Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau
menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. vektor yang berperan sebagai
penular penyakit dikenal sebagai arthropoda borne diseases atau sering juga
disebut sebagai vector borne diseases yang merupakan penyakit yang penting
dan seringkali bersifat endemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai
kematian (Permenkes R.I No. 374, 2010).
Penyakit menular bersumber vektor yang masih berjangkit di masyarakat
diantaranya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, lalat dan kecoa yang
umumnya berkembang pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk (Amalia,
2010). “Penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadii penyakit
endemis yang dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat
menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya
pengendalian atas penyebaran vektor” (Permenkes R.I No. 374, 2010). Upaya
pemberantasan dan pengendalian penyakit menular seringkali mengalami
kesulitan karena banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit
menular tersebut. Lingkungan hidup di daerah tropis yang lembab dan bersuhu
hangat menjadi tempat hidup ideal bagi serangga yang berkembangbiak. Selain
dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan vektor pembawa penyakit,
keberadaan serangga juga dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa aman
bagi masyarakat (Soedarto, 2009).
B. Rumusan Masalah
1. Arthropoda-arthropoda pathogen dan cara pengendaliannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui arthropoda yang pathogen dan cara pengendaliannya
D. Manfaat
1. Dapat menambah pengetahuan tentang parasitologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arthropoda-Arthropoda Pathogen dan Pengendaliannya
1. Demodisiosis disebabkan oleh Demodex folliculorum
Cara pengendaliannya :
Semaksimal mungkin untuk menjaga kebersihan agar parasite tersebut tidak
berkembang biak. Pencegahannya dengan melakukan kebersihan pada diri
sendiri dan lingkungansekitar terutama disekitar rambut dimana tempat vektor
ini tumbuh. Pengobatan demodisiosis pada kulit dapatdilakukan dengan
olesan salep linden atausalep yang mengandung sulfur.Pengobatan lainnya
adalah asam salisilat,metronidazol, krotamiton, lindane, andsublimed sulphur,
oral metronidazole, oralivermektin dan topical permethrin.
2. Scabies disebabkan oleh Sarcoptes scabiei
Cara pengendaliannya :
Memberantas vector Sarcoptes scabiei, selalu menjaga kebersihan diri dan
lingkungan serta pencegahannya dengan pakaian, seprei dan sarung bantal
harus dicuci dan disetrika dengan baik. Kasur, bantal, guling paling sedikit
2kali seminggu, ventilasi rumah diperbaiki agar cahaya matahari dapat masuk.
3. Ftiriasis disebabkan oleh phthirus pubis
Cara pengendaliannya:
Pencegahannya dengan melakukan kebersihan pada diri sendiri dan
lingkungan sekitar terutama disekitar rambut dimana tempat vektor ini
tumbuh agar vector ini tidak dapat berkembang biak.
4. Kecoa
Cara pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap
kapsul telur dan kecoa :
1. Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara : Mekanis yaitu
mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-celah dinding, celah-celah
almari, celah-celah peralatan, dan dimusnahkan dengan
membakar/dihancurkan.
2. Pemberantasan kecoa
Pemberantasan kecoa dapat dilakukan secara fisik dan kimia.Secara fisik atau
mekanis dengan :
a. Membunuh langsung kecoa dengan alat pemukul atau tangan.
b. Menyiram tempat perindukkan dengan air panas.
c. Menutup celah-celah dinding.
Secara Kimiawi :
a. Menggunakan bahan kimia (insektisida) dengan formulasi spray
(pengasapan), dust (bubuk), aerosol (semprotan) atau bait (umpan).
3. Sanitasi
Cara ini termasuk memusnahkan makanan dan tempat tinggal kecoa antara
lain, membersihkan remah-remah atau sisa-sisa makanan di lantai atau rak,
segera mencuci peralatan makan setelah dipakai, membersihkan secara rutin
tempat-tempat yang menjadi persembunyian kecoa seperti tempat sampah, di
bawah kulkas, kompor, furniture, dan tempat tersembunyi lainnya. Jalan
masuk dan tempat hidup kecoa harus ditutup, dengan cara memperbaiki pipa
yang bocor, membersihkan saluran air (drainase), bak cuci piring dan
washtafel. Pemusnahan tempat hidup kecoa dapat dilakukan juga dengan
membersihkan lemari pakaian atau tempat penyimpanan kain, tidak
menggantung atau segera mencuci pakaian kotor dan kain lap kotor.
4. Trapping
Perangkap kecoa yang sudah dijual secara komersil dapat membantu untuk
menangkap kecoa dan dapat digunakan untuk alat monitoring. Penempatan
perangkapkecoa yang efektif adalah pada sudut-sudut ruangan, di bawah
washtafel dan bak cuci piring, di dalam lemari, di dalam basement dan pada
lantai di bawah pipa saluran air.
