Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus


dipenuhi setiap saat. Salah satu bahan pangan yang tingkat konsumsinya tinggi di
masyarakat adalah bahan pangan yang berasal dari hewan. Menurut Lawu et al.,
(2014), bahan pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mengandung
asam amino tinggi, dimana terdapat beberapa jenis bahan pangan asal hewan yang
umumnya dikonsumsi oleh masyarakat, seperti telur, susu, dan daging. Hal ini
sejalan dengan pendapat Murdiati dan Sendow (2006), yang menyatakan bahwa
bahan pangan asal ternak seperti halnya susu, daging dan telur mempunyai nilai
gizi yang tinggi, ditinjau dari kandungan protein, asam amino, lemak dan mineral.
Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah rusak
(perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan
lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi, dan
biologis sehingga dapat membahayakan keselamatan hidup manusia, hewan,
tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketenteraman batin masyarakat
termasuk mengenai kehalalan (Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2018).

Susu merupakan cairan yang berasal dari ambing ternak perah sehat dan
bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku (Meutia et al., 2016). Kandungan alaminya tidak ditambah
atau dikurangi sesuatupun dan belum mendapat perlakuan apapun, kecuali proses
pendinginan. Menurut Hidayat (2010) susu harus memenuhi syarat ASUH yaitu
aman, sehat, utuh dan halal. Susu dipandang dari segi peternakan adalah suatu
sekresi kelenjar-kelenjar susu dari sapi yang sedang laktasi atau ternak yang
sedang laktasi dan dilakukan pemerahan yang sempurna. Susu menjadi salah satu
sumber energi yang dibutuhkan tubuh serta merupakan bahan makanan yang
bergizi tinggi, mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti
protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang sangat dibutuhkan oleh
manusia.
Kualitas susu yang kurang baik jika dikonsumsi oleh masyarakat dapat
mengakibatkan terganggunya kesehatan. Maka diperlukannya susu dengan
kualitas yang baik agar didapatkan susu yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
Keamanan pangan merupakan salah satu ruang lingkup dari Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Jaminan terhadap mutu pangan merupakan
tanggung jawab dari Kesmavet sebagai penghubung antara bidang
pertanian/peternakan dan kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi Kesmavet
adalah administrasi dan konsultasi, pencegahan penyakit zoonosis, higiene
makanan, riset dan penyidikan penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan
Kesmavet. Pemeriksaan terhadap kualitas susu dalam rangka sebagai salah satu
langkah dalam menjaga keamanan pangan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni
melalui pemeriksaan terhadap keadaan susu dan susunan susu yang
mempengaruhi kualitas susu. Menurut Ressang dan Nasution (1982), penelitian
terhadap kualitas susu dapat dilakukan berdasarkan keadaan dan susunan susu.
Pemeriksaan susu untuk melihat keadaannya dapat dilakukan dengan uji didih, uji
alkohol, dan uji derajat asam. Tujuan dari uji tersebut untuk memeriksa derajat
keasaman susu secara tetrimetri dan untuk mengetahui kualitas susu. Pada saat
susu masih dalam kondisi tidak pecah dan tidak menggumpal setelah melewati uji
didih dan uji alkohol, maka susu dapat dikatakan sehat dan layak untuk
dikonsumsi. Sebaliknya bila susu pecah atau menggumpal, maka susu tersebut
tidak layak konsumsi atau susu dengan kualitas yang buruk.
Beradasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penjaminan terhadap
kualitas susu sebagai salah satu bahan pangan asal hewan merupakan hal yang
penting. Sehingga pada kesempatan kali ini kami mahasiswa PPDH Gelombang
17 Kelompok D melakukan penilaian terhadap kualitas pada susu melalui uji
keadaan susu dan uji susunan susu. Penilaian kualitas susu merupakan salah satu
aspek yang perlu dikuasai oleh seorang dokter hewan. Kompetensi ini sangat
penting untuk mewujudkan aspek keamanan pangan khususnya untuk memastikan
bahwa produk hasil hewan yang beredar di masyarakat merupakan bahan pangan
yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan koasistensi di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara pengujian kualitas susu
2. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan tentang pemeriksaan
kualitas daging susu

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan koasistensi di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara pengujian kualitas susu
2. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan tentang pemeriksaan
kualitas daging susu

1.3 Manfaat Penulisan


1. Memberikan pengetahuan menguji kualitas susu
2. Dapat meningkatkan ketrampilan menguji kualitas kualitas susu

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan di Laboratorium
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana berupa pemeriksaan kualitas susu (susu segar, susu bubuk,
susu basi dan susu pasteurisasi). Laporan dikumpulkan menjadi satu dan ditulis
secara ilmiah.

1.5 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Pelaksaan pemeriksaan dilakukan dari tanggal 22 Februari 2021,
bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Susu
Susu adalah cairan berwarna putih yang disekresi oleh kelenjar mammae
pada binatang mamalia betina untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi
anaknya. Kebutuhan gizi pada setiap hewan mamalia betina bervariasi sehingga
kandungan susu yang dihasilkan juga tidak sama pada hewan mamalia yang
berbeda (Utami et al. 2011). Susu merupakan sumber energi karena mengandung
banyak laktosa dan lemak, disebut juga sumber zat pembangun karena
mengandung juga banyak protein dan mineral serta berbagai bahan-bahan
pembantu dalam proses metabolisme seperti mineral dan vitamin (Sanam et al.
2014).
Susu dengan berbagai produk olahannya merupakan sumber protein
hewani yang mengandung nilai gizi tinggi dan semakin banyak dikonsumsi
masyarakat Komponen penting dalam susu dan produk susu menurut Miller et al.
(2007) yaitu kalsium, vitamin D, protein, potassium, vitamin A, vitamin B12,
riboflavin, niacin, dan fosfor. Kandungan zat gizi yang tinggi ini menjadikan susu
sebagai bahan makanan yang sangat baik untuk dikonsumsi oleh manusia maupun
anak ternak. Selain itu yang perlu diketahui susu merupakan bahan pangan yang
mudah terkontaminasi sehingga susu menjadi media pertumbuhan yang sangat
baik bagi mikroba.

2.2 Parameter Pemeriksaan Susu


Pemeriksaan susu dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fisik, kimia, dan
biologis. Secara fisik, pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa warna, rasa dan
aroma susu dengan indera. Pemeriksaan kualitas susu secara kimia dilakukan
dengan menggunakan zat kimia atau reaksi kimia tertentu. Pemeriksaan kualitas
susu secara biologis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis,
bakteriologis dan biokemistri.
Secara kimiawi susu tersusun atas dua komponen utama, yaitu air yang
berjumlah sekitar 87% dan bahan padat yang berjumlah sekitar 13%. Pada bahan
padat susu terdapat berbagai senyawa kimia, baik yang tergolong senyawa zat gizi
makro (makronutrien) seperti lemak, protein, dan karbohidrat, maupun senyawa
zat gizi mikro (mikronutrien) seperti vitamin dan mineral serta beberapa senyawa
lainnya. Susu merupakan makanan yang hampir sempurna bagi mahluk hidup
yang baru lahir ke dunia, dimana susu merupakan satu-satunya sumber makanan
pemberi kehidupan sesudah kelahiran. Susu merupakan bahan pangan yang
mengandung kalori 66 kkal, protein 3,2 gr, lemak 3,7 gr, laktosa 4,6 gr, zat besi
0,1 mg, kalsium 120 mg, dan vitamin A 100 IU (Navyanti dan Adriyani, 2015).
Penilaian mutu dan produksi susu sering digunakan sebagai tolak ukurnya
adalah berdasarkan uji kualitas susu terhadap komposisi susu dan keadaan fisik
susu. Uji kualitas susu dapat ditinjau dari uji alkohol, uji derajat asam, dan angka
katalase yang merupakan pemeriksaan terhadap keadaan susu yang berguna untuk
memeriksa dengan cepat keasaman susu, menentukan adanya kuman-kuman pada
air susu (Hadiwiyoto, 1994).
Pada pemeriksaan susu terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu
keadaan susu dan susunan susu. Keadaan susu dikatakan buruk jika susu kotor,
mengandung kuman-kuman yang tidak ditemukan di dalam susu normal, dan susu
mulai basi. Susunan susu dikatakan buruk jika susu dicampur dengan bahan-
bahan yang biasanya tidak ditemukan pada susu yang normal atau bila susu tidak
memenuhi syarat-syarat minimal. Susu dimasyarakat dipakai sebagai bahan
pangan untuk pemenuhan gizi, sehingga jaminan atas kualitas susu harus lebih
diperhatikan, seperti halnya dalam proses pemerahan sapi sampai pengolahan susu
yang pada akhirnya menjadi produk siap konsumsi. Banyak permasalahan yang
terjadi pada proses pengolahan, penyimpanan dan penggunaan susu karena
stabilitas akan kualitas susu dapat dengan mudah menurun. Penurunan kualitas
susu dapat diakibatkan oleh cemaran mikroba yang dipengaruhi oleh keadaan saat
produksi, penyimpanan, transportasi dan distribusinya (Yayasan Kanisius, 1980),
sehingga harus mendapatkan pengawasan dan perhatian tentang kesehatan dan
kualitas susu.
Persyaratan kualitas susu secara umum yang boleh beredar di pasaran
dalam Standar Nasional Indonesia 2011 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Persyaratan Kualitas Susu Menurut SNI

Karakteristik Satuan Syarat


1,0270
Berat Jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum g/ml
Kadar lemak minimum % 3,0

Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8

Kadar protein minimum % 2,8


Tidak ada
Warna, bau, rasa, kekentalan -
perubahan

Derajat asam °SH 6,0 - 7,5

Ph - 6,3 - 6,8

Uji alkohol (70 %) v/v - Negatif

Cemaran Mikroba maksimum: 1x106


CFU/ml
Total Plate Count
Staphylococcus aureus CFU/ml 1x102
Enterobacteriaceae
CFU/ml 1x103

Jumlah sel somatis maksimum sel/ml 4x105


Residu antibiotika (Golongan penisilin, - Negatif
Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida)
Uji pemalsuan - Negatif

Titik beku oC -0,520 s.d -0,560

Uji peroxidase - Positif

Cemaran logam berat, maksimum:


0,02
Timbal (Pb) μg/ml
Merkuri (Hg) μg/ml 0,03
Arsen (As) μg/ml
0,10

2.3 Pemeriksaan Susu

2.3.1 Pemeriksaan Subjektif


A. Pemeriksaan Organoleptik (Warna, Bau, rasa dan Kekentalan)

Uji organoleptik merupakan salah satu cara mendasar dan pertama kali
dilakukan untuk mengetahui kualitas dari susu tersebut. Uji organoleptik
merupakan pengujian yang subyektif, akan tetapi pengujian ini memiliki peran
yang penting. Pengujian ini terdiri dari rasa, aroma dan warna. Rasa dan aroma
dapat bersinergi membentuk citarasa. Citarasa susu sapi dipengaruhi beberapa
faktor. Berdasarkan hasil pengujian, sampel susu selama penelitian dalam kondisi
aman dan layak untuk dikonsumsi. Hasil uji organoleptik yaitu untuk warna susu
putih, memiliki aroma khas susu dan rasa susu normal yaitu gurih dan manis khas
susu, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa susu tidak mengalami perubahan.
Hasil pengujian tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai susu layak konsumsi
sesuai SNI 01-3141.1-2011.

Menurut Badan Standar Nasional Indonesia (2011), bahwa susu segar


dikatakan masih baik apabila warna, aroma dan rasa tidak mengalami perubahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi citarasa susu antara lain adalah penyerapan
bau, bahan pakan ternak, kondisi ternak, pengaruh sinar matahari dan penambahan
bahan asing. Hasil tersebut diperkuat dengan beberapa pendapat dari beberapa
peneliti. Pada waktu susu berada di dalam ambing ternak yang sehat atau beberapa
saat setelah keluar, susu merupakan suatu bahan murni, higienis, bernilai gizi
tinggi, mengandung sedikit bakteri yang berasal dari ambing, bau, rasa tidak
berubah dan tidak berbahaya untuk diminum (Sanam et al., 2014).

Ciri khas susu yang baik dan normal adalah susu tersebut terdiri dari
konversi warna kolostrum yang berwarna kuning dengan warna air susu yaitu
putih, jadi susu normal itu berwarna putih kekuning-kuningan. Kriteria lainnya
adalah jika berwarna biru maka susu telah tercampur air, jika berwarna kuning
maka susu mengandung karoten, dan jika berwarna merah maka susu tercampur
dengan darah (Yusuf 2010). Warna ini tergantung pada pakan yang diberikan,
lemak dalam susu, dan juga bahan padat. Apabila diberikan pakan hijauan segar
yang lebih banyak, maka lemak dalam susu menjadi tinggi karena kandungan
karoten lebih banyak sehingga warna susu akan lebih kuning, namun bila lemak
dari susu diambil maka susu akan berwana biru. Susu yang berwarna kemerahan
tidak normal, kemungkinan berasal dari sapi yang sakit (Suardana dan Swacita,
2009).

Susu segar memiliki rasa sedikit manis dan aroma khas. Rasa manis dalam
susu dikarenakan adanya gula laktosa didalam susu, meskipun sering dirasakan
adanya sedikit rasa asin yang disebabkan oleh klorida. Bau khas susu disebabkan
oleh beberapa senyawa yang mempunyai aroma spesifik dan sebagian bersifat
volatile. Oleh sebab itu, beberapa jam setelah pemerahan atau sebelum
penyimpanan, aroma khas susu banyak berkurang. Bau dan rasa mudah
dipengaruhi oleh sapi itu sendiri, pakan, bau sekelilingnya, dekomposisi
kandungan susu, material asing, dan perubahan reaksi kimia (Suardana dan
Swacita, 2009)

Bahan padat dan lemak susu mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut


juga menentukan viskositas susu. Sifat ini sangat menguntungkan dalam
pembuatan mentega (Saleh, 2004). Susu yang baik memiliki konsistensi yang
normal, tidak encer, tetapi juga tidak pekat, dan tidak ada pemisahan bentuk
apapun. Susu yang agak berlendir, bergumpal-gumpal menunjukkan susu sudah
busuk (Suardana dan Swacita, 2009).

B. Uji Kebersihan

Pada uji Kebersihan susu dapat diamati dengan subjektif, mikroskop, atau
menggunakan kaca pembesar. Pengamatan dengan subjektif untuk mengetahui
adanya kotoran atau benda asing terutama benda mengambang seperti insekta,
rumput, dan lain sebagainya. Kotoran yang sering ada pada susu biasanya berupa
dedak, ampas kelapa, kotoran kandang, bulu, pasir, dan lain sebagainya. Susu
yang baik harus tidak mengandung benda asing baik yang mengambang,
melayang, maupun mengendap. Penentuan kebersihan atau derajat kebersihan
dilihat sebagai: bersih sekali, bersih, sedang, kotor, dan kotor sekali (Suardana
dan Swacita, 2009).
2.3.2 Pemeriksaan Susu Secara Objektif
A. Uji Didih

Prinsip pada uji didih mengetahui “heat stability” susu untuk mengetahui
baik/tidaknya susu untuk dapat diproses menjadi produk lain atau dipasarkan
dalam bentuk susu segar. Susu yang tidak baik/mulai rusak akan pecah atau
menggumpal bila dipanaskan sampai didih. Mantel air yang mengelilingi casein
pada susu yang tidak baik dalam keadaan tidak stabil yang mengakibatkan casein
akan menggumpal oleh panas atau asam (Aritonang, 2017).
B. Uji Alkohol

Prinsip dasar pada uji alkohol adalah protein susu diselubungi oleh mantel
air. Susu yang rusak akan bercampur dengan alcohol yang berdaya dehidrasi
sehingga protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat asam susu semakin
sedikit jumlah alcohol dengan kepekaan yang dibutuhkan untuk memecahkan
susu yang sama banyaknya (Aritonang, 2017).
Praktikum yg dilakukan juga menghasilkan hasil yang sesuai dengan teori
tersebut. Susu segar dengan hasil positif diperoleh dari uji alcohol dengan
kepekatan yang lebih tinggi (96%). Susu yang telah basi juga menghasilkan hasil
positif bahkan pada uji alcohol dengan kepekatan 70%. Hal ini dikarenakan nilai
asam yang lebih tinggi dibandingkan susu segar dan susu di freezer. Tingkat
keasaman dapat terlihat dari nilai pH susu. Uji alkohol dinyatakan positip jika
susu yang ditambahkan alkohol tampak menggumpal, pecah atau bila digoyang-
goyang pada dinding tabung tampak butir- butiran/lender (Aritonang, 2017).
C. Uji Berat Jenis (BJ)

Berat jenis susu ditentukan oleh banyaknya padatan terlarut di dalam susu.
Semakin besar berat jenis susu, maka semakin besar pula konsentrasi padatan
terlarut dalam susu. Berat jenis susu diukur menggunakan laktometer. Muchtadi,
et al (2010) menjelaskan bahwa laktometer adalah hidrometer yang skalanya telah
disesuaikan dengan berat jenis susu. Prinsip dari alat ini adalah bekerja mengikuti
hukum Archimedes dimana jika laktometer dicelupkan ke dalam susu, maka
laktometer tersebut akan mendapat tekanan ke atas sesuai dengan berat volume
cairan yang dipindahkan. Jadi, jika laktometer dicelupkan ke dalam susu yang
memiliki berat jenis yang rendah, maka laktometer akan tenggelam lebih dalam
dibandingkan jika dicelupkan ke dalam susu yang berat jenisnya lebih tinggi.
Berat jenis susu merupakan salah satu parameter awal apakah susu
memenuhi standar atau tidak. Menurut SNI 3141.1:2011 tentang susu segar,

o
syarat berat jenis minimum susu segar pada suhu 27,5 C adalah 1,0270 g/ml.
Berat jenis susu juga berbeda-beda tergantung dari jenis dan spesies hewannya,
iklim tempat hewan pada saat diperah, pakan hewan, kondisi hewan, dll.
Muchtadi, et al. (2010) menyatakan bahwa berat jenis rata-rata susu adalah 1,032.
D. Uji Penetapan Tingkat Keasaman (pH)

Uji tingkat keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan


menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Susu segar memiliki
pH 6,3-6,8 (SNI, 2011). Sebagian besar asam yang terdapat dalam susu adalah
asam laktat, meskipun demikian keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai
senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa pospat komplek, asam
nitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH
susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah
6.5 menunjukan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri (Saleh, 2004).
E. Uji Suhu

Susu yang dihasilkan setelah proses pemerahan merupakan bahan murni,


bernilai gizi tinggi, serta mengandung sedikit kuman dan keadaan ini dapat
dikatakan susu masih steril. Susu sebaiknya disimpan dalam suhu yang dingin
atau suhu rendah agar terjaga kualitasnya, karena apabila dibiarkan susu akan
berangsur-angsur menjadi rusak. Kerusakan susu ditandai dengan perubahaan
warna dari warna aslinya dan baunya pun tidak khas seperti susu segar. Untuk
mempertahankan kualitas susu dapat diberi perlakuan dengan cara pendinginan,
pasteurisasi, kombinasi pemanasan dan pendinginan. Susu dapat dengan mudah
terkontaminasi oleh bakteri apabila berada di suhu ruang dalam waktu yang lama.
Dimana susu sangat peka terhadap pencemaran bakteri karena di dalam susu
terkandung semua zat yang disukai oleh bakteri seperti protein, mineral,
karbohidrat, lemak, dan vitamin sehingga susunan dan keadaannya akan berubah
(Suardana dan Swacita, 2009), susu menjadi mudah basi dan tidak sehat untuk
dikonsumsi.

F. Uji Reduktase

Waktu reduktase merupakan salah satu pemeriksaan terhadap keadaan


susu yang berguna untuk menentukan adanya kuman-kuman pada susu
(Hadiwiyoto, 1994). Dalam air susu terdapat enzim reduktase yang dibentuk oleh
bakteri susu. Enzim ini mereduksi zat warna methyline blue sehingga larutan
menjadi tidak berwarna. Waktu reduktase adalah waktu yang diperlukan mulai
saat tabung dimasukkan ke dalam incubator sampai warna biru dari susu hilang.
Menurut Codex: minimal angka reduktase adalah 2, yang terbaik angka reduktase
5 atau lebih. (Aritonang, 2017). Waktu untuk pembelahan sel bagi bakteri berkisar
antara 10 sampai 60 menit (Buckle et al., 1987), sehingga factor waktu sangat
mempengaruhi kualitas pada susu, karena terjadi peningkatan jumlah bakteri di
dalam susu.

Tabel 2.2 Kualitas Susu Berdasarkan Waktu Reduktase dan Jumlah Bakteri
Kualitas Susu Waktu Reduktase Perkiraan Bakteri (per ml susu)
Sangat Baik > 5 jam 500.000
Baik > 2 - 5 jam 500.000 - 4 juta
Sedang 20 menit - 2 jam 4 - 20 juta
Jelek > 20 menit > 20 juta
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, S.N. (2017). Susu dan Teknologi. Lembaga Pengembangan Teknologi


Informasi dan Komunikasi (LPTIK). Universitas Andalas. Padang

Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1:2011 Tentang Syarat Mutu Susu
Segar. Jakarta.

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2018. Pedoman Pengawasan


Kesehatan Masyarakat Veteriner. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia
Farid M dan Sukesi H. 2011. Pengembangan Susu Segar dalam Negeri untuk
Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Buletin Ilmiah Litbang
Perdagangan 5(2): 196-221.
Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil
Olahannya. Edisi II. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Milller G. D., J. K. Jarvis, and L. D. McBean. 2007. Handbook of Dairy Foods


and Nutrition/National Dairy Council. Third edition. CRC Press, New
York.
Murdiati TB, dan Sendow I. 2006. Zoonosis yang Ditularkan Melalui Pangan.
WARTAZOA 16(1): 14-20.
Lawu MR, Yuliawati S, dan Saraswati LD. 2014. Gambaran Pelaksanaan Rumah
Pemotongan Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan
Kota Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat 2(2): 127-131.
Ressang, A. A, dan A. M. Nasution. 1982. Ilmu Kesehatan Susu (Milk Hygiene).
Edisi ke-2 Institut Pertanian Bogor.

Sanam AB, Swacita IBN, Agustina KK. 2014. Ketahanan Susu Kambing
Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau
dari Uji Didih dan Alkohol. Jurnal Veteriner 3(1): 1-8
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Metoda Pengujian Susu Segar-SNI 01-
2782- 1998/Rev.1992. Badan Standarisasi Nasional-BSN. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2011. SNI 3141.1:2011. Susu Segar. Badan


Standarisasi Nasional, Jakarta.
Suardana IW & Swacita IBN. 2017. Penuntun Praktimum: Food Hygiene.
Denpasar: Universitas Udayana

Yudonegoro RJ, Nurwantoro, Harjanti DW. 2014. Kajian Kualitas Susu Segar
dari Tingkat Peternak Sapi Perah, Tempat Pengumpulan Susu dan
Koperasi 25 Unit Desa Jatinom di Kabupaten Klaten. Jurnal Animal
Agriculture 3(2): 323-333

Anda mungkin juga menyukai