Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOID

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Agus Mulyadi Ridwan


Al Islami Sadam Supratomo
Auvi Maulana Samuel Mandasa
Erwin Krisna Yuda Syahrinsyah
Mirza Bisri Yoh Emanuel Gemadi
Muammar Yusriani Yusuf

FAKULTAS KESEHATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM B
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

2021

LAPORAN PENDAHULUAN

1
A. KONSEP TEORI PENYAKIT
1. Definisi
Keloid adalah tumor jinak akibat proses penyembuhan yang tumbuh meluas
melewati batas luka aslinya hingga menginvasi jaringan normal didaerah
sekitarnya. Sebagai tumor jinak fibroproliferatif, keloid ditandai dengan deposisi
berlebih extra cellular matrix, khususnya kolagen, fibronektin, elastin,
proteoglikan, dan faktor pertumbuhan seperti TGF β (Halim et al, 2012). Keloid
bisa terjadi diseluruh bagian tubuh akan tetapi lebih sering terjadi di bahu,
dada,leher, lengan atas, dan pipi (Kakar et al, 2006). Keloid terjadi akibat proses
penyembuhan luka abnormal yang terjadi pada individu yang rentan secara
genetik. Keloid muncul pada bekas luka sebagai jaringan parut yang akan terus
tumbuh menginvasi jaringan normal disekitar lokasi luka aslinya hingga mencapai
ukuran tertentu (Wolfram et al, 2009)

2. Etiologi
Keloid termasuk satu diantara penyakit kulit lain yang muncul akibat proses
penyembuhan luka. Saat ini masih belum ada hipotesis terpadu yang menjelaskan
mengenai patogenesis terjainya keloid (Seo et al, 2013). Proses pembentukan
keloid dipicu oleh trauma kulit dan paparan genetik (Wolfram et al, 2009). Gen
autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap dan juga autosomal resesif
yang diwariskan, terlihat diantara keluarga dengan keloid. Akan tetapi gen
autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap merupakan kasus yang sering
terjadi pada keloid (Halim et al, 2012). Keloid juga bisa muncul spontan tanpa
adanya riwayat trauma pada kulit (Kelly, 2004). Trauma kulit bisa terjadi akibat
acne, folikulitis, tindik, luka bakar, lacerasi, dan luka bekas operasi. Kebanyakan
keloid akan muncul pada pada 3 bulan, dan beberapa keloid terjadi 1 tahun setalah
trauma kulit (Chike-Obi et al, 2009). Penelitian terbaru memfokuskan interaksi
antara keloid yang berasal dari fibroblas dan extra cellular matrix. Proses
penyembuhan luka membutuhkan interaksi komplek antara berbagai macam sel,
extra cellular matrix, dan sitokin (Seifert, 2008). Regulasi keseimbangan yang
ketat antara sintesis dan degradasi dari extra cellular matrix sangat penting untuk
pembentukan scar normal. Jika keseimbangan ini terganggu akibat peningkatan
produksi extra cellular matrix atau penurunan degradasi extra cellular matrix,
parut hipertropik dan keloid bisa saja akan terjadi (Seifert, 2008). Faktor

2
penyebab utama keloid adalah produksi kolagen yang terus menerus, defek
remodeling pada struktur sel dan matriks ekstraselular, pembentukan sel-sel
infiltrasi yang berlebihan, dan kurangnya jaringan elastis akibat peningkatan
aktivitas metabolik fibroblast. Di keloid sintesis kolagen mencapai 20 kali lebih
besar dibandingkan dengan kulit normal tanpa jaringan parut (Wolfram et al,
2009). Proses penyembuhan luka normal dan pembentukan keloid memiliki
gambaran histologi yang mirip pada stase awal, karakteristik pertumbuhan
fibroblas keloid mirip dengan fibroblas jaringan kulit normal. Fibroblas pada
keloid mensintesis prokolagen tipe-I dan fibronektin yang lebih tinggi juga
tampak peningkatan beberapa faktor pertumbuhan termasuk vascular endothelial
growth faktor, transforming growth factor β1 dan β2. Ketika proses penyembuhan
luka telah selesei, aktifitas TGF- β kembali normal tetapi pada keloid TGF- β
mengalami produksi berlebih. Growth factor inilah yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan proliferasi fibroblas keloid dan produksi kolagen berlebih
(Wolfram et al, 2009). Berdasarkan gambaran histologi, fibroblast keloid
mengalami peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan. Hal ini menunjukan
terjadinya peningkatan aktvitas metabolik pada fibroblas keloid. Peneletian pada
jaringan keloid menunjukan adanya mast cell dan histamine. Adanya histamine
menjelaskan kemungkinan adanya gejala pruritus yang dikeluhkan oleh pasien
keloid. Dan nyeri pada keloid mungkin diakibatkan karena adanya neuropathy
pada serabut saraf kecil

3. Tanda dan Gejala


Ciri-ciri keloid bervariasi pada masing-masing orang. Gejala umumnya
terjadi pada lokasi cedera kulit sebelumnya. Gejala-gejala umum kondisi ini
adalah sebagai berikut.
a. Dimulai dengan luka ragam warna

Kondisi ini tentu diawali dengan munculnya bekas luka dengan warna
beragam seperti merah muda, merah, atau ungu. Bekas ini juga terlihat lebih
menonjol dari kulit di sekitarnya. Warna yang timbul tersebut akan
menggelap seiring berjalannya waktu. 

b. Muncul dan tumbuh dengan lambat

3
Kondisi ini muncul perlahan, dengan ukuran kecil yang lama-lama akan
membesar melampaui bekas luka. Kemunculannya bisa memakan waktu
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk tumbuh.
c. Berbeda tekstur dengan kulit yang lain
Beberapa keloid ada yang terasa lembut saat disentuh dan berwarna pucat,
tapi ada juga yang terasa lebih keras dan kenyal. Terkadang, warnanya bisa
menggelap seiring dengan berjalannya waktu.
d. Menyebabkan sakit dan gatal
Ada kalanya pertumbuhan bekas ini menimbulkan rasa gatal, sakit, dan ujga
nyeri. Untungnya, gejala ini akan menghilang saat keloid sudah berhenti
tumbuh dan tidak menimbulkan masalah yang serius
e. Ukuran dan bentuk keloid bermacam-macam.
Pada daun telinga, kondisi ini mungkin berbentuk bulat padat. Berbeda lagi
di bahu atau dada yang cenderung akan menyebar ke seluruh kulit dan
terlihat seperti cairan yang mengeras.

4. Komplikasi
Keloid memicu terjadinya kondisi sekunder, gejala, atau munculnya
gangguan lain. Beberapa gejala yang muncul akibat keloid seperti nyeri,
parestesia, dan pruritus (Sukasah, 2009). Berdasarkan gambaran klinis dan
lokasinya, keloid menyebabkan masalah penurunan penampilan sesorang. Hal ini
mampu memberikan masalah stress psikologis terhadap penderitanya. Pada
daerah persendian yang terdapat lesi keloid, menyebabkan tegangan kulit
meningkat sehingga ruang gerak daerah persendian terganggu.

5. Penatalaksanaan Medis
Terdapat banyak modalitas terpai untuk keloid, akan tetapi belum ada yang
mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan berdasarkan studi yang telah
dilakukan. Prinsip terpenting pada penatalaksanaan bekas luka ada mencegah
terjadinya keloid (Gauglitz, 2009). Pencegahan yang bisa dilakukan untuk
mencegah timbulnya keloid, antara lain dengan menghindari operasi kosmetik
yang tidak perlu sekali pada pasien yang diketahui berpotensi mengalami keloid.
Pentalaksanaan keloid masih bersifat empiris karena belum diketahui pasti

4
penyebabnya. Terapi pada penyakit ini diindikasikan jika terdapat gejala, seperti
nyeri, parestesia, pruritus, dan juga kosmetik (Sukasah, 2007).
Terapi konvensional yang biasanya dilakukan ialah menggunakan
koritkosteroid, cryosurgery, operasi eksisi, dan terapi interferon. Triamcinolone
acetonide (TCA) adalah kortikosteroid yang sering dipakai dalam konsentrasi 10 –
40 mg/ml yang dilakukan secara intralesi (Kelly, 2009). Cryosurgery memiliki
beberapa keuntungan antara lain mudah dilakukan dengan biaya murah dan
memiliki tingkat rekurensi paling minimal dibandingkan dengan modalitas terapi
yang lain. Selain itu cryosurgery juga memiliki kekurangan yang perlu
dipertimbangkan antara lain munculnya edema dan rasa tidak nyaman setelah
terapi dan permanen hipopigmentasi bisa terjadi (Har-Shai et al, 2003). Eksisi
yang diikuti dengan terapi radiasi dinilai efektif dalam penghapusan keloid.
Apabila hanya dilakukan sebagai terapi tunggal tanpa terapi tambahan, operasi
eksisi mempunyai tingkat rekurensi 50%-80% (Kelly, 2009). Untuk penggunaan
terapi modern dengan 585nm pulsed dye laser setelah dilakukan operasi eksisi
dipercaya menurunkan risiko munculnya kembali keloid akibat paparan energy
panas yang tingi (Alster dan Handrick, 2000). Terapi Interferon α, interferon β,
dan interferon ϒ menurunkan fibroblas keloid memproduksi kolagen I, III, dan
IV. Penggunan interteferon setelah dilakukan operasi eksisi dapat menurunkan
tingkat rekurensi munculnya keloid (Wolfram et al, 2009).
Belum muncul adanya suatu penatalaksanaan yang optimal untuk keloid
hingga saat ini dan kekambuhan penyakit setelah terapi kemungkinan bisa terjadi.
Pasien yang menginginkan terapi keloid, harus diberitahukan mengenai
kekambuhan yang mungkin terjadi setelah terapi. Informed consent harus
dilakukan pada semua tindakan medis dengan penjelasan yang lengkap mengenai
pilihan terapi, efektifitas terapi, kekambuhan penyakit, dan biaya terapi (Gupta
dan Sharma, 2011).

5
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan .(Sabiston, 2011)
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran. (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012)
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
(Morgan, 2011)
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.
Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau
melalui inhalasi. (Royal College of Physicians (UK), 2011)
Anestesi umum meliputi:
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)
Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi
dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh.
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur
mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.

6
b. Regional Anestesi
1) Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir.
(Keat, dkk, 2013)
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien
yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu. (Rochimah, dkk, 2011)
2) Tujuan Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat
digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri
akut maupun kronik.
3) Kontraindikasi Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang
luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat.
4) Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang
utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1
jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam
(Reeder, S., 2011).

7
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan diantaranya keselamatan pasien, kenyamanan pasien serta
kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi
tersebut. Terdapat dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia
(GA) dan Regional Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni
teknik spinal dan teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan
untuk operasi yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi
segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat
kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada
tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan
menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan merupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada
sebagian kasus Apendisitis. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA
dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta
aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA.

4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena
(TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;

8
5) Obat Hipnotik Sedatif;
6) Obat Antiemetik.

5. Resiko
Menurut Latief (2002), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien Excisi
dengan anestesi general adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Mual muntah
c. Hipotensi
d. Trauma pembuluh darah;
e. Mual muntah;

9
C. TINJAUAN TEORI ASKAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan
serta masalahnya. Pengkajian meliputi :
a. Data Subjektif
1) Pasien mengeluh nyeri disertai rasa gatal pada keloid
2) Pasien mengatakan timbul keloid akibat terjadinya cedera pada kulit
3) Sebagian besar akibat dari keturun keluarga yang mengalami keloid
4) Pasien mengatakan takut di operasi
5) Pasien merasa tidak dapat rileks
6) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi
b. Data obyektif
1) Skala nyeri ringan sampai sedang
2) Kulit lebih menonjol dari kulit sekitarnya
3) Warna menggelap seiring berjalannya waktu
4) Tekstur lembut
5) Ukuran dan luas tergantung lokasi

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Resiko Komplikasi Agent Anestesi
b. Nyeri
c. Ansietas
Intra Anestesi :
a. Resiko Cedera Trauma Pembedahan
b. Resiko Komplikasi Disfungsi Respirasi
c. Resiko Komplikasi Disfungsi Kardiovaskular
Post Anestesi :
a. Tidak efektif fungsi Respirasi
b. Resiko Jatuh

10
3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Resiko Komplikasi Agent Anestesi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi persiapan pre operasi
dalam 1x24 jam diharapkan dapat mengurangi resiko komplikasi
terhadap agent anestesi yang diberikan.
2) Kriteria Hasil :
a) KIE tentang prosedur operasi beserta resiko operasi
b) Kebutuhan pasien cukup
c) Aksesoris tubuh sudah terlepas (gigi palsu, perhiasan, cat kuku)
d) Personal Hygine baik
e) Pengkajian pra anestesi dilakukan (Pemeriksaan fisik, Penilaian
TTV, Penilaian Mallampati, Penilaian tiromentalis)
f) Penentuan status ASA
3) Rencana Tindakan:
a) Berikan KIE mengenai prosedur operasi beserta resiko.
b) Observasi tanda-tanda vital
c) Lakukan pengkajian pra anestesi
d) Lakukan pengkajian penyulit anestessi
e) Tentukan status ASA
f) Kolaborasi dalam pemberian premedikasi
b. Nyeri
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-
100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital

11
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik
nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic
d. Ansietas
1) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas
berkurang/hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat
anestesi/pembiusan
b) Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan
c) Pasien mengkomunikasikan perasaan negative secara tepat
d) Pasien tampak tenang dan kooperatif
e) Tanda-tanda vital normal
3) Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.
b) Jelaskan jenis prosedur tindakan prosedur yang akan dilakukan
c) Berikan dorongan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan
d) Ajarkan teknik relaksasi
e) Kolaborasi untuk pemberian obat sedasi

Intra Anestesi :
a. Resiko Cedera Trauma Pembedahan
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak
terjadinya risiko cedera trauma pembedahan
2) Kreteria Hasil
a) Tidak adanya tanda-tanda trauma pembedahan
b) Pasien tampak rilaks selama operasi berlangsung
c) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
d) Saturasi oksigen >95%

12
e) Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak
menunjukkan respon nyeri
f) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
3) Rencana tindakan :
a) Siapkan peralatan dan obatobatan sesuai dengan perencanaan
teknik anestesi
b) Atur posisi pasien
c) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif
d) Monitor vital sign
e) Pantau kecepatan/kelancaran infus
f) Pasang nasal kanul 3 lt/menit
g) Bantu pelaksanaan anestesi (Regional anestesi) sesuai dengan
program kolaboratif spesialis anestesi
h) Atur pasien dalam posisi pembedahan
i) Cek tinggi blok spinal
j) Lakukan monitoring
k) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung
perianestesi
l) Atasi penyulit yang timbul
m) Lakukan pemeliharaan jalan napas
n) Lakukan pemasangan alat ventilasi mekanik
o) Lakukan pengakhiran tindakan anestesi

b. Resiko Komplikasi Disfungsi Respirasi


1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan respirasi
dapat efektif
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi obstruksi pada jalan nafas
b) Snoring (-)
c) Pernafasan cuping hidung (-)
d) Retraksi dada (-)
e) Pasien dapat bernafas dengan rileks
f) RR normal : 16-20 x/menit

13
g) SaO2 normal : 95–100 %
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring Vital sign
b) Monitoring saturasi oksigen pasien
c) Lakukan triple airway management
d) Lakukan pemasangan OPA/NPA
e) Kolaborasi pemberian Oksigen

c. Resiko Komplikasi Disfungsi Kardiovaskular


1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak
terjadi disfungsi kardiovaskular
2) Kriteria hasil :
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
b) CM = CK
c) Tidak terjadi edema/asites
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak ada edema paru
3) Rencana tindakan :
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif
maintenance cairan intravena dan vasopresor
Pasca Anestesi:
a. Tidak Efektif Fungsi Respirasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan respirasi
dapat efektif
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi obstruksi pada jalan nafas

14
b) Snoring (-)
c) Pernafasan cuping hidung (-)
d) Retraksi dada (-)
e) Pasien dapat bernafas dengan rileks
f) RR normal : 16-20 x/menit
g) SaO2 normal : 95–100 %
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring Vital sign
b) Monitoring saturasi oksigen pasien
c) Lakukan triple airway management
d) Lakukan pemasangan OPA/NPA
e) Kolaborasi pemberian Oksigen

b. Resiko Jatuh
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien aman
setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Alderete score >8
c) Pasien tidak gelisah
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian alderete score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh

15
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
ECG

Carpenito. 2013. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC

Doenges, Marlynn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: ECG

http://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20PerencanaanAskep
%20Apendisitis.html (diakses pada tanggal 9 Oktober 2020)

Keat, Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks

Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical
Books/McGraw-Hill

Nagelhout, John and Plaus. 2010. Handbook Of Nurse Anesthesia. USA: Elsevier.

Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Syamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: EGC

16

Anda mungkin juga menyukai