5. Pengendalian dengan insektisida
Insektisida yang banyak digunakan untuk pengendalian kecoa antara lain :
Clordane, Dieldrin, Heptachlor, Lindane, golongan organophosphate
majemuk, Diazinon, Dichlorvos, Malathion dan Runnel. Penggunaan bahan
kimia (insektisida) ini dilakukan apabila cara di atas telah dipraktekkan
namun tidak berhasil.
5. Lalat
Cara pengendaliannya :
Usaha pemberantasan lalat meliputi :
1. Tindakan penyehatan lingkungan
a. Menghilangkan tempat-tempat pembiakan lalat
b. Melindungi makanan terhadap kontaminasi oleh lalat
2. Membasmi larva lalat
3. Membasmi lalat dewasa
6. Nyamuk
Cara pengendaliannya :
Pengendalian vector adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan
atau menekan populasi vector pada tingkat yang tidak membahayakan bagi
kesehatan masyarakat (Kusnoputranto, 2000). Di dalam upaya pengendalian
vector nyamuk, beberapa metode yang dapat digunakan antara lain tindakan
anti larva, tindakan terhadap nyamuk dewasa, dan tindakan terhadap gigitan
nyamuk (Sumantri, 2010). Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga :
1. Pengendalian Secara Mekanik
Program yang di canangkan oleh Pemenrintah Indonesia melalui
Departemen Kesehatan RI yaitu 3M : 1) Menguras secara teratur
seminggu sekali dan menabur bubuk abate ke tempat penampungan air. 2)
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. 3) Mengubur atau
menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik dan barang bekas lainnya
yang dapat menampung air hujan sehingga tidak mrnjadi sarang nyamuk.
2. Pengendalian Secara Biologis
Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organism pemangsa, parasit,
pesaing menurunkan jumlah nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian ini bisa
dilakukan dengan memelihara ikan yang relative kuat dan tahan, misalnya
ikan mujair di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga sebagai
predator bagi jentik dan pupa. Contoh jenis ikan lainnya yang juga cocok
dijadikan untuk pengendalian larva ialah Panchax panchax (ikan kepala
timah, Lebistus reticularis (Guppy = water ceto), Gambusia affinis (ikan
gabus), dll.
3. Pengendalian Secara Kimiawi
Pegendalian secara kimia yang berkhasiat membunuh serangga
(insektisida) atau hanya untuk menghalau serangga saja (repellent).
Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera dan
meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga
dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini
hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan
mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada, 2000).
7. Pinjal
Cara pengendaliannya :
Untuk mencegah penyebaran penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
pinjal maka perlu dilakukan tindakan pengendalian terhadap arthopoda
tersebut. Upaya yang dapat dilakukan, antara lain melalui penggunaan
insektisida, dalm hal ini DDT, Diazinon 2% dan Malathion 5% penggunan
repllent (misalnya, diethyl toluamide dan benzyl benzoate) dan pengendalian
terhadap hewan pengerat (rodent).
Selain itu, dapat juga dengan cara:
Mekanik atau Fisik
Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara
membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa
disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner
berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa
pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi
kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi
tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak
hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya.
Kimia
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan
insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa
melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida
dari golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada
pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian
insektisida masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan
saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth
Regulator (IGR). Secara umum untuk mengatasi pinjal, formulasi serbuk
(dust) dapat diaplikasikan pada lantai rumah dan tempat jalan lari tikus.
Insektisida ini dapat juga ditaburkan dalam lubang persembunyian tikus.
Diberbagai tempat Xenopsylla cheopis dan Pulex irritans telah resisten
terhadap DDT, HCH dan dieldrin. Bila demikian, insektisida organofosfor dan
karbamat seperti diazinon 2 %, fention 2%, malation 2%, fenitrotion 2%,
iodofenfos 5%, atau karbaril 3-5% dapat digunakan. Insektisida fogs atau
aerosol yang mengandung malation 2% atau fenklorfos 2% kadang-kadang
juga digunakan untuk fumigasi rumah yang mengandung pinjal. Insektisida
smoke bombs yang mengandung permetrin atau tirimifos metal dapat juga
digunakan untuk desinfeksi rumah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
arthropoda yang pathogen dan mempunyai cara pengendaliannya masing-
masing.
B. Saran
Terhadap akibat dari gangguan parasit terhadap kesejahteraan
manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian
penyakitnya. Maka dari itu, sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang
kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Serta dalam
penulisan makalah ini masih banyak kesalahan jadi mohon untuk kritik dan
sarannya agar saya dapat memperbaikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Soedarto. (2008). Parasitologi Klinik. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai