Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba, antimicrobial
resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan berbagai
dampak merugikan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Muncul dan
berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi (selection pressure)
yang sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan penyebaran mikroba
resisten (spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat dengan cara menggunakan
secara bijak, sedangkan proses penyebaran dapat dihambat dengan cara mengendalikan
infeksi secara optimal. Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap
antimikroba yang efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan
parasit. Bakteri adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang
dimaksud adalah penggunaan antibiotik.
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) tahun 2000-2005 pada
2494 individu di masyarakat, memperlihatkan bahwa 43% Escherichia coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan
kloramfenikol (25%). Sedangkan pada 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan
81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%),
kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa masalah resistensi antimikroba juga terjadi di
Indonesia. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa di Surabaya dan Semarang terdapat
masalah resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik yang tidak bijak, dan pengendalian
infeksi yang belum optimal. Penelitian AMRIN ini menghasilkan rekomendasi berupa
metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi
antimikroba secara efisien. Hasil penelitian tersebut telah disebarluaskan ke rumah sakit
lain di Indonesia melalui lokakarya nasional pertama di Bandung tanggal 29-31 Mei 2005,
dengan harapan agar rumah sakit lain dapat melaksanakan “self-assessment program”
menggunakan “validated method” seperti yang dimaksud di atas. Pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di masing-masing rumah sakit, sehingga akan
diperoleh data resistensi antimikroba, data penggunaan antibiotik, dan pengendalian infeksi
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Islam Arafah memalui penggunaan
antibiotik yang rasional yang dilaksanakan oleh semua petugas baik dokter dan
paramedis, farmasi, laboratorium dan lainnya dengan meliputi kualitas pelayanan,
magement resiko, clinical governace serta kesehatan dan keselamatan kerja.
2. Tujuan Khusus
a. Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, agar berlangsung secara baku,
terpadu, berkesinambungan, terukur, dan dapat dievaluasi.
b. Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit secara efektif dan
efisien.
1. Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek
antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis.
2. Penegndalian Resistensi Antimokroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan
/ atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten.
3. Komite Pengendalian Resistensi Antimokroba yang disingkat dengan (KPRA) adalah
Komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan
penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di
masyarakat.
4. Tim Pengendalian Resistensi Antimikroba yang di singkat dengan TPRA adalah Tim yang
dibentuk dari Rumah Sakit yang bertanggung jawab langsung kepada direktur dalam
melaksanakan tugasnya.
a. Kebijakan Umum
1. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
2. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan definitif Terapi
antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau diduga infeksi
yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya. Terapi antibiotik
definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis
bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
3. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotik profilaksis atas
indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum dalam
ketentuan yang berlaku. Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik
sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis
tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka
daerah operasi.
4. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong dalam
pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik profilaksis
b. Kebijakan Khusus
1. Pengobatan awal
a. Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri
diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam.
b. Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan laboratorium
dan mikrobiologi.
c. Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
2. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
setempat.
3. Prinsip pemilihan antibiotik :
a. Pilihan pertama (first choice).
b. Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
c. Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
4. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan automatic stop
order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu profilaksis, terapi empirik, atau
terapi definitif.
5. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
Agar Rumah Sakit dapat melaksanakan pengendalian resistensi antimikroba secara optimal,
maka dibentuyk Tim pelaksana program pengendalian Resistensi Antimikroba Rumah Sakit
(Tim PPRA RS) berdasarkan keputusan kepala / Direktur rumah sakit.
Tim PPRA rumah sakit dibentuk dengan tujuan menerapkan pengendalian resistensi
antimikroba dirumah sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi.
A. Kedudukan dan Tanggung Jawab
Dalam melaksanakan tugas, Tim PPRA bertanggung jawab langsung kepada Direktur
rumah sakit. Keputusan Direktur rumah sakit tersebut berisi urain tugas tim secara lengkap,
yang menggambarkan garis kewenangan dan tanggung jawab serta koordinasi antar-unit
terkait dirumah sakit.
B. Keanggotaan Tim PPRA
Susunan Tim PPRA (Program Pengendalian Resistensi Antimikroba) di Rumah Sakit Islam
Arafah terdiri dari :
1) Ketua TIM PPRA
2) Sekretaris
3) Anggota :
a. Klinisi perwakilan SMF
b. Keperawatan
c. Instalasi Farmasi
d. Laboratoorium Mikrobiologi/patologi klinik
e. Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI)
f. Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
Direktur
Anggota :
Instalasi Bidang
Farmasi Keperawatan
Komite /Tim
Komite PPI
KFT
Dalam melakukan tugasnya, Tim PPRA berkoordinasi dengan unit kerja : SMF /bagian, bidang
keperawatan, instalasi farmasi, laboratorium mikrobiologi klinik, komite pencegahan dan
pengendalian infeksi (KPPI), komite / tim farmasi dan terapi (KFT).
2. Bidang Keperawatan
1) Menerapkan kewaspadaan standar dalam upaya mencegah penyebaran mikroba
resisten.
2) Terlibat dalam cara pemberian antibiotik yang benar.
3) Terlibat dalam pengambilan spesimen mikrobiologi secara teknik aseptik.
3. Instalasi Farmasi
1) Mengelola serta menjamin mutu dan ketersediaan antibiotik yang tercantum dalam
formularium.
2) Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana pasien infeksi,
melalui: pengkajian peresepan, pengendalian dan monitoring penggunaan antibiotik,
visite ke bangsal pasien bersama tim.
3) Memberikan informasi dan edukasi tentang penggunaan antibiotik yang tepat dan benar.
4) Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
Pedoman Kerja Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba 10
4. Laboratorium Mikrobiologi Klinik
1) Melakukan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi.
2) Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana pasien infeksi
melalui visite ke bangsal pasien bersama tim.
3) Memberikan informasi pola mikroba dan pola resistensi secara berkala setiap tahun.
BAB V
KEGIATAN
c. Angka mikroba multiresisten lain dihitung dengan rumus yang sama dengan poin
b)
d. Selain indikator di atas, rumah sakit dapat menetapkan indikator KLB sesuai
dengan kejadian setempat.
e. Untuk bisa mengenali indikator tersebut, perlu dilakukan surveilans dan kerja
sama dengan laboratorium mikrobiologi klinik.
3) Upaya menekan mikroba multiresisten, dilakukan baik ketika tidak ada KLB maupun
ketika terjadi KLB.
a. Jika tidak ada KLB, maka pengendalian mikroba multiresisten dilakukan dengan
dua cara utama, yakni :
1. Meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak, baik melalui kebijakan
manajerial maupun kebijakan profesional.
2. Meningkatkan kewaspadaan standar
b. Jika ada KLB mikroba multiresisten, maka dilakukan usaha penanganan KLB
mikroba multiresisten sebagai berikut.
1. Menetapkan sumber penyebaran, baik sumber insidental (point source)
maupun sumber menetap (continuous sources).
2. Menetapkan modus transmisi
BAB VI
METODE
Contoh :
Penghitungan DDD
Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh WHO berdasarkan dosis
pemeliharaan rata-rata, untuk indikasi utama pada orang dewasa BB 70 kg.
1. Data yang berasal dari instalasi farmasi berbentuk data kolektif, maka rumusnya
sebagai berikut:
Perhitungan numerator :
jml kemasan X jml tablet per kemasan X jml gram per tablet X 100
jumlah DDD = --------------------------------------------------------------------------
DDD antibiotik dalam gram
Perhitungan denominator :
jumlah hari-pasien = Jumlah hari perawatan seluruh pasien dalam
suatu periode studi
2. Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk setiap pasien:
jumlah konsumsi antibiotik dalam gram
jumlah konsumsi AB = -------------------------------------------------------------
(dalam DDD) DDD antibiotik dalam gram.
total DDD
DDD/100 patient days = ---------------------------------- x 100
total jumlah hari-pasien
Mulai
Data lengkap
Tidak VI
stop
Ya
Tidak
AB diindikasikan V stop
Alternatif lebih Ya
efektif IVa
Tidak
Alternatif lebih Ya
tidak toksoik IVb
Tidak
Alterbatif lebih Ya
IVc
murah
Tidak
Spektrum
Ya
alternatif lebih IVd
sempit
Tidak
Ya Ya Ya
IIIa IIIb
Interval Tidak
IIb
tepat
Ya
Rute Tidak
IIc
tepat
Ya
Tidak
Waktu
tepat
Ya
BAB VI
PELAPORAN
BAB VII
PENUTUP