Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328063919

Gerakan Separatisme di Papua mengurai konflik dan solusi penyelesaian


Papua-Jakarta

Conference Paper · October 2018

CITATIONS READS

0 16,683

1 author:

Decky Wospakrik
Universitas Cenderawasih
2 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

legal pluralisme View project

All content following this page was uploaded by Decky Wospakrik on 04 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Gerakan Separatisme di Papua
mengurai konflik dan solusi penyelesaian Papua - Jakarta
Decky Wospakrik, S.H.

Latar Belakang Gerakan Perlawanan Bangsa Papua

Gerakan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri sudah terjadi sejak
masa pendudukan Jepang di Papua pada 1942‐1946. Manuskrip‐manuskrip
sejarah perlawanan rakyat Papua banyak mencatut gerakan Koreri di wilayah
Biak sebagai gerakan perlawanan bangsa Papua paling spektakuler di masa
itu. Gerakan Koreri dipimpin Angganitha Menafaur. Ia menjuluki dirinya
‘Ratu Emas dari Judea’ dan menahbiskan diri sebagai nabi perempuan titisan
Manseren Manggoendi. Gerakan Koreri kemudian mengalami penjelmaan dari
gerakan kebatinan, menjadi suatu gerakan kemerdekaan bersifat
ethno‐nasionalis‐politis akibat militansi Stephanus Simopyaref, rekan
seperjuangan Menafaur. Simopyaref berambisi menyatukan segenap suku
dan klan Melanesia ke dalam satu pandangan nasionalisme bangsa Papua.

Pada 1942, sekitar 500‐600 pengikut gerakan perlawanan Koreri dibunuh


tentara Jepang. Menafaur sendiri ditahan tentara Jepang lalu dibawa ke
Manokwari. Sebagai langkah awal menggelar idealisme kemerdekaan
bangsa Papua, Simopyaref menggagas misi menyelamatkan Menafaur. Ia
menginstruksikan penyusunan tentara, armada dan masyarakat, dengan
menggunakan bendera Belanda yang dibalikkan, ditambah dengan bintang
laut putih (sampari) di latar biru. Bendera ini dinamai bendera Koreri.
Simopyaref mengklaim bendera itu telah diwahyukan Manseren Mangundi
kepada Menafaur. Di pertengahan 1942, Simopyaref ditangkap tentara
Jepang setelah sebelumnya terjadi serangkaian dialog dan kontak senjata
antara kubu Simopyaref dan tentara Jepang. Ia lalu dibawa ke Manokwari.
Bersama Menafaur, di sana mereka berdua diancam hukuman mati oleh
pemerintah Jepang. Namun gelora kemerdekaan bangsa Papua terlanjur
dikumandangkan Simopyaref dalam wadah gerakan Koreri Menafaur.

Perjalanan bangsa Papua dalam menentukan nasib sendiri memasuki babak


baru saat persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sidang
BPUPKI tanggal 10 dan 11 Juli 1945, kepastian status Papua sebagai bagian
wilayah Indonesia menjadi topik perdebatan alot di antara para pemimpin
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Moh. Yamin,
Soekarno dan Kahar Muzakar, strategi geopolitik Indonesia mengharuskan
Papua terintegrasi dengan Indonesia, sekalipun secara etnografis bangsa

1
2

Papua lain dengan bangsa Indonesia. Bahkan Soekarno menyatakan, jika


ditilik dari sisi historis, dalam Nagarakertagama—manuskrip kronik jaman
Majapahit yang ditulis Mpu Prapanca—Papua ternyata masuk dalam
wilayah kerajaan Majapahit. Lagipula, Soekarno dan Muzakar sudah kadung
kesengsem dengan kekayaan alam Papua yang menurut mereka tak ternilai
harganya. Namun Moh. Hatta berbeda. Menurut beliau, pandangan Yamin,
Soekarno dan kawan‐kawan itu merupakan pandangan imperialis. Dengan
melihat pendekatan etnografis, bangsa Papua itu bangsa Melanesia, bukan
bangsa Polinesia yang mendiami sebagian besar wilayah Indonesia.
Persoalan apakah Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia atau
tidak, menurut Hatta, bisa diserahkan kepada keputusan bangsa Papua
sendiri.

Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun


Papua secara administratif masih di bawah naungan kerajaan Belanda.
Merasa sudah terlalu lama mengeruk kekayaan alam di tanah Papua,
Belanda merasa perlu memberikan kebebasan bagi bangsa Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri. Misi moril dekolonisasi pemerintah Belanda
bertujuan untuk menyiapkan kemerdekaan Papua sebagai negara sendiri di
bawah naungan Belanda. Merespon niat Belanda itu, kaum elit terdidik
Papua merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw
Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Untuk merealisasikan misi
dekolonialiasi Belanda, beberapa pentolan Nieuw Guinea Raad yaitu Nicolaas
Jouwe dan kawan‐kawan membentuk komite nasional dalam rangka
mempersiapkan alat‐alat dan simbol kelengkapan negara. Negara bangsa
Papua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1
Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Barat
dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai
Tanahku Papua” dinyanyikan dihadapan mahkota kerajaan Belanda.

Peristiwa itu menyebar cepat hingga ke pusat pemerintahan Indonesia. Dari


alun‐alun Yogyakarta, lewat pidato Tri Komando Rakyat pada 19 Desember
1961, presiden Soekarno mengobarkan semangat pengembalian Irian Barat
ke pangkuan ibu pertiwi dari skenario pembentukan negara boneka Belanda.
Pada awal 1962, pasukan Indonesia mulai melancarkan operasi pembebasan
Irian Barat. Di tengah memanasnya konflik Belanda Indonesia, pada Maret
1962, Amerika Serikat mengajukan usulan mengenai penyelesaian persoalan
Papua Barat kepada PBB. Usulan itu ditindaklanjuti dengan New York
Agreement pada 15 Agustus 1962. Kesepakatan antara pemerintah Belanda
dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung
jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962,
3

UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di
bawah pengawasan PBB, dilakukan Act of Free Choice bagi rakyat Papua
untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.

“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” begitu nas
dalam Article XX New York Agreement. Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,
Act of Free Choice bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (Penentuan
Pendapat Rakyat). Namun PEPERA hanya diwakili 1,025 warga Papua,
sedangkan Act of self-determination mengkaidahkan satu orang satu suara
(One Man One Vote). Bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih
dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanah
Papua. Di sisi lain, Indonesia beralasan sistem one man one vote tidak cocok
dengan budaya Indonesia yang menganut asas musyawarah untuk mufakat
berdasarkan Pancasila.

Munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak puas dengan kebijakan pemerintah


Indonesia selama Papua terintegrasi dengan Indonesia. Perjuangan OPM
adalah untuk melapaskan diri dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI).
Perkembangan dari pergerakan dan perjuangan OPM terjadi di berbagai
tempat di Papua yang berlangsung sejak 1967 hingga 2001.

R Z. Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit
pada 1992 menilai gerakan separatis yang dilakukan OPM—dan serangkaian
peristiwa terkait yang terjadi di Papua—adalah hasil dari didikan Belanda
yang sewaktu‐waktu akan meledak. Dengan cara pandang seperti ini
Leirissa terkesan menyalahkan pihak asing atas kegagalan pemerintah
Indonesia mengelola konflik Papua selama Papua terintegrasi dengan
Indonesia.

Gerakan separatisme yang terjadi di Papua menarik untuk dicermati karena


beberapa alasan, antara lain: (1) Papua saat ini adalah satu‐satunya Provinsi
di Indonesia yang proses integrasinya melalui mekanisme Internasional
dengan penentuan jajak pendapat (PEPERA); (2) gerakan separatisme di
Papua menunjukan watak gabungan antara pemahaman tradisional
suku‐suku dengan simbolisasi pemujaan terhadap koreri atau bintang kejora
di satu sisi, dan di sisi lain dipimpin oleh orang‐orang yang dididik ideologi
kebangsaan secara modern untuk melakukan lobi‐lobi politik yang
bermartabat; (3) gerakan separatisme di Papua ini bertahan lama dan selalu
mampu memperbaharui kepemimpinannya.
4

Brian May yang meneliti di Papua pada sekitar akhir 60‐an dan awal 70‐an
menunjukkan kompleksitas sekaligus karakteristik yang khas dari gerakan
rakyat Melanesia. Ia tak dapat disebut semata‐mata sebagai suatu gerakan
politik atau gerakan perlawanan gerilya. Ia mengidap sesuatu yang secara
psikologis jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa didefinisikan sebagai
suatu gerakan politik. OPM adalah suatu gerakan rakyat yang bersifat
keagamaan yang isinya dijiwai oleh suatu ideologi keselamatan,
pembebasan, dan pemakmuran melalui proses‐proses yang bersifat gaib
yang model‐modelnya terdapat dalam mitos‐mitos. OPM lahir setelah
serangkaian pertarungan kekuasaan yang melibatkan Pemerintah RI,
Amerika Serikat, UNTEA, Pemerintah Belanda, dan sejumlah elit terdidik
Papua yang berlangsung sejak 1962 hingga 1969. PEPERA 1969 menandai
“kemenangan” usaha integrasi Papua Barat oleh Pemerintah RI. Sebagian elit
Papua yang Pro Belanda hijrah ke Belanda. OPM juga ditumbuhkan dan
dibesarkan oleh seluruh proses tersebut di atas yang di dalamnya tersimpan
pengalaman ketakadilan oleh rekayasa berlebihan dari militer Indonesia.
Sejak itu sebagian elit Papua pimpinan OPM membangun perlawanan dan
mencoba melibatkan rakyat dalam usahanya “merebut kembali”
kemerdekaan Papua Barat yang sempat mereka proklamasikan pada 1
Desember 1961.

Menurut Djopari, pemberontakan OPM disebabkan ketidakpuasan dan


kekecewaan orang Papua karena mulai awal integrasi rakyat Papua ditekan
dan diintimidasi oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan menurut antropolog
George Junus Aditjondro, gerakan separatisme dan gelombang perlawanan
baik bersenjata maupun non‐bersenjata di Papua berkembang seiring
intensitas kekerasan yang dilancarkan aparat keamanan Indonesia di Papua.
Pertumbuhannya dimulai dari gerakan kepala burung ketika batalion Papua
di bawah komando Johan Ariks dan Mandatjan melancarkan serangannya
pada 1965, kemudian gerakan itu tumbuh dengan diproklamasikannya
kemerdekaan Papua oleh Seth Jafet Rumkorem pada 1971 di perbatasan
dekat Papua New Guinea.

Otonomi Khusus Papua: jawaban atas gejolak politik di Papua?

Ketika rejim kekuasaan Orde Baru runtuh pada 1998, keinginan


kemerdekaan penuh dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan suatu pandangan yang berkembang di masyarakat Papua pada
saat itu.

Demonstrasi 1998 di Papua merupakan refleksi rakyat Papua atas


pengalaman di masa lalu sebagai korban dari kesewenang‐wenangan
5

kekuasaan, maupun refleksi atas ketidakadilan ekonomi serta perlakukan


diskriminatif. Itu sebabnya, sebagian besar demonstrasi Papua 1998
mengusung isu: (1) pertanggungjawaban pemerintah pusat atas terjadinya
rangkaian pelanggaran HAM di Papua; (2) hak untuk berpartisipasi dalam
jenjang kepegawaian di Papua; (3) pengendalian perampasan kekayaan alam
di Papua; dan (4) persoalan hak ulayat atas tanah adat masyarakat Papua.

Ketika tuntutan‐tuntutan itu tidak mendapat respon sebagaimana


mestinya—bahkan seringkali dihadapi dengan kekerasan—tuntutan
keadilan itu berubah menjadi tuntutan kemerdekaan. Seiring dengan
perubahan isu, terjadi pula perubahan aktor. Pada awalnya demonstrasi
dilancarkan oleh pemuda dan mahasiswa, kemudian mulai masuk
kelompok‐kelompok tua, cendekiawan dan tokoh‐tokoh agama dengan
mengusung persoalan lama, yaitu masalah PEPERA. Akhirnya segala
tuntutan demokratisasi kemudian bermuara pada satu tuntutan: pelurusan
sejarah.

Pergolakan di Papua pada 1998 merupakan suatu akumulasi dari


kekecewaan masyarakat Papua sejak bergabung dengan Indonesia.
Akumulasi itu diakibatkan karena penderitaan secara politik, ekonomi, sosial
dan budaya, pelanggaran HAM sebagai akibat dari diberlakukannya Daerah
Operasi Militer (DOM) di Papua, dan stigmatisasi OPM sebagai kelompok
pengacau keamanan yang disematkan militer Indonesia kepada orang‐orang
Papua. Pandangan bahwa daerah yang begitu kaya yang dimiliki oleh orang
Papua telah dirampas dan dibawa ke Jakarta dan termarginalnya masyarakat
Papua dalam tekanan kekuasaan Jakarta.

