Anda di halaman 1dari 9

BAB I

TANGGUNG JAWAB DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan atau pelayanan medis


yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang
terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud adalah
dokter yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam
menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien.
Apabiladalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian
terhadap pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit,
terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter
atau tenaga medis yang lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja maupun
tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Apabila kesalahan dilakukan oleh
dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter
sebagai pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi. Dengan demikian
pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan merupakan
pertanggungjawaban yang terjadi karena adanya unsur kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merugikan pasien. Rumah sakit
sebagai pihak yang mempekerjakan tenaga kesehatannya harus ikut bertanggung
jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya tersebut. Bisa
dilihat Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan diatur dalam Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009, sebagai berikut :
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam


bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga Kesehatan diatur
tersendiri dengan Undang-Undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Untuk undang undang yang
mengatur hak dan kewajiban tenaga kesehatan terdapat pada BAB IX pasal 57
sampai 59.
Pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan adalah:
a) bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar
masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu
unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam
bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh
masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara
terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan merata, serta aman,
berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat;
c) bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang
tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa
keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan;
d) bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan
masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh
masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum
kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan
kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan
perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan;

e) bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam


berbagai peraturan perundang- undangan dan belum menampung
kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang
tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif;
f) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Tenaga Kesehatan;

BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN
Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
Pasal 58
1. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan
etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang
pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain
yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya
berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
perseorangan.
Pasal 59
1. Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima
Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana
untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
2. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak
Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka
terlebih dahulu.
BAB III
VICARIOUS LIABILITY DLM HK.KESEHATAN

Pertanggung jawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa : “I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact
legally and other is legally subjeced to the exaction” 1.Pertanggungjawaban pidana
dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid”. “criminal reponsibilty”,
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah
seseorang atau rumah sakit tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana
maupun perdata atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu
Vicarious liability, Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang
dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medic
maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate
(employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai
mitra (attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS. Doktrin
vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak
hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri,melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di
bawah pengawasannya”. Jadi dapat tidaknya RS menjadi subjek tanggung-renteng
tergantung dari pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan RS, dimana
pola hubungan tersebut juga akan ikut menentukan pola hubungan terapetik
dengan pihak pasien yang berobat di RS tersebut.
Vicarious liability  adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of
one person for the wrongful acts of another) 2. Menurut Barda Nawawi

2
Romli Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 93.
Arief, vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas
kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih
berada dalam ruang lingkup Sutan Remy Sjahdeini
menterjemahkan vicariousliability menjadipertanggungjawaban vikarius atau
pertanggungjawaban pengganti3. Dalam kamus Henry Black vicarious
liability diartikan sebagai berikut The liability of an employer for the acts of an
employee, of a principle for torts and contracts of an agent(pertanggungjawaban
majikan  atas tindakan dari pekerja atau pertanggung jawaban principal terhadap
tindakan agen dalam suatu kontrak)
Apabila dilihat dari konsep pertanggungjawaban pidana, ajaran vicarious
liability mirip dengan konsep penyertaan (deelneming). Dimana keduanya
mensyaratkan ada (minimal) dua orang yaitu pelaku yang memenuhi rumusan
delik (pelaku fisik) dan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik (bukan pelaku
fisik) yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Surastini, ajaran ini
merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana dari konsep penyertaan.
Adapun perbedaannya dapat dilihat :
1) Penyertaan (Deelneming)
Pertanggungjawaban terhadap “bukan pelaku fisik” (penyuruh, penggerak)
berdasarkan unsur kesengajaan (niat, kehendak untuk melakukan tindak pidana)
2) Pertanggungjawaban pengganti (Vicarious liability)
Pertanggungjawaban pidana terhadap “bukan pelaku fisik” (atasan, majikan)
bukan berdasarkan unsur kesengajaan, tetapi atas dasar adanya hubungan tertentu
antara yang bersangkutan dengan pelaku fisik.
Perluasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam  penyertaan,  “bukan pelaku
fisik” dapatdipertanggungjawabkan pidana ketika terdapat unsur kesengajaan
(mens rea), sedangkan dalam vicarious liability tanpa kesengajaan pun seseorang
dapat dipertanggungjawabkan pidana asalkan terdapat hubungan tertentu

Simpulan Dan Saran

3
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, hlm.
84
Pemberlakuan doktrin vicarious liability di Indonesia dalam masa yang
akan datang, harus dilakukan dengan pembatasan-pembatasan yang ketat
diantaranya hanya perbuatan yang ditentukan oleh undang undanglah yang dapat
dimintai pertanggungjawaban secara vikarius (pasal 38 ayat 2 RKUHP Tahun
2012). Hal ini bertujuan untuk tetap menghormati dan melindungi hak asasi
manusia sebagai hak dasar warga Negara di sisilain perlu di kembangkan
penerapan hukum responsive yang salah satu caranya dengan cara mediasi dengan
konsep win- win solution.dalam memproteksi masyarakat penegakan disiplin
prinsip: bad apple theory dengan cara mengidentifikasi dari yg berkinerja buruk,
menetapkan ada tidaknya pelanggaran disiplin kedokt (perilaku tak profesion,
menyingkirkan (remove) dr berkinerja buruk dari kelompok profesinya,
menekankan pd tanggung jawab individu, dr berhadapan degan keluarga besar
profesinya bkn dgn pasien, bukan menyelesaikan sengketa dr/ drg, sanksi bersifat
membina agar berkinerja dr/drg lebih baik, sebelum ketingkat penyidik yaitu
dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objektif kepada tenaga
kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan

Anda mungkin juga menyukai