Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Teknologi Reproduksi Ternak


“In Vitro Fertilisasi”

Disusun Oleh

Oktovianus Heryanto N.G


1032018002

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIP)
YPP MUJAHIDIN TOLITOLI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “In Vitro Vertilisasi” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Ir.Hendrik,
S.Pt.,M.P.,IPM selaku Dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada
saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai peternakan ruminansia. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Saya berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Tolitoli, 22 Desember 2020

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL..............................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
BAB II PEM BAHASAN....................................................................................3
A. Pengertian In Vitro Fertilisasi......................................................................3
B. Manfaat dan Tahapan FIV...........................................................................4
C. Hambatan dan Tantangan Penerapan IVF..................................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................10
A. Kesimpulan..................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................12

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi kata In vitro  berasal dari bahasa Latin, berarti “di dalam kaca”
adalah istilah yang dipakai dalam biologi untuk menyebutkan kultur
suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam laboratorium. Istilah ini
dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-alat
laboratorium yang terbuat dari kaca, seperti cawan petri, labu
Erlenmeyer, tabung kultur, botol, dan sebagainya. Sedangkan Embrio
sebuah eukariota diploid multisel dalam tahap paling awal dari perkembangan.
Dalam organisme yang berkembang biak secara seksual, ketika
satu sel sperma membuahi ovum, hasilnya adalah satu sel yang disebut zigot yang
memiliki seluruh DNA dari kedua orang tuanya. Dalam tumbuhan, hewan, dan
beberapa protista, zigot akan mulai membelah oleh mitosis untuk menghasilkan
organisme multiselular. Hasil dari proses ini disebut embrio.
Apabila kita lihat dari definisi diatas maka In vitro embryo Production
adalah proses produksi untuk menghasilkan atau pengembangbiakaan sel telur dan
spermatozoa menjadi zigot dan berkembang menjadi embryo pada kultur jaringan
diluar tubuh hewan. Secara ringkas teknologi fertilisasi in vitro merupakan
teknologi untuk produksi embrio pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Ball &
Peters (2007) menyatakan dalam produksi embrio in vitro juga menawarkan
kemungkinan penyelidikan ilmiah masalah consepsi dan yang berhubungan
dengan kebuntingan.  Teknik embriyo in vitro untuk menetapkan bahwa sapi
birahi berulang juga menunjukkan  penyelesaian untuk penyimpangan dari kontrol
dalam produksi dan selanjutnya di vitro pengembangan oosit. Oosit yang
dikumpulkan akan berada di berbagai tahap kedewasaan dan sebagainya, untuk
memanfaatkan mereka, mereka harus matang dan dibuahi in vitro dan kemudian
dibiakkan sebelum transfer akhir ke penerima. Keberhasilan kebuntingan  dari
sapi fertilisasi in vitro pertama kali dilaporkan oleh Brackett et al. (1982).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan In Vitro Fertilisasi (IVF)?
2. Apa saja manfaaat dan tahapan dalam In Vitro Fertilisasi (IVF)?
3. Hambatan dan Tantangan penerapan IVF di Peternakan Rakyat?

