Anda di halaman 1dari 5

Istilah

Yurisprudensi berasal dari kata Latin ‘iuris’ ‘prudentia’ yang berarti pengetahuan hukum
(rechtsgeleerheid). Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (2015: 1568),

Menurut Yan Paramdya Puspa (1977) yurisprudensi adalah kumpulan atau seri keputusan
Mahkamah Agung berbagai vonis beberapa dari berbagai macam jenis kasus perkara yang
berdasarkan dari pemutusan kebijaksanaan di setiap hakim, sendiri yang kemudian dianut oleh
para hakim lainnya untuk memutuskan kasus-kasus perkara yang hampir atau sama.

Jenis Yurisprudensi
Yurisprudensi memiliki beberapa jenis berdasarkan sifat keputusan hakim yang diambil. Adapun
jenis-jenis yurisprudensi adalah sebagai berikut.

1. Yurisprudensi TetapYurisprudensi tetap adalah bila keputusan hakim di suatu perkara


dilakukan karena rangkaian putusan yang sama dan dijadikan sebagai dasar pengambilan
keputusan oleh pengadilan.

2. Yurisprudensi Tidak TetapJika Yurisprudensi tetap adalah rangkaian putusan hakim


terdahulu yang dijadikan dasar pengadilan, maka berbeda dengan yurisprudensi tidak
tetap.Yurisprudensi tidak tetap ini adalah keputusan dari hakim terdahulu namun tidak dijadikan
sebagai dasar bagi pengadilan.

3. Yurisprudensi Semi Yuridis

Selain yurisprudensi tetap dan tidak tetap, adapula yang disebut dengan yurisprudensi semi
yurisis.

Yurisprudensi jenis itu adalah semua penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan
seseorang yang berlaku khusus hanya bagi pemohon. Contohnya : Penetapan status anak

4. Yurisprudensi Administratif

Yurisprudensi administrasif adalah surat edaran Mahkamah Agung yang berlaku hanya secara
administratif danm mengikat intern dalam lingkup pengadilan.

https://news.detik.com/berita/d-1950026/5-kasus-menarik-yang-jadi-yurisprudensi-ma
Pandangan Montesquieu, AB, dan Masa Sekarang Dalam membahas tentang kebiasaan, telah dikutipkan
pandangan Montesquieu (Apeldoorn, 2001: 380) bahwa "Hakim adalah mulut yang menyuarakan kata-
kata undang-undang; ia adalah tubuh tidak berjiwa yang tidak boleh melemahkan kekuatan dan
kekerasan undang-undang." Dari sudut pandang Montesquieu, karena undang-undang itu sendiri tidak
dapat bicara maka hakim yang menjadi mulut dari undang-undang. Hakim harus menjadi semacam
corong belaka dari undang-undang Pandangan Montesquieu ini terdapat dalam Pasal 20 Ketentuan
Umum Peraturan Perundang-undangan untuk Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
staatsblad 1847 No. 23, yang menentukan bahwa: Indonesie), Hakim harus memutus perkara
berdasarkan undang- undang. Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 11, hakim sama sekali tidak
diperkenankan menilai isi dan keadilan dari undang. undang itu. Secara tegas dan jelas disebutkan dalam
Pasal 20 alinea 2 AR tersebut bahwa hakim sama sekali tidak diperkenankan menilai isi dan keadilan dari
undang-undang itu. Pandangan ini sekarang telah ditinggalkan. Hakim melalui metode-metode
penemuan hukum, yaitu penafsiran dan konstruksi12 telah memiliki kebebasan yang lebih besar. Hakim
sekarang telah dapat menilai isi dan keadilan undang-undang melalui penafsiran sosiologis. Sekarang ini,
yurisprudensi telah umum diterima sebagai salah satu jalur perkembangan hukum yang penting.

3. Pengembangan Hukum Melalui Yurisprudensi

Salah satu putusan pengadilan di negeri Belanda yang memengaruhi arah perkembangan hukum, yaitu
putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda), 31 Januari 1919, yang terkenal sebagai drukkers-arrest
(arest percetakan). Putusan ini berkenaan dengan istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) dalam Pasal 1365 KUHPerdata (= Pasal 1401 lama KUHPerdata Belanda),3 yang menentukan
bahwa "Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."
Sebelum drukkers-arrerst, perbuatan melawan hukum diartikan sama dengan perbuatan melawan
undang-undang. Ini ternyata dari Zutphense Juffrouw arrest, 1910. Kasusnya: Di kota Zutphen, dalam
sebuah rumah susun, seorang pedagang kulit tinggal di Jantai bawah dan lantai di atasnya seorang
perempuan (juffrouw). Suatu hari, pipa ledeng di lantai bawah pecah dan di malam hari air mulai
merembes keluar dan membasahi barang-barang kulit si pedagang. Pedagang itu mengetuk pintu
tetangga di atasnya dan meminta tetangga itu menutup kran utama yang ada di dalam ruangannya,
tetapi tetangga itu tidak berbuat apa pun. Pedagang kulit menggugat tetangganya berdasarkan
perbuatan melawan hukum. Di tingkat kasasi, Hoge Raad memutuskan bahwa tidak ada undang-undang
yang mewajibkan orang harus bangun tengah malam dan menutup kran utama. Karenanya, gugatan
berdasarkan perbuatan melawan hukum tersebut, ditolak. Kasus dalam drukkers-arrest, yaitu Cohen
dan Lindenbaum merupakan dua perusahaan percetakan, di mana perusahaan Cohen menyuap pesuruh
perusahaan Lindenbaum untuk mendapatkan antara lain penawaran-penawaran dari perusahaan
Lindenbaum kepada pihak ketiga. Atas gugatan Lindenbaum dengan dasar adanya perbuatan melawan
hukum, Hoge Raad memutuskan bahwa: Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) adalah
perbuatan atau sikap tidak berbuat yang: a. melanggar hak orang lain, atau, b. bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, atau, bertentangan dengan baik kesusilaan maupun kepatutan yang
seharusnya diperhatikan dalam pergaulan masyarakat,

C. terhadap diri dan barang orang lain. Dalam penafsiran ini, perbuatan melawan hukum mencakup juga
perbuatan yang "bertentangan dengan kesusilaan a kepatutan dalam pergaulan masyarakat". Di
Indonesia, banyak putusan Mahkamah Agung yang menentukan arah perkembangan hukum. Apabila
untuk kasus yang serupa selalu diputus secara sama, maka terbentuk yurisprudensi tetap. Yurisprudensi
tetap adalah pengadilan yang telah membentuk hukum karena untuk kasus- kasus yang serupa selalu
diputus secara sama. 4. Putusan Hakim dalam Sistem Common Law Dalam sistem common law, yang
berawal dari Inggris, malahan sejak pertama putusan-putusan hakim diterima sebagai sumber utama,
yang dinamakan judge-made law. Peran undang-undang relatif baru. Undang-undang terutama untuk
mengatur hal-hal yang belum diatur dalam common law telah terbentuk melalui putusan-putusan
pengadilan atau untuk membuat ketentuan-ketentuan khusus. Oleh karena itu, dalamyangsistem
common law, undang-undang harus dituruti kata demi kata. 5. Pandangan Apeldoorn tentang
Pengadilan Sebagai Sumber Hukum dalam Arti Formal Oleh L.J. van Apeldoorn, peradilan – bersama-
sama dengan doktrin dan perjanjian – tidak dipandang sebagai sumber hukum dalam arti formal,
melainkan hanya sebagai faktor yang membantu pembentukan hukum saja. Alasannya karena:putusan
pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara saja; dan, b. jika terbentuk yurisprudensi tetap,
maka peraturan tersebut dapat merupakan hukum objektif, tetapi bukan berdasar atas putusan hakim,
melainkan berdasarkan atas kebiasaan, yakni berdasarkan kesadaran hukum yang umum dari para
hakim."

http://pa-parepare.go.id/home/peraturan-dan-kebijakan/yurisprudensi/

https://pelayananpublik.id/2019/08/06/pengertian-yurisprudensi-jenis-dasar-hukum-manfaat-dan-
contoh-kasusnya/

https://myslawlibrary.wordpress.com/2013/06/04/yurisprudensi-tetap-dan-yurisprudensi-tidak-tetap/

https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/03/yurisprudensi-adalah.html
F. Pendapat Ahli Hukum

1 Istilah Pendapat ahli hukum sering disebut juga sebagai doktrin. Dalam bahasa Latin, doctrina atau
doctrine, berarti "ajaran, ilmu"Doktrin di Zaman Romawi dan Abad Pertengahan Pada bangsa Romawi,
doktrin merupakan sumber hukum dalam arti formal. Ini terlihat dari salah satu bagian Corpus luris
Civilis yang terdiri dari empat bagian, yaitu bagian pertama Digestae atau Pandectae yang merupakan
himpunan tulisan-tulisan hukum para ahli hukum, yaitu sebanyak tiga puluh sembilan ahli hukum,
walaupun karya Ulpianus dan Paulus hampir separuh dari buku ini. Dengan dimasukkan sebagai salah
satu bagian dari Corpus luris Civilis maka tulisan-tulisan perorangan para ahli hukum itu memiliki
kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Dalam zaman pertengahan 20 di Eropa, dikenal adanya
pendapat umum para ahli hukum (communis opinio doctorum). Merupakan pendapat umum waktu itu,
yaitu Zaman Pertengahan di Eropa, bahwa orang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para
ahli hukum tersebut.

3. Doktrin dalam Piagam Mahkamah Internasional Dalam hukum internasional, pendapat ahli hukum
mempunyai kedudukan sebagai sumber tambahan. Pasal 38 ayat

(1) Piagam Mahkamah Internasional menentukan bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang
diajukan kepadanya; Mahkamah Internasional akan mempergunakan:
(2) perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung kertentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara
yang bersengketa,
(3) kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti daripada suatu kebiasaan umum yang
telah diterima sebagai hukum,
(4) prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab,
(5) keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan norma-norma hukum."

Dalam pasal ini, ajaran-ajaran dari sarjana-sarjana yang paling terkemuka - bersama-sama dengan
keputusan pengadilan dipandang sebagai sumber tambahan (subsidiary means). Kedudukan dari
keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana- sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara
dibedakan dari kedudukan perjanjian internasional, kebiasaan internasional, danprinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

4. Di masa sekarang ini, pendapat ahli hukum, doktrin, atau ajaran hukum pada dasarnya bukan sumber
langsung dari hukum. Hakim tidak terikat pada doktrin, melainkan hakim dapar mengutip pendapat ahli
hukum untuk memperkuat pertimbangan hukumnya sendiri. Oleh L.J. Apeldoorn, doktrin bersama-sama
dengan peradilan dan perjanjian – tidak dipandang sebagai sumberhukum dalam arti formal, melainkan
hanya sebagai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum saja. Alasannya karena:

а. Hakim tidak terikat pada communis opinio doctorum (pendapat umum para ahli hukum); dan,

b. Dalam Pasal 38 ayat (1) butir 4 dari Piagam Mahkamah Internasional, ajaran-ajaran sarjana-sarjana
yang paling terkemuka (the teachings of the most highly qualified publicists) hanya dipandang sebagai
sumber tambahan (subsidiary means) dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum

daftar Pustaka

kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Ilmu Hukum. Buku I. Bandung: Binacipta, 1976.

Puspa, Yan Pramadya,Kamus hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-inggris.Semarang: Aneka


Ilmu, 1977.

Rumokoy, Donald A.,praktik konvensi ketatanegaraan di Indonesia, Jakarta:Media Prima Aksara, 2011.

Anda mungkin juga menyukai