Teknologi Repro Ternak OkovianusheryantoNG
Teknologi Repro Ternak OkovianusheryantoNG
Disusun Oleh
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “In Vitro Vertilisasi” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Ir.Hendrik,
S.Pt.,M.P.,IPM selaku Dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada
saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai peternakan ruminansia. Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Saya berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL..............................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
BAB II PEM BAHASAN....................................................................................3
A. Pengertian In Vitro Fertilisasi......................................................................3
B. Manfaat dan Tahapan FIV...........................................................................4
C. Hambatan dan Tantangan Penerapan IVF..................................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................10
A. Kesimpulan..................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................12
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Definisi kata In vitro berasal dari bahasa Latin, berarti “di dalam kaca”
adalah istilah yang dipakai dalam biologi untuk menyebutkan kultur
suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam laboratorium. Istilah ini
dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-alat
laboratorium yang terbuat dari kaca, seperti cawan petri, labu
Erlenmeyer, tabung kultur, botol, dan sebagainya. Sedangkan Embrio
sebuah eukariota diploid multisel dalam tahap paling awal dari perkembangan.
Dalam organisme yang berkembang biak secara seksual, ketika
satu sel sperma membuahi ovum, hasilnya adalah satu sel yang disebut zigot yang
memiliki seluruh DNA dari kedua orang tuanya. Dalam tumbuhan, hewan, dan
beberapa protista, zigot akan mulai membelah oleh mitosis untuk menghasilkan
organisme multiselular. Hasil dari proses ini disebut embrio.
Apabila kita lihat dari definisi diatas maka In vitro embryo Production
adalah proses produksi untuk menghasilkan atau pengembangbiakaan sel telur dan
spermatozoa menjadi zigot dan berkembang menjadi embryo pada kultur jaringan
diluar tubuh hewan. Secara ringkas teknologi fertilisasi in vitro merupakan
teknologi untuk produksi embrio pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Ball &
Peters (2007) menyatakan dalam produksi embrio in vitro juga menawarkan
kemungkinan penyelidikan ilmiah masalah consepsi dan yang berhubungan
dengan kebuntingan. Teknik embriyo in vitro untuk menetapkan bahwa sapi
birahi berulang juga menunjukkan penyelesaian untuk penyimpangan dari kontrol
dalam produksi dan selanjutnya di vitro pengembangan oosit. Oosit yang
dikumpulkan akan berada di berbagai tahap kedewasaan dan sebagainya, untuk
memanfaatkan mereka, mereka harus matang dan dibuahi in vitro dan kemudian
dibiakkan sebelum transfer akhir ke penerima. Keberhasilan kebuntingan dari
sapi fertilisasi in vitro pertama kali dilaporkan oleh Brackett et al. (1982).
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan In Vitro Fertilisasi (IVF)?
2. Apa saja manfaaat dan tahapan dalam In Vitro Fertilisasi (IVF)?
3. Hambatan dan Tantangan penerapan IVF di Peternakan Rakyat?
2
BAB II PEM BAHASAN
3
laboratorium, beberapa penelitian mencoba untuk menggantikan sumber atau
peranan COrsoA dalam mempertahankan pH medium. PH 27 medium dapat
dipertahankan dengan menambahkan suatu penyangga seperti Hepes. Menurut
Jaswandi (2002), bahwa hasil pematangan dan fertilisasi in vitro oosit domba
dengan penambahan penyangga Hepes dalam medium dapat memberikan kondisi
optimal. Dengan demikian penggunaan straw perlu dikaitkan dengan penambahan
penyangga Hepes dalam medium serta waktu inkubasi sehingga efek sinergis
penggunaannya dapat dicapai secara optimal.
4
bahwa metode ini memberikan hasil yang lebih baik pada kambing dan domba.
Peneliti di Dublin melaporkan bahwa waktu yang digunakan untuk slicing adalah
3 kali lebih lama dari aspirasi.
3. Diseksi Folikel (Pembelahan Folikel)
Pada metode ini, Cumulus Oocyte Complex dikeluarkan dengan
merupturkan folikel yang masih utuh pada medium diseksi. Jika dibandingkan
antara cara diseksi dengan aspirasi, cara diseksi oosit memiliki hasil kualitas oosit
yang lebih baik karena pada aspirasi terjadi kerusakan pada kumulus
oophorusnya.
Koleksi Oosit dari Hewan Hidup
1. Teknik Leparoskopi
Teknik laparoskopi merupakan metode yang dapat dilakukan untuk
menjamin ketersediaan oosit dari donor hidup dan alat bantu dalam rangka
penerapan bioteknologi reproduksi lainnya. Melalui teknik laparoskopi dapat
diperoleh sejumlah oosit dari donor yang tetap dibiarkan hidup karena teknik
ini hanya menimbulkan sedikit perlukaan dan proses persembuhan luka yang
lebih cepat. Di samping itu, pendekatan gelombang folikel dan stimulasi
hormonal juga dilakukan untuk memperoleh perkembangan folikel yang
optimum sehingga akan didapatkan sejumlah oosit yang diperlukan.
2. Teknik Endoscopi
Teknik endoskopi telah memberikan pengaruh besar dalam bidang
reproduksi pada spesies yang berbeda. Sinkronisasi hewan, folikel aspirasi
inseminasi, koleksi embrio dan pengalihan adalah topik utama di mana penggunaa
endoskopi dapat memiliki efek yang efisien dan menguntungkan pada strategy
peternakan
3. Teknik Flushing
Flushing merupakan teknik pengambilan embryo (panen embryo) yang
diambil dari ternak hudup melalui bantuan cairan tertentu.
4. Teknik Ovum Pick Up (OPU)
Transvaginal pengambilan oosit (TVOR), juga disebut sebagai ovum pick-
up (OPU) atau bahkan sekedar koleksi telur, adalah teknik yang digunakan dalam
hubungannya dengan fertilisasi in vitro (IVF). Teknologi ini memungkinkan
5
untuk menghilangkan oosit (OPU) dari ovarium donor hewan betina, pemupukan
oosit tersebut dengan menggunakan (IVF) di luar tubuh, dan memungkinkan
sejumlah besar embrio yang dibuahi akan tersedia untuk implantasi pada hewan
penerima.
2. Proses Pematangan (in Vitro)
Salah satu kelemahan utama in vitro produksi embrio adalah bahwa kurang
dari 40% oosit yang diperoleh OPU kemudian berkembang menjadi blastokista,
mungkin karena kualitas oosit sendiri, daripada efisiensi prosedur berikutnya. Hal
ini tidak mengherankan bila dianggap bahwa proporsi yang sangat tinggi dari
folikel ovarium ditakdirkan oleh alam untuk menjadi atresia. Selain itu, oosit yang
diperoleh akan berada di berbagai tahap perkembangan. Biasanya, mereka
diperoleh dari folikel 2-8 mm. Tanpa intervensi oosit tersebut, jika mereka
ditakdirkan untuk ovulasi, akan terjadi beberapa minggu lagi untuk dewasa.
Disedot oosit yang matang hanya 24 jam pada in vitro, selama waktu proses
pematangan yang sama perlu dilakukan. Hal ini berpikir bahwa ini
memungkinkan mereka kesempatan untuk memperoleh kompetensi
perkembangan yang lebih besar sebelum mereka diserahkan ke normal dalam
maturasi in vitro. Kehadiran sel cumulous tampaknya menjadi penting, terutama
pada tahap awal pematangan. Faktor-faktor yang terlibat dalam pematangan oosit
adalah bahwa Sel-sel granulosa memainkan peran penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan oosit selama hidup intrafollicular nya. Antar komunikasi
antara sel-sel kumulus dan oosit terjadi melalui faktor parakrin dan melalui gap
junction. Sel kumulus memfasilitasi transfer nutrisi dan factor penting untuk
pengembangan oosit, seperti metabolit, asam amino, molekul transduksi sinyal
dan faktor lainnya. Gumpalan awan Sel-sel yang dikenal untuk memainkan peran
penting dalam regulasi sitoplasma dan nuklir pematangan oosit. Oocyte yang
dikoleksi dari ovarium belum matang, tidak bisa dibuahi hingga mereka matang.
6
Proses fertilisasi pada produksi embryo secara in vitro diawali dengan
kapasitasi spermatozoa. pembuahan. Dalam produksi embrio, salah satu langkah
pertama adalah pemilihan sperma untuk digunakan dalam IVF. Praktek yang
umum adalah untuk memilih semen beku dan dicairkan berdasarkan suatu Metode
pemisahan Percoll. Sperma dengan sebuah kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dan integritas akrosom bisa diperoleh dengan pemisahan Percoll dibandingkan
dengan metode ‘berenang-up’. IVF adalah prosedur yang kompleks yang
melibatkan oosit pematangan, pemisahan sperma dan sperma kapasitasi. Sperma
kapasitasi adalah modifikasi sperma biokimia harus menjalani dalam saluran
reproduksi wanita sebelum sel dapat mengikat zona pelusida dan menjalani reaksi
akrosom (AR). Kapasitasi mungkin in vitro dalam ketiadaan saluran reproduksi
cairan dan beberapa senyawa yang dikenal untuk menginduksi in vitro kapasitasi
yang paling umum ini adalah glikosaminoglikan (GAG) heparin.
Hal ini sesuai pendapat dari Ball & Peters (2007) menyatakan pemupukan
dilakukan dengan mengekspos oosit matang untuk spermatozoa berkapasitas, baik
segar atau beku-dicairkan dalam media fertilisasi. Heparin adalah biasanya
ditambahkan ke medium untuk menginduksi kapasitasi sperma. Jika diterapkan
pada kasus sperma yang mutu dan jumlahnya sangat minim. Jika pada teknik IVF
konvensional membutuhkan 50 ribu-100 ribu sperma untuk membuahi sel telur,
maka pada teknik ICSI hanya membutuhkan satu sperma dengan kualitas bagus.
Dengan bantuan pipet khusus, sperma kemudian disuntikkan ke dalam sel telur.
Untuk berbagai alasan, mungkin ada kebutuhan untuk mengeksplorasi cara-cara
baru untuk mencapai fertilisasi.
7
embrio harus berbudaya ke tahap blastokista siap transfer embrio non-bedah.
Secara tradisional, yang disebut sistem pembiakan sudah digunakan, di mana
embrio berkembang tumbuh bersamaan dengan granulosa berkembangbiak dan /
atau sel cumulus. Penggunaan sistem baru di mana embrio yang dibiakkan dengan
sel epitel saluran telur. Tampaknya, bagaimanapun, bahwa sistem pembiakan
dengan serum yang mengandung hormone alami dapat menginduksi neonatal dan
masalah janin dan ada upaya untuk menghasilkan media serum sintetis.
Masalahnya adalah bahwa blastokista sapi dikembangkan protein bebas menengah
yang ditemukan metabolik dan berbagai pendekatan telah mencoba untuk
mengatasi hal ini. laporan penggunaan fisiologis sistem media berurutan bebas
serum yang menghasilkan blastosis sapi dengan harga setara dengan kultur
pembiakan. Selain itu, blastosis tersebut memiliki jumlah sel setara atau
meningkat dan inner cell pengembangan massal dan diproduksi tingkat kehamilan
setara setelah transfer embrio IVF kedua diproduksi segar dan beku.
8
ibu paparan urea tinggi diets. Literature telah dilakukan untuk kemungkinan seks
diubah rasio dalam kondisi tertentu pembiakan selama produksi embrio in vitro,
tapi secara keseluruhan ada sedikit bukti penyimpangan yang signifikan dari rasio
yang diharapkan.