2
BAB II PEM BAHASAN

A. Pengertian In Vitro Fertilisasi


Secara ringkas teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk
produksi embrio pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Teknologi fertilisasi in
vitro (FIV) merupakan teknologi produksi embrio pada lingkungan buatan diluar
tubuh dalam suatu sistem biakan sel (Hunter, 1995). Teknik fertilisasi invitro
(FIV) dapat menggunakan oosit yang berasal dari hewan yang masih hidup
maupun dari oosit hewan yang dipotong, sehingga teknik fertilisasi in vitro (FIV)
ini dapat menjadi altematif produksi embrio dalam pelaksanaan transfer embrio
(TE). Manfaat lain dari teknologi fertilisasi in vitro (FIV) adalah membuka
peluang yang lebih besar untuk mengembangkan teknik manipulasi gamet dan
embrio seperti produksi kloning (Gordon, 1994). Penerapan bioteknologi ini
membutuhkan oosit dalam jumlah yang banyak, selanjubrya oosit yang diperoleh
dimatangkan secara invitro (invitro maturation) untuk kepentingan fertilisasi in
vitro.
Keberhasilan fertilisasi in vitro memerlukan kesiapan yang memadai dari
oosit dan sperma secara biologis dan kondisi kultur yang mendukung efektifitas
metabolis dari gamet jantan dan betina. Berbagai aspek kondisi kultur seperti
medium, waktu inseminasi dan kapasitasi, sistem kultur Fertilisasi Sapi Lokal
(F.L.Syaiful, el all) terus di indentikasi untuk meningkatkan keberhasilan
fertilisasi in vitro (racket dan Zuelke,1993). Menurut Herdis (2000), embrio yang
dihasilkan dari teknologi fertilisasi in vitro dapat di transfer ke ternak resipien
untuk membantu percepatan peningkatan populasi ternak. Dengan teknik
fertilisasi in vitro, pemanfaatan oosit dari hewan yang dipotong merupakan cara
produksi embrio yang ekonomis karena dengan cara ini oosit hewan yang
dipotong dapat dimanfaatkan untuk dijadikan bakal bibit, hal ini tentu akan terasa
sekali nilai tambahnya.
Dalam pemanfaatan oosit hewan yang mati belum semua potensi yang ada
dapat dimanfaatkan karena terbatasnya daya hidup oosit, sementara teknologi
penyimpanan ovarium yang dapat mempertahankan viabilitas oosit dalam waktu
yang cukup lama atau selama transportasi belum tersedia. Untuk meningkatkan
fertilisasi dan fleksibilitas produksi embrio in vitro dapat dilakukan diluar

3
laboratorium, beberapa penelitian mencoba untuk menggantikan sumber atau
peranan COrsoA dalam mempertahankan pH medium. PH 27 medium dapat
dipertahankan dengan menambahkan suatu penyangga seperti Hepes. Menurut
Jaswandi (2002), bahwa hasil pematangan dan fertilisasi in vitro oosit domba
dengan penambahan penyangga Hepes dalam medium dapat memberikan kondisi
optimal. Dengan demikian penggunaan straw perlu dikaitkan dengan penambahan
penyangga Hepes dalam medium serta waktu inkubasi sehingga efek sinergis
penggunaannya dapat dicapai secara optimal.

B. Manfaat dan Tahapan FIV


Manfaat :
 Untuk meningkatkan mutu genetik dalam waktu yang lebih singkat
 Meningkatan populasi ternak tanpa takut terjadi transmisi penyakit
reproduksi menular akibat dari perkawinan alam
 Untuk memudahkan proses fertilisasi pada pasien infertil
 Sebagai metode awal dilakukannya transfer embrio
Tahapan FIV :
1. Koleksi Oosit
         Pada tahap awal produksi embryo in vitro adalah koleksi oosit dati sapi.
Koleksi oosit dari sapi dapat dilakukan dengan penyembelihan (pada RPH) dan
dengan koleksi oosit pada ternak hidup. Berikut ini penjelasan singkat proses
pengambilan Oosit pada sapi.
Koleksi Oosit Pada Ternak Pasca Penyembelihan :
1. Aspirasi Oosit
Pengambilan oosit dengan cara aspirasi menggunakan berbagai peralalatan
(pipet, syrinx dan jarum, jarum aspirasi di bawah vacuum pressure) adalah cara
yang paling sering dilakukan pada ovarium sapi yang telah dipotong. Kekurangan
dari metode ini adalah bahwa oosit yang dikoleksi dari sekali ambil dengan
penusukan jarum hanyalah 30-60%.
2. Teknik Mengiris Ovarium (slicing Ovary)
Teknik slicing ini dapat dilakukan pada ovarium setelah dilakukan aspirasi
atau tidak. Beberapa laporan menyebutkan penggunaan slicing setelah aspirasi
meningkatkan hasil yang didapat dari aspirasi dan laporan lain juga menyebutkan

4
bahwa metode ini memberikan hasil yang lebih baik pada kambing dan domba.
Peneliti di Dublin melaporkan bahwa waktu yang digunakan untuk slicing adalah
3 kali lebih lama dari aspirasi.
3. Diseksi Folikel (Pembelahan Folikel)
Pada metode ini, Cumulus Oocyte Complex dikeluarkan dengan
merupturkan folikel yang masih utuh pada medium diseksi. Jika dibandingkan
antara cara diseksi dengan aspirasi, cara diseksi oosit memiliki hasil kualitas oosit
yang lebih baik karena pada aspirasi terjadi kerusakan pada kumulus
oophorusnya.
Koleksi Oosit dari Hewan Hidup
1. Teknik Leparoskopi
Teknik  laparoskopi  merupakan metode yang  dapat dilakukan untuk
menjamin ketersediaan oosit  dari donor hidup dan alat bantu dalam rangka 
penerapan  bioteknologi  reproduksi  lainnya.  Melalui  teknik laparoskopi dapat
diperoleh sejumlah oosit dari  donor yang tetap  dibiarkan hidup karena teknik 
ini  hanya menimbulkan sedikit perlukaan dan proses persembuhan  luka  yang 
lebih  cepat.  Di samping  itu,  pendekatan gelombang folikel dan stimulasi
hormonal  juga  dilakukan  untuk  memperoleh perkembangan  folikel  yang
optimum sehingga akan didapatkan sejumlah oosit yang diperlukan. 
2. Teknik Endoscopi
Teknik endoskopi telah memberikan pengaruh besar dalam bidang
reproduksi pada spesies yang berbeda. Sinkronisasi hewan, folikel aspirasi
inseminasi, koleksi embrio dan pengalihan adalah topik utama di mana penggunaa
endoskopi dapat memiliki efek yang efisien dan menguntungkan pada strategy
peternakan 
3. Teknik Flushing
Flushing merupakan teknik pengambilan embryo (panen embryo) yang
diambil dari ternak hudup melalui bantuan cairan tertentu.
4. Teknik Ovum Pick Up (OPU)
Transvaginal pengambilan oosit (TVOR), juga disebut sebagai ovum pick-
up (OPU) atau bahkan sekedar koleksi telur, adalah teknik yang digunakan dalam
hubungannya dengan fertilisasi in vitro (IVF). Teknologi ini memungkinkan

5
untuk menghilangkan oosit (OPU) dari ovarium donor hewan betina, pemupukan
oosit tersebut dengan menggunakan (IVF) di luar tubuh, dan memungkinkan
sejumlah besar embrio yang dibuahi akan tersedia untuk implantasi pada hewan
penerima.
2. Proses Pematangan (in Vitro)
Salah satu kelemahan utama in vitro produksi embrio adalah bahwa kurang
dari 40% oosit yang diperoleh OPU kemudian berkembang menjadi blastokista,
mungkin karena kualitas oosit sendiri, daripada efisiensi prosedur berikutnya. Hal
ini tidak mengherankan bila dianggap bahwa proporsi yang sangat tinggi dari
folikel ovarium ditakdirkan oleh alam untuk menjadi atresia. Selain itu, oosit yang
diperoleh akan berada di berbagai tahap perkembangan. Biasanya, mereka
diperoleh dari folikel 2-8 mm. Tanpa intervensi oosit tersebut, jika mereka
ditakdirkan untuk ovulasi, akan terjadi beberapa minggu lagi untuk dewasa.
Disedot oosit yang matang hanya 24 jam pada in vitro, selama waktu proses
pematangan yang sama perlu dilakukan. Hal ini berpikir bahwa ini
memungkinkan mereka kesempatan untuk memperoleh kompetensi
perkembangan yang lebih besar sebelum mereka diserahkan ke normal dalam
maturasi in vitro. Kehadiran sel cumulous tampaknya menjadi penting, terutama
pada tahap awal pematangan. Faktor-faktor yang terlibat dalam pematangan oosit 
adalah bahwa Sel-sel granulosa memainkan peran penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan oosit selama hidup intrafollicular nya. Antar komunikasi
antara sel-sel kumulus dan oosit terjadi melalui faktor parakrin dan melalui gap
junction. Sel kumulus memfasilitasi transfer nutrisi dan factor penting untuk
pengembangan oosit, seperti metabolit, asam amino, molekul transduksi sinyal
dan faktor lainnya. Gumpalan awan Sel-sel yang dikenal untuk memainkan peran
penting dalam regulasi sitoplasma dan nuklir pematangan oosit. Oocyte yang
dikoleksi dari ovarium belum matang, tidak bisa dibuahi hingga mereka matang. 

3. Fertilisasi Secara In Vitro

6
Proses fertilisasi pada produksi embryo secara in vitro diawali dengan
kapasitasi spermatozoa.  pembuahan. Dalam produksi embrio, salah satu langkah
pertama adalah pemilihan sperma untuk digunakan dalam IVF. Praktek yang
umum adalah untuk memilih semen beku dan dicairkan berdasarkan suatu Metode
pemisahan Percoll. Sperma dengan sebuah kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dan integritas akrosom bisa diperoleh dengan pemisahan Percoll dibandingkan
dengan metode ‘berenang-up’. IVF adalah prosedur yang kompleks yang
melibatkan oosit pematangan, pemisahan sperma dan sperma kapasitasi. Sperma
kapasitasi adalah modifikasi sperma biokimia harus menjalani dalam saluran
reproduksi wanita sebelum sel dapat mengikat zona pelusida dan menjalani reaksi
akrosom (AR). Kapasitasi mungkin in vitro dalam ketiadaan saluran reproduksi
cairan dan beberapa senyawa yang dikenal untuk menginduksi in vitro kapasitasi
yang paling umum ini adalah glikosaminoglikan (GAG) heparin.
Hal ini sesuai pendapat dari  Ball & Peters (2007) menyatakan pemupukan
dilakukan dengan mengekspos oosit matang untuk spermatozoa berkapasitas, baik
segar atau beku-dicairkan dalam media fertilisasi. Heparin adalah biasanya
ditambahkan ke medium untuk menginduksi kapasitasi sperma. Jika diterapkan
pada kasus sperma yang mutu dan jumlahnya sangat minim. Jika pada teknik IVF
konvensional membutuhkan 50 ribu-100 ribu sperma untuk membuahi sel telur,
maka pada teknik ICSI hanya membutuhkan satu sperma dengan kualitas bagus.
Dengan bantuan pipet khusus, sperma kemudian disuntikkan ke dalam sel telur.
Untuk berbagai alasan, mungkin ada kebutuhan untuk mengeksplorasi cara-cara
baru untuk mencapai fertilisasi.

4. Kultur Embryo In Vitro


Kultur embryo dimulai setelah pembuahan selama 18-24 jam pada medium
fertilisasi TALP, zigot dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam larutan Bench dan
vortex dilakukan selama 1 menit . Pembiakan dilakukan dengan memasukkan
masing-masing 4 zigot pada synthetic oviduct fluid (Sof media) pada inkubator
CO Z dengan 5% CO Z di udara, suhu 38 0 C selama 48 jam. Kemudian setiap 48
jam dilakukan penggantian medium lama dengan medium yang baru.
Perkembangan embrio dievaluasi setelah 6 hari dari waktu fertilisasi (hari ke-7
setelah penampungan sel telur) dengan menggunakan mikroskop. Setelah dibuahi,

7
embrio harus berbudaya ke tahap blastokista siap transfer embrio non-bedah.
Secara tradisional, yang disebut sistem pembiakan sudah  digunakan, di mana
embrio berkembang tumbuh bersamaan dengan granulosa berkembangbiak dan /
atau sel cumulus. Penggunaan sistem baru di mana embrio yang dibiakkan dengan
sel epitel saluran telur. Tampaknya, bagaimanapun, bahwa sistem pembiakan
dengan serum yang mengandung hormone alami dapat menginduksi neonatal dan
masalah janin dan ada upaya untuk menghasilkan media serum sintetis.
Masalahnya adalah bahwa blastokista sapi dikembangkan protein bebas menengah
yang ditemukan metabolik dan berbagai pendekatan telah mencoba untuk
mengatasi hal ini. laporan penggunaan fisiologis sistem media berurutan bebas
serum yang menghasilkan blastosis sapi dengan harga setara dengan kultur
pembiakan. Selain itu, blastosis tersebut memiliki jumlah sel setara atau
meningkat dan inner cell pengembangan massal dan diproduksi tingkat kehamilan
setara setelah transfer embrio IVF kedua diproduksi segar dan beku.

C. Hambatan dan Tantangan Penerapan IVF


Ada masalah ataupun hambatan yang terkait dengan Fertilissi In Vitro.
Keberhasilan rendah Harga membatasi kontribusi bahwa prosedur ini dapat
membuat perbaikan genetic. Masalah spesifik termasuk insiden tinggi polispermia
selama fertilisasi in vitro. Ada juga signifikan pasca-hari 35 kematian janin.
Thompson & Peterson (2000) menemukan bahwa banyak dari ini kerugian
disebabkan kegagalan pembangunan allantoic normal dalam konsepsi.
Masalah kesejahteraan potensial yang khusus berkaitan dengan OPU telah
dirujuk untuk, dan tidak muncul untuk menjadi perhatian besar. Tentu banyak
perhatian yang lebih besar adalah berpengaruh pada keturunan yang benar-benar
dibawa ke sisi sini memang ada masalah kesejahteraan. Paling serius adalah
kelahiran anak sapi yang luar biasa besar yang dihasilkan dari dalam produksi
embrio in vitro. Terkait dengan hal ini memiliki laporan tentang kesulitan
bernapas, keengganan untuk menyusu dan kematian perinatal tiba-tiba. Itu Alasan
untuk ini masih belum jelas, tapi masalahnya tampaknya terkait dengan Janin per
se bukan plasenta. Sejumlah faktor telah terlibat. Banyak dari ini terkait dengan
prosedur kultur in vitro, dan lain-lain termasuk transfer embrio asynchronous dan

8
ibu paparan urea tinggi diets. Literature  telah dilakukan untuk kemungkinan seks
diubah rasio dalam kondisi tertentu pembiakan selama produksi embrio in vitro,
tapi secara keseluruhan ada sedikit bukti penyimpangan yang signifikan dari rasio
yang diharapkan.

9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara ringkas teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk
produksi embrio pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Teknik fertilisasi invitro
(FIV) dapat menggunakan oosit yang berasal dari hewan yang masih hidup
maupun dari oosit hewan yang dipotong, sehingga teknik fertilisasi in vitro (FIV)
ini dapat menjadi altematif produksi embrio dalam pelaksanaan transfer embrio
(TE). Manfaat lain dari teknologi fertilisasi in vitro (FIV) adalah membuka
peluang yang lebih besar untuk mengembangkan teknik manipulasi gamet dan
embrio seperti produksi cloning Penerapan bioteknologi ini membutuhkan oosit
dalam jumlah yang banyak, selanjunya oosit yang diperoleh dimatangkan secara
invitro (invitro maturation) untuk kepentingan fertilisasi in vitro.
Keberhasilan fertilisasi in vitro memerlukan kesiapan yang memadai dari
oosit dan sperma secara biologis dan kondisi kultur yang mendukung efektifitas
metabolis dari gamet jantan dan betina. Dengan teknik fertilisasi in vitro,
pemanfaatan oosit dari hewan yang dipotong merupakan cara produksi embrio
yang ekonomis karena dengan cara ini oosit hewan yang dipotong dapat
dimanfaatkan untuk dijadikan bakal bibit, dalam pemanfaatan oosit hewan yang
mati belum semua potensi yang ada dapat dimanfaatkan karena terbatasnya daya
hidup oosit, sementara teknologi penyimpanan ovarium yang dapat
mempertahankan viabilitas oosit dalam waktu yang cukup lama atau selama
transportasi belum tersedia. Untuk meningkatkan fertilisasi dan fleksibilitas
produksi embrio in vitro dapat dilakukan diluar laboratorium.

Manfaat dari proses Fertilisasi In Vitro (FIV) yaitu: Untuk meningkatkan


mutu genetik dalam waktu yang lebih singkat, Meningkatan populasi ternak tanpa
takut terjadi transmisi penyakit reproduksi menular akibat dari perkawinan alam,
Untuk memudahkan proses fertilisasi pada pasien infertile, dan Sebagai metode
awal dilakukannya transfer embrio. Sedangkan tahapan pada proses Fertilisasi In
Vitro (FIV) yaitu: Koleksi Oosit, Proses Pematangan (in Vitro), Fertilisasi Secara
In Vitro, dan Kultur Embryo In Vitro.

10
Ada pun masalah atau hambatan yang terkait dengan Fertilissi In Vitro.
Keberhasilan rendah Harga membatasi kontribusi bahwa prosedur ini dapat
membuat perbaikan genetic. Masalah spesifik termasuk insiden tinggi polispermia
selama fertilisasi in vitro. Ada juga signifikan pasca-hari 35 kematian janin.
Thompson & Peterson (2000) menemukan bahwa banyak dari ini kerugian
disebabkan kegagalan pembangunan allantoic normal dalam konsepsi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adifa, N. S, P. Astuti, dan D. T. Widayati. 2010. Pengaruh Penambahan


Chorionic Gonadotrophin Pada Medium Maturasi Terhadap Kemampuan
Maturasi, Fertilisasi, Dan Perkembangan Embrio Secara In Vitrokambing
Peranakan Ettawa. Buletin Peternakan ISSN 0126-4400 Vol.34(1): 8-15.

Besenfelder , Havlicek V., Brem G.,  2012. In: Embyo Technology, Constantine 


the  Philosopher  University  in  Nitra,  Faculty  of  Natural  Sciences.

Boediono A. 2005. Produksi embrio kembar identik  melalui bedah mikro pada
embrio kambing hasil  in vitro. Jurnal Veteriner 6(2): 3946.

Boland, M.P. (2002) Impact of currrent management practices on embryo survival


in the modern dairy cow.Cattle Practice10, 337–347.

Boland, M.P., Lonergan, P. & Sreenan, J.M. (2000) In Fertility in the High-
Producing Dairy Cow (ed. M.G. Diskin). British Society of Animal
Science Occasional Publication,26, 263–275.

Cech, S., Havlicek, V., Lopatarova, M., Lorincova, L., Zahradnikova, J. and
Dolezel, R. (2003) Repeated ovum pick-up in stimulated pregnant dairy
cows.Reproduction in Domestic Animals 38, 349–350 (Abstract).

Flohr  SF,  Wulster-Radcliffe MC,  Lewis  GS.  1999.  Technical note:


Development of a transcervical  oocyte recovery procedure for sheep. J
Anim Sci  77:2583-2586.

Gordon, Ian. 2005. Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI


Publishing; Wallingford UK.

Gordon,Ian R. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos. CABI Publishing;


Wallingford UK.

Heyman, Y., Richard, C., Lavergney, Y., Menezo, Y. and Vignon, X. (2003b)
Outcome of pregnancies after transfer of bovine IVP embryos cultured in

12
the serum free sequential media, ISM1/ISM2. Proceedings 19th Meeting
European Embryo Transfer Association (Rostock), p. 160.

Lane, M., Gardner, D.K., Hasler, M.J. and Hasler, J.F. (2003) Use of G1.2/G2.2
media for commercial bovine embryo culture: equivalent development
and pregnancy rates compared to co-culture. Theriogenology60, 407–
419.

Lechniak, D., Strabel, T., Bousquet, D. & King, A.W. (2003) Reproduction in
Domestic Animals,38, 224–227.

Lechniak, D., Strabel, T., Bousquet, D. & King, A.W. (2003) Reproduction in
Domestic Animals,38, 224–227.

McEvoy, T.G., Thompson, H., Dolman, D.F., Watt, R.G., Reis, A. & Staines,
M.E. (2002) Veterinary Record,151, 653–658.

Mendes, J.O., Burns, P.D., De La Torre-Sanchez, J.F. & Seidel, G.E. (2003)
Theriogenology,60, 331–340.

13

Anda mungkin juga menyukai