Untuk menghadapi gejolak politik disintegrasi tersebut, pemerintah


Indonesia meresponnya dengan mengeluarkan Undang‐undang Nomor 45
Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian
Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya
dan Kota Sorong yang memecah Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Irian
Jaya Bagian Timur, Tengah dan Barat. Upaya untuk meredam gejolak politik
di Papua dengan jalan pemecahan tersebut gagal total. Dan penolakan atas
pemecahan tersebut juga mendapatkan penolakan luas dari masyarakat
Papua.

Sebagai respon pemerintah Indonesia dari gagalnya upaya meredam konflik


politik Papua tersebut, dalam Sidang Umum MPR 12‐21 Oktober 1999
dikeluarkan TAP MPR No. 4/1999 tentang GBHN 1999‐2004 yang isinya
menyatakan:
6

“Integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik


Indonesia (NKRI) dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan
sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah Otonomi Khusus
yang diatur dengan Undang-undang.”

Isi dari TAP MPR No. 4/1999 tersebut mengamanatkan pembentukan


Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
(Otsus Papua), suatu jalan tengah yang bertujuan untuk menyelesaikan
konflik berkepanjangan di Papua.

Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada dasarnya


adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah provinsi dan
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar
bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam untuk
kemakmuran rakyat Papua. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk
memberdayakan potensi sosial‐budaya dan perekonomian masyarakat
Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang‐orang asli
Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang
dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan
strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam
Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah
sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap
eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua


mempunyai identitas diri yang khusus dan merupakan suatu keragaman
dari masyarakat asli Papua. Undang‐undang Otonomi Khusus memberikan
keberpihakan dan perlindungan terhadap hak‐hak dasar dari penduduk asli
Papua. Untuk itu perlindungan terhadap hak‐hak dasar orang asli Papua
mencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu: (1) Perlindungan hak
hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang
bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan
rohaninya secara baik dan proporsional; (2) Perlindungan hak‐hak orang
Papua atas tanah dan air dalam batas‐batas tertentu dengan sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya; (3) Perlindungan hak‐hak orang Papua
untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya; (4)
Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam
kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan
berdemokrasi yang sehat; (5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk
7

memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada


penekanan dari pihak manapun; dan (6) Perlindungan kebudayaan dan adat
istiadat orang Papua.

Pemberlakuan Otonomi Khusus Provinsi Papua memberikan suatu dampak


affirmative terhadap orang asli Papua. Hal ini dapat dilihat dari pengisian
jabatan di Papua yang mana dalam UU Otsus Papua memberikan
kesempatan untuk mengisi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah
serta mengisi jabatan di birokrasi memprioritaskan pengisian jabatan adalah
orang asli Papua (Pasal 12 huruf a UU Otsus Papua). Begitu juga dengan
amanat yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan Otsus Papua perlu
dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural
dari masyarakat asli Papua.

Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua,
sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54
tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja dari
pemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dan
kewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan Otsus
Papua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak pada
kepentingan masyarakat asli Papua.

Namun sudah sepuluh tahun pelaksanaan Otsus di Papua, ketidakadilan


masih menggerogoti kehidupan masyarakat Papua. Terjadi suatu penolakan
terhadap pelaksanaan Otsus oleh masyarakat Papua karena manfaat
pelaksanaan Otsus Papua tidak dirasakan oleh masyarakat asli Papua.

Adapun beberapa masalah dalam pelaksanaan Otsus Papua, antara lain:

1) Adanya ketidak sepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah


Provinsi Papua. Pemerintah pusat tidak punya komitmen kuat dalam
pelaksanaan Otonomi Khusus, karena ada yang berpandangan Otsus
Papua itu sarana bagi gerakan separatis papua merdeka, sehingga
pemerintah pusat melakukan pembiaran terhadap pelaksanaan Otsus
dengan berbagai penyimpangan dan pemekaran wilayah di Papua. Di
satu sisi, pemerintah daerah Papua sendiri sepertinya tidak siap dengan
pelaksanaan Otsus Papua.