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara ringkas teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk
produksi embrio pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Teknik fertilisasi invitro
(FIV) dapat menggunakan oosit yang berasal dari hewan yang masih hidup
maupun dari oosit hewan yang dipotong, sehingga teknik fertilisasi in vitro (FIV)
ini dapat menjadi altematif produksi embrio dalam pelaksanaan transfer embrio
(TE). Manfaat lain dari teknologi fertilisasi in vitro (FIV) adalah membuka
peluang yang lebih besar untuk mengembangkan teknik manipulasi gamet dan
embrio seperti produksi cloning Penerapan bioteknologi ini membutuhkan oosit
dalam jumlah yang banyak, selanjunya oosit yang diperoleh dimatangkan secara
invitro (invitro maturation) untuk kepentingan fertilisasi in vitro.
Keberhasilan fertilisasi in vitro memerlukan kesiapan yang memadai dari
oosit dan sperma secara biologis dan kondisi kultur yang mendukung efektifitas
metabolis dari gamet jantan dan betina. Dengan teknik fertilisasi in vitro,
pemanfaatan oosit dari hewan yang dipotong merupakan cara produksi embrio
yang ekonomis karena dengan cara ini oosit hewan yang dipotong dapat
dimanfaatkan untuk dijadikan bakal bibit, dalam pemanfaatan oosit hewan yang
mati belum semua potensi yang ada dapat dimanfaatkan karena terbatasnya daya
hidup oosit, sementara teknologi penyimpanan ovarium yang dapat
mempertahankan viabilitas oosit dalam waktu yang cukup lama atau selama
transportasi belum tersedia. Untuk meningkatkan fertilisasi dan fleksibilitas
produksi embrio in vitro dapat dilakukan diluar laboratorium.
10
Ada pun masalah atau hambatan yang terkait dengan Fertilissi In Vitro.
Keberhasilan rendah Harga membatasi kontribusi bahwa prosedur ini dapat
membuat perbaikan genetic. Masalah spesifik termasuk insiden tinggi polispermia
selama fertilisasi in vitro. Ada juga signifikan pasca-hari 35 kematian janin.
Thompson & Peterson (2000) menemukan bahwa banyak dari ini kerugian
disebabkan kegagalan pembangunan allantoic normal dalam konsepsi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Boediono A. 2005. Produksi embrio kembar identik melalui bedah mikro pada
embrio kambing hasil in vitro. Jurnal Veteriner 6(2): 3946.
Boland, M.P., Lonergan, P. & Sreenan, J.M. (2000) In Fertility in the High-
Producing Dairy Cow (ed. M.G. Diskin). British Society of Animal
Science Occasional Publication,26, 263–275.
Cech, S., Havlicek, V., Lopatarova, M., Lorincova, L., Zahradnikova, J. and
Dolezel, R. (2003) Repeated ovum pick-up in stimulated pregnant dairy
cows.Reproduction in Domestic Animals 38, 349–350 (Abstract).
Heyman, Y., Richard, C., Lavergney, Y., Menezo, Y. and Vignon, X. (2003b)
Outcome of pregnancies after transfer of bovine IVP embryos cultured in
12
the serum free sequential media, ISM1/ISM2. Proceedings 19th Meeting
European Embryo Transfer Association (Rostock), p. 160.
Lane, M., Gardner, D.K., Hasler, M.J. and Hasler, J.F. (2003) Use of G1.2/G2.2
media for commercial bovine embryo culture: equivalent development
and pregnancy rates compared to co-culture. Theriogenology60, 407–
419.
Lechniak, D., Strabel, T., Bousquet, D. & King, A.W. (2003) Reproduction in
Domestic Animals,38, 224–227.
Lechniak, D., Strabel, T., Bousquet, D. & King, A.W. (2003) Reproduction in
Domestic Animals,38, 224–227.
McEvoy, T.G., Thompson, H., Dolman, D.F., Watt, R.G., Reis, A. & Staines,
M.E. (2002) Veterinary Record,151, 653–658.
Mendes, J.O., Burns, P.D., De La Torre-Sanchez, J.F. & Seidel, G.E. (2003)
Theriogenology,60, 331–340.
13