Anda di halaman 1dari 5

Tentang fitur Video pada kamera DSLR/mirrorless

by ERWIN MULYADI on FEBRUARY 15, 2016

Ada baiknya sekali-sekali saya bahas juga tentang fitur video di kamera DSLR/mirrorless. Ya kita sama-
sama tahu kalau kamera modern seperti DSLR dan mirrorless sudah oke sekali hasil rekaman videonya,
tapi kita juga tetap perlu tahu seluk beluk tentang fitur video di kamera modern.

Pertama kita bahas soal peruntukan video di kamera DSLR/mirrorless yang pada dasarnya adalah untuk
fotografi. Fitur video sejatinya adalah pelengkap, bukan yang utama. Beda dengan camcorder atau
bahkan kini lagi tren action cam seperti GoPro (walau saat ini batasan antara kamera foto dan video
semakin tidak jelas), tapi kita tentu sepakat bahwa DSLR/mirrorless adalah kamera foto (kecuali
DSLR/mirrorless khusus untuk video seperti Canon EOS Cinema atau Black Magic camera).

Fitur video ini lucunya ada yang nyaris tidak pernah digunakan oleh sebagian pemilik DSLR/mirrorless,
tapi sebagian orang lain justru memilih kamera tertentu karena fitur videonya. Kamera yang punya fitur
video yang lebih lengkap memang harganya akan naik (misal seperti Panasonic Lumix GH4 atau Sony
A7S) tapi masih lebih murah dibandingkan dengan berinvestasi di peralatan videografi profesional.
Hasilnya? Dalam berbagai aspek sih tidak kalah, maka itu tak heran banyak profesional yang mulai
melirik sistem DSLR atau mirrorless untuk pekerjaannya.

Hal yang perlu kita tahu tentang fitur video khususnya untuk tren saat ini diantaranya adalah :

Resolusi, format, kompresi dan fps : awal kualitas teknis

Tentu ini yang pertama akan saya bahas, karena kesemuanya menentukan seberapa baik kualitas video
(secara teknis) yang kita ambil. Bicara soal resolusi video, dahulu video sudah dianggap baik dengan
resolusi SD (Standard Definition), tapi kini eranya sudah HD (High Definition) dan diatas HD seperti 2K,
4K hingga 8K suatu saat nanti. Karena video erat kaitannya dengan data, ingat saja semakin tinggi
resolusi video makin banyak data yang diproses dan disimpan ke kartu memori (pastikan memilih kartu
memori kecepatan tinggi). Ingat juga kebanyakan TV/monitor kita adalah HD/full HD dan untuk
menonton detail dari video 4K perlu monitor yang juga sudah 4K atau UHD.
BErbagai ukuran resolusi video

Berbagai ukuran resolusi video

Format video dan kompresi lebih kepada kemasan (container) dan teknik untuk mengecilkan ukuran
videonya supaya tidak terlalu memakan ruang simpan. Saat ini umumnya video dikemas dalam wadah
MOV atau MP4, kecuali ada beberapa kamera memilih MJPEG yang lebih lawas. Pilihan kompresi
biasanya dipercayakan pada MPEG4, tinggal generasinya disesuaikan dengan kebutuhan misal untuk
HD/full HD cukup pakai AVCHD tapi untuk UHD/4K lebih cocok pakai XAVCS. Ada juga opsi di kamera
yang bisa kita atur berkaitan dengan kualitas kompresi, misalnya mau fine atau normal, nanti bedanya
terasa di ukuran file video yang kita ambil.

Frame rate (dinyatakan dalam fps) juga menentukan seberapa bagus/mulus grakan gambar pada video
kita. Walau saat ini semua kamera sudah standar dalam arti mampu mencapai minimum fps untuk
tayangan video yang mulus yaitu 25 fps (PAL) atau 30 fps (NTSC) tapi untuk kebutuhan slow motion saat
editing kita perlu setidaknya 2x fps normal (misalnya 50 fps). Tidak semua kamera mampu mencapai 50
fps karena keterbatasan prosesor kamera, karena 50 fps artinya ada 50 frame foto dalam satu detik
video sehingga memakan bandwidth sangat besar.

Kendali manual : Eksposur dan fokus

Walau kamera biasanya bisa mengatur eksposur secara otomatis, akan lebih baik bila setting ISO,
aperture dan shutter speed kamera kita bisa diatur secara manual saat rekam video. Dengan begitu kita
bisa pilih ISO yang kita mau, bisa main bokeh atau tajam dan bisa menentukan shutter speed yang sesuai
dengan frame rate yang kita pakai. Tapi bila ternyata eksposur di kamera kita tidak bisa diatur manual
untuk rekam video, maka terpaksa mengandalkan auto eksposur di kamera saja.

Pengaturan manual di kamera untuk rekam video

Pengaturan manual di kamera untuk rekam video

Fitur auto fokus tampaknya jadi sesuatu hal yang umum disaat kita memotret, namun disaat rekam
video pertimbangkan juga untuk mengatur fokus secara manual. Hal ini karena auto fokus di kamera
foto biasanya kurang baik saat diterapkan saat video. Untuk fotografi, auto fokus dirancang sangat
cepat, tapi di videografi auto fokus harusnya justru lambat supaya pemirsa tidak kaget. Beberapa
kamera DSLR/mirrorless dengan fitur hybrid AF memang sudah dirancang bisa auto fokus lebih halus
saat rekam video, tapi saat performanya dibawah harapan, pindah saja ke manual fokus.

Berurusan dengan audio : mic, port dan indikator

Video yang baik perlu didukung audio yang baik juga. Maka itu minimal kamera kita punya built-in mic
yang stereo untuk menangkap suara dengan baik. Untuk hasil rekaman suara yang lebih baik perlu
dibantu pakai mic eksternal, yang dicolok melalui mic input di samping kamera. Apapun mic yang dipakai
(built-in atau eksternal) akan lebih baik kalau kita bisa atur kepekaannya secara manual, plus di layar
bisa ditampilkan indikator level audio supaya kita tahu suara yang direkam levelnya sudah pas, terlalu
keras atau terlalu lemah. Bila kameranya ada colokan headphone akan lebih ideal lagi karena kita bisa
ikut dengarkan level audio yang kita rekam.

Pengaturan audio saat merekam video di kamera DSLR

Pengaturan audio saat merekam video di kamera DSLR

Bagaimana bila kita ingin audionya terekam dengan lebih serius (profesional) tapi kameranya tidak ada
colokan mic? Terpaksa gunakan perekam eksternal yang nanti digabung dengan video saat editing.
Perekam eksternal pasti kualitasnya lebih baik, juga banyak fitur tambahan seperti pilihan kualitas audio
serta colokan XLR untuk mic yang lebih serius.

Mengenal limitasi : sensor heating, durasi, file size, handling

Karena kamera foto utamanya bukan untuk merekam video, kita juga perlu mengenal limitasi
(keterbatasan) dari kamera yang dipakai. Biasanya masalah umum adalah sensor menjadi panas saat
kelamaan merekam, solusinya ya harus ditunggu sejenak sampai dingin baru lanjut rekam lagi. Lalu
aturan di berbagai negara (Eropa dan Asia) membatasi video maksimum per file adalah 30 menit,
mungkin takut dipakai untuk membajak film bioskop. Lalu ada juga batasan file size dimana setiap
mencapai ukuran file 4GB maka rekaman akan berhenti, katanya karena komputer kita tidak bisa
mengenali file yang berukuran lebih dari 4GB. Terakhir adalah handling yang tidak dirancang untuk
rekam video, grip kamera kita lebih nyaman untuk memotret saja. Saat kita genggam kamera lalu rekam
video, apalagi kita sambil jalan, maka hasil videonya seperti gempa bumi. Untuk itu disediakan berbagai
aksesori penstabil seperti rig, steady cam, dsb. Saat peralatan penstabil ini belum dimiliki, minimal
bawalah monopod saat akan merekam video untuk membantu menstabilkan kamera kita.

Itulah seluk beluk fitur video di kamera DSLR dan mirrorless. Intinya fitur video di kamera kita sudah
termasuk baik tinggal apakah kita mau pakai atau tidak. Tidak dipakai juga tidak mengapa, tapi sayang
kan? Adakalanya sesuatu peristiwa lebih cocok direkam dalam bentuk video karena gerakannya, atau
suaranya, yang tidak bisa ditangkap dengan foto saja. Bagi yang mau berdiskusi soal fitur video silahkan
melalui kolom komentar di bawah ini.

Anda mungkin juga menyukai