Anda di halaman 1dari 18

BAB I

A. Latar belakang
Pendidikan menurut pandangan Islam adalah salah satu bagian
tugas kekhalfahan manusia yang harus dilaksanakan dengan bertanggung
jawab, pertanggung jawaban itu bisa dituntut kalau ada aturan dan
pedoman pelaksanaan. Oleh karenanya, Islam memberikan garis garis
besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep
konsep mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggung jawab
pendidikan untuk membenahi manusia menjadi lebih baik.
Dengan pendidikan, manusia bisa mempertahankan kepemimpinan
yang ada pada dirinya karena keberadaan pendidikan merupakan suatu hal
pokok yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain.
Pendidikan yang diberikan atau dipelajari dianjurkan mampu memiliki
nilai-nilai kemanusiaan yang bertujuan sebagai mediasi nilai nilai
kemanusiaan itu sendiri. Keberadaan ini dalam agama sangatlah
diperhatikan, karena dalam penerapann yang dilakukan umatnya kadang
melenceng dari esensi ajaran agama itu sendiri. Hal inilah yang menjadi
perhatian dasar pendidikan Islam.
Pendidikan sendiri sering dikatakan sebagai seni pembentukan
masa depan. Hal ini tidak hanya terkait dengan manusia sepert apa yang
diharapkan dimasa depan, akan tetapi berkaitan erat terhadap proses yang
akan dilakukan sejak awal kebberadaannya, baik dalam konteks peserta
didik maupun proses untuk memiliki nilai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Karena keberadaan pendidikan sendiri adalah untuk membina manusia
untuk menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini. 1 Untuk itu, keberadaan
pendidikan Islam perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun
konsep terhadap langkah-langkah yang akan dilakukan.
Saat ini ada kecenderungan pendidikan Islam kian mendapat
tantangan seiring berkembangnya zaman. Di satu sisi muncul persaingan
global terhadap dunia pendidikan Islam. Sedangkan disatu sisi lain juga
1
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 53.

1
2

memunculkan kekhawatiran akan adanya kemerosotan kualitas pendidikan


yang akhirnya merusak nilai nilai pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan
Islam dewasa ini menghadapi banyak tantangan yang berusaha
mengancam keberadaaannya.
Tantangan tersebut merupakan bagian dari sekian banyaknya
tantangan global yang memerangi kebudayaan Islam. Tantangan yang
paling serius dihadapi pendidikan Islam adalah krisis moral spiritual
masyarakat, sehingga muncul anggapan bahwa pendidikan Islam masih
belum mampu merealisasaikan tujuan pendidikan secara holistik.
Paradigma pembangunan pendidikan yang sangat sentralistik telah
melupakan keberagaman yang sekaligus kekayaan dan potensi yang
dimiliki bangsa ini. Keberadaan perkelahian, kerusuhan, permusuhan,
munculnya kelompok yang memiliki perasaan bahwa budayanyalah yang
lebih dari budaya lain adalah buah dari pengabaian keragaman tersebut
dalam dunia pendidikan kita.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pendidikan Islam itu?
2. Bagaimana perspektif tokoh pendidikan Islam Indonesia terhadap
pendidikan Islam?
3. Bagaimana Konsep Pendidikan Menurut Tokoh Pendidikan
Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui perspektif tokoh pendidikan Islam Indonesia
terhadap pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui Konsep Pendidikan Menurut Tokoh Pendidikan
Indonesia
3

BAB II

A. Pengertian pendidikan Islam


Pendidikan islam bisa diartikan sebagai proses pendidikan yang
didalamnya berusaha memberikan pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur angsur ditanamkan kedalam dirir manusia baik yang
berhubungan dengan tempat yang tepat dengan segala suatu tatanan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga keberadaan penanaman ini
membimbing manusia kearah pengenalan dan pengakuan Tuhan kedalam
tampat yang yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian.
Pendidikan Islam yang diatas menandakan adanya penekanan
terhadap makna pendidikan kepada pembentukan kepribadian, penerapan
metode dan pendekatan ynag bersifat teoritis dan praktis kearah perbaikan
sikap mental yang memadukan antara iman dsekaligus amal sholeh yang
tertuju kepada individu dan masyarakat luas.
Sedangkan menurut Abuddin Nata pendidikan Islam adalah
pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan pada ajaran Islam. Karena
pendidikan Islam berdasarkan al Quran, As Sunnah, pendapat Ulama serta
warisan sejarah, maka pendidikan Islampun mendasarkan diri pada Al
Quran, As Sunnah, pendapat para ulama serta warisan sejarah tersebut.2
Adapun menurut samsul Nizar, rangkaian proses yang sistematis,
terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada
anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik,
sehingga anak didik mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi ini
dengan sebaik baiknya sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang didasarkan
pada ajaran agama (Al-Quran dan Hadits) pada semua dimensi
kehidupannya.3

2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya media Pratama, 2005), 29.
3
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
94.
4

Keberadaan pendidikan Islam sebagai alat pembudayaan Islam


memiliki watak terhadap perkembangan cita-cita kehidupan manusia
sepanjang zaman. Namun, watak itu tetap berpedoman kepada prinsip
prinsip nilai Islami. Pendidikan Islam juga mampu mengakomodasikan
tuntutan hidup manusia dari masa ke masa termasuk di bidang ilmu dan
teknologi. Dengan adanya sikap diharapkan mampu mengarahkan dan
mengendalikan tuntutan hidup tersebut dengan nilai-nilai fundamental
yang bersumber dari iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Konsep tabularasa dari John Locke yang memandang jiwa manusia
dilahirkan sebagai kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya
tergantung pada tulisan yang mengisinya kemana jiwa itu akan dibentuk
dan dikembangkan atau dengan kata lain tergantung pada kepribadian
macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat.4
Perbedaan mendasar antara sistem pendidikan Islam dengan teori
tabularasa yang kemudian dikenal sebagai aliran empirisme dalam ilmu
pendidikan umum adalah diibaratkan seperti putihnya kertas, bukan bararti
anak itu kosong dan tidak membawa potensi apa pa, tetapi justru berisi
dengan saya daya perbuatan. Untuk itu peran pendidik dalam sistem
pendidikan Islam diharapkan mampu bertindak dari adanya keterbatasan
pada aktualisasi daya daya fitrah ini dan kinerja pendidikan Islam tidak
sebebas sistem pendidikan empirisme yang tidak dibatasi oleh nilai nilai
tertentu.

B. Perspektif Tokoh Pendidikan Islam terhadap Pendidikan Islam

Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik


bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena
kaya akan konsep konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan
pendidikan modern. Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, kita
bisa menemukan tokoh tokoh besar dengan ide idenya yang cerdas dan

4
Mastuhu, memperdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 25.
5

kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi besar bagi dinamikan


pendidikan Islam Indonesia.

Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat
adalah posisi mereka yang sebagai kelompok terpelajar yang mampu
membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga
pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah
maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut
mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan
berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan khususnya Islam lewat karya karya yang telah ditulis atau
melalui jalur dakwah mereka.

Pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad


Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi dengan kiprah dan perjuangannya yang
begitu sentral, utamanya di dalam bidang pendidikan telah menentukan
arah pendidikan di tanah air, sebuah pendidikan yang berbasis keislaman
juga sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Agenda
pengembangan pemikiran pendidikan Islam serta analisis berbagai dimensi
dan kandungan isinya, tidak difahami sebatas pengertian
“konvensionalnya” bagi pendidikan, melainkan pada pengertian
sosiologisnya secara luas.5

Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya


manusia manusia baru yang mampu tampil sebagi “ulama intelek”, yaitu
seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat
jasmani dan rohani. Sebagaimana ungkapan Muslih Usa bahwasanya
orang yang mengaku mempunyai keagungan spiritual (ilmu agama),
seharusnya tidak mengalami kebingungan dalam memecahkan persoalan
persoalan kehidupan di dunia.6
5
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002), 7.
6
Muslh Usa, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1991), 49.
6

Sedang dalam pemikiran tentang pendidikan, KH. Hasyim Asy’ari


lebih fokus kepada persoalan persoalan etika dalam mencari dan
menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan
mencari ilmu pengetahuan atau menyebarkan ilmu pengetahuan (guru dan
murid), yang pertama harus ada pada diri mereka adalah semata mata
untuk mencari ridha Allah. Seseorang yang akan mencari dan
menyebarkan ilmu pengetahuan, maka dia harus memperbaharui niatnya
yang yang hanya mencari ridha Alla, mengamalkan, dan menjalankan
syariat Islam serta untuk menerangi hatinya dalam mendekatkan diri
kepada Allah, bukan untuk mencari keduniaan. Pemikiran Kh. Hasyim
Asy’ari lebih menyiratkan pada sebuah pengertian bahwa yang menjadi
sentral pendidikan adalah hati.7

Adapun KH Imam Zarkasyi melihat bahwa pendidikan merupakan


bagian terpenting bagi kehidupan sekaligus kemajuan umat Islam. Untuk
itu sejumlah upaya untuk mengkonsolidasikan dan pembaruan sistem
pendidikan menjadi salah satu syarat mutlak bagi kemajuan umat Islam.
Menurutnya salah satu kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak
adanya tujuan pendidikan yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan
tahapan rencana kerja atau program. Pendidikan berjalan seakan hanya
mengikuti arus keahlian kyai. Berkenaan dengan ini, KH Imam Zarkasyi
merumuskan tujuan pesanrennya sebagai berikut:8

Yang jelas hanya satu saja, yaitu untuk menjadi orang... Jadi masih
bersifat umum dan belum menjurus, belum calon doktor, belum calon
kusir, belum calon apa apa. Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka
akan tahu nanti di masyarakat apa yang kan dikerjakan... Jadi persiapan
untuk masuk masyarakat bukan untuk Perguruan Tinggi. Maka dari itu,
kami namakan pendidikannya, pendidikan kemasyarakatan dan itu yang
kami utamakan.
7
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 150.
8
Abudin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), 205.
7

Mengatakan Islam dengan kategori keilmuwan, seperti konsep


pendidikan, umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai
sesuatu yang sudah final. Sehingga Islam bisa dilihat sebagai kekuatan
iman dan taqwa, yakni sesuatu yang sudah final yang tidak membutuhnkan
adanya kritikan. Sedangkan kategori ilmu memiliki ciri khas berupa
perubahan, perkembangan, dan tidak mengenal kebenaran absolut, karena
semua nilai kebenarannya bersifat relatif.

C. Konsep Pendidikan Menurut Tokoh Pendidikan Indonesia


1. KH. Ahmad Dahlan
Beliau dilahirkan di kauman (Yogyakarta) tahun 1868 dan
meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Nama kecilnya Muhammad
Darwis. Ayahnya bernama. K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib
masjid besar kraton Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau
berasal dari keluarga yang didaktis dan alim dalam ilmu agama. Sejak
kecil beliau diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan
dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-
Qur’an, dan kmitab-kitab agama. Menejelang dewasa, ia mempelajari
dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama’ besar pada
waktu itu. Diantaranya, K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih),
K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis) ,Syekh Amin
dan Sayyid Bakri (Qiraat Al-Qur’an). Dalam usia relatif muda, beliau
telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu keislaman.
Setelah beliau lulus pendidikan dasar di madrasah dalam
bidang nahwu, fiqih dan tafsir di Yogyakarta, beliau pergi ke makkah
pada tahun 1890 untuk menuntut ilmu di sana selama satu tahun. Salah
satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903, beliau
kembali ke makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Sepulang
dari makkah beliau berganti nama Haji Ahmad Dahlan.9

9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia 2009), 327.
8

a. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan


1) Pembaruan terhadap tujuan Pendidikan
Memang Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menganggap
dunia pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan
pendidikan yang spesifik baru dirumuskan pada tahun 1936.
Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan KH
Ahmad Dahlan “Dadijo Kjai sing kemajoean, adja kesel
anggonu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (Jadilah
manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk
Muhammadiyah).10
Untuk mewujudkannya, menurut KH Ahmad Dahlan,
pendidikan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: Pendidikan moral
(akhlak), yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al Quran dan Al Sunnah;
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh, yang berkesinambungan antara
keyakinan dan intelektual, antara akal dan pikiran serta antara
keyakinan dan intelektual, antara akal dan pikiran serta antara
dunia dan akhirat; Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai
usaha untuk menumbuhkan kese”iya”an dan keinginan hidup
masyarakat.
2) Pembaruan Teknik Penyelenggaraan Pendidikan
Usaha Muhammadiyah untuk memperbarui teknik
penyelenggaraan pendidikan dengan jalan modernisasi dalam
sistem pendidikan yaitu menukar sistem pondok pesantren
dengan sistem pendidikan yang modern sesuai dengan tuntutan
zaman. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga
pendidikan yang bersifat spesifik, yaitu mengadopsi sistem
persekolahan barat, tetapi dimodifikasi sedemikian rupa

Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta:
10

Ar Ruzz Media, 2011), 199.


9

sehingga berjiwa Nusantara yang mempunyai misi Islami.


Pendidikan Muhammadiyah diselenggarakan dengan mengikuti
teknik penyelenggaraan pendidikan Barat.
Ada dua model persekolahan.11 Yaitu; Model persekolahan
umum. Sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan
pada 1911 di Kauman, Yogyakarta. Sekolah ini merupakan
sekolah tingkat dasar yang berawal dari sebuah pengajian.
Sekolah ini mempunyai murid laki laki dan perempuan
sekaligus, yang diajar dengan menggunakan papan tulis dan
kapur, bangku bangku serta alat tulis peraga. Penyelenggaraan
pendidikan seperti iini adalah yang pertam kali yang
menggabungkan antara sistem pengajaran pesantren dengan
Barat; Madrasah. Selain mendirikan sekolah, beliau juga
mendirikan madrasah yang mengikuti model gubernamen,
bersifat agamis yang disebut sebagai madrasah. Perbedaannya
dengan sekolah terletak pada kurikulumnya, yaitu 60% agama
dan selebihnya non agama. Sementara di Muhammadiyah,
dilakukan pembaruan terhadap teknik interaksi belajar. Teknik
interaksi belajar yang dipakai adalah model pembaruan yang
memadukan sistem Pendidikan Barat dengan model Pesantren,
yaitu pelajaran yang diberikan kepada murid laki laki dan
perempuan bersamaan. Masyarakat menganggap asing terhadap
model belajar seperti ini dan bahkan tidak jarangmereka
menyebutnya sekolah kafir.

2. KH. Hasyim Asy’ari


Beliau lahir di desa Nggedang Jombang Jawa Timur, pada
tanggal 25 Juli 1871. Nama lengkapnya  adalah Muhammad Hasyim
Asy’ari ibn Abd Wahid Ibn Abd Halim yang mempunyai gelar
pangeran Bona ibn Abd al-Rahman  yang dikenal dengan jaka tingkir

11
Ibid., 200.
10

sultan hadiwijaya ibn Abdullah ibn abd Aziz ibn abd al-Fattah ibn
Maulana Ishaq dari sunan giri.12
Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya
membaca Al-Qur’an dan literatur islam lainnya. Jenjang pendidikan
yang ditempuh beliau adalah di berbagai pesantern. Pada awalnya,
beliau menjadi santri di pesantren Wonokojo Probolinggo, lalu pindah
di langitan, Tuban. Dari langitan pindah ke bangkalan yang diasuh oleh
kyai kholil. Dan terakhir sebelum ke Makkah beliau sempat nyantri di
pesantren siwalan panji, sidoarjo. Pada pesantren terakhir inilahbeliau
diambil menantu oleh Kyai Ya’qub pengasuh pesantren
tersebut. Sepulang dari Makkah untuk mengamalkan dan
mengembangkan ilmunya beliau membuka Pesantren Tebuireng pada
tanggal 26 Rabi’ul Awwal tahun 1899 M. Pada tahun 1919 beliau
mendirikan madrasah Salafiyah sebagai tangga untuk measuki tingkat
menengah pesantren Tebuireng.
a. Pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Salah satu karya monumental beliau yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al Alim wa al Muta’allim fima
Yahtaj Ilaan al Muta’allim fi Ahwal Ta’allum wa ma yataqaff al
Mu’allim fi Maqamat Ta’limi. Sebagaimana umumnya kitab
kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan
pada masalh etika. Namun demikian, karya tersebut tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.untuk memahami
pokok pikiran dalam kitab tersebut, perlu pula diperhatikan latar
belakang ditulisnya kitab itu. Penyusunan karya ini boleh di dorong
oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan
dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari
pengaruh sistem pendidikan Barat diterapkan di Indonesia. Kitab
tersebut terdiri delapan bab, yaitu; Keutamaan ilmu dan ilmuwan

12
Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan, 113.
11

serta keutamaan belajar mengajar; Etika yang harus diperhatikan


dalam belajar mengajar; Etika yang harus diperhatikan dalam
belajar mengajar; Etika murid terhadap guru; Etika murid terhadap
pelajaran dan hal hal yang haru dipedomani bersama guru; Etika
yang haru sdipedomani guru;Etika guru ketika akan
mengajar;Etika guruterhadap murid muridnya; dan Etika terhadap
buku, alat untuk memperoleh pelajaran, dan hal hal yang berkaitan
dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam
empat kelompok yaitu:13
1) Signifikansi Pendidikan
Dalam membahas masalh ini, ia banyak mengutip ayat al
Quran yang menjelaskan keutamaan ilmu dan ilmuwan. Tidak
cukup hanya ayat al Quran, tetapi dilengkapi dengan hadis
Nabi dan pendapat para ulama, yang menyebutkan bahwa
tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya. Hal
yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimilki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di
akhirat kelak. Pengertian belajar merupakan ibadah untuk
mencai ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Karenanya, belajar
harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-
nilai Islam, bukan sekedar menghilangkan kebodohan.
2) Tugas dan Tanggung Jawab Seorang Murid
a) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
b) Etika murid terhadap guru
c) Etika murid terhadap pelajaran
3) Tugas dan Tanggung Jawab seorang Guru
a) Etika yang harus dipedomani seorang guru
b) Etika guru ketika akan mengajar
c) Etika guru terhadap murid muridnya

13
Kurniawan, Jejak Pemikiran., 212
12

4) Etika terhadap buku,a lat untuk memperoleh pelajaran dan hal


hal yang berkaitan dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat berbeda dengan materi
materi pendidikan pada umumnya adalah etika terhadap buku
dan alat pendidikan. Kalaupun ada etika itu, biasanya itu
bersifat kasuistik dan sering kali tidak tertulis.
3. KH. Imam Zarkasyi
Beliau lahir di Gontor, Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 21
Maret 1910, dan wafat pada tanggal 30 maret 1985. ayahnya bernama
Santausa Annam Bashri, dari pangeran Hadiraja Adipati merupakan
generasi ketiga dari pimpinan gontor lama dan generasi kelima dari
pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra kesepuhan sultan cirebon.
Sedangkan ibunya adalah keturunan bupati suriadiningrat yang
terkenal.14
a. Konsep pendidikan KH Imam Zarkasyi
Secara garis besar, konsep pembaruan pemikiran Imam Zarkasyi
dapat dibagi kedalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam
bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren,
struktur dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan
sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan
pesantren.15 Keempat konsep pembaharuan pemikiran Imam
Zarkasyi ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
1) Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Diantara pembaharuan metode dan sistem pendidikan yang
diterapkan di Gontor adalah menganut sistem pendidikan
klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk
penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Hal
ini ditempuh oleh beliau Imam Zarkasyi dalam rangka
menerapkan efesiensi dalam pengajaran, dengan harapan
14
Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan, 196.
15
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
203.
13

bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat


menghasilkan produk yang besar dan bermutu.
Disamping dengan menggunakan sistem klasikal sebagaimana
disebutkan di atas, beliau juga memperkenalkan
ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para santri memiliki kegiatan
lain di luar jam pelajaran. Semua kegiatan ekstrakurikuler
dalam wadah sistem pesantren diselenggarakan oleh santri
sendiri dan dalam mengerjakan semua aktivitas itu, santri
diharuskan tetap tinggal di pondok pesantren.
Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh Imam
Zarkasyi, karena disamping untuk tidak meninggalkan ciri
khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas
pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efektif
dan efisien.
Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu
terus berlangsung secara alamiah dengan disiplin yang ketat,
tanpa ada peraturan yang tertulis. Dalam pandangan beliau,
peraturan harus diproses menjadi bagian dari kualitas
kesadaran, pikiran dan naluri yang seharusnya dijadikan
pedoman santri untuk membangun kehidupan sosialnya di
dalam pesantren.
Pembaharuan pondok pesantren yang dilakukan beliau juga
didasarkan pada hasil penelitian para ahli yang melihat
sejumlah kelemahan pondok pesantren tradisional yang perlu
diatasi sebagai berikut:16
a) Dalam bidang kurikulum pesantren tradisional hanya
mengajarkan pengetahuan agama, sehingga lulusannya
tidak dapat memasuki lapangan pekerjaan yang
mensyaratkan memiliki pengetahuan umum, penguasaan
teknologi dan ketrampilan.

16
Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan, 205
14

b) Dalam metodologi pengajaran, pesantren tradisional kurang


dapat memperdayakan lulusannya.
c) Dalam bidang manajemen, pesantren tradisional
menerapkan sistem sentalistik, tertutup emosional dan tidak
demokratis.
Imam Zarkasyi terpanggil untuk mengatasi berbagai kelemahan
pendidikan pondok peantren tersebut, dengan menekankan pada
tujuan pendidikan yang diarahkan untuk mempersiapkan
peserta didik gar siap dan mampu hidup bermasyarakat sesuai
dengan bidang keahliannya.
2) Pembaharuan kurikulum
Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok
Pesantren Modern Gontor adalah 100% umum dan 100%
agama. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat
ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga
pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa arab dan bahasa
inggris.17
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian
tersebut, kepada para santri diberikan juga pendidikan
kemasyarakatan dan sosial yang dapat mereka gunakan untuk
melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Para siswa
dilatih untuk mengembangkan cinta kasih sayang yang
mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan
pribadi, kesejahteraan pengorbanan yang diabdikan demi
kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.18
Sejalan dengan itu, maka di Gontor diajakan etiket atau
tatakrama yang berupa kesopanan lahir batin. Kesopanan batin
menyangkut akhlak dan jiwa, sedangkan kesopanan lahir
termasuk gerak gerik, tingkah laku, bahkan pakaian.

17
Ibid., 209
18
Nata, Pemikiran Para Tokoh, 207.
15

3) Pembaharuan Struktur dan Manajemen Pesantren


Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu kelemahan
pesantren adalah dalam bidang manajemen. Proses
pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan sebagainya
ditentukan hanya oleh satu orang, yaitu kyai. Keadaan yang
demikian dipandnag tidak sesuai dengan alam modern.
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, Imam
Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok
Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan
Wakaf Pondok Modern Gontor. Penyerahan wakaf itu, maka
Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau
perorangan sebagaiman ayng dijumpai dalam lembaga
pesantren tradisional.
Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan
keluarga tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai
dan guru guru juga tidak mengurusi uang daripada santri,
sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang
kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan
menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri
dari beberpa orang santri senior dan guru yang secara periodik
bisa diganti. Dengan demikian, pengaturan jalannya organisasi
pendidikan menjadi dinamis terbuka dan obyektif.19
4) Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan kebebasan
Pesantren.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok yakni bahwa setiap santri
ditanamkan jiwa berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja
berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus
kepentingannya sendiri serta bebas menentukan jalan
hiduppnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren
itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independen

19
Ibid., 208
16

dan tidak bergantung kepada pihak lain. Prinsip kemandirian


tersebut bertolak belakang dari upaya menghindari dari
kenyataan dimana kebanyakan lembaga pendidikan yang
diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada golongan dan
politik tertentu.20
Gagasan independen Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan
menciptakan pondok Gontor benar benar steril dari
kepentingan politik dan golongan apapun.
Selanjutnya untk mewujudkan kebebasan dan kemandirian
tersebut, di Gontor santri diberi kebebasan memilih pilihan
pilihan dalam mata pelajarang yang ada. Dalam pelajaran
hukum islam misalnya, kitab yang diajarkan adalah Bidayah al
Mujtahid, hal ini merupakan salah satu cermin diman paham
keagamaan para santri berada diatas semua golongan madzhab
Ahlus sunnah wal jamaah. Dengan demikian semua madzhab
diajarkan kepada para santri, tinggal terserah mereka mau
meilih madzhab yang mana.
Selanjutnya kemandirian Gontor terlihat dari adanya
kebebasan para santri yang bebas menentukan hidupnya kelak.
Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak
mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya
sendiri.

20
Ibid., 209.
17

BAB III
SIMPULAN
Pendidikan islam bisa diartikan sebagai proses pendidikan yang
didalamnya berusaha memberikan pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur angsur ditanamkan kedalam dirir manusia baik yang berhubungan
dengan tempat yang tepat dengan segala suatu tatanan penciptaan sedemikian
rupa, sehingga keberadaan penanaman ini membimbing manusia kearah
pengenalan dan pengakuan Tuhan kedalam tampat yang yang tepat didalam
tatanan wujud dan kepribadian.
Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia
manusia baru yang mampu tampil sebagi “ulama intelek”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Sebagaimana ungkapan Muslih Usa bahwasanya orang yang mengaku
mempunyai keagungan spiritual (ilmu agama), seharusnya tidak mengalami
kebingungan dalam memecahkan persoalan persoalan kehidupan di dunia.

Sedang dalam pemikiran tentang pendidikan, KH. Hasyim Asy’ari lebih


fokus kepada persoalan persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu.
Beliau berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan mencari ilmu pengetahuan
atau menyebarkan ilmu pengetahuan (guru dan murid), yang pertama harus ada
pada diri mereka adalah semata mata untuk mencari ridha Allah. Seseorang yang
akan mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan, maka dia harus
memperbaharui niatnya yang yang hanya mencari ridha Allah, mengamalkan, dan
menjalankan syariat Islam serta untuk menerangi hatinya dalam mendekatkan diri
kepada Allah, bukan untuk mencari keduniaan.

Adapun KH Imam Zarkasyi melihat bahwa pendidikan merupakan bagian


terpenting bagi kehidupan sekaligus kemajuan umat Islam. Untuk itu sejumlah
upaya untuk mengkonsolidasikan dan pembaruan sistem pendidikan menjadi salah
satu syarat mutlak bagi kemajuan umat Islam. Menurutnya salah satu kelemahan
18

pesantren di masa lalu adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas, yang
dituangkan dalam tahapan tahapan rencana kerja atau program.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Syamsul, dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan


Islam, Jogjakarta: Ar Ruzz Media

Mastuhu, memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,


1999

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya media Pratama, 2005

----------------, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2005

----------------, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

----------------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2003

Nizar, Samsul, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media


Pratama, 2001

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
2009

Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,


Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2004

Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan fakta, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1991

Anda mungkin juga menyukai