Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)merupakan masalah kesehatan di
seluruh dunia. Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK mulai meningkat
diseluruh dunia dan diperkirakan merupakan masalah kesehatan yang
membutuhkan perhatian khusus dalam penatalaksanaanpencegahan terhadap
penurunan progesivitas fungs paru.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang
mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler
genetik. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang
sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal
utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi
sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler,
osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi
genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat
kerja (terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor risiko
penting yang menunjang pada terjangkitnya penyakit ini. Prosesnya dapat
terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun. PPOK juga ditemukan
pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal tertentu. PPOK
tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan merupakan kelainan yang
mempunyai kemajua lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum awitan
gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi
karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara
maju dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan
(misalnya bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada

1
negara-negara miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail dkk., 2017).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) 2012, PPOK
merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2005 dan diprediksikan bahwa total
kematian PPOK akan meningkat 30% dalam 10 tahun. Di Amerika serikat
PPOK merupakan penyebab utama kematian ketiga setelah kanker dan
penyakit jantung (American Lung Association, 2013). Pada studi yang
didasarkan pada model estimasi prevalensi di 12 negara Asia-Pasifik,
didapatkan rata-rata prevalensi PPOK sedang sampai berat pada penderita umur
lebih dan sama dengan 30 tahun 6,3%. Tingkat prevalensi bervariasi dari
terkecil 3,5% (HongKong dan Singapura) dan terbesar 6,7% (Vietnam)
(Oemiati, 2013). Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, angka kematian akibat
PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia
(Kemenkes RI, 2008).
Tujuan dari pengobatan untuk pasien dengan PPOK adalah mencegah
perkembangan penyakit, meringankan gejala, meningkatkan aktivitas fisik,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan mengobati komplikasi,
mencegah dan mengobati eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.

B. Rumusan masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan PPOK ?
2. Bagaimana etiologi PPOK ?
3. Klasifikasi PPOK ?
4. Bagaimana patofisilogi dan patogenesis PPOK ?
5. Apa saja faktor resiko dari PPOK ?
6. Bagaimana tanda dan gejala klinis PPOK ?
7. Bagaimana diagnosis dan pemeriksaan laboratorium PPOK ?
8. Bagaimana tata laksana pengobatan PPOK ?

2
C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan PPOK.


2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi PPOK.
3. Untuk mengetahui klasifikasi PPOK.
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisilogi dan patogenesis PPOK.
5. Untuk mengetahui apa saja faktor resiko dari PPOK.
6. Untuk mengetahui bagaimana tanda dan gejala klinis PPOK.
7. Untuk mengetahui diagnosis dan pemeriksaan laboratorium PPOK.
8. Untuk mengetahui bagaimana tata laksana pengobatan PPOK.

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah
1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud denganPPOK.
2. Dapat mengetahui bagaimana etiologi PPOK.
3. Dapat mengetahui klasifikasi PPOK.
4. Dapat mengetahui bagaimana patofisilogi dan patogenesis PPOK.
5. Dapat mengetahui apa saja faktor resiko dari PPOK.
6. Dapat mengetahui bagaimana tanda dan gejala klinisPPOK.
7. Dapat mengetahui diagnosis dan pemeriksaan laboratorium PPOK.
8. Dapat mengetahui bagaimana tata laksana pengobatan PPOK.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan penyakit respirasi kronis yang dapat
dicegah dan dapat diobati yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara
yang resisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan
peningkatan respon inflamasi kronis saluran napas yang disebebkan oleh gas
atau partikel iritan tertentu. PPOK adalah sekelompok penyakit paru yang
ditandai dengan peningkatan resistensi saluran napas bawah, pada saat
resistensi saluran napas meningkatmakaharusdiciptakangradientekanan yang
lebih besar untuk mempetahankan kecepatan aliran udara yang normal (Mertha
dkk., 2015).
Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK merupakan
salah satupenyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-
tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan
2005 Proportional Mortality Ratio(PMR) akibat PPOK di beberapa negar maju
masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9%. Di negara berkembang
masingmasing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1% serta di negara miskin masing-
masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka-angka tersebut menunjukkan
semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia. Laporan terbaru WHO
menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3
juta manusia meninggal akibat PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada
tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab ketiga kematian di seluruh dunia
(Saminan, 2014)
Definisi PPOK menurut GOLD 2015 adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi pada paru dan saluran pernapasan
terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan penyakit komorbid

4
berperan serta terhadap keparahan masing-masing pasien. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan PPOK adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun disertai efek ekstra paru yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sering disertai dengan penyakit
lain (komorbid) yang akan memperberat prognosis. Penyakit kardiovaskular
merupakan faktor komorbid utama pada PPOK. Hipertesi pulmoner pada PPOK
dianggap sebagai akibat kondisi hipoksia vasokontriksi pulmoner, polisitemia
dan kerusakan vascular paru oleh emfisema. Hipertensi pulmoner merupakan
mekanisme yang mendasari terjadinya hipertrofi ventrikel kanan dan
korpulmonal. Hipertensi pulmoner terjadi apabila tekanan arteri pulmoner rata-
rata >20 mmHg, akibat dari peningkatan resistensi vaskuler pulmoner, sehingga
terjadi dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan (korpulmonal) (Kaffah dkk.,
2015).

B. Etiologi PPOK
Penyebab terjadinya COPD secara imunologik masih terus diteliti oleh
para ahli. Adanya keterlibatan mekanisme imunologik pada COPD secara
umum dapat dijelaskan melalui mekanisme innate immunity dan adaptive
immunity. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap mekanisme
terjadinya COPD yaitu; faktor lingkungan dan faktor host. Merokok merupakan
faktor risiko utama yang mengawali mekanisme innate dan adaptive immunity.
Merokok menyebabkan inhalasi partikel dan gas berbahaya kedalam
paru-paru. Setiap satu kali inhalasi partikel rokok mengandung lebih dari 2000
xenobiotik yang terdiri dari 1014 radikal bebas yang dapat menyebabkan trauma
pada sel epitel. Hubungan antara rokok dengan COPD merupakan hubungan
dose response artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan
lebih lama kebiasaan merokok maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan

5
lebih besar. Paparan kronik terhadap partikel dan gas berbahaya ini
menyebabkan respons inflamasi yang bersifat progressif dan irreversible, hal
ini memicu kerusakan jaringan dan pelebaran ruang alveolar.

Merokok dalam waktu lama menyebabkan pemaparan kronis reactive


oxygen species (ROS) terhadap permukaan paru yang merupakan stress oksidatif
dan menyebabkan terjadinya injury pada sel paru. Meningkatnya produksi ROS
dan lipid peroxidation menjadi predisposisi utama terjadinya inflamasi paru dan
ketidakseimbangan produksi enzim protease dan anti protease. Ketidakseimbangan
aktivitas enzim protease dan anti-protease berdampak pada peningkatan produksi
elastin peptide ataucollagen breakdown products (proline-glycine-proline/PGP).
Peptida ini bertindak sebagai neoantigen dan memicu terbentuknya anti-elastin
antibody (Wahyuni, 2017).

C. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam :
 PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu.
Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 80%
prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %

6
 PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk.
Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua.
Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan
VEP1/KVP < 80% prediksi
 PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga
atau empat dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil
spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau
VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
pe-meriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan
normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia (Oemiati, 2013)

(Kaffah dkk., 2015).

D. Patofisiologis PPOK
Faktor patofisiologi yang diperkirakanberkontribusi dalam kualitas dan
intensitas sesak nafas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain
kemampuan mekanis (elastisitas dan reaktif) dari otot otot inspirasi,
meningkatnya mekanis (volume) restriksi selama beraktivitas, lemahnya fungsi
otot-otot inspirasi, meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif terhadap
kemampuannya, gangguan pertukaran gas, kompresi jalan nafas dinamis dan
faktor kardiovaskuler. Oleh karena itu pasien PPOKcenderung menghindari
aktivitas fisik sehingga pasien mengurangi aktivitas sehari hari menyebabkan

7
immobilisasi, hubungan pasien dengan lingkungan dan sosial menurun
sehingga kualitas hidup menurun (Khotimah, 2013).
Perubahan patofisiologis yang terjadi pada paru dengan PPOK akan
menyebabkan inflamasi sistemik. Proses yang berperan dalam peradangan
sistemik adalah hipoksia dan hiperinflasi. Hipoksia merupakan masalah umum
pada PPOK, pasien dengan PPOK ringan akan mengalami hipoksia dan terjadi
peningkatan kadar IL-626. Selain itu, adanya korelasi antara kadar serum TNF-
α dan derajat hipoksemia pada pasien PPOK. Kejadian hipoksia juga dapat
menyebabkan peningkatan TNF-α, Macrophage Inflammatory Protein (MIP) -1
b, dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1 MrnA. Hiperinflasi juga
terjadi pada penderita PPOK akibat dari obstruksi jalan napas kronis.
Hiperinflasi dapat menyebabkan peningkatan sistemik TNF- α dan IL-8, IL-6,
dan IL-1 b secara sistemik. Peningkatan hiperinflasi dapat memprediksi
kematian pada pasien PPOK (Suryadinata, 2018).
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan
kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap
respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel
skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan
kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya
remodeling saluran nafas, hanya saja proses remodeling ini justru akan
merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan
limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Perbandingan saluran napas orang
normal dengan saluran napas penderita COPD, gambar 1.

8
Hambatan aliranudara pada COPD terjadi akibat inflamasi jaringan
bronchioly (bronchiolitis) dan destruksi jaringan parenkimal paru
(emphysema). Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan
terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang
kemudian menjadikan paru-paru terfiksasi pada saat inflasi.
Merokok merupakan faktor risiko lingkungan utama terjadinya COPD.
Paparan kronik partikel inhalasi akibat merokok memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor Kβ. Perubahan patologik dan gejala klinik merupakan hasil interaksi antara
faktor host dengan faktor lingkungan. Interaksi ini merupakan trias patologik
COPD yang terdiri atas; inflamasi persisten yang ditandai dengan peningkatan
netrofil, makrofag dan limfosit T serta pelepasan beragam sitokin dan mediator pro
inflamasi, protease-antiprotease imbalance, dan oxidative stress, gambar 2. Semua
faktor-faktor ini menyebabkan metaplasia dan hiperplasia sel goblet, hipersekresi
mukus, fibrosis, gangguan otot halus dan destruksi jaringan paru

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus-menerus


dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan
stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada

9
paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang
penting terhadap patogenesis COPD. Stres oksidatif terjadi ketika ROS yang
diproduksi melebihi mekanisme pertahanan anti oksidan dan mengakibatkan
efek yang merugikan (kerusakan lemak, protein dan DNA). Inflamasi yang
menyebabkan perubahan struktur sel saluran napas disertai peningkatan
produksi ROS, neutrofil, eosinofil dan makrofag. Superoxide anions (O 2-)
terbentuk melalui reduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase
dan ini akan diubah menjadi hydrogen peroxide (H2O2) oleh superoxide
dismutases. O2- dan H2O2 bereaksi dengan besi bebas membentuk radikal
reactive hydroxyl (OH). Oxidative stress juga menjadi penyebab utama oksidasi
arachidonic acid dan terbentuknya mediator prostanoid yang disebut
isoprostanes. Isoprostanes menyebabkan bronchokonstriksi dan eksudasi
plasma. Granulosit peroksidase seperti mieloperoksidase (MPO) pada neutrofil
berperan penting pada mekanisme terjadinya stres oksidatif. Pada neutrofil,
H2O2 berasal dari superoxide anions (O 2-) yang merupakan hasil metabolisme
MPO dengan ion klorida, juga menghasilkan hypochlorous acid yang
merupakan oksidan yang kuat. Mieloperoksidase juga merubah residu nitrat
tirosin menjadi peroxynitrite.
Stres oksidatif pada COPD meningkatkan proses inflamasi dan proses
destruksi sel epitel. Peningkatan proteolisis merupakan efek dari penurunan anti
protease seperti secretory leukoprotease inhibitor (SLPI) dan α1-antitrypsin
(α1-AT), selain itu stress oksidatif juga menyebabkan aktivasi nuclear factor
(NF)-kβ yang menyebabkan peningkatan sekresi cytokines CXCL8(IL-8) dan
tumour necrosis factor-α (TNF-α) serta peningkatan produksi isoprostane.

10
E. Faktor Resiko PPOK
Beberapa faktor risiko antara lain
1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok: Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%
kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat meng-alami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada
hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Studi di China
menghasilkan risiko relative merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94),
Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran
napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil
juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-paru-nya.
b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur
yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan
bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%.
Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan
rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas,
mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2,
NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan,
zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair,
bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung
jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunya.
Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di Bogota, Columbia,
pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK
(adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2 – 9,1).

11
c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc
dan debu. Bahan asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
Bagaimanapun peningkatan relatif kendara-an sepeda motor di
jalan raya pada dekade terakhir ini18,19,20 saat ini telah meng-
khawatirkan sebagai masalah polusi udara pada banyak kota
metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income rendah
dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan cara
masak tradi-sional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk
PPOK dan penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan
yang tidak merokok.
PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu
dengan pajanan lingkung-an dari bahan beracun, seperti asap rokok,
polusi indoor dan out door. Di Mexico, Tellez – Rojo et al,
menemukan bahwa peningkatan materi partikel 10μg/m3 dikaitkan
dengan peningkatan penyakit saluran napas 2,9% (95% CI 0,9 – 4,9)
dan kematian PPOK 4,1% (95% CI 1,3 – 6,9 ), respectively.
Di Hongkong sebuah studi kohort pros-pektif menemukan
bahwa prevalensi dari kebanyakan gejala sakit pernafasan mening-kat
lebih selama periode 12 tahun dan diperoleh data bahwa prevalensi
yang ter-diagnosa emfisema meningkat dari 2,4% - 3,1% dengan OR
1,78 (95% CI 1,12 – 2,86), hal ini mungkin disebabkan oleh faktor
lingkungan khususnya peningkatan polusi udara di kota Hongkong.
Beberapa penelitian menemukan bahwa pajanan kronik di kota dan
polusi udara menurun-kan laju fungsi pertumbuhan paru-paru pada
anak-anak.
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur),
industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri

12
(pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan
gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan men-
capai 19%.
2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic
memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK.
Faktor genetik juga mengatur aktivitas enzim protease di dalam paru yang
menyebabkan terjadinya emfisema paru. Faktor risiko genetik yang paling
besar dan telah diteliti lama adalah defisiensi α1-antitriypsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Defisiensi α1- antitrypsin dapat
muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tapi diperberat oleh
paparan rokok. Peranan MMPs, SERPINE2 dan inhibitor aktivasi MMP
dengan terjadinya kerusakan matriks ekstraseluler, terkait erat dengan
faktor gen pada COPD.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang :Infeksi saliran napas akut adalah
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus,
faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit
terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan
anak-anak dapat pula memberi kecacat-an sampai pada masa dewasa,
dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada
orang dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap wanita
adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89).
Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15), dan kurang aktivitas
fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02) (Oemiati, 2013 dan Wahyuni, 2017).

F. Tanda dan Gejala Klinis PPOK


Manifestasi klinis COPD terutama berkaitan dengan keluhan respirasi
yaitu:
 Batuk kronik, batuk kronik selama 3 bulan yang hilang timbul disertai dengan
produksi dahak yang kehijauan dengan konsistensi kental.

13
 Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas dan seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan (Wahyuni, 2017).

G. Diagnosis Dan Pemeriksaan Laboratorium


DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
 Riwayat merokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi /anak, misalnya berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara.
 Batuk berulang dengan atau tanpa bunyi mengi.
2. Pemeriksaan Fisis
 Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucut).
 bantu napas.
 Pelebaran sela iga.
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat pulsasi denyut vena
jugularis dextra dan edema tungkai.
 Palpasi
 Pada emfisema vocal fremitus melemah, sela iga melebar.
 Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
 Auskultasi

14
 Suara napas vesikuler normal atau melemah.
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
 Ekspirasi memanjang.
 Bunyi jantung terdengar jauh.

H. Penatalaksanaan pengobatan PPOK


Penatalaksanaan COPD meliputi:
a. Medikamentosa
 Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi oral
atau sistemik.
 Anti inflamasi
 Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednisone.
 Antibiotik
 Tidak dianjurkan penggunaan antibiotik untuk jangka panjang sebagai
tindakan pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi
disesuaikan dengan pola kuman setempat.
 Mukolitik
 Pemberian mukolitik tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang kental dan lengket.
 Antitusif

b. Pengobatan Penunjang
 Rehabilitasi
Terdiri atas; edukasi, berhenti merokok, latihan fisik dan respirasi,
pemberian nutrisi yang adekuat.
 Terapi Oksigen

15
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan.
 Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik invasiv digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.Ventilasi
mekanik noninvasiv digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai
perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada COPD berat.
 Operasi Paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di Negara maju).

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan penyakit respirasi kronis yang
dapat dicegah dan dapat diobati yang ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara yang resisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis saluran napas
yang disebebkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. PPOK adalah
sekelompok penyakit paru yang ditandai dengan peningkatan resistensi
saluran napas bawah, pada saat resistensi saluran napas meningkat maka
harus diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempetahankan
kecepatan aliran udara yang normal

B. Saran
Kritik dan saran sangat di perlukan demi kesempurnaan karya tulis
selanjutnya. Semoga setelah membaca makalah ini, para pembaca dapat
mengetahui mengenai makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, L., Sahrudin., Karma, I., 2017, Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Paru Obtruktif Kronik (PPOK) DiWilayah Kerja Puskesmas Lepo- Lepo
Kota Kendari Tahun 2017, jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan
masyarakat, Vol. 2(6).JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN
MASYARAKAT JURNAL ILMJURNAL ILMIAH MAHASISWA K
Kaffah, S., Yoga, Y., Erlang, S., 2015, Fibrilasi Atrium pada Penyakit Paru
Obtruktif Kronik, Jurnal Kardiologi Indonesia, Vol. 36 (2).

Khotimah, S., 2013, Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas HidupLebih Baik


Dari Pada Latihan PernafasanPada Pasien Ppok Di Bp4 Yogyakarta, Sport
and Fitness Journal, Vol. 1(1).

Mertha, M., Putu, J. Y. P., Ketut, S., 2015, Pengaruh Pemberian Deep Breathing
Exercise Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK, Jurnal Gema
Keperawatan, Vol. 1(1).

Oemiati, R., 2013, Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK), Media Litbangkes Vol. 23(2).

Saminan., 2014, Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit


ParuObstruktif Kronik (Ppok), Idea Nursing Journal, Vol. 5(1).

Suryadinata, R. V., 2018, Pengaruh Radikal BebasTerhadap Proses Inflamasi pada


Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), Amerta Nutr, ISSN 317-324

Wahyuni, R. D., 2017, Aspek Imunologi Chronic Obstructive Pulmonary


Diseases (COPD), Medika Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 4(1).

18

Anda mungkin juga menyukai