Gerakan Separatis Di Papua
Gerakan Separatis Di Papua
net/publication/328063919
CITATIONS READS
0 16,683
1 author:
Decky Wospakrik
Universitas Cenderawasih
2 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Decky Wospakrik on 04 October 2018.
Gerakan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri sudah terjadi sejak
masa pendudukan Jepang di Papua pada 1942‐1946. Manuskrip‐manuskrip
sejarah perlawanan rakyat Papua banyak mencatut gerakan Koreri di wilayah
Biak sebagai gerakan perlawanan bangsa Papua paling spektakuler di masa
itu. Gerakan Koreri dipimpin Angganitha Menafaur. Ia menjuluki dirinya
‘Ratu Emas dari Judea’ dan menahbiskan diri sebagai nabi perempuan titisan
Manseren Manggoendi. Gerakan Koreri kemudian mengalami penjelmaan dari
gerakan kebatinan, menjadi suatu gerakan kemerdekaan bersifat
ethno‐nasionalis‐politis akibat militansi Stephanus Simopyaref, rekan
seperjuangan Menafaur. Simopyaref berambisi menyatukan segenap suku
dan klan Melanesia ke dalam satu pandangan nasionalisme bangsa Papua.
1
2
UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di
bawah pengawasan PBB, dilakukan Act of Free Choice bagi rakyat Papua
untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.
“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” begitu nas
dalam Article XX New York Agreement. Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,
Act of Free Choice bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (Penentuan
Pendapat Rakyat). Namun PEPERA hanya diwakili 1,025 warga Papua,
sedangkan Act of self-determination mengkaidahkan satu orang satu suara
(One Man One Vote). Bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih
dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanah
Papua. Di sisi lain, Indonesia beralasan sistem one man one vote tidak cocok
dengan budaya Indonesia yang menganut asas musyawarah untuk mufakat
berdasarkan Pancasila.
R Z. Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit
pada 1992 menilai gerakan separatis yang dilakukan OPM—dan serangkaian
peristiwa terkait yang terjadi di Papua—adalah hasil dari didikan Belanda
yang sewaktu‐waktu akan meledak. Dengan cara pandang seperti ini
Leirissa terkesan menyalahkan pihak asing atas kegagalan pemerintah
Indonesia mengelola konflik Papua selama Papua terintegrasi dengan
Indonesia.
Brian May yang meneliti di Papua pada sekitar akhir 60‐an dan awal 70‐an
menunjukkan kompleksitas sekaligus karakteristik yang khas dari gerakan
rakyat Melanesia. Ia tak dapat disebut semata‐mata sebagai suatu gerakan
politik atau gerakan perlawanan gerilya. Ia mengidap sesuatu yang secara
psikologis jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa didefinisikan sebagai
suatu gerakan politik. OPM adalah suatu gerakan rakyat yang bersifat
keagamaan yang isinya dijiwai oleh suatu ideologi keselamatan,
pembebasan, dan pemakmuran melalui proses‐proses yang bersifat gaib
yang model‐modelnya terdapat dalam mitos‐mitos. OPM lahir setelah
serangkaian pertarungan kekuasaan yang melibatkan Pemerintah RI,
Amerika Serikat, UNTEA, Pemerintah Belanda, dan sejumlah elit terdidik
Papua yang berlangsung sejak 1962 hingga 1969. PEPERA 1969 menandai
“kemenangan” usaha integrasi Papua Barat oleh Pemerintah RI. Sebagian elit
Papua yang Pro Belanda hijrah ke Belanda. OPM juga ditumbuhkan dan
dibesarkan oleh seluruh proses tersebut di atas yang di dalamnya tersimpan
pengalaman ketakadilan oleh rekayasa berlebihan dari militer Indonesia.
Sejak itu sebagian elit Papua pimpinan OPM membangun perlawanan dan
mencoba melibatkan rakyat dalam usahanya “merebut kembali”
kemerdekaan Papua Barat yang sempat mereka proklamasikan pada 1
Desember 1961.
Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua,
sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54
tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja dari
pemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dan
kewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan Otsus
Papua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak pada
kepentingan masyarakat asli Papua.
Djalil dari BPK mengklaim ada 1,85 triliun dana alokasi Otsus Papua
periode 2008‐2010 yang didepositokan, padahal dana itu seharusnya
dialokasi untuk pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua.
7) Ketujuh, tidak ada realisasi atas pembagian hasil sumber daya alam
Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 34 UU Otsus Papua. Hal ini tercermin dalam kontrak karya
pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia yang digagas pada
1967 yang telah memupuk kecemburuan sosial masyarakat Papua akibat
ketidakadilan pembagian hasil sumber daya alam yang dikeruk PT.
Freeport Indonesia di Papua. Menurut Alibasjah Inggriantara, beberapa
persoalan mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli
Papua mengenai keberadaan PT. Freeport Indonesia, yaitu: (1) tidak
legalnya penyerahan Papua kepada PT. Freeport Indonesia, karena
seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, sebab saat itu Papua
belum diputuskan untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia.
Muncul dugaan ini adalah ‘hadiah’ rejim pemerintah orde baru kepada
Amerika Serikat yang punya peran besar melengserkan pemerintahan
orde lama di Indonesia; (2) dari segi kultural, penandatanganan kontrak
karya antara Indonesia dan PT. Freeport Indonesia sama sekali tidak
melibatkan penduduk asli Papua. Itu sebabnya banyak hak adat
penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi
Papua. Mis: Suku Amungme percaya beberapa gunung di wilayah
Papua merupakan tempat bersemayam arwah Jomun‐Nerek, nenek
moyang orang mereka; (3) dari aspek ekonomi, kontrak karya itu dinilai
sangat merugikan penduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham,
hasil yang didapatkan oleh penduduk asli maupun Pemerintah
Indonesia sangatlah minim; (4) secara geologis, areal kontrak karya
terlalu besar dibanding harga yang diberikan pemerintah Indonesia
kepada PT Freeport. Padahal, dengan melakukan ekplorasi di Papua, PT.
Freeport Indonesia berkembang menjadi perusahaan tambang terbesar
ketiga di dunia; (5) kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport
Indonesia kepada rakyat Papua terlalu kecil dibandingkan dengan
penghasilan yang dicapai selama 21 tahun berproduksi di Papua
(1973‐1994). Dalam kurun waktu tersebut, PT. Freeport Indonesia hanya
menyisihkan anggaran sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau
setelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih
dari 10%; (6) PT. Freeport Indonesia masih kurang menunjukkan
perhatian yang baik terhadap lingkungan hidup. Sampah (tailings) yang
10
Pada Juni 2003, atas inisiatif Tom Beanal dan John Otto Ondawen, pertemuan
pemimpin Papua Barat diselenggarakan di Niewegein, Utrech, Belanda,
untuk melakukan rekonsiliasi pejuang‐pejuang Papua. Pertemuan tersebut
ditindak lanjuti dengan pertemuan di Lae, PNG pada 28 November 2005
yang menghasilkan berdirinya WPNCL (West Papua Coalition for Liberation)
yang bermarkas di Port Villa. Dewan ini juga memiliki sayap militer yang
terpisah dari OPM yakni The West Papua National Liberation Armed Forces
yang diketuai oleh Mathias Wenda.
Ketegangan politik antara Papua dan Jakarta yang diwarnai kekerasan dan
konflik terus terjadi di Papua semenjak Papua masuk kedalam NKRI hingga
era pelaksanaan Otsus.
bagi Jakarta. Konflik dan kekerasan akan terus terjadi apabila Jakarta dan
Papua tidak duduk bersama dalam melihat situasi dan kondisi Papua yang
sedang terjadi. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah keterbukaan dari
Jakarta untuk mendengar apa yang diinginkan oleh Papua atas situasi politik
di Papua.
Dengan demikian, beberapa poin yang dapat masuk dalam agenda dialog
Papua‐Jakarta, antara lain: