ini terapi Laktulosa sangat terbatas di Indonesia (Almasdy,

merupakan terapi utama dalam pengobatan 2015).

dan pencegahan timbulnya EH, efikasinya Pemilihan obat yang tepat sangat

sudah terbukti efektif baik sebagai menentukan keberhasilan terapi pada DM.

profilaksis primer maupun sekunder. Penentuan regimen obat yang digunakan

Probiotik mempengaruhi flora normal harus mempertimbangkan tingkat

usus, sehingga menurunkan produksi keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta

ammonia. Namun dalam penggunaannya kondisi kesehatan pasien secara umum

dapat menimbulkan efek samping diare, termasuk penyakit-penyakit lain dan

perut kembung, dan susah buang angin komplikasi yang ada (Almasdy, 2015).

(flatus) terutama bila digunakan untuk Penggunaan insulin ini ditujukan untuk

jangka panjang (Kencana, 2015). mencapai dan mempertahankan kadar gula

Antibiotik dapat diberikan dalam upaya darah mendekati batas normal untuk

untuk menurunkan konsentrasi bakteri mencegah dan menunda komplikasi jangka

kolon terhadap ammonia, berdasarkan panjang. Pasien ini mendapatkan Insulin

penelitian oleh Kavish (PPHI, 2014). Novorapid 20 unit extra secara IV dan SC

Antibiotik yang menjadi pilihan utama 4 IU per hari. Novorapid dapat diberikan

adalah rifaximine berspektrum luas dan 15 menit sebelum atau segera sesudah

dapat diserap secara minimal. Antibiotik makan (Hartmann et al, 2014). Setelah

lain yang bisa digunakan seperti neomycin, mendapatkan pengobatan tersebut pasien

metronidazole, paromomycin, vancomycin mengalami perbaikan kondisi yang

dan juga ceftriaxone. Ceftriaxone menjadi signifkan dengan keluhan yang minimal.

pilihan pengobatan karena rifaximine

175 | ISSN: 2721-2882


SIMPULAN DAN SARAN Saran untuk penelitian selanjutnya

adalah diharapkan lebih membahas


Ensefalopati hepatik merupakan salah
mengenai cara mendiagnosis pasien
satu komplikasi yang sering dijumpai pada
dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis
pasien dengan sirosis hati. Dalam kasus ini,
hepatis menggunakan tes neurofisiologis
gambaran klinis pasien mengarah pada
lengkap karena dalam penelitian ini tidak
ensefalopati hepatik pada sirosis hepatis.
dibahas rinci mengenai pemeriksaan
Diagnosis dapat ditegakkan dengan
tersebut.
pemeriksaan tes neurofisiologi karena

metode ini merupakan metode terbaik PERSANTUNAN

untuk menilai perubahan kepribadian dan


Alhamdulillah segala puji bagi Allah
gangguan intelektual yang mengarah pada
SWT yang telah memberikan rahmat dan
ensefalopati hepatik.
hidayah-Nya sehingga penulis dapat

Hingga saat ini terapi Laktulosa menyelesaikan laporan kasus ini, tak lupa

merupakan terapi utama dalam pengobatan terima kasih kepada dr. Suryo Aribowo

dan pencegahan timbulnya EH, pemberian Sp.Pd. (K) HOM, selaku pembimbing

antibiotik juga dapat menurunkan penulis yang telah memberikan waktu dan

konsentrasi bakteri kolon. Antibiotik membagikan ilmunya kepada penulis.

pilihan utama adalah rifaximine. Semoga dengan laporan kasus yang penulis

Tatalaksana optimal dapat memperbaiki buat ini dapat memberikan informasi yang

kualitas hidup pasien. Prinsip tatalaksana bermanfaat kepada pembaca sekalian.

EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi Terima kasih.

pencetus serta terapi medikamentosa yang

adekuat.

176 | ISSN: 2721-2882


DAFTAR PUSTAKA Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I,
Sanityoso A. 2014. Panduan Praktik
Almasdy. D., et al. 2012. Evaluasi Klinik Penatalaksanaan Ensefalopati
Penggunaan Obat Antidiabetik Pada Hepatik Di Indonesia. Jakarta:
Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 Di Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia
Padang Sumatera Barat. J. Pharm and
(PPHI). 2014. Panduan Praktik Klinik
Clinical. 2(1): 104-110.
Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik
Araminta, A.P. dan Hasan, I. 2015. Di Indonesia. Jakarta: PPHI.
Ensefalopati Hepatik. J. Medicinus.
Poh Z and Chang PEJ. 2012. A Current
3(27): 1-8.
Review Of The Diagnostic And
Emergency in Internal medicine. 2016. Treatment Strategies Of Hepatic
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Encephalopathy. International Journal
Dalam Indonesia. Ensefalopati Hepatik. Of Hepatology. 44(2):150–157.
Interna Publishing. PAPDI.
Rahtio, H. 2015. Wanita Dengan
Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Ensefalopati Hepatik. J Medula. 4:195-
Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et 201.
al. 2000. The Prognostic Significance
Ratomo, B. 2016. Ensefalopati Hepatik,
Of Subclinical Hepatic
Emergency in Internal Medicine.
Encephalopathy. Am J Gastroenterol.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
95(8):2029-34.
Dalam Indonesia. Interna Publishing
Iris W, Liou MD. 2017. The Diagnosis And
Zhan T, Stremmel W. 2012. The Diagnosis
Management Hepatic Encephalopathy.
And Treatment Of Minimal Hepatic
Journal of Hepatitis C Online. 3(4):1-
Encephalopathy. Dtsch Arztebl.
20.
109(10):180-7.
Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. 2009.
Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo
Prevalensi Ensefalopati Hepatik
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
Minimal di Rumah Sakit Cipto
M, Setiati S, editor. 2014. Buku Ajar
Mangunkusumo pada Bulan Mei -
Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima.
Agustus 2009: KOPAPDI.
Jakarta: Pusat Penerbit Departemen
Kencana, Y. 2015. Probiotik Sebagai Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Terapi Profilaksis Pada Ensefalopati Kedokteran.
Hepatikum. Jakarta: Univversitas
Indonesia.

177 | ISSN: 2721-2882

Anda mungkin juga menyukai