ABSTRAK
Latar Belakang: Manifestasi klinis seperti perubahan perilaku, gangguan intelektual, dan
penurunan kesadaran menjadi bagian dari sindrom neuropsikiatri yang dapat muncul pada
seseorang dengan ensefalopati hepatik. Kerusakan hepar yang memburuk meningkatkan resiko
terjadinya ensefalopati hepatik, hal ini menjadi pemicu berkembangnya tata cara diagnosis dan
terapi terhadap penyakit ini. Beragam studi terkait diagnosis, terapi dan pencegahan ensefalopati
hepatik menjadi topik hangat di dunia termasuk Indonesia. Seiring dengan peningkatan insidensi
penyakit hati, kejadian ensefalopati hepatik turut pula meningkat, hal ini menjadi masalah
kesehatan yang cukup serius di Indonesia. Prevalensi ensefalopati hepatik di Indonesia terjadi
sekitar 30-84% pada pasien sirosis hepatis. Tujuan: Mendiagnosis dan memberikan terapi pada
pasien dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Metode: Mengobservasi dan memantau
perkembangan penyakit pasien dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Ringkasan
Hasil: Seorang pria berusia 65 tahun datang dengan kehilangan kesadaran (GCS: 9), yang selama
sebulan terakhir ini mengeluhkan nyeri ulu hati. Keadaan umum pasien tampak delirium, tekanan
darah 129/60 mmHg, nadi 101x/menit, respirasi 24 kali/menit, dan suhu 36,4° C, diikuti dengan
gejala sirosis hepatis. Kesimpulan: Berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium pasien didiagnosis dengan ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis. Tiga bulan
sebelumnya pasien berobat ke rumah sakit dengan keluhan serupa dan dinyatakan sembuh.
ABSTRACT
Issues: Behavior changes, intellectual disorders, and unconsciousness are part of neuropsychiatric
syndromes that can occur in patient with hepatic encephalopathy (HE). Worse liver disease
increasing the risk of HE and became trigger for the development in diagnostic and management of
HE. Diverse studies regarding diagnostic, management, and prevention are the basis of
management of HE throughout the world, including Indonesia. The incidence of HE throughout liver
disease is also increasing so that it becomes the serious health problems in Indonesia. The
prevalence of HE in Indonesia is estimated 30% -84% in patients with hepatic cirrhosis. The
objectives: To diagnose and manage therapy of patient with enchepalopathy hepatic et causa
hepatic cirrhosis The methods: By observed the condition and therapy of patient with
enchepalopathy hepatic et causa cirrhosis hepatic. Result: A 65-year-old man with an
unconsciousness (GCS:9) and severe epigastric pain within a month ago. LOC was delirium, blood
pressure 129/60 mmHg, pulse 101x/minute, respiratory rate 24x/minute, temperature 36.4°C, with
clinical manifestation of hepatic cirrhosis. Conclusion: Based on history, physical and laboratory
examination, patients were diagnosed with hepatic encephalopathy et causa hepatic cirrhosis. 3
months ago the patient was treated in a hospital with similar complaints and was declared as cured.
gangguan pada sistem saraf pusat sebagai peningkatan yang ekstrim dari amonia,
akibat insufisiensi hepar dengan sindrom meskipun kadar amonia tidak menjadi
atau kelainan neuropsikiatri pada pasien tolak ukur dari tingkat keparahan HE
Pada pasien yang tidak menjalani tertidur namun masih peka terhadap
ditemukan tremor distal, namun ciri khas nyeri (Araminta dan Hasan, 2009).
Merupakan gagal hati akut yang gejala neurologis yang kian memberat)
Tipe B METODE
ditemukan pada pasien dengan secara langsung pada objek penelitian yaitu
kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif Seorang pria berusia 65 tahun datang
yang lalu. Saat di IGD pasien hanya dapat perut yang makin lama makin membesar
mengedipkan mata, tidak menjawab dan dan teraba keras, penurunan nafsu makan
hanya mengangguk bila ditanya. Tidak ada serta lekas merasa kenyang.
kesadaran, istri pasien mengatakan bahwa virus (Hepatits B). Setelah 8 hari di
pasien mengeluhkan nyeri ulu hati (senep) opname dan mendapatkan pengobatan
sejak sebulan yang lalu. Nyeri dirasakan serta transfusi darah sebanyak 2 kolf
hilang timbul dan menganggu aktivitas, dikarenakan kadar hemoglobin pasien yang
bila pasien beristirahat dan makan. Selain Tidak ada keluhan serupa yang dialami
itu terdapat perubahan warna kulit menjadi oleh keluarga pasien. Keluarga
kekuningan, urin berwarna seperti teh dan menyangkal adanya riwayat penyakit
BAB hitam. Tidak ada keluhan mual atau hipertensi, diabetes dan stroke pada pasien.
muntah darah, batuk, pilek, dan demam. Namun, setelah dilakukan monitoring
Seminggu sebelumnya pasien sudah kadar gula darah pasien secara rutin,
berobat jalan di suatu klinik dan ternyata pasien memiliki kadar gula darah
mendapatkan obat sirup Episan, namun yang tidak terkontrol dan cenderung sangat
keluhan hanya hilang sementara dan tetap tinggi hingga mencapai 346 mg/dl. Pasien
Karena keadaan pasien yang tak Glasgow Coma Scale (GCS): 9 E3M5V1,
yang lebih intensif. Sehari kemudian pernapasan 24 x/menit, dan suhu 36,4 °C.
kesadaran pasien kembali normal dan Pada kepala tak tampak kelainan. Pada
mampu berbicara seperti semula walaupun wajah tampak jaundice, sklera dan lidah
sedikit terbata-bata dan sesak. Pasien terlihat ikterik, konjungtiva anemis, dan
dipindahkan ke bangsal karena kondisi mata cekung serta bibir pecah-pecah dan
pasien yang telah mengalami perbaikan. pucat, serta terdapat atrofi musculus
Pasien dulu bekerja sebagai tukang temporalis. Sementara itu pada telinga,
becak, namun karena daya tahan tubuh dan hidung, dan leher pasien tidak ditemukan
pekerjaanya. Sebagai gantinya istri pasien tampak kesuraman di kedua lapang paru
hal ini menjadi masalah tersendiri bagi dalam batas normal. Hasil pemeriksaan
kelangsungan ekonomi keluarga pasien. fisik abdomen bising usus normal, palpasi
Hubungan dengan lingkungan sekitarnya dinding perut tegang (ascites), dan juga
baik dan tidak pernah mengkonsumsi hepar teraba, namun lien tidak teraba. Pada
Gambar 2. Pasien dengan lidah berwarna mmol/L, kalium 5,56 mmol/L, kalsium
kekuningan dan bibir kering pucat.
8,50 mg/dl. Pada pemeriksaan hematologi
berupa inf. RL 12 tpm dan inj. Omeprazole kelainan neuropsikiatri pada pasien dengan
1 amp saat di IGD. Setelah keadaan pasien disfungsi hati setelah menyingkirkan
Inf. Aminoleban NRT 12 tpm IV, gangguan intelektual, dan berbagai tingkat
3x10ml PO, Episan sirup 4x10ml PO, dan pembuluh kolateral portosistemik
Kasus ini menggambarkan presentasi hepatik juga dijumpai pada pasien tanpa
klinis pada pasien dengan ensefalopati sirosis seperti adanya shunt portosistemik
hepatik pada sirosis hepatis. Beberapa baik spontan atau akibat tindakan
pemeriksaan akurat dan standar sehingga memainkan peran dalam regulasi sawar
neotransmitter untuk neuron (Rahto, 2015). asam amino dan pemanfaatan energi di
Hal ini juga berperan dalam otak. Salah satu keberatan terhadap
termasuk amonia dan mangan diduga dapat tingkat amonia serum yang normal. Selain
masuk ke otak zat-zat ini dapat itu banyak pasien sirosis memiliki
urea oleh siklus kreb. Kedua adanya yang digunakan adalah tes koneksi nomor,
shunting atau pirai portosistemik yang tes simbol digital, uji desain blog dan lain-
dari hati ke sirkulasi sistemik amonia Alternatif lain adalah teks yang
dengan nilai CFF kurang dari 38 HZ frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik otak
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya yang terjadi pada ensefalopati hepatik,
ensefalopati hepatik (Rahto, 2015). perubahan EEG klasik yang terkait dengan
ensefalopati hepatik, temuan ini dapat tidak spesifik untuk ensefalopati hepatik
tepat pasien sirosis dengan status mental awal pasien dengan sirosis dan perubahan
yang berubah, hanya saja spesimen darah status mental (Rahto, 2015).
vena harus diperiksa secara teliti (Zhan, Computed tomography (CT) dan MRI
yang diambil dari ekstremitas yang telah intrakranial bila diagnosis ensefalopati
diambil tanpa memprovokasi aliran darah pallidus, yaitu sebuah temuan yang
dan dibutuhkan media es saat mengirim ke umumnya dijumpai pada EH. Temuan ini
waktu 30 menit setelah diambil (Zhan, deposisi mangan di globus pallidus otak
fisik serta penunjang pada pasien ini grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1
diagnosis dari ensefalopati hepatik pada masuk dalam EH covert serta derajat 2-4
sirosis hepatis dapat dicurigai pada pasien masuk dalam EH overt (PDPI, 2016).
ini. Namun untuk menegakkan diagnosis Dalam kasus ini karena pasien mengalami
lain seperti Critical Flicker Frequency Test derajat 3 berdasarkan kriteria West Haven.
diagnosis pada pasien ini. dalam EIMED PAPDI terdapat terapi non
dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Terapi non farmakologi antara lain:
Peningkatan kadar amonia dalam darah (> Diet protein sesuai fase ensefalopati
100 mg/100 ml darah) dapat menjadi hepatik (diet kaya asam amino rantai
mengingat pemeriksaan ini belum dapat rendah protein untuk pasien dengan
ensefalopati hepatik yang mengalami merupakan masalah klinis yang lebih serius
gram/kg/bb.
Tabel 1. Stadium Ensefalopati Hepatik
Sesual Kriteria West Haven Pada pasien ini diberikan Inf.
Grade Kognitif & Fungsi Aminoleban NRT 12 tpm karena
Perilaku Neuromuskuler
0 Asimtomatik Tidak Ada aminoleban tidak dapat membentuk
1 Gangguan Suara Monoton,
Tidur, Tremor, ammonia sehingga mengurangi
Penurunan Penurunan
Konsentrasi, Kemampuan progresifitas ensefalopati hepatik.
Depresi, Menulis,
Ansietas, Apraxia Laktulosa merupakan suatu osmotik
Iritabilitas.
2 Letargi, Ataksia, laksatif yang dapat menghambat produksi
Disorientasi, Dysarthria,
Penurunan Asterixis amonia usus. Dosis awal laktulosa adalah
Daya Ingat.
3 Somnolen, Nistagmus, 30 ml secara oral 1-2 kali sehari. Dosis
Kebingungan Kekakuan Otot,
, Amnesia, Hipereflek/ dapat ditingkatkan bila ditoleransi dengan
Gangguan Hiporeflek
Emosi baik. Pasien dikatakan menggunakan
4 Koma Pupil Dilatasi,
Reflek Patologis lactulose cukup bila telah bab cair 2-4 kali
Dijumpai
(Sumber: Lesmana, 2014) perhari. Pada kasus ini pasien telah
dan pencegahan timbulnya EH, efikasinya Pemilihan obat yang tepat sangat
sudah terbukti efektif baik sebagai menentukan keberhasilan terapi pada DM.
perut kembung, dan susah buang angin komplikasi yang ada (Almasdy, 2015).
(flatus) terutama bila digunakan untuk Penggunaan insulin ini ditujukan untuk
Antibiotik dapat diberikan dalam upaya darah mendekati batas normal untuk
penelitian oleh Kavish (PPHI, 2014). Novorapid 20 unit extra secara IV dan SC
Antibiotik yang menjadi pilihan utama 4 IU per hari. Novorapid dapat diberikan
adalah rifaximine berspektrum luas dan 15 menit sebelum atau segera sesudah
dapat diserap secara minimal. Antibiotik makan (Hartmann et al, 2014). Setelah
lain yang bisa digunakan seperti neomycin, mendapatkan pengobatan tersebut pasien
dan juga ceftriaxone. Ceftriaxone menjadi signifkan dengan keluhan yang minimal.
Hingga saat ini terapi Laktulosa menyelesaikan laporan kasus ini, tak lupa
merupakan terapi utama dalam pengobatan terima kasih kepada dr. Suryo Aribowo
dan pencegahan timbulnya EH, pemberian Sp.Pd. (K) HOM, selaku pembimbing
antibiotik juga dapat menurunkan penulis yang telah memberikan waktu dan
pilihan utama adalah rifaximine. Semoga dengan laporan kasus yang penulis
Tatalaksana optimal dapat memperbaiki buat ini dapat memberikan informasi yang
adekuat.