2) Adanya temuan penyimpangan dalam pengelolaan dana alokasi Otsus


Papua. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan telah
menemukan penyelewengan dana otonomi khusus (otsus) Papua sebesar
Rp 4,2 triliun dari total dana Rp 28,8 triliun sejak periode 2002‐2010. Rizal
8

Djalil dari BPK mengklaim ada 1,85 triliun dana alokasi Otsus Papua
periode 2008‐2010 yang didepositokan, padahal dana itu seharusnya
dialokasi untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua.

3) Pembentukan MRP di Papua Barat dalam Otonomi Khusus Papua. UU


Otsus Papua, PP No. 54/2004 dan Perdasus No. 4/2010 tentang Pemilihan
Majelis Rakyat Papua hanya mengenal adanya satu MRP di Papua.
Namun, terbitnya Perdasus No. 5/2011 tentang Pemilihan Majelis Rakyat
Papua di Provinsi Papua Barat telah memberikan jalan bagi
terbentuknya MRP di Papua Barat. Terbentuknya MRP Papua Barat
dikarenakan pandangan bahwa baik di Papua dan Papua Barat harus
dibentuk MRP sebagai akibat dari pemekaran Papua. Hal ini yang oleh
DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus untuk
menerbitkan Perdasus 5/2011.

4) Pemaksaan pemekaran wilayah Papua yang dilakukan pemerintah


Indonesia. Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran Provinsi Irian
Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang disahkan pemerintah Indonesia
mengkhianati amanat tentang prosedur pemekaran provinsi Papua yang
diatur dalam Pasal 76 UU Otsus. Inpres 1/2003 adalah tindak lanjut dari
UU 45/1999 tentang Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irian
Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan MK Nomor 018/PUU‐I/2003 pada tanggal 11 November 2004
telah menyatakan UU 45/1999 tidak lagi memiliki kekuatan hukum
mengikat.

5) Pemilihan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak


sesuai dengan amanat UU Otsus Papua. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 81/PUU‐VIII/2010 tanggal 2 Maret 2011 menyatakan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPR Papua (DPRP) sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Otsus Papua tidak memenuhi
kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah
Papua. Dengan keputusan MK tersebut, maka kewenangan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP serta tata cara pemilihan yang
terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf (a) UU Otsus Papua sudah tidak
lagi dapat digunakan oleh DPRP untuk melakukan pemilihan dan
pengangkatan gubernur dan wakil gubernur Papua berdasarkan
kekhususan Provinsi Papua sebagaimana yang diamanatkan dalam UU
Otsus Papua.

6) Pemerintah pusat memiliki pandangan bahwa lambang atau simbol


kedaerahan yang berhubungan dengan gerakan separatis harus dilarang
9

penggunaannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77


tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Hal ini menimbulkan ketidak
percayaan masyarakat papua terhadap pemerintah pusat karena PP
77/2007 bertentangan dengan amanat tentang penggunaan lambang
daerah Papua dalam Pasal 2 UU Otsus Papua.

7) Ketujuh, tidak ada realisasi atas pembagian hasil sumber daya alam
Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 34 UU Otsus Papua. Hal ini tercermin dalam kontrak karya
pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang digagas pada
1967 yang telah memupuk kecemburuan sosial masyarakat Papua akibat
ketidakadilan pembagian hasil sumber daya alam yang dikeruk PT.
Freeport Indonesia di Papua. Menurut Alibasjah Inggriantara, beberapa
persoalan mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli
Papua mengenai keberadaan PT. Freeport Indonesia, yaitu: (1) tidak
legalnya penyerahan Papua kepada PT. Freeport Indonesia, karena
seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, sebab saat itu Papua
belum diputuskan untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia.
Muncul dugaan ini adalah ‘hadiah’ rejim pemerintah orde baru kepada
Amerika Serikat yang punya peran besar melengserkan pemerintahan
orde lama di Indonesia; (2) dari segi kultural, penandatanganan kontrak
karya antara Indonesia dan PT. Freeport Indonesia sama sekali tidak
melibatkan penduduk asli Papua. Itu sebabnya banyak hak adat
penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi
Papua. Mis: Suku Amungme percaya beberapa gunung di wilayah
Papua merupakan tempat bersemayam arwah Jomun‐Nerek, nenek
moyang orang mereka; (3) dari aspek ekonomi, kontrak karya itu dinilai
sangat merugikan penduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham,
hasil yang didapatkan oleh penduduk asli maupun Pemerintah
Indonesia sangatlah minim; (4) secara geologis, areal kontrak karya
terlalu besar dibanding harga yang diberikan pemerintah Indonesia
kepada PT Freeport. Padahal, dengan melakukan ekplorasi di Papua, PT.
Freeport Indonesia berkembang menjadi perusahaan tambang terbesar
ketiga di dunia; (5) kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport
Indonesia kepada rakyat Papua terlalu kecil dibandingkan dengan
penghasilan yang dicapai selama 21 tahun berproduksi di Papua
(1973‐1994). Dalam kurun waktu tersebut, PT. Freeport Indonesia hanya
menyisihkan anggaran sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau
setelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih
dari 10%; (6) PT. Freeport Indonesia masih kurang menunjukkan
perhatian yang baik terhadap lingkungan hidup. Sampah (tailings) yang
10

ia buang menyebabkan musnahnya 3.300 vegetasi hutan tropis,


terjadinya penyumbatan mulut sungai dan endapan mulut sungai yang
menyebabkan musnahnya banyak spesies ikan di Papua. Selain itu,
terdapat juga aliran air asam tambang akibat proses oksidasi tailings dan
batuan limbah.

Gerakan Separatis Pasca Pemberlakuan Otsus Papua

Dengan diberlakukan Otsus Papua, perjuangan OPM mereduksi


perjuangannya lewat jalur‐jalur diplomasi yang lebih bermartabat. Peran
tersebut lebih ditujukan kepada Presedium Dewan Papua yang
memperjuangkan status Papua.

Menurut Bilver Singh, sesudah jatuhnya rejim pemerintahan orde baru,


perjuangan OPM dilakukan dengan membentuk National Coalition dan
United Fronts. Salah satunya adalah pembentukan National Liberation Council
(NCL) yang dipimpin Amos Indey, Toto dan Rumkorem. Dewan ini
mengorganisir kekuatan yang sudah berdiri sejak 1960‐an semisal Semangat
Angkatan Muda Papua anti Republik Indonesia (SAMPARI), Operasi
Organisasi Papua Merdeka (OOPM) dan Gerakan National Papua (GNP).

Pada Juni 2003, atas inisiatif Tom Beanal dan John Otto Ondawen, pertemuan
pemimpin Papua Barat diselenggarakan di Niewegein, Utrech, Belanda,
untuk melakukan rekonsiliasi pejuang‐pejuang Papua. Pertemuan tersebut
ditindak lanjuti dengan pertemuan di Lae, PNG pada 28 November 2005
yang menghasilkan berdirinya WPNCL (West Papua Coalition for Liberation)
yang bermarkas di Port Villa. Dewan ini juga memiliki sayap militer yang
terpisah dari OPM yakni The West Papua National Liberation Armed Forces
yang diketuai oleh Mathias Wenda.

Demikian dapat dilihat bahwa ada pergeseran sifat pergerakan separatis di


Papua. Sebelumnya lebih pada pergerakan bersenjata yang dilakukan oleh
OPM, namun pada masa pemberlakuan Otsus Papua, ia beralih ke jalur
diplomasi dan lobi‐lobi Internasional.

Jalan diplomasi yang dilakukan untuk memperjuangkan Papua juga dapat


dilihat dengan adanya Presedium Dewan Papua (PDP) dan Dewan Adat
Papua. PDP yang dipimpin oleh Theys H. Eluay merupakan lembaga yang
secara informal memiliki legitimasi politik, sosial dan budaya secara luas di
dalam masyarakat Papua. PDP lahir dari “Kongres Papua 2” di Jayapura
pada Mei‐Juni 2000. PDP merupakan lembaga yang pro‐kemerdekaan
11

Papua, bertujuan untuk meluruskan sejarah integrasi Papua dan


memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

Namun perjalanan pergerakan PDP tidak dapat terlepas dari kekerasan


politik di Papua. Pada 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay diculik. Esok
harinya, jenazah Eluay ditemukan di wilayah Koya Tengah, Distrik Muara
Tami, Kabupaten Jayapura.

Perjuangan kemerdekaan Papua mengalami tekanan militer Indonesia—baik


yang bergerak secara damai maupun dengan menggunakan senjata—demi
mewujudkan keutuhan NKRI. Namun hal ini tidak dapat begitu saja lepas
dari peranan intejen yang melakukan gerakan infiltrasi kedalam masyarakat
Papua untuk meredam gerakan kemerdekaan Papua. Pertaruhan politik
antara Jakarta dan Papua pada masa pelaksanaan Otsus menyebabkan
kekerasan terus terjadi di Papua. Stigma separatis Papua dengan mudah di
capkan terhadap kasus‐kasus penembakan dan pembunuhan diwilayah
Papua (khususnya di daerah pegunungan tengah dan areal pertambangan
Freeport). Penembakan terus menerus terjadi, tanpa adanya suatu
pembuktian apakah memang betul itu dilakukan oleh OPM sesuai dengan
yang disangkakan pihak militer Indonesia.

Penembakan dan kekerasan di Papua bagaikan susunan puzzel yang harus


di konstruksikan kembali dan disusun secara cermat. Tanpa adanya
pembuktian terkait siapa pelaku sesungguhnya, situasi politik dan gangguan
keamanan di Papua mustahil akan mereda. Ironisnya, Papua dan ancaman
disintegrasinya secara nyata belumlah dianggap serius oleh pemerintah
pusat. Apalagi soal keamanan di PT. Freeport Indonesia yang selama ini
menjadi komoditi banyak pihak di Jakarta maupun di Papua. Yang paling
mengerikan adalah jika kredibilitas pemerintah Indonesia dan kepentingan
nasional yang lebih besar di Papua dikorbankan demi melindungi kelompok
tertentu karena kepentingan yang sama, dan solidaritas korps di kalangan
aparat keamanan atau pun angkatan bersenjata. Jika itu yang terjadi, kita
semakin yakin bahwa paradigma separatisme dan siklus kekerasan di Papua
memang sedang dirawat.

Solusi Konflik Papua: Dialog Papua-Jakarta

Ketegangan politik antara Papua dan Jakarta yang diwarnai kekerasan dan
konflik terus terjadi di Papua semenjak Papua masuk kedalam NKRI hingga
era pelaksanaan Otsus.

Ketidak seriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola konflik Papua akan


menimbulkan ketidakpercayaan orang Papua yang tidak menguntungkan
12

bagi Jakarta. Konflik dan kekerasan akan terus terjadi apabila Jakarta dan
Papua tidak duduk bersama dalam melihat situasi dan kondisi Papua yang
sedang terjadi. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah keterbukaan dari
Jakarta untuk mendengar apa yang diinginkan oleh Papua atas situasi politik
di Papua.

Rencana dialog Papua – Jakarta yang sedang dibangun di Papua dapat


menjadi jalan awal untuk mengurai konflik yang berkepanjangan di Papua.
Hal ini dikarenakan Jakarta juga pernah mengalami dengan melakukan
dialog dengan Tim 100 dari Papua pada saat gejolak politik yang terjadi pada
tahun 1998 dengan akhirnya menghasilkan Otonomi Khusus Papua.

Untuk melakukan dialog, Jakarta juga telah pernah mempunyai pengalaman


dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Dimana terjadi perundingan damai
antara Jakarta dan Aceh. Namun kecurigaan dan pandangan bahwa dialog
yang akan dilakukan mengarah kepada sikap atau tuntutan kemerdekaan
dari orang Papua harus di hilangkan dari pandangan Jakarta. Dengan
membuka diri dan duduk bersama dengan mempunyai posisi tawar yang
sama kuat antara Jakarta dan Papua dalam mengurai konflik yang
berkepanjangan antara Jakarta dan Papua.

Dialog Jakarta–Papua yang dilakukan harus melibatkan semua unsur yang


ada di Papua, baik Pemerintah Provinsi Papua, PDP, dan juga TPN/OPM dan
faksi‐faksi yang selama ini memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Dengan demikian, beberapa poin yang dapat masuk dalam agenda dialog
Papua‐Jakarta, antara lain:

1) Pelurusan sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI, dengan melihat


kembali pelaksanaan Perjanjian New York dan PEPERA yang menjadi
suatu awal konflik yang berkepanjangan di Papua.
Dalam pelurusan status dan sejarah Papua yang terjadi pada saat
pelaksanaan perjanjian New York dan PEPERA. Dengan melibatkan
pihak‐pihak asing yang terlibat pada saat terjadinya PEPERA, antara lain
PBB, Amerika Serikat, dan Belanda;

2) Membuat suatu komisi rekonsiliasi yang berhubungan dengan


kasus‐kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak tahun 1969
sampai dengan 2011.
Pelanggaran HAM yang terjadi dari 1969, pelaksanaan Papua sebagai
daerah operasi militer (DOM) dan pelanggaran HAM yang terjadi saat
13

pelaksanakan Otsus dilaksanakan yang dapat dilihat dari berbagai


peristiwa penembakan yang terjadi di Papua pada saat ini;

3) Menguatkan kembali pelaksanaan Otsus Papua yang lebih memihak


kepada orang Papua dengan memberikan kebebasan tanpa intervensi
Jakarta seperti dalam pelaksanaaan Otsus selama ini.
Dengan demikian Otsus dapat diharapkan sebagai suatu jalan untuk
menyelesaikan masalah di Papua apabila dilaksanakan dengan benar. Dan
dapat dilakuan revisi terhadap UU Otsus dengan memuat
kemauan‐kemauan dari pihak Papua sebagai pihak yang akan
melaksanakan dan merasakan dampak secara langsung;

4) Menghilangkan tindakan diskriminasi dan marjinalisasi terhadap orang


asli Papua dengan memberikan kebijakan affirmative terhadap orang asli
Papua.
DAFTAR BACAAN

Drooglever, P.J., Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan


Nasib Sendiri, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Pigay, Decki Natalis, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di


Papua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.

Sumule, Agus, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Artikel, Jurnal & Arsip Media:

"Freeport Indonesia Memberikan Manfaat Langsung 265 Juta Dolar


AS kepada Pemerintah Indonesia pada Triwulan I 2010", Siaran
Pers PT. Freeport Indonesia, 10 Mei 2010.

"MRP Papua Barat Nodai Harkat Orang Papua", Cenderawasih Pos,


Kamis, 23 Juni 2011.
Link:http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=1703
(diakses tanggal 16 Juli 2011)

“Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian


Masalah Konflik Papua”, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia,
Januari 2004.

"Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Capai Rp 4,2 Triliun",


Republika.co.id, Kamis, 21 April 2011.
Link:http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/21/lk01q5‐pe
nyimpangan‐dana‐otonomi‐khusus‐papua‐capai‐rp‐42‐triliun (diakses tanggal
16 Juli 2011)

Rahab, Amiruddin al, “Gerakan Papua Merdeka: Penciptaan


Identitas Ke‐Papua‐an Versus Ke‐Indonesia‐an”, Jurnal Dignitas,
Volume III/No.1/2005.

Widjojo, Muridan S., "Di Antara Kebutuhan Demokrasi dan


Kemenangan Politik Kekerasan: Konflik Papua pasca Orde
Baru", Paper Proyek Penelitian Transisi Demokrasi di Indonesia,
LP3ES & The Ford Foundation, 2001.

__________________, "Kekerasan Freeport: Satu Piring dengan Banyak


Sendok", Pusat Penelitian Politik ‐ Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2P‐LIPI).
Link:
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom‐papua/88‐kekerasan‐
freeport‐satu‐piring‐dengan‐banyak‐sendok‐1‐ (diakses tanggal) &
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/kolom-papua/88-kekerasan-freeport-s
atu-piring-dengan-banyak-sendok-2- (diakses tanggal 16 Juli 2011)

________________ (Ed.), dkk, "Papua Road Map, Negotiting the Past,


Improving the Present and Securing the Future", The Indonesian
Institute of Science (LIPI), Jakarta, 2008.

Wospakrik, Decky, "Gila! Dana Otonomi Khusus Papua Rp 1,85 T


Didepositokan?" Kompasiana, 18 April 2011.
Link:
http://hukum.kompasiana.com/2011/04/18/gila‐dana‐otonomi‐khusus‐papua‐r
p‐185‐t‐didepositokan/ (diakses tanggal 16 Juli 2011